Upload
duongthu
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Asuransi Syariah
2.1.1.1 Definisi dan Konsep Asuransi Syariah
Syakir Sula (2004) mengatakan bahwa konsep asuransi telah menjadi budaya
yang dimiliki oleh suku Arab sampai jaman Nabi Muhammad saw., konsep ini
dinamakan al-aqilah. Al-aqila berarti denda dan al-aqil artinya orang yang membayar
denda. Amrin (2011) mengutip penjelasan dari Thomas Patrick dalam Dictionary of
Islam mengenai al-aqila yang menyatakan bahwa jika terdapat anggota suatu suku
dibunuh oleh anggota suku lain, maka keluarga dari sang pembunuh akan
membayarkan sejumlah diyat atau uang darah sebagai kompensasi kepada ahli waris
anggota suku yang terbunuh. Konsep al-aqila ini juga tercantum dalam konstitusi
pertama di dunia yaitu piagam Madinah yang tercipta setelah peristiwa hijrah.
Selain al-aqila, terdapat beberapa konsep lain dalam fiqih klasik yang menjadi
cikal bakal konsep asuransi syariah modern. Seperti al-muwalat atau perjanjian
jaminan yang dilakukan oleh seseorang yang belum atau tidak memiliki ahli waris,
sang penjamin akan mewarisi harta yang orang yang dijaminkan tersebut selama tidak
ada pewaris yang sah (Sula, 2004). Terdapat pula at-tanahud, dengan konsep
mengumpulkan makanan dari peserta dan mencampurkannya menjadi satu. At-
tanahud dilakukan ketika persediaan makanan sedang terbatas, para peserta
13
kemungkinan memberikan porsi makanan yang berbeda satu sama lain. Konsep lain
dalam fiqih klasik ada yang disebut dengan al-qasamah, memiliki sistem
pengumpulan uang sebagai iuran dan akan dibayarkan kepada ahli waris peserta
apabila peserta tersebut terbunuh oleh yang tidak diketahui (Sula, 2004).
Sepeninggal Nabi Muhammad saw., konsep asuransi syariah atau takaful telah
dikembangkan dalam bidang bisnis. Sistem takaful atau sharing of risk telah
digunakan oleh beberapa pengusaha muslim, dengan berbentuk pengumpulan uang
yang ditujukan untuk membantu sesama pengusaha apabila terjadi kerugian yang
diakibatkan beberapa hal seperti kecelakaan dalam pengiriman barang dagangan atau
terjadinya perampasan barang dagangan (Amrin, 2011).
Takaful menjadi istilah yang digunakan untuk menunjukkan asuransi syariah.
Dalam muamalah, takaful mengandung makna saling menanggung risiko yang
dilakukan dengan dasar keinginan untuk berbuat kebaikan di antara sesama manusia
(Sula, 2004). Istilah lain asuransi dalam bahasa Arab dapat diungkapkan dengan
tuma’niatun nafsi wa zawalul khauf (at-ta’min) yang berarti ketenangan jiwa dan rasa
takut yang hilang (Hosen, Ali, & Muhtasib, 2008). Nurlatifah dan Mardian (2016)
menjelaskan maksud dari ungkapan tersebut adalah karena terdapat seseorang atau
suatu pihak yang memberikan jaminan atas diri dan atau benda, seseorang yang
mengikuti kegiatan asuransi tersebut akan mendapat ketenangan jiwa dan tidak
memiliki rasa takut dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Amrin (2011)
mengatakan bahwa prinsip dasar dalam asuransi syariah terdapat dalam Al-Quran
surah Al-Maidah ayat 2, yakni berupa ajakan pada setiap peserta asuransi untuk
14
saling menolong, menjamin dan meringankan apabila terjadi kejadian yang tidak
diinginkan. Prinsip ini disebut dengan taawun, yaitu saling melindungi dan menolong
atas dasar ukhuwah islamiah (Sula, 2004).
Asuransi syariah dalam pelaksanaannya berkaitan erat dengan unsur sosial dan
masyrakat, hal ini dikemukakan oleh Muhammad Syauqi Al-Fanjari yang
mendeskripsikan asuransi syariah sebagai upaya saling menanggung secara sosial
(Sula, 2004). Mushtafa Ahmad Zarqa sebagai orang pertama yang membuat karya
tulisan mengenai asuransi komersial yang modern (Antonio, 2004) memandang
asuransi sebagai metode pemeliharaan manusia untuk menghindari risiko, hal ini
sejalan dengan pendapat Husain Hamid Hisan yang menyatakan bahwa asuransi
sebagai sistem kompleks untuk mengantisipasi adanya peristiwa yang tidak
diinginkan dengan memberikan sejumlah uang tertentu (Amrin, 2011).
Menurut Syakir Sula (2004), asuransi yang tidak ada perbedaan pendapat dalam
hal kebolehannya (mubah) adalah sistem yang berbentuk gabungan ikatan
kesepakatan dengan tujuan untuk membantu meringankan atau menghilangkan beban
akibat dari musibah ketika menimpa salah satu atau sebagian dari yang melakukan
perjanjian tersebut dengan cara melakukan derma.
Definisi dari asuransi syariah menurut Amrin (2011) merupakan kegiatan yang
tak hanya menanggung resiko, namun juga saling menolong yang berdasarkan prinsip
syariah di antara sesama manusia untuk menjalin nilai ukhuwah dalam meringankan
atau memudahkan jika terjadi bencana sehingga setiap orang menjadi penanggung
atas lainnya. Secara operasional Amrin (2011) menyatakan bahwa asuransi syariah
15
merupakan sistem asuransi yang di dalamnya para peserta memberikan hibah dari
beberapa atau keseluruhan kontribusi yang dibayarkan untuk pembayaran klaim
apabila terjadi bencana kepada peserta lain.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
Nomor 21 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah menjelaskan bahwa
asuransi yang berprinsip syariah atau yang sering disebut dengan ta’min, takaful dan
tadhamun merupakan sebuah bentuk usaha saling melindungi dan menolong yang
terjadi antara beberapa orang atau pihak dengan jalur investasi dalam bentuk aset dan
atau tabarru. Asuransi berprinsip syariah memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko melalui akad yang sesuai dengan prinsip Islam.
2.1.1.2 Akad dan Pengelolaan Dana Asuransi Syariah
Untuk mengilangkan keberadaan gharar, maysir, dan riba dalam asuransi, Syafii
Antonio (1994) menjelaskan dapat mengganti akad tabaduli atau perjanjian
pertukaran dengan akad takaful yang didalamnya terdapat akad tabarru dan
mudharabah. Akad tabarru yang merupakan bentuk perjanjian dengan tujuan tolong-
menolong dan akad mudharabah yang termasuk ke dalam jenis akad tijarah yang
ditujukan untuk kepentingan komersial. Namun, menurut pendapat Jafril Khalil yang
dikutip oleh Amrin (2011) terdapat beberapa akad yang mengikuti selain kedua akad
tersebut. Akad-akad yang dimaksud adalah wakalah/wakalah bil ujrah, musyarakah,
wadiah, dan musahamah (kontribusi).
16
Sumber: Meraih Berkah melalui Asuransi Syariah (Amrin, 2011)
Akad dalam asuransi syariah atau takaful terbagi atas akad takaful sosial
(tabarru) dan takaful komersial (tijarah). Terdapat dua akad di dalam jenis akad
takaful komersial, yaitu mudharabah dan wakalah/wakalah bil ujrah. Kemudian akad
mudharabah terbagi kembali menjadi mudharabah murni dan modifikasi. Pada
mudharabah murni, perusahaan perasuransian syariah dan peserta secara langsung
membagi pendapatan hasil investasi dan peserta berhak secara keseluruhan atas
surplus yang didapat. Hal ini berbeda dengan mudharabah modifikasi, pendapatan
hasil investasi dikembalikan ke dalam dana takaful untuk ditanam dan surplus dari
dana takaful tersebut tidak serta merta secara keseluruhan diberikan kepada peserta,
namun juga berbagi dengan perusahaan perasuransian syariah. Dalam akad wakalah
TAKAFUL
TIJARAH TABARRU
WAKALAH MUDHARABAH
MURNI MODIFIKASI
Gambar 2.1 Akad dalam Asuransi Syariah
17
atau wakalah bil ujrah, perusahaan perasuransian syariah mengenakan biaya kepada
peserta, dapat dinyatakan dengan persentase atau sejumlah uang dengan nominal
tertentu yang disebut dengan ujrah (Amrin, 2011).
Sumber: Meraih Berkah melalui Asuransi Syariah (Amrin, 2011)
Mudharabah merupakan perjanjian kerja sama diantara paling sedikit dua pihak,
di mana pihak pertama yang disebut shahibul mal menyediakan seluruh dana dan
memercayakan sejumlah dana tersebut ke pihak kedua yang disebut mudharib untuk
menjalankan suatu aktivitas usaha (Sula, 2004). Jika terdapat keuntungan, akan dibagi
sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati saat perjanjian terjadi di antara
shahibul mal dan mudharib. Apabila dalam usaha kerja sama tersebut terdapat
kerugian, shahibul mal menaggung atas kehilangan dana atau modal yang telah
Keuntungan Perusahaan
Kontribusi Kontribusi +
Keuntungan
Biaya Surplus
Peserta
X %
Gambar 2.2 Skema Akad Mudharabah Murni
18
dikeluarkan dan mudharib kehilangan hasil usahanya dalam mengelola dana atau
modal tersebut (Amrin, 2011).
Amrin (2011) berpendapat bahwa perusahaan perasuransian syariah harus mampu
membuat keuntungan neto-nya lebih besar dari biaya manajemen dan operasionalnya
jika menerapkan akad mudharabah murni. Apabila ketentuan tersebut tidak
terpenuhi, maka besar kemungkinan perusahaan perasuransian syariah tersebut akan
mengalami kerugian. Perusahaan perasuransian syariah dituntut untuk memiliki dana
yang terbilang sangat besar atau biaya yang dikeluarkan untuk operasional haruslah
sangat kecil jika dikomparasikan dengan gross contribution (Amrin, 2011).
Pembagian surplus dana takaful pada akad mudharabah modifikasi berbeda jika
dibandingkan dengan akad mudharabah murni yang keuntungan sesungguhnya dari
hasil investasi dibagikan.
Sumber: Meraih Berkah melalui Asuransi Syariah (Amrin, 2011)
Keuntungan Perusahaan
Gambar 2.3 Skema Akad Mudharabah Modifikasi
Kontribusi Kontribusi +
Keuntungan Biaya Surplus
X%
Peserta
19
Tidak ada keuntungan yang dibagikan dalam akad mudharabah modifikasi, selain
keuntungan berbentuk surplus antara saldo dari dana takaful pada akhir periode
sebelumnya dan saldo dana takaful pada awal kontrak mudharabah periode
selanjutnya. Keuntungan yang dibagikan pada akad mudharabah modifikasi
merupakan saldo sebenarnya dari dana akhir periode setelah klaim, reasuransi,
cadangan dan underwriting surplus.
Perusahaan asuransi jiwa syariah adalah perusahaan perasuransian syariah yang
lebih umum menggunakan akad mudharabah modifikasi. Akad ini digunakan dengan
alasan tidak adanya pemotongan biaya manajemen dari dana takaful, untuk mencapai
break event point (BEP) dianggap mustahil jika menggunakan akad mudharabah
murni (Amrin, 2011).
Sumber: Meraih Berkah melalui Asuransi Syariah (Amrin, 2011)
Secara etimologis wakalah bermakna menyerahkan atau mewakilkan, secara
terminologi berarti mewakilkan yang dilakukan seseorang yang memiliki hak
Keuntungan
Kontribusi & fee Kontribusi +
Keuntungan Biaya Surplus
Peserta
100%
Gambar 2.4 Skema Akad Wakalah bil Ujrah
20
tasharruf kepada seseorang yang juga memiliki hak tasharruf mengenai sesuatu yang
secara syariah dapat diwakilkan (Ath-Thayyar, Al-Muthlaq, & Ibrahim, 2009).
Hubungan yang terjadi ketika akad wakalah bil ujrah digunakan adalah
perusahaan perasuransian syariah menjadi agen dari peserta yang mengikuti program
asuransi. Secara operasional, peserta akan dikenakan biaya oleh perusahaan
perasuransian syariah untuk mengelola kontribusi yang telah dibayarkan. Bentuk dari
biaya ini biasanya berupa persentase dari gross contribution, net contribution, atau
net surplus (Amrin, 2011).
Dana yang dibayarkan oleh peserta dan digunakan perusahaan perasuransian
untuk dikelola disebut premi (Sula, 2004). Setiap peserta wajib membayar premi
secara teratur sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kepada perusahaan
perasuransian. Besaran premi yang harus dibayarkan peserta asuransi tergantung
kepada kondisi keuangan peserta. Meski begitu perusahaan tetap menentukan jumlah
minimal premi yang harus dibayar oleh peserta. Mekanisme pengelolaan premi pun
terbagi menjadi dua (Sula, 2004), yaitu pada produk saving dan non-saving.
Menurut Syakir Sula (2004) premi dalam asuransi syariah pada produk saving
ketika dikeluarkan oleh peserta terbagi menjadi dana tabarru dan tabungan. Dana
tabarru merupakan dana kebajikan yang ditujukan untuk membantu atau menolong
ke sesama peserta asuransi syariah ketika akan digunakan perusahaan perasuransian
syariah untuk membayar klaim atau manfaat asuransi.
21
Gambar 2.5 Pengelolaan Dana Produk Saving
Sumber: Syakir Sula (2004)
Dalam premi produk saving juga terdapat dana tabungan yang merupakan dana
titipan dari peserta asuransi syariah dan ditujukan untuk mendapat keuntungan berupa
alokasi bagi hasil dari pendapatan investasi neto. Dana tabungan beserta keuntungan
yang didapat dikembalikan ke peserta asuransi syariah ketika dilakukannya pengajuan
klaim (nilai tunai dan manfaat asuransi). Kumpulan dana dari peserta ini akan
digunakan untuk investasi sesuai dengan ketentuan syariah, dan hasil dari investasi
ini akan dibagikan kepada peserta dan perusahaan sesuai prinsip mudharabah setelah
dikurangi beban asuransi.
Dalam produk non-saving, seluruh premi yang dibayar oleh peserta asuransi akan
dimasukkan ke dalam rekening tabarru yang merupakan kumpulan iuran dari setiap
22
peserta asuransi syariah yang digunakan sebagai sumber dana untuk saling
menolong dan membantu (Sula, 2004).
Gambar 2.6 Pengelolaan Dana Produk Non-Saving
Sumber: Syakir Sula (2004)
Kumpulan iuran dari peserta ini akan digunakan untuk investasi sesuai dengan
syariat Islam, dan hasil dari investasi ini akan dibagikan kepada peserta dan
perusahaan sesuai prinsip mudharabah setelah dikurangi beban asuransi. Dana
tabarru dibayarkan kepada peserta apabila peserta tersebut meninggal dunia dan
perjanjian telah berakhir masanya (jika terdapat surplus).
2.1.2 Kinerja Keuangan Perusahaan Perasuransian Syariah
Kinerja merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan untuk mendapatkan
sumber daya serta mengelolanya dengan berbagai metode atau usaha untuk
mengembangkan competitive advantage (Nurlatifah & Mardian, 2016). Kinerja
23
terbagi ke dalam kinerja keuangan dan non-keuangan (Almajali, 2012). Kinerja
keuangan sering dinyatakan dengan pertumbuhan penjualan, omset, pekerjaan, atau
harga saham (Almajali, 2012).
Mahsun, Sulistiyowati dan Purwanugraha (2011) menyatakan pengukuran kinerja
atau performance measurement merupakan proses pengukuran kemajuan pekerjaan
atas tujuan serta sasaran yang sebelumnya telah ditetapkan, seperti efisiensi penjualan
barang dan jasa, hasil kegiatan dikomparasikan dengan tujuan serta efektivitas
tindakan dalam mencapai tujuan. Melihat tingkat laba yang telah diperoleh
merupakan salah satu cara pengukuran kinerja suatu perusahaan yang dapat
dilakukan. Jika ditingkatkan lagi, pengukurannya dapat diukur dengan menilai
indikator seperti tingkat solvabilitas, rentabilitas dan return on investment (Mahsun,
Sulistiyowati, & Purwanugraha, 2011).
2.1.2.1 Underwriting Surplus
Underwriting surplus merupakan keuntungan yang didapat atas hasil pengelolaan
perusahaan perasuransian dalam mempertimbangkan dan menentukan apakah peserta
akan menerima partisipasi ganti rugi dengan syarat-syarat yang telah ditentukan
sebelumnya (Sula, 2004).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mokhtar, Aziz dan Hilal (2015) mengenai
praktek pembagian surplus pada perusahaan perasuransian di Malaysia menerangkan
bahwa surplus on contribution (SOC) atau surplus underwriting dijadikan sebagai
indikator penilaian kinerja sebuah perusahaan perasuransian syariah. Penggunaan
surplus underwriting sebagai indikator penilaian kinerja keuangan perusahaan
24
perasuransian juga dilakukan oleh Nurlatifah dan Mardian (2016). Surplus
underwiriting didapat dari kumpulan dana peserta yang diinvestasikan kemudian
dikurangi biaya atau beban asuransi seperti klaim dan reasuransi (Sula, 2004).
Semakin besar jumlah surplus yang didapat oleh perusahaan perasuransian syariah
menunjukan semakin tinggi pula tingkat kinerja di perusahaan perasuransian syariah
tersebut (Nurlatifah & Mardian, 2016). Keefektifan surplus berpengaruh positif
terhadap eksistensi perusahaan perasuransi syariah dalam jangka panjang dan juga
dapat menarik calon peserta untuk berasuransi di perusahaan perasuransian syariah,
dan hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan market share asuransi syariah
(Mokhtar, Aziz, & Hilal, 2015).
2.1.2.2 Size
Ukuran suatu perusahaan atau size dapat memengaruhi kinerja keuangannya
dalam beberapa hal, seperti perusahaan besar yang dapat memanfaatkan economic
scale dan ruang lingkup yang besar (Nurlatifah & Mardian, 2016). Mehari dan
Aemiro (2013) berpendapat bahwa ukuran suatu perusahaan sejalan dengan kinerja
keuangan yang telah dicapai, hal ini dikarenakan perusahaan perasuransian besar
dalam hal aset umumnya memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menangani pasar
yang tidak menguntungkan fluktuasi perusahaan perasuransian yang lebih kecil.
Mehari dan Aemiro (2013) mengatakan kepemilikan aset dalam jumlah yang
besar berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan, perusahaan perasuransian
dengan aset yang lebih besar akan lebih menguntungkan jika dikomparasikan dengan
perusahaan yang asetnya lebih kecil.
25
2.1.2.3 Return on Asset
Return on Asset atau ROA tergolong rasio profitabilitas yang digunakan untuk
menilai persentase laba yang didapat oleh suatu perusahaan terkait dengan total aset,
sehingga efisiensi kinerja suatu perusahaan dalam hal pengelolaan aset dapat terlihat
dari rasio ini (Utami, 2018).
Malik (2011) dalam penelitiannya untuk menilai performa kinerja keuangan
perusahaan perasuransian di Pakistan menggunakan Return on Assets (ROA) sebagai
tolak ukurnya, dan juga digunakan oleh Nasuha (2012) sebagai dasar acuan performa
bank syariah di Indonesia setelah melakukan spin-off.
2.1.2.4 Leverage
Leverage merupakan penggunaan aktiva atau dana yang kemudian akibat dari
menggunaan dana tersebut perusahaan harus mengeluarkan biaya tetap atau
membayar beban tetap. Leverage adalah suatu rasio keuangan yang mengukur
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjangnya seperti
pembayaran bunga atas hutang, pembayaran pokok akhir atas hutang dan kewajiban-
kewajiban tetap lainnya (Nurlatifah & Mardian, 2016). Terdapat beberapa
perhitungan yang digunakan untuk menunjukkan rasio leverage ini, salah satunya
adalah Debt to Equity Ratio.
Debt to Equity Ratio (DER) atau Rasio Hutang terhadap Ekuitas adalah rasio
keuangan yang menunjukan proporsi relatif antara ekuitas dan hutang yang
digunakan untuk membiayai aset perusahaan. DER dihitung dengan cara mengambil
26
total kewajiban hutang (liabilities) dan membaginya dengan ekuitas (equity)
(Nurlatifah & Mardian, 2016).
Penelitian Mehari & Aemiro (2013) menyebutkan bahwa perusahaan
perasuransian dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik dengan mengambil risiko
leverage yang wajar dan dapat mengalami kebangkrutan jika risikonya diluar kendali.
2.1.2.5 Volume of Capital
Volume of Capital atau volume modal menurut Munawir (2007) adalah kekayaan
perusahaan yang terdiri atas kekayaan yang disetor atau yang berasal dari luar
perusahaan dan kekayaan itu hasil aktivitas usaha itu sendiri.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Malik (2011) menjelaskan bahwa volume
modal memiliki pengaruh signifikan dalam meningkatkan kinerja perusahaan
asuransi. Namun hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Nurlatifah &
Mardian (2016), volume of capital tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja
keuangan perusahaan-perusahaan perasuransian syariah di Indonesia yang dinyatakan
oleh underwriting surplus. Ini menunjukkan bahwa sebuah perusahaan perasuransian
syariah yang tidak memiliki modal dengan jumlah besar pun akan mampu
menghasilkan surplus yang akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan
perasuransian syariah tersebut.
27
2.1.3 Spin-Off
2.1.3.1 Definisi dan Konsep Spin-Off
Menurut Nasuha (2012), istilah “spin-off” di Indonesia dapat dikatakan baru,
karena baru diregulasikan pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, yang didalamnya dijelaskan mengenai defisini spin-off. Sedangkan spin-off
pada lembaga keuangan syariah pertama kali disebutkan pada UU Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah dan disusul oleh UU Nomor 14 Tahun 2014 tentang
Perasuransian. Namun, istilah “spin-off” ini tidak asing lagi di dunia perusahaan
internasional. Hal ini dikarenakan banyak perusahaan induk yang melakukan kegiatan
bisnis berupa melepas anak perusahaan atau divisi atau unit usaha.
Dalam UU istilah “pemisahan” digunakan untuk merujuk spin-off. Definisi spin-
off yang dimaksudkan oleh UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan untuk
memisahkan usahanya yang mengakibatkan sebgaian atau seluruh aktiva dan pasiva
milik suatu perusahaan tersebut beralih atau berpindah karena hukum kepada dua
perusahaan atau lebih.
Menurut Sutojo (1998), spin-off adalah sebuah bentuk pelepasan atau pemisahan
yang mengakibatkan suatu divisi bisnis atau bagian perusahaan menjadi suatu
perusahaan baru yang mandiri, dengan melepaskan satu unit bisnis (UUS), seperti
anak perusahaan berdiri sendiri. Rizqullah (2013) menerangkan bahwa perusahaan
yang melakukan spin-off tetap melakukan kegiatan operasionalnya dan menjadi
perusahaan induk dari perusahaan yang telah independen tersebut yang disebut juga
28
anak perusahaan. Asfaroni (2011) mengatakan bahwa spin-off merupakan “demerger”
yang berarti kebalikan dari proses merger. Hal ini dikarenakan suatu perusahaan yang
sebelumnya satu menjadi dua atau lebih perusahaan. Nasuha (2012) mengungkapkan
tiga hal yang berkaitan dengan definisi spin-off, yang pertama spin-off akan
mengakibatkan munculnya paling tidak satu perusahaan baru. Yang kedua, proses
spin-off yang dilakukan adalah berupa pemisahan bentuk atau badan usaha, jadi
bukan pemisahan sahamnya. Dan yang ketiga, spin-off mengakibatkan aktiva dan
pasiva milik suatu perusahaan teralih karena hukum.
Lebih lanjut Nasuha (2012) menerangkan bahwa spin-off menggambarkan suatu
produk derivatif atau hasil dari suatu tiruan usaha perusahaan sebelumnya. Spin-off
ini dapat berbeda bentuknya, namun di dalamnya biasanya diperlukan perubahan
yang penting pada kontrol, risiko, dan pembagian keuntungan.
Adler Manurung (2011), mengungkapkan bahwa dari segi manajemen, spin-off
merupakan perubahan secara struktual dalam suatu organisasi atau perusahaan, di
mana salah satu unit bisnis atau anak perusahaanya meningkatkan tingkat
kemandiriannya dan bertransformasi menjadi suatu organisasi atau badan usaha
sendiri dan telah terpisah dengan tujuan untuk dapat lebih fokus dalam hal
pengembangan bisnis.
29
Sumber: Bahan Perkuliahan Merger, Restrukturiasi dan Akuisisi (Manurung, 2011)
Dalam proses spin-off, kontrol perusahaan induk tidak hilang kepada unit usaha
yang berubah menjadi perusahaan baru, komunikasi tetap terjalin antara dua
perusahaan tersebut.
2.1.3.2 Faktor, Tipe dan Jenis Spin-Off
Alexander Tubke (2004) mengungkapkan dalam spin-off, terdapat enam faktor
yang memengaruhi proses di dalamnya. Faktor pertama berkaitan dengan aktivitas
bisnis. Ukuran suatu perseroan dan perbedaan sektor usaha antara perusahaan induk
dengan anak perusahaan atau unit usaha berkaitan dengan faktor pertama ini. Ini
berarti dalam hal perasuransian adalah hubungan antara perusahaan induk
perasuransian dan UUS. Faktor kedua berkaitan dengan sistem manajemen organisasi
yang dimiliki dan bagaimana perusahaan tersebut dikelola. Faktor ketiga yaitu
berkaitan dengan relasi. Dalam relasi antara perusahaan induk dan anak
Gambar 2.7 Ilustrasi Proses Spin-Off
Unit Syariah HRD Operasional HRD Operasional
PT Asuransi X PT Asuransi X
PT Asuransi X
Syariah
Sebelum Spin-off Sesudah Spin-off
30
perusahaannya, terdapat tiga pola yang dapat tercipta, yaitu market-relatedness atau
hubungan pasar, product relatedness atau hubungan produk dan technology
relatedness atau hubungan teknologi. Faktor keempat adalah faktor transfer atau
pengalihan berupa pemindahan pengalaman yang dimiliki perusahaan induk kepada
anak perusahaan. Faktor kelima berkaitan dengan motivasi perusahaan. Dan faktor
keenam berkaitan dengan lingkungan bisnis, berupa karakteristik lingkungan bisnis
regional maupun kerangka legal.
Elfring dan Foss (1997) mengemukakan bahwa dalam proses spin-off terdapat dua
tipe di dalamnya. Pertama, dari sisi perusahaan induknya, di mana perusahaan induk
karena satu atau beberapa alasan tertentu tidak berkemampuan untuk menggunakan
kesempatan yang dimiliki. Tipe kedua berkaitan dengan unit organisasi sebagai suatu
individu, di mana anak perusahaannya tidak sama dengan perusahaan induknya. Tipe
ini merupakan yang paling banyak dilakukan, dan menurut Al Arif (2015) tipe ini
terdapat dalam pelaksanaan spin-off UUS pada bank di Indonesia.
Dalam bidang asuransi, berdasarkan Pasal 18 POJK Nomor 67 Tahun 2016
tentang Perizinan Usaha Dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah,
pemisahan UUS dari perusahaan perasuransian dapat dilakukan dengan dua jenis
spin-off, yaitu dengan cara murni dan tidak murni. Spin-off dengan cara murni yaitu
dengan mendirikan satu atau lebih perusahaan perasuransian syariah baru yang
dilanjutkan dengan pengalihan seluruh portofolio kepesertaan yang dimiliki kepada
perusahaan perasuransian syariah baru tersebut. Menurut Kansil dan Christine (2009),
31
karena proses spin-off ini terjadi karena hukum, sehingga akta peralihan tidak
diperlukan.
Spin-off dengan cara tidak murni dilakukan dengan hanya mengalihkan seluruh
portofolio kepesertaan UUS kepada perusahaan perasuransian syariah lain yang telah
memperoleh izin usaha oleh OJK. Dalam spin-off tidak murni, tidak mengakibatkan
perusahaan asuransi atau reasuransi yang melakukan pemisahan tersebut menjadi
bubar karena kekayaan yang dialihkan hanya sebagian, sehingga perusahaan asuransi
atau reasuransi tersebut masih dapat menjalankan usahanya (Supramono, 2009).
Berkaitan dengan kedua jenis spin-off tersebut, Al Arif (2015) mengatakan bahwa
keduanya dipengaruhi oleh berbagai elemen yang tidak sama. Jenis metode spin-off
murni dengan mendirikan badan usaha atau perusahaan baru dipengaruhi oleh elemen
seperti budaya perusahaan, respon konsumen, respon kompetitor, program
komunikasi, delivery channel, dan pajak. Sedangkan jenis metode spin-off tidak
murni dengan perusahaan yang sudah ada dipengaruhi elemen seperti pengalihan
status pekerja, sistem pelaporan dan pembukuan, teknologi informasi, respon
regulator dan due diligence. Berbedanya berbagai elemen yang memengaruhi kedua
jenis metode spin-off tersebut mengindikasikan bahwa prioritas permasalahan yang
ada dan menjadi pokok bahasan pada kedua metode tersebut juga tidaklah sama.
32
2.1.3.3 Motif dan Tujuan Spin-Off
Sutojo (1998) mengungkapkan bahwa terjadinya spin-off dilatarbelakangi oleh
berbagai alasan atau motif tententu, antara lain:
a. Kegiatan operasional yang terpisah dapat menciptakan kemandirian dalam
proses bisnisnya.
b. Akses terhadap teknologi yang baru atau yang lebih baik dapat diperoleh.
c. Target pasar baru yang sebelumnya hanya dimiliki perusahaan induknya.
d. Penambahan kekayaan yang muncul karena terjadinya pemindahan kekayaan
dari investor.
e. Fleksibilitas pengaturan perjanjian dikarenakan perusahaan hasil spin-off
merupakan entitas terpisah, sehingga dapat menciptakan peraturan baru dan
menghilangkan peraturan lama yang dianggap tidak relevan.
f. Perbaikan manajemen dapat diperoleh dengan insentif yang terrestrukturisasi.
Dalam keuangan syariah, Dewi (2013) menyatakan bahwa penguatan jaringan
dan kontribusi untuk membesarkan ekonomi syariah adalah latar belakang utama
spin-off dilakukan oleh UUS, dengan tujuan akhir perekonomian syariah yang
tumbuh secara pesat.
Berkaitan dengan motif melakukan spin-off, Stanley Block (2009) dalam
penelitiannya menerangkan bahwa alasan yang sering kali dipergunakan oleh jajaran
direksi suatu bank adalah untuk peningkatan fokus usaha perusahaan induk maupun
perusahaan baru yang akan terbentuk karena proses spin-off. Lebih lanjut Stanley
(2009) menyatakan bahwa meski secara umum bank atau perusahaan memiliki nilai
33
yang lebih dengan jalur pembagian risiko kepada bermacam divisi dan unit usaha,
diketahui bahwa diversifikasi usaha yang cukup luas ternyata lebih besar
mengandung kemungkinan menanggung biaya yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan bentuk usaha sejenis yang lebih fokus terhadap suatu lini usaha.
Rifin, Saptono, dan Dewati (2015) berpendapat bahwa motif lain yang membuat
perusahaan berkeinginan untuk melakukan spin-off karena spin-off dianggap dapat
membuahkan hasil yang lebih baik dalam hal informasi keuangan. Dikatakan
demikian dikarenakan adanya unit usaha atau divisi yang mendominasi aset
perusahaan induknya. Spin-off dikatakan dapat memicu peningkatan nilai insentif
untuk jajaran manajemen perusahaan tersebut, dengan kondisi bahwa tanpa dilakukan
spin-off, penetapan harga dapat dipengaruhi oleh kondisi serta kinerja setiap unit
usaha atau divisi. Selain itu, penetapan cost dalam perusahaan yang memiliki
bermacam lini usaha dapat menghasilkan perhitungan keuntungan yang kurang tepat
dikarenakan tercampurnya overhead cost dari setiap unit usaha atau divisi.
Setelah dilakukan spin-off unit usaha atau divisi yang mendominasi dalam suatu
perusahaan, perhitungan berbagai macam cost yang dianggap kurang tepat dapat
terhindarkan. Dampak lain yang dapat terjadi setelah proses spin-off ialah adanya
peningkatan maksimum insentif yang ditujukan untuk para stakeholders, karena
setelah spin-off dilaksanakan seluruh operasional usaha dilakukan dengan
menggunakan bermacam sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan induk. Dengan
proses operasional usaha yang mandiri, setiap tujuan dapat ditetapkan dengan fokus
34
yang lebih tinggi untuk menghasilkan standar yang lebih baik dan jelas dalam hal
keuntungan seperti insentif dan bonus (Rifin, Saptono, & Dewati, 2015).
Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Fitriyani
(2014) berpendapat bahwa tujuan dari spin-off yang telah diatur hanya ditujukan
untuk mengakomodir perkembangan suatu perusahaan. Lebih lanjut Fitriyani (2014)
mengatakan bahwa spin-off dapat memberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk
melakukan penguatan restruktur usahanya.
Adib (2010) mengungkapkan bahwa untuk mempertajam segmentasi pasar, dapat
dilakukan dengan penguatan struktur usaha dengan mekanisme spin-off, khususnya
melalui penguatan lini usaha yang lebih terfokus dan terspesialisasi. Di dalam
mekanisme spin-off juga terdapat pemisahan aset bermasalah atau bad assets menjadi
seperti sebuah perusahaan baru pengelola aset. Dampak positif yang ditimbulkan bagi
perusahaan yang melakukan spin-off yakni memiliki sebuah perusahaan baru yang
menjadi sarana pengelola bad assets yang terkontrol, dan menjadi cara yang efektif
bagi perusahaan dalam melakukan pembersihan bad assets.
2.1.4 Kewajiban Spin-Off Unit Syariah Perusahaan Perasuransian
Dengan tujuan untuk mengembangkan ekspansi industri syariah agar semakin
efektif dan efisien (Anshori & Dasopang, 2015)serta meningkatkan kemandirian dan
kapasitas UUS dalam menjalankan usahanya, sehingga menimbulkan peningkatan
dalam pangsa pasar industri keuangan syariah (Fitriyani, 2014), pemerintah membuat
regulasi yang mewajibkan UUS perusahaan perasuransian untuk segera melakukan
35
pemisahan yang tertuang dalam UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Sebelumnya, kebijakan pemisahan UUS ini telah terlebih dahulu dilakukan dalam
industri perbankan yang tertuang pada UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Dalam POJK Nomor 67 Tahun 2016 dijelaskan bahwa perusahaan perasuransian
diwajibkan melakukan spin-off UUS-nya menjadi perusahaan perasuransian syariah.
Hal ini diwajibkan jika dana tabarru dan dana investasi peserta (DIP) milik UUS
perusahaan perasuransian telah memenuhi nilai minimal yaitu 50% dari total
keseluruhan dana asuransi, dana tabarru, dan DIP perusahaan induknya atau 10 tahun
sejak disahkannya UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yaitu tahun
2024.
Lebih lanjut dalam POJK Nomor 67 Tahun 2016 menyebutkan bahwa spin-off
harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Tidak mengurangi hak pemegang polis.
b. Dilakukan pada perusahaan perasuransian yang memiliki bidang usaha yang
sama.
c. Tidak menyebabkan perusahaan asuransi atau reasuransi syariah yang
menerima pengalihan UUS melanggar ketentuan yang berlaku di bidang
perasuransian.
Perusahaan perasuransian diwajibkan mengumumkan rencana pemisahan UUS
kepada para pemegang polis melalui pengumuman rencana pemisahan UUS dalam
surat kabar dan surat kepada setiap pemegang polis. Pendirian perusahaan
36
perasuransian syariah baru hasil spin-off harus mendapat izin dari OJK yang
sebelumnya diajukan oleh direksi perusahaan perasuransian tersebut. Terdapat
perbedaan antara perusahaan asuransi dan reasuransi syariah terkait persyaratan
jumlah ekuitas. Ekuitas pada saat pendirian perusahaan asuransi syariah hasil
pemisahan paling kecil sebesar Rp. 50 miliar, dan untuk perusahaan reasuransi
sebesar Rp. 100 miliar.
Perusahaan perasuransian wajib mengumumkan spin-off UUS kepada pemegang
polis melalui surat kabar paling lambat 20 hari setelah izin usaha didapat dan surat
kepada pemegang polis. Perusahaan perasuransian wajib mengalihkan seluruh
portofolio kepesertaan yang sebelumnya dimiliki UUS kepada perusahaan
perasuransian syariah paling lambat 1 tahun setelah izin usaha diberikan. Akan
dilakukan uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test (FPT) bagi calon
pihak utama. Bagi perusahaan perasuransian syariah baru hasil spin-off yang
menerima pengalihan portofolio kepesertaan pada UUS wajib menyampaikan laporan
penerimaan pengalihan portofolio kepesertaan tersebut kepada OJK paling lambat 10
hari kerja setelah seluruh portofolio kepesertaan tersebut diterima. Perusahaan
perasuransian syariah baru hasil spin-off yang telah mendapat izin usaha dari OJK
wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 3 bulan semenjak tanggal izin usaha
ditetapkan, serta wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usahanya kepada
OJK paling lama 10 hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha.
Kemudian perusahaan perasuransian yang memiliki UUS wajib mengajukan
permohonan pencabutan izin pembentukan UUS kepada OJK paling lambat 10 hari
37
kerja setelah portofolio kepesertaan pada UUS dialihkan kepada perusahaan
perasuransian syariah hasil spin-off.
Apabila perusahaan perasuransian memilih jenis metode spin-off tidak murni atau
dengan cara mengalihkan portofolio kepesertaan UUS kepada suatu perusahaan
perasuransian syariah yang telah ada, maka perusahaan tersebut wajib mengumumkan
rencana pengalihan portofolio kepesertaan yang dimiliki oleh UUS dalam surat kabar
yang memiliki peredaran nasional paling lambat 10 hari kerja sejak tanggal
persetujuan pemisahan UUS diberikan. Jika pengalihan portofolio telah selesai
dilaksanakan, perusahaan perasuransian yang melakukan pengalihan portofolio
kepesertaan yang dimiliki oleh UUS diwajibkan untuk melaporkan pelaksanaan
pengalihan portofolio kepesertaan pada UUS mengajukan permohonan pencabutan
izin pembentukan UUS, paling lambat 10 hari kerja setelah tanggal pelaksanaan
pengalihan portofolio kepesertaan pada UUS.
2.2 Kajian Empiris
2.2.1 Penelitian The Effect of Spin-Off Policy on Financing Growth in Indonesian
Islamic Banking Industry oleh M. Nur Rianto Al Arif
Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Al-Ulum pada Juni 2015, bertujuan
untuk untuk menganalisa hubungan antara kebijakan spin-off terhadap pertumbuhan
pembiayaan pada industri perbankan syariah di Indonesia. Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data panel yang merupakan laporan keuangan yang
bersumber dari 4 bank syariah hasil spin-off, yaitu BNI Syariah, BRI Syariah, Bank
38
Syariah Bukopin dan BJB Syariah dari periode 2005 sampai dengan 2014. Variabel
yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu variabel
dummy spin-off, variabel internal seperti dana pihak ketiga (DPK) dan rasio efisiensi
yang diukur dari dari Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) dan
variabel eksternal ditunjukkan dengan tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan
tingkat suku bunga dari bank konvensional. Persamaan ekonometika dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Yit = α + β1Dit + β 2 Fundit + β 3 Effit + β 4 Inflationt + β 5 Interestt
+ β 6 Growtht +εit
Keterangan:
Yit : Pembiayaan
Dit : Variabel dummy spin-off
Fundit : DPK
Effit : Rasio efisiensi, diukur dari BOPO
Inflationt : Tingkat Inflasi
Interestt : Tingkat suku bunga bank konvensional
Growtht : Pertumbuhan ekonomi di Indonesia
Dalam penelitian ini digunakan teknik regresi panel dengan model fix effect dan
menghasilkan bahwa yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
pembiayaan pada bank syariah hasil spin-off hanyalah variabel DPK dan tingkat
bunga. Al Arif (2015) berpendapat bahwa signifikannya variabel DPK
39
memperlihatkan bahwa semakin besar dana pihak ketiga yang dimiliki oleh bank
syariah akan meningkatkan jumlah portofolio keuangan bank syariah. Variabel
tingkat suku bunga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan portofolio keuangan di
bank syariah terjadi karena jika tingkat bunga pada pembiayaan bank konvensional
lebih tinggi daripada margin pembiayaan syariah bank, akan ada transfer pembiayaan
pelanggan dari bank konvensional ke bank syariah, hal ini menunjukkan bahwa
variabel eksternal yang tidak terkait dengan operasional bank syariah juga turut
memengaruhi hasil kinerja bank syariah. Sedangkan variabel spin-off tidak
berpengaruh kepada pertumbuhan pembiayaan pada bank syariah hasil spin-off. Al
Arif (2015) menyatakan ada tiga alasan yang menyebabkan mengapa kebijakan spin-
off tidak berpengaruh pada pertumbuhan pembiayaan di bank syariah hasil spin-off.
Pertama, biaya operasional bank syariah hasil spin-off lebih tinggi daripada
pendapatan operasionalnya, terutama pada periode awal spin-off nilai efisiensi
operasionalnya (BOPO) sangat tinggi. Karena itu bank syariah hasil spin-off akan
lebih berhati-hati agar tidak menambah biaya operasional. Kedua, bank syariah hasil
spin-off masih melakukan penyesuaian internal setelah melakukan spin-off, karena
menjadi bank umum syariah (BUS) berbeda jika dibandingkan dengan sebelumnya
yang hanya unit usaha syariah (UUS). Ketiga, dikarenakan terbatasnya jaringan yang
dimiliki oleh bank syariah hasil spin-off.
40
2.2.2 Penelitan Dampak Kebijakan Spin-Off Terhadap Kinerja Bank Syariah
oleh Amalia Nasuha
Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Al-Iqtishad pada tahun 2012,
bertujuan untuk untuk menemukan perbedaan kinerja keuangan dari lima bank
syariah di Indonesia yang hasi spin-off yang telah berusia minimal 1 tahun (pada
tahun 2012), yaitu BRI Syariah, BNI Syariah, BJB Syariah, Bank Syariah Bukopin,
dan Bank Victoria Syariah satu tahun sebelum satu tahun setelah melakukan spin-off.
Konsep kinerja yang dimaksudkan di sini menurut Nasuha (2012) adalah kinerja
masa lalu suatu perbankan pada bidang pengelolaan dalam hal keuangan. Tingkat
efektivitas dan efisensi pada setiap aktivitas jasa keuangan perbankan dimunculkan
dalam laporan keuangan dan tujuan perbankan untuk mencapai tingkat keuntungan
yang maksimal menunjukkan kinerja keuangan.
Selain karena kewajiban yang telah tercantum dalam UU, Nasuha (2012)
berpendapat bahwa dalam industri perbankan syariah, terdapat motif ekonomis
dibalik keinginan bank umum konvensional melakukan spin-off UUS dan
menjadikannya BUS. Motif yang dimaksud adalah karena kegiatan bisnis yang dapat
dilakukan oleh UUS terbatas, dan apabila telah berbentuk BUS dapat melakukan
kegiatan ekspansi bisnis yang lebih luas apabila dibandingkan dengan UUS dari
BUK. Kegiatan bisnis yang hanya dapat dilakukan oleh BUS yang dimaksud adalah
seperti penjaminan penerbitan surat berharga, penitipan untuk kepentingan orang lain,
penyertaan modal, menjadi pendiri dan pengurus dana pensiun syariah, serta
41
melakukan proses penerbitan, penawaran dan perdagangan surat berharga jangka
panjang syariah
Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder berupa laporan keuangan setiap
bank syariah yang terpublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) dan setiap bank syariah
hasil spin-off dan metode yang digunakan adalah Wilcoxon Signed Ranks Test dengan
variabel yang digunakan adalah aset, DPK, pembiayaan, pendapatan bersih, capital
adequacy ratio (CAR), non-performing financing (NPF), financing to deposit ratio
(FDR), return on asset (ROA), dan return on equity (ROE).
Dari sembilan variabel yang diujikan menunjukkan hasil bahwa terdapat
perbedaan kinerja pada variabel aset, DPK dan pembiayaan antara sebelum dan
sesudah dilakukannya spin-off. Nasuha (2012) berpendapat bahwa hasil tersebut
disebabkan karena proses spin-off adalah hal baru yang dipraktikkan di lembaga
keuangan syariah khususnya industri perbankan syariah, sehingga jangka waktu
untuk mengujinya masih pendek dan data yang digunakan terbatas.
2.2.3 Penelitian Keterkaitan Kebijakan Pemisahan terhadap Tingkat Efisiensi
pada Industri Perbankan Syariah di Indonesia oleh M. Nur Rianto Al Arif
Penelitian ini dipublikasikan dalam Jurnal Keuangan dan Perbankan pada Mei
2015, bertujuan untuk untuk menganalisa hubungan keterkaitan antara kebijakan
spin-off terhadap efisiensi industri perbankan syariah di Indonesia. Efisiensi yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat efisiensi perbankan syariah yang tolak
ukurnya ialah BOPO. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
42
sekunder, dengan menggunakan data statistik industri perbankan syariah yang telah
dipublikasikan oleh BI dan OJK sejak 2006 sampai dengan 2014.
Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda dengan
memasukkan variabel dummy spin-off. Persamaan ekonometrik yang dikembangkan
adalah sebagai berikut:
Yit = α + β1Dt + β 2 DPKt + β 3 Pembt + β 4 Aset + β 5 NPFt
+ β 6 Marjint + β 7 ROAt +εit
Keterangan:
Yt : BOPO
Dt : Variabel dummy spin-off
DPKt : Dana pihak ketiga
Pembt : Pembiayaan
Asett : Aset agregat
NPFt : Non performing financing, tingkat pembiayaan bermasalah
Marjint : Marjin deposito dalam 1 bulan
ROAt : Return on asset, tingkat profitabilitas
Setelah dilakukan pengujian, hasil yang signifikan ditunjukkan oleh variabel
dummy spin-off. Ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif terhadap tingkat
efisiensi operasional yang disebabkan oleh kebijakan spin-off pada industri perbankan
syariah. Berlawanan dengan variabel spin-off, variabel DPK, total jumlah
43
pembiayaan, aset agregat dan NPF tidak memiliki dampak terhadap tingkat efisiensi
operasional pada industri perbankan syariah. Sedangkan variabel marjin deposito
dalam 1 bulan dan ROA memperlihatkan adanya pengaruh negatif terhadap tingkat
efisiensi operasional pada industri perbankan syariah.
Menurut hasil analisis data yang ada dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa
kebijakan spin-off yang diwajibkan oleh regulator dalam UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah menimbulkan dampak bahwa industri perbankan syariah
menjadi kurang efisien apabila dibandingkan dengan keadaan sebelum spin-off
dilakukan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, Al Arif (2015) mengemukakan beberapa
implikasi. Yang pertama, pemerintah sebagai regulator yang menetapkan kewajiban
spin-off harus dapat melonggarkan beberapak kebijakan yang berkaitan bagi BUS
hasil spin-off agar dapat mempercepat pertumbuhannya. Yang Kedua, pemerintah
diharapkan lebih memberikan atensi kepada persiapan industri perbankan syariah
yang sehat dan tidak mendorong UUS secara tergesa-gesa untuk melakukan spin-off
apabila belum atau tidak siap secara bisnis. Spin-off lebih baik dilakukan jika UUS
telah siap dari segi permodalan dan kinerja keuangannya. Yang ketiga, BUS hasil
spin-off diharapkan menekan biaya operasionalnya dengan cara melakukan inovasi
pada produk. Yang keempat, konsolidasi internal untuk penguatan dalam hal modal
dan kinerja keuangan harus segera dilakukan oleh setiap UUS sebelum batas akhir
kewajiban untuk spin-off jatuh tempo, yaitu pada tahun 2023.
44
2.2.4 Penelitian Metode Spin-Off dan Tingkat Profitabilitas: Studi Pada Bank
Umum Syariah Hasil Spin-Off Oleh M. Nur Rianto Al Arif Dan Endah Putri
Dewanti
Penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Al-Iqtishadia pada tahun 2017 ini
bertujuan untuk menganalisa pengaruh metode spin-off terhadap tingkat profitabilitas
bank umum syariah hasil spin-off. Metode yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah metode spin-off secara murni dengan mendirikan BUS baru dan tidak murni
dengan cara mengalihkan kepesertaan nasabah kepada BUS yang telah ada. Penelitian
ini menggunakan data dari 4 bank syariah hasil spin-off, yaitu BRI Syariah, BNI
Syariah, BJB Syariah dan Bank Syariah Bukopin. Indikator profitabilitas dalam
penelitian ini ditunjukkan dengan rasio ROA. Metode analisis yang digunakan adalah
regresi panel dengan model random effect. Persamaan dari regresi data panel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
ROAit = α + β1Dit + β 2 NPFit + β 3 BOPOit + β 4 CARt + β 5 FDRt +εit
Keterangan:
ROAit : Return on Asset
Dit : Variabel dummy spin-off
NPFit : Net Profit Finance
BOPOit : Biaya Operasional Pendapatan Operasional
CARt : Capital Adequacy Ratio
FDRt : Financing to Deposit Ratio
45
Hasil penelitian membuktikan bahwa metode spin-off oleh UUS untuk menjadi
BUS, baik murni dan tidak murni, keduanya tidak berdampak pada tingkat
profitabiltas. Yang berdampak pada tingkat profitabilitas atau ROA menurut
penelitian ini adalah BOPO dan NPF, dan pengaruh yang ditimbulkan adalah
hubungan negatif . Hasil ini menunjukkan bahwa UUS yang ingin melakukan spin-off
dapat memilih metode spin-off mana pun, sesuai dengan kondisi internal seperti
permodalan dan kinerja keuangan dari UUS dan bank induknya.
2.2.5 Penelitian Kinerja Keuangan Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia:
Surplus on Contribution oleh Ai Fitri Nurlatifah dan Sepky Mardian
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Akuntabilitas: Jurnal Ilmu Akuntansi
pada tahun 2016 ini dilakukan untuk mengetahui hubungan dari faktor size, leverage,
liquidity, tangibility, volume of capital dan loss ratio terhadap kinerja keuangan
perusahaan perasuransian syariah di Indonesia yang dilihat dari Surplus On
Contribution (SOC) periode 2012-2014. Dalam penelitian ini digunakan teknik
analisis regresi data panel dengan model fixed effects, dengan menggunakan publikasi
laporan keuangan dari 30 perusahaan perasuransian syariah di Indonesia sejak 2012
hingga 2014. Dari pengujian dengan regresi data panel, didapatkan hasil berupa
persamaan ekonometrika sebagai berikut:
SOC = - 1.805 + 810.39Size - 355.32Leverage + 0.104Liquidity
+ 127.66Tangibility - 824.49Volume of Capital + 0.061Loss Ratio
46
Hasil dari pengujian variabel memperlihatkan variabel size, leverage, liquidity,
tangibility, volume of capital dan loss ratio secara bersamaan memengaruhi kinerja
keuangan (SOC). Variabel size, leverage, dan volume of capital secara parsial
memiliki signifikansi terhadap kinerja keuangan (SOC) perusahaan perasuransian
syariah di Indonesia. Variabel size memiliki pengaruh positif yang signifikan, namun
leverage dan volume of capital berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan (SOC)
perusahaan perasuransian syariah di Indonesia. Sedangkan variabel lain yang tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan (SOC) perusahaan perasuransian
syariah di Indonesia adalah liquidity, tangibility dan loss ratio.
2.2.6 Penelitian Firm Specific Factors that Determine Insurance Companies
Performance in Ethiopia oleh Daniel Mehari dan Tilahun Aemiro
Penelitian yang dipublikasikan dalam European Scientific Journal pada April
2013 ini bertujuan untuk penelitian mengetahui dampak karakteristik tingkat
perusahaan pada kinerja perusahaan asuransi di Ethiopia. Penelitian ini menggunakan
teknik regresi data panel, dengan sampel mencakup 9 perusahaan perasuransian
selama periode 2005-2010. Data yang digunaan berupa laporan tahunan yang
diperoleh dari National Bank of Ethiopia dan publikasi laporan keuangan tahunan
perusahaan perasuransian terkait. Variabel return on asset (ROA) digunakan sebagai
variabel dependen untuk mengukur kinerja keuangan, dan variabel independen dalam
penelitian ini adalah leverage, liquidity, loss ratio, umur perusahaan, ukuran
47
perusahaan, dan tangibility. Untuk menguji variabel-variabel tersebut, dalam
penelitiaan ini digunakan teknik regresi data panel dengan model random effect.
Leverage utang diukur dengan rasio total utang terhadap ekuitas (debt/equity
ratio). Penelitian ini menjelaskan bahwa perusahaan perasuransian dapat memiliki
keadaan finansial yang lebih baik dengan mengambil risiko leverage secara wajar
atau memungkinkan untuk bangkrut apabila risiko yang dimiliki tidak terkendali.
Liquidity bertolak ukur pada kewajiban utang yang jatuh tempo dalam 1 tahun ke
depan yang dapat dibayarkan dari kas atau aset untuk kewajiban lancar (current
ratio). Perusahaan perasuransian dengan aset yang lebih liquid kemungkinan
kegagalan yang dimiliki lebih rendah disebabkan oleh kemampuan mencairkan kas
dalam situasi yang sulit. Ukuran perusahaan perasuransian memiliki dampak positif
terhadap kinerja keuangan, hal ini dikarenakan perusahaan perasuransian besar juga
memiliki kapasitas yang lebih besar dalam menghadapi pasar yang merugikan
fluktuasi perusahaan asuransi kecil. Lebih lanjut penelitian ini membuktikan bahwa
aset tetap dalam jumlah besar sejalan dengan kinerja keuangan, dengan memiliki aset
tetap dalam jumlah banyak akan lebih memberi keuntungan perusahaan perasuransian
jika dibandingkan dengan perusahaan perasuransian yang memiliki aset lebih sedikit.
Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa tangibility memiliki pengaruh positif
terhadap financial performance.
48
2.2.7 Penelitian Determinants of Insurance Companies Profitability: An Analysis
of Insurance Sector of Pakistan oleh Hifza Malik
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Academic Research International
pada November 2011 ini bertujuan untuk mengetahui faktor penentu profitabilitas
perusahaan yang ditunjukkan oleh return on asset (ROA) sebagai variabel dependen,
yang diuji dengan faktor spesifik perusahaan seperti usia perusahaan, ukuran
perusahaan, volume modal, leverage, dan rasio kerugian sebagai variabel independen.
Penelitian ini menggunakan sampel 35 perusahaan asuransi jiwa dan non-jiwa
dari periode 2005 hingga 2009, digunakan teknik multiple regression untuk menguji
variabel-variabel yang ada. Data sekunder diperoleh dari laporan keuangan dari
perusahaan asuransi, publikasi keuangan Bank Negara Pakistan dan Asuransi Buku
Tahunan yang diterbitkan oleh Asosiasi Asuransi Pakistandalam penelitian ini
ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara profitabilitas dan umur perusahaan,
namun terdapat signifikansi positif antara ukuran perusahaan dan profitabilitas. Hasil
lain juga menunjukkan bahwa volume modal secara signifikan dan positif
berhubungan dengan profitabilitas. Rasio kerugian dan leverage menunjukkan
hubungan yang negatif terhadap profitabilitas.
Tabel 2.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu
No Penulis Judul Variabel Metode Hasil
1 M. Nur Rianto Al
Arif (2015)
(1) Pembiayaan
(2) Variabel
Regresi data
panel dengan
Spin-off tidak
berpengaruh
49
No Penulis Judul Variabel Metode Hasil
The Effect of
Spin-Off Policy
on Financing
Growth in
Indonesian
Islamic Banking
Industry
Jurnal Al-Ulum
dummy spin-off
(3) Dana pihak
ketiga (DPK)
(4) Rasio efisiensi,
diukur dari BOPO
(5) Tingkat Inflasi
(6) Tingkat suku
bunga bank
konvensional
(7) Pertumbuhan
ekonomi di
Indonesia
model Fixed
Effect
terhadap
pertumbuhan
pembiayaan di
Indonesia.
Yang
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
pertumbuhan
pembiayaan
pada bank
syariah hasil
spin-off
hanyalah
variabel DPK
dan tingkat
suku bunga.
2 Amalia Nasuha (1) Aset Wilcoxon Signed Terdapat
50
No Penulis Judul Variabel Metode Hasil
(2012)
Dampak
Kebijakan Spin-
Off Terhadap
Kinerja Bank
Syariah
Jurnal Al-Iqtishad
(2) DPK
(3) Pembiayaan
(4) Pendapatan
bersih
(5) Capital
Adequacy Ratio
(CAR)
(6) Non-
Performing
Financing (NPF)
(7) Financing to
Deposit ratio (FDR)
(8) Return on Asset
(ROA)
(9) Return on
Equity (ROE)
Ranks Test perbedaan
kinerja pada
variabel aset,
DPK dan
pembiayaan
antara
sebelum dan
sesudah
dilakukannya
spin-off.
3 M. Nur Rianto Al
Arif (2015)
Keterkaitan
(1) BOPO
(2) Variabel
dummy spin-off
(3) DPK
Analisis Regresi
Berganda
Terdapat
pengaruh
positif
terhadap
51
No Penulis Judul Variabel Metode Hasil
Kebijakan
Pemisahan
terhadap Tingkat
Efisiensi pada
Industri
Perbankan
Syariah di
Indonesia oleh
Jurnal Keuangan
dan Perbankan
(4) Pembiayaan
(5) Aset agregat
(6) NPF
(7) Marjin
deposito
(8) ROA
tingkat
efisiensi
operasional
yang
disebabkan
oleh kebijakan
spin-off pada
industri
perbankan
syariah.
Variabel
DPK, total
jumlah
pembiayaan,
aset agregat
dan NPF tidak
memiliki
pengaruh
terhadap
52
No Penulis Judul Variabel Metode Hasil
tingkat
efisiensi
operasional
pada industri
perbankan
syariah.
Sedangkan
variabel
marjin
deposito
dalam 1 bulan
dan ROA
memperlihatk
an adanya
pengaruh
negatif..
4 M. Nur Rianto Al
Arif dan Endah
Putri Dewanti
(2017)
(1) ROA
(2) Spin-off
(3) Net Profit
Finance
Regresi data
panel dengan
model Random
Effect
Spin-off oleh
UUS untuk
menjadi BUS,
baik murni
53
No Penulis Judul Variabel Metode Hasil
Metode Spin-Off
dan Tingkat
Profitabilitas:
Studi Pada Bank
Umum Syariah
Hasil Spin-Off
Jurnal Al-
Iqtihsadia
(4) BOPO
(5) CAR
(6) FDR
dan tidak
murni,
keduanya
tidak
berdampak
pada tingkat
profitabiltas.
Yang
berdampak
pada tingkat
profitabilitas
atau ROA
menurut
penelitian ini
adalah BOPO
dan NPF, dan
pengaruh
yang
ditimbulkan
54
No Penulis Judul Variabel Metode Hasil
adalah
hubungan
negatif .
5 Ai Fitri Nurlatifah
dan Sepky
Mardian (2016)
Penelitian Kinerja
Keuangan
Perusahaan
Asuransi Syariah
di Indonesia:
Surplus on
Contribution
Jurnal
Akuntabilitas:
Jurnal Ilmu
Akuntansi
(1) SOC
(2) Size
(3) Leverage
(4) Liquidity
(5) Tangibility
(6) Volume of
Capital
(7) Loss Ratio
Regresi Data
Panel
Variabel size
berpengaruh
positif
terhadap
SOC.
Leverage dan
volume of
capital
berpengaruh
negatif
terhadap
SOC.
6 Daniel Mehari (1) ROA Regresi Data Umur
55
No Penulis Judul Variabel Metode Hasil
dan Tilahun
Aemiro (2013)
Firm Specific
Factors that
Determine
Insurance
Companies
Performance in
Ethiopia
European
Scientific Journal
(2) Umur
perusahaan
(3) Ukuran
perusahaan
(4) Leverage
(5) Liquidity
(6) Loss ratio
(7) Tangibility
Panel perusahaan,
loss ratio,
berhubungan
negatif
dengan ROA
Ukuran
perusahaan,
Leverage,
Liquidity
berhubungan
positif dengan
ROA
7 Hifza Malik
(2011)
Determinants of
Insurance
Companies
Profitability: An
(1) ROA
(2) Umur
perusahaan
(3) Ukuran
perusahaan
(4) Leverage
(5) Volume of
Regresi berganda Terdapat
signifikansi
positif antara
ukuran
perusahaan
dan volume
modal
56
No Penulis Judul Variabel Metode Hasil
Analysis of
Insurance Sector
of Pakistan
Academic
Research
International
capital
terhadap
profitabilitas.
Rasio
kerugian dan
leverage
menunjukkan
hubungan
yang negatif
terhadap
profitabilitas.
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini merujuk pada penelitian Al Arif (2015)
yang menyatakan kebiajkan spin-off tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
pembiayaan pada industri perbankan syariah dan Nasuha (2012) yang menyatakan
bahwa dalam industri perbankan tidak ada perbedaan dalam hal kinerja keuangan
sebelum dan setelah spin-off serta merujuk pada Islamic Insurance Outlook 2017
yang dipublikasikan oleh Karim Consulting menyatakan bahwa capaian market share
terbesar dalam hal aset dan kontribusi bruto dimiliki oleh UUS, bukan perusahaan
perasuransian syariah yang telah full fledge. Kemudian merujuk pada penelitian
57
Mehari & Aemiro (2013), Malik (2011) serta Nurlatifah & Mardian (2016), mengenai
pengukuran kinerja keuangan perusahaan perasuransian syariah. Berdasarkan latar
belakang itulah, kerangka pemikiran dalam penelitian ini memiliki model sebagai
berikut:
Gambar 2.8 Kerangka Pemikiran
2.4 Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan teori-teori dan dan beberapa rujukan penelitian empiris yang telah
dipaparkan sebelumnya, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
ROA
Leverage
Aset Industri Asuransi
Syariah di Indonesia
Underwriting Surplus
Size
Spin-off
Volume of Capital
58
1. Kebijakan spin-off akan berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan aset
industri asuransi syariah di Indonesia.
2. Kinerja keuangan perusahaan perasuransian syariah hasil spin-off yang
dinyatakan oleh total aset, laba bersih, surplus underwriting, dan ROA akan
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan aset industri asuransi syariah di
Indonesia.