25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Sakit Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis professional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien (Azwar, 1996 ) . 2.2 Pengelompokan Rumah Sakit Mengelompokan rumah sakit berdasarkan dua sudut pandang yaitu berdasarkan jenis dan pengelolanya. Berdasarkan jenisnya yaitu 1. Rumah Sakit Umum 2. Rumah Sakit JiwaRumah 3. Sakit Khusus yang meliputi : A. Rumah Sakit Kusta B. Rumah Sakit Tuberkulosis C. Rumah Sakit Mata D. Rumah Sakit Ortopaedi dan Protease E. Rumah Sakit Bersalin F. Rumah Sakit Khusus Spesialis lainnya. 4. Sedangkan menurut pengelolanya, rumah sakit dibedakan menjadi sebagai berikut A. Rumah Sakit Rumah Sakit Vertikal (Depkes RI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Sakit 2.2 …eprints.ung.ac.id/1703/9/2012-2-48401-821309051-bab2...BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Sakit Rumah sakit adalah suatu organisasi yang

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis professional

yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan

pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis

serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien (Azwar, 1996 ) .

2.2 Pengelompokan Rumah Sakit

Mengelompokan rumah sakit berdasarkan dua sudut pandang yaitu berdasarkan

jenis dan pengelolanya.

Berdasarkan jenisnya yaitu

1. Rumah Sakit Umum

2. Rumah Sakit JiwaRumah

3. Sakit Khusus yang meliputi :

A. Rumah Sakit Kusta

B. Rumah Sakit Tuberkulosis

C. Rumah Sakit Mata

D. Rumah Sakit Ortopaedi dan Protease

E. Rumah Sakit Bersalin

F. Rumah Sakit Khusus Spesialis lainnya.

4. Sedangkan menurut pengelolanya, rumah sakit dibedakan menjadi sebagai

berikut

A. Rumah Sakit Rumah Sakit Vertikal (Depkes RI)

B. Rumah Sakit Propinsi

C. Rumah Sakit Kabupaten/Kota

D. Rumah Sakit Tentara

E. Rumah Sakit Departemen lainnya.

F. Rumah Sakit Swasta (Anonim,1997)

2.3 Penggolongan Rumah Sakit

Penggolongan Rumah Sakit dibagi menjadi dua yaitu;

1. Berdasarkan pelayanannya:

A. Rumah Sakit Umum: RS yang memberikan pelayanan kesehatan semua

bidang dan jenis penyakit.

B. Rumah Sakit Khusus: RS yang memberikan pelayanan utama pada satu

bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,

golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya

2. Berdasarkan kepemilikan dan pengelolaannya:

A. Rumah Sakit Publik: RS yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah

Daerah, dan Badan Hukum yang bersifat Nirlaba

B. Rumah Sakit Privat: RS yang dikelola oleh Badan Hukum dengan tujuan

Profit yang berbentuk PT atau persero.

2.4 Tipe Golongan Rumah Sakit

Secara umum penggolongan rumah sakit didasarkan kepada kemampuan

rumah sakit tersebut memberikan pelayanan medis kepada pasien. Berdasarkan

sudut pandang tersebut ada lima tipe golongan rumah sakit di indonesia, yaitu

Rumah sakit tipe A, B, C, D dan E. Berikut penjelasanya;

2.4.1 Rumah Sakit Tipe A

Adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan

subspesialis luas oleh pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi (Top

Referral Hospital) atau disebut pula sebagai rumah sakit pusat

2.4.2 Rumah Sakit Tipe B

Adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran

spesialis dan subspesialis terbatas.Rumah sakit ini didirikan disetiap Ibukota

propinsi yabg menampung pelayanan rujukan di rumah sakit kabupaten.

2.4.3 Rumah Sakit Tipe C

Adalah rumah sakit yang mapu memberikan pelayanan kedokeran spesialis

terbatas.Rumah sakit ini didirikan disetiap ibukota Kabupaten (Regency hospital)

yang menampung pelayanan rujukan dari puskesmas.

2.4.3 Rumah Sakit Tipe D

Adalah rumah sakit yang bersifat transisi dengan kemampuan hanya

memberikan pelayanan kedokteran umum dan gigi. Rumah sakit ini menampung

rujukan yang berasal dari puskesmas.

2.4.4 Rumah Sakit Tipe E

Adalah rumah sakit khusus (spesial hospital) yang menyalenggarakan hanya

satu macam pelayan kesehatan kedokteran saja. Saat ini banyak rumah sakit kelas

ini ditemukan misal, rumah sakit kusta, paru, jantung, kanker, ibu dan anak (

Anonim,2000).

2.5 Jenis-Jenis Rumah Sakit

2.5.1 Rumah sakit umum

Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah ditemui di

suatu negara, dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan intensif

ataupun jangka panjang. Rumah sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas

bedah, bedah plastik, ruang bersalin, laboratorium, dan sebagainya. Tetapi

kelengkapan fasilitas ini bisa saja bervariasi sesuai kemampuan

penyelenggaranya.Rumah sakit yang sangat besar sering disebut Medical Center

(pusat kesehatan), biasanya melayani seluruh pengobatan modern.Sebagian besar

rumah sakit di Indonesia juga membuka pelayanan kesehatan tanpa menginap

(rawat jalan) bagi masyarakat umum (klinik). Biasanya terdapat beberapa

klinik/poliklinik di dalam suatu rumah sakit.

2.5.2 Rumah sakit terspesialisasi

Jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit manula,

atau rumah sakit yang melayani kepentingan khusus seperti psychiatric

(psychiatric hospital), penyakit pernapasan, dan lain-lain.Rumah sakit bisa terdiri

atas gabungan atau pun hanya satu bangunan.

2.5.3 Rumah sakit penelitian/pendidikan

Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit umum yang terkait

dengan kegiatan penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran pada suatu

universitas/lembaga pendidikan tinggi. Biasanya rumah sakit ini dipakai untuk

pelatihan dokter-dokter muda, uji coba berbagai macam obat baru atau teknik

pengobatan baru. Rumah sakit ini diselenggarakan oleh pihak

universitas/perguruan tinggi sebagai salah satu wujud pengabdian masyararakat /

Tri Dharma perguruan tinggi.

2.5.4 Rumah sakit lembaga/perusahaan

Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk melayani

pasien-pasien yang merupakan anggota lembaga tersebut/karyawan perusahaan

tersebut. Alasan pendirian bisa karena penyakit yang berkaitan dengan kegiatan

lembaga tersebut (misalnya rumah sakit militer, lapangan udara), bentuk jaminan

sosial/pengobatan gratis bagi karyawan, atau karena letak/lokasi perusahaan yang

terpencil/jauh dari rumah sakit umum. Biasanya rumah sakit lembaga/perusahaan

di Indonesia juga menerima pasien umum dan menyediakan ruang gawat darurat

untuk masyarakat umum ( Anonim,2000).

2.6 Profil Rumah Sakit Bunda

2.6.1 Sejarah Berdirinya Rumah Sakit Bunda

Rumah Sakit Bunda merupakan salah satu rumah sakit swasta yang ada di

Kota Gorontalo. Rumah sakit ini terletak ditempat yang sangat stategis dan mudah

di jangkau oleh masyarakat Gorontalo.Rumah Sakit yang berada di jalan Prof. Dr.

H.B. YassinNo. 269 ini masih tergolong rumah sakit sederhana yang bertipe C,

dimana rumah sakit ini hanya mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan

medis spesialitik dasar.

Rumah Sakit Bunda didirikan pada tanggal 17 Maret 2007 yang diprakarsai oleh

PT. Surya Medis Pratama. Pada awal terbentuknya, Rumah Sakit ini hanya berupa

Rumah Sakit Bersalin.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat khususnya di Propinsi

Gorontalo, dr. Librioda Suminar, Sp.M selaku direktur Rumah Sakit atas nama

PT. Surya Medis Pratama bermaksud untuk memperluas pelayanan dengan

menambahkan Fasilitas untuk Bedah Umum dan Sub Spesialistik Bedah lainnya.

Pada tanggal 20 April 2010 penyelenggaraan Rumah Sakit Khusus dengan

nama “Rumah Sakit Bedah Bunda” terlaksana. Sementara izin pengoperasian

Rumah Sakit ini sebagai tempat usaha di tetapkan pada tanggal 13 Juli 20

Adapun visi dan misi dari Rumah Sakit Bunda adalah :

Visi :

“menjadi rumah sakit swasta yang memiliki keunggulan dalam pelayanan pasien”.

Misi :

“memberikan pelayanan keehatan yang bermutu, cepat, tepat, ramah, dan

informatif pada masyaraka”

2.6.2 Struktur Organisasi Rumah Sakit Bunda

Mengatur semua kebijakan yang akan dijalankan di Rumah Sakit. Di

Rumah Sakit Rumah Sakit Bunda pemegang kekuasaan tertinggi pada seorang

direktur. DirekBunda terdapat penanggung jawab/kepala ruangan yang

berkoordinasi langsung dengan wakil direktur.

Gambar 1. Struktur Organisasi Ruah Sakit Bunda

Kabid. PelayananMedis

Dr. FitriyantoRajak

Kabid. AdministrasidanKeuangan

YuningsihUsula

Kabid. Keperawatan

Novita Arlen Pontoh,

S.Kep, Ns

Direktur

Dr. LibriodaSuminar, Sp.M

KomiteMedik

Gambar 2. Struktur Organisasi Rumah Sakit ( Anonim, 2012)

2.1.2 Personalia

Berikut daftar ketenagaan baik medis maupun penunjang medis di Rumah Sakit

Bunda :

Dokter umum : 10 Orang

1. Dokter Spesialis : 21 Orang, antara lain(Sp. Penyakit

dalam, Sp. Anak, Sp. Ortopedy, Sp.

Mata, Sp. THT, dan Sp. Jantung, Sp.

Kebidanan dan Kandungan, Sp. Anak)

2. Dokter tetap : 8 Orang

3. apoteker : 1 Orang

4. Perawat : 20 Orang

5. Bidan : 9 Orang

6. Tenaga Administrasi : 4 Orang

7. Tenaga farmasi : 4 Orang

2.1.4 Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Bunda

Kegiatan kefarmasian di Rumah Sakit Bunda berorientasi kepada kepentingan

pasien yaitu dengan menyelenggarakan sediaan farmasi, pengelolaan obat,

pendistribusian obat, dan pelayanan obat atas resep dokter serta kegiatan lain

seperti pendidikan. Kegiatan kefarmasian di rumah sakit ini mengaju pada

pedoman pengelolaan/manajemen perbekalan farmasi dan alat kesehatan.

Distribusi perbekalan farmasi untuk untuk pasien o, distribusi sistem

paket.Sistem ini biasanya diterapkan di rumah sakit kecil.Sistem ini dijalankan

dengan memberikan kebutuhan obat kepada konsumen/pasien menggunakan

persediaan-persediaan obat yang sudah disiapkan dalam bentuk paket. Perbekalan

farmasi serta alat kesehatan yang termasuk dalam paket operasi. Akan tetapi, tidak

semua obat dan alat kesehatan yang masuk dalam paket harus dibayar pasien.

Pasien hanya akan membayar obat dan alat kesehatan yang digunakannya dalam

paket. Jika masih terdapat sisa paket, maka sisanya akan dikembalikan ke Apotek

dan kembali menjadi stok Apotik.

2.2Antibiotik

2.2.1 Defenisi

Zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi, yang dapat menghambat

pertumbuhan atau membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik juga dapar dibuat

secara sintesis. Antimikroba diartikan sebagai obat pembasmi mikroba khususnya

yang merugikan manusia.(Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik dan Resistensi.

Cara kerja antibiotik yaitu Antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal

(membunuh bakteri secara langsung) atau bakteriostatik (menghambat

pertumbuhan bakteri). Pada kondisi bakteriostasis, mekanisme pertahanan tubuh

inang seperti fagositosis dan produksi antibodi biasanya akan merusak

mikroorganisme. Ada beberapa cara kerja antibiotik terhadap bakteri sebagai

targetnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein,

merusak membran plasma, menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat

sintesis metabolit esensial. Dinding sel bakteri terdiri atas jaringan

makromolekuler yang disebut peptidoglikan. Penisilin dan beberapa antibiotik

lainnya mencegah sintesis peptidoglikan yang utuh sehingga dinding sel akan

melemah dan akibatnya sel bakteri akan mengalami lisis. Riboson merupakan

mesin untuk menyintesis protein. Sel eukariot memiliki ribosom 80S, sedangkan

sel prokariot 70S (terdiri atas unit 50S dan 30S). Perbedaan dalam struktur

ribosom akan mempengaruhi toksisitas selektif antibiotik yang akan

mempengaruhi sintesis protein. Di antara antibiotik yang mempengaruhi sintesis

protein adalah kloramfenikol, eritromisin, streptomisin, dan tetrasiklin(Tjay dan

Rahardja, 2002).

Kloramfenikol akan bereaksi dengan unit 50S ribosom dan akan

menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai polipeptida yang sedang

terbentuk. Kebanyakan antibiotik yang menghambat protein sintesis memiliki

aktivitas spektrum yang luas. Tetrasiklin menghambat perlekatan tRNA yang

membawa asam amino ke ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai

polipeptida yang sedang dibentuk terhambat. Antibiotik aminoglikosida, seperti

streptomisin dan gentamisin, mempengaruhi tahap awal dari sintesis protein

dengan mengubah bentuk unit 30S ribosom yang akan mengakibatkan kode

genetik pada mRNA tidak terbaca dengan baik. Antibiotik tertentu, terutama

antibiotik polipeptida, menyebabkan perubahan permeabilitas membran plasma

yang akan mengakibatkan kehilangan metabolit penting dari sel bakteri. Sebagai

contoh adalah polimiksin B yang menyebabkan kerusakan membran plasma

dengan melekat pada fosfolipid membran. Sejumlah antibiotik mempengaruhi

proses replikasi DNA/RNA dan transkripsi pada bakteri. Contoh dari golongan ini

adalah rifampin dan quinolon. Rifampin menghambat sintesis mRNA, sedangkan

quinolon menghambat sintesis DNA(Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.3 Mekanisme Resistensi

Pada awalnya, problema resistensi bakteri terhadap antibiotik telah dapat

dipecahkan dengan adanya penemuan golongan baru dari antibiotik, seperti

aminoglikosida, makrolida, dan glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi

dari antibiotik yang sudah ada. Namun, tidak ada jaminan bahwa pengembangan

antibiotik baru dapat mencegah kemampuan bakteri patogen untuk menjadi

resisten. Berdasarkan hasil studi tentang mekanisme dan epidemiologi dari

resistensi antibiotik telah nyata bahwa bakteri memiliki seperangkat cara untuk

beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik. Mekanisme

resistensi pada bakteri meliputi mutasi, penghambatan aktivitas antibiotik secara

enzimatik, perubahan protein yang merupakan target antibiotik, perubahan jalur

metabolik, efluks antibiotik, perubahan pada porin channel, dan perubahan

permeabilitas membran. Mutasi genetik tunggal mungkin menyebabkan terjadinya

resistensi tanpa perubahan patogenitas atau viabilitas dari satu strain bakteri.

Perkembangan resistensi terhadap obat-obat antituberkulos, seperti streptomisin,

merupakan contoh klasik dari perubahan tipe ini. Secara teoretis ada kemungkinan

untuk mengatasi resistensi mutasional dengan administrasi suatu kombinasi

antibiotik dalam dosis yang cukup untuk eradikasi infeksi sehingga mencegah

penyebaran bakteri resisten orang ke orang. Namun, adanya emergensi yang

meluas dari multidrug resistant Mycobacterium tuberculosis memperlihatkan

bahwa tidak mudah untuk mengatasi resistensi dengan formula kombinasi. Contoh

lain resistensi mutasional yang juga penting adalah perkembangan resistensi

fluoroquinolone pada stafilokokki, Pseudomonas aeruginosa, dan patogen lain

melalui perubahan pada DNA topoisomerase. Kejadian mutasi mungkin juga

mengubah mekanisme resistensi yang ada menjadi lebih efektif atau memberikan

spektrum aktivitas yang lebih luas. Problem yang cukup penting adalah

kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi genetik eksogenus yang

mengantarkan terjadinya resistensi. Spesies pada peneumokokki dan

meningokokki dapat "mengambil" materi DNA di luar sel (eksogenus) dan

mengombinasikannya ke dalam kromosom. Banyak materi genetik yang

bertanggung jawab terhadap resistensi ditemukan pada plasmid yang dapat

ditransfer atau pada transposon yang dapat disebarluaskan di antara berbagai

bakteri dengan proses konjugasi. Transposon merupakan potongan DNA yang

bersifat mobile yang dapat menyisip masuk ke dalam berbagai lokasi pada

kromosom bakteri, plasmid atau DNA bakteriofag. Beberapa transposon atau

plasmid memiliki elemen genetik yang disebut integron yang mampu

"menangkap" gen-gen eksogenus. Sejumlah gen kemungkinan dapat disisipkan ke

dalam integron yang menghasilkan resistensi terhadap beberapa bahan (Tjay dan

Rahardja, 2002).

2.2.4 Jenis-jenis Antibiotik

Ada banyak cara untuk menggolongkan antibiotik, salah satunya

berdasarkan struktur kimianya. Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik

dikelompokkan sebagai berikut: ( Tjay dan Raharja,2002)

1. Golongan aminoglikosida yaitu : amikasin, gentamisin, strepromisin,

kanamisin, tobramisin, netilmisin, neomisin.

2. Golongan beta-laktam yaitu : imipenem, meropenem.

3. Golongan polipeptida yaitu : polimiksin B, dan basitrasin.

4. Golongan kinolon yaitu asam nalidiksilat, siprofloksasin, ofloksasin,

norfloksasin, levofloksasin, fleroksasin.

5. Golongan penisilin yaitu : benzilpenisilin, fenoksimetilpenisilin, kloksasilin,

asam kalvulanat, ampisilin.

6. Golongan glikopeptida yaitu : vankomisin, teikoplanin.

7. Golongan tetrasiklin yaitu : tetrasiklin, dosisiklin.

8. Golongan sulfonamida yaitu : kotrimoksazol, timetoprin.

9. Golongan makrolida yaitu : eritromisin, azitromisin, spiramisin, linkomisin,

klindamisin.

10. Golongan antibiotik lain yaitu : kloramfenikol, dan asam fusidat.

Pemberian antibiotik pada paskah operasi tergantung dari jenis operasi

antibiotika; akan tetapi, sesudah histereknomi total dengan pembukaan vagina,

sebaiknya obat tersebut diberikan ( Wiknjosastro, 1999).

Faktor-faktor yang mempengaruhi antibiotik untuk mencapai efek terapi yaitu :

1. Spektrum kepekaan kuman

2. Dosis, rute, frekuensi, pemberian untuk mencapai konsentrasi terapeutis

3. Farmakokinetik

4. Antibiotika berbeda dalam absorbsi oralnya

5. Kemampuan antibiotika untuk mencapai konsentrasi yang efektif ditempat

infeksi tergantung dari :

1. Kelarutan dalam air/ lemak

2. Aliran darah ke tempat infeksi

3. Kemampuannya untuk melewati sawar darah-otak

1. Efek sinergistik, misalnya asam klavulanat + amocixilin

2. Interaksi obat misalnya :

3. Warfarin dengan rifampisin.

4. Antibiotika yang bakteriostatik bila dikombinasikan dengan antibiotika yang

bakterisidal mungkin efeknya antagonistik.

5. Beberapa antibiotika mempunyai efek samping yang berat dan sebaiknya tidak

diberikan pada keadaan-keadaan tertentu.

1. Bila memperhitungkan biaya, lebih tepat menghitung biaya pengobatan total

daripada unit cost perdosis.

2. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Pasien lebih patuh terhadap

pengobatan jangka pendek dan dosis sekali sehari (Aslam dan tani, 2003)

2.2.5 Aturan Penggunaan Antibiotik

Antibiotik digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat kuman

atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar (Tjay dan

Rahardja, 2002).

Indikasi untuk pemberian antibiotik pada seorang pasien haruslah

diperitmbangkan dengan seksama, dan sangat tergantung pada pengalaman

pengamatan klinik dokter yang mengobati pasien (Fakultas Kedokteran, 2007).

2.3 Ceftriaxone

2.3.1 Defenisi

Kelompok obat yang disebut Sefalosporin antibiotik. Ceftriaxone bekerja

dengan cara mematikan bakteri dalam tubuhMerupakan golongan sefalosporin

yang mempunyai spektrum luas dengan waktu paruh eliminasi 8 jam. Efektif

terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Ceftriaxone sangat stabil

terhadap enzim laktamase (Anonim, 2007).

2.3.2 Farmakokinetik

Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan kadar plasma

maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis multipel IV atau IM

dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g menghasilkan akumulasi

sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal. Sebanyak 33-67 % ceftriaxone yang

diberikan, akan diekskresikan dalam uring dalam bentuk yang tidak diubah dan

sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil dalam feses sebagai

bentuk inaktif. Setelah pemberian dosis 1g IV, kadar rata-rata ceftriaxone 1-3 jam

setelah pemberian adalah : 501 mg/ml dalam kandung empedu, 100 mg/ml dalam

saluran empedu, 098 mg dalam duktus sistikus, 78,2 mg/ml dalam dinding

kandung empedu dan 62,1 mg/ml dalam plasma. Setelah pemberian dosis 0,15-3g,

maka waktu paruh eliminasinya berkisar antara 5-8 jam, volume distribusinya

sebesar 5,70-13,5 L, klirens plasma 0,50-1,45 L/jam dan klirens ginjal 0,32-0,73

L/jam.Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan besarnya adalah 85-95 %.

Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami peradangan pada bayi dan

anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis 50 mg/kg dan

75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan 1,3-44 ug/ml. Dibanding pada

orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone hanya sedikit sekali terganggu

pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal/hati, karena

itu tidak diperlukan (Anonim, 2007).

2.3.3 Fakmakodinamik

Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis

dinding kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap beta-

laktanase, baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh

kuman gram-negatif (Anonim, 2007).

2.3.4 Indikasi

Untuk infeksi- infeksi berat dan yang disebabkan oleh kuman-kuman gram

positif maupun gram negatif yang resisten terhadap antibiotika lainnya, misalnya :

1. Infeksi saluran pernafasan

2. Infeksi saluran kemih

3. Infeksi gonoreal

4. Septisemia bakteri

5. Infeksi tulang dan jaringan

6. Infeksi kulit (Anief, 2004).

2.3.5 Dosis

1. 1-2 gr melalui otot (intra muscular) atau melalui pembuluh darah (intra

vascular), lakukan setiap 24 jam, atau dibagi menjadi setiap 12 jam.

2. Dosis maksimum: 4 gr/hari

3. Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun : 1-2 gram sehari secara intra vena

4. Bayi dan ank-anak dibawah 12 tahun :

a. Bayi 14 hari : 20 – 50 mg/kg bb sehari

b. Bayi 15 hari sampai 12 tahun : 20 – 80 mg/kg bb sehari

c. Anak-anak dengan BB 50 kg atau lebih : dosis dewasa melalui infus paling

sedikit 30 menit

5. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kliren kreatinin tidak lebih dari

10 ml/menit, dosis tidak lebih dari 2 gram perhari (Anonim , 2007).

2.3.6 Efek Samping

Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang

dapat ditemukan adalah Reaksi lokal : Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat

suntikan dan phlebitis setelah pemberian intravena.

1. Hipersensitivitas: Ruam kulit dan kadang-kadang pruritus,demam atau

menggigil Hematologik : Eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan kadang-

kadang anemia, anemia hemolitik, netropenia, limfopenia, trombositopenia

dan pemanjangan waktu protrombia. Saluran cerna : Diare dan kadang-kadang

mual, muntah, disgeusia Hati : Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadang-

kadang peningkatan fosfatase alkali dan bilirubin. Ginjal : Peningkatan BUN

dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta ditemukan silinder dalam urin

Susunan saraf pusat : Kadang-kadang timbul sakit kepala atau pusing. Saluran

kemih dan genital : Kadang-kadang dilaporkan monitiasis.Reaksi

hipersensitivitas (urticaria, pruritus, ruam, reaksi parah seperti anaphylaxis

bisa terjadi); Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar); Efek lainnya

(infeksi candidal).

2. Dosis tinggi bisa dihubungkan dengan efek CNS (encephalopathy,

convulsion); Efek hematologis yang jarang; pengaruh terhadap ginjal dan hati

juga terjadi.

Perpanjangan PT (prothrombin time), perpanjangan APTT (activated

partial thromboplastin time), dan atau hypoprothrombinemia (dengan atau tanpa

pendarahan) dikabarkan terjadi, kebanyakan terjadi dengan rangkaian sisi NMTT

yang mengandung sefalosporin (Anonim, 2007)

2.4Typhoid

2.4.1 pengertian

Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi

salmonell Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang

sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman

salmonella. Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh

kuman salmonella Thypi ( Manjoer, 1999 ).

Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh

kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C, sinonim dari penyakit

ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Noer, 1996 ).

2.4.2Etiologi

Typhoid adalah bakteri Gram-negatif, Salmonella typhi sama dengan

Salmonella yang mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora

fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari

oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen

(K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida

kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin.

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan

resistensi terhadap multipel antibiotik (Junowo, 1999).

2.4.3 Patogenesis

Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala tifoid pada manusia.

Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus

Salmonella. Kuman berspora, motile, berflagela,berkapsul, tumbuh dengan baik

pada suhu optimal 37ºC (15ºC-41ºC), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur

pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu

54,4ºC selama satu jam, dan 60ºC selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan

dalam jangka lama. Salmonella memunyai karakteristik fermentasi terhadap

glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa.

Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1)

proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan

hidup dalam makrofag dan (3) proses berkembang biaknya kuman dalam

makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk

menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme

pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik,

dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan

selular.

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut

bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman

sampai di lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non-spesifik yang

bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang

dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat

melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2)

kondisi asam lambung.

Untuk menimbulkan infeksi diperlukan S.typhi sebanyak 105-10

9 yang

tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat

menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan

terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrotektomi,

hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung.

Pada keadaan tersebut S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.

Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki

mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh

berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non

spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri

anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan

asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman

berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan

melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk

ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan

difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S.typhi dapat bertahan

hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh

kapsul kuman (Junowo, 1999).

2.4.4 Pendekatan Diagnosis Demam Tifoid

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang

ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun

gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan

saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis

biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti

nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,

pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat

merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua

timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,

sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat

meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,

menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh

tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.

Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada

dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3

hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis

menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan (Junowo,

1999).

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala

klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam

menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk

menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium

yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan

diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan

serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium

untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (1)

isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen

penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose

spot, (2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan

menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan (3) pemeriksaan

melacak DNA kuman S.typhi (Manjoer, 1999).

Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih

belum jelas, umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan

menghilangnya eosinofil (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia

mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita

demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh

destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah (Junowo, 1999).

Diagnosis demam tifoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik

namun identifikasi kuman S.typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah

seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja, positif

setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe

atau jaringan retikulo endotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril.

Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan, jika

interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan memperdebatkan sensitivitas,

spesifitas, serta perkiraan nilai Widal pada laboratorium dan populasi setempat,

maka angka Widal cukup bermakna (Noer, 1999).

Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah,

urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan

patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum

tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan

tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif

tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor.

Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume

darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir

efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman

pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan

darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian

antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan

di dalam darah (Junowo, 1999).

Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu

pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya

pada 10% penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan

kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif

kembali.Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit

dan menghilang pada fase penyembuhan.Pengobatan antibiotik akan mematikan

kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di

dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan

darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik.Walaupun metoda

biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5

hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana

yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap(Noer, 1996).

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi

terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.

Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan

antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan

pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama.

Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam

serum (Noer, 1996).

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.

Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa

tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah

sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin

H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat

dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap

S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai

untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan

pengidap S.typhi (Noer. 1996).

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji

widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter

mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer

sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.

Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,

sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi

(karier). Meskipun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tifoid

telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi

perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan

karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point).

Interpretasi pemeriksaan Widal harus hati-hati karena banyak faktor yang

mempengaruhi antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik

laboratorium, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis

atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang

(Noer, 1996).