45
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pantai Ada dua istilah tentang kepantaian dalam bahasa Indonesia yang sering rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih dapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Sedangkan pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari batas garis pasang tertingi. Daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bawah di bawahnya. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tepat dan berpindah dan sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan. (Triatmodjo B, 1999). Untuk lebih jelasnya tentang definisi di atas, dapat dilihat dalam gambar 2.1 berikut ini : Gambar 2.1 Batasan Pantai (Triatmodjo B, 1999)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pantai serta analisis data meliputi analisis data angin, data gelombang, serta data pasang surut. Pengolahan dan analisis data ini bertujuan untuk

Embed Size (px)

Citation preview

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pantai

Ada dua istilah tentang kepantaian dalam bahasa Indonesia yang

sering rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Pesisir

adalah daerah darat di tepi laut yang masih dapat pengaruh laut seperti

pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Sedangkan pantai adalah

daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air

surut terendah. Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di

bawah permukaan laut dimulai dari batas garis pasang tertingi. Daerah lautan

adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan dimulai dari sisi

laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bawah di

bawahnya. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air

laut, dimana posisinya tidak tepat dan berpindah dan sesuai dengan pasang

surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Sempadan pantai adalah kawasan

tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk

mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah

daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi

fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan.

(Triatmodjo B, 1999). Untuk lebih jelasnya tentang definisi di atas, dapat

dilihat dalam gambar 2.1 berikut ini :

Gambar 2.1 Batasan Pantai

(Triatmodjo B, 1999)

5

2.2 Pengertian dan Jenis-Jenis Bangunan Pelindung Pantai

Alam pada umumnya telah menyediakan mekanisme perlindungan

pantai secara alamiah yang efektif (Yuwono N, 1982).

1. Pantai Pasir

Lindungan alamiah berupa hamparan pasir yang dapat berfungsi

sebagai penghancur energi gelombang yang efektif, serta bukit pasir

(sand dunes) yang merupakan cadangan pasir dan berfungsi sebagai

tembok laut. Sand Dunes berfungsi sebagai dinding tempat penyimpanan

pasir selama air pasang dan juga berfungsi sebagai semacam

tanggul/perlindungan untuk menghalangi air pasang dan gelombang yang

merusak kawasan backshore. Sand Dunes adalah salah satu pengaman

pantai non rigid (tidak kaku) yang terbentuk secara alami oleh kombinasi

gerakan pasir, angin, dan tumbuhan pantai. Jika tidak terganggu oleh

aktivitas manusia, sand dunes seringkali membentuk sistem perlindungan

kontinyu yang dapat diandalkan dari waktu ke waktu.

2. Pantai Lumpur

Pantai berlumpur terjadi di daerah pantai dimana terdapat banyak

muara sungai yang membawa sedimen suspensi dalam jumlah besar ke

laut. Selain itu, kondisi gelombang di pantai tersebut relatif tenang

sehingga tidak mampu membawa sedimen tersebut ke perairan dalam di

laut lepas. Sedimen suspensi tersebut dapat menyebar pada suatu daerah

perairan yang luas sehingga membentuk pantai yang luas, datar, dan

dangkal. Kemiringan dasar laut/pantai sangat kecil.

Biasanya pantai berlumpur sangat rendah dan merupakan daerah

rawa yang terendam air saat muka air tinggi (pasang). Daerah ini sangat

subur bagi tumbuhan pantai seperti pohon bakau (mangrove). Mangrove

dengan akar tunjang dan akar pernapasannya dapat menangkap lumpur

sehingga terjadi sedimentasi. Guguran daun dan ranting menjadi serasah

organik sehingga mempersubur perairan pantai. Hutan ini dapat berfungsi

sebagai peredam energi gelombang, sehingga pantai dapat terlindung dari

bahaya erosi.

3. Pantai Karang

Gelombang sebelum mencapai pantai akan pecah di batu karang

(reef), dan energinya berkurang atau hancur. Dengan demikian pada saat

6

gelombang tersebut mencapai tepi pantai sudah relatif kecil sehingga

tidak punya daya untuk menghancurkan pantai. Karang pelindung yang

bagus bilamana masih tumbuh dan dengan demikian bila terjadi

kerusakan akibat gempuran gelombang (musim gelombang), terumbu

karang tersebut dapat tumbuh dan pulih kembali pada saat musim tenang.

Apabila tidak ada lindungan alamiah pantai, atau sudah tidak efektif

karena rusak/punah, maka dapat dibuat perlindungan buatan. Ada lima

pendekatan dalam perencanaan perlindungan buatan pada pantai, yaitu :

1. Mengubah laju angkutan sedimen sejajar pantai (dengan bangunan

groin).

2. Mengurangi energi gelombang yang mengenai pantai (dengan

bangunan breakwater).

3. Memperkuat tebing pantai sehingga tahan terhadap gempuran

gelombang (dengan bangunan revretment atau seawall).

4. Menambah suplai sedimen ke pantai (dengan cara “sand by passing”

atau “beach nourishment”).

5. Melakukan penghijauan daerah pantai (dengan pohon bakau, api-api,

atau nipah).

Surf Zone merupakan lokasi terjadinya angkutan sedimen di daerah

pantai. Maju mundurnya posisi garis pantai sangat tergantung pada laju

dan arah angkutan sedimen di surf zone. Untuk mengurangi energi

gelombang dan intensitas arus sejajar pantai akibat induksi gelombang,

diperlukan suatu bangunan pemecah gelombang.

Erosi pantai dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar dengan

rusaknya kawasan pemukiman dan fasilitas-fasilitas yang ada di daerah

tersebut. Untuk menanggulangi erosi pantai, langkah pertama yang harus

dilakukan adalah mencari penyebab terjadinya erosi. Dengan mengetahui

penyebabnya, selanjutnya dapat ditentukan cara penanggulangannya

yang biasanya adalah dengan membuat bangunan pelindung pantai atau

menambah suplai sedimen.

7

2.2.1. Revretment/Seawall

Revretment/Seawall adalah bangunan berupa dinding penahan

gempuran gelombang yang ditempatkan di sepanjang kawasan yang

akan dilindungi. Penggunaan revretment dimaksudkan untuk

memperkuat tepi pantai agar tidak terjadi pengikisan pantai akibat

gempuran gelombang. Tetapi bila dinding penahan tidak direncanakan

dengan baik, dapat mengakibatkan kerusakan yang terjadi menjadi

relatif cepat. Karena itu pada bagian dasar perlu dirancang suatu

struktur penahan erosi yang cukup baik (Sub Direktorat Rawa dan

Pantai, 1997).

Revretment/seawall memiliki 2 jenis yaitu tipe masif (kaku)

dan tipe tidak masif atau fleksibel. Masing-masing tipe memiliki

kelebihan dan kekurangan, yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Sumber : Yuwono N, 1998, Pedoman Perencanaan Teknis Tanggul &

Tembok Laut.

Jenis-jenis Revretment :

1. Quarrystone Revretment

Struktur ini termasuk struktur fleksibel dengan bahan

material batu alam. Struktur yang fleksibel ini juga dapat

memberikan perlindungan yang baik sekali dan dapat tahan

terhadap konsolidasi minor atau penurunan tanpa menyebabkan

struktur runtuh. Seperti yang terlihat pada gambar 2.2.

Tipe Masif 1. Bahan bangunan relatif sedikit 1. Tidak fleksibel

(kaku) 2. Bangunan terlihat rapi 2. Pada pelaksanaan memerlukan

pengawasan yang seksama

3. Bila terjadi kerusakan,

sulit untuk diperbaiki

Tipe Tidak Masif 1. Bangunan yang fleksibel 1. Memerlukan banyak material

(fleksibel) 2. Bila terjadi kerusakan,mudah 2. Kurang terlihat rapi

untuk diperbaiki

3. Pengawasan dalam pelaksanaan

relatif mudah

Jenis Tembok Keuntungan Kerugian

8

Gambar 2.2 Contoh Quarrystone Revretment

(Sub Direktorat Rawa dan Pantai, 1997)

2. Interlocking Concrete-Block Revretment

Struktur ini termasuk struktur masif dengan bahan material

block beton. Struktur ini juga dapat memberikan perlindungan

yang baik sekali terhadap gelombang. Stabilitas sambungan pada

block beton sangat tergantung pada interlocking sambungannya.

Gambar 2. 3 Interlocking Concrete-Block Revretment (Sub Direktorat Rawa dan Pantai, 1997)

2.2.2. Groin

Groin adalah bangunan pengendali sedimen yang ditempatkan

menjorok dari pantai ke arah laut lepas. Groin biasanya berbentuk I, L,

atau T. Bangunan ini juga bisa digunakan untuk mencegah masuknya

transpor sedimen sepanjang pantai ke pelabuhan atau muara sungai.

Groin yang ditempatkan di pantai akan menahan gerak sedimen,

9

sehingga sedimen akan mengendap di sisi sebelah hulu. Di sebelah

hilir Groin angkutan sedimen masih tetap terjadi, sementara suplai dari

sebelah hulu terhalang oleh bangunan, akibatnya daerah di hilir Groin

akan mengalami defisit sedimen sehingga pantai mengalami erosi.

Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai yang

akan terus berlangsung sampai tercapai suatu keseimbangan baru.

Keseimbangan baru tersebut tercapai pada saat sudut yang dibentuk

oleh gelombang pecah terhadap garis pantai baru adalah nol, dimana

tidak terjadi lagi angkutan sedimen sepanjang pantai.

Keuntungan dari pemakaian Groin antara lain :

1. Efektif menahan angkutan sedimen searah memanjang pantai.

2. Groin dapat dibangun dengan penempatan peralatan di darat.

3. Groin tidak mengubah karakter surf zone.

4. Groin dapat dirancang dengan menggunakan bahan yang

berbeda-beda, misalnya rubble mound, sheet pile baja, sheet pile

beton, dan sebagainya.

5. Dengan mengatur dimensi dan permeabilitasnya, Groin dapat

dirancang menahan angkutan sedimen sejajar pantai secara baik

atau memperkenankan pelepasan pasir ke laut lepas (sand by

passing).

Kerugian dari pemakaian Groin antara lain :

1. Tidak efektif mencegah kehilangan pasir ke laut lepas (offshore

sand losses)

2. Groin dapat mengakibatkan rip-current yang berkembang di

sepanjang sisinya, sehingga dapat menimbulkan kehilangan pasir

ke laut lepas.

3. Dapat menimbulkan gerusan pantai di sebelah hilirnya (down

drift).

10

Gambar 2.4 Konfigurasi umum garis pantai untuk Groin tunggal (Sub Direktorat Rawa dan Pantai, 1997)

2.2.3. Breakwater

Breakwater atau pemecah gelombang lepas pantai adalah

bangunan yang dibuat sejajar pantai dan berada pada jarak tertentu dari

garis pantai. Bangunan ini direncanakan untuk melindungi pantai yang

terletak di belakangnya dari serangan gelombang. Tergantung pada

panjang pantai yang dilindungi, breakwater dapat dibuat dari satu

pemecah gelombang atau suatu seri bangunan yang terdiri dari

beberapa ruas pemecah gelombang yang dipisahkan oleh celah.

Perlindungan oleh breakwater terjadi karena berkurangnya energi

gelombang yang sampai di perairan di belakang bangunan.

Berkurangnya energi gelombang di daerah terlindung akan

mengurangi transpor sedimen di daerah tersebut. Transpor sedimen

sepanjang pantai yang berasal dari daerah di sekitarnya akan

diendapkan di belakang bangunan. Pengendapan tersebut

menyebabkan terbentuknya tombolo. Pembentukan tombolo

memerlukan waktu yang cukup lama. Selain itu, breakwater juga

bermanfaat untuk menahan sedimen yang terbawa arus pasang surut ke

arah laut.

11

Gambar 2.5 Formasi Tombolo (Sub Direktorat Rawa dan Pantai, 1997)

2.2.4. Jetty

Jetty adalah bangunan yang tegak lurus pantai yang diletakkan

pada kedua sisi muara sungai. Fungsi utama bangunan ini ialah untuk

menahan berbeloknya muara sungai dan mengkonsentrasikan aliran

pada alur yang telah ditetapkan untuk bisa mengerosi endapan,

sehingga pada awal musim penghujan dimana debit besar (banjir)

belum terjadi, muara sungai telah terbuka. Selain itu Jetty juga

berfungsi untuk mencegah pendangkalan di muara oleh sedimen

pantai.

2.2.5. Sand/Beach Nourishment

Sand/Beach Nourishment adalah tindakan pengisian kembali

dengan bahan material sedimen (biasanya pasir) untuk menggantikan

sedimen yang terbawa air laut. Biasanya pengisian dilakukan tiap

tahun, sehingga cara ini kurang efisien. Bahan pengisi pasir dapat

diambil dari pasir laut maupun pasir darat, tergantung ketersediaan

bahan di lapangan dan kemudian pengangkutannya dari lokasi

pengambilan ke lokasi pengisian.

12

2.3 Pengolahan Data dan Analisis Data

Pengolahan serta analisis data meliputi analisis data angin, data

gelombang, serta data pasang surut. Pengolahan dan analisis data ini

bertujuan untuk menentukan tinggi gelombang rencana yang akan digunakan

untuk mendesain bangunan pelindung pantai. Masing-masing pengolahan dan

analisis data tersebut antara lain :

2.3.1 Analisis Data Angin dan Peramalan Gelombang

Angin yang berhembus di atas permukaan perairan akan

membangkitkan gelombang laut, peristiwa tersebut merupakan

transfer/perpindahan energi dari udara yang bergerak ke permukaan air,

karena itu data angin dapat dipakai untuk memperkirakan tinggi dan arah

gelombang yang terjadi di lokasi yang dikaji. Hal ini menyebabkan data angin

sangat diperlukan sebagai masukan dalam peramalan gelombang yang akan

diuraikan lebih lanjut dalam manual pekerjaan perencanaan perlindungan

pantai.

Menurut Triatmodjo B, 1999, angin yang berhembus ke permukaan

ini akan memindahkan energinya ke air. Kecepatan angin akan menimbulkan

tegangan pada permukaan laut sehingga permukaan air yang awalnya tenang

akan terganggu dan menimbulkan riak gelombang kecil pada permukaan air.

Apabila kecepatan angin tersebut bertambah, riak gelombang tersebut

menjadi semakin besar dan apabila angin berhembus terus akhirnya akan

timbul gelombang. Semakin lama dan semakin kuat angin yang berhembus,

semakin besar pula gelombang yang akan terbentuk. Tinggi gelombang dan

periode gelombang yang akan terjadi dipengaruhi kecepatan angin (U), lama

angin berhembus (td), dan panjang fetch (F). Panjang fetch membatasi waktu

yang diperlukan gelombang untuk berada di bawah pengaruh angin. Apabila

panjang fetch pendek, energi yang ditransfer angin belum cukup besar,

sehingga tinggi gelombang yang terjadi belum cukup besar pula.

A. Pengolahan Data Angin

Pengolahan data angin yang dimaksud disini, adalah verifikasi

bahwa data angin yang digunakan adalah data angin dari stasiun

pencatatan data angin terdekat dengan lokasi yang ditinjau. Kecepatan

13

angin diukur dengan anemometer, dan biasanya dinyatakan dalam satuan

knot. Data angin dicatat tiap jam dan biasanya disajikan dalam tabel.

Dengan pencatatan angin jam-jaman tersebut akan dapat diketahui angin

dengan kecepatan tertentu dan durasinya, kecepatan angin maksimum,

arah angin, dan dapat pula dihitung kecepatan angin rerata harian.

Biasanya data angin yang sudah didapat, disajikan kembali dalam bentuk

tabel (ringkasan) atau diagaram yang disebut mawar angin. Penyajian

tersebut dapat diberikan dalam bentuk bulanan, tahunan atau untuk

beberapa tahun pencatatan. Dengan tabel atau mawar angin tersebut

maka karakteristik angin dapat dibaca dengan cepat.

Diagram mawar angin tersebut menunjukkan persentase kejadian

angin dengan kecepatan tertentu dari berbagai arah dalam periode waktu

pencatatan. Arah angin biasanya dinyatakan dalam bentuk 8 (delapan)

arah penjuru mata angin (Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan,

Barat Daya, Barat, dan Barat Laut). Sedangkan untuk kecepatan angin

biasanya dinyatakan dalam satuan knot, yang dapat dinyatakan dalam

nilai konversi satuan lain sebagai berikut:

1 knot = 1 mil laut/jam

1 mil laut = 6080 kaki (feet) = 1853,18 meter

1 knot = 0,515 meter/detik

Dalam gambar mawar angin tersebut garis-garis radial adalah

arah angin dan tiap lingkaran menunjukkan persentase kejadian angin

dalam periode waktu pengukuran.

B. Kecepatan Angin

Rumus-rumus dan grafik-grafik pembangkitan gelombang

mengandung variabel UA, yaitu faktor tegangan angin (wind-stress

factor) yang dapat dihitung dari kecepatan angin. Setelah dilakukan

berbagai konversi kecepatan angin, kecepatan angin dikonversikan pada

faktor tegangan angin dengan persamaan berikut :

𝑈𝐴 = 0,71. 𝑈1,23 (2.1)

Keterangan :

𝑈𝐴 = Kecepatan angin terkoreksi (m/dt)

U = kecepatan angin (m/dt)

14

C. Gelombang Signifikan

Dalam menentukan tinggi gelombang signifikan (Hs) dan periode

gelombang signifikan (Ts), digunakan analisis spektrum gelombang

Pierson dan Moskowits yang diturunkan berdasarkan kondisi FDS (Fully

Developed Sea). Menurut Yuwono N, 1982, dengan menentukan

kecepatan angin rata-rata di atas permukaan laut, untuk menentukan

tinggi gelombang signifikan dan periode gelombang signifikan, dapat

digunakan rumus di bawah ini :

Hs = 0,0056 . 𝑈𝐴2 (2.2)

Ts = 0,33 . 𝑈𝐴 (2.3)

Keterangan :

Hs = Tinggi gelombang signifikan (m)

Ts = periode gelombang signifikan (dt)

𝑈𝐴 = Kecepatan angin terkoreksi (m/dt)

D. Fetch

Di dalam tinjauan pembangkit gelombang laut, fetch dibatasi

dalam bentuk daratan yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukan

gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam daerah yang

sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah

angin, digunakan persamaan :

𝐹𝑒𝑓𝑓 = ∑ 𝑥𝑖 .𝐶𝑜𝑠 á

∑ 𝐶𝑜𝑠 á (2.4)

Keterangan :

Feff = Fetch efektif yang diukur dari titik observasi gelombang ke

ujung akhir fetch.

xi = Panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi

gelombang ke ujung akhir fetch.

15

Α = Deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan

pertambahan 5̊ sampai sudut sebesar 45̊ pada kedua sisi dari

arah angin.

E. Peramalan Gelombang Di Laut Dalam

Berdasarkan pada kecepatan angin, lama hembusan angin, dan

fetch seperti dibicarakan di atas, dapat dilakukan peramalan gelombang

dengan menggunakan grafik peramalan gelombang yang dapat dilihat

pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Grafik Peramalan Gelombang (Triatmodjo B, 1999)

F. Peta Topografi dan Peta Bathimetri

Maksud dan tujuan pelaksanaan survey topografi adalah untuk

memperoleh profil daratan pantai, bentuk alur sungai, dan penampang

melintang sungai. Dalam survey ini juga dilakukan pemetaan terhadap

bangunan yang berada disekitar pantai. Pengukuran topografi merupakan

kegiatan memetakan kondisi pantai bagian darat dan kondisi sungai.

16

Kegiatan pengukuran dan pemetaan ini meliputi pengukuran situasi dan

profil pantai, serta pemetaan sungai.

Survey bathimetri dilakukan untuk memetakan kedalaman dasar

laut menggunakan echosounder. Hasil pengukuran bathimetri ini

selanjutnya dikombinasikan dengan hasil topografi sehingga terbentuk

sebuah peta yang mencakup wilayah darat dan lautan. Survey bathimetri

yang dilakukan menggunakan alat Echosounder yang diintergrasikan

dengan beberapa alat bantu lainnya seperti tranduser, dan GPS sebagai

positioning jalur bathimetri. Echosounder yang digunakan memakai

double frekuensi (multi beam), yang mana terdapat 2 frekuensi yaitu

frekuensi rendah (untuk pengukuran kedalaman dasar laut yang dapat

menembus endapan lumpur) dan frekuensi tinggi (untuk pengukuran

kedalaman laut teratas). Prinsip kerja alat echosounder ialah dengan

mengirimkan sinyal (sonar) kebawah laut melalui tranduser.

G. Pemilihan Tinggi Gelombang Rencana

Menurut Yuwono N, 1982, pemilihan kondisi gelombang untuk

rencana analisis stabilitas bangunan pantai, perlu diperhatikan apakah

bangunan pantai tersebut mengalami serangan gelombang pecah, tidak

pecah, telah pecah dan bentuk serta prioritas bangunan pantai tersebut.

Apabila karakteristik gelombang telah ditentukan, langkah berikutnya

adalah menentukan apakah tinggi gelombang pada lokasi bangunan

dipengaruhi dan dibatasi oleh kedalaman air.

Tinggi gelombang rencana tergantung pada jenis konstruksi yang

akan dibangun. Adapun beberapa pedoman untuk menentukan tinggi

gelombang rencana untuk beberapa keperluan:

1. Konstruksi Kaku

Misalnya : menara bor lepas pantai, tinggi gelombang rencana yang

dipakai adalah H maksimum.

2. Konstruksi Fleksibel

Misalnya : rubble mound breakwater, tinggi gelombang rencana

yang dipakai adalah H signifikan.

3. Konstruksi Semi Kaku

17

Misalnya : dinding pantai (seawall), tinggi gelombang rencana yang

dipakai adalah H10.

4. Proses Yang Terjadi Di Pantai

Misalnya : peramalan angkutan sedimen, tinggi gelombang rencana

yang dipakai adalah H signifikan atau H tahunan.

H. Kala Ulang Gelombang Rencana

Penentuan kala ulang gelombang rencana biasanya didasarkan

pada jenis konstruksi yang akan dibangun dan nilai daerah yang akan

dilindungi. Makin tinggi nilai daerah yang akan dilindungi, makin besar

pula kala ulang gelombang rencana yang dipilih. Sebagai pedoman kala

ulang gelombang rencana dapat dipakai tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pedoman pemilihan jenis gelombang dan kala ulang

gelombang

No Jenis Bangunan Jenis Gelombang

1

2

3

Konstruksi Fleksibel (Fleksible

Structure)

Konstruksi Semi Kaku (Semi Rigid

Structure)

Konstruksi Kaku (Fixed Rigid

Structure)

Hs

𝐻0,1 . 𝐻0,01

𝐻0,1 . 𝐻𝑚𝑎𝑥

(Yuwono N, 1982)

Untuk menentukan kala ulang gelombang rencana dipergunakan

analisa harga-harga ekstrim tinggi gelombang. Biasanya diambil tinggi

gelombang tertinggi setiap tahunnya. Dalam menentukan kala ulang

gelombang rencana, digunakan metode analisis statistik antara lain :

Metode Gumbel

𝐻𝑠̅̅ ̅̅ = ∑ 𝐻𝑠̅̅ ̅̅

𝑁 (2.5)

ó𝐻 = √∑(𝐻𝑠−𝐻𝑠̅̅ ̅̅ )2

𝑁−1 (2.6)

Ht = Hs + ó𝐻

𝐻𝑛 (Yt – Yn) (2.7)

Metode Fisher-Tippet Type I

Distribusi Fisher-Tippet Type I

18

P (HS < Hsm) = 1 - 𝑚 − 0,44

𝑁𝑇+ 0,12 (2.8)

𝐻𝑠𝑟 = �̂�.𝑦𝑟 + �̂� (2.9)

𝑦𝑟 = −𝑙𝑛 {−𝑙𝑛 (1 −1

𝐿.𝑇𝑟)} (2.10)

Metode Weibull

P (HS < Hsm) = 1 – 𝑚−0,2−

0,27

√𝑘

𝑁𝑇+0,2+0,23

√𝑘

(2.11)

𝑦𝑟 = {𝑙𝑛(𝐿𝑇𝑟)}1

𝑘⁄ (2.12)

L = NT

K (2.13)

Keterangan :

P (HS < HSM) = probabilitas dari tinggi gelombang representatif ke m

yang tidak dilampaui

HSM = tinggi gelombang urutan ke-m

M = nomor urut tinggi gelombang signifikan

K = parameter bentuk

NT = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan

HST = tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang Tr

Tr = periode ulang (tahun)

K = panjang data (tahun)

L = rerata jumlah kejadian per tahun

Dari ketiga metode analisis statistik tersebut, digunakan metode

yang menghasilkan koefisien korelasi yang mendekati nilai 1 (goodness

of fit).

I. Gelombang Pecah

Gelombang yang menjalar dari laut dalam menuju pantai

mengalami perubahan bentuk karena adanya perubahan kedalaman laut.

Di laut dalam profil gelombang adalah Sinusoidal, semakin menuju ke

perairan lebih dangkal puncak gelombangnya semakin tajam dan lembah

gelombang semakin datar. Selain itu kecepatan dan panjang gelombang

19

berkurang secara berangsur-angsur sementara tinggi gelombang

bertambah. Gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringannya, yaitu

perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang. Gelombang dari laut

dalam yang bergerak menuju pantai akan bertambah kemiringannya

sampai akhirnya pecah pada kedalaman tertentu, yang disebut dengan

kedalaman gelombang pecah. (Triatmodjo B, 1999).

Gambar 2. 7 Proses Gelombang Pecah (Triatmodjo B, 1999)

Pada gambar 2.8 adalah grafik yang dibuat oleh Galvin yaitu

pedoman tinggi gelombang pecah yang memberikan hubungan antara 𝑑𝑏

𝐻𝑏

berubah dengan kemiringan m dan kemiringan gelombang datang 𝐻𝑏

𝑔𝑇2 .

Sedangkan pada gambar 2.9 adalah grafik hubungan antara 𝐻𝑏

𝐻 ,0 dan

𝐻,0

𝑔𝑇2. Gambar 2.8 dan gambar 2.9 disarankan untuk digunakan dalam

perhitungan tinggi dan kedalaman gelombang pecah. Menurut

Triatmodjo, 1999, gelombang pecah dapat dibedakan menjadi tiga

macam, yaitu :

1. Spilling

Spilling biasanya terjadi apabila gelombang dengan

kemiringan kecil menuju ke pantai yang datar (kemiringan kecil).

20

Gelombang mulai pecah pada jarak yang cukup jauh dari pantai dan

pecahnya terjadi secara berangsur-angsur. Buih terjadi pada puncak

gelombang selama mengalami pecah dan meninggalkan suatu lapis

tipis buih pada jarak yang cukup jauh.

2. Plunging

Apabila kemiringan gelombang dan dasar bertambah,

gelombang akan pecah dan puncak gelombang akan memutar

dengan massa air pada puncak gelombang akan terjun ke depan.

Energi gelombang pecah dihancurkan dalam turbulensi, sebagian

kecil dipantulkan pantai ke laut, dan tidak banyak gelombang baru

terjadi pada air yang lebih dangkal.

3. Surging

Surging terjadi pada pantai dengan kemiringan yang sangat

besar seperti yang terjadi pada pantai berkarang. Daerah gelombang

pecah sangat sempit, dan sebagian besar energi dipantulkan kembali

ke laut dalam. Gelombang pecah tipe surging ini mirip dengan

plunging, tetapi sebelum puncaknya terjun, dasar gelombang sudah

pecah.

21

Gambar 2.8 Grafik Penentuan Kedalaman Gelombang Pecah (Triatmodjo B, 1999)

Gambar 2.9 Grafik Penentuan Tinggi Gelombang Pecah (Triatmodjo B, 1999)

22

Tinggi gelombang pecah rencana Hb tergantung pada

kedalaman air pada suatu jarak di depan kaki bangunan dimana

gelombang pertama kali mulai pecah. Kedalaman tersebut berubah

dengan pasang surut. Tinggi gelombang pecah rencana mempunyai

bentuk sebagai berikut :

𝐻𝑏 = 𝑑𝑠

â−𝑚 ô𝑝 (2.14)

â = 𝑑𝑏

𝐻𝑏 (2.15)

ô𝑝 = 𝑥𝑝

𝐻𝑏 (2.16)

Keterangan :

Hb = Tinggi gelombang pecah.

db = Kedalaman gelombang pecah.

ds = Kedalaman air di kaki bangunan.

m = Kemiringan dasar pantai.

ô𝑝 = 4,0 – 9,25 m.

Nilai β yang digunakan dalam persamaan (2.15) tidak dapat

langsung digunakan sebelum nilai Hb diperoleh. Untuk menghitung

nilai Hb telah disediakan gambar 2.10. Apabila kedalaman rencana

maksimum pada bangunan dan periode gelombang datang diketahui,

maka dapat dihitung tinggi gelombang rencana.

Seringkali gelombang di laut dalam yang menyebabkan

gelombang pecah rencana tersebut. Dengan membandingkan tinggi

gelombang di laut dalam tersebut dengan hasil analisis statistik

gelombang di laut dalam akan dapat diketahui seberapa banyak

gelombang pecah rencana tersebut bekerja pada bangunan. Tinggi

gelombang laut dalam dapat dihitung dengan menggunakan gambar

2.11.

23

Gambar 2.10 Tinggi Gelombang Pecah Rencana Di Kaki Bangunan (Triatmodjo B, 1999)

24

Gambar 2.11 Hubungan Antara 𝐻𝑏

𝐻′𝑜 𝑑𝑎𝑛

𝐻′𝑜

𝑔𝑇2

(Triatmodjo B, 1999)

J. Run-up dan Run-down

Run-up dan run-down sangat penting untuk perencanaan

bangunan pantai. Run-up biasa dipergunakan untuk menentukan mercu

bangunan pantai. Sedangkan run-down dipergunakan untuk menghitung

stabilitas rip-rap atau revretment. Rumus yang digunakan untuk

menentukan run-up ataupun run-down pada permukaan halus yang kedap

air adalah sebagai berikut (Yuwono N,1992).

Run-up:

𝑅𝑢

𝐻 = 𝐼𝑟 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 ∶ 𝐼𝑟 < 2.5

𝑅𝑢

𝐻 = −0.3 𝐼𝑟 + 3.275 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 ∶ 4.25 > 𝐼𝑟 > 3.275

𝑅𝑢

𝐻 = 2 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 ∶ 𝐼𝑟 > 4.25

25

Run-down :

𝑅𝑑

𝐻 = −0.45 𝐼𝑟 + 0.225 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 ∶ 𝐼𝑟 < 4.25

𝑅𝑑

𝐻 = −1.7 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 ∶ 𝐼𝑟 > 4.25

Keterangan :

𝐼𝑟 =𝑡𝑔è

(𝐻𝑏𝐿𝑜⁄ )

0.5 ∶ 𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝐼𝑟𝑟𝑖𝑏𝑎𝑟𝑒𝑛 (2.17)

Keterangan :

Ir = Bilangan Irribaren.

= Sudut kemiringan sisi bangunan.

Hb = Tinggi gelombang di lokasi bangunan.

Lo = Panjang gelombang di laut dalam.

Rumus diatas digunakan apabila dinding halus dan kedap air

(permeable), untuk dinding kasar dan dapat dilalui air (impermeable)

angka diatas dikalikan dengan faktor 0,5 sampai 0,8.

K. Elevasi Muka Air Laut Rencana

Elevasi muka air laut rencana merupakan parameter sangat

penting dalam perencanaan bangunan pantai. Elevasi tersebut merupakan

penjumlahan beberapa parameter, yaitu : pasang surut, tsunami, wave

setup dan pemanasan global. Dalam perencanaan ini parameter tsunami

tidak dipakai karena kejadian tsunami belum tentu bersamaan dengan

gelombang badai. Gempa yang menyebabkan terjadinya tsunami bisa

terjadi pada saat cuaca cerah, sehingga penggabungan tsunami, wave

setup, wind setup, dan pasang surut adalah kecil kemungkinan terjadi.

Sementara itu pasang surut mempunyai periode 12 atau 24 jam,

yang berarti dalam satu hari bisa terjadi satu atau dua kali air pasang.

Kemungkinan terjadi air pasang dan gelombang besar adalah sangat

besar. Dengan demikian pasang surut merupakan faktor terpenting

didalam menentukan elevasi muka air laut rencana tanpa

memperhitungkan tsunami, (Triatmodjo B, 1999).

26

Gambar 2.12 Elevasi Muka Air Laut Rencana (Triatmodjo B, 1999)

1. Perhitungan Wave setup (Triatmodjo B,1999)

𝑆𝑤 = 0.91 [1 − 2.82√𝐻𝑏

𝑔𝑇2] 𝐻𝑏 (2.18)

Keterangan :

Sw = Wave setup (m).

Hb = Tinggi gelombang pecah (m).

g = 9.81 m/dt2.

T = Perode gelombang (dt)

2. Perhitungan Wind setup (Triatmodjo B,1999)

∆ℎ = 𝐹. 𝑐 𝑉2

2.𝑔.𝑑 (2.19)

Keterangan :

Δh = Wind setup/ kenaikan muka air akibat badai (m)

F = Panjang fetch (m)

c = Konstanta ( 3.5x10-6 )

V = Kecepatan angin (m/dt)

d = Kedalaman air (m)

g = Percepatan gravitasi (m/dt2)

3. Perhitungan Pemanasan Global

Efek rumah kaca menyebabkan panas bumi sehingga dapat

dihuni oleh kehidupan. Disebut efek rumah kaca karena

kemiripannya dengan apa yang terjadi dalam sebuah rumah kaca

ketika matahari bersinar. Sinar matahari yang masuk melalui atap

27

dan dinding rumah kaca menghangatkan ruangan didalam sehingga

suhu menjadi lebih tinggi dari pada diluar.

Dengan kata lain rumah kaca berfungsi sebagai perangkap

panas. Peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer

menyebabkan kenaikan muka air laut. Didalam perencanaan

bangunan pantai, kenaikan muka air laut karena pemanasan global

ini harus diperhitungkan. Gambar dibawah ini memberikan perkiraan

besarnya kenaikan muka air laut dari tahun 1990 sampai dengan

2100 yang disertai batas atas dan batas bawah.

Gambar 2.13 Perkiraan Kenaikan Permukaan Air Laut

Akibat Pemanasan Global (SLR) (Triatmodjo B,1999)

4. Perhitungan Tinggi Muka Air Rencana (DWL)

DWL = HWL + Sw + Δh + Pemanasan Global…….(2.20)

Keterangan :

DWL = Tinggi Muka Air Rencana (m)

Sw = Wave setup/kenaikan muka air laut akibat gelombang (m)

Δh = Wind setup/kenaikan muka air akibat badai (m)

HWL = Muka Air Tertinggi

28

2.3.2 Analisa Data Pasang Surut

Data pasang surut merupakan salah satu parameter yang penting

bagi perencanaan struktur bangunan perlindungan pantai. Dengan

mengetahui pola pergerakan muka air (pola pasang surut) pada suatu

lokasi tertentu maka dapat ditentukan tinggi minimum struktur

pelindung pantai yang harus direncanakan. Dalam analisa ini akan

dicari tiga nilai yaitu: HWL (High Water Level), MSL (Mean Sea

Level), LWL (Low Water Level).

2.3.3 Stabilitas Batu Lapis Pelindung

Di dalam perencanaan pemecah gelombang sisi miring,

ditentukan berat butir batu pelindung, yang dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Hudson.

cot 1SK

H W

3

rD

3

r (2.21)

Sr = a

r

(2.22)

Keterangan :

W : berat butir batu pelindung

γr : berat jenis batu

γa : berat jenis air laut

H : tinggi gelombang rencana

θ : sudut kemiringan sisi pemecah gelombang

KD : koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu

pelindung (batu alam atau buatan), kekasaran permukaan

batu, ketajaman sisi-sisinya, ikatan antara butir, dan keadaan

pecahnya gelombang; yang diberikan dalam Tabel 2.2.

29

Gambar 2.14 Batu Lapis Pelindung Buatan

30

Tabel 2.2 Koefisien stabilitas KD untuk berbagai jenis butir

Lapis Lindung n Penem-

patan

Lengan Bangunan Ujung (kepala)

bangunan Kemi-

ringan KD KD

Gelomb.

Pecah

Gelomb.

Tidak

Pecah

Gelomb.

Pecah

Gelomb.

Tidak

Pecah

Cot θ

Batu pecah

Bulat halus

Bulat halus

Bersudut kasar

Bersudut kasar

Bersudut kasar

Bersudut kasar

Paralelepipedum

Tetrapod

dan

Quadripod

Tribar

Dolos

Kubus dimodifikasi

Hexapod

Tribar

Batu pecah (KRR)

(graded angular)

2

> 3

1

2

> 3

2

2

2

2

2

2

2

1

-

Acak

Acak

Acak

Acak

Acak

Khusus *3

Khusus

Acak

Acak

Acak

Acak

Acak

Seragam

Acak

1,2

1,6

*1

2,4

3,2

2,9

1,1

1,4

*1

1,9

2,3

2,3

1,5-3,0

*2

*2

2,0

4,0

1,9

1,6

1,3

3,2

2,8

2,3

1,5

2,0

3,0

2,2

5,8

7,0-20,0

4,5

7,0

8,5-24,0

2,1

5,3

-

4,2

6,4

-

*2

*2

7,0

8,0

5,0

4,5

3,5

6,0

5,5

4,0

1,5

2,0

3,0

9,0

10,0

8,3

7,8

6,0

9,0

8,5

6,5

1,5

2,0

3,0

15,8 31,8 8,0

7,0

16,0

14,0

2,0

3,0

6,5

8,0

12,0

2,2

7,5

9,5

15,0

2,5

-

5,0

7,5

-

5,0

7,0

9,5

-

*2

*2

*2

(Triatmodjo B, 1999)

Catatan :

n : jumlah susunan butir batu dalam lapis pelindung

*1 : penggunaan n = 1 tidak disarankan untuk kondisi gelombang pecah

*2 : sampai ada ketentuan lebih lanjut tentang nilai KD, penggunaan dibatasi

pada kemiringan 1:1,5 sampai 1:3

*3 : batu ditempatkan dengan sumbu panjangnya tegak lurus permukaan

bangunan

31

Persamaan (2.21) memberikan berat butir batu pelindung yang

sangat besar. Untuk mendapatkan batu yang sangat besar tersebut adalah sulit

dan mahal. Untuk memperkecil harga pemecah gelombang, maka pemecah

gelombang dibuat dalam beberapa lapis. Lapis terluar terdiri dari batu dengan

ukuran seperti yang diberikan oleh Persamaan 2.21. Berat butir batu pada

lapis di bawahnya adalah semakin kecil. Gambar 2.15. dan 2.16. adalah

bentuk tampang lintang pemecah gelombang (SPM, 1984). Gambar 2.15.

adalah tampang lintang pemecah gelombang yang mengalami serangan

pemecah gelombang pada satu sisi (sisi laut). Pemecah gelombang ini

direncanakan dengan elevasi puncak sedemikian rupa sehingga limpasan

terjadi hanya pada saat badai dengan periode ulang yang panjang. Gambar

2.16. adalah pemecah gelombang yang mengalami serangan gelombang pada

kedua sisinya, seperti misalnya pada bagian luar (ujung) Jetty, dan limpasan

dimungkinkan sering terjadi. Kedua gambar tersebut menunjukkan tampang

lintang ideal dengan banyak lapis dan tampang lintang yang disarankan.

Tampang lintang ideal menggunakan banyak lapis dengan ukuran berbeda

sehingga memungkinkan digunakannya semua ukuran batu yang diambil dari

peledakan di suatu sumber batu (quarry), tetapi pelaksana pekerjaan menjadi

lebih sulit. Gambar tersebut juga memberikan gradasi butir batu pada setiap

lapis dalam persen dari ukuran batu rerata di setiap lapis.

Persamaan (2.21) digunakan untuk kondisi di mana puncak bangun-

an cukup tinggi sehingga tidak terjadi limpasan gelombang {overtopping} dan

kemiringan sisi bangunan tidak lebih dari 1:1,5.

Persamaan (2.21) menentukan berat butir batu pelindung dengan

ukuran yang hampir seragam. Untuk batu dengan ukuran yang tidak seragam

{graded riprap), Hudson dan Jackson 1962 (SPM, 1984), telah memodifikasi

persamaan tersebut menjadi:

cot 1SK

H W

3

rRR

3

50

r (2.22)

Beberapa notasi dari persamaan tersebut sama dengan Persamaan

(2.21). W50 adalah berat dari 50% ukuran butir batu, dan KRR adalah koefisien

32

stabilitas untuk graded riprap yang serupa dengan KD seperti diberikan dalam

Tabel 2.2. Nilai tersebut adalah untuk kerusakan sebesar 5%.

Graded riprap biasanya lebih banyak digunakan untuk revetmen

daripada untuk pemecah gelombang atau Jetty. Batasan pemakaian graded

riprap adalah tinggi gelombang rencana kurang dari 1,5 m. Apabila gelom-

bang lebih tinggi dari 1,5 m; biasanya digunakan batu dengan ukuran seragam

seperti diberikan oleh Persamaan (2.21).

Gambar 2.15 Pemecah gelombang sisi miring dengan serangan gelombang pada

satu sisi

2.3.4 Dimensi Pemecah Gelombang Sisi Miring

Elevasi puncak pemecah gelombang tumpukan batu tergantung

pada limpasan (overtopping) yang diijinkan. Air yang melimpas

puncak pemecah gelombang akan mengganggu ketenangan di kolam

pelabuhan. Elevasi puncak bangunan dihitung berdasarkan kenaikan

(run-up) gelombang, yang tergantung pada karakteristik gelombang,

kemiringan bangunan, porositas, dan kekasaran lapis pelindung.

Hitungan run-up gelombang diberikan dalam sub bab berikutnya.

33

Lebar puncak juga tergantung pada limpasan yang diijinkan.

Pada kondisi limpasan diijinkan, lebar puncak minimum adalah sama

dengan lebar dari tiga butir batu pelindung yang disusun berdampingan

(n = 3). Untuk bangunan tanpa terjadi limpasan, lebar puncak pemecah

gelombang bisa lebih kecil. Selain batasan tersebut, lebar puncak harus

cukup lebar untuk keperluan operasi peralatan pada waktu pelaksanaan

dan perawatan.

Gambar 2.16 Pemecah gelombang sisi miring dengan serangan

gelombang pada kedua sisi

Lebar puncak pemecah gelombang dapat dihitung dengan rumus

berikut ini.

3/1

r

WknB

(2.23)

Keterangan :

B : lebar puncak

n : jumlah butir batu (nminimum = 3)

kΔ : koefisien lapis (Tabel 7.2)

W : berat butir batu pelindung

γr : berat jenis batu pelindung

34

Kadang-kadang di puncak pemecah gelombang tumpukan batu

dibuat dinding dan lapis beton yang dicor di tempat. Lapis beton ini

mempunyai tiga fungsi yaitu 1) memperkuat puncak bangunan, 2)

menambah tinggi puncak bangunan, dan 3) sebagai jalan untuk

perawatan.

Tebal lapis pelindung dan jumlah butir batu tiap satu luasan

diberikan oleh rumus berikut ini.

3/1

r

Wnkt

(2.24)

3/2

1001

W

PknAN R

(2.25)

Keterangan :

t : tebal lapis pelindung

n : jumlah lapis batu dalam lapis pelindung

k∆ : koefisien yang diberikan dalam Tabel 2.2.

A : luas permukaan

P : porositas rerata dari lapis pelindung (%) yang diberikan

dalam Tabel 2.2.

N : jumlah butir batu untuk satu satuan luas permukaan A

γr : berat jenis batu.

Tabel 2. 3 Koefisien lapis

Batu Pelindung n Penempatan Koef. Lapis

(k∆)

Porositas

P(%)

Batu alam (halus) 2 random (acak) 1,02 38

Batu alam (kasar) 2 random (acak) 1,15 37

Batu alam (kasar) > 3 random (acak) 1,10 40

Kubus 2 random (acak) 1,10 47

Tetrapod 2 random (acak) 1,04 50

Quadripod 2 random (acak) 0,95 49

Hexapod 2 random (acak) 1,15 47

Tribard 2 random (acak) 1,02 54

Dolos 2 random (acak) 1,00 63

Tribar 1 seragam 1,13 47

Batu alam random (acak) 37

(Triatmodjo B, 1999)

35

Dalam Gambar 2.21., butir batu lapis pelindung yang dihitung

dengan Persamaan (2.21) ditempatkan sampai pada elevasi sama

dengan tinggi gelombang H di bawah SWL minimum jika bangunan

sampai pada kedalaman lebih besar dari 1,5 H. Jika bangunan berada

sampai kedalaman kurang dari 1,5 H; lapis pelindung dibuat sampai

dasar bangunan. Untuk revetmen yang berada di air dangkal, lapis

pelindung dibuat sampai kaki bangunan yang berfungsi sebagai

pelindung terhadap gerusan.

Bangunan yang terbuka terhadap serangan gelombang pecah

perlu dilengkapi dengan berm kaki bangunan dari batu pecah. Untuk

perencanaan awal, batu dari berm kaki bangunan mempunyai berat

W/10 dengan W adalah berat batu lapis pelindung yang dihitung

dengan Persamaan (2.21). Lebar berm kaki bangunan dapat dihitung

dengan Persamaan (2.23) , dengan n = 3. Tinggi minimum berm

dihitung dengan Persamaan (2.24) dengan n-2. Dalam perencanaan

akhir, berat batu berm tersebut perlu diselidiki dengan tes model.

Bangunan pemecah gelombang, Groin dan Jetty dibedakan

dalam dua bagian yaitu kepala dan lengan bangunan. Kepala bangunan

mempunyai panjang sekitar 15 sampai 45 m dari ujung bangunan.

Panjang tersebut tergantung pada panjang bangunan dan elevasi

puncak ujung bangunan. Bagian tersebut memerlukan berat butir batu

pelindung yang lebih besar daripada bagian lengan bangunan. Hal ini

mengingat bahwa kepala bangunan dapat menerima serangan

gelombang dari berbagai arah. Dalam Tabel 2.2. nilai KD untuk bagian

kepala bangunan lebih kecil daripada nilai di lengan bangunan.

Apabila butir batu untuk lapis pelindung pertama dan kedua

terbuat dari bahan yang sama, berat butir batu di lapis lindung kedua,

yang berada antara -1,5H dan -2,0H; adalah lebih besar dari W/2. Di

bawah -2,0H; berat butir batu berkurang menjadi sekitar W/15. Lapis

pelindung kedua (Gambar 2.15) yang terletak dari -1,5H sampai dasar

mempunyai tebal yang sama atau lebih tebal dari lapis pelindung

pertama.

Lapis bawah pertama yang berada di bawah lapis pelindung

pertama mempunyai tebal dua lapis batu (n = 2) seperti terlihat dalam

Gambar 2.15. dan 2.16. Untuk perencanaan awal berat batu pada lapis

36

tersebut sekitar W/10 jika lapis pelindung dan lapis bawah pertama

terdiri dari batu pecah, atau lapis bawah kedua dari batu pecah sedang

lapis pelindung dari batu buatan dengan koefisien stabilitas KD<12.

Apabila lapis pelindung adalah batu buatan dengan nilai KD > 12,

seperti dolos dan tribar, berat butir batu lapis bawah pertama adalah

sekitar W/5. Ukuran yang lebih besar akan lebih baik karena dapat

meningkatkan kaitan antara lapis bawah pertama dan batu pelindung.

Gelombang yang bekerja pada bangunan dari tumpukan batu

dapat menimbulkan turbulensi di dalam bangunan dan tanah dasar

yang dapat menyebabkan tertariknya butir-butir pasir/tanah ke dalam

rongga antara butir batu dari bangunan. Pada revetmen dan dinding

pantai yang ditempatkan di pantai yang miring dan tebing harus

mampu menahan tekanan air tanah yang dapat menyebabkan butir-

butir pasir/tanah lepas/keluar melalui rongga-rongga antara tumpukan

batu. Keadaan tersebut juga dapat menyebabkan turunnya batu-batu

dari bangunan pantai. Apabila batu-batu besar dari bangunan pantai

ditempatkan langsung pada tanah fondasi yang berupa pasir dengan

kedalaman di mana pengaruh gelombang dan arus cukup besar seperti

yang terjadi di surf zone, batu-batu tersebut akan turun ke dalam pasir.

Penurunan tersebut terjadi sampai suatu kedalaman di mana pasir tidak

lagi dipengaruhi oleh gelombang dan arus. Dengan demikian

diperlukan batu dalam jumlah besar untuk mengantisipasi hilangnya

batu-batu tersebut karena penurunan. Untuk mengurangi penurunan

berlebihan yang disebabkan oleh beberapa hal tersebut di atas, maka

dasar fondasi perlu diberi filter geotextile atau lapisan yang terdiri dari

batu-batu kecil (bedding layer).

2.3.5 Run-up gelombang

Pada waktu gelombang menghantam suatu bangunan,

gelombang tersebut akan naik (run-up) pada permukaan bangunan

(Gambar 2.17). Elevasi (tinggi) bangunan yang direncanakan

tergantung pada run-up dan limpasan yang diijinkan. Run-up

tergantung pada bentuk dan kekasaran bangunan, kedalaman air pada

kaki bangunan, kemiringan dasar laut di depan bangunan, dan

karakteristik gelombang. Karena banyaknya variabel yang

37

berpengaruh, maka besarnya run-up sangat sulit ditentukan secara

analitis.

Gambar 2.17 Run-up gelombang

Berbagai penelitian tentang run-up gelombang telah dilakukan

di laboratorium. Hasil penelitian tersebut berupa grafik-grafik yang

dapat digunakan untuk menentukan tinggi run-up. Gambar 2.18.

adalah hasil percobaan di laboratorium yang dilakukan oleh Irribaren

untuk menentukan besar run-up gelombang pada bangunan dengan

permukaan miring untuk berbagai tipe material, sebagai fungsi

bilangan Irribaren untuk berbagai jenis lapis lindung yang mempunyai

bentuk berikut :

5,0

0/ LH

tgIr

(2.26)

Keterangan :

Ir : bilangan Irribaren

θ : sudut kemiringan sisi pemecah gelombang

H : tinggi gelombang di lokasi bangunan

L0 : panjang gelombang di laut dalam

Grafik tersebut juga dapat digunakan untuk menghitung run

down (Rd) yaitu turunnya permukaan air karena gelombang pada sisi

pemecah gelombang.

Kurva pada Gambar 2.18. tersebut mempunyai bentuk tak berdi-

mensi untuk run-up relatif Ru/H atau Rd/H sebagai fungsi dari bilangan

Irribaren, di mana Ru dan Rd adalah run-up dan run-down yang

dihitung dari muka air laut rerata.

38

2.3.6 Stabilitas Fondasi Tumpukan Batu dan Pelindung Kaki

Tumpukan batu juga digunakan sebagai fondasi dan pelindung

kaki bangunan pantai. Sebagai fondasi, bangunan pantai dari block

beton, kaison atau buis beton ditempatkan di atas tumpukan batu

seperti terlihat dalam Gambar 2.19.a. Sedang tumpukan batu sebagai

pelindung kaki ditempatkan di depan bangunan yang berfungsi

melindungi tanah fondasi terhadap gerusan akibat gelombang, seperti

ditunjukkan dalam Gambar 2.19.b. Stabilitas bangunan tergantung

pada kemampuan fondasi terhadap erosi yang ditimbulkan oleh

serangan gelombang-gelombang besar. Gelombang rencana untuk

menghitung berat batu fondasi dan pelindung kaki sama dengan yang

digunakan untuk perencanaan bangunannya.

Berat butir batu untuk fondasi dan pelindung kaki bangunan

diberikan oleh persamaan berikut :

33

3

1rs

r

SN

HW

(2.27)

Gambar 2.18 Grafik Run-up gelombang

39

Gambar 2.19 Fondasi (a) dan pelindung kaki (b) dari tumpukan batu

Keterangan :

W : berat rerata butir batu (ton)

γr : berat jenis batu (ton/m3)

H : tinggi gelombang rencana (m)

Sr : perbandingan antara berat jenis batu dan berat jenis air laut

= γr/γa

γa : berat jenis air laut (1,025 ~ 1,03 ton/m3)

Ns : Angka stabilitas rencana untuk fondasi dan pelindung kaki

bangunan seperti diberikan dalam Gambar 2.20.

Gelombang dan arus menyerang bangunan pantai dapat

menyebabkan terjadinya erosi pada tanah fondasi di depan kaki

bangunan. Untuk itu perlu diberikan perlindungan pada bagian tersebut

yang berupa tumpukan batu, seperti terlihat dalam Gambar 2.21. Berat

butir batu pelindung kaki tersebut dapat dihitung dengan menggunakan

Persamaan (2.27).

40

Gambar 2.20 Angka stabilitas Ns untuk fondasi dan pelindung kaki

Gambar 2.21 Pelindung kaki bangunan

2.3.7 Analisis Transpor Sedimen Pantai

41

Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di dasar

pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang

dibangkitkannya. Transpor sedimen pantai dapat diklasifikasikan

menjadi transpor menuju dan meninggalkan pantai (onshore-offshore

transport) dan transpor sedimen sepanjang pantai (longshore

transport). Transpor angkutan sedimen di daerah aliran pantai sangat

menentukan efektifitas kegiatan maupun dalam mempertahankan

kestabilan garis pantai. Hal ini sebaiknya ditinjau dari daerah surf zone

dikarenakan di daerah ini pada umumnya sangat efektif terjadi

interaksi antara gelombang, arus, angin, dan sedimen.

A. Angkutan Sedimen Menuju-Meninggalkan Pantai

Angkutan menuju dan meninggalkan pantai mempunyai arah

rata-rata tegak lurus garis pantai. Pengangkutan sedimen dibedakan

menjadi dua, yaitu : onshore transport dan offshore transport.

Onshore transport (Son) adalah angkutan sedimen tegak lurus

pantai dimana pergerakan sedimen adalah masuk ke arah pantai.

Sedangkan offshore transport (Sof) angkutan sedimen tegak lurus

pantai dimana pergerakan sedimen adalah menuju ke arah laut.

Pada saat terjadi angkutan sedimen tegak lurus pantai dan diikuti

dengan gelombang normal maka pantai berada dalam kondisi stabil

dinamis.

B. Angkutan Sedimen Sepanjang Pantai

Angkutan sedimen sepanjang pantai mempunyai arah rata-

rata sejajar pantai. Angkutan sedimen sejajar pantai disebabkan

oleh gelombang dan arus sejajar pantai. Hal ini disebabkan karena

bergolaknya sedimen pada saat gelombang pecah, lalu bergerak

terbawa arus dan komponen gelombang sejajar pantai. Angkutan

sedimen ini mempengaruhi perubahan garis pantai.

Rumus yang digunakan untuk angkutan sedimen sepanjang

pantai adalah rumus CERC yang memperhitungkan sifat-sifat

sedimen dasar (Yuwono, 1992) :

S = 0,44 . 106. 𝐻𝑜2

. Co . 𝐾𝑟𝑏𝑟2. 𝑆𝑖𝑛 á𝑏𝑟 . 𝐶𝑜𝑠 á𝑏𝑟 (2.28)

Keterangan :

42

S = Angkutan sedimen sepanjang pantai (m3/tahun)

Krbr2 = Koefisien Refraksi di sisi luar breaker zone

Ho = Tinggi gelombang (m)

Co = Kecepatan gelombang (m/det)

αbr = Sudut datang gelombang pecah

C. Muara Sungai

Muara sungai berfungsi pengeluaran/pembuangan debit

sungai terutama pada waktu banjir kelaut. Karena letaknya yang

berada pada ujung hilir, maka debit aliran dimuara lebih besar

dibanding pada tampang sungai disebelah hulu. Disamping itu

muara sungai juga harus melewatkan debit yang ditimbulkan oleh

pasang surut yang bisa lebih besar dari debit sungai. Sesuai dengan

fungsinya tersebut muara sungai harus lebar dan dalam.

D. Morfologi Muara Sungai

Muara sungai dapat dibedakan kedalam tiga kelompok, yang

tergantung pada faktor dominan yang mempengaruhinya. Ketiga

faktor tersebut adalah gelombang, debit sungai dan pasang surut.

(Yuwono N, 1994).

1. Muara Yang Didominasi Gelombang Laut

Gelombang besar yang terjadi pada pantai berpasir dapat

menimbulkan angkutan (transpor) sedimen (pasir), baik dalam

arah tegak lurus maupun sejajar sepanjang pantai. Dari kedua

jenis transpor tersebut, transpor sedimen sepanjang pantai

adalah yang paling dominan. Transpor sedimen sepanjang

pantai terdiri dari dua komponen yaitu transpor sedimen dalam

bentuk mata gergaji di garis pantai dan transpor sepanjang

pantai di surf zone. Angkutan sedimen tersebut dapat bergerak

masuk ke muara sungai dan karena di daerah tersebut kondisi

gelombang sudah tenang maka sedimen akan mengendap.

Banyaknya endapan tergantung pada gelombang dan

ketersediaan sedimen (pasir) di pantai. Semakin besar

43

gelombang maka semakin besar angkutan sedimen dan

semakin besar yang mengendap di muara.

2. Muara Yang Didominasi Debit Sungai

Muara ini terjadi pada sungai dengan debit sepanjang

tahun cukup besar dan bermuara dilaut dengan gelombang

relatif kecil. Sungai tersebut membawa angkutan sedimen dari

hulu cukup besar. Sedimen yang sampai dimuara sungai

merupakan sedimen suspensi dengan diameter partikel sangat

kecil, yaitu dalam beberapa mikron. Sifat-sifat partikel kohesif

ini lebih tergantung pada gaya-gaya permukaan daripada gaya

berat, yang berupa gaya tarik menarik dan gaya tolak menolak.

Mulai salinitas air sekitar 1 sampai 3 % , gaya tolak menolak

antara partikel berkurang dan partikel tersebut akan bergabung

membentuk flokon dengan diameter jauh lebih besar dari

partikel individu. Demikian juga kecepatan endapannya

meningkat tajam. Pada waktu air surut sedimen tersebut akan

terdorong kemuara dan menyebar dilaut. Selama periode

sekitar titik balik dimana kecepatan aliran kecil, sebagian

suspensi mengendap. Saat berikutnya dimana air mulai pasang,

kecepatan aliran bertambah besar dan sebagian suspensi dari

laut masuk kembali ke sungai bertemu kembali dengan

sedimen yang berasal dari hulu. Selama periode titik balik ke

air pasang maupun air surut kecepatan aliran bertambah

sampai mencapai maksimum dan kemudian berkurang lagi.

3. Muara Yang Didominasi Pasang Surut

Apabila tinggi pasang surut sudah cukup besar, volume

air pasang yang masuk ke sungai sangat besar. Air tersebut

akan berakumulasi dengan air dari hulu sungai. Pada waktu air

surut, volume air yang sangat besar tersebut mengalir keluar

dengan periode waktu tertentu yang tergantung pada tipe

pasang surut.

44

E. Prisma Pasang Surut

Dalam kaitan dengan permasalahan dimuara sungai dikenal

suatu parameter yang disebut dengan prisma pasang surut (tidal

prism). Prisma pasang surut dimuara sungai diidentifikasikan

sebagai volume air dari laut yang masuk atau keluar dari sungai

melalui mulut sungai antara titik balik air surut (low water slack)

dan titik balik air pasang (high water slack) berikutnya atau

sebaliknya. Prisma pasang surut dapat dihitung dengan persamaan

berikut ini :

𝑇𝑝 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑇𝑠

𝑃 = ∫ 𝑄 (𝑡)𝑑𝑡0

(2.29)

Keterangan :

P = Prisma pasang surut

Tp = Periode air pasang

TQ(t) = Debit yang lewat Sungai

T = Periode pasang surut = Tp + Ts

Prisma pasang surut dapat didekati dengan rumus berikut ini :

𝑃 = 𝑄 𝑚𝑎𝑥.𝑇

ð.𝐶𝑘 (2.30)

Keterangan :

Q max = Debit maksimum

Ck = Faktor loreksi yang besarnya antara 0.811 dan 0.999

F. Sifat-Sifat Morfologi Muara Sungai

Muara sungai terletak di bagian hilir dari daerah aliran

sungai, yang menerima masukan debit di ujung hulunya. Pada

periode pasang muara sungai juga menerima debit aliran yang

ditimbulkan oleh pasang surut. Evaluasi dari beberapa muara

sungai menunjukkan bahwa lebar dan luas tampang aliran muara

sungai merupakan fungsi eksponensial menurun terhadap jarak

yang diukur dari laut, dan mempunyai bentuk berikut ini :

bx = boe-klx (2.31)

Ax = Aoe-2kx (2.32)

45

Keterangan :

bo = Lebar muara

bx = Lebar pada x km dari muara

Ao = Luas tampang aliran di mulut muara

Ax = Luas tampang aliran pada x km dari mulut Sungai

L = Panjang estuari

k1, k2 = Koefisien yang tergantung pada estuari

G. Stabilitas Mulut Sungai

Faktor penting yang menentukan pembentukan mulut sungai

adalah prisma pasang surut dan transpor sedimen sepanjang pantai

total, yang dinyatakan dalam bentuk P/Mtot. Mtot tersebut adalah

jumlah transpor sedimen netto dari berbagai arah gelombang

datang di pantai yang ditinjau (m3/tahun)

Tabel 2. 4 Stabilitas mulut sungai berdasarkan P/Mtot

(Triatmodjo B, 1999)

H. Analisis Debit Rata-Rata Sungai

Hitungan debit rata-rata sungai dilakukan untuk menentukan

aliran air rata-rata yang mengalir karena hujan yang turun pada

masing-masing DAS yang bersangkutan. Data ini selanjutnya

menjadi acuan dalam perhitungan laju angkutan sedimen sungai

yang mengalir menuju pantai.

S = PM/Mtot Stabilitas

S > 150 Kondisi relatif baik,bar kecil dan

penglontoran baik

100 < S < 150 Kondisi menjadi kurang baik,

pembentukan offshore menjadi lebih

berat

50 < S < 100 Bar dapat lebih besar, tetapi biasanya

terdapat alur melalui bar

20 < S < 50 Mulut sungai tertutup pada musim

kemarau dan terbuka pada saat musim

penghujan

S < 20 Mulut sungai tidak stabil dan sangat

sering tertutup

46

Analisis yang dilakukan mengacu pada PSA-003 tentang

pedoman perkiraan tersedianya air yang dikeluarkan oleh

Departemen Pekerjaan Umum.

Perhitungan debit rata-rata adalah sebagai berikut :

𝑄 = 𝐴𝑟𝑒𝑎 (𝐴𝐴𝑅−𝐿

1000 𝑥 31.56) (2.33)

Keterangan :

Q = Debit rata-rata sungai (m3/detik)

AAR = Curah hujan rata-rata tahunan jangka panjang (mm)

L = Kehilangan air rata-rata tahunan yang diharapkan (mm)

Area = Luas catchment area (km2)

2.3.8 Analisis Refraksi/Difraksi

A. Refraksi

Refraksi adalah peristiwa berubahnya arah perambatan dan

tinggi gelombang akibat perubahan dasar laut. Pada perairan

dalam, gelombang laut tidak merasakan pengaruh dasar laut

karena jarak vertikal yang jauh antara permukaan laut tempat

gelombang beraksi dan dasar laut.

Semakin dangkal perairan, pengaruh dasar laut semakin

dirasakan oleh gelombang, pengaruh mana antara lain berbentuk

refraksi. Jadi refraksi merupakan fenomena perairan dangkal.

Parameter-parameter yang penting dalam analisis refraksi

gelombang adalah :

Ks = Koefisien pendangkalan

Kr = Koefisien Refraksi

Sehingga tinggi gelombang yang terjadi pada perairan

dangkal (H) dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :

H = Ho.Ks.Kr (2.34)

Sudut Arah Datang Gelombang.

sin á = (𝐶

𝐶0) . 𝑆𝑖𝑛á0 (2.35)

47

Keterangan :

α = Sudut antara garis puncak gelombang dan garis kontur

dasar laut di titik yang ditinjau.

α 0 = Sudut antara garis puncak gelombang di laut dalam dan

garis pantai

C = Cepat rambat gelombang di kedalaman tertentu (m/dt)

C0 = Cepat rambat gelombang di laut dalam (m/dt)

a. Koefisien Pendangkalan

Koefisien pendangkalan Ks merupakan fungsi panjang

gelombang, kedalaman air, sehingga dapat ditulis dengan

persamaan :

𝐾𝑠 = √𝑛𝑜 .𝐿𝑜

𝑛.𝐿 (2.36)

Keterangan :

Ks = Koefisien Shaoling

no = Kelompok gelombang di laut. Nilai = 0.5

Lo = Panjang gelombang di laut dalam

L = Panjang gelombang di kedalaman tertentu

n = Tabel

b. Koefisien Refraksi

Analisis refraksi dapat dilakukan dengan cara analitis apabila

garis kontur lurus dan saling sejajar dengan menggunakan

Hukum Snell langsung.

𝐾𝑟 = √cos á0

cos á (2.37)

Keterangan :

Kr = Koefisien Refraksi

α = Sudut antara garis puncak gelombang dengan garis

kontur dasar laut di titik yang ditinjau.

α0 = Sudut antara garis puncak gelombang di laut dalam

dan garis pantai.

48

c. Tinggi Gelombang

Ho = Ks.Kr.Hs (2.38)

Keterangan :

Ho = Tinggi gelombang di kedalaman tertentu

Hs = Gelombang Signifikan

Ks = Koefisien Shaoling

Kr = Koefisien Refraksi

d. Tinggi Gelombang Laut Dalam Ekivalen

H’o = Kr.Ho (2.39)

Keterangan :

H’o = Tinggi gelombang ekivalen (m)

Kr = Koefisien Refraksi

Ho = Tinggi gelombang di kedalaman tertentu (m)

B. Difraksi

Difraksi adalah peristiwa transmisi energi gelombang

kearah samping (lateral) dari arah perambatan gelombang mula-

mula. Peristiwa ini terjadi apabila terdapat bangunan laut yang

menghalangi perambatan gelombang. Pada bagian perairan yang

terlindung oleh bangunan laut, tetap terbentuk gelombang akibat

transmisi lateral tadi.