Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan Dalam Paradigma
Perencanaan
Lahan merupakan kata yang sering kita jumpai di kehidupan sehari-
hari. Sering kali masyarakat umum mengidentikkan lahan dengan istilah
tanah. Akan tetapi secara keilmuan, terdapat dua cara pandang dalam
mengartikan lahan. Cara pandang yang pertama yaitu lahan sebagai lahan
(land) dan yang kedua yaitu lahan sebagai tanah (soil) (Deliyanto, 2014).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 2 disebutkan bahwa lahan adalah
tanah terbuka atau tanah garapan, sedangkan dalam buku tersebut disebutkan
pula bahwa tanah sendiri adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang
paling atas atau terluar, dan merupakan benda alam yang mempunyai sifat
fisik, kimia, dan biologi tertentu serta berdimensi tiga seperti ruang yang
mempunyai dimensi panjang, lebar, dan kedalaman atau tinggi. Maka dari itu
makna lahan lebih luas daripada tanah dan bisa diartikan bahwa tanah
merupakan bagian dari lahan.
Dalam ilmu spasial terdapat dua istilah yang berhubungan dengan
lahan, yaitu tutupan/penutupan lahan (land cover) dan penggunaan lahan
(land use). Jika dilihat secara sekilas tutupan lahan dan penggunaan lahan
mungkin terlihat sama saja. Kedua istilah tersebut menggolongkan jenis-jenis
lahan berdasarkan kondisi fisik dan fungsi lahan tersebut, seperti lahan
pertanian, permukiman, hutan, dan sebagainya. Akan tetapi secara detail
penutupan lahan dan penggunaan lahan memiliki makna yang berbeda.
2.1.1 Penutupan Lahan (Land Cover)
Penutupan lahan merupakan garis yang menggambarkan batas
penampakan area tutupan di atas permukaan bumi yang terdiri dari
15
bentang alam dan/atau bentang buatan (UU No.4, 2011). Penutupan
lahan dapat pula berarti tutupan biofisik pada permukaan bumi yang
dapat diamati dan merupakan hasil pengaturan, aktivitas, dan perlakuan
manusia yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk
melakukan kegiatan produksi, perubahan, ataupun perawatan pada
areal tersebut (SNI 7645, 2010). Pada umumnya pengelompokan
penutupan lahan dilihat berdasarkan peta citra satelit. Adapun
klasifikasi penutupan lahan menurut SNI disajikan dalam tabel 2.1
berikut.
No
Jenis Penutupan Lahan
Daerah Bervegetasi Daerah Tidak Bervegetasi
1
Daerah Pertanian: sawah
irigasi, sawah tadah hujan,
Sawah lebak, sawah pasang
surut, polder perkebunan,
Perkebunan campuran,
Tanaman Campuran
Lahan terbuka: Lahan terbuka
pada kaldera, Lahar dan lava,
Hamparan pasir pantai, Beting
pantai, Gumuk pasir, Gosong
sungai
2
Daerah Bukan Pertanian:
Hutan lahan kering, Hutan
lahan basah, Belukar, Semak,
Sabana, Padang alang-alang,
Rumput rawa
Permukiman dan lahan bukan
pertanian: Lahan terbangun,
Permukiman, Bangunan Industri,
Jaringan jalan, Jaringan Jalan
kereta api, Jaringan listrik
tegangan tinggi, Bandar Udara,
domestik/internasional, Lahan
tidak terbangun, Pertambangan,
Tempat penimbunan
sampah/deposit
Tabel 2.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut SNI
16
3
Perairan: Danau, Waduk, Tambak
ikan, Tambak garam,Rawa,
Sungai, Anjir pelayaran, Saluran
irigasi, Terumbu karang, Gosong
pantai/dangkalan
2.1.2 Penggunaan Lahan (Land Use)
Berbeda dengan penutupan lahan, penggunaan lahan memiliki
arti campur tangan manusia terhadap lahan, baik secara menetap
maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material
maupun spiritual (Junaidi, 2017). Penggunaan lahan di perkotaan dan
pedesaan tentunya memiliki karakteristik yang berbeda. Dalam UU
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa
kegiatan yang menjadi ciri kawasan perkotaan meliputi tempat
permukiman perkotaan serta tempat pemusatan dan pendistribusian
kegiatan bukan pertanian, seperti kegiatan pelayanan jasa
pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Sedangkan dalam UU tersebut dijelaskan bahwa kegiatan yang menjadi
ciri kawasan perdesaan meliputi tempat permukiman perdesaan,
kegiatan pertanian, kegiatan terkait pengelolaan tumbuhan alami,
kegiatan pengelolaan sumber daya alam, kegiatan pemerintahan,
kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Pendapat lain mengemukakan bahwa penggunaan lahan di
pedesaan didominasi oleh permukiman dan pertanian (kegiatan
ekonomi ekstraktif dan reproduktif) yang tiap satuan kegiatannya
memerlukan tanah yang luas dan jumlah orang yang bekerja pada
satuan luas tanah tersebut relatif sedikit, sedangkan penggunaan lahan
di perkotaan di selain untuk perumahan, umumnya digunakan untuk
kepentingan industri dan jasa (kegiatan produksi fasilitatif) yang dalam
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2010
17
tiap satuan kegiatan hanya memerlukan tanah yang relatif kecil dan
jumlah orang yang bekerja pada satuan luas tanah itu banyak
(Jayadinata, 1999 dalam Haurissa, 2016). Perbedaan tersebut dapat
dipengaruhi oleh kondisi fisik, kependudukan, sosial budaya serta
kebutuhan masyarakat. Selain itu, terdapat klasifikasi mengenai
penggunaan lahan berdasarkan SNI yang tercantum dalam tabel 2.2
berikut ini.
Klasifikasi
Penggunaan
Lahan (Tingkat
Nasional)
Klasifikasi Status
Penguasaan lahan
Klasifikasi Kawasan
Lindung dan
Budidaya
1) Pemukiman
2) Sawah
3) Pertanian
Lahan Kering
4) Kebun
5) Perkebunan
6) Pertambangan
7) Industri dan
Pariwisata
8) Perhubugan
9) Lahan
Berhutan
10) Lahan
Terbuka
11) Padang
12) Perairan darat
13) Lain-lain
1) Tanah Negara (TN):
Tanah negara bebas
yang statusnya masih
dikuasai negara.
2) Tanah Negara
dibebani Hak (TAH):
Tanah yang sudah
dibebani hak seperti
Hak Milik, Hak Adat,
Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna
Bangunan (HGB),
Hak Pakai, Hak
Pengelolaan. Hak
Milik merupakan
tanah milik yang telah
bersertipikat. Hak
Kawasan lindung:
kawasan yang berfungsi
lindung.
Kawasan budidaya:
kawasan diluar
kawasan lindung yang
bisa dibudidayakan.
Tabel 2.2 Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut SNI
18
Adat/Ulayat belum
bersertipikat.
2.1.3 Perbedaan Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan
Perbedaan paling mendasar dari penutupan lahan dan penggunaan
lahan yaitu terletak dari kondisi fisik dan pengelompokannya.
Penggunaan lahan umumnya meliputi segala jenis kenampakan lahan
yang sudah dimanfaatkan oleh manusia, sedangkan penutup lahan
mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi yang
ada pada lahan tertentu (Landoala, 2013). Penggunaan lahan
merupakan aspek penting karena penggunaan lahan mencerminkan
tingkat peradaban manusia yang menghuninya. Selain itu, Penggunaan
lahan merupakan isu yang lebih kompleks dibanding penutupan lahan
karena memiliki perbedaan fungsi meski pada unit lahan yang sama.
2.1.4 Lahan Pertanian Basah dan Pertanian Kering
Lahan pertanian merupakan lahan yang sering dijumpai
khususnya di pedesaan. Hal tersebut dikarenakan kawasan pedesaan
memang difungsikan salah satunya untuk kegiatan pertanian. Lahan
pertanian sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu lahan pertanian basah
dan lahan pertanian kering. Lahan pertanian basah merupakan wilayah
atau lahan pertanian yang memiliki kondisi tanah jenuh dengan air baik
yang bersifat menetap atau permanen maupun musiman. Contoh lahan
pertanian basah diantaranya ialah pesawahan, lahan gambut, rawa dan
hutan bakau. Sedangkan lahan pertanian kering merupakan lahan
pertanian yang memilki kandungan air yang rendah dan merupakan
jenis lahan yang cenderung gersang, dan tidak memiliki sumber air
yang pasti, seperti sungai, danau ataupun saluran irigasi. Contoh lahan
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2010
19
pertanian kering yaitu segala jenis perkebunan buah, sayuran, umbi-
umbian dan tanaman hias (Pratama, 2019).
Kedua jenis lahan pertanian tersebut umumnya sering terdapat di
kawasan pedesaan. Pada penelitian ini sesuai dengan judulnya, lebih
berfokus kepada pembahasan mengenai alih fungsi lahan sawah di
Kecamatan Ciparay yang mana termasuk kedalam lahan pertanian
basah. Adapun jenis sawah yang dimaksud yaitu sawah irigasi dan
sawah abadi (LP2B).
2.1.5 Lahan Terbangun
Lahan terbangun (built up area) merupakan lahan yang sudah
mengalami proses pembangunan atau perkerasan yang terjadi di atas
lahan tersebut (Yuliastuti & Fatchurochman, 2011). Lahan terbangun
bisa terdiri atas lahan campuran ataupun satu jenis lahan. Lahan
terbangun dapat berupa lahan permukiman, perkantoran, industri,
perdagangan, dan jasa. Di kawasan pedesaan, lahan terbangun
didominasi oleh lahan permukiman dan industri. Menurut UU No. 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan
bahwa Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di
luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Di kawasan pedesaan, alih fungsi
lahan yang paling banyak terjadi adalah alih fungsi lahan sawah
menjadi lahan permukiman.
2.2 Karakteristik Konversi Lahan
Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah berubahnya satu
penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang
20
timbul banyak terkait dengan kebijakan tata guna lahan (Ruswandi, 2004
dalam Moechtar, 2018). Dalam Bahasa yang lebih sederhana, alih fungsi
lahan menjurus kepada perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi yang lain.
Konversi lahan sendiri terbagi kedalam tujuh pola atau tipologi,
diantaranya yaitu (Sihaloho, 2004):
1) Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama
yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi
pelaku konversi.
2) Konversi sistematik berpola 'enclave'; dikarenakan lahan kurang
produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk
meningkatkan nilai tambah.
3) Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population
growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi
demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan
terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven
land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan
ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
5) Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk
mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar
dari kampung.
6) Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan
keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan
hasil pertanian.
7) Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh
berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran,
21
sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak
dijelaskan dalam konversi demografl.
Dalam penelitian ini, penulis mengacu kepada tipologi ke-3, yaitu
Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population
growth driven land conversion). Hal tersebut dikarenakan kepadatan
penduduk merupakan salah satu variabel prediktor dalam analisis faktor yang
mempengaruhi konversi lahan sawah dan berpotensi sebagai faktor yang
paling berpengaruh.
2.2.1 Konversi Lahan Pertanian
Alih fungsi atau konversi lahan pertanian adalah perubahan
fungsi lahan sawah ke lahan bukan sawah baik untuk peruntukan
pertanian lain maupun perubahan ke nonpertanian (Gatot, 2016).
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa alih fungsi lahan sawah
adalah suatu proses yang disengaja oleh manusia (anthropogenic),
bukan suatu proses alami. (Agus, 2004). Konversi lahan pertanian pada
dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan
pertanian dengan non pertanian. Alih fungsi lahan pertanian yang
paling sering terjadi ialah alih fungsi lahan sawah menjadi lahan
permukiman, dan disusul oleh lahan industri dan perdagangan.
Pola alih fungsi lahan pertanian di Indonesia dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu aspek pelaku konversi dan aspek proses. Jika dilihat dari
pelaku konversi, motif pemilik lahan untuk mengalihfungsikan lahan
pertanian adalaha sebagai pemenuhan kebutuhan tempat tinggal juga
dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha. Pola ini
terjadi di sembarang tempat, kecil-kecil dan tersebar dan dampaknya
jangka lama. Jika dilihat dari prosesnya, alih fungsi lahan sawah terjadi
secara pengalihan kekuasaan di mana pemilik lahan menjual kepada
pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha nonsawah kepada
makelar. Pola ini terjadi pada hamparan yang lebih luas,
22
terkonsentrasim dan umumnya berkolerasi positif dengan urbanisasi,
serta dampaknya dalam jangka pendek (Gatot, 2016).
Alih fungsi lahan pertanian dapat terjadi secara langsung maupun
tidak langung. Konversi secara langsung terjadi akibat keputusan
pemilik lahan untuk mengalihfungsikan lahan untuk penggunaan lain
seperti untuk industri perumahan dan prasarana atau pertanian lainnya.
Sedangkan konversi tidak langsung terkait dengan makin menurunnya
kualitas lahan ataupun makin rendahnya income opportunity lahan
tersebut akibat kegiatan tertentu (Gatot, 2016).
Konversi Iahan sawah didefinisikan sebagai konversi Iahan neto.
Artinya luas Iahan tahun t (Lt) adalah luas Iahan tahun sebelumnya (Lt-
l) ditambah pencetakan sawah baru (Ct) dikurangi alih fungsi Iahan
sawah (At). Secara matematika, diformulasikan sebagai berikut
(Irawan, 2000 dalam Dewi & Rudiarto, 2013):
Dengan demikian jika konversi Iahan sawah bernilai positif,
berarti hanya terjadi pencetakan sawah baru, atau pencetakan lahan
sawah yang terjadi lebih luas dari alih fungsi Iahan sawah masing-
masing pada tahun t. Sebaliknya jika konversi Iahan sawah bernilai
negatif, berarti hanya terjadi alih fungsi Iahan sawah atau, alih fungsi
Iahan sawah lebih luas dari pencetakan sawah masing-masing pada
tahun t. Akan tetapi, dalam penelitian ini penulis menghitung konversi
lahan sawah dengan cara mengurangi luas lahan sawah tahun
sebelumnya dengan luas lahan sawah eksisting, sehingga didapat luas
konversi lahan sawah.
23
2.2.2 Metode Overlay Peta
Overlay Peta yaitu kemampuan untuk menempatkan grafis satu
peta diatas grafis peta yang lain dan menampilkan hasilnya di layar
komputer atau pada plot. Secara singkatnya, overlay menampalkan
suatu peta digital pada peta digital yang lain beserta atribut-atributnya
dan menghasilkan peta gabungan keduanya yang memiliki informasi
atribut dari kedua peta tersebut (Guntara, 2013). Dalam
penggunaannya, dibutuhkan minimal 2 peta untuk bisa menggunakan
metode overlay peta. Hal tersebut karena overlay peta bekerja dengan
menumpangtindihkan informasi antara satu peta dengan peta yang lain.
Terdapat banyak Teknik untuk mengoverlay peta pada ArcGIS, namun
Teknik yang paling umum digunakan yaitu union dan intersect. Jika
dianalogikan dengan bahasa Matematika, maka union adalah gabungan,
sedangkan intersect adalah irisan (Guntara, 2013). Ilustrasi mengenai
overlay peta digambarkan pada gambar 2.1 berikut ini.
Gambar 2.1 Ilustrasi Metode Overlay Peta
Sumber: www.guntara.com
24
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Teknik Intersect dalam
menganalisis perubahan tutupan lahan dan kesesuaian lahan. Dalam analisis
perubahan tutupan lahan, penulis menumpangtindihkan Peta Penutupan
Lahan tahun 2009, 2014, dan 2019 sehingga didapat peta perubahan tutupan
lahan. Sedangkan pada analisis kesesuaian lahan, penulis
menumpangtindihkan Peta Kawasan Pertanian Lahan Basah dari Rencana
Pola Ruang Kabupaten Bandung Tahun 2016-2036 dengan Peta Penutupan
Lahan Eksisting sehingga didapat peta kesesuaian lahan sawah eksisting.
Kedua analisis tersebut menggunakan Teknik Intersect.
2.3 Faktor Penyebab Konversi Lahan
Kata “lahan” yang kita kenal selama ini umumnya merujuk kepada
benda mati yang bersifat pasif. Namun pada kenyataannya lahan sering kali
memicu masalah dan konfik baik secara fisik maupun non-fisik.
Permasalahan lahan atau tata ruang perlu diantisipasi dengan diramalkan
bentuk penggunaan lahan di masa datang, karena permasalahan ini dapat
berdampak pada lingkungan. Antisipasi yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan penelitian bagaimana bentuk guna lahan suatu wilayah pada masa
datang, berdasarkan kondisi biogeofisik lahan dan sosial ekonomi masyarakat
pengguna (Warlina, 2011). Alih-alih melakukan penelitian untuk bentuk guna
lahan di masa yang akan datang, penulis justru ingin mengantisipasi
permasalahan lahan dengan cara lain yaitu dengan menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi konversi lahan, terutama lahan sawah.
Secara garis besar, alih fungsi lahan dalam artian
perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-
faktor yang meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang
makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu
kehidupan yang lebih baik. Dalam suatu buku berjudul “Lahan dan
Kedaulatan Pangan” disebutkan bahwa penyebab terjadinya alih fungsi lahan
adalah (Gatot, 2016):
1) Meningkatnya jumlah penduduk dan taraf kehidupan
25
2) Lokasi lahan pertanian yang strategis diminati untuk kegiatan
nonpertanian
3) Rasio pendapatan nonpertanian terhadap pendapatan total yang semakin
kecil
4) Fragmentasi lahan pertanian
5) Degradasi lingkungan
6) Kepentingan pembangunan wilayah yang sering kali mengorbankan
sektor pertanian
7) Implementasi undang-undang yang lemah
8) Status kepemilikan lahan yang belum jelas; dan
9) Luas kepemilikan lahan yang sempit
Adapun pendapat lain menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang
mempengaruhi alih fungsi lahan. Pertama, sejalan dengan pembangunan
kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka
aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk
pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah
sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga
lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual
lahan (Irawan, 2005).
Selain dari dua pendapat tersebut, terdapat banyak penelitian yang
membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya alih fungsi
lahan. Salah satunya ialah penelitian yang dilakukan oleh (Kurniasari &
Ariastita, 2014). Dalam penelitian tersebut digunakan analisis GWR
(Geographically Weighted Regression) untuk mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab terjadinya alih fungsi lahan. Terdapat 4 variabel yang dimasukan
kedalam analisis tersebut, yakni kepadatan penduduk, rasio harga lahan
pertanian dan non pertanian, rasio nilai produksi pertanian dan non pertanian,
dan rasio aksesibilitas wilayah. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan
bahwa variabel yang paling berpengaruh dalam alih fungsi lahan, yaitu rasio
harga lahan dan rasio aksesibilitas wilayah.
26
Penelitian serupa dilakukan oleh mahasiswa Institut Teknologi
Surabaya yang menyebutkan bahwa terdapat tujuh faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan yakni, perkembangan investasi,
perkembangan demografi, implementasi hukum, pengawasan pengendalian
lahan pertanian tanaman pangan, potensi hasil pertanian tanaman pangan,
produktivitas hasil pertanian tanaman pangan, dan perkembangan kota
(Wijaksono & Navastara, 2012). Akan tetapi metode yang digunakan berbeda
dengan sebelumnya. Dalam penelitian tersebut digunakan metode deskriptif
kualitatif dengan memasukan 11 variabel sebagai berikut.
1) Nilai jual komoditas tanaman pangan yang diperoleh petani
2) Tingkat nilai lahan pertanian tanaman pangan
3) Ketersediaan sarana jalan
4) Tingkat pertumbuhan penduduk
5) Tingkat pendapatan petani tanaman pangan
6) Fragmentasi lahan pertanian tanaman pangan
7) Kinerja konstitusi dalam mengendalikan perubahan pemanfaatan lahan
pertanian tanaman pangan
8) Efektifitas fungsi regulasi dan peraturan hokum dalam pengendalian
lahan pertanian tanaman pangan
9) Adanya kemudahan investasi dalam bentuk kegiatan non pertanian
tanaman pangan
10) Ketersediaan sumber daya air
11) Kondisi iklim
Untuk mempermudah pembaca, penulis merangkum sumber-sumber
penelitian terdahulu terkait faktor-faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan
pertanian ke dalam tabel berikut ini.
27
Tabel 2.3 Analisis Faktor Alih Fungsi Lahan Pertanian Berdasarkan Penelitian Terdahulu
No Peneliti/Penulis Variabel Penelitian Metode Hasil
1 Kurniasari &
Ariastita, 2014
1) Kepadatan penduduk
2) Rasio harga lahan pertanian dan non
pertanian
3) Rasio nilai produksi pertanian dan non
pertanian
4) Rasio aksesibilitas wilayah
Analisis GWR
(Geographically
Weighted
Regression) dan
Analisis Regresi
Linear Berganda
Terdapat 2 faktor yang paling
berpengaruh:
1) Rasio harga lahan pertanian dan
non pertanian
2) Rasio aksesibilitas wilayah
2 Wijaksono &
Navastara, 2012
1) Nilai jual komoditas tanaman pangan
yang diperoleh petani
2) Tingkat nilai lahan pertanian tanaman
pangan
3) Ketersediaan sarana jalan
4) Tingkat pertumbuhan penduduk
5) Tingkat pendapatan petani tanaman
pangan
6) Fragmentasi lahan pertanian tanaman
pangan
Analisis
Deskriptif
Kualitatif
Terdapat tujuh faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan
yakni:
1) Perkembangan investasi
2) Perkembangan demografi
3) Implementasi hukum
4) Pengawasan pengendalian lahan
pertanian tanaman pangan
5) Potensi hasil pertanian tanaman
pangan
6) Produktivitas hasil pertanian
tanaman pangan
28
7) Kinerja konstitusi dalam
mengendalikan perubahan pemanfaatan
lahan pertanian tanaman pangan
8) Efektifitas fungsi regulasi dan peraturan
hokum dalam pengendalian lahan
pertanian tanaman pangan
9) Adanya kemudahan investasi dalam
bentuk kegiatan non pertanian tanaman
pangan
10) Ketersediaan sumber daya air
11) Kondisi iklim
7) Perkembangan kota
3 Pribadi dkk, 2006 Terdapat 16 variabel berdasarkan hasil
pertimbangan logis
Analisis Regresi
Linear Berganda
Berdasarkan hasil analisis terdapat 4
variabel yang paling berpengaruh:
1) Kebijakan pembangunan
pemerintah
2) Meningkatnya kepadatan
penduduk
3) Tumbuhnya pusat-pusat
kegiatan baru
29
4) Kebutuhan lahan untuk
aktivitas pertanian
3 Gatot, 2016 Deskriptif
Kualitatif
1) Meningkatnya jumlah penduduk
dan taraf kehidupan
2) Lokasi lahan pertanian yang
strategis diminati untuk
kegiatan nonpertanian
3) Rasio pendapatan nonpertanian
terhadap pendapatan total yang
semakin kecil
4) Fragmentasi lahan pertanian
5) Degradasi lingkungan
6) Kepentingan pembangunan
wilayah yang sering kali
mengorbankan sektor pertanian
7) Implementasi undang-undang
yang lemah
8) Status kepemilikan lahan yang
belum jelas; dan
30
9) Luas kepemilikan lahan yang
sempit
4 Irawan, 2005 Deskriptif
Kualitatif
Terdapat dua faktor yang
menyebabkan alih fungsi lahan:
1) Aksesibilitas yang kondusif
2) Peningkatan harga lahan
Sumber: Hasil Analisis 2020
31
Dalam analisis faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan,
penulis mengambil referensi dari penelitian oleh Kurniasari dan penelitian
oleh Pribadi. Hal tersebut dikarenakan menurut penulis pribadi, data-data
variabel prediktor dan metode penelitian yang dipakai pada penelitian
tersebut sesuai dengan kondisi yang terdapat pada penelitian ini. Untuk
variabel prediktor penulis mengambil 3 dari 4 variabel yang terdapat di
penelitian oleh Kurniasari, sedangkan metode analisis regresi linier berganda
diambil dari penelitian milik Pribadi dkk. Yang membedakan penelitian ini
dengan peneilitan oleh Kurniasari dan Pribadi adalah lokasi penelitiannya
saja.
2.4 Metode Regresi Linier Berganda
Analisis regresi merupakan suatu kajian dari hubungan antara satu
variabel, dengan satu atau lebih variabel. Apabila variabel bebasnya hanya
satu, maka analisis regresinya dikenal dengan regresi linier sederhana.
Apabila variabel bebasnya lebih dari pada satu, maka analisis regresinya
dikenal dengan regresi linear berganda. Dikatakan linier berganda karena
terdapat dua atau lebih variabel bebas yang mempengaruhi variabel tak bebas
(Yuliara, 2016).
Regresi linier berganda merupakan model persamaan yang menjelaskan
hubungan satu variabel tak bebas/response (Y) dengan dua atau lebih variabel
bebas/predictor (X1, X2,…Xn). Tujuan dari analisis regresi linier berganda
adalah untuk memprediksi nilai variabel terikat, dengan syarat nilai-nilai
variabel bebasnya telah diketahui. Selain itu analisis regresi linier berganda
dapat digunakan mengetahui bagaimana arah hubungan variabel terikat
dengan variabel-variabel bebasnya. Persamaan regresi linier berganda secara
matematik dimodelkan pada persamaan berikut (Yuliara, 2016):
Y = a + b1X1 + b2X2 + … + bnXn
32
Dimana:
Y = Variabel Terikat
X = Variabel Bebas
a = Konstanta
b = Koefisien Penduga
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis regresi linier
berganda untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi
lahan. Adapun variabel terikat (Y) yaitu luas konversi lahan sawah,
sedangkan variabel bebasnya terdiri dari kenaikan kepadatan penduduk (X1),
rasio harga lahan non-sawah dan sawah (X2), dan rasio aksesibilitas wilayah
(X3). Sehingga persamaan yang dibuat adalah sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3
Dimana:
Y = Luas Konversi Lahan Sawah
X1 = Kenaikan Kepadatan Penduduk
X2 = Rasio Harga Lahan Non-Sawah dan Sawah
X3 = Rasio Aksesibilitas Wilayah
a = Konstanta
b = Koefisien Penduga
Namun perlu perlu diketahui bahwa pada penelitian ini, penulis tidak
menggunakan teknik manual dalam analisis regresi linier berganda, akan
tetapi menggunakan bantuan software pengolahan data yaitu SPSS. Hal ini
dikarenakan pada umumnya, analisis regresi linier berganda menggunakan
software SPSS akan lebih akurat dan tingkat kesalahannya relatif kecil
33
dibandingkan teknik manual. Selain itu, Teknik manual hanya efektif dalam
analisis regresi linier berganda yang hanya memiliki 2 variabel bebas.
2.5 Referensi dari Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis mengambil banyak referensi yang mana
sebagian besarnya terdiri atas penelitian-penelitian terdahulu dari artikel pada
jurnal, dan sebagian yang lain yaitu bersumber dari skripsi mahasiswa.
Adapun artikel yang memiliki pengaruh yang paling dominan baik dalam hal
tinjauan pustaka maupun proses analisis yaitu artikel yang ditulis oleh Merisa
Kurniasari dan Putu Gde Ariastita dalam Jurnal Teknik POMITS Vol. 3, No.
2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) yang berjudul “Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian Sebagai Upaya Prediksi
Perkembangan Lahan Pertanian Di Kabupaten Lamongan”. Dalam artikel
tersebut Merisa dan Putu melakukan analisis mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Lamongan dengan
menggunakan teknik analisis GWR (Geographically Weighted Regression)
terhadap 4 variabel prediktor, yaitu kepadatan penduduk, rasio nilai produksi
pertanian dan lahan non-pertanian, rasio harga lahan pertanian dan lahan non-
pertanian, dan yang terakhir adalah rasio aksesibilitas wilayah. Teknik
tersebut lah yang penulis ambil untuk analisis faktor yang mempengaruhi
konversi lahan sawah, akan tetapi proses analisis dibatasi hanya sampai uji
regresi linier berganda dikarenakan keterbatasan penulis dalam hal waktu dan
ilmu pengetahuan. Selain itu berdasarkan arahan dari dosen pembimbing,
penulis merubah beberapa data karena adanya penyesuaian dengan kondisi di
wilayah studi. Dengan demikian variabel-variabel yang penulis ambil untuk
analisis faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di
antaranya adalah; (Y) persentase luas konversi lahan sawah, (X1) persentase
laju pertumbuhan penduduk, (X2) rasio harga lahan non-sawah dan lahan
sawah, dan (X3) rasio aksesibilitas wilayah.
34
Kemudian, artikel lainnya yang sangat berpengaruh dalam penelitian
ini yaitu artikel yang ditulis oleh Nurma Kumala Dewi dan Iwan Rudiarto
dalam Jurnal Wilayah dan Lingkungan Volume 1 Nomor 2, Agustus 2013,
hal 175-188 yang berjudul “Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian Dan
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Pinggiran Di Kecamatan
Gunungpati Kota Semarang”. Dalam penelitian tersebut, Nurma dan Iwan
menggunakan Teknik overlay peta (superimpose) untuk menganalisis alih
fungsi lahan pertanian di Kecamatan Gunungpati Kota Semarang. Teknik
tersebut penulis aplikasikan terhadap penelitian ini untuk menganalisis
perubahan tutupan lahan dan kesesuaian tutupan lahan eksisting terhadap
rencana tata ruang di Kecamatan Ciparay. Adapun penelitian-penelitian
lainnya yang cukup berpengaruh dalam penelitian ini tercantum dalam tabel
penelitian terdahulu di bagian lampiran.