11
3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Gas rumah kaca adalah gas-gas yang dapat membentuk suatu lapisan perangkap panas di atmosfer bumi yang dapat memantulkan kembali panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi. Penumpukan gas-gas ini akan menyebabkan sinar infra merah yang dipantulkan kembali ke bumi semakin besar dan berakibat pada peningkatan suhu bumi (Cicerone, 1987). Gas yang dikategorikan sebagai GRK akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap efek rumah kaca yang akan menyebabkan perubahan iklim (Rachman, 2007). Beberapa GRK yang utama akan dijelaskan pada bagian berikut. 2.1.1 Karbondioksida (CO 2 ) Karbondioksida merupakan GRK yang menjadi sasaran untuk diturunkan konsentrasinya di atmosfer. Secara alami, gas CO 2 dihasilkan melalui dekomposisi bahan oganik secara aerobik (Wiharjaka dan Setyanto, 2007). Menurut Wood (1990) peningkatan konsentrasi CO 2 mampu memicu pemanasan global. Keadaan ini akan meningkatkan potensi perubahan iklim yang akhirnya akan menghasilkan suhu dan pengurangan produktivitas lahan pertanian. Konsentrasi CO 2 terus meningkat, saat ini konsentrasinya mencapai 365 - 375 ppm (Dalal et al., 2003; Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Peningkatan konsentrasi CO 2 tersebut disebabkan oleh ketidak seimbangan antara besarnya sumber emisi (source) dengan dayarosotnya (sink). Tanah dapat berperan sebagai sink utama C yang dapat digunakan sebagai upaya mitigasi peningkatan CO 2 di atmosfer. Jumlah fluks CO 2 dalam tanah akan bergantung pada cara pengelolaan atau cara pengaturan lahan pertanian. Pengaturan sistem perakaran tanaman dapat digunakan untuk mengurangi emisi karbon karena sistem perakaran tanaman dapat digunakan untuk mendistribusikan kembali karbon pada profil tanah permukaan dimana karbon untuk pembentukan

BAB II Tinjauan Pustaka

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Gas rumah kaca adalah gas-gas yang dapat membentuk suatu lapisan

perangkap panas di atmosfer bumi yang dapat memantulkan kembali panas

yang dipancarkan oleh permukaan bumi. Penumpukan gas-gas ini akan

menyebabkan sinar infra merah yang dipantulkan kembali ke bumi semakin

besar dan berakibat pada peningkatan suhu bumi (Cicerone, 1987). Gas

yang dikategorikan sebagai GRK akan berpengaruh secara langsung

maupun tidak langsung terhadap efek rumah kaca yang akan menyebabkan

perubahan iklim (Rachman, 2007). Beberapa GRK yang utama akan

dijelaskan pada bagian berikut.

2.1.1 Karbondioksida (CO2)

Karbondioksida merupakan GRK yang menjadi sasaran untuk

diturunkan konsentrasinya di atmosfer. Secara alami, gas CO2 dihasilkan

melalui dekomposisi bahan oganik secara aerobik (Wiharjaka dan Setyanto,

2007). Menurut Wood (1990) peningkatan konsentrasi CO2 mampu

memicu pemanasan global. Keadaan ini akan meningkatkan potensi

perubahan iklim yang akhirnya akan menghasilkan suhu dan pengurangan

produktivitas lahan pertanian.

Konsentrasi CO2 terus meningkat, saat ini konsentrasinya mencapai

365 - 375 ppm (Dalal et al., 2003; Wihardjaka dan Setyanto, 2007).

Peningkatan konsentrasi CO2 tersebut disebabkan oleh ketidak seimbangan

antara besarnya sumber emisi (source) dengan dayarosotnya (sink). Tanah

dapat berperan sebagai sink utama C yang dapat digunakan sebagai upaya

mitigasi peningkatan CO2 di atmosfer.

Jumlah fluks CO2 dalam tanah akan bergantung pada cara

pengelolaan atau cara pengaturan lahan pertanian. Pengaturan sistem

perakaran tanaman dapat digunakan untuk mengurangi emisi karbon karena

sistem perakaran tanaman dapat digunakan untuk mendistribusikan kembali

karbon pada profil tanah permukaan dimana karbon untuk pembentukan

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

4

CO2 dapat dikurangi. Pengolahan tanah yang tepat dibutuhkan untuk

mengembangkan dan mengoptimalisasi CO2 dalam tanah untuk proses

fotosintesis sehingga produktivitas tanaman juga mengalami peningkatan.

Pada dasarnya secara alami CO2 merupakan bagian penting dari fotosintesis

tanaman. Tetapi akibat industri yang pesat, tingginya pemakaian bahan

bakar fosil dan laju deforestasi hutan-hutan alam yang semakin cepat

menyebabkan daya pelepasan CO2 dari sumber-sumber emisi lebih tinggi

dari sumber tambatnya (Wihardjaka dan Setyanto, 2007).

2.1.2 Metana (CH4)

Metana adalah salah satu gas rumah kaca yang memiliki kontribusi

dalam global warming dengan jumlah diperkirakan 10 - 30 % dari lahan

pertanian dan 3 - 10 % dari lahan kering (Gilbert dan Frenzel, 1998;

Furukawa dan Inubushi, 2002; Ramanathan et al., 1985 dalam Setyanto et

al., 2000; Agus dan Irawan, 2004). Konsentrasi CH4 saat ini mencapai 1852

ppbv dengan nilai potensi pemanasan globalnya (global warming potential)

adalah 23 - 32 kali lebih besar dari CO2 (Wihardjaka dan Setyanto, 2007;

Blake dan Rowland, 1988 dalam Neue dan Roger, 1994; Wihardjaka et al.,

1999). Total emisi global dari gas CH4 diperkirakan 320 - 590 teragrams

per tahun (Tg/tahun) dengan sumbangan dari lahan padi sebanyak 25 - 100

Tg/tahun (Neue dan Roger, 1994; Setyanto et al., 2000; Wihardjaka et al.,

1999).

Dekomposisi anaerobik organik merupakan sumber penghasil CH4.

Hal inilah yang menyebabkan lahan sawah sangat ideal untuk kondisi ini

(Tsuruta et al., 1997, Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Lahan sawah dalam

keadaan tergenang bersifat reduktif dan anaerobik. Kondisi ini memberi

lingkungan yang baik untuk perkembangan bakteri pembentuk metana

(methanogenic bacteria). Lebih dari 90 % metana terlepas dari tanah sawah

ke atmosfer lewat tanaman padi, karena tanaman padi mempunyai ruang

aerenkhima dan intersel sebagai media pengangkutan CH4 dari tanah

tereduksi ke atmosfer (Suharsih et al., 1999; Susilokarti, 2007).

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

5

Diperkirakan 80 % metana yang dihasilkan tersebut dioksidasi di sekitar

perakaran tanaman padi (rhizosfer).

Neue et al. (2000) menyatakan bahwa emisi gas metana sangat

dipengaruhi interaksi dari tiga proses yaitu (1) pembentukan CH4, (2)

oksidasi CH4, dan (3) pelepasan keatas (Gambar 1). Berbeda dengan CO2,

rosot CH4 yang selama ini dikenal hanyalah melalui dua proses yaitu

dikonsumsi oleh bakteri metanotrof dan reaksi dengan ion radikal di

atmosfer bumi (Wihardjaka dan Setyanto, 2007).

Rejim air, sifat tanah dan tanaman padi yang ditanam merupakan

faktor utama pada produksi CH4 di lahan sawah (Neue dan Roger, 1994).

Beberapa faktor lain yang mempengaruhi pola dan besarnya emisi CH4,

antara lain : (1) pengelolaan air irigasi, (2) kondisi tanah (pH dan Eh), (3)

Suhu tanah dan udara, (3) varietas padi, (4) aplikasi pupuk, (5) musim

tanam (Nugroho et al., 1997; Singh et al., 1998; Neue dan Roger, 1994;

Suharsih et al., 1999; Wihardjaka et al., 1999; Wihardjaka dan Setyanto;

2007; Setyanto et al., 2000; Neue et al., 2000).

Sumber : (Sharkey et al., 1991)

Gambar 1. Proses pelepasan CH4 ke atmosfer

Kondisi tanah dengan penggenangan berlanjut (countinously

flooded) relatif mengemisi CH4 lebih tinggi dibandingkan dengan pengairan

berselang (intermittent). Pengeringan membuat kondisi aerob pada tanah

dan mengaktifkan bakteri metanotrof yang berperan mengoksidasi CH4

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

6

menjadi CO2 sehingga lebih banyak CH4 teroksidasi sebelum di lepas ke

atmofer. Wihardjaka dan Setyanto (2007) mengemukakan bahwa dari

seluruh CH4 yang diproduksi dalam tanah hanya 16.6 % yang diemisikan

dan sisanya dioksidasi.

Perlakuan intermittent memang ditujukan untuk mengatur konsidi

lahan menjadi kering-tergenang secara bergantian. Intermittent dapat

memberikan kesempatan pada akar untuk mendapatkan udara sehingga

dapat berkembang lebih dalam. Pengairan berselang memberikan manfaat

pada lahan pertanian, antara lain dapat berkembang lebih dalam. Pengairan

berselang memberikan manfaat timbulnya keracunan besi, mencegah

penimbunan bahan organik dan gas H2S yang dapat menghambat

perkembangan akar, mengaktifkan mikroba yang bermanfaat, mengurangi

kerebahan, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif,

menyeragamkan pemasakan gabah, mempercepat waktu panen, dan

memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (Wihardjaka dan

Setyanto, 2007).

Kemampuan tanaman padi melepaskan gas CH4 berbeda-beda,

tergantung karakteristik padi. Setiap varietas memiliki sifat dan aktivitas

akar yang berbeda, seperti besar eksudat akar dan kecepatan pertukaran gas

yang erat kaitannya dengan volume gas CH4. Eksudat atau hasil autoksis

akar padi merupakan sumber karbon bagi bakteri methanogenik penghasil

CH4. Penggenangan dan pelumpuran pada tanah sawah akan merusak

agregat dan koloid tanah, meningkatkan permukaan aktif, mengubah Eh dan

pH. Bakteri pembentuk CH4 dapat berkembang baik pada kondisi

tergenang, dimana Eh < -150 dan pH 6 - 8 dengan suhu tanah 25 - 35 oC

(Neue dan Roger 1994; Suharsih 1999; Tsuruta et al., 1997; Yang dan Cang,

1997; Neue dan Scharpenseel, 1990 dalam Wiharjaka et al., 1999).

2.1.3 Nitrous Oksida (N2O)

Gas N2O merupakan gas di atmosfer yang memiliki peranan penting

dalam pemanasan global yaitu dalam penurunan lapisan ozon stratosfer

yang diketahui berfungsi melindungi biosfer dari efek radiasi ultraviolet

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

7

langsung. Jika dibandingkan dengan metana dan karbondioksida jumlahnya

memang lebih rendah. Namun, potensialnya dalam pemanasan rumah kaca

250 kali lebih kuat dari pada CO2 dan telah berlangsung di atmosfer selama

100 - 175 tahun (Erickson dan Keller dalam Hutabarat, 2001; Wihardjaka

dan setyanto, 2007; Beuchamp, 1997). Konsentrasi N2O di atmosfir telah

meningkat 16 % sejak 1750. Konsentrasi tersebut diperkirakan sebesar 310 -

314 ppb dengan laju peningkatan 0.2 - 0.3 % setiap tahun (Dalal et al.,

2003; Rennenberg et al., 1992 dalam Wihardjaka dan Setyanto, 2007;

Partohardjono, 1999; Erickson dan Keller dalam Hutabarat, 2001; Teepe et

al., 2004; Beuchamp, 1997 ). Pada kenyataannya, 60 - 80 % dari total emisi

N2O di atmosfir adalah berasal dari tanah sawah ( IPCC, 2001 dalam Dalal

et al., 2003; Yan et al., 2000).

Nitrous oksida terbentuk pada tanah oleh aktivitas mikroorganisme

selama nitrifikasi dan denitrifikasi terjadi dalam dua langkah (Dalal et al.,

2003; Haynes, 1986; Prayitno et al., 1999; Tsuruta, 1997; Beuchamp, 1997).

Langkah pertama adalah oksidasi NH4- menjadi NO2

-, reaksinya adalah

sebagai berikut :

2NH4- + 3O2 → 2NO2

- + 4H

+ + 2H2O + energi

Bakteri yang berperan dalam reaksi tersebut adalah bakteri Nitrosomonas.

Langkah kedua adalah oksidasi NO2- menjadi NO3

- dengan reaksi :

2NO2- + O2 → 2NO3

- + energi

Bakteri yang berperan adalah bakteri Nitrobacter. Kemudian hasil dari

nitrifikasi berupa NO3- akan diubah menjadi N2O.

Denitrifikasi adalah langkah terakhir dalam siklus N dan terjadi pada

kondisi anaerob. N2O direduksi menjadi N2 oleh enzim nitrous oxide yang

tereduksi (Stouthamer, 1988). Pada proses denitrifikasi sebagian mikroba

dapat menggunakan NO3- sebagai aseptor elektron utama untuk memperoleh

energi dari senyawa organik ketika ketersediaan O2 rendah yang

menghambat metabolismenya pada denitrifikasi heterotrofik. Proses

denitrifikasi heterotrofik adalah proses yang sangat penting sebagai sumber

pembentukan nitro oksida dengan tahapan sebagai berikut :

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

8

NO3- → NO2

- → NO → N2O → N2

Reaksi pembentukan NO3- menjadi N2O dan N2 menunjukkan bahwa emisi

N2O dapat terjadi pada tanaman padi di lahan sawah tadah hujan yang

keadaan airnya berselang antara basah (tergenang) dan kering, tergantung

fluktuasi curah hujan (Wihardjaka dan Setyanto, 2007; Suyono et al., 2006;

Kuikman et al., 2000).

Menurut Suyono et al. (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi

pola nitrifikasi dan denitrifikasi di dalam tanah adalah : (1) pasokan ion

ammonium, (2) populasi organisme penitrifikasi, (3) aerasi tanah, (4)

kelembaban tanah, (5) temperatur, (6) pH tanah, dan (7) level serta bentuk

nitrogen anorganik.

Derajat keasaman tanah yang mempengaruhi proses nitrifikasi

berada dalam kisaran 5 - 10, tetapi berlangsung paling cepat terjadi pada

saat pH mendekati 7 dan berkurang pada pH < 5.5. Walaupun batas

terendah bervariasi dengan tektur tanah dan organisme asli (Alexander,

1977 dalam Mulyadi et al., 1999). Untuk denitrifikasi, kemasaman tanah

sangat mempengaruhi komposisi produk-poduk gas N2O dan N2. Diatas pH

6, N2 dominan dengan pelepasan sejumlah N2O pada tahap awal

denitrifikasi. Dengan turunnya pH < 6, proporsi N2O meningkat dan

menjadi dominan pada saat pH tanah < 5 (Dalal et al., 2003).

2.2. Serapan Karbon Organik

Gas CO2 diserap oleh tanaman melalui proses fotosintesis untuk

diubah menjadi karbohidrat kemudian disebarkan keseluruh bagian tanaman

dan akhirnya ditimbun dalam tanaman berupa daun, batang, bunga, dan

buah. Proses penimbunan cadangan makanan dalam bentuk carbon (C)

dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration).

Jumlah C tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman

dan kerapatan tumbuhan yang ada dan jenis tanah serta cara pengelolaannya.

Karbon organik terdapat dalam bagian bahan organik tanah yang

terdiri dari sisa-sisa sel makhluk hidup (mikroorganisme, hewan dan

tumbuhan) dan terbentuk dalam proses dekomposisi. Karbon organik adalah

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

9

bagian utama dari bahan organik tanah karena komposisinya mencapai 48 –

50 % dari berat total. Karbon C merupakan elemen penting dari semua dasar

kehidupan. Karbon dalam tanah akan memberi warna gelap pada tanah dan

secara biologi maupun kimia, karbon dalam tanah dapat meningkatkan

produktivitas tanah (Nelson & Sommers, 1982 dalam Riza, 2008).

Pada ekosistem daratan, C tersimpan dalam 3 komponen utama yaitu

(1) Biomasa ; masa dari vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk tanaman,

tanaman bawah (gulma), (2) Nekromasa ; masa dari bagian pohon yang

telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau unggul tanaman),

atau yang telah tergeletak di permukaan tanah yang belum lapuk. (3) Bahan

organik tanah ; sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang

telah mengalami pelapukan baik sebagian ataupun seluruhnya dan telah

menjadi bagian dari tanah (Hairiah dan Rahayu, 2007).

2.3. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

Pengelolaan Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management) atau

lebih dikenal PTT pada padi sawah, merupakan salah satu model atau

pendekatan pengelolaan usahatani padi dengan mengimplementasikan

berbagai komponen teknologi budidaya yang memberikan efek sinergis.

PTT mengabungkan semua komponen usahatani terpilih yang serasi dan

saling komplementer, untuk mendapatkan hasil panen optimal dan

kelestarian lingkungan (Sumarno et al., 2000). Pengelolaan tanaman terpadu

sangat identik dengan sistem pertanian modern dimana aspek kelestarian

dan keberlanjutan produktifitas lahan pertanian merupakan faktor yang

harus diutamakan. Sistem ini merupakan penyempurnaan dari SRI (System

of Rice Intensification), yang dianggap mempunyai banyak kendala dalam

teknis pelaksanaan di lapangan maupun dalam hal memenuhi kebutuhan

pangan nasional yang tinggi. Untuk itu sistem PTT sangat mengedepankan

peningkatan produksi padi dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan

pertanian. Pengelolaan tanaman terpadu berlandaskan pada hubungan

sinergis antara dua sistem atau lebih dari teknologi produksi yang sinergis,

maka diharapkan sistem pelaksanaannya mampu selaras dengan kondisi

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

10

lapangan yang ada di Indonesia dan secara nyata mampu meningkatkan

produktivitas tanaman padi (Sumarno et al., 2000).

Menurut Sumarno dan Suyamto (1998), bahwa tindakan PTT

merupakan good agronomic practices yang antara lain meliputi; (a)

penentuan pilihan komoditas adaptif sesuai agroklimat dan musim tanam,

(b) varietas unggul adaptif dan benih bermutu tinggi, (c) pengelolaan tanah,

air, hara, dan tanaman secara optimal, (d) pengendalian hama-penyakit

secara terpadu, dan (e) penanganan panen dan pasca panen yang tepat.

Model PTT terdiri dari beberapa komponen teknologi budidaya yang

sinergis, yang dapat diterapkan sesuai kondisi agroekosistem, antara lain

adalah; (a) perlakuan benih; (b) pemilihan varietas; (c) penanaman tunggal

bibit muda; (c) jarak tanam lebih rapat; (d) sistem pengairan; (e)

penggunaan bahan organik; (f) penggunaan bagan warna daun dan uji tanah

dalam pemupukan; (g) pengendalian gulma dengan gosrok. Implementasi

model ini dilaporkan dapat meningkatkan hasil padi dari sekitar 5.6 menjadi

7.3 – 9.6 t/ha (Stoop et al., 2000 dalam Pramono et al., 2005).

Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada budidaya padi

sawah merupak salah satu teknologi intensifikasi dengan komponen

teknologi utama PTT meliputi penggunaan benih bermutu, varietas unggul

sesuai lokasi, tanam bibit muda (umur < 15 hss) tunggal per lubang, tanam

cara legowo, pemberian bahan organik, pengelolaan hara spesifik lokasi,

irigasi intermittent (berselang), pengendalian gulma secara manual,

penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) bagi pengendalian

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan penanganan panen dan pasca

panen yang baik (Zaini et al., 2004).

2.4. System of Rice Intensification (SRI)

System of Rice Intensification (SRI) adalah teknik budidaya padi

yang mampu meningkatkan produktifitas dengan cara mengubah

pengelolaan tanaman, tanah, air, dan unsur hara. Hal ini dibuktikan dengan

berhasilnya peningkatan produktifitas padi sebesar 50 %, bahkan di

beberapa tempat mencapai lebih dari 100 % (Mutakin, 2007). Kalsim (2008)

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

11

menambahkan SRI adalah pengembangan praktek pengelolaan padi yang

memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di

zona perakaran. Berdasarkan hasil Seminar Sehari "The System of Rice

Intensification” yang diadakan di IPB pada 16 Januari 2008, SRI mampu

meningkatkan produktivitas tanaman dengan cara mengubah pengelolaan

tanaman, tanah, air, dan unsur hara. Pada mulanya SRI diterapkan di daerah

Madagaskar oleh Henri de Lauline tahun 1980 dengan metode yang berbeda

dari kebiasaan petani tradisional (Kalsim, 2008).

Menurut Mutakin (2007), prinsip-prinsip budidaya padi organik

metode SRI yaitu

1. Tanaman bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss) ketika

bibit masih berdaun 2 helai.

2. Bibit ditanam satu pohon perlubang dengan jarak 30 x 30, 35 x 35 atau lebih

jarang.

3. Pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus

hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal.

4. Pemberian air maksimal 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu

dikeringkan sampai pecah (irigasi berselang/terputus).

5. Penyiangan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3 kali dengan interval

10 hari.

6. Sedapat mungkin menggunakan pupuk organik (kompos atau pupuk hijau).

Teknik budidaya padi organik metode SRI terdiri dari 4 kegiatan

yaitu persiapan benih, pengolahan tanah, perlakuan pemupukan dan

pemeliharaan.

1. Persiapan benih

Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air

garam yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila

dimasukkan telur, maka telur akan terapung. Benih yang baik untuk

dijadikan benih adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut.

Kemudian benih telah diuji direndam dalam air biasa selama 24 jam

kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian disemaikan pada media

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

12

tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat ukuran 20 x 20

cm selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari benih padi sudah siap ditanam.

2. Pengolahan tanah

Pengolahan tanah Untuk Tanam padi metode SRI tidak berbeda

dengan cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu

dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman,

terhindar dari gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam

dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk struktur lumpur.

Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan

mengendalikan air.

3. Perlakuan pemupukan

Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan

tanah dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan

pemanenan. Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem

konvensional adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim

taman. Setelah kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa

berkurang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian pupuk organik

dilakukan pada tahap pengolahan tanah kedua agar pupuk bisa menyatu

dengan tanah.

4. Pemeliharaan

Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang

terus menerus, cukup dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan

dilakukan hanya untuk mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya

pengelolaan air pada sistem padi organik dapat dilakukan sebagai berikut;

pada umur 1-10 HST tanaman padi digenangi dengan ketinggian air ratarata

1 cm, kemudian pada umur 10 hari dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan

penyiangan tanaman tidak digenangi. Untuk perlakuan yang masih

membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari menjelang penyiangan

tanaman digenang. Pada saat tanaman berbunga, tanaman digenang dan

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

13

setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi kembali sampai panen.

Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak digunakan bahan kimia,

tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi gangguan hama/penyakit

digunakan pestisida nabati dan atau digunakan pengendalian secara fisik dan

mekanik.