Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Durian (Durio zibethinus Murr)
Indonesia merupakan salah satu dari delapan pusat keanekaragaman genetik
tanaman di dunia, terutama untuk buah-buahan tropis seperti durian. Produksi
durian lokal di Indonesia yang mencapai 600.000 ton per tahun dan kulit
duriannya yang mencapai 400.000 ton per tahun. Merupakan limbah padat yang
dapat menyebabkan masalah lingkungan. Kulit durian secara proposional
mengandung unsur selulosa yang tinggi (50-60%), lignin (5%), serta kandungan
pati yang rendah (5%) (Raditya, 2016). Ekstrak kulit durian dikenal memiliki sifat
probiotik dan tradisional dihargai sebagai obat terhadap gangguan kolorektal,
demam, sakit kuning, dan diterapkan secara eksternal sebagai lotion astringent
(larutan pengecil pori-pori kulit) pada pembengkakan, infeksi kulit dan luka, ada
penelitian yang relatif terbatas pada pemanfaatan nilai tambah biomassa durian
(Hameed, 2012).
Gambar 1. Kulit Durian
(sumber:https://www.kompasiana.com/nataniaamanda/kulit durian-
sebagai-aternatif-untuk-mengatasi-logam-pada-air-tanah)
Menurut riset dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017, produksi
durian di Indonesia khususnya Riau mampu mencapai 12.370 ton per tahun. Pada
umumnya, masyarakat Indonesia hanya mengkonsumsi daging durian dan
beberapa ada juga yang mengolah biji durian menjadi makanan tertentu. Jika kita
pikirkan lebih dalam, konsumsi durian sebanyak itu sudah tentu menghasilkan
limbah berupa kulit durian yang tidak sedikit pula. Limbah tersebut jika dibiarkan
akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan jika dibakar akan menimbulkan
pencemaran udara (Noer, 2015).
Berdasarkan penelitian dari University of Chulalongkorn Thailand yang
menyebutkan bahwa kulit durian memilki kandungan selulosa terbanyak sekitar
50-60% carboxymethylcellulose dan lignin 5%. Penggunaan selulosa ini dapat
diaplikasikan karena bahan ini dapat mengikat bahan logam. Selulosa pada kulit
durian memiliki tiga gugus hidroksil yang reaktif dan memiliki unit berulang-
ulang yang membentuk ikatan hidrogen intramolekul dan antar molekul. Ikatan ini
memiliki pengaruh yang besar pada kereaktifan selulosa terhadap gugus-gugus
lain. Polimer selulosa terdiri dari monomer D-glukosa yang dapat dimodifikasi
oleh gugus fosfat (Soekardjo, 1990). Dari karakteristik tersebut, kulit durian dapat
digunakan sebagai bahan baku yang potensial dalam pembuatan karbon aktif
(Noer, 2015).
2.2. Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu fenomena permukaan karena akumulasi suatu spesies
pada batas permukaan padat-cair. Adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik-
menarik. Ada 2 tipe adsorpsi, yaitu:
1. Adsorpsi fisis atau Van der Waals
2. Adsorpsi kimia
Adsorpsi yang terjadi dalam hal ini adalah non-spesifik dan non-selektif
penyebab gaya tarik menarik karena adanya ikatan koordinasi hidrogen dan gaya
Van der Waals. Apabila adsorbat dan permukaan adsorben terikat dengan gaya
Van der Waals saja maka dinamakan adsorpsi fisis atau adsorpsi Van der Waals.
Molekul yang teradsorpsi terikat pada permukaan secara lemah dan panas
adsorpsinya rendah. Jika adsorbat dan permukaan adsorben bereaksi secara
kimiawi maka disebut chemisorption. Nilai panas adsorpsi setara dengan reaksi
kimia karena adanya ikatan kimia yang terbentuk maupun yang terputus selama
proses adsorpsi. Untuk membedakan kedua fenomena proses adsorpsi tersebut
7
Universitas Muhammadiyah Riau
maka digunakan variabel suhu. Adsorpsi fisis ditandai dengan penurunan jumlah
yang teradsorpsi dengan peningkatan suhu (Widayatno, 2017).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi
1. Macam-macam Adsorben
a. Adsorben Polar: Adsorben polar memunyai daya adsorpsi yang besar
terhadap asam karboksilat, alkohol, alumina, keton dan aldehid. Contohnya
adalah alumina.
b. Adsorben non Polar: Adsorben non polar mempunyai daya adsorpsi yang
besar terhadap amin dan senyawa yang bersifat basa. Contohnya adalah
silica.
c. Adsorben Basa: Adsorben basa memunyai daya adsorpsi yang besar
terhadap senyawa yang bersifat asam. Contohnya adalah magnesia.
2. Macam-macam adsorbat
Jika zat yang diadsorsi merupakan elektrolit maka adsorpsi akan berjalan lebih
cepat dan hasil adsorpsi lebih banyak jika dibandingkan dengan larutan non
elektrolit. Hal ini disebabkan karena larutan elektrolit terionisasi sehingga didalam
larutan terdapat ion-ion dengan muatan berlawanan yang menyebabkan gaya
tarik-menarik Van der Waals semakin besar, berarti daya adsorpsi semakin besar.
3. Konsentrasi Masing-Masing Zat
Jika konsentrasi (C) makin besar, maka jumlah solute yang teradsorpsi semakin
besar. Hal ini sesuai dengan persamaan Freundlich:
q = k. C1/2
keterangan:
q = konsentrasi maksimum adsorbat (gram)
k = konstanta (m/mg.s)
C = konsentrasi zat terlarut (mg/L) (Hadiwidodo, 2018).
4. Luas Permukaan
Makin luas permukaan adsorben (adsorben makin kecil ukurannya), maka
adsorpsi yang terjadi makin besar karena kemungkinan zat yang menempel pada
permukaan adsorben bertambah. Hal ini menyebabkan bagian yang semula tidak
berfungsi sebagai permukaan (bagian dalam) setelah digerus akan berfungsi
sebagai permukaan.
5. Tekanan
Jika tekanan diperbesar molekul adsorbat akan lebih cepat teradsorpsi,
akibatnya jumlah adsorbat yang terserap bertambah banyak. Jadi tekanan
memperbesar jumlah zat yang teradsorpsi
6. Daya Larut terhadap Adsorben
Jika daya larut tinggi maka proses adsorpsi akan terhambat karena gaya untuk
melarutkan solute/adsorbat berlawanan dengan gaya tarik adsorben terhadap
adsorbat.
7. Koadsorpsi
Suatu adsorben yang telah mengadsorsi suatu zat akan mempunyai daya
adsorpsi yang lebih besar terhadap adsorbat tertentu daripada daya adsorpsi awal.
8. Pengadukan
Jika dilakukan pengadukan, semakin cepat pengadukan maka molekul-
molekul adsorbat dan adsorben akan saling bertumbukan sehingga akan
memercepat proses adsorpsi (Widayatno, 2017).
2.3 Arang Aktif
Arang aktif adalah arang yang diolah lebih lanjut pada suhu tinggi dengan
menggunakan gas CO2, uap air atau bahan-bahan kimia, sehingga pori-porinya
terbuka dan dapat digunakan sebagai adsorben. Daya adsorpsi arang aktif
disebabkan adanya pori-pori mikro yang sangat besar jumlahnya, sehingga
menimbulkan gejala kapiler yang mengakibatkan adanya daya adsorpsi (Yustinah,
2011).
Arang aktif disusun oleh atom-atom C yang terikat secara kovalen dalam suatu
kisi heksagonal datar dengan satu atom C pada setiap sudutnya yang luas
permukaan berkisar antara 300 m2/g hingga 3500 m
2/g dan ini berhubungan
dengan struktur pori internal sehingga mempunyai sifat sebagai adsorben. Arang
aktif fasa cair dihasilkan dari material dengan berat jenis rendah, seperti arang dari
serabut kelapa yangmempunyai bentuk butiran (powder), rapuh (mudah hancur),
mempunyai kadar abu yang tinggi berupa silika dan biasanya digunakan untuk
menghilangkan bau, rasa, warna dan kontaminan organik lainnya. Sedangkan
9
Universitas Muhammadiyah Riau
arang aktif fasa gas dihasilkan dari material dengan berat jenis tinggi (Ramdja
dkk, 2008).
Arang aktif tersedia dalam berbagai bentuk misalnya gravel, pelet (0.8-5 mm)
lembaran fiber, bubuk (PAC: Powder Active Carbon, 0.18 mm atau US mesh 80)
dan butiran-butiran kecil (GAC: Granular Active Carbon, 0.2-5 mm) dan
sebagainya. Serbuk arang aktif PAC lebih mudah digunakan dalam pengolahan air
dengan sistem pembuhan yang sederhana. Bahan baku yang berasal dari hewan,
tumbuh-tumbuhan, limbah ataupun mineral yang mengandung karbon dapat
dibuat menjadi arang aktif, bahan tersebut antara lain: tulang, kayu lunak, sekam,
tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas penggilingan tebu, ampas
pembuatan kertas, serbuk gergaji, kayu keras dan batubara. Proses aktivasi
merupakan suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar
pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi
molekul-molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik
fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh
terhadap daya adsorpsi (Hendra, 2007).
Sesuai penggunaannya, arang aktif digolongkan ke dalam produk kimia dan
bukan bahan energi seperti arang atau briket arang. Teknologi olah lanjut arang
menjadi arang aktif akan memberikan nilai tambah yang besar ditinjau dari
penggunaan dan nilai ekonomisnya. Pada umumnya karbon aktif dapat di aktivasi
dengan 2 cara, yaitu dengan cara aktivasi kimia dengan hidroksida logam alkali,
garam-garam karbonat, klorida, sulfat, fosfat dari logam alkali tanah dan
khususnya ZnCl2, CaCl2, asam-asam anorganik seperti H2SO4 dan H3PO4 dan
aktivasi fisika yang merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa
organik dengan bantuan panas pada suhu 800ºC hingga 900ºC (Hendra, 2007).
2.4 Limbah Laundry
Pemakaian deterjen semakin lama semakin meningkat sejalan dengan laju
pertumbuhan penduduk setiap tahun, artinya semakin meningkat pendapatan
masyarakat maka konsumsi deterjen juga meningkat. Dampak yang ditimbulkan
bila air buangan yang mengandung deterjen berlebihan adalah terjadinya
pencemaran dan menggangu ekosistem biota yang terdapat di perairan. Limbah
laundry dominan berasal dari pelembut pakaian dan deterjen. Bahan aktif yang
banyak terkandung pada pelembut pakaian dan deterjen adalah ammonium
klorida, LAS, sodium dodecyl benzene sulfonate, natrium karbonat, natrium sulfat,
alkilbenzena sulfonate. Bahan-bahan tersebut merupakan bahan yang tidak ramah
lingkungan (non-biodegraduble) (Astuti, 2015).
Di Indonesia belum banyak upaya khusus untuk menangani masalah
pencemaran air yang disebabkan oleh deterjen. Beberapa upaya yang telah
dilakukan salah satunya dengan mengganti rantai bercabang dari Alkyl Benzen
Sulfonate (ABS) menjadi rantai lurus Linier Alkyl Sulfonate (LAS) yang dapat
dibiodegradasi. Deterjen ini bersifat dapat dirusak oleh mikroorganisme.
Penggunaan deterjen yang semakin meningkat ini akan berdampak negatif
terhadap akumulasi surfaktan pada bahan-bahan perairan sehingga menimbulkan
masalah pendangkalan perairan, terhambatnya transfer oksigen dan lain-lain. Pada
kondisi aerob LAS dapat terdegradasi dengan baik, namun jika dalam keadaan
anaerob penyisihan LAS masih kurang baik (Astuti, 2015).
Penanganan lain yang telah dilakukan untuk menangani masalah
pencemaran yang disebabkan oleh limbah laundry adalah metode Biosand Filter,
yang merupakan filter dengan konsep saringan pasir lambat yang khusus didesain
untuk skala rumah tangga. Kelebihan biosand filter adalah adanya penumbuhan
biofilm dipermukaan media paling atas yang mampu mendegradasi rasa, bau dan
warna (Astuti, 2015).
Industri laundry menghasilkan limbah yang berubah secara fisika
(intensitas transmisi cahaya, tegangan permukaan, viskositas, dan TDS) dan kimia
(pH dan kadar fosfat). Pada limbah cair laundry, fosfat berperan sebagai builder
(pembentuk) yang berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan
dengan cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air dengan cara
mengikat ion kalsium dan magnesium (Rahayu, 2007). Baku mutu fosfat menurut
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 adalah 5 mg/L. Fosfat merupakan
senyawa ionik yang dapat mengikat darah dan memungkinkan terjadinya
penggumpalan darah pada pembuluh darah apabila asupan air minum atau
makanan manusia mengandung fosfat dengan kadar berlebih. Fosfat juga dapat
membuat suatu tumbuhan tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan dengan
11
Universitas Muhammadiyah Riau
pertumbuhan normal yang disebabkan pengayaan nurtrien atau unsur hara berupa
nitrogen (N) dan fosfor (P) yang merupakan bahan anorganik yang dibutuhkan
oleh tumbuhan. Dengan perkembangan tumbuhan pada perairan yang sangat cepat
menyebabkan perairan tertutupi oleh tumbuhan sehingga sinar matahari tidak
dapat masuk ke dalam perairan yang pada akhirnya menghambat sistem
metabolisme dari organisme yang hidup di dalam air yang memerlukan cahaya
matahari (Saputra, 2016).
Limbah laundry yang mengandung fosfat akan menyebabkan masalah
lingkungan hidup yaitu eutrofikasi, yaitu suatu keadaan lingkungan perairan
dalam keadaan nutrisi yang berlebihan memungkinkan adanya pertumbuhan yang
cepat dari alga (blooming) dan menutup masuknya sinar matahari masuk, serta
keadaan oksigen yang berkurang pada lingkungan perairan di bawah permukaan
air karena dimanfaatkan alga. Hal tersebut menyebabkan keberadaan organisme
yang hidup pada dasar lingkungan perairan terganggu aktifitasnya (Majid, 2017).
2.5. Analisis Pengujian
2.5.1 Padatan Total Tersuspensi (TSS)
Berdasarkan SNI 06-6989.3-2004 menjelaskan bahwa metode ini digunakan
untuk menentukan residu tersuspensi yang terdapat dalam contoh uji air dan air
limbah secara gravimetri. Metode ini tidak termasuk penentuan bahan yang
mengapung, padatan mudah menguap dan dekomposisi garam mineral.
Padatan tersuspensi total merupakan jumlah berat dalam mg/L kering lumpur
yang ada di dalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran
berukuran 0,45 mikron. Tingginya pencemaran air dan derajat kekotoran air
menunjukkan adanya zat padat TSS sehingga akan meningkatkan kepekatan
limbah (Estikarani, 2016). Banyaknya zat padat yang tersuspensi dalam limbah
dipengaruhi oleh proses penyerapan unsur hara oleh akar tanaman, pembusukan
akar, distribusi debu dari udara ke dalam limbah, bahkan juga distribusi serangga
ke dalam limbah yang tidak teramati. Faktor lingkungan mempengaruhi nilai TSS
seperti masuknya lalat ke media tanam dan tumbuhan lumut yang berkembang di
media itu. Massa tumbuhan lumut dan binatang ini menambah massa zat
tersuspensi sehingga nilai TSS nya naik (Padmaningrum, 2014).
Sesuai baku mutu air limbah bisa nilai kandungan TSS melebihi baku mutu
dan meningkat cukup signifikan, maka akan berpengaruh terhadap kualitas air
karena menyebabkan kekeruhan dan mengurangi cahaya yang dapat masuk ke
dalam air sehingga tentu saja mengurangi daya guna air dan organisme yang
butuh cahaya akan mati serta mengganggu ekosistem aquatik (Atima, 2016).
Dampak akibat tingginya TSS terhadap kualitas air dapat menyebabkan
penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan dan
bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air. TSS
menyebabkan kekeruhan dan mengurangi cahaya yang dapat masuk ke dalam air.
Oleh karenanya, manfaat air dapat berkurang, dan organisme yang butuh cahaya
akan mati. Kematian organisme ini akan mengganggu ekosistem akuatik. Apabila
jumlah materi tersuspensi ini akan mengendap, maka pembentukan lumpur dapat
sangat mengganggu aliran dalam saluran, pendangkalan cepat terjadi, artinya
pengaruhnya terhadap kesehatan pun menjadi tidak langsung (Soemirat, 2004).
TSS yang tinggi menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air,
sehingga akan mengganggu proses fotosintesis menyebabkan turunnya oksigen
terlarut yang dilepas ke dalam air oleh tanaman. Jika sinar matahari terhalang
untuk mencapai dasar perairan, maka tanaman akan berhenti memproduksi
oksigen dan akan mati. Padatan Total Tersuspensi (TSS) juga menyebabkan
penurunan kejernihan dalam air (Soemirat, 2004).
2.5.2. Analisa Kadar Amonia
Amonia dapat bersifat racun pada manusia jika jumlah yang masuk tubuh
melebihi jumlah yang dapat didetoksifikasi oleh tubuh. Pada manusia, resiko
terbesar adalah dari penghirupan uap amonia yang berakibat beberapa efek
diantaranya iritasi pada kulit, mata dan saluran pernafasan. Pada tingkat yang
sangat tinggi, penghirupan uap amonia sangat bersifat fatal (Azizah, 2015).
Senyawa sodium lauryl sulfate (SLS) diketahui menyebabkan iritasi pada
kulit, memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang
dewasa. Keberadaan busa menutup permukaan air sehingga kontak udara dan air
terbatas berakibat menurunkan jumlah oksigen terlarut. Hal ini akan menyebabkan
organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu
13
Universitas Muhammadiyah Riau
pencemaran akibat deterjen mengakibatkan timbulnya bau busuk. Bau busuk ini
berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan
organik lanjutan oleh bakteri anaerob (Padmaningrum, 2014).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, baku mutu amonia untuk sungai
kelas satu adalah sebesar 0,5 mg NH3/liter. Menurut Effendi (2003) kadar amonia
dalam perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg NH3/liter. Konsentrasi amonia
yang tinggi dalam badan sungai mengindikasikan adanya pencemaran yang salah
satunya disebabkan oleh buangan air limbah domestik baik segar (tidak terolah)
maupun telah terolah, 49% dari total pencemaran, dimana konsentrasinya
berturut-turut berkisar antara 10 –158 mg NH3/liter dan 25–60 mg NH4+/liter
(Keraf, 2010).
Penurunan amonia dengan pengolahan secara kimiawi dilakukan dengan
cara menambah senyawa kimia ke dalam air limbah. Senyawa kimia yang paling
sering digunakan adalah senyawa khlor (kaporit). Seiring dengan konsumsi khlor
yang tinggi, biaya operasi pun menjadi tinggi serta dapat menimbulkan masalah
baru. Senyawa khlor bersifat sangat reaktif, mudah bereaksi, dengan senyawa lain
dan membentuk senyawa-senyawa baru yang bersifat toksik dan dapat
menimbulkan efek karsinogen bagi manusia (Hibban, 2016).
2.5.3. Analisa Kadar Fosfat
Detergen umumnya tersusun atas tiga komponen utama yang terdiri dari
surfaktan (sebagai bahan dasar detergen) antara 20-30%, bahan builder (senyawa
fosfat) antara 70-80% dan bahan aditif (pemutih, pewangi) antara 2-8%.
Kandungan senyawa fosfat dalam detergen cukup besar sehingga limbah dari
proses pencucian mempunyai kandungan fosfat yang cukup tinggi. Keberadaan
fosfat yang berlebihan di badan air menyebabkan suatu fenomena eutrofikasi.
Kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga dan tumbuhan air tumbuh
berkembang biak dengan cepat. Keadaan ini menyebabkan kualitas air menjadi
menurun, karena rendahnya konsentrasi oksigen terlarut bahkan sampai batas nol,
sehingga menyebabkan kematian makhluk hidup air seperti ikan dan spesies lain
yang hidup di air (Mashita, 2017).
Limbah cair laundry yang dihasilkan oleh deterjen mengandung fosfat yang
tinggi yang berasal dari sodium tripolyphospat (STPP) yang dalam deterjen
berfungsi sebagai builder yang merupakan unsur terpenting kedua setelah
surfaktan karena kemampuannya menonaktifkan mineral kesadahan dalam air
sehingga deterjen dapat bekerja secara optimal. Bila kandungan fosfat dalam air
limbah laundry semakin tinggi maka hal ini akan mengganggu lingkungan sekitar
badan air. Antara lain yaitu menyebabkan eutrofikasi dimana badan air menjadi
kaya akan nutrien terlarut, menurunnya kandungan oksigen terlarut dan
kemampuan daya dukung badan air terhadap biota air (Astuti, 2015).
Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat,
polifosfat dan fosfat organik. Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam
bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air. Fosfat
terlarut adalah salah satu bahan nutrisi yang menstimulasi pertumbuhan yang
sangat luar biasa pada alga dan rumput-rumputan dalam danau, estuaria, dan
sungai berair tenang. Batas konsentrasi fosfat terlarut yang diijinkan adalah 10
mg/L (Utomo, 2018).
Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai softener
air dan builders. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara
mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat aksi softener-nya, efektivitas dari
daya cuci deterjen meningkat. Fosfat pada umumnya berbentuk sodium
tripolyphosphate (STPP). Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya
merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup. Oleh karena
itu, salah satu cara mengurangi kadar fosfat dalam limbah cair adalah dengan
menerapkan biomassa yang menggunakan fosfat sebagai nutrisi dalam
pertumbuhannya. Dalam jumlah banyak, fosfat dapat menyebabkan pengayaan
unsur hara (eutrophication) di badan air sungai/ danau. Hal ini ditandai oleh
ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara tidak langsung dapat
membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa, penggunaan
fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang lebih ramah
lingkungan (Anonim, 2009). Limbah cair industri kecil laundry mengandung
fosfat yang sangat tinggi yaitu 253,03 mg/L sebagai P total,sedangkan menurut
Perda Jateng No.10 Tahun 2004 tentang baku mutu air limbah, kandungan fosfat
15
Universitas Muhammadiyah Riau
yang diijinkan adalah 2 mg/L dan 0,2 mg/L sebagai P menurut Peraturan
Pemerintah No.82 Tahun 2001 untuk air golongan II (Padmaningrum, 2014).
2.6 Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel (UV-Vis)
Spektrofotometer UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi
yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat pada panjang
gelombang (190-380) dan sinar tampak pada panjang gelombang (380-780)
dengan memakai instrumen spektrofotometer. Prinsip dari UV-Vis berdasarkan
interaksi antara materi dengan cahaya, cahaya yang dimaksud berupa ultraviolet
(UV) dan cahaya visibel (Vis), sedangkan materi dapat berupa atom dan molekul
yang lebih berperan adalah elektron valensi. Spektrofotometri UV-Vis merupakan
salah satu metode dalam kimia analisis yang digunakan untuk menentukan
komposisi suatu sampel baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada
molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai
untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif (Mulja, 1995).
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu, sedangkan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya
yang ditranmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk
mengukur energi secara relatif jika energi yang ditranmisikan adalah fungsi
daripanjang gelombang (Khopkar, 2003).
Senyawa fosfat dapat dianalisis secara kualitatif dan kuantatif dengan
menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis, hal ini didasarkan pada sampel
yang akan diserap oleh radiasi (pemancaran) elektomagnetis, dimana panjang
gelombangnya dapat terlihat. Sehingga, senyawa amonia dapat diketahui pada
pengukuran absorbansi dan transmitansi dalam spektroskopisnya (Kristianingrum,
2014).
1. Interaksi Cahaya dengan Materi
Cahaya elektromagnetik dapat dipertimbangkan sebagai bentuk energi cahaya
sebagai transfer gelombang. Bentuk sederhana dari cahaya elektomagnetik dapat
dilihat dalam Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Gerakan Gelombang Cahaya Elektromagnetik (Kristianingrum,
2014).
Panjang gelombang (λ) merupakan jarak antara dua gunung atau lembah yang
berdampingan dari gelombang. Hubungan antara panjang gelombang, dengan
frekuensi dirumuskan dengan persamaan:
c = λ.v atau λ = c/v
Keterangan :
λ : panjang gelombang (cm)
v : frekuensi (dt-1 atau hertz, Hz)
c : kecepatan cahaya (3 x 1010 cm dt-1).
Hubungan antara energi (E) dan panjang gelombang (λ) dituliskan sebagai,
E = h c / λ
Keterangan :
E : energi cahaya (erg)
h : konstanta Planck (6,62 x 10-27 erg det)
c : kecepatan cahaya (3 x 1010 cm dt-1)
λ : panjang gelombang (cm)
2. Absorpsi Cahaya
Secara kualitatif absorpsi cahaya dapat diperoleh dengan pertimbangan
absorpsi cahaya pada daerah tampak, dengan melihat obyek cahaya yang
diteruskan atau dipantulkan. Apabila cahaya polikromatis (cahaya putih) yang
berisi seluruh spektrum panjang gelombang melewati medium tertentu, dan akan
menyerap panjang gelombang lain, sehingga medium akan tampak berwarna.
Oleh karena hanya panjang gelombang yang diteruskan yang sampai ke mata
maka panjang gelombang inilah yang menentukan warna medium. Warna ini
17
Universitas Muhammadiyah Riau
disebut warna komplementer terhadap warna yang diabsorpsi. Spektrum tampak
dan warna-warna komplementer ditunjukkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Spektrum Tampak Dan Warna-Warna Komplementer
Panjang
Gelombang
(nm)
Warna yang
Diabsorpsi
Warna Yang dipantulkan
(Komplementer)
340-450 Lembayung Kuning-hijau
450-495 biru kuning
495-570 hijau violet
570-590 Kuning Biru Biru
590-620 Jingga Hijau- biru
620-750 Merah Biru-Hijau
Sumber : Kristianingrum (2014)
3. Transisi Elektron pada UV-Vis
Pengukuran absorbansi atau transmitansi dalam spektroskopi UV – Vis
digunakan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif spesies kimia. Absorbansi
spesies ini berlangsung dalam dua tahap, yang pertama yaitu : M + hυ ↔M*,
merupakan eksitasi spesies akibat absorpsi foton (hυ) dengan waktu pada daerah
absorpsi UV-Vis (10-8 – 10-9 detik). Tahap kedua adalah relaksasi dengan
berubahnya M* menjadi spesies baru dengan reaksi fotokimia. Absorpsi pada
daerah UV –Vis menyebabkan eksitasi elektron ikatan. Puncak absorpsi (λ max)
dapat dihubungkan dengan jenis ikatan yang ada dalam spesies. Oleh karena itu,
spektroskopi absorpsi berguna untuk mengidentifikasikan gugus fungsi dalam
suatu molekul dan untuk analisis kuantitatif. Spesies yang mengabsorpsi dapat
melakukan transisi yang meliputi (a) elektron π, σ, n (b) elektron d dan f (c)
transfer muatan elektron, yaitu:
a. Transisi yang meliputi elektron π , σ, dan n terjadi pada molekul organik dan
sebagian kecil anion anorganik. Molekul tersebut mengabsorpsi cahaya
elektromagnetik karena adanya elektron valensi, yang akan tereksitansi ke
tingkat energi yang lebih tinggi. Absorpsi terjasi pada daerah UV vakum
(<185 nm). Absorpsi sinar UV – Vis, yang panjang gelombangnya lebih besar,
terbatas pada sejumlah gugus fungsi (disebut kromofor) yang mengandung
elektron valensi dengan energi esitasi rendah.
Contoh : CH4 mempunyai λ max pada 125 nm karena adanya transisi σ →σ*.
Transisi n→σ* (dari orbital tidak berikatan ke orbital anti ikatan) terjadi pada
senyawa jenuh dengan elektron tidak berpasangan. λ max untuk transisi n→σ*
cenderung bergeser ke h yang lebih pendek dalam pelarut polar, seperti etanol
dan H2O.
Transisi n→ σ* seperti juga π→π* terjadi pada sebagian besar senyawa
organik. Bertambahnya kepolaran pelarut pada transisi π→π*, maka bentuk
puncak bergeser ke panjang gelombang yang lebih pendek disebut pergeseran
biru atau hipsokromik, sedangkan jika bergeser kepanjang gelombang yang
lebih panjang dinamakan pergeseran merah atau batokromik. Pergeseran biru
disebabkan bertambahnya solvasi pasangan elektron sehingga berakibat
energinya turun. Pergeseran merah terjadi akibat bertambahnya kepolaran
pelarut (~ 5 nm), yang disebabkan gaya polarisasi antara pelarut dan spesies,
sehingga berakibat menurunnya selisih tingkat energi eksitasi dan tingkat
tidak tereksitasi.
b. Transisi yang meliputi elektron d dan f unsur-unsur blok d mengabsorpsi pada
daerah UV-Vis. Terjadinya transisis logam golongan f disebabkan karena
elektron pada orbital f pada unsur-unsur transisi dalam, dimana memilki
puncak yang sempit karena interaksi elektron 4f atau pun 5f (lantanida dan
aktanida). Pita yang sempit teramati karena efek screening (pelindung) orbital,
untuk transisi 3d dan 4d mempunyai pita yang lebar dan dapat terdeteksi
dalam daerah tampak, puncak absorbsi dipengaruhi oleh lingkungan yang
mengelilinginya. Besarnya splitting (Δ) oleh ligan dapat disusun dalam suatu
deret spektrokimia berikut = I- < Br- < Cl- < F- < OH- < Oksalat- < H2O <
SCN- < NH3 < en < NO2 < CN-. Deret ini berguna untuk meramalkan posisi
puncak absorbsi untuk berbagai kompleks dengan ligan diatas.
c. Spektrum absorbsi transfer muatan. Spektrum absorpsi merupakan cara yang
peka untuk menentukan spesies absorpsi. Kompleks yang memiliki muatan
misalnya : [Fe(SCN)6]3+
, [Fe2+Fe3
+(CN)
6+] mengabsorpsi pada h yang lebih
19
Universitas Muhammadiyah Riau
panjang, karena bertambahnya transfer elektron memerlukan energi radiasi
yang lebih kecil (Kristianingrum, 2014).
4. Hukum Lambert–Beer
Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A) sedangkan cahaya yang
hamburkan diukur sebagai transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum Lambert-
Beer atau Hukum Beer, berbunyi: “Jumlah radiasi cahaya tampak (ultraviolet,
inframerah dan sebagainya) yang diserap atau ditransmisikan oleh suatu larutan
merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal larutan”.
Berdasarkan hukum Lambert-Beer, rumus yang digunakan untuk menghitung
banyaknya cahaya yang dihamburkan adalah:
T =
atau %T =
Absorbansi dinyatakan dengan rumus :
A = -log
T = -log
Keterangan:
A : absorbansi
I0 : intensitas cahaya datang
It : intensitas cahaya setelah melewati sampel
T: tranmitasi (banyaknya cahaya yang dihamburkan)
Rumus yang diturunkan dari Hukum Beer dapat ditulis sebagai:
A= a . b . c atau A = ε . b . c
Keterangan:
A : absorbansi
a : tetapan absorptivitas
b : tebal kuvet
c : konsentrasi larutan yang diukur
ε : tetapan absorptivitas molar
Secara eksperimen hukum Lambert-beer akan terpenuhi apabila peralatan yang
digunakan memenuhi kriteria-kriteria berikut :
1. Sinar yang masuk atau sinar yang mengenai sel sampel berupa sinar
dengan dengan panjang gelombang tunggal (monokromatis)
2. Penyerapan sinar oleh suatu molekul yang ada didalam larutan tidak
dipengaruhi oleh molekul yang lain yang ada bersama dalam satu
larutan
3. Penyerapan terjadi didalam volume larutan yang luas penampang
(tebal kuvet) yang sama;
4. Penyerapan tidak menghasilkan pemancaran sinar pendafluor. Artinya
larutan yang diukur harus benar-benar jernih agar tidak terjadi
hamburan cahaya oleh partikel-partikel koloid atau suspensi yang ada
didalam larutan
5. Konsentrasi analit rendah, apabila konsentrasi tinggi akan mengganggu
kelinearan grafik absorbansi versus konsentrasi.
Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer.
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang
tertentu dan fotometer alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau
yang diabsorpsi (Kristianingrum,2014).
2.7 Spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FTIR)
Spektrofotometer FTIR merupakan suatu metode spektroskopi infrared.
Spektroskopi infrared (IR) dapat mengidentifikasi kandungan gugus kompleks
dalam senyawa tetapi tidak dapat menentukan molekular unsur penyusunnya.
Pada spektroskopi IR, radiasi IR dilewatkan pada sampel. Sebagian dari radiasi IR
diserap oleh sampel dan sebagian lainnya diteruskan. Jika frekuensi dari suatu
vibrasi spesifik partikel sama dengan frekuensi radiasi IR yang langsung menuju
molekul, molekul akan menyerap radiasi tersebut. Spektrum yang dihasilkan
menggambarkan absorpsi dan transmisi molekular, membentuk sidik jari
molekular suatu sampel. Karena bersifat 23 sidik jari, tidak ada dua struktur
molekuler unik yang menghasilkan spektrum IR yang sama (Nugraha, 2008).
Menurut Naufal (2013), spektrofotometer inframerah pada umumnya
digunakan untuk: 1) menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik, dan 2)
mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan
daerah sidik jarinya. Pada alat spektrofotometri IR, satuan bilangan gelombang
merupakan satuan yang umum digunakan. Bilangan gelombang adalah jumlah
21
Universitas Muhammadiyah Riau
gelombang per 1 cm, yang merupakan kebalikan dari panjang gelombang. Nilai
bilangan gelombang berbanding terbalik terhadap frekuensi atau energinya.
Bilangan gelombang dan panjang gelombang dapat dikonversi satu sama lain
(Nugraha, 2008).
Bilangan gelombang dapat didefinisikan sebagai: ⊽=
, di mana λ adalah
panjang gelombang, kadang-kadang disebut bilangan gelombang spektroskopi
Pada spektroskopi inframerah, spektrum inframerah terletak pada daerah dengan
panjang gelombang 0,78 sampai 1000 μm atau bilangan gelombang dari 12800
sampai 1 cm-1
. Spektrofotometer FTIR termasuk ke dalam kategori radiasi
inframerah pertengahan (bilangan gelombang 4000-200 cm-1
). Plot antara
presentase transmitansi dengan bilangan gelombang akan menghasilkan spektrum
inframerah dan setiap tipe ikatan yang berbeda mempunyai frekuensi vibrasi yang
sedikit berbeda, maka tidak ada dua molekul yang berbeda strukturnya akan
mempunyai bentuk serapan inframerah atau spektrum inframerah yang sama.
Spektrofotometer FTIR memanfaatkan energi vibrasi gugus fungsi penyusun
senyawa hidroksiapatit, yaitu gugus PO43-
, gugus CO32-
, serta gugus OH- (Naufal
dkk, 2013).