11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terong (Solanum melongena) Famili Solanaceae memiliki lebih kurang 90 genera dan diperkirakan memiliki spesies antara 3,000-4,000 (Knapp et al. 2004). Solanaceae merupakan famili yang paling mudah beradaptasi dengan lingkungan terutama di daerah tropik dan subtropik. Solanaceae secara umum terkonsentrasi di daerah Amazon, dan Andez di Amerika Selatan yang disebut “Dunia Baru” (Daunay et al. 2001; Knapp et al. 2004), kecuali terong berasal dari Asia dan Afrika yang dikenal sebagai “Dunia Lama” atau Old World Origin (Daunay et al. 2001, Doganlar et al. 2002). Terong merupakan salah satu spesies dalam famili Solanaceae dengan jumlah kromosom 2n=24, dan termasuk genus Solanum. Terong merupakan spesies asli India, semula merupakan tanaman liar (Lester 1998, Daunay et al. 2001, Lester dan Daunay 2003; Frary et al. 2007), kemudian mengalami domistikasi dalam waktu beberapa ratus abad yang lalu. India merupakan negara yang memiliki keragaman genetika dan spesies terong yang paling tinggi di Asia, disusul oleh China dan Indonesia (Lawande dan Chavan 1998; Lester 1998; Doganlar et al. 2002; Economic Research Service, USDA 2006 dan Collonnier et al. 2001). Terdapat sekitar 1,500 spesies terong yang tersebar di negara tropik dan subtropik. Terong seringkali diidentikkan dengan tingkat kemiskinan, karena tanaman ini banyak ditemukan di daerah-daerah yang penduduknya miskin, misalnya India dan China (Simmonds 1984), pendapat ini dikuatkan dengan data yang diperoleh di Afrika (Grubben dan Denton 2004), serta tidak berkembangnya budidaya terong di negara Eropa dan Amerika Serikat. Terong merupakan salah satu komoditas yang mudah tumbuh dan mudah perawatannya dibandingkan dengan komoditas lainnya, serta memiliki toleransi yang cukup tinggi di daerah marginal sehingga tidak memerlukan biaya tinggi dalam budidaya. Simonsma dan Piluek (1994) mengemukan bahwa spesies-spesies asli terong yang ditemukan di Indonesia meliputi Solanum melongena, Solanum macrocarpon, Solanum khasianum (terong perat), Solanum americanum, Solanum torvum, Solanum ferox

BAB II Tinjauan Pustaka

Embed Size (px)

DESCRIPTION

terung

Citation preview

  • 6

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Terong (Solanum melongena) Famili Solanaceae memiliki lebih kurang 90 genera dan diperkirakan

    memiliki spesies antara 3,000-4,000 (Knapp et al. 2004). Solanaceae merupakan

    famili yang paling mudah beradaptasi dengan lingkungan terutama di daerah

    tropik dan subtropik. Solanaceae secara umum terkonsentrasi di daerah Amazon,

    dan Andez di Amerika Selatan yang disebut Dunia Baru (Daunay et al. 2001;

    Knapp et al. 2004), kecuali terong berasal dari Asia dan Afrika yang dikenal

    sebagai Dunia Lama atau Old World Origin (Daunay et al. 2001, Doganlar et

    al. 2002).

    Terong merupakan salah satu spesies dalam famili Solanaceae dengan

    jumlah kromosom 2n=24, dan termasuk genus Solanum. Terong merupakan

    spesies asli India, semula merupakan tanaman liar (Lester 1998, Daunay et al.

    2001, Lester dan Daunay 2003; Frary et al. 2007), kemudian mengalami

    domistikasi dalam waktu beberapa ratus abad yang lalu. India merupakan negara

    yang memiliki keragaman genetika dan spesies terong yang paling tinggi di Asia,

    disusul oleh China dan Indonesia (Lawande dan Chavan 1998; Lester 1998;

    Doganlar et al. 2002; Economic Research Service, USDA 2006 dan Collonnier et

    al. 2001). Terdapat sekitar 1,500 spesies terong yang tersebar di negara tropik

    dan subtropik.

    Terong seringkali diidentikkan dengan tingkat kemiskinan, karena tanaman

    ini banyak ditemukan di daerah-daerah yang penduduknya miskin, misalnya India

    dan China (Simmonds 1984), pendapat ini dikuatkan dengan data yang diperoleh

    di Afrika (Grubben dan Denton 2004), serta tidak berkembangnya budidaya

    terong di negara Eropa dan Amerika Serikat. Terong merupakan salah satu

    komoditas yang mudah tumbuh dan mudah perawatannya dibandingkan dengan

    komoditas lainnya, serta memiliki toleransi yang cukup tinggi di daerah marginal

    sehingga tidak memerlukan biaya tinggi dalam budidaya. Simonsma dan Piluek

    (1994) mengemukan bahwa spesies-spesies asli terong yang ditemukan di

    Indonesia meliputi Solanum melongena, Solanum macrocarpon, Solanum

    khasianum (terong perat), Solanum americanum, Solanum torvum, Solanum ferox

  • 7

    yang tersebar luas di seluruh kepulauan yang juga ditemukan di daerah asalnya

    (Lester 1998, Daunay, et al. 2001). Hal ini dapat dilihat dari nama-nama daerah

    yang ada, misalnya: terong atau terung untuk menyebutkan genus Solanum,

    terong pipit untuk Solanum torvum (Kalimantan), terong perat (Madura), terong

    asam (Dayak), tekokak (Solanum torvum), leunca untuk Solanum americanum

    atau Solanum nigrum (Jawa Barat), cung bulu (Sulawesi Selatan). Terong atau

    Solanum melongena merupakan spesies yang paling dikenal dibandingkan dengan

    spesies lainnya karena paling banyak dikonsumsi (Lester 1998).

    Penggunaan terong di beberapa negara berbeda-beda, misalnya terong asam

    di Kalimantan dibuat campuran sayur asam, di Thailand digunakan dalam menu

    nam prek. Cara mengkonsumsi terong di beberapa wilayah Indonesia

    bervariasi, mulai dari dimakan mentah sebagai lalab, atau dimasak dalam

    beberapa hidangan, serta diolah menjadi manisan terong. Biji terong secara

    tradisional dapat digunakan untuk pengobatan sakit gigi (Grubben dan Denton

    2004). Terong dapat juga digunakan sebagai bahan baku farmasi (Hanson 2003).

    Kandungan gizi dari 100 gram buah terong terdiri dari 92 gram air, 1.6 gram

    protein, 0.2 gram lemak, 4 gram karbohidrat, 1 gram serat, 22 mg kalsium serta

    vitamin (Lawande dan Chavan 1998; Collonnier, et al. 2001). Dari potensi

    kandungan gizi yang dimiliki oleh terong, beberapa orang menggunakan terong

    sebagai diet untuk menurunkan kadar kolesterol darah, diabetes (gula darah),

    disurea dan hemoroid disamping untuk kosmetik (Mueller 2005).

    Genus Solanum belum teridentifikasi dengan baik. Terdapat keragaman

    morfologi yang tinggi baik dalam tingkat interspesifik maupun intraspesifik

    (Furini dan Wunder 2004; Karihaloo dan Gottlieb 1995). Keragaman morfologi

    ini bisa dengan mudah dibedakan secara individu dalam suatu kultivar ataupun

    sebagai spesies liar (Isshiki et al. 1994), namun karena penyebaran yang luas

    kontaminasi dengan kultivar lokal serta perbedaan kultivasi tanaman menjadikan

    kesulitan dalam klasifikasi (Lester dan Daunay 2003).

    2.2 Keragaman dan Konservasi Plasmanutfah Indonesia merupakan salah satu negara terbesar yang memiliki

    keanekaragaman hayati atau mega biodiversity karena keragaman genetika,

    keragaman spesies dan keragaman ekosistem yang sangat tinggi. Meskipun

  • 8

    Indonesia hanya memiliki luas daratan sebesar 1.3% dibandingkan luas total

    daratan di dunia, namun tercatat ada 10% spesies berbunga, 12% mamalia, 17%

    burung, termasuk 400 spesies palem dan 25,000 jenis tumbuhan berbunga. Selain

    itu karena Indonesia merupakan wilayah dengan berbagai bioekologi spesifik

    yang masing-masing sangat kondusif bagi timbulnya keragaman genetika

    tanaman, hewan dan mikroba, disamping peran manusia yang tinggal di wilayah

    tersebut (Sutoro 2006).

    Sebagai salah satu komoditas tertua di Indonesia, keragaman plasmanutfah

    terong dapat dengan mudah dilihat secara visual dari bentuk, ukuran dan warna

    buah, selain dari karakter organ tanaman (Doganlar et al. 2002; Collonnier 2001;

    Kasyhap 2003; Frary et al. 2007). Keragaman yang tinggi ini terkait dengan sifat

    menyerbuk silang dari beberapa spesies terong serta interaksinya dengan

    lingkungan tumbuh (Nothmann 1986; Lawande dan Chavan 1998; Kashyap

    2003). Namun demikian kekerabatan genetika memerlukan analisis molekuler

    dilihat dari peta DNA masing-masing plasmanutfah. Peta keragaman genetika

    dan kekerabatan dapat digambarkan secara sistematika dalam klaster dendrogram

    atau phylogenic systematic (Westhead et al. 2002). Keragaman genetika memiliki

    bentuk berbeda dengan keragaman genotip, yang terjadi sebagai akibat dari

    perubahan struktur genetika dan merupakan potensi yang khas dalam jangka

    panjang terkait dengan proses evolusi (Raven et al. 1999). Keragaman komposisi

    genetika ini merupakan dasar dalam meningkatkan keberlangsungan kehidupan

    individu dan populasi selama seleksi alam. Komponen ini dibentuk oleh DNA dan

    protein serta interaksinya dalam klasifikasi (Lie 1997).

    Daunay et al. (2001), Grubben dan Denton (2004) mengemukakan bahwa

    keragaman genetika (genetic diversity) merupakan modal yang besar dalam

    pengembangan varietas baru. Keragaman ini terkait dengan karakter ketahanan

    terhadap organisme pengganggu tanaman terutama di daerah tropis yang sangat

    tinggi, disamping potensi adaptasi secara geografis. Beberapa perusahaan yang

    berbasis pemuliaan tanaman di Asia telah memanfaatkan keragaman genetik pada

    terong dalam menghasilkan varietas hibrida yang beradaptasi luas di daerah tropis

    dengan ketahanan terhadap layu bakteri yang tinggi. AVRDC sebagai lembaga

    penelitian dan pengembangan di Asia telah melakukan konservasi plasmanutfah

  • 9

    dari beberapa negara, serta memberikan informasi, teknologi dan menyumbang

    materi genetika, mulai dari bentuk plasmanutfah sampai galur-galur hasil

    pengembangan sebagai bahan baku pengembangan varietas (Gniffke 2006)

    Penelitian dan pengembangan varietas atau galur transgenik juga sudah mulai

    dilakukan di beberapa negara terutama untuk ketahanan terhadap serangga,

    misalnya penggerek buah dan batang (fruit and shoot borer) dan ketahanan

    terhadap kondisi abiotik.

    Behera dan Singh (2002) mengemukakan bahwa keragaman genetika pada

    terong banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki karakter ketahanan terhadap

    organisme pengganggu, terutama plasmanutfah dari species liar. Seperti yang

    diungkapkan oleh Daunay et al. (2001) penggunaan species liar memerlukan

    teknis khusus, yakni dengan perkawinan interspesifik yang dilanjutkan dengan

    kultur embrio untuk mendapatkan benih F1. Solanum khasianum sering

    digunakan dalam perkawinan interspesifik karena memiliki karakter ketahanan

    terhadap organisme pengganggu tanaman. Solanum torvum, yang lebih dikenal

    dengan nama lokal tekokak di Jawa Barat atau terong pipit di Kalimantan

    disebutkan merupakan plasmanutfah terong liar yang memiliki banyak karakter

    positif dalam ketahanan terhadap organisme tanaman, seperti: ketahanan terhadap

    bakteri layu Ralstonia solanacearum, Phomopsis vexans, dan Phytopthora

    capsici. Species ini memiliki sifat incompatibilitas dalam penyerbukan, sehingga

    sulit untuk mendapatkan galur rekombinasi terkait dengan bunga yang mandul

    pada setiap keturunannya.

    Daunay et al (2001), Grubben dan Denton (2004) mengemukakan bahwa

    sumber keragaman genetika pada terong dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:

    Genepool kultivar terong lokal dan terong modern (Solanum melongena); keragaman ini penting terkait dengan ukuran buah (10 gram sampai 1000

    gram), warna buah (putih, hijau, ungu, bergaris atau lurik, coklat, hitam

    atau merah muda), dan bentuk buah (dari bulat/globe sampai mengular,

    permukaan kulit halus atau bergerigi).

    Genepool dari 20 species yang mudah melakukan kawin silang dengan terong kelompok pertama dan menghasilkan tanaman fertil, sebagai contoh

    Solanum aethiopicum.

  • 10

    Genepool dari 20 species yang dapat melakukan kawin silang dengan prosedur khusus, baik dengan kultur embrio maupun perlakuan colchicin

    dengan interspecific cross, sebagai contoh adalah Solanum macrocarpon.

    Usaha pertanian yang intensif serta tuntutan permintaan pasar yang beragam

    memicu petani untuk beralih menggunakan varietas hibrida dari varietas

    tradisional atau plasmanutfah lokal. Hal ini berimplikasi terhadap kepunahan

    plasmanutfah lokal karena sifat seragam dari varietas hibrida dan keragaman

    genetika yang rendah, sehingga perlu dilakukan konservasi plasmanutfah (Sutoro

    2006; Daunay et al 2001). Selanjutnya dikemukakan bahwa konservasi

    plasmanutfah dapat dilakukan baik secara in situ maupun ex situ bergantung pada

    sifat dari perbanyakan dari masing-masing komoditas (Sutoro 2006 dan Engle

    2008), namun untuk komoditas sayuran lebih diutamakan secara ex situ terkait

    dengan segi kemudahan. Konservasi ex situ memerlukan biaya besar di awal

    untuk pembangunan infrastruktur serta selama proses penyimpanan. Konservasi

    plasmanutfah ini harus dilakukan sejalan dengan ratifikasi Convention on

    Biological Diversity (CBD) sebagai pengakuan hak National Sovereignity Right of

    Plant Genetics Resources di Indonesia.

    2.3 Varietas Hibrida

    Varietas hibrida dibuat untuk mengambil manfaat dari munculnya

    kombinasi yang baik dari tetua-tetua yang dipakai atau sifat heterosis yang

    dihasilkan (Groot 2002). Tetua yang digunakan dalam pengembangan varietas

    hibrida harus memiliki sifat yang seragam dan homozigot, sehingga varietas yang

    dihasilkan memiliki sifat yang seragam dan stabil. Hibrida merupakan turunan

    pertama dari persilangan dua tetua induk atau lebih yang memiliki sifat genetika

    berbeda dengan tetuanya. Hibrida ini dapat menunjukkan penampilan fisik yang

    lebih kuat dan memiliki potensi hasil yang melebihi kedua tetuanya. Gejala ini

    dikenal sebagai heterosis (Bos 1999) dan merupakan dasar bagi produksi berbagai

    kultivar hibrida, seperti jagung, padi, kelapa sawit, kakao, tomat, terong,

    mentimun, dan cabai. Heterosis membuat kultivar hibrida memiliki daya tumbuh

    (vigor) yang lebih tinggi, relatif lebih tahan penyakit, dan potensi hasil lebih

    tinggi. Heterosis akan muncul kuat apabila kedua tetua relatif homozigot dan

  • 11

    memiliki latar belakang genetika yang relatif jauh (tidak banyak memiliki

    kesamaan alel). Khusus dalam pembuatan kelapa hibrida, gejala heterosis tidak

    dimanfaatkan, tetapi lebih memanfaatkan dua sifat baik dari kedua tetua yang

    tergabung pada keturunannya.

    Varietas hibrida merupakan salah satu teknologi pertanian dalam

    meningkatkan produksi tanaman atau program intensifikasi tanaman. Dalam

    pengembangan varietas hibrida pemulia berusaha melakukan perbaikan karakter

    tanaman baik dari segi produktivitas, ketahanan terhadap penyakit dan cekaman

    abiotik. Pengembangan varietas didasarkan pada kebutuhan pasar dan

    menggunakan keragaman genetika lokal sehingga memiliki daya adaptasi yang

    luas. Untuk mengembangkan galur-galur tetua dibutuhkan variabilitas fenotipik

    dan genetika yang cukup luas, serta informasi tentang deskripsi, jarak genetika

    yang luas dari plasmanutfah donor, sehingga tetua-tetua yang terbentuk akan

    menjadi dua grup besar dengan jarak genetika yang besar dan daya gabung yang

    luas (Hadiati et al. 2009).

    Pengembangan varietas hibrida sayuran di Indonesia dipelopori oleh industri

    benih berbasis breeding, yakni pada tahun 1990. Industri benih melakukan proses

    pengembangan varietas hibrida dengan mengumpulkan plasmanutfah lokal dan

    introduksi dari luar negeri sebagai bahan mentah. Proses selanjutnya adalah

    proses rekombinasi untuk pengembangan galur-galur murni calon tetua dan

    hibridisasi dilanjutkan pengujian multi lokasi untuk melihat nilai heterosis dari

    hibrida yang dibentuk di lahan petani, serta menguji tingkat penerimaan pasar.

    Varietas hibrida hanya dapat diproduksi kembali dengan menggunakan

    galur tetua yang sama, sehingga memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut

    (Groot 2002):

    Kegenjahan. Secara umum varietas hibrida lebih genjah dibandingkan dengan varietas lokal, sehingga siklus tanam lebih pendek.

    Vigor sebagai efek dari heterosis. Sifat heterosis berhubungan dengan produktivitas, ketahanan terhadap penyakit, ketahanan terhadap stres

    dan pembentukan buah lebih baik.

    Adaptasi yang lebih luas. Hibrida dikembangkan untuk daya adaptasi terhadap iklim mikro yang lebih luas.

  • 12

    Keseragaman. Tetua yang dipakai merupakan galur murni yang seragam dan stabil.

    Kualitas. Kualitas produk hibrida disesuaikan dengan permintaan dan kebutuhan pasar.

    Bos (1999) mengemukakan bahwa ketertarikan petani dan pemulia tanaman

    terhadap varietas hibrida disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

    Peluang dalam mengeksploitasi fenomena heterosis. Sifat heterosis ini merupakan nilai tambah dari varietas hibrida terkait dengan

    penggabungan beberapa sifat dari masing-masing tetua.

    Pengembangan varietas hibrida dengan beberapa ketahananan terhadap organisme pengganggu tanaman lebih mudah dibandingkan

    dengan pengembangan galur murni, terutama yang bersifat dominan.

    Varietas hibrida memiliki mekanisme perlindungan varietas secara genetika, karena hanya bisa diproduksi ulang dengan menggunakan

    tetua yang sama.

    Tabel 1 menampilkan jenis, tipe dan nama-nama varietas terong hibrida

    dan non hibrida yang sudah dilepas oleh Menteri Pertanian sejak tahun 1992

    sampai dengan tahun 2010.

    Tabel 1. Varietas-varietas yang mendapatkan SK pelepasan Menteri Pertanian Jenis Tipe Nama

    Hibrida Panjang hijau Fortuna, Milano, Naga Hijau, Gracia, Ratih Hijau 1, Ratih Hijau 2, Orlando Green, OR Fabian, Hijau 06, Hijau JTY

    Hibrida Panjang ungu Benteng, Mustang, Naga Ungu, Sembrani, Lezata, Raos, Ratih Ungu, Violet, OR Valerie, Texas Blue, Ungu 05, Yumi, Olala Ungu, Ungu JTY

    Hibrida Panjang ungu-coklat Antaboga-1, antaboga-2, Antaboga-3, Prince, Jelita 568

    Hibrida Pondoh ungu Satria Hibrida Panjang putih San Siro, Ratih Putih1, Kania Non hibrida Bulat lurik Kenari, Gelatik* Non hibrida Gong

    Hibrida C252, Teho 555, Silila 505, SM211, Pesona, SS110

    Sumber: Direktorat Perbenihan Hortikultura, Dirjen Hortikultura, Kementerian Pertanian. 2011; * tidak dilepas tetapi dikomersialisasikan.

  • 13

    2.4 Usaha Tani Komoditas Sayuran AVRDC (2004) mengemukakan bahwa usaha tani sayuran dilakukan

    dengan beberapa alasan yaitu: sayuran merupakan diet yang sehat, sayuran

    membuat hidup lebih produktif, dan sayuran sangat penting dalam menunjang

    perekomian yang kuat. Perekonomian yang kuat terkait dengan peningkatan

    pendapatan petani, yang walaupun bervariasi dengan tingkatan yang lebih tinggi

    dibandingkan dengan komoditas pertanian lainnya.

    Produksi sayuran total di Asia Tenggara sebesar 30.3 juta ton dari total

    produksi di Asia sebesar 124 juta ton pada tahun 2005, yang menurut Weinberger

    dan Lumpkin (2008) diperkirakan senilai USD 12.6 milyar. Kenaikan produksi

    akan sangat sulit diprediksi pada 25-30 tahun yang akan datang. Usaha tani

    sayuran memiliki nilai penting bagi masyarakat pedesaan, sebagai rotasi budidaya

    padi. Usaha tani sayuran umumnya dilakukan setelah panen padi di dataran

    rendah atau medium, sedangkan di dataran tinggi pada tanah tegalan dilakukan

    sepanjang tahun selama ketersediaan air mencukupi. Panca usaha tani merupakan

    teknik budidaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, antara

    lain penggunaan bibit unggul dan pengendalian hama penyakit tanaman. Kedua

    hal tersebut sangat berkaitan, karena varietas-varietas yang beredar dipasar

    memiliki ketahanan terhadap organisme pengganggu yang berbeda-beda (Groot

    2002). Hal ini berarti pemilihan varietas yang tepat sangat menentukan

    keberhasilan usaha tani.

    Ameriana (2008) mengemukaan bahwa penggunaan pestisida kimia di

    tingkat petani sudah melebihi ambang batas dan sangat membahayakan kesehatan

    manusia, terutama untuk petani tomat di dataran tinggi Jawa Barat. Dikatakan

    pula bahwa perilaku petani dalam penggunaan pestisida ini dipengaruhi oleh

    beberapa faktor yaitu: persepsi tentang resiko kegagalan panen, persepsi tentang

    ketahanan varietas terhadap organisme pengganggu dan pengetahuan petani

    terhadap pestisida dan bahayanya, sehingga komponen pestisida merupakan biaya

    yang tinggi dalam usaha tani sayuran.

    Keberhasilan usaha tani sayuran biasanya diukur dari rasio keuntungan

    terhadap biaya (benefit and cost ratio). Sukiyono (2005) dan Bachrein (2006)

    mengemukakan bahwa usaha tani bunga krisan, petani dapat menentukan pilihan

    jenis, warna bunga, dan asal bibit yang dapat mendukung keberhasilan produksi

  • 14

    untuk menghitung nilai keuntungan ekonomi yang diperoleh dengan

    pertimbangan biaya transportasi, biaya pemasaran dan selera konsumen.

    Pengalaman petani dalam usaha tani juga menentukan nilai B/C rasio.

    Groot (2002) merumuskan nilai manfaat ekonomi usaha tani sayuran

    dengan menggunakan Quality Seed Multiplier analysis, merupakan rasio nilai

    tambah pendapatan yang diperoleh dengan usaha tani suatu produk dibandingkan

    dengan nilai penambahan biaya benih produk tersebut terhadap produk

    sebelumnya. Atau rasio nilai tambah pendapatan yang diperoleh dengan

    mengadopsi varietas baru terhadap peningkatan biaya benih dari varietas baru

    tersebut.

    2.5 Adopsi dan Penetrasi Varietas Hibrida Inovasi adalah suatu gagasan, praktek atau obyek yang dirasa baru oleh

    seseorang untuk melakukan suatu tindakan dan memerlukan proses untuk diadopsi

    (Rogers 1983). Proses adopsi inovasi merupakan proses kejiwaan atau mental

    dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan

    menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan atau penolakan terhadap ide baru

    tersebut. Wahyunindyawati et al. (2002) mengemukakan bahwa adopsi dalam

    penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai proses perubahan prilaku baik

    berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah

    menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Penerimaan

    disini, mengandung arti bukan sekedar tahu, tetapi dengan benar-benar dapat

    dilaksanakan atau diterapkan dengan benar dan dihayati. Selanjutnya dikatakan

    bahwa penerimaan suatu inovasi dapat diamati secara langsung maupun tidak

    langsung oleh orang lain sebagai suatu cerminan dari adanya perubahan sikap,

    pengetahuan dan keterampilannya.

    Rogers (2003) mengemukan tentang lima tahapan dalam proses adopsi suatu

    inovasi, yaitu: awareness (tahu dan sadar), petama kali mendapat suatu ide dan

    praktek baru; interest (minat), mencari rintisan informasi; evaluation (evaluasi),

    menilai manfaat inovasi dengan menilai keuntungan dan kerugian bila

    melaksanakan suatu ide; trial, mencoba menerapkan suatu inovasi pada skala

    kecil; dan adoption (adopsi), penerapan inovasi dalam sekala besar. Tingkat

    adopsi bagi tiap-tiap petani berbeda-beda, yang menurut Rogers (2003)

  • 15

    dipengaruhi oleh lima atribut, yaitu: keuntungan relatif, kecocokan, kompleksitas,

    dapat dicoba (trialbility) dan dapat diamati (observability).

    Dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh setiap individu terhadap suatu

    inovasi, yaitu : melanjutkan mengadopsi (continued adoption) atau menghentikan

    adopsi (discontinued adoption). Pada kelompok kedua, pencarian informasi lebih

    lanjut tetap dilakukan sehingga terlambat dalam mengadopsi (late adoption)

    bahkan tetap menolak (continued rejection). Sesuai dengan kriteria tersebut

    Rogers (1983) melakukan pengelompokan menjadi 5 kategori, yaitu:

    a) Innovators, merupakan kelompok kosmopolit yang berani dan senang

    dengan pembaharuan.

    b) Early adopter, merupakan kelompok yang terdiri dari pemimpin

    informal yang menjadi panutan bagi adopter selanjutnya.

    c) Early majority, merupakan kelompok dari anggota-anggota yang lebih

    dulu mengadopsi dibandingkan dengan kelompok lain.

    d) Late majority, merupakan kelompok yang menghindari resiko.

    e) Laggards, merupakan kelompok tradisional atau konservatif.

    Pengetahuan petani sayur sangat beragam yang berimplikasi terhadap

    penerimaan suatu varietas tertentu. Pola adopsi suatu varietas mengikuti pola

    adopsi tanaman pangan. Benih unggul yang diintroduksikan harus diikuti dengan

    penggunaan input usaha tani lainnya seperti pemupukan, pengendalian hama

    terpadu, pengairan, perawatan tanaman yang berbeda-beda serta jalur pemasaran

    produk segar yang sangat berhubungan erat dengan kondisi sosial ekonomi

    masyarakat (Basuki 2008).

    Secara umum adopsi varietas baru memiliki proses dan pola yang sama

    dengan teknologi lainnya. Adopsi pertama akan dilakukan oleh kelompok petani

    dengan tingkat pengetahuan luas, memiliki posisi yang tinggi dalam kelompok,

    selalu memiliki keinginan melakukan uji coba hal-hal yang baru, serta mau

    menanggung resiko kegagalan. Kelompok ini biasanya memiliki hubungan yang

    dekat dengan penyuluh pertanian baik dari pemerintah maupun dari perusahaan.

    Jika varietas baru tersebut memiliki nilai tambah atau menguntungkan akan

    mendorong petani-petani disekitarnya untuk melakukan adopsi, sementara

    adopter yang pertama akan memperluas lahan usaha tani (Evenson dan Gollin

  • 16

    2003). Dikatakan pula bahwa adopter awal memiliki nilai tambah lebih tinggi

    dibandingkan dengan adopter berikutnya. Adopsi varietas jagung dan kapas

    transgenik memberikan pandangan yang berbeda tentang nilai tambah bagi petani

    kecil di negara-negara berkembang (Smale et al. 2006). Petani-petani mulai

    beralih dari varietas tradisional ke varietas modern, yakni varietas transgenik.