Upload
lamquynh
View
215
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Makanan Pendamping- ASI
MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan
kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI
(Depkes, 2006). MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan
keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik
bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat
pencernaan bayi dalam menerima MP-ASI (Depkes RI, 2004).
MP-ASI merupakan peralihan asupan yang semata berbasis susu menuju ke
makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan ketrampilan motorik
oral. Ketrampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan
makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah
bagian depan ke lidah bagian belakang (Depkes,2000).
Adapun waktu yang baik dalam memulai pemberian MP-ASI pada bayi adalah
umur 6 bulan. Pemberian makanan pendamping pada bayi sebelum umur tersebut
akan menimbulkan risiko sebagai berikut :
- Rusaknya sistem pencernaan karena perkembangan usus bayi dan pembentukan
enzim yang dibutuhkan untuk pencernaan memerlukan waktu 6 bulan. Sebelum
sampai usia ini, ginjal belum cukup berkembang untuk dapat menguraikan sisa
yang dihasilkan oleh makanan padat.
- Tersedak disebabkan sampai usia 6 bulan, koordinasi syaraf otot
(neuromuscular) bayi belum cukup berkembang untuk mengendalikan gerak
kepala dan leher ketika duduk dikursi. Jadi, bayi masih sulit menelan makanan
dengan menggerakan makanan dari bagian depan ke bagian belakang mulutnya,
karena gerakan ini melibatkan susunan refleks yang berbeda dengan minum
susu.
- Meningkatkan resiko terjadinya alergi seperti asma, demam tinggi , penyakit
seliak atau alergi gluten (protein dalam gandum).
- Batuk, penelitian bangsa Scotlandia adanya hubungan antara pengenalan
makanan pada umur 4 bulan dengan batuk yang berkesinambungan.
- Obesitas, penelitian telah menghubungkan pemberian makanan yang berlebih di
awal masa perkenalan dengan obesitas dan peningkatan resiko timbulnya
kanker, diabetes dan penyakit jantung di usia lanjut (Lewis, 2003).
2.1.1 Jenis MP-ASI
Beberapa Jenis MP-ASI yang sering diberikan adalah:
1). Buah, terutama pisang yang mengandung cukup kalori. Buah jenis lain yang
sering diberikan pada bayi adalah : pepaya, jeruk, dan tomat sebagai sumber
vitamin A dan C.
2). Makanan bayi tradisional :
a). Bubur susu buatan sendiri dari satu sampai dua sendok makan tepung beras
sebagai sumber kalori dan satu gelas susu sapi sebagai sumber protein.
b). Nasi tim saring, yang merupakan campuran dari beberapa bahan makanan, satu
sampai dua sendok beras, sepotong daging, ikan atau hati, sepotong tempe atau
tahu dan sayuran seperti wortel dan bayam, serta buah tomat dan air kaldu.
3). Makanan bayi kalengan, yang diperdagangkan dan dikemas dalam kaleng,
karton, karton kantong (sachet) atau botol : untuk jenis makanan seperti ini perlu
dibaca dengan teliti komposisinya yang tertera dalam labelnya (Lewis, 2003).
Menurut WHO Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang dianggap baik adalah
apabila memenuhi beberapa kriteria hal berikut :
a). Waktu pemberian yang tepat, artinya MP-ASI mulai diperkenalkan pada bayi
ketika usianya lebih dari 6 bulan dan kebutuhan bayi akan energy dan zat-zat
melebihi dari apa yang didapatkannya melalui ASI
b). Memadai, maksudnya adalah MP-ASI yang diberikan memberikan energy,
protein dan zat gizi mikro yang cukup untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
anak.
c). Aman, makanan yang diberikan bebas dari kontaminasi mikroorganisme baik
pada saat disiapkan, disimpan maupun saat diberikan pada anak.
2.1.2 Anjuran Pemberian ASI
` Dalam deklarasi Innoceti tentang perlindungan, promosi dan dukungan pada
pemberian ASI antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1991, pemberian
makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir
hingga usia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupannya.
Makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia sekitar 6
bulan. Selanjutnya WHO menyelenggarakan konvensi Expert Panel Meeting yang
meninjau lebih dari 3000 makalah riset dan menyimpulkan bahwa periode 6 bulan
merupakan usia bayi yang optimal untuk pemberian ASI eksklusif (Gibney, 2008).
Pemberian makan setelah bayi berusia 6 bulan memberikan perlindungan
besar dari berbagai penyakit. Hal ini disebabkan imunitas bayi > 6 bulan sudah lebih
sempurna dibandingkan dengan umur bayi < 6. Pemberian MP-ASI dini sama saja
dengan mebuka gerbang masuknya berbagai jenis kuman penyakit. Hasil riset
menunjukan bahwa bayi yang mendapatkan MP-ASI sebelum berumur 6 bulan lebih
banyak terserang diare, sembelit, batuk pilek dan panas dibandingkan bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif.
Saat bayi berusia 6 bulan atau lebih, sistem pencernaannya sudah relatif
sempurna dan siap menerima MP-ASI. Beberapa enzim pemecah protein seperti asam
lambung, pepsin, lipase, amilase baru akan diproduksi sempurna. Saat bayi berusia
kurang dari 6 bulan, sel-sel disekitar usus belum siap menerima kandungan dalam
makanan, sehingga makanan yang masuk dapat menyebabkan reaksi imun dan terjadi
alergi. Menunda pemberian MP-ASI hingga 6 bulan melindungi bayi dari obesitas di
kemudian hari. Bahkan pada kasus ekstrim pemberian MP-ASI dini dapat
menyebabkan penyumbatan saluran cerna dan harus dilakukan pembedahan (Gibney,
2009).
Selain itu pada tahun 2002, Morten El et Jama melakukan penelitian pada
3.253 orang di Denmark. Mereka yang disusui kurang dari 1 bulan IQ-nya lebih
rendah dari yang disusui setidaknya 7 hingga 9 bulan. Ini menunjukkan terdapat
korelasi antara lamanya pemberian ASI dan tingkat IQ ( Anonim, 2009).
2.2. Faktor yang Mempengaruhi Pemberian MP-ASI Dini
Banyak kepercayaan dan sikap yang tidak mendasar terhadap makna
pemberian ASI yang membuat para ibu tidak melakukan pemberian ASI secara
eksklusif kepada bayi meraka dalam periode 6 bulan pertama. Alasan umum mengapa
mereka memberikan MP-ASI secara dini meliputi rasa takut bahwa ASI yang mereka
hasilkan tidak cukup dan kualitasnya buruk. Hal ini dikaitkan dengan pemberian ASI
pertama (kolostrum) yang terlihat encer dan menyerupai air selain itu keterlambatan
memulai pemberian ASI dan praktek membuang kolostrum juga mempengaruhi
alasan pemberian MP-ASI dini karena banyak masyarakat di negara berkembang
percaya kolostrum yang berwarna kekuningan merupakan zat beracun yang harus
dibuang.
Teknik pemberian ASI yang salah yang menyebabkan ibu mengalami nyeri,
lecet pada puting susu, pembengkakan payudara dan mastitis dapat menyebabkan ibu
menghentikan pemberian ASI. Serta kebiasaan yang keliru bahwa bayi memerlukan
cairan tambahan selain itu dukungan yang kurang dari pelayanan kesehatan seperti
tidak adanya fasilitas rumah sakit dan rawat gabung dan disediakannya dapur susu
formula akan meningkatkan praktek pemberian MP-ASI predominan kepada bayi
yang baru lahir di rumah sakit. Serta pemasaran susu formula pengganti ASI yang
menimbulkan anggapan bahwa formula PASI lebih unggul daripada ASI sehingga
ibu akan lebih tertarik pada iklan PASI dan memberikan MP-ASI secara dini
(Gibney, 2009)
2.3. Masalah-Masalah dalam Pemberian MP-ASI
Masalah dalam pemberian MP-ASI pada bayi adalah meliputi pemberian makanan
prelaktal (makanan sebelum ASI keluar). Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan
bayi dan menggangu keberhasilan menyusui serta kebiasaan membuang kolostrum
padahal kolostrum mengandung zat-zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dari
penyakit dan mengandung zat gizi yang tinggi. Oleh karena itu kolostrum jangan
dibuang.
Selain itu pemberian MP-ASI yang terlalu dini (sebelum bayi berumur 6 bulan)
dapat menurunkan konsumsi ASI dan meningkatkan terjadinya gangguan
pencernaan/diare, dengan memberikan MP-ASI terlebih dahulu berarti kemampuan
bayi untuk mengkonsumsi ASI berkurang yang berakibat menurunnya produksi ASI.
Hal ini dapat mengakibatkan anak menderita kurrang gizi, seharusnya ASI diberikan
dahulu baru MP-ASI
Pemberian ASI terhenti karena ibu kembali bekerja di daerah kota dan semi
perkotaan, ada kecenderungan rendahnya frekuensi menyusui dan ASI dihentikan
terlalu dini pada ibu-ibu yang bekerja karena kurangnya pemahaman tentang
manajemen laktasi pada ibu bekerja. Ibu kurang menjaga kebersihan terutama pada
saat menyediakan dan memberikan makanan pada anak. Masih banyak ibu yang
menyuapi anak dengan tangan, menyimpan makanan matang tanpa tutup makanan/
tudung saji dan kurang mengamati perilaku kebersihan dari pengasuh anaknya. Hal
ini memungkinkan timbulnya penyakit infeksi seperti diare ( mencret) dan lain-lain
(Depkes, 2000).
2.4. Hubungan MP-ASI Dini dengan Kejadian Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi adalah masuknya kuman tau bibit penyakit baik virus , bakteri
maupun jamur ke dalam organ tubuh dan berkembang biak serta menyebabkan
terjadinya kerusakan jaringan dalam tubuh. Gejala utama terjadinya infeksi pada
manusia adalah meningkatnya suhu badan yang disebut dengan demam
(Setiawan,2009).
Pada waktu bayi baru lahir secara alamiah mendapat zat kekebalan tubuh dari
ibunya melalui plasenta. Tetapi kadar zat tersebut akan cepat turun setelah kelahiran
bayi, padahal dari waktu bayi lahir sampai bayi berusia beberapa bulan, bayi belum
dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. Sehingga kemampuan bayi
membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat selanjutnya akan terjadi
kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan daya tahan tersebut dapat diatasi apabila
bayi diberi ASI (Roesli, 2005).
Di negara-negara berkembang, bayi yang mendapat ASI mempunyai angka
kesakitan dan kematian yang secara bermakna lebih rendah dibandingkan yang
diberikan susu formula. Hal ini disebabkan adanya faktor pelindung spesifik dalam
ASI. Dalam faktor tersebut terdapat antibodi terhadap berbagai bakteri dan virus
patogen seperti faktor antistafilokok, lisozim, komponen C3 komplomen, laktoferin,
substansi antivirus non-spesifik, sel darah putih dan lain-lain. Oleh karena itu, dengan
adanya zat anti infeksi dari ASI, maka bayi ASI eksklusif akan terlindungi dari
berbagai macam infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit
(Suharyono, 2008).
Pemberiaan MP-ASI yang terlalu dini dapat menyebabkan penurunan produksi
ASI. Karena insting bayi untuk mengisap akan menurun sehingga jumlah ASI yang
dikonsumsi juga menurun sehingga kebutuhan bayi tidak tercukupi. Kekurangan gizi
banyak terjadi karena pemberian MPASI yang terlalu dini.
MP-ASI dini dan makanan pralaktal akan berisiko diare dan ISPA pada bayi.
Dengan terjadinya infeksi tubuh akan mengalami demam sehingga kebutuhan zat gizi
dan energi semakin meningkat sedangkan asupan makanan akan menurun yang
berdampak pada penurunan daya tahan tubuh. Pada suatu penelitian di Brazil Selatan
bayi-bayi yang diberi MP-ASI dini mempunyai kemungkinan meninggal karena
mencret 14,2 kali lebih banyak daripada bayi ASI eksklusif (Utami, 2002).
Selain itu dapat
menyebabkan ganguan pencernaan karena lambung dan usus belum berfungi secara
sempurna sehingga bayi menderita diare, yang apabila terus berlanjut dapat berakibat
buruk berupa status gizi yang kurang atau buruk bahkan tidak jarang menyebabkan
kematian. Kekurangan gizi menyebabkan bayi mudah terserang penyakit infeksi
(Depkes, 2002).
Menurut WHO (2000), bayi yang diberi susu selain ASI, mempunyai risiko 17
kali lebih mengalami diare, dan tiga sampai empat kali lebih besar kemungkinan
terkena ISPA dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI saja (Depkes RI,2005).
Kekebalan bayi yang diperoleh melalui plasenta diperkirakan hilang 75% pada
usia 3 bulan. Pada saat yang sama, tubuh belum aktif membentuk imunitas sehingga
resiko infeksi karena pemberian makanan botol sangat besar terutama pada
masyarakat miskin (Simanjuntak, 2002).
Pemberian MP-ASI dini sama halnya dengan membuka gerbang masuknya
berbagai jenis penyakit. Hasil riset menunjukan bahwa bayi yang mendapatkan MP-
ASI sebelum berumur 6 bulan lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk, pilek dan
panas dibandingkan bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Pada bayi < 6 bulan beberapa enzim pemecah protein seperti asam lambung,
pepsin, lipase, amilase belum diproduksi secara sempurna. Sel-sel disekitar usus
belum siap menerima kandungan dalam makanan sehingga makanan yang masuk
dapat menyebabkan reaksi imun dan terjadinya alergi. Bahkan pada kasus ekstrim
pemberian MP-ASI dini dapat menyebabkan penyumbatan saluran cerna dan harus
dilakukan pembedahan.
2.5. Pengaruh Gizi Terhadap Penyakit Infeksi
Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk
maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk
mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu setiap
bentuk gangguan gizi sekalipun dengan defesiensi yang ringan merupakan pertanda
awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Penelitian yang
dilakukan di berbagai negara menunjukan bahwa kematian bayi akan menjadi lebih
tinggi jika jumlah anak penderita gizi buruk meningkat. Demikian halnya dengan
infeksi protozia, pada anak-anak yang tingkat gizi buruk lebih parah dibandingkan
anak yang gizinya baik.
Gizi buruk mengakibatkan terjadi gangguan terhadap produksi zat badan anti di
dalam tubuh. Penurunan produksi zat badan anti tertentu akan mengakibatkan
mudahnya bibit penyakit masuk ke dalam dinding usus. Dinding usus dapat
mengalami kemunduran dan dapat juga menggangu produksi berbagai enzim untuk
pencernaan makanan. Makanan tidak dapat dicerna dengan baik dan ini berarti
penyerapan zat gizi akan mengalami gangguan, sehingga dapat memperburuk
keadaan gizi (Sjahmien, 1988).
Interaksi antara malnutrisi dan infeksi secara sinergis sudah lama diketahui.
Infeksi berat dalam memperburuk keadaan gizi melalui gangguan makan dan
meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi baik
ringan sampai berat berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Keduanya berjalan sinergis, oleh karena salah gizi dan infeksi memberi dampak
negatif yang lebih besar dibanding dengan dampak infeksi dan salah gizi secara
terpisah (Pudjiadi, 1990).
2.6.Penyakit Infeksi yang Sering Terjadi pada Bayi
2.6.1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas
ISPA atau influenza adalah penyakit infeksi akut saluran pernapasan yang
ditandai dengan demam, sakit kepala, pilek, nyeri menelan dan batuk non produktif.
Penyebaran dapat menjalar dengan cepat di lingkunga masyarakat melalui partikel
udara yang dikeluarkans melalui percikan (droplet) pada saat batuk/ bersin.Batas
waktu 14 hari diambil untuk menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun
beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih
dari 14 hari.
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan
kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang
terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40%-
60 % dari kunjungan di Puskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian
yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20% -30%. Kematian yang terbesar umumnya
adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan hal ini
disebabkan oleh pemberian MP-ASI dini ( Irawati, 2004).
Prevalensi ISPA Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 oleh Depkes sebesar
25,50%. Di Indonesia ISPA merupakan penyebab kematian pada anak. Prevalesi
dunia dilaporkan kasus ISPA pada anak mencapai 2 juta anak pada tahun 2000.
Beberapa sumber yang digunakan untuk meneliti hubungan antara menyusui
dan resiko ISPA pada bayi yang lahir cukup bulan. Analisis dari data-data yang
diteliti menunjukkan pada negara-negara berkembang, bayi yang diberikan susu
formula mengalami 3 kali lebih sering gangguan pernafasan yang membutuhkan
perawatan intensif di rumah sakit, dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI
eksklusif selama 4 bulan atau lebih. Para peneliti di Australia Barat melakukan
penelitian terhadap 2602 anak-anak untuk melihat peningkatan resiko asma dan
gangguan pernafasan pada 6 tahun pertama. Anak-anak yang tidak mendapatkan ASI
beresiko 40% lebih tinggi terkena asma dan gangguan pernafasan dibandingkan
dengan anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif sekurangnya 4 bulan. Para
peneliti ini merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif sekurangnya 4 bulan
untuk mengurangi resiko terkena asma dan gangguan pernafasan (Anonim, 2009).
Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian
atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada
lapangan pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan
oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim
dingin. Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil
terutama apabila terdapat gizi kurang.
2.6.2. Diare
Diare adalah suatu gejala dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan
konsistensi tinja yang cair dan frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (3 kali
dalam sehari) buang air hingga lima kali sehari dan fesesnya lunak. Neonatus
diyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali, sedangkan
untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak , bila frekuensi lebih dari 3 kali (Staf
Pengejar Ilmu Kesehatan Anak, 2000).
Neonatus adalah bayi yang berumur 0 ( baru lahir) sampai usia 1 bulan sesudah
lahir (Muslihatun, 2010). Sistem pencernaan bayi belum sepenuhnya berfungsi seperti
sistem pencernaan orang dewasa. Pada saat lahir bayi memasukan makanan dari
mulut, mencerna dan mengabsorbsi nutrien-nutrien, memfungsikan ginjal untuk
mengeluarkan limbah-limbah metabolik serta mempertahankan air dan hemoestasis
elektrolit.
Diare pada neonatus dan diare pada anak > 1 bulan itu berbeda karena alat
pencernaan dan sistem ekskresi belum berkembang sempurna batas toleransi terhadap
air, mineral secara keseluruhan dan yang spesifik masih sangat sempit jika
dibandingkan dengan bayi yang berusia lebih tua. Pada saat bayi lahir sampai
beberapa bulan ginjal belum mapu mengonsentrasikan urine untuk dapat
mengeluarkan mineral yang memadai, bayi membutuhkan makanan dengan
kandungan air yang tinggi ( Setyorini, 2009).
Diare merupakan penyebab kematian yang banyak dijumpai pada anak kecil.
Kematian karena diare umumnya disebabkan oleh dehidasi karena diare dan muntah
yang berdampak pada hilangnya air dan garam tubuh.. Hal ini terjadi saat anak belajar
mendapatkan MP-ASI. Makanan yang dimakan anak mungkin mengandung banyak
kuman yang dapat menyebabkan infeksi usus dan anak terkena diare.
Antara keadan gizi buruk dan dan penyakit diare terhadap hubungan yang
sangat erat, sungguhpun sulit untuk mengatakan apakah terjadinya gizi buruk akibat
adanya diare ataukah kejadian diare adalah disebabkan keadaan gizi buruk.Diare
murupakan suatu gejala penyakit yang dapat terjadi karena berbagai sebab, seperti
salah makan, makanan yang basi atau busuk seperti sering terjadi pada pemberian
susu botol yang telah basi, disamping akibat infeksi. Mengingat tingginya angka
kematian akibat diare dan gizi buruk, maka penanganan penderita harus dilakukan
dengan cermat. Disamping pengembalian cairan yang hilang, pemberian makanan
pun harus seksama sehingga memungkinkan tercapainya kembali berat badan anak
(Sjahmien, 1988).
Pemberian cairan dan makanan dapat menjadi sarana masuknya bakteri
patogen. Bayi usia dini sangat rentan terhadap bakteri penyebab diare, terutama di
lingkungan yang kurang higienis dan sanitasi buruk. Di negara-negara kurang
berkembang, dua di antara lima orang tidak memiliki sarana air bersih. ASI menjamin
bayi dapat memperoleh suplai air bersih yang siap tersedia setiap saat. Penelitian di
Filipina menegaskan tentang manfaat pemberian ASI eksklusif serta dampak negatif
pemberian cairan tambahan tanpa nilai gizi terhadap timbulnya penyakit diare.
Seorang bayi (tergantung usianya) yang diberi air putih, teh, atau minuman herbal
lainnya berisiko terkena diare 2-3 kali lebih banyak dibanding bayi yang diberi ASI
eksklusif ( Linkages, 2009).
Penelitian terhadap 358 baduta di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah dengan
gizi buruk 34,6% menunjukkan tingginya prevalensi demam 29,1%, ISPA 22,6% dan
diare 11,2% pada baduta sesuai dengan rendahnya praktik pemberian ASI Eksklusif
20,5% . Terjadi peningkatan penggunaan susu formula pasca gempa tahun 2006 di
Jawa Tengah pada bayi yang menyusu akibat maraknya sumbangan, diikuti
peningkatan insiden diare pada bayi yang mengkonsumsi susu formula dua kali lipat
(25%) dibanding yang tidak mendapatkan formula yaitu 12% ( Anonim, 2009).
Penelitian yang dilaksanakan oleh Winda di Puskesmas Gilingan Kecamatan
Banjarsari Surakarta pada tahun 2010 menunjukkan prevalensi kejadian diare pada
bayi umur 0-6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif sebesar 43,33 %. Sedangkan
prevalensi kejadian diare pada bayi umur 0-6 bulan yang mendapat MP-ASI dini
sebesar 56,67 % ( Winda, 2010).
Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai
dengan susu botol. Flora normal usus bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri
penyebab botol untuk susu formula, berisiko tinggi menyebabkan diare yang dapat
mengakibatkan gizi buruk.
Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Depkes RI dari tahun
2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit
Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun
2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk.
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang masih
tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133
orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan
dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%),
sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita
4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %.) ( Jendela Data dan Informasi
Kesehatan, 2011).
2.7. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan MP-ASI Dini dan Infeksi
2.7.1. Pengetahuan Ibu
Latar belakang pendidikan seseorang berhubungan dengan tingkat pengetahuan.
Jika tingkat pengetahuan gizi ibu baik, maka diharapkan status gizi ibu dan balitanya
juga baik. Pengetahuan ibu berhubungan dengan tingkat pengenalan informasi
tentang pemberian makanan tambahan pada bayi usia kurang dari enam
bulan.Pengetahuan ibu tentang kapan pemberian makanan tambahan, fungsi makanan
tambahan, makanan tambahan dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan risiko
pemberian makanan pada bayi kurang dari enam bulan sangatlah penting. Tetapi
bayak ibu-ibu yang tidak mengetahui hal tersebut diatas sehingga memberikan
makanan tambahan pada bayi usia di bawah enam bulan tanpa mengetahui risiko
yang akan timbul.
Tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih kuat mempertahankan
tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan. Sehinga sulit menerima informasi
baru tentang gizi. ( Suhardjo. 1996).
Dari hasil penelitian Ragil Marni, 1998 dilaporkan bahwa ibu dengan
pengetahuan gizi baik 70% memberikan kolostrum pada bayi dan ibu dengan
pengetahuan gizi kurang baik sebanyak 21, 7% yang memberikan kolostrum pada
bayi mereka (Simanjuntak, 2002).
Pengetahuan gizi adalah pengetahuan tentang cara yang benar memilih bahan
makanan, mengolah dan mendistribusikannya. Seseorang dengan pendidikan rendah
belum tentu mampu menyusun makanan yang memenuhi syarat gizi. Karena
sekalipun pendidikan rendah jika rajin mendengarkan informasi tentang gizi, maka
pengetahuan gizi mereka akan lebih cepat baik ( Khomsan, 2004).
2.7.2. Pendapatan
Pendapatan adalah salah satu faktor yang berhubungan dengan kondisi
keuangan yang menyebabkan daya beli untuk makanan tambahan menjadi lebih
besar. Pendapatan menyangkut besarnya penghasilan yang diterima, yang jika
dibandingkan dengan pengeluaran, masih memungkinkan ibu untuk memberikan
makanan tambahan bagi bayi usia kurang dari enam bulan. Biasanya semakin baik
perekonomian keluarga maka daya beli akan makanan tambahan juga mudah,
sebaliknya semakin buruk perekonomian keluarga, maka daya beli akan makanan
tambahan lebih sukar
Tingkat penghasilan keluarga berhubungan dengan pemberian MP-ASI dini.
Penurunan prevalensi menyusui lebih cepat terjadi pada masyarakat golongan
ekonomi menengah ke atas. Penghasilan keluarga yang lebih tinggi berhubungan
positif secara signifikan dengan pemberian susu botol pada waktu dini dan makanan
buatan pabrik (Zulfanetti, 1998). Disamping itu, ibu dengan status ekonomi lebih
rendah cenderung terlambat memulai menyusui, membuang kolostrum dan
memberikan makanan pralaktal. Selanjutnya, menurut penelitian Zulfanetti di Jambi,
ibu-ibu dengan penghasilan keluarga Rp.260-000 –Rp.360.000 yang memberikan
MP-ASI berupa susu formula sebesar 30%, 26% pada ibu-ibu dengan pendapatan
keluarga sebesar Rp.361.000-Rp.560.000, sedangkan ibu-ibu dengan pendapatan
keluarga lebih dari Rp.561.000 memberikan MP-ASI berupa susu formula sebesar
44% (Pernanda 2010).
2.7.3. Pekerjaan Ibu
Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau
membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Masyarakat pekerja memiliki peranan dan kedudukan yang sangat penting
sebagai pelaku dan tujuan pembangunan, dimana dengan berkembangnya IPTEK
dituntut adanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan mempunyai
produktifitas yang tinggi sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan (Siregar,
2010)
Faktor pekerjaan ibu adalah faktor yang berhubungan dengan aktivitas ibu
setiap harinya untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya
yang menjadi alasan pemberian makanan tambahan pada bayi usia kurang dari enam
bulan. Pekerjaan ibu bisa saja dilakukan di rumah, di tempat kerja baik yang dekat
maupun jauh dari rumah. Ibu yang belum bekerja sering memberikan makanan
tambahan dini dengan alasan melatih atau mencoba agar pada waktu ibu mulai
bekerja bayi sudah terbiasa (Siregar, 2008).
Pada penelitian Winikoff (1988) di empat negara menunjukkan bahwa status
ibu bekerja saja tidak dapat dipakai sebagai ukuran untuk menduga penggunaan susu
formula dan lamanya bayi disusui. Karakteristik pekerjaan, apakah harus
meninggalkan rumah atau tanpa meninggalkan rumah perlu dipertimbangkan. Ibu
yang bekerja meninggalkan rumah berhubungan positif dengan penggunaan susu
botol dan penyapihan dini (Pernanda, 2010).
Praktek pemberian makan pada bayi dari ibu bekerja di rumah sama dengan
pada ibu yang tidak bekerja. Ibu yang bekerja dengan meninggalkan rumah 2 kali
lebih besar kemungkinannya memperkenalkan susu botol pada bayinya dalam waktu
dini dibanding yang bekerja tanpa meninggalkan rumah dan 4 kali dibanding ibu
yang tidak bekerja. Pertukaran jam kerja yang kaku, tidak tersedianya tempat
penitipan anak, jarak lokasi bekerja yang jauh dan kebijakan cuti melahirkan yang
kurang mendukung menyebabkan ibu harus meninggalkan bayinya selama beberapa
jam sehingga sulit untuk menyusui on demand (Pernanda, 2010).
2.7.4. Pendidikan
Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang
lain baik indiviidu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoadmojo, 2003). Pada beberapa hasil
penelitian (Behm, 1976-78; Haines & Avery, 1978; Caldwell, 1979, Farah & Preston,
1982; Cochrane, 1980; Caldwell & Mc. Donald, 1981) yang dikutip oleh Ware (1984,
193) ditemukan hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kelangsungan hidup
anak walaupun berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Tingkat
pendidikan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku. Selanjutnya dikatakan bahwa
untuk mengukur tingkat pendidikan ibu dapat dibagi dalam dua kategori yaitu
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan ( Simanjuntak, 2002).
Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memberikan susu
botol lebih dini dan ibu yang mempunyai pendidikan formal lebih banyak
memberikan susu botol pada usia 2 minggu dibanding ibu tanpa pendidikan formal
(Pernanda, 2010).
2.7.5. Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan adalah orang yang mengerjakan sesuatu pekerjaan di bidang
kesehatan atau orang mampu melakukan pekerjaan di bidang kesehatan. Faktor
petugas kesehatan adalah kualitas petugas kesehatan yang akhirnya menyebabkan ibu
memilih untuk memberikan makanan tambahan pada bayi atau tidak. Petugas
kesehatan sangat berperan dalam memotivasi ibu untuk tidak memberi makanan
tambahan pada bayi usia kurang dari enam bulan.
Biasanya, jika dilakukan penyuluhan dan pendekatan yang baik kepada ibu yang
memiliki bayi usia kurang dari enam bulan, maka pada umumnya ibu mau patuh dan
menuruti nasehat petugas kesehatan, oleh karena itu petugas kesehatan diharapkan
menjadi sumber informasi tentang kapan waktu yang tepat memberikan makanan
tambahan dan risiko pemberian makanan tambahan dini pada bayi.
Prevalensi ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan berdasarkan hasil
Susenas 2010 provinsi Sumatera Utara adalah 88,4%. Pengaruh tenaga keseatan
merupakan faktor pendorong perilaku dan pola asuh bagi ibu pada bayi misalnya
pemberian ASI eksklusif ( Depkes, 2010)
Penelitian di sebuah kota di Ghana menunjukkan 93% bidan berpendapat cairan
harus diberikan kepada semua bayi sejak hari pertama kelahirannya. Di Mesir,
banyak perawat menyarankan para ibu untuk memberi air manis kepada bayinya
segera setelah melahirkan (Linkages, 2009). Keadaan ini memperkuat pendapat
bahwa petugas kesehatan dapat dikatakan belum atau masih kurang mendukung
perlindungan dan peningkatan menyusui.
2.8. Kerangka Konsep
Gambar 2.1. Kerangka konsep kaitan antara pemberian MP-ASI dini dengan kejadian infeksi ada bayi 0-6 bulan
Dari skema terlihat bahwa karakteristik keluarga (pengetahuan ibu,
pendapatan, pekerjaan, pendidikan) dan dukungan petugas kesehatan mempengaruhi
pemberian MP-ASI dini yang merupakan variabel independen dan kejadian infeksi
pada bayi 0-6 bulan merupakan variabel dependen. Pemberian MP-ASI dini
mempengaruhi kejadian infeksi pada bayi 0-6 bulan.
2.9. Hipotesis
Ho : Tidak ada hubungan antara pemberian MP-ASI dini dengan kejadian infeksi
pada bayi 0-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Sindar Raya Kecamatan Raya
Kahean Tahun 2012
Ha: Ada hubungan antara pemberian MP-ASI dini dengan kejadian infeksi pada bayi
0-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Sindar Raya Kecamatan Raya Kahean
Tahun 2012.
Kejadian Penyakit: - ISPA - Diare
Karakteristik Keluarga; - Pengetahuan Ibu - Pendapatan - Pekerjaan - Pendidikan
MP-ASI Dini
Dukungan Petugas Kesehatan