Upload
franky
View
189
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Morfologi Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus)
Musang luak merupakan salah satu jenis mamalia liar yang termasuk suku
musang dan garangan (Viverridae) (Vaughan et al. 2000). Di dunia terdapat
sekitar 65 subspesies, termasuk subspesies rindjanicus dan sumbanus di
Indonesia. Musang luak memiliki beberapa nama lain, diantaranya civet dan luak
atau musang (Panggabean 2011).
Taksonomi musang luak diklasifikasikan sebagai berikut (Schreiber et al. 1989) :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Carnivora
Famili : Viverridae
Subfamili : Paradoxurinae
Genus : Paradoxurus
Species : Paradoxurus
hermaphroditus Gambar 1 Musang luak
(Purnomo 2012)
Menurut Abebe (2003) musang luak memiliki berat 4-11 pound. Memiliki
tubuh yang ramping dengan ukuran panjang tubuh sekitar 17-28 inci (43,2-71
cm), telinga kecil, dan kaki pendek. Menurut Kitchener et al. (2002) ukuran
panjang tubuh musang luak dari kepala hingga pangkal ekor sebesar 38 cm, dari
pangkal ekor hingga ujung ekor sebesar 40 cm, daun telinga 34 cm, serta panjang
kaki 70 cm. Musang luak memiliki warna rambut abu-abu kecoklatan dengan
variasi warna dari warna coklat merah tua hingga hitam hijau lumut pada daerah
punggung. Di sepanjang kedua sisi tubuhnya terdapat deretan bintik-bintik hitam
(Wilson & Reeder 2005). Rambut di sekitar mata, telinga, kaki, hidung, dan ekor
berwarna hitam. Akan tetapi, terkadang ditemukan juga musang luak dengan
ujung ekor berwarna putih. Selain itu, dahi dan sisi samping wajah hingga di
bawah telinga berwarna keputih-putihan seperti beruban (Navephap & Orawan
4
1998). Ciri-ciri musang luak betina adalah memiliki delapan puting susu,
sedangkan musang luak jantan memiliki sepasang testis seperti kucing
(Panggabean 2011).
Populasi dan Distribusi
Gambar 2 Wilayah distribusi musang luak (Panggabean 2011).
Musang luak merupakan salah satu dari tiga spesies musang dari marga
Paradoxurus yang normal ditemukan di Ceylon, Bangladesh, Brunei Darussalam,
Singapura, Myanmar, India, Pakistan, Burma, Cina bagian selatan, Filipina bagian
timur, dan Borneo (Navephap & Orawan 1998). Selain itu, musang luak juga
tersebar luas mulai dari Sri Lanka, Asia Tenggara, Tiongkok Selatan,
semenanjung Malaya hingga ke Filipina. Di Indonesia musang luak berada hampir
di setiap provinsi dengan jumlah yang bervariasi. Sebaran populasi yang paling
banyak terdapat di provinsi Sumatera Utara, Lampung, Bali, pulau Sumba, pulau
Lombok, serta beberapa lokasi di pulau Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan
(Panggabean 2011). Populasi musang luak dinilai belum terlalu mengkhawatirkan.
Kini telah banyak dilakukan budi daya musang luak dan pemanfaatan daging
musang luak untuk dikonsumsi masih minim sehingga kelestariannya masih dapat
terjaga. Akan tetapi, perburuan populasi hewan ini juga harus diwaspadai agar
dapat mempertahankan populasi musang luak. Musang luak belum masuk di
dalam undang-undang hewan yang harus dilindungi berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan no.461/Kpts-11/1999 tentang penetapan
5
musim berburu jenis-jenis satwa buru di taman buru dan areal buru (Panggabean
2011).
Perilaku dan Reproduksi
Musang luak banyak dijumpai mulai dari hutan primer di ketinggian 2000-
2400 meter di atas permukaan laut (dpl) hingga hutan sekunder dan sekitar
perkebunan. Musang luak termasuk hewan yang bersifat soliter dengan berbagai
gaya hidup dan adaptasi, sebagai contohnya mereka sangat pandai memanjat
pohon untuk mencari makan (Aroon et al. 2009, Borah & Karabi 2011). Pada
beberapa lokasi yang terdapat pohon aren, dapat dipastikan terdapat musang luak
yang hidup di lokasi tersebut. Hal ini dikarenakan musang luak sangat menyukai
buah aren (Panggabean 2011). Selain itu, musang luak juga bersifat arboreal yaitu
sebagian besar hidupnya dihabiskan di atas pohon, terutama pada pohon tertinggi
dan terbesar sebagai tempat hidupnya. Akan tetapi, mereka juga dapat beradaptasi
dan mencari makan di permukaan tanah (Jothish 2011). Walaupun musang luak
berhabitat asli di hutan, mereka kerap ditemui di sekitar pemukiman manusia
(Aroon et al. 2009). Hal ini berkorelasi positif dengan pendapat Panggabean
(2011) yang menyatakan musang luak sesekali ditemukan di sekitar lingkungan
permukiman, khususnya lingkungan rumah yang masih terdapat banyak
pepohonan.
Selain bersifat soliter dan arboreal, musang luak juga bersifat nokturnal atau
hidup di malam hari dengan periode aktifitas pada pukul 18.00-04.00 WIB. Pada
siang hari musang luak tidur di lubang-lubang kayu atau di ruang gelap di bawah
atap rumah penduduk sekitar. Hubungan sosial dan pola aktifitas musang luak
terbentuk berdasarkan distribusi sumber makanan dan kegiatan predator mamalia
yang lebih besar.
Musang luak termasuk ke dalam famili Viverridae, akan tetapi tidak
termasuk ke dalam golongan karnivora sejati. Berbeda dengan keluarga kucing
yang merupakan karnivora sejati, struktur gigi musang tidak dirancang sebagai
pemangsa yang harus memakan daging sebagai pakan utamanya (Jothish 2011).
Musang luak lebih tepat disebut frugivora dari pada karnivora dalam batasan
perilaku makannya, yaitu akan memilih buah sebagai pakan utamanya selama
6
persediaan masih tersedia dan beralih memangsa vertebrata kecil, reptil, ataupun
serangga disaat terjadi kelangkaan buah-buahan (Mudappa et al. 2010). Proses
pencarian makanan dilakukan pada malam hari, hal ini bertujuan untuk
menghindari predator, misalnya buaya. Pencarian makanan terjadi pada suatu
tempat yang sama secara berulang kali, musang luak akan menggunakan pohon
yang sama untuk beristirahat, yaitu pada pohon dengan tanaman merambat atau
lubang-lubang kayu untuk beberapa hari berturut-turut (Su & John 2007).
Sebagaimana berbagai kerabatnya dari Viverridae, musang luak mengeluarkan
semacam bau dari kelenjar di dekat anusnya. Samar-samar bau ini menyerupai
harum daun pandan, namun dapat pula menjadi pekat dan menyebabkan mual.
Kemungkinan bau ini digunakan untuk menandai batas-batas teritorinya dan
mengumumkan kehadirannya baik pada pasangan maupun musuh (Taye 2009).
Dalam hal reproduksi, hingga saat ini perkembangbiakan musang luak
terjadi tanpa melalui perkawinan buatan tetapi masih melalui perkawinan alami
yang terjadi di alam. Kematangan seksual terjadi pada umur 11-12 bulan. Musang
luak hanya memiliki masa berahi selama dua hari. Pada masa diluar masa berahi,
musang luak sangat beresiko saling membunuh (kanibal) jika jantan dan betina
disatukan (Panggabean 2011). Proses perkawinan umumnya terjadi di cabang
pohon. Perkawinan dimulai saat jantan melakukan kopulasi yang terjadi selama
lima menit dan berulang kali hingga empat sampai lima kali kopulasi. Setelah
proses perkawinan selesai, pasangan musang luak akan bermain-main selama
beberapa saat, kemudian masing-masing akan menempati cabang pohon yang
berbeda sekitar enam menit untuk beristirahat. Selama periode perkawinan yang
singkat, saat betina bunting maka jantan akan menempati pohon yang sama
dengan betinanya sebagai tempat tinggal. Umur kebuntingan musang luak sekitar
empat bulan, kelahiran anak terjadi diantara bulan Oktober hingga Desember.
Kelahiran anak musang luak umumnya terjadi di pohon berongga, celah-celah
batu atau ruang diantara bebatuan dengan jumlah anak sekitar dua hingga lima
anakan. Selanjutnya, induk musang luak akan mengasuh anakan hingga dapat
mencari makan sendiri. Dalam penangkaran, musang luak dapat bertahan hidup
selama 22 tahun (Borah & Karabi 2011).
7
Darah
Darah merupakan suatu jaringan khusus yang terdiri dari plasma darah yang
kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Sel-sel darah terdiri dari sel
darah merah atau eritrosit, sel darah putih atau leukosit, dan trombosit (keping
darah atau platelet). Masing-masing sel-sel darah memiliki fungsi yang berbeda-
beda. Sel darah merah atau eritosit berfungsi sebagai 1) pembawa nutrient dari
saluran pencernaan menuju ke jaringan tubuh, 2) pembawa oksigen dari paru-paru
ke jaringan dan kanbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru, 3) pembawa
produk buangan dari jaringan menuju ke ginjal untuk dieksresikan, 4)
mempertahankan sistem keseimbangan dan buffer. Trombosit berfungsi dalam
penggumpalan dan pembekuan darah sehingga mencegah terjadinya kehilangan
darah yang berlebihan pada saat terjadi luka. Sel darah putih atau leukosit
memiliki dua fungsi, yaitu menghancurkan agen penyerang dengan proses
fagositosis dan pembentukan antibodi atau kekebalan tubuh (Guyton 1996).
Menurut Corwin (2000) sel darah putih berfungsi untuk melindungi tubuh dari
infeksi dan membantu dalam proses persembuhan. Sel darah putih dibagi menjadi
dua kelompok yaitu, agranulosit dan granulosit. Kelompok agranulosit merupakan
leukosit yang tidak memiliki granul pada sitoplasmanya. Agranulosit terdiri dari
monosit dan limfosit yang berperan dalam proses fagositosis. Kelompok
granulosit merupakan leukosit yang memiliki granul pada sitoplasmanya.
Granulosit terdiri dari eosinofil yang mengindikasikan adanya infeksi parasit,
neutrofil yang mengindikasikan adanya infeksi bakteri, dan basofil yang
mengindikasikan adanya respon alergi (Guyton 1996).
Salah satu pemeriksaan darah dapat dilakukan melalui ulas darah.
Pemeriksaan dengan ulas atau apus darah yang diwarnai dengan Giemsa dapat
digunakan untuk berbagai macam tujuan, antara lain untuk memeriksa dan
menghitung persentase jenis leukosit, menghitung jumlah trombosit secara tidak
langsung, dan memeriksa adanya infestasi endoparasit berupa parasit darah seperti
protozoa. Terdapat beberapa jenis protozoa yang dapat ditemukan pada darah,
contohnya Anaplasma sp., Babesia sp., Theileria sp., Leukocytozoon sp.,
Haemoproteus sp., dan Plasmodium sp. (Penzhorn 2006).
8
Parasit Darah
Berdasarkan habitatnya, parasit dibagi menjadi dua yaitu endoparasit dan
ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit makroskopis dan berkembang di luar
sel tubuh, sedangkan endoparasit merupakan parasit yang berukuran kecil,
mikroskopis, dan berkembang di dalam sel tubuh. Salah satu contoh endoparasit
adalah protozoa yang dapat hidup di dalam sel darah merah (Penzhorn 2006).
Protozoa berasal dari kata Proto yang memiliki arti pertama dan zoon yang
memiliki arti hewan. Oleh karena itu, protozoa dapat diartikan sebagai hewan
bersel satu yang hidup sendiri atau dalam bentuk koloni. Protozoa memiliki
berbagai bentuk yaitu bulat, lonjong, simetris, bilateral atau tidak teratur dengan
ukuran hanya beberapa mikron sampai 40 mikron. Protozoa terdiri dari inti dan
sitoplasma. Inti dibagi menjadi dua tipe yaitu inti tipe vesikular dan tipe granular.
Jumlah inti pada protozoa dapat berjumlah satu atau lebih dan terdiri atas selaput
inti atau membran inti yang meliputi retikulum halus (serabut inti) yang
akromatik, kariosom (karyosoma, endosoma, nukleolus), cairan inti, dan butir-
butir kromatin. Pada inti vesikular butir-butir kromatin menyatu membentuk satu
masa dan pada inti tipe granular butir-butir kromatin menyebar secara merata.
Sitoplasma terdiri dari endoplasma, bagian luar yang tipis, bagian dalam yang
lebih besar, dan ektoplasma. Endoplasma berbentuk butir-butir dan mengandung
inti yang berperan dalam reproduksi dan gizi. Endoplasma mengandung vakuol
makanan, makanan cadangan, benda asing, vakuol kontraktil, dan benda
kromatoid. Ektoplasma pada protozoa akan terlihat jernih dan homogen.
Ektoplasma memiliki fungsi sebagai alat pergerakan, mengambil makan, ekskresi,
bertahan diri, dan respirasi (Ballweber 2001).
Protozoa dibagi menjadi tiga subfilum, yaitu Sarchomastigophora,
Ciliophora, dan Apicomplexa (Ballweber 2001). Subfilum Apicomplexa
merupakan parasit obligat intraseluler dengan tipe reproduksi aseksual dan
seksual (Foreyt 2001). Apicomplexa yang memiliki peranan penting dalam dunia
kesehatan hewan adalah Coccidians dan Hemosporidian. Kelompok Coccidians
memiliki habitat di sel epitel usus yang dapat menyebabkan coccidiosis enteritis.
Kelompok Hemosporidian memiliki habitat di dalam sel darah merah dan dapat
menyebabkan anemia hemolitik (Ballweber 2001). Parasit darah berupa protozoa
9
dapat menyerang hewan domestik dan hewan liar. Beberapa jenis protozoa yang
dapat ditemukan di hewan domestik dan hewan liar adalah Babesia sp., Theileria
sp. (Penzhorn 2006), dan Anaplasma sp. (Dyachenko et al. 2012).
Babesia sp.
Babesia sp. merupakan parasit darah yang termasuk filum Apicomplexa.
Babesia sp. tersebar ke seluruh dunia dan ditemukan pertama kali oleh Babes
1888 USA; Australia, Asia, Eropa. Morfologi berbentuk bulat seperti buah pir,
oval, piriform, dan berpasangan dengan ukuran sebesar 1.5-2.5 µm atau 3.0–5.0
µm (de Sá et al. 2006).
Gambar 3 Babesia sp. (Duh et al. 2004).
Taksonomi Babesia menurut Bock et al. (2004) adalah sebagai berikut :
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Ordo : Eucoccidiorida
Subordo : Piroplasmorina
Famili : Babesiidae
Genus : Babesia
Spesies : Babesia canis, Babesia civettae
10
Siklus Hidup
Gambar 4 Siklus hidup Babesia sp. (Hunfeld et al. 2008).
Babesia sp. merupakan parasit obligat intraseluler dengan induk semangnya
adalah ruminansia, anjing, dan satwa liar. Pada induk semang, Babesia sp. akan
berhabitat di dalam sel darah merah. Penyebaran Babesia sp. terjadi melalui
gigitan vektor yaitu caplak keras yang tergolong ke famili Ixodide, misalnya
Dermacentor spp., Haemaphysalis spp., Hyalomma spp., dan Rhipicephalus spp.
Babesia sp. dapat berpindah atau bertransmisi dari satu generasi caplak ke
generasi lainnya sehingga caplak dari stadium larva, nympha, dan dewasa
berpotensi sebagai vektor.
Siklus hidup Babesia sp. dapat terjadi di dalam tubuh vektor dan induk
semang. Babesia sp. melakukan reproduksi secara aseksual dan seksual.
Reproduksi aseksual terdiri dari stadium merogoni yang terjadi di dalam sel darah
merah induk semang. Reproduksi seksual terdiri dari stadium sporogoni dan
gametogoni yang dimulai dari terbentuknya makrogamet dan mikrogamet di
dalam tubuh caplak. Stadium merogoni diawali pada saat caplak baik pada
Caplak Ixodide Vetebrata
sporozoit
trofozoit
merozoit
gametosit
gametosit
Gametogoni
(pada usus caplak)
ray bodies
zigot
Sporogoni
(hemolymph)
kinet telur
Kelenjar saliva
Merogoni
(intra eritrosit)
11
stadium larva, nympha, dan dewasa yang mengandung sporozoit pada salivanya
menggigit hewan vertebrata. Sporozoit akan masuk ke dalam sel darah merah
melalui penetrasi mekanis. Di dalam sel darah merah, sporozoit akan berubah
menjadi trofozoit yang mengalami pembelahan biner menjadi dua atau empat
individu merozoit. Hal ini akan menyebabkan desakan mekanis sehingga sel darah
merah ruptur. Bersamaan dengan rupturnya sel darah merah, merozoit akan
mencari sel darah merah baru dan berpenetrasi ke dalam sel darah merah dalam
tubuh induk semang yang sama (Kumar et al. 2008). Di dalam sel darah merah
merozoit akan mengalami perubahan menjadi pre-gametosit.
Caplak dewasa yang menghisap darah hewan vertebrata yang terinfeksi
Babesia sp. secara tidak langsung akan menghisap pula sel darah merah yang
mengandung pre-gametosit. Pre-gametosit yang dibawa akan berperan dalam
reproduksi seksual yang terjadi di dalam tubuh caplak. Pre-gametosit akan
berubah menjadi gametosit yang akan menjadi awal dari stadium gametogoni atau
gamogoni. Gametosit yang terbentuk akan menghasilkan ray bodies atau gamet
yang terbagi menjadi mikrogamet (gamet jantan) dan makrogamet (gamet betina)
dimana keduanya akan berdifusi menjadi zigot. Tahap selanjutnya adalah zigot
berkembang menjadi ookinet atau vermiculus (Uilenberg 2006). Ookinet yang
dihasilkan dapat berpindah secara transovarial ke caplak stadium larva, dan secara
transstadial ke caplak stadium nympha dan dewasa (Bock et al. 2004). Ookinet ini
akan mengalami diferensiasi dalam proses sporogoni membentuk kinet. Menurut
Taylor et al. (2007) kinet akan masuk ke kelenjar saliva pada masing-masing
stadium caplak dan akan mengekspansi sel sehingga terjadi hipertrofi sel kelenjar
saliva dan berkembang menjadi sel multinukleat sporoblast. Satu sporoblast
matang akan menjadi 5000-10000 sporozoit. Sporozoit-sporozoit dari setiap
stadium caplak inilah yang dapat menginfeksi induk semang melalui gigitan
caplak sehingga terjadi kembali stadium merogoni. Terdapat berbagai spesies dari
Babesia yang dapat menyerang hewan liar. Spesies yang menyerang musang luak
juga telah berhasil diidentifikasi secara genetik dan merupakan spesies tersendiri
yaitu Babesia civettae. Beberapa spesies yang menyerang hewan domestik juga
dilaporkan mampu menyerang hewan liar (Penzhorn 2006).
12
Gejala Klinis
Induk semang yang berumur muda relatif resisten terhadap infeksi Babesia
sp. dan tidak selalu menunjukkan gejala klinis. Pada fase akut gejala klinis diawali
oleh demam, diikuti ikterus, haus, anemia (Duh et al. 2004), petechi dan
hemorhagi pada gusi atau ventral abdomen, dan anemia (Taylor et al. 2007).
Anemia merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan
penurunan kondisi tubuh. Anemia yang terjadi secara cepat mengakibatkan 75%
atau lebih sel darah merah rusak dalam waktu beberapa hari. Keadaan anemia
biasanya bersamaan dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Pada kasus
kronis, gejala demam dan ikterus terjadi secara ringan (Duh et al. 2004). Jika
hewan dapat bertahan, hewan akan mengalami penurunan berat badan dan
produksi (Taylor et al. 2007).
Theileria sp.
Genus Theleria merupakan penyebab penyakit Theleriosis. Penyakit
tersebut menyerang sapi dan domba dengan persebaran di Afrika, Asia, Eropa,
dan Australia (Taylor et al. 2007). Salah satu siklus hidup protozoa ini berada
dalam sel darah merah. Penyebarannya dilakukan dengan perantara vektor
Riphicephalus, Haemaphysalis, Amblyomma dan Hyalomma (Urquhart et al.
2003).
Gambar 5 Theileria sp. (Stockham et al. 2000)
13
Taksonomi Theileria menurut Bishop et al. (2004) adalah sebagai berikut :
Filum : Sporozoa (Apicomplexa)
Kelas : Sporozoea
Ordo : Haemosporidia
Subordo : Aconoidina
Family : Theileriidae
Genus : Theileria
Spesies : Theileria annae, Theileri parva, Theileria annulata
Siklus Hidup
Gambar 6 Siklus hidup Theileria sp. (Bishop et al. 2004)
Siklus hidup Theileria sp. melibatkan induk semang, yaitu ruminansia,
anjing, dan satwa liar dengan penyebaran yang melibatkan vektor biologis yaitu
caplak dari famili Ixodidae. Reproduksi Theileria sp. hampir mirip dengan
sporozoit
limfosit
skizon
limfoblast
Merogoni
(intra limfosit)
merozoit
piroplasma
gamont
gamet
zigot
kinet
sporoblast
sporozoit
Caplak Ixodide Vetebrata
Sporogoni
(hemolymph)
Gametogoni
(pada usus caplak)
14
Babesia sp. yaitu secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual terdiri dari
stadium skizogoni dan merogoni yang terjadi di dalam tenunan limfoid, sirkulasi
limfosit, dan pada sel darah merah atau eritrosit induk semang. Reproduksi
seksual terdiri dari stadium gametogoni dan sporogoni yang terjadi di dalam tubuh
vektor. Stadium skizogoni diawali pada saat caplak yang mengandung sporozoit
pada salivanya menggigit induk semang. Pada tahap inilah terdapat perbedaan
antara Theileria sp. dengan Babesia sp. Pada Babesia sp., sporozoit akan langsung
menyerang sel darah merah, sedangkan pada Theileria sp. sporozoit akan
mengikuti sistem limfe menuju limfonodus dan limpa, kemudian berubah menjadi
trofozoit yang menetap di limfosit (Shaw et al. 1993). Pada hari ke-9 hingga ke-
22 setelah gigitan caplak trofozoit akan membentuk badan yang berinti banyak
yang disebut dengan skizon. Skizon memiliki dua bentuk yaitu makroskizon dan
mikroskizon. Tahap selanjutnya adalah stadium merogoni. Pada stadium
merogoni makroskizon akan menyerang limfosit dan membentuk makromerozoit,
sedangkan mikroskizon akan menghasilkan mikromerozoit melalui proses
pembelahan yang kemudian akan dilepaskan dari limfosit dan menyerang sel
darah merah yang disebut dengan piroplasma. Piroplasma tersebut yang akan
masuk ke dalam tubuh caplak saat caplak menghisap darah induk semang (Bishop
et al. 2004).
Piroplasma yang berada dalam tubuh caplak akan mengalami reproduksi
seksual (Bishop et al. 2004). Reproduksi seksual terjadi di dalam usus caplak
yang diawali dengan stadium gametogoni. Pada stadium gametogoni piroplasma
yang mengandung ray bodies yaitu gamet jantan dan gamet betina akan berdifusi
menjadi zigot. Zigot akan masuk ke dalam epitel usus dan mengalami
transformasi membentuk kinete. Kemudian kinete bergerak mengikuti aliran limfe
dan memasuki sel kelenjar saliva caplak dan mengalami perubahan menjadi
sporoblast (Bishop et al. 2004). Satu sporoblast akan menghasilkan 30.000-50.000
sporozoit. Sporozoit inilah yang akan menginfeksi mamalia melalui gigitan caplak
yang terinfeksi sehingga terjadi kembali stadium merogoni (Urquhart et al. 2003).
Pada Theileria sp. tidak terjadi transmisi kinete ke ovarium caplak dewasa. Oleh
karena itu, transmisi yang terjadi di tubuh caplak hanya transmisi transstadial.
Theileria sp. tidak mengalami pembelahan, ia akan hidup beberapa waktu hingga
15
sel darah merah mengalami kerusakan dan pergantian sel yang baru atau memang
terbawa oleh caplak untuk perkembangan seksual (Kaufmann 2001).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Theleriosis berbeda-beda antar spesies.
Spesies Theileria yang dapat menyerang karnivora adalah Theileria annae.
Theileris annae dapat menyebabkan penyakit dengan gejala klinis demam,
anoreksia, kehilangan berat badan, dan anemia. Parasitemia pada umumnya
rendah dan jarang menimbulkan anemia. Pada kasus kronis dapat terjadi
trombositopenia, dan pembesaran limfonodus (Zahler et al. 2000).
Anaplasma sp.
Anaplasma sp. merupakan organisme obligat intraseluler yang terikat
dengan membran vakuola dalam sitoplasma sel inang. Anaplasma sp. merupakan
anggota dari filum Proteobakteria, kelas Alphaproteobacteria, ordo Rickettsiales,
dan famili Anaplasmataceae (Kocan et al. 2004). Penyebaran Anaplasma sp.
dapat terjadi di daerah tropis, sub tropis, Eropa selatan, dan Amerika (Ashadi &
Handayani 1992).
Gambar 7 Anaplasma sp. (Kaufmann 2001).
16
Taksonomi Anaplasma Dumler et al. (2001) adalah sebagai berikut :
Filum : Protobacteri
Kelas : Alpha Protobacteria
Ordo : Rickettsiales
Famili : Anaplasmataceae
Genus : Anaplasma
Spesies : Anaplasma marginale, Anaplasma central, dan Anaplasma platys
Siklus Hidup
Gambar 8 Siklus hidup Anaplasma sp. (Kocan et al. 2004).
Anaplasma sp. merupakan parasit obligat intraseluler dengan induk
semangnya adalah sapi, kerbau, kambing, domba, anjing, hewan liar, kuda bahkan
manusia. Anaplasma sp. memiliki siklus hidup yang sama dengan Babesia sp.
Akan tetapi, pada penularannya Anaplasma sp. memiliki beberapa vektor
diantaranya yaitu caplak, nyamuk, lalat kandang, dan serangga penggigit. Di
Australia ditemukan 20 species caplak Boophilus microplus yang berperan
sebagai vektor sedangkan di Amerika ditemukan lalat penghisap darah sebagai
vektor (Taylor et al. 2007). Lalat penghisap darah dari famili Tabanidae
sporozoit trofozoit
merozoit
gametosit ray bodies
zigot
Merogoni
(intra eritrosit)
kinet
telur
Sporogoni
Caplak ixodide Vetebrata
Gametogoni
(pada usus caplak)
(hemolymph)
Kelenjar saliva
17
dilaporkan mampu menjadi vektor mekanik dari Anaplasma marginale di
kawasan Eropa-Timur (Hornok et al. 2008).
Gejala klinis
Adanya Anaplasma sp. dalam sel darah merah induk semang dapat
mengakibatkan berbagai penyakit. Gejala klinis pada umumnya bersifat tidak
spesifik dan ringan yaitu anoreksia, depresi, pembengkakan limfonodus, anemia,
dan demam (Dyachenko et al. 2012). Gejala klinis yang terlihat berbeda-beda
pada tiap stadium infeksi. Pada stadium inkubasi hewan tidak menunjukkan gejala
klinis. Gejala klinis mulai terlihat pada stadium perkembangan. Jika anemia yang
terjadi pada tahap perkembangan semakin parah, hewan akan mengalami gejala
klinis berupa ikterus, penurunan berat badan, dehidrasi, peningkatan aktifitas
respirasi, mulut menjadi kering, dan anoreksia (Arulkanthan et al. 1999). Pada
fase akut akan terjadi demam selama 3-7 hari. Selama demam, terjadi penurunan
produksi, depresi hingga kematian akibat hipoksia. Tanda klinis terlihat ringan
pada usia muda. Setelah itu, pada hewan berumur dua sampai tiga tahun penyakit
rentan menjadi perakut dan sering fatal (Taylor et al. 2007).