15
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus) Musang luak merupakan salah satu jenis mamalia liar yang termasuk suku musang dan garangan (Viverridae) (Vaughan et al. 2000). Di dunia terdapat sekitar 65 subspesies, termasuk subspesies rindjanicus dan sumbanus di Indonesia. Musang luak memiliki beberapa nama lain, diantaranya civet dan luak atau musang (Panggabean 2011). Taksonomi musang luak diklasifikasikan sebagai berikut (Schreiber et al. 1989) : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Carnivora Famili : Viverridae Subfamili : Paradoxurinae Genus : Paradoxurus Species : Paradoxurus hermaphroditus Gambar 1 Musang luak (Purnomo 2012) Menurut Abebe (2003) musang luak memiliki berat 4-11 pound. Memiliki tubuh yang ramping dengan ukuran panjang tubuh sekitar 17-28 inci (43,2-71 cm), telinga kecil, dan kaki pendek. Menurut Kitchener et al. (2002) ukuran panjang tubuh musang luak dari kepala hingga pangkal ekor sebesar 38 cm, dari pangkal ekor hingga ujung ekor sebesar 40 cm, daun telinga 34 cm, serta panjang kaki 70 cm. Musang luak memiliki warna rambut abu-abu kecoklatan dengan variasi warna dari warna coklat merah tua hingga hitam hijau lumut pada daerah punggung. Di sepanjang kedua sisi tubuhnya terdapat deretan bintik-bintik hitam (Wilson & Reeder 2005). Rambut di sekitar mata, telinga, kaki, hidung, dan ekor berwarna hitam. Akan tetapi, terkadang ditemukan juga musang luak dengan ujung ekor berwarna putih. Selain itu, dahi dan sisi samping wajah hingga di bawah telinga berwarna keputih-putihan seperti beruban (Navephap & Orawan

BAB II Tinjauan Pustaka

  • Upload
    franky

  • View
    189

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Morfologi Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus)

Musang luak merupakan salah satu jenis mamalia liar yang termasuk suku

musang dan garangan (Viverridae) (Vaughan et al. 2000). Di dunia terdapat

sekitar 65 subspesies, termasuk subspesies rindjanicus dan sumbanus di

Indonesia. Musang luak memiliki beberapa nama lain, diantaranya civet dan luak

atau musang (Panggabean 2011).

Taksonomi musang luak diklasifikasikan sebagai berikut (Schreiber et al. 1989) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Ordo : Carnivora

Famili : Viverridae

Subfamili : Paradoxurinae

Genus : Paradoxurus

Species : Paradoxurus

hermaphroditus Gambar 1 Musang luak

(Purnomo 2012)

Menurut Abebe (2003) musang luak memiliki berat 4-11 pound. Memiliki

tubuh yang ramping dengan ukuran panjang tubuh sekitar 17-28 inci (43,2-71

cm), telinga kecil, dan kaki pendek. Menurut Kitchener et al. (2002) ukuran

panjang tubuh musang luak dari kepala hingga pangkal ekor sebesar 38 cm, dari

pangkal ekor hingga ujung ekor sebesar 40 cm, daun telinga 34 cm, serta panjang

kaki 70 cm. Musang luak memiliki warna rambut abu-abu kecoklatan dengan

variasi warna dari warna coklat merah tua hingga hitam hijau lumut pada daerah

punggung. Di sepanjang kedua sisi tubuhnya terdapat deretan bintik-bintik hitam

(Wilson & Reeder 2005). Rambut di sekitar mata, telinga, kaki, hidung, dan ekor

berwarna hitam. Akan tetapi, terkadang ditemukan juga musang luak dengan

ujung ekor berwarna putih. Selain itu, dahi dan sisi samping wajah hingga di

bawah telinga berwarna keputih-putihan seperti beruban (Navephap & Orawan

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

4

1998). Ciri-ciri musang luak betina adalah memiliki delapan puting susu,

sedangkan musang luak jantan memiliki sepasang testis seperti kucing

(Panggabean 2011).

Populasi dan Distribusi

Gambar 2 Wilayah distribusi musang luak (Panggabean 2011).

Musang luak merupakan salah satu dari tiga spesies musang dari marga

Paradoxurus yang normal ditemukan di Ceylon, Bangladesh, Brunei Darussalam,

Singapura, Myanmar, India, Pakistan, Burma, Cina bagian selatan, Filipina bagian

timur, dan Borneo (Navephap & Orawan 1998). Selain itu, musang luak juga

tersebar luas mulai dari Sri Lanka, Asia Tenggara, Tiongkok Selatan,

semenanjung Malaya hingga ke Filipina. Di Indonesia musang luak berada hampir

di setiap provinsi dengan jumlah yang bervariasi. Sebaran populasi yang paling

banyak terdapat di provinsi Sumatera Utara, Lampung, Bali, pulau Sumba, pulau

Lombok, serta beberapa lokasi di pulau Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan

(Panggabean 2011). Populasi musang luak dinilai belum terlalu mengkhawatirkan.

Kini telah banyak dilakukan budi daya musang luak dan pemanfaatan daging

musang luak untuk dikonsumsi masih minim sehingga kelestariannya masih dapat

terjaga. Akan tetapi, perburuan populasi hewan ini juga harus diwaspadai agar

dapat mempertahankan populasi musang luak. Musang luak belum masuk di

dalam undang-undang hewan yang harus dilindungi berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan dan Perkebunan no.461/Kpts-11/1999 tentang penetapan

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

5

musim berburu jenis-jenis satwa buru di taman buru dan areal buru (Panggabean

2011).

Perilaku dan Reproduksi

Musang luak banyak dijumpai mulai dari hutan primer di ketinggian 2000-

2400 meter di atas permukaan laut (dpl) hingga hutan sekunder dan sekitar

perkebunan. Musang luak termasuk hewan yang bersifat soliter dengan berbagai

gaya hidup dan adaptasi, sebagai contohnya mereka sangat pandai memanjat

pohon untuk mencari makan (Aroon et al. 2009, Borah & Karabi 2011). Pada

beberapa lokasi yang terdapat pohon aren, dapat dipastikan terdapat musang luak

yang hidup di lokasi tersebut. Hal ini dikarenakan musang luak sangat menyukai

buah aren (Panggabean 2011). Selain itu, musang luak juga bersifat arboreal yaitu

sebagian besar hidupnya dihabiskan di atas pohon, terutama pada pohon tertinggi

dan terbesar sebagai tempat hidupnya. Akan tetapi, mereka juga dapat beradaptasi

dan mencari makan di permukaan tanah (Jothish 2011). Walaupun musang luak

berhabitat asli di hutan, mereka kerap ditemui di sekitar pemukiman manusia

(Aroon et al. 2009). Hal ini berkorelasi positif dengan pendapat Panggabean

(2011) yang menyatakan musang luak sesekali ditemukan di sekitar lingkungan

permukiman, khususnya lingkungan rumah yang masih terdapat banyak

pepohonan.

Selain bersifat soliter dan arboreal, musang luak juga bersifat nokturnal atau

hidup di malam hari dengan periode aktifitas pada pukul 18.00-04.00 WIB. Pada

siang hari musang luak tidur di lubang-lubang kayu atau di ruang gelap di bawah

atap rumah penduduk sekitar. Hubungan sosial dan pola aktifitas musang luak

terbentuk berdasarkan distribusi sumber makanan dan kegiatan predator mamalia

yang lebih besar.

Musang luak termasuk ke dalam famili Viverridae, akan tetapi tidak

termasuk ke dalam golongan karnivora sejati. Berbeda dengan keluarga kucing

yang merupakan karnivora sejati, struktur gigi musang tidak dirancang sebagai

pemangsa yang harus memakan daging sebagai pakan utamanya (Jothish 2011).

Musang luak lebih tepat disebut frugivora dari pada karnivora dalam batasan

perilaku makannya, yaitu akan memilih buah sebagai pakan utamanya selama

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

6

persediaan masih tersedia dan beralih memangsa vertebrata kecil, reptil, ataupun

serangga disaat terjadi kelangkaan buah-buahan (Mudappa et al. 2010). Proses

pencarian makanan dilakukan pada malam hari, hal ini bertujuan untuk

menghindari predator, misalnya buaya. Pencarian makanan terjadi pada suatu

tempat yang sama secara berulang kali, musang luak akan menggunakan pohon

yang sama untuk beristirahat, yaitu pada pohon dengan tanaman merambat atau

lubang-lubang kayu untuk beberapa hari berturut-turut (Su & John 2007).

Sebagaimana berbagai kerabatnya dari Viverridae, musang luak mengeluarkan

semacam bau dari kelenjar di dekat anusnya. Samar-samar bau ini menyerupai

harum daun pandan, namun dapat pula menjadi pekat dan menyebabkan mual.

Kemungkinan bau ini digunakan untuk menandai batas-batas teritorinya dan

mengumumkan kehadirannya baik pada pasangan maupun musuh (Taye 2009).

Dalam hal reproduksi, hingga saat ini perkembangbiakan musang luak

terjadi tanpa melalui perkawinan buatan tetapi masih melalui perkawinan alami

yang terjadi di alam. Kematangan seksual terjadi pada umur 11-12 bulan. Musang

luak hanya memiliki masa berahi selama dua hari. Pada masa diluar masa berahi,

musang luak sangat beresiko saling membunuh (kanibal) jika jantan dan betina

disatukan (Panggabean 2011). Proses perkawinan umumnya terjadi di cabang

pohon. Perkawinan dimulai saat jantan melakukan kopulasi yang terjadi selama

lima menit dan berulang kali hingga empat sampai lima kali kopulasi. Setelah

proses perkawinan selesai, pasangan musang luak akan bermain-main selama

beberapa saat, kemudian masing-masing akan menempati cabang pohon yang

berbeda sekitar enam menit untuk beristirahat. Selama periode perkawinan yang

singkat, saat betina bunting maka jantan akan menempati pohon yang sama

dengan betinanya sebagai tempat tinggal. Umur kebuntingan musang luak sekitar

empat bulan, kelahiran anak terjadi diantara bulan Oktober hingga Desember.

Kelahiran anak musang luak umumnya terjadi di pohon berongga, celah-celah

batu atau ruang diantara bebatuan dengan jumlah anak sekitar dua hingga lima

anakan. Selanjutnya, induk musang luak akan mengasuh anakan hingga dapat

mencari makan sendiri. Dalam penangkaran, musang luak dapat bertahan hidup

selama 22 tahun (Borah & Karabi 2011).

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

7

Darah

Darah merupakan suatu jaringan khusus yang terdiri dari plasma darah yang

kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Sel-sel darah terdiri dari sel

darah merah atau eritrosit, sel darah putih atau leukosit, dan trombosit (keping

darah atau platelet). Masing-masing sel-sel darah memiliki fungsi yang berbeda-

beda. Sel darah merah atau eritosit berfungsi sebagai 1) pembawa nutrient dari

saluran pencernaan menuju ke jaringan tubuh, 2) pembawa oksigen dari paru-paru

ke jaringan dan kanbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru, 3) pembawa

produk buangan dari jaringan menuju ke ginjal untuk dieksresikan, 4)

mempertahankan sistem keseimbangan dan buffer. Trombosit berfungsi dalam

penggumpalan dan pembekuan darah sehingga mencegah terjadinya kehilangan

darah yang berlebihan pada saat terjadi luka. Sel darah putih atau leukosit

memiliki dua fungsi, yaitu menghancurkan agen penyerang dengan proses

fagositosis dan pembentukan antibodi atau kekebalan tubuh (Guyton 1996).

Menurut Corwin (2000) sel darah putih berfungsi untuk melindungi tubuh dari

infeksi dan membantu dalam proses persembuhan. Sel darah putih dibagi menjadi

dua kelompok yaitu, agranulosit dan granulosit. Kelompok agranulosit merupakan

leukosit yang tidak memiliki granul pada sitoplasmanya. Agranulosit terdiri dari

monosit dan limfosit yang berperan dalam proses fagositosis. Kelompok

granulosit merupakan leukosit yang memiliki granul pada sitoplasmanya.

Granulosit terdiri dari eosinofil yang mengindikasikan adanya infeksi parasit,

neutrofil yang mengindikasikan adanya infeksi bakteri, dan basofil yang

mengindikasikan adanya respon alergi (Guyton 1996).

Salah satu pemeriksaan darah dapat dilakukan melalui ulas darah.

Pemeriksaan dengan ulas atau apus darah yang diwarnai dengan Giemsa dapat

digunakan untuk berbagai macam tujuan, antara lain untuk memeriksa dan

menghitung persentase jenis leukosit, menghitung jumlah trombosit secara tidak

langsung, dan memeriksa adanya infestasi endoparasit berupa parasit darah seperti

protozoa. Terdapat beberapa jenis protozoa yang dapat ditemukan pada darah,

contohnya Anaplasma sp., Babesia sp., Theileria sp., Leukocytozoon sp.,

Haemoproteus sp., dan Plasmodium sp. (Penzhorn 2006).

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

8

Parasit Darah

Berdasarkan habitatnya, parasit dibagi menjadi dua yaitu endoparasit dan

ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit makroskopis dan berkembang di luar

sel tubuh, sedangkan endoparasit merupakan parasit yang berukuran kecil,

mikroskopis, dan berkembang di dalam sel tubuh. Salah satu contoh endoparasit

adalah protozoa yang dapat hidup di dalam sel darah merah (Penzhorn 2006).

Protozoa berasal dari kata Proto yang memiliki arti pertama dan zoon yang

memiliki arti hewan. Oleh karena itu, protozoa dapat diartikan sebagai hewan

bersel satu yang hidup sendiri atau dalam bentuk koloni. Protozoa memiliki

berbagai bentuk yaitu bulat, lonjong, simetris, bilateral atau tidak teratur dengan

ukuran hanya beberapa mikron sampai 40 mikron. Protozoa terdiri dari inti dan

sitoplasma. Inti dibagi menjadi dua tipe yaitu inti tipe vesikular dan tipe granular.

Jumlah inti pada protozoa dapat berjumlah satu atau lebih dan terdiri atas selaput

inti atau membran inti yang meliputi retikulum halus (serabut inti) yang

akromatik, kariosom (karyosoma, endosoma, nukleolus), cairan inti, dan butir-

butir kromatin. Pada inti vesikular butir-butir kromatin menyatu membentuk satu

masa dan pada inti tipe granular butir-butir kromatin menyebar secara merata.

Sitoplasma terdiri dari endoplasma, bagian luar yang tipis, bagian dalam yang

lebih besar, dan ektoplasma. Endoplasma berbentuk butir-butir dan mengandung

inti yang berperan dalam reproduksi dan gizi. Endoplasma mengandung vakuol

makanan, makanan cadangan, benda asing, vakuol kontraktil, dan benda

kromatoid. Ektoplasma pada protozoa akan terlihat jernih dan homogen.

Ektoplasma memiliki fungsi sebagai alat pergerakan, mengambil makan, ekskresi,

bertahan diri, dan respirasi (Ballweber 2001).

Protozoa dibagi menjadi tiga subfilum, yaitu Sarchomastigophora,

Ciliophora, dan Apicomplexa (Ballweber 2001). Subfilum Apicomplexa

merupakan parasit obligat intraseluler dengan tipe reproduksi aseksual dan

seksual (Foreyt 2001). Apicomplexa yang memiliki peranan penting dalam dunia

kesehatan hewan adalah Coccidians dan Hemosporidian. Kelompok Coccidians

memiliki habitat di sel epitel usus yang dapat menyebabkan coccidiosis enteritis.

Kelompok Hemosporidian memiliki habitat di dalam sel darah merah dan dapat

menyebabkan anemia hemolitik (Ballweber 2001). Parasit darah berupa protozoa

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

9

dapat menyerang hewan domestik dan hewan liar. Beberapa jenis protozoa yang

dapat ditemukan di hewan domestik dan hewan liar adalah Babesia sp., Theileria

sp. (Penzhorn 2006), dan Anaplasma sp. (Dyachenko et al. 2012).

Babesia sp.

Babesia sp. merupakan parasit darah yang termasuk filum Apicomplexa.

Babesia sp. tersebar ke seluruh dunia dan ditemukan pertama kali oleh Babes

1888 USA; Australia, Asia, Eropa. Morfologi berbentuk bulat seperti buah pir,

oval, piriform, dan berpasangan dengan ukuran sebesar 1.5-2.5 µm atau 3.0–5.0

µm (de Sá et al. 2006).

Gambar 3 Babesia sp. (Duh et al. 2004).

Taksonomi Babesia menurut Bock et al. (2004) adalah sebagai berikut :

Filum : Apicomplexa

Kelas : Sporozoasida

Ordo : Eucoccidiorida

Subordo : Piroplasmorina

Famili : Babesiidae

Genus : Babesia

Spesies : Babesia canis, Babesia civettae

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

10

Siklus Hidup

Gambar 4 Siklus hidup Babesia sp. (Hunfeld et al. 2008).

Babesia sp. merupakan parasit obligat intraseluler dengan induk semangnya

adalah ruminansia, anjing, dan satwa liar. Pada induk semang, Babesia sp. akan

berhabitat di dalam sel darah merah. Penyebaran Babesia sp. terjadi melalui

gigitan vektor yaitu caplak keras yang tergolong ke famili Ixodide, misalnya

Dermacentor spp., Haemaphysalis spp., Hyalomma spp., dan Rhipicephalus spp.

Babesia sp. dapat berpindah atau bertransmisi dari satu generasi caplak ke

generasi lainnya sehingga caplak dari stadium larva, nympha, dan dewasa

berpotensi sebagai vektor.

Siklus hidup Babesia sp. dapat terjadi di dalam tubuh vektor dan induk

semang. Babesia sp. melakukan reproduksi secara aseksual dan seksual.

Reproduksi aseksual terdiri dari stadium merogoni yang terjadi di dalam sel darah

merah induk semang. Reproduksi seksual terdiri dari stadium sporogoni dan

gametogoni yang dimulai dari terbentuknya makrogamet dan mikrogamet di

dalam tubuh caplak. Stadium merogoni diawali pada saat caplak baik pada

Caplak Ixodide Vetebrata

sporozoit

trofozoit

merozoit

gametosit

gametosit

Gametogoni

(pada usus caplak)

ray bodies

zigot

Sporogoni

(hemolymph)

kinet telur

Kelenjar saliva

Merogoni

(intra eritrosit)

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

11

stadium larva, nympha, dan dewasa yang mengandung sporozoit pada salivanya

menggigit hewan vertebrata. Sporozoit akan masuk ke dalam sel darah merah

melalui penetrasi mekanis. Di dalam sel darah merah, sporozoit akan berubah

menjadi trofozoit yang mengalami pembelahan biner menjadi dua atau empat

individu merozoit. Hal ini akan menyebabkan desakan mekanis sehingga sel darah

merah ruptur. Bersamaan dengan rupturnya sel darah merah, merozoit akan

mencari sel darah merah baru dan berpenetrasi ke dalam sel darah merah dalam

tubuh induk semang yang sama (Kumar et al. 2008). Di dalam sel darah merah

merozoit akan mengalami perubahan menjadi pre-gametosit.

Caplak dewasa yang menghisap darah hewan vertebrata yang terinfeksi

Babesia sp. secara tidak langsung akan menghisap pula sel darah merah yang

mengandung pre-gametosit. Pre-gametosit yang dibawa akan berperan dalam

reproduksi seksual yang terjadi di dalam tubuh caplak. Pre-gametosit akan

berubah menjadi gametosit yang akan menjadi awal dari stadium gametogoni atau

gamogoni. Gametosit yang terbentuk akan menghasilkan ray bodies atau gamet

yang terbagi menjadi mikrogamet (gamet jantan) dan makrogamet (gamet betina)

dimana keduanya akan berdifusi menjadi zigot. Tahap selanjutnya adalah zigot

berkembang menjadi ookinet atau vermiculus (Uilenberg 2006). Ookinet yang

dihasilkan dapat berpindah secara transovarial ke caplak stadium larva, dan secara

transstadial ke caplak stadium nympha dan dewasa (Bock et al. 2004). Ookinet ini

akan mengalami diferensiasi dalam proses sporogoni membentuk kinet. Menurut

Taylor et al. (2007) kinet akan masuk ke kelenjar saliva pada masing-masing

stadium caplak dan akan mengekspansi sel sehingga terjadi hipertrofi sel kelenjar

saliva dan berkembang menjadi sel multinukleat sporoblast. Satu sporoblast

matang akan menjadi 5000-10000 sporozoit. Sporozoit-sporozoit dari setiap

stadium caplak inilah yang dapat menginfeksi induk semang melalui gigitan

caplak sehingga terjadi kembali stadium merogoni. Terdapat berbagai spesies dari

Babesia yang dapat menyerang hewan liar. Spesies yang menyerang musang luak

juga telah berhasil diidentifikasi secara genetik dan merupakan spesies tersendiri

yaitu Babesia civettae. Beberapa spesies yang menyerang hewan domestik juga

dilaporkan mampu menyerang hewan liar (Penzhorn 2006).

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

12

Gejala Klinis

Induk semang yang berumur muda relatif resisten terhadap infeksi Babesia

sp. dan tidak selalu menunjukkan gejala klinis. Pada fase akut gejala klinis diawali

oleh demam, diikuti ikterus, haus, anemia (Duh et al. 2004), petechi dan

hemorhagi pada gusi atau ventral abdomen, dan anemia (Taylor et al. 2007).

Anemia merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan

penurunan kondisi tubuh. Anemia yang terjadi secara cepat mengakibatkan 75%

atau lebih sel darah merah rusak dalam waktu beberapa hari. Keadaan anemia

biasanya bersamaan dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Pada kasus

kronis, gejala demam dan ikterus terjadi secara ringan (Duh et al. 2004). Jika

hewan dapat bertahan, hewan akan mengalami penurunan berat badan dan

produksi (Taylor et al. 2007).

Theileria sp.

Genus Theleria merupakan penyebab penyakit Theleriosis. Penyakit

tersebut menyerang sapi dan domba dengan persebaran di Afrika, Asia, Eropa,

dan Australia (Taylor et al. 2007). Salah satu siklus hidup protozoa ini berada

dalam sel darah merah. Penyebarannya dilakukan dengan perantara vektor

Riphicephalus, Haemaphysalis, Amblyomma dan Hyalomma (Urquhart et al.

2003).

Gambar 5 Theileria sp. (Stockham et al. 2000)

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

13

Taksonomi Theileria menurut Bishop et al. (2004) adalah sebagai berikut :

Filum : Sporozoa (Apicomplexa)

Kelas : Sporozoea

Ordo : Haemosporidia

Subordo : Aconoidina

Family : Theileriidae

Genus : Theileria

Spesies : Theileria annae, Theileri parva, Theileria annulata

Siklus Hidup

Gambar 6 Siklus hidup Theileria sp. (Bishop et al. 2004)

Siklus hidup Theileria sp. melibatkan induk semang, yaitu ruminansia,

anjing, dan satwa liar dengan penyebaran yang melibatkan vektor biologis yaitu

caplak dari famili Ixodidae. Reproduksi Theileria sp. hampir mirip dengan

sporozoit

limfosit

skizon

limfoblast

Merogoni

(intra limfosit)

merozoit

piroplasma

gamont

gamet

zigot

kinet

sporoblast

sporozoit

Caplak Ixodide Vetebrata

Sporogoni

(hemolymph)

Gametogoni

(pada usus caplak)

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka

14

Babesia sp. yaitu secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual terdiri dari

stadium skizogoni dan merogoni yang terjadi di dalam tenunan limfoid, sirkulasi

limfosit, dan pada sel darah merah atau eritrosit induk semang. Reproduksi

seksual terdiri dari stadium gametogoni dan sporogoni yang terjadi di dalam tubuh

vektor. Stadium skizogoni diawali pada saat caplak yang mengandung sporozoit

pada salivanya menggigit induk semang. Pada tahap inilah terdapat perbedaan

antara Theileria sp. dengan Babesia sp. Pada Babesia sp., sporozoit akan langsung

menyerang sel darah merah, sedangkan pada Theileria sp. sporozoit akan

mengikuti sistem limfe menuju limfonodus dan limpa, kemudian berubah menjadi

trofozoit yang menetap di limfosit (Shaw et al. 1993). Pada hari ke-9 hingga ke-

22 setelah gigitan caplak trofozoit akan membentuk badan yang berinti banyak

yang disebut dengan skizon. Skizon memiliki dua bentuk yaitu makroskizon dan

mikroskizon. Tahap selanjutnya adalah stadium merogoni. Pada stadium

merogoni makroskizon akan menyerang limfosit dan membentuk makromerozoit,

sedangkan mikroskizon akan menghasilkan mikromerozoit melalui proses

pembelahan yang kemudian akan dilepaskan dari limfosit dan menyerang sel

darah merah yang disebut dengan piroplasma. Piroplasma tersebut yang akan

masuk ke dalam tubuh caplak saat caplak menghisap darah induk semang (Bishop

et al. 2004).

Piroplasma yang berada dalam tubuh caplak akan mengalami reproduksi

seksual (Bishop et al. 2004). Reproduksi seksual terjadi di dalam usus caplak

yang diawali dengan stadium gametogoni. Pada stadium gametogoni piroplasma

yang mengandung ray bodies yaitu gamet jantan dan gamet betina akan berdifusi

menjadi zigot. Zigot akan masuk ke dalam epitel usus dan mengalami

transformasi membentuk kinete. Kemudian kinete bergerak mengikuti aliran limfe

dan memasuki sel kelenjar saliva caplak dan mengalami perubahan menjadi

sporoblast (Bishop et al. 2004). Satu sporoblast akan menghasilkan 30.000-50.000

sporozoit. Sporozoit inilah yang akan menginfeksi mamalia melalui gigitan caplak

yang terinfeksi sehingga terjadi kembali stadium merogoni (Urquhart et al. 2003).

Pada Theileria sp. tidak terjadi transmisi kinete ke ovarium caplak dewasa. Oleh

karena itu, transmisi yang terjadi di tubuh caplak hanya transmisi transstadial.

Theileria sp. tidak mengalami pembelahan, ia akan hidup beberapa waktu hingga

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka

15

sel darah merah mengalami kerusakan dan pergantian sel yang baru atau memang

terbawa oleh caplak untuk perkembangan seksual (Kaufmann 2001).

Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Theleriosis berbeda-beda antar spesies.

Spesies Theileria yang dapat menyerang karnivora adalah Theileria annae.

Theileris annae dapat menyebabkan penyakit dengan gejala klinis demam,

anoreksia, kehilangan berat badan, dan anemia. Parasitemia pada umumnya

rendah dan jarang menimbulkan anemia. Pada kasus kronis dapat terjadi

trombositopenia, dan pembesaran limfonodus (Zahler et al. 2000).

Anaplasma sp.

Anaplasma sp. merupakan organisme obligat intraseluler yang terikat

dengan membran vakuola dalam sitoplasma sel inang. Anaplasma sp. merupakan

anggota dari filum Proteobakteria, kelas Alphaproteobacteria, ordo Rickettsiales,

dan famili Anaplasmataceae (Kocan et al. 2004). Penyebaran Anaplasma sp.

dapat terjadi di daerah tropis, sub tropis, Eropa selatan, dan Amerika (Ashadi &

Handayani 1992).

Gambar 7 Anaplasma sp. (Kaufmann 2001).

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka

16

Taksonomi Anaplasma Dumler et al. (2001) adalah sebagai berikut :

Filum : Protobacteri

Kelas : Alpha Protobacteria

Ordo : Rickettsiales

Famili : Anaplasmataceae

Genus : Anaplasma

Spesies : Anaplasma marginale, Anaplasma central, dan Anaplasma platys

Siklus Hidup

Gambar 8 Siklus hidup Anaplasma sp. (Kocan et al. 2004).

Anaplasma sp. merupakan parasit obligat intraseluler dengan induk

semangnya adalah sapi, kerbau, kambing, domba, anjing, hewan liar, kuda bahkan

manusia. Anaplasma sp. memiliki siklus hidup yang sama dengan Babesia sp.

Akan tetapi, pada penularannya Anaplasma sp. memiliki beberapa vektor

diantaranya yaitu caplak, nyamuk, lalat kandang, dan serangga penggigit. Di

Australia ditemukan 20 species caplak Boophilus microplus yang berperan

sebagai vektor sedangkan di Amerika ditemukan lalat penghisap darah sebagai

vektor (Taylor et al. 2007). Lalat penghisap darah dari famili Tabanidae

sporozoit trofozoit

merozoit

gametosit ray bodies

zigot

Merogoni

(intra eritrosit)

kinet

telur

Sporogoni

Caplak ixodide Vetebrata

Gametogoni

(pada usus caplak)

(hemolymph)

Kelenjar saliva

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka

17

dilaporkan mampu menjadi vektor mekanik dari Anaplasma marginale di

kawasan Eropa-Timur (Hornok et al. 2008).

Gejala klinis

Adanya Anaplasma sp. dalam sel darah merah induk semang dapat

mengakibatkan berbagai penyakit. Gejala klinis pada umumnya bersifat tidak

spesifik dan ringan yaitu anoreksia, depresi, pembengkakan limfonodus, anemia,

dan demam (Dyachenko et al. 2012). Gejala klinis yang terlihat berbeda-beda

pada tiap stadium infeksi. Pada stadium inkubasi hewan tidak menunjukkan gejala

klinis. Gejala klinis mulai terlihat pada stadium perkembangan. Jika anemia yang

terjadi pada tahap perkembangan semakin parah, hewan akan mengalami gejala

klinis berupa ikterus, penurunan berat badan, dehidrasi, peningkatan aktifitas

respirasi, mulut menjadi kering, dan anoreksia (Arulkanthan et al. 1999). Pada

fase akut akan terjadi demam selama 3-7 hari. Selama demam, terjadi penurunan

produksi, depresi hingga kematian akibat hipoksia. Tanda klinis terlihat ringan

pada usia muda. Setelah itu, pada hewan berumur dua sampai tiga tahun penyakit

rentan menjadi perakut dan sering fatal (Taylor et al. 2007).