Upload
dokhanh
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Ikan nila dikenal sebagai ikan yang rakus, omnivora dan dapat hidup di
mana-mana, baik dataran rendah maupun dataran tinggi, di air tawar maupun di
air payau (Asmawi 1983). Klasifikasi ikan nila menurut Saanin (1984) adalah :
Kelas : Osteichthyes
Sub-kelas : Acanthoptherigii
Ordo : Percomorphi
Sub-ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus.
Gambar 1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Pertumbuhan ikan nila cepat pada ekologi yang baik dan bentuk tubuhnya
relatif lebih lebar. Tetapi karena terlalu sering berkembang biak, kebanyakan ikan
nila hanya dapat mencapai berat antara 80 gram sampai 140 gram per ekor. Jika
dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya, seperti ikan mas, ikan mujair dan tawes,
dimana waktu dan cara pemeliharaannya sama, ikan nila dapat mencapai berat dan
ukuran yang lebih besar. Dalam masa pemeliharaan 5 bulan ikan nila sudah
mencapai berat 120 gram per ekor, sedangkan ikan mas 90 gram dan ikan tawes
8
80 gram, tetapi ikan mujair jauh lebih lambat, yaitu hanya 40 gram per ekor
(Asmawi 1983).
Ikan nila memiliki ciri khusus yang dapat dibedakan dengan ikan tawes
dan ikan mas, yaitu ada garis-garis vertikal pada bagian sirip punggung (dorsal)
dan sirip ekor (caudal). Komposisi kimia ikan nila per 100 gram daging dapat
dilihat pada Tabel 1 menunjukan bahwa ikan nila memiliki kandungan lemak
yang cukup rendah (2,7%) dan kandungan protein yang cukup tinggi (17,8%)
sehingga cocok sebagai bahan dasar dalam pembuatan tepung ikan untuk pangan.
Tabel 1. Kandungan Kimia Ikan Nila per 100 gram daging
Kandungan Kimia Persentase (%)
Protein kasar 17,8
Lemak kasar 2,7
Air 77,8
Abu 1,2
Sumber: Kusumawardhani (1988)
Hal ini menandakan bahwa ikan baik dikonsumsi oleh semua golongan
usia mulai dari bayi hingga lansia. Sistem pencernaan pada usia balita belum
sesempurna orang dewasa sehingga pola makan harus dijaga. Sedangkan untuk
lansia telah mengalami penurunan sistem pencernaan mengakibatkan tidak semua
makanan yang masuk ke dalam tubuh dapat diolah dengan baik.
2.2 Tepung Ikan
Tepung ikan (fish flour) adalah produk padat kering yang dihasilkan
dengan cara mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian lemak atau seluruhnya
dalam daging ikan yang terkandung dalam tubuh ikan (Ilyas 1977). Pembuatan
tepung ikan sebenarnya dapat menggunakan semua jenis ikan tetapi pada
umumnya hanya ikan pelagis dan demersal saja yang banyak digunakan sebagai
bahan baku pembuatan tepung ikan. Tepung ikan akan bermutu baik apabila
bahan baku yang digunakan adalah ikan yang berkadar lemak rendah, jika
sebaliknya yaitu ikan berkadar lemak tinggi maka tepung ikan yang dihasilkan
9
berkadar lemak tinggi pula sehingga dapat mempercepat terjadinya ketengikan
(Afrianto dan Liviawaty 1993).
Tepung ikan yang diterima sebagai bahan pangan adalah tepung ikan yang
tidak berasal dari bahan mentah yang kurang layak seperti isi perut, insang, sisik
dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena ketidakstabilan cita rasanya lebih
rendah. Daging, ikan, telur dan produk-produk ternak lainnya dapat digunakan
sebagai pelengkap kekurangan gizi dari serealia karena mampu memberikan
protein bermutu tinggi sehingga perlu adanya penganekaragaman produk,
misalnya dengan mencampurkan produk-produk seperti mie, biskuit dan roti serta
produk-produk lain dari serealia dengan protein bermutu tinggi, murah, dapat
diawetkan dan dimantapkan untuk mempertahankan kebutuhan tersebut karena
tidak ada protein hewani kering lainnya kecuali susu rendah lemak (Buckle et al.
1985).
Tepung ikan yang dikonsumsi manusia sebaiknya diolah dengan cara yang
tepat. Dengan bahan baku yang baik dan pengolahannya yang tepat diharapkan
tepung ikan yang dihasilkan dapat memenuhi selera konsumen sehingga dapat
digunakan sebagai salah satu sumber pangan. Pengolahan tepung ikan harus
memperhatikan kondisi kebersihan, standar mutu tepung ikan dan cara
pengepakan yang baik sehingga terhindar dari kontaminasi yang mengakibatkan
oksidasi maupun dari serangan-serangga (Yunawati 2002).
Tepung ikan mempunyai kandungan protein yang tinggi dan merupakan
salah satu zat gizi yang penting yang dibutuhkan oleh tubuh manusia (Kulikov
1971). Kandungan gizi atau komposisi kimiawi tepung ikan berbeda-beda
tergantung pada bahan baku yang digunakan. Komposisi tersebut ditentukan oleh
jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya (Dwiyitno
1995).
Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut: butir-butirannya agak seragam, bebas dari sisa tulang, mata ikan dan
benda-benda asing lainnya. Tepung ikan yang dibuat dari bahan offal (sisa dari
industri filet ikan) akan mempunyai kadar protein yang lebih rendah dan kadar
mineral yang lebih tinggi daripada tepung ikan yang dibuat dari filet ikan utuh.
10
Cara pengolahan secara tradisional dan modern memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap kadar protein tepung ikan (Moeljanto 1992).
Secara umum tepung ikan pangan dikategorikan sebagai Fish Protein
Concentrate (FPC) atau Konsentrat Protein Ikan (KPI) yang memiliki tipe A, B
dan C. Dari ketiga tipe ini yang digunakan untuk pangan adalah tipe A dan B,
sementara tipe C dimanfaatkan untuk pakan. FAO telah menentukan spesifikasi
untuk FPC, hal ini dipandang penting supaya mutu FPC yang dikonsumsi manusia
dapat terjamin (Buckle et al. 1985). Persyaratan FPC dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 . Standar Tepung Ikan menurut FAO
Kandungan Tipe A Tipe B Tipe C
Protein, min (%) 67,5 65,0 60,0
Daya cerna pepsin, min (%) 92,0 92,0 92,0
Lisin, min (%) dari protein 6,5 6,5 6,5
Air, maks (%) 10,0 10,0 10,0
Lemak, maks (%) 0,7 3,0 10,0
Klorida, maks (%) 1,5 1,5 2,0
SiO2, maks (%) 0,5 0,5 0,5
Bau dan rasa lemah
Tidakada
spesifikasi
Tidak ada
spesifikasi
Sumber: FAO (1964) dalam Buckle et al.(1985)
Mutu tepung ikan terutama ditentukan oleh kadar protein. Pada umumnya,
semakin tinggi kadar protein kasar tepung ikan, maka semakin tinggi harga
jualnya. Tepung ikan impor biasanya berkualitas baik, karena kandungan protein
kasarnya berkisar antara 60-74% dengan kadar lemak berkisar antara 6-10%.
Tepung ikan produksi lokal umumnya mengandung protein kasar berkisar antara
31,72-57,02% kadar lemak berkisar antara 4,57-20,68% dan kadar air berkisar
antara 7,33-11,16% (Purnamasari dkk. 2006).
Penggolongan teknologi pengolahan tepung ikan didasarkan pada proses
pemasakan dan pengeringan bahan mentah ikan. Terdapat dua metode utama
pengolahan tepung ikan yang telah diterapkan secara komersial, yaitu pengolahan
11
sistem basah dan pengolahan sistem kering. Proses pengolahan sistem basah
digunakan terutama untuk produksi tepung ikan dengan bahan mentah ikan
berlemak tinggi (>5%). Metode ini telah diterapkan secara luas dan yang paling
umum dijumpai pada pengolahan tepung ikan. Proses pengolahan sistem basah,
meliputi pengukusan, pengepresan, pengeringan, penggilingan hingga diperoleh
tepung ikan kering. Proses pengolahan sistem kering dipergunakan untuk bahan
mentah ikan yang mengandung kadar lemak rendah (<5%). Proses pengolahan
sistem kering meliputi penggilingan kasar, pengeringan, pengepresan dan
penggilingan (Irianto dan Giyatmi 2002).
2.3 Protein
Protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena
selain berfungsi sebagai penghasil energi dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat
untuk pengatur, pembangun, pertumbuhan, pemeliharaan serta perbaikan tubuh
dan fungsi-fungsi tubuh. Sifat protein sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim.
Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk sel-sel dan jaringan
dalam tubuh. Selain itu, protein juga berperan dalam proses pertumbuhan,
pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh yang mengalami kerusakan (Winarno
1997)
Protein merupakan senyawa kimia utama dan merupakan bagian terbesar
dari daging ikan dalam keadaan berat kering selain lemak, air dan beberapa jenis
mineral. Daging ikan juga mengandung produk metabolisme dari protein dan
lemak, serta beberapa bahan khusus yang berpengaruh terhadap kerja tubuh
sehari-hari, seperti fosfatida, sterol, vitamin, enzim serta berbagai jenis hormon
(Zaitsev et al. 1969).
Menurut Afrianto dan Liviawaty (2002), bahwa ikan merupakan salah satu
bahan pangan yang banyak mengandung protein. Protein ikan sangat diperlukan
oleh manusia karena selain mudah dicerna juga mengandung asam amino dengan
pola hampir sama dengan pola asam amino yang terdapat di dalam tubuh manusia.
Menurut Sudarmadji dkk (1999) protein sangat penting dalam pembentukan sel-
sel baru oleh sebab itu apabila organisme kekurangan protein dalam bahan
12
makanannya maka organisme tersebut akan mengalami hambatan dalam proses
biokimiawinya.
Secara umum, daging ikan memiliki komposisi protein sebesar 15-25%
dari berat total daging ikan. Molekul protein terutama terdiri dari asam amino
yang merupakan senyawa organik yang mengandung satu atau lebih gugus amino
dan satu atau lebih gugus karboksil. Asam amino penting yang harus ada dalam
konsumsi makanan sehari-hari dan tidak dapat disintesis oleh tubuh dikenal
dengan istilah asam amino esensial. Protein daging ikan mengandung asam amino
esensial, yaitu valin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, methionine, threonine,
triptofan dan fenilalanin (Irianto dan Giyatmi 2002).
Kebutuhan tubuh manusia terhadap asam amino esensial dapat dipenuhi
dari protein yang terkandung di dalam makanan yang dimakan. Tanaman pangan
sering kekurangan satu atau lebih asam amino esensial sehingga perlu
digabungkan dengan bahan protein lainnya. Dengan demikian, bahan satu dan
lainnya akan saling menutupi dan melengkapi kekurangan dari satu protein
dengan asam amino sejenis yang berlebihan pada protein lain (Wirakusumah
2007).
WHO (World Health Organization) (1985) mengungkapkan bahwa
protein yang berasal dari hewan seperti susu, daging, telur, keju dan unggas
mengandung asam amino dalam kadar yang cukup. Sedangkan protein yang
berada dalam kandungan sayur-sayuran memiliki kadar yang terbatas. Kandungan
protein ikan terdiri dari berbagai asam amino yang hampir seluruhnya dibutuhkan
oleh manusia.
Protein hewani yang dibutuhkan setiap manusia sangat bervariasi
tergantung pada umur, jenis kelamin dan banyak aktivitas yang dilakukan
(Afrianto dan Liviawaty 2002). Protein hewani yang berasal dari ikan yang
diperlukan manusia berbeda-beda tergantung dari usia, usia anak-anak
memerlukan protein lebih rendah daripada orang dewasa (Tabel. 3)
13
Tabel 3. Kebutuhan Manusia akan Protein dan Daging Ikan
Usia Protein (g/hari) Daging ikan (g/hari)
Anak-anak 25-40 125-200
Laki-laki dewasa 50-60 250-325
Wanita dewasa 50-55 250-275
Wanita hamil 60-75 300-375
Wanita menyusui 75-80 375-400
Sumber: Majalah Pertanian No.1 Tahun 1978 dalam Afrianto dan Liviawaty
(2002)
Protein ikan secara umum dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya
yaitu protein yang mudah larut dalam air, protein yang tidak dapat larut dalam air,
protein yang sukar larut dalam air dan protein yang hanya dapat larut pada air
yang memiliki kekuatan ion yang tinggi (Winarno 2002). Berdasarkan lokasi
terdapatnya dalam daging, protein digolongkan menjadi protein sarkoplasma,
myofibril dan jaringan ikat atau stroma (Hadiwiyoto 1993). Suzuki (1981)
menyatakan bahwa konsumsi kandungan sarkoplasma 18-20%, miofibril 65- 80%,
dan stroma 3-5%. Protein merupakan komponen terbanyak pada ikan setelah air.
2.3.1 Protein Sarkoplasma
Protein sarkoplasma merupakan protein yang dapat larut dalam air atau
larutan garam netral dan secara normal ditemukan dalam plasma sel. Peranannya
sebagai enzim yang diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot (Mackie
1992). Protein sarkoplasma merupakan berat molekul relatif rendah dan
strukturnya berbentuk globular. Sifak fisik tersebut erat kaitannya dengan
kelarutan protein dalm air dan larutan garam.
Protein sarkoplasma yang paling penting adalah mioglobin yang berperan
dalam warna merah pada daging. Kandungan protein sarkoplasma dalam daging
ikan tergantung dari jenis ikan, jumlah protein ini sebesar 18-20% dari kandungan
protein ikan. Adanya protein sarkoplasma ini akan mempengaruhi pembentukan
gel, sehingga gel menjadi tidak elastis akibat terhambatnya proses pembentukan
jembatan-jembatan antara protein myofibril (Hardoko 2005). Protein sarkoplasma
yang mengandung berbagai jenis protein yang larut dalam air disebut miogen.
14
Kandungan miogen dalam otot ikan tegantung pada spesiesnya, namun pada
umumnya kandungan miogen lebih tinggi pada ikan pelagis jika dibandingkan
dengan ikan demersal (Suzuki 1981).
2.3.2 Protein Myofibril
Protein myofibril dapat larut dalam garam (Suzuki 1981), protein
myofibril merupakan bagian terbesar dari daging ikan. Protein ini terdiri dari
protein aktin, myosin, aktomyosin dan protein regulasi seperti tropomiosin,
troponin dan aktinin (Hardoko 2005). Jumlah protein ini sebesar 65-80% dari
kandungan protein ikan. Daya gelasi (kemampuan membentuk gel) dari protein
myofibril ikan sangat diperlukan pada aplikasi produk-produk berbasis gel, seperti
bakso, surimi, sosis dan nugget (Subagio dkk. 2004). Protein myofibril berperan
dalam pembentukan gel, terutama dari fraksi aktomiosin. Aktomiosin merupakan
gabungan aktin dan miosin (Suzuki 1981).
Protein myofibril mempunyai peran dalam menentukan tekstur produk
yang diinginkan. Protein yang paling penting dalam proses pengolahan daging
adalah myosin karena myosin mempengaruhi pembentukan gel dan dapat
menghasilkan produk yang elastis (Syartiwidya 2003).
2.3.3 Protein Stroma
Komponen penyusun protein jaringan ikat (stroma) adalah kolagen dan
elastin. Protein stroma tidak larut dalam air walaupun pada cairan dengan
kekuatan ion tinggi (Watabe 1990). Protein stroma dalam industri pengolahan
pangan dapat mengganggu sifat fungsional daging yaitu dapat menyebabkan
turunnya kapasitas emulsi daging dengan mempengaruhi Water Holding Capacity
(WHC) daging. Jumlah protein ini sebesar 3-5% dari kandungan protein ikan.
Protein stroma memiliki nilai gizi yang rendah karena mengandung sedikit
asam amino esensial (Pomeranz 1991). Protein stroma dapat ditemui pada
sarkolema (Hadiwiyoto 1993). Pada pengolahan surimi, protein stroma tidak
dihilangkan, karena mudah dilarutkan oleh panas dan merupakan komponen netral
pada produk akhir.
15
2.4 Dodol
Dodol merupakan salah satu jenis produk olahan hasil pertanian yang
bersifat semi basah, berwarna putih sampai cokelat, dibuat dari campuran tepung
ketan, gula, dan santan. Pengolahan dodol sudah dikenal masyarakat, prosesnya
sederhana, murah dan banyak menyerap tenaga kerja (Soemaatmadja 1997).
Dodol terbuat dari daging buah matang yang dihancurkan, kemudian
dimasak dengan penambahan gula dan bahan makanan lainnya atau tanpa
penambahan bahan makanan lainnya. Sesuai dengan definisi tersebut maka dalam
pembuatan dodol buah-buahan diperbolehkan penambahan bahan lainnya seperti
tepung ketan, tepung tapioka. Bahan-bahan yang ditambahkan harus sesuai dan
tidak boleh lebih dari aturan yang berlaku (Satuhu dan Sunarmani 2004).
Makanan setengah basah adalah suatu makanan yang mempunyai kadar air
yang tidak terlalu rendah. Tetapi makanan ini dapat bertahan lama selama
penyimpanan oleh karena sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh pada aw 0,90
atau dibawahnya. Maka untuk membuat makanan setengah basah yang tahan lama
selama penyimpanan, selain kadar air dibuat menjadi 10-15%, juga aw makanan
harus dibawah 0,90 untuk mencegah pertumbuhan ragi dan kapang (Winarno
1980).
Pengolahan bahan pangan semi basah dikenal dua tipe kasar yaitu adsorbsi
dan desorbsi, pada tipe adsorbsi bahan dikeringkan sambil diamati dengan
penambahan kembali sampai diperoleh keseimbangan yang diinginkan, sedangkan
tipe desorbsi bahan dimasukkan dalam larutan yang mempunyai tekanan osmosa
yang lebih tinggi sampai diperoleh aw yang diinginkan (Ishak dan Sarinah 1985).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) definisi dodol adalah makanan yang
dibuat dari tepung beras ketan, santan kelapa, dan gula dengan atau tanpa
penambahan bahan makanan dan bahan lain yang diziinkan. Syarat mutu dodol
disajikan pada Tabel 4.
16
Tabel 4. Syarat Mutu Dodol Menurut SNI No. 01-2986-1992
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Bau - Normal/khas dodol
Rasa - Normal/khas dodol
Warna - Normal/khas dodol
Kadar air %bb Maksimum 20
Jumlah gula sebagai sukrosa %bb Minimal 45
Protein (Nx6,23) %bb Minimal 3
Lemak %bb Minimal 3
Bahan Tambahan Makanan - Sesuai dengan SNI 0222-M dan
Peraturan Menteri Kesehatan
No.722/Menkes/Per/Lx/88
Pemanis buatan - Tidak nyata
Cemaran logam
- Timbal (Pb) Mg/kg Maksimum 1,0
- Tembaga (Cu) Mg/kg Maksimum 10,0
- Seng (Zn) Mg/kg Maksimum 40,0
- Arsen (As) Mg/kg Maksimum 0,5
Cemaran Mikroba
- Angka lempeng total Koloni Maksimum 5,0x102
- E.Coli APM/g 3
- Kapang dan Khamir Koloni/g Maksimum 1,0x102
Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1992)dalam Satuhu dan Sunarmani (2004)
Menurut Ilma (2010), hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan
dodol yaitu:
1. Bahan-bahan dicampur bersama dalam kuali yang besar dan dimasak
dengan api sedang.
2. Dodol yang dimasak tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan, karena jika
dibiarkan begitu saja, maka dodol tersebut akan hangus pada bagian
bawahnya dan akan membentuk kerak. Oleh sebab itu, dalam proses
pembuatannya campuran dodol harus diaduk terus menerus untuk
mendapatkan hasil yang baik. Waktu pemasakan dodol kurang lebih
membutuhkan waktu 2-3 jam pada suhu 80-900C dan jika kurang dari itu,
dodol yang dimasak akan kurang enak untuk dimakan.
3. Setelah 2 jam, pada umumnya campuran dodol tersebut akan berubah
warnanya menjadi cokelat pekat. Pada saat itu juga campuran dodol tersebut
akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara yang
terbentuk tidak meluap keluar dari kuali sampai saat dodol tersebut harus
didinginkan dalam periuk yang besar. Untuk mendapatkan hasil yang baik
17
dan rasa yang sedap, dodol harus berwarna cokelat tua, berkilat dan pekat.
Setelah itu, dodol tersebut bisa dipotong dan dimakan.
2.4.1. Bahan Tambahan
a. Tepung Beras Ketan (Oryza sativa glutinous)
Beras ketan (Oryza sativa glutinous) termasuk serealia yang kaya akan
karbohidrat sehingga dapat digunakan sebagai makanan pokok manusia, pakan
ternak, dan industri yang menggunakan karbohidrat sebagai bahan bakunya.
Komponen kimia yang paling utama pada serealia adalah karbohidrat terutama
pati kira-kira 80% dari bahan kering (Sugiyono 2002).
Beras ketan (Oryza sativa glutinous) mengandung karbohidrat yang cukup
tinggi yaitu sekitar 80%. Selain karbohidrat, kandungan dalam beras ketan adalah
lemak sekitar 4%, protein 6%, dan air 10%. Karbohidrat di dalam tepung beras
terdapat 2 senyawa yaitu amilosa dan amilopektin dengan kadar masing-masing
sebesar 1% dan 99%. Di dalam proses pembuatan dodol selain tepung beras ketan
dalam adonan ditambahkan tepung terigu dengan maksud agar sifat gel dari dodol
dapat bertahan cukup lama (Ilma 2007).
Tepung beras ketan adalah salah satu jenis tepung yang berasal dari beras
ketan (Oryza sativa glutinous) yaitu varietas dari padi (Oryza sativa) famili
graminae yang termasuk dalam biji-bijian (cereals) yang ditumbuk atau digiling
dengan mesin penggiling (Damayanti 2000).
Tepung beras ketan memberi sifat kental sehingga membentuk tekstur
dodol menjadi elastis. Kadar amilopektin yang tinggi menyebabkan sangat mudah
terjadi gelatinisasi bila ditambah dengan air dan memperoleh perlakuan
pemanasan. Hal ini terjadi karena adanya pengikatan hidrogen dan molekul-
molekul tepung beras ketan (gel) yang bersifat kental (Siswoputranto 1989).
Rasio antara amilosa dan amilopektin berbeda untuk setiap pati. Pada
umumnya tergantung dari jenis tumbuhan asalnya. Kandungan amilopektin yang
tinggi pada beras akan menyebabkan beras menjadi lebih lekat dari beras yang
amilopektinnya kurang (Rubianty dan Berty 1985). Apabila kadar amilosa tinggi,
maka akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung meresap air lebih banyak
18
atau hidroskopis (Haryanto dan Philipus 1992).
Diantara sifat-sifat amilopektin yang sangat disukai oleh ahli pengolahan
adalah memiliki daya perekat yang tinggi, suhu gelatinisasi lebih rendah, tidak
mudah pecah atau rusak pada suhu rendah dan tidak mudah menggumpal pada
suhu normal (Collinson 1986).
Semakin tinggi kadar amilopektin dari suatu bahan makanan maka
kemampuan mengikat air semakin meningkat pula. Sehingga kadar air cenderung
menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi penambahan tepung beras
ketan. Hal ini terjadi karena adanya proses pengikatan air oleh gugus hidroksil
amilopektin dari tepung beras ketan yang ditambahkan (Siswoputranto 1989).
Pati yang dihasilkan dari ketan disebut dengan tepung ketan. Tepung ketan
dapat diperoleh dengan cara perendaman beras ketan selama 2-3 jam. Setelah itu
beras ketan dicuci bersih dan ditiriskan. Selanjutnya beras ketan digiling dan
diayak dengan ayakan berukuran 80 mesh sampai diperoleh tepung ketan yang
halus. Semakin halus tepung ketan yang digunakan maka semakin baik karena
akan mempercepat pengentalan dodol (Satuhu dan Sunarmani 2004). Komposisi
kimia tepung ketan dan tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Kimia Tepung Ketan dan Tepung Terigu
Komposisi Tepung Ketan (%) Tepung Terigu (%)
Karbohidrat 80 77
Lemak 4 1
Protein 8 11
Air 10 12
Sumber: Satuhu dan Sumarni (2004)
b. Gula
Gula merupakan senyawa organik yang penting sebagai bahan makanan,
karena gula dicerna dan di dalam tubuh sebagai sumber kalori. Disamping sebagai
bahan makanan, gula digunakan pula sebagai pengawet makanan, bahan baku,
alkohol dan pencampur obat-obatan. Gula merupakan senyawa kimia yang
termasuk karbohidrat, memiliki rasa manis dan larut dalam air (Gautara dan
Soesarsono 1981).
19
Gula termasuk ke dalam golongan senyawa yang disebut karbohidrat yang
terdiri dari tiga golongan yaitu monosakarida, disakarida, dan polisakarida.
Monosakarida adalah contoh gula sederhana yang merupakan turunan disakarida.
Apabila sukrosa dihidrolisis akan dihasilkan dua molekul gula sederhana yaitu
molekul glukosa dan atau molekul fruktosa. Gula dalam bentuk glukosa fruktosa,
sukrosa, maltose, dan laktosa adalah suatu bahan yang umum digunakan sebagai
pemanis. Kemanisan ini merupakan sifat gula yang dapat diukur secara subyektif
dan obyektif (Sugiyono 2002).
Gula disamping sebagai bahan pemberi rasa, juga dengan penambahan
gula berpengaruh pada kekentalan gel, sebab gula akan mengikat air, akibatnya
pengembangan pati menjadi lambat. Suhu gelatinisasi menjadi lebih tinggi,
menyebabkan gel lebih tahan dan awet (Sakidja et al. 1985).
Konsentrasi gula yang cukup tinggi (70%) sudah dapat menghambat
pertumbuhan mikroba, akan tetapi pada umumnya gula dipergunakan dengan
salah satu teknik pengawetan lainnya, misalnya dikombinasikan dengan keasaman
yang rendah, pasteurisasi, penyimpanan pada suhu rendah, pengeringan,
pembekuan dan penambahan bahan kimia seperti SO2, asam benzoat dan lain-lain
(Ishak dan Sarinah 1985).
Maksud penambahan gula, selain memberi rasa juga sebagai bahan
pengawet. Efek pengawet dari gula menurut Gautara dan Soesarsono (2005)
antara lain:
1. Kenaikan tekanan osmosis larutan sehingga dapat menyebabkan terjadinya
plasmolisis dari sel-sel mikroba, maka dengan berkurangnya air untuk
pertumbuhan mikroba, sel-sel mikroba akan mengering dan akhirnya akan
mati.
2. Memenuhi water activity dari bahan makanan sampai suatu keadaan dimana
pertumbuhan mikroba tidak mungkin lagi. Jenis gula yang digunakan dalam
pembuatan dodol yaitu gula pasir dan gula merah. Gula pasir adalah butiran
kecil seperti kristal yang terbuat dari proses hasil penggilingan tebu, berwarna
putih, kering, dan tidak kotor. Fungsi gula dalam pembuatan dodol yaitu
memberikan aroma, rasa manis pada dodol, sebagai pengawet dan membantu
20
pembentukan lapisan keras atau tekstur pada dodol. Gula merah merupakan
hasil nira kelapa. Dari segi aroma dan rasa, gula aren jauh lebih tajam dan
manis.
c. Santan
Hermana (1975) menyatakan bahwa santan adalah minyak dari buah
kelapa (Coccus nucifera L) yang diambil secara pengepresan daging buah
bersama air atau dengan penambahan air. Kelapa yang digunakan adalah buah
yang sudah tua agar diperoleh santan yang banyak.
Santan adalah cairan yang diperoleh dengan melakukan pemerasan
terhadap daging buah kelapa parutan. Santan merupakan bahan makanan yang
dipergunakan untuk mengolah berbagai masakan yang mengandung daging, ikan,
dan untuk pembuatan kue, es krim, dodol, dan gula-gula (Suhardiyono 1995).
Daging buah kelapa segar yang tua mempunyai kandungan air sekitar 50%
dan lemak 30% karena dalam pembuatan dodol air santan diuapkan, maka yang
menentukan produk akhir adalah minyaknya (Sudari 1984).
Santan yang digunakan dalam pembuatan dodol terdiri dari 2 macam yaitu
santan kental dan santan encer. Fungsi santan secara umum yaitu sebagai
penambah cita rasa dan aroma. Santan kental penting dalam pembuatan dodol
karena banyak mengandung lemak sehingga dihasilkan dodol yang mempunyai
cita rasa yang lezat dan membentuk tekstur kalis. Santan encer berfungsi untuk
mencairkan tepung, sehingga terbentuk adonan dan untuk melarutkan gula
(Satuhu 2004).
Minyak ini dalam pengolahan bahan makanan berfungsi sebagai media
penghantar panas pada waktu pemasakan. Menaikkan (polabilitas) kelezatan,
makanan dengan mempertinggi flavour, meminyaki makanan serta peralatan
sehingga adonan tidak lengket pada alat. Penambahan ini akan memperbaiki
kenampakan dodol dan lebih mengkilap. Semakin banyak santan yang
ditambahkan, maka kualitas dodol makin baik, yakni makin enak dan makin
lembut (Sudari 1984).
21
Emulsi ini relatif stabil karena adanya protein dan karbohidrat sebagai
stabilisator. Adanya penambahan air pada pembuatan santan, sangat
mempengaruhi komposisi santan, sedangkan jumlah air yang ditambahkan tidak
mempengaruhi kestabilan emulsi (Cheosakul 1967).
Pembuatan santan dapat dilakukan dengan cara kelapa dikupas kemudian
diambil dagingnya. Setelah itu daging buah dicuci dan diparut dengan alat parut
sederhana atau mesin pemarut kelapa. Kelapa yang sudah diparut tersebut
kemudian ditambah air hangat, lalu diremas-remas dan kemudian dilakukan
pemerasan. Perasan pertama akan diperoleh santan yang kental. Selanjutnya
ampas ditambahkan air kembali, kemudian diremas-remas dan diperas kembali
hingga diperoleh santan yang encer (Satuhu dan Sunarmani 2004). Nilai gizi
santan kelapa dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Gizi Santan Kelapa
Komponen Gizi Santan Murni (g) +Air (1:1)/(g)
Protein 4,20 2,00
Lemak 34,30 10,00
Karbohidrat 5,60 7,60
Air 54,90 80,00
pH 6,25
Sumber: Satuhu dan Sunarmani (2004)
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Dodol
Menurut Idrus (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dodol
adalah:
1. Penimbangan bahan
Proses penimbangan bahan harus dilakukan dengan tepat dan menggunakan
alat ukur yang standart. Penimbangan bahan yang dilakukan dengan tidak
tepat akan menyebabkan kegagalan dalam pembuatan dodol.
2. Kualitas bahan dan penggunaan bahan antara lain:
a. Tepung beras ketan
Tepung beras ketan dipilih tepung yang masih baru, tidak berbau apek dan
bersih. Apabila tepung ketan yang digunakan sudah lama dan berbau apek maka
akan berpengaruh terhadap rasa dan aroma dodol.
22
b. Gula
Gula yang digunakan dalam pembuatan yaitu gula kelapa atau gula pasir.
Gula yang digunakan dalam jumlah yang tepat dan sesuai dengan ukuran.
Penggunaan gula yang terlalu banyak akan menyebabkan warna dodol menjadi
cokelat kehitaman dan tekstur mejadi keras. Penggunaan gula yang kurang juga
akan mengakibatkan dodol dengan rasa kurang manis.
c. Santan
Santan dipilih dari kelapa yang sudah tua, santan masih segar dan bersih.
Penggunaan santan sesuai dengan ukuran. Penggunaan santan yang terlalu banyak
menyebabkan hasil dodol yang lembek dan cepat tengik. Penggunaan santan yang
kurang akan mengakibatkan rasa dodol kurang gurih dan tekstur dodol kurang
kalis.
d. Cara Memasak
Pemasakan dodol harus dilakukan dengan cara pengadukan sesering
mungkin. Pengadukan yang kurang menyebabkan kualitas dodol kurang baik,
kurang rata dan tidak kalis.
e. Lama Pemasakan
Waktu membuat dodol yaitu selama 2-3 jam. Apabila pemasakan kurang
lama maka dodol kurang matang, tekstur tidak kalis, rasa dan aroma hilang.
2.4.3. Jambu Merah
Jambu merah mengandung berbagai zat gizi yang dapat digunakan sebagai
obat. Dalam jambu merah: Budi Daya dan Ragam Pemanfaatannya (Parimin
dalam Penebar Swadaya 2007), dalam tiap 100 gram jambu merah masak segar
terdapat kandungan antara lain dapat dilihat pada Tabel 7.
23
Tabel 7. Kandungan Jambu Merah dalam tiap 100 g
Kandungan Jumlah (g)
Protein 0,9
Lemak 0,3
Karbohidrat 12,2
Kalsium 0,014
Fosfor 0,028
Besi 0,0011
Vitamin A 0,025
Vitamin B1 0,00002
Vitamin C 0,087
Air 86
Total Kalori 49 g kal
Sumber: Parimin dalam Penebar Swadaya (2007)
Kandungan vitamin C jambu merah dua kali lipat jeruk manis yang hanya
49 mg per 100 g buah. Vitamin C itu terkonsentrasi pada kulit dan daging bagian
luarnya yang lunak dan tebal. Kandungan vitamin C jambu merah memuncak saat
menjelang matang. Kandungan vitamin C pada jambu merah sanggup memenuhi
kebutuhan harian anak berusia 13-20 tahun yang mencapai 80-100 mg per hari,
atau kebutuhan vitamin C harian orang dewasa yang mencapai 70-75 mg per hari.
Dengan demikian, sebutir jambu biji dengan berat 275 g per buah dapat
mencukupi kebutuhan harian akan vitamin C pada tiga orang dewasa atau dua
anak-anak. (Parimin dalam Penebar Swadaya 2007)
Jambu merah juga kaya serat, khususnya pektin (serat larut air). Manfaat
pektin antara lain menurunkan kolesterol dengan cara mengikat kolesterol dan
asam empedu dalam tubuh serta membantu mengeluarkannya. Penelitian yang
dilakukan Singh Medical Hospital and Research Center Morrabad, India,
menunjukkan bahwa jambu merah dapat menurunkan kadar kolestreol total dan
trigliserida darah serta tekanan darah pada penderita hipertensi.
Ada pun tanin yang menimbulkan rasa sepat pada jambu merah
bermanfaat memperlancar sistem pencernaan dan sirkulasi darah, serta menyerang
virus. Kalium yang terkandung pada buah ini berfungsi meningkatkan keteraturan
denyut jantung, mengaktifkan kontraksi otot, mengatur pengiriman zat gizi ke sel
tubuh, serta menurunkan kadar kolesterol total dan tekanan darah tinggi
(hipertensi). Jambu merah memiliki rasa yang manis, daging yang tebal dan
24
ukuran yang besar dibandingkan dengan jambu biji biasa. Selain itu jambu merah
juga dapat menyembuhkan penyakit demam berdarah.
2.4.4 Dodol Jambu Merah
Dodol jambu merah merupakan salah satu makanan khas atau oleh-oleh
khas Majalengka. Dodol jambu merah biasanya berbahan dasar tepung ketan,
jambu merah, dan gula pasir. Jambu merah yang digunakan dalam pembuatan
dodol harus yang matang, selain rasanya enak, aromanya pun kuat sehingga
dihasilkan dodol bercita rasa enak dan aroma yang kuat. Jambu merah yang
dipilih yaitu jambu merah yang bebas luka, baik luka mekanis maupun luka akibat
serangga, dan tidak busuk. Sebelum digunakan jambu merah harus dicuci terlebih
dahulu agar kotoran yang melekat hilang.
Tepung yang digunakan untuk campuran pembuatan dodol jambu merah
ini berupa tepung ketan. Tepung berfungsi memperbaiki tekstur agar dodol tidak
liat. Tepung ketan dapat dibuat sendiri dan mudah didapat. Gula yang yang
digunakan dalam pembuatan dodol jambu merah berfungsi sebagai penambah
aroma dan pengawet.
2.4.5 Pengaruh Penambahan Tepung Daging Nila pada Dodol Jambu
Merah
Dodol jambu merah yang ditambahkan dengan tepung ikan dapat
meningkatkan protein pada produk tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa
kandungan protein pada ikan nila lebih tinggi dibanding dengan tepung beras
ketan. Kandungan protein ikan nila sebesar 17,8%, sedangkan kandungan protein
pada tepung beras ketan sebesar 8%.
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh,
karena zat ini disamping berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein
adalah sumber asam- asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N yang
tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Kadar protein dalam makanan dapat
dipakai sebagai sumber energi. Penambahan tepung ikan dapat meningkatkan
kandungan protein pada produk yang akan dihasilkan dan mempunyai nilai
tambah. Kadar protein dodol menurut SNI minimal 3%.
25
Penetapan standar mutu kadar air berhubungan dengan daya simpan
produk itu sendiri. Kadar air yang tinggi mempengaruhi keawetan bahan pangan
dan memperpendek umur simpan serta memudahkan tumbuhnya mikroorganisme
karena menjadi media yang baik untuk tempat hidupnya. Air merupakan
komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi
penampakan, tekstur, dan cita rasa makanan. Kadar air dalam bahan makanan ikut
menentukan kesegaran dan daya awet bahan makanan tersebut (Winarno 1980).
Kadar air menurut SNI maksimal 20%.
Organoleptik merupakan pengujian terhadap bahan makanan berdasarkan
kesukaan dan kemauan untuk menilai suatu produk. Dalam penilaian bahan
pangan sifat yang menentukan diterima atau tidak suatu produk adalah sifat
indrawinya. Penilaian indrawi ini ada 6 (enam) tahap yaitu pertama menerima
bahan, mengenali bahan, mengadakan klarifikasi sifat-sifat bahan, mengingat
kembali bahan yang telah diamati, dan menguraikan kembali sifat indrawi produk
tersebut. Indra yang digunakan dalam menilai sifat indrawi adalah sebagai
berikut:
1. Penglihatan yang berhubungan dengan warna kilap, viskositas, ukuran dan
bentuk, volume kerapatan dan berat jenis, panjang lebar dan diameter serta
bentuk bahan.
2. Indra peraba yang berkaitan dengan struktur, tekstur dan konsistensi. Struktur
merupakan sifat dari komponen penyusun tekstur merupakan sensasi tekanan
yang dapat diamati dengan mulut atau perabaan dengan jari, dan konsistensi
merupakan tebal tipis dan halus.
3. Indra pencium, penciuman juga dapat digunakan sebagai suatu indikator
terjadinya kerusakan pada produk, misalnya ada bau busuk yang menandakan
produk tersebut telah mengalami kerusakan.
4. Indra pengecap, dalam hal kepekaan rasa, maka rasa manis dapat dengan
mudah dirasakan pada ujung lidah dan rasa asin pada ujung dan pinggir lidah,
rasa asam pada pinggir lidah dan rasa pahit pada bagian belakang lidah.
Penentu bahan makanan pada umumnya sangat ditentukan oleh beberapa
faktor antara lain: warna, rasa, tekstur, aroma dan nilai gizi (Winarno 2004).
26
Rasa berbeda bau dan lebih melibatkan lidah. Penginderaan cecapan dapat
dibagi menjadi empat yaitu: asin, asam, pahit, dan manis. Rasa makanan dapat
dikenali dan dibedakan oleh kucup-kucup cecapan yang terletak pada papila yaitu
bagian noda merah jingga pada lidah (Winarno 2004).
Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu,
konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Berbagai senyawa
kimia menimbulkan rasa yang berbeda. Rasa asam disebabkan oleh donor proton,
misalnya asam pada cuka, buah-buahan, sayuran, dan garam asam seperti cream
of tartar. Intensitas rasa asam tergantung pada ion H+ yang dihasilkan dari
hidrolisis asam.
Rasa asin dihasilkan oleh garam-garam organik lainnya seperti garam
ionida dan bromida mempunyai rasa pahit. Sedangkan garam-garam Pb dan Be
mempunyai rasa manis. Rasa manis disebabkan oleh senyawa organik alifatik
yang mengandung gugus OH seperti alkohol, beberapa asam amino, aldehida, dan
gliserol. Sumber rasa manis yang terutama adalah gula dan sukrosa dan
monosakarida dan disakarida.
Faktor yang menyebabkan bahan pangan mengalami perubahan warna
adalah akibat pengaruh panas terhadap gula yang ditambahkan atau terdapat
secara alami pada buah itu sendiri yang menyebabkan terjadinya reaksi
pencoklatan non enzimatik (Winarno 2004).
Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan. Kadang-kadang lebih
penting dari, bau, rasa, dan aroma. Szczesniac dan Kleyn (1963) melakukan telaah
kepedulian konsumen mengenai tekstur dan menemukan bahwa tekstur
mempengaruhi citra makanan itu. Tekstur paling penting pada makanan lunak dan
makanan ranggup atau renyah. Ciri yang paling sering diacu adalah kekerasan,
kekohesifan, dan kandungan air. Beberapa upaya telah dicoba untuk
mengembangkan sistem klasifikasi untuk ciri-ciri tekstur (Winarno 2004).
Adanya senyawa volatil pada buah dapat memberikan aroma yang khas.
Senyawa volatil ini merupakan persenyawaan terbang yang sekalipun dalam
jumlah kecil namun sangat berpengaruh pada flavour. Kebanyakan merupakan
ester-ester alkohol alifatis juga aldehid, keton, dan lain-lain. Produksi zat-zat ini
27
biasanya dimulai pada masa klimaterik dan dilanjutkan pada proses penuaan
(Apandi 1984).
Bahan makanan umumnya dapat dikenali dengan mencium aromanya.
Aroma mempunyai peranan yang sangat penting dalam penentuan derajat
penilaian dan kualitas suatu bahan pangan, seseorang yang menghadapi makanan
baru, maka selain bentuk dan warna, bau atau aroma akan menjadi perhatian
utamanya sesudah bau diterima maka penentuan selanjutnya adalah cita rasa
disamping teksturnya (Apandi 1984).