Upload
sisilia-rindi-kurniasari
View
23
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keragaman Anopheles spp.
Keragaman nyamuk Anopheles spp. dipengaruhi oleh struktur lansekap,
zoogeografi, ketinggian, kebedaan habitat perkembangbiakan pra dewasa dan
sibling spesies. Di Indonesia secara umum, di lingkungan pantai banyak
ditemukan A. sundaicus dan A. subpictus, di lingkungan persawahan A.
barbirostris dan A. aconitus, di lingkungan rawa dan sungai berbatuan A.
maculatus dan A. farauti dan di lingkungan perbukitan A. balabacencis (Ditjen
PP&PL 2010).
Kabupaten Lampung Selatan mempunyai keragaman Anopheles spp. yang
tinggi, seperti halnya pernyataan Idram-Idris (1999) bahwa di daerah pantai bekas
rawa-rawa Padangcermin Kabupaten Lampung Selatan terdapat 16 jenis nyamuk
Anopheles, yaitu A. sundaicus, A. subpictus, A. vagus, A. indefinitus, A.
nigerrimus, A. peditaeniatus, A. kochi, A. barbirostris, A. barumbrosus, A.
annularis, A. separatus, A. tessellatus, A. aconitus, A. umbrosus, A. leucosphyrus
dan A. letifer. Rosa et al. (2009) menyatakan di wilayah pantai Sukamaju Teluk
Betung Barat Kota Bandar Lampung terdapat A. sundaicus, A. longilostris, A.
leucosphyrus, A. maculatus, A. ramsayi dan A. subpictus.
Keragaman Anopheles spp. di beberapa daerah lainnya di Indonesia antara
lain A. sundaicus dan A. subpictus ditemukan di Purwodadi Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah (Sukowati dan Shinta 2009). Selanjutnya A. barbirostris, A.
tessellatus, A. vagus, A. kochi, A. indefinitus, A. peditaeniatus, A. subpictus dan A.
parangensis ditemukan di Sidoan Kabupaten Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah
(Garjito et al. 2004). Berikutnya A. annularis, A.aconitus, A. barbirostris, A.
kochi, A. sundaicus, A. tessellatus dan A. vagus ditemukan di Kecamatan Sumur
Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat (Mardiana et al. 2007). Selain itu A.
barbirostris, A. vagus, A. aconitus, A. maculatus dan A. kochi ditemukan di
Langkap Jaya Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Munif et
al. 2007). Nyamuk A. aconitus, A. annularis, A. barbirostris, A. maculatus, A.
tessellatus dan A. vagus juga ditemukan di Mayong Kabupaten Jepara, Jawa
5
Tengah (Mardiana et al. 2005). Di Bangsring Kabupaten Banyuwangi, Jawa
Timur ditemukan A. sundaicus, A. vagus, A. subpictus, A. flavirostris, A.
barbirostris, A. annularis dan A. indefinitus, sedangkan di Panggul
Hans et al. (2002) mempelajari pengaruh stuktur lansekap terhadap
kepadatan dan keragaman nyamuk Anopheles. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lahan pertanian mempunyai stuktur lansekap yang berukuran kecil-kecil
dan sangat bervariasi bentuknya dari pada lokasi hutan. Hal ini mempengaruhi
keragaman jenis Anopheles. Pada daerah hutan ditemukan A. maculatus s.s. dan A.
minimus s.l., keduanya merupakan vektor utama di Thailand yang banyak
ditemukan di daerah hutan. Adapun densitas A. aconitus dan A. hyrcanus group di
daerah persawahan tidak berbeda nyata. Nyamuk A. aconitus merupakan vektor
malaria sekunder dan A. hyrcanus group bukan vektor di Thailand. Densitas A.
minimus berhubungan positif dengan lahan hutan, jenis air dan lansekap
persawahan. Perubahan pemanfaatan hutan akibat aktifitas ekonomi
meningkatkan heterogenitas lansekap, yang mengakibatkan penurunan keragaman
jenis Anopheles. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa bila manajemen
lansekap digunakan untuk pengendalian malaria di bagian Utara Thailand, maka
diperlukan upaya agar tidak memanfaatkan perubahan yang besar terhadap hutan
yang ada.
Kabupaten
Trenggalek ditemukan A. sundaicus, A. vagus, A. subpictus, A. flavirostris, A.
barbirostris, A. maculatus, A. aconitus, A. tesselatus dan A. kochi (Mardiana
2001). Di Sayong dan Longlongan Kabupaten Lombok, NTB ditemukan A.
subpictus (Sukowati 2001). Di Doro Halmahera Selatan, Maluku Utara ditemukan
A. farauti, A. vagus, A. punctulatus dan A. minimus (Mulyadi 2010). Di Santuun
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan ditemukan A. barbirostris, A,
tessellatus, A. vagus, A. kochi dan A. hyrcanus group (Suwito et al. 2010). Di
Emparu Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat ditemukan A. umbrosus, A.
barbirostris, A. tessellatus, A. maculatus dan A. kochi (Suwito et al. 2010). Di
Ela-Ela dan Caile Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan ditemukan A.
barbirostris, A subpictus, A. vagus dan A. indefinitus (Suwito et al. 2010).
6
2.2 Habitat Perkembangbiakan Anopheles spp.
2.2.1 Jenis-jenis Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp.
Habitat perkembangbiakan merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk
pada saat pra dewasa, mulai dari telur, larva dan pupa. Bates (1970) membagi
habitat larva menjadi empat kelompok yaitu (1) Habitat yang permanen dan semi
permanen seperti rawa, danau, (2) Daerah aliran air yang berasosiasi dengan
tumbuhan, (3) Kontainer termasuk genangan air pada ketiak daun tumbuhan, dan
4) Genangan air pada tanah yang bersifat sementara. Sementara itu, Rao (1981)
membagi habitat larva menjadi dua kelompok yaitu (1) Habitat yang bersifat
alamiah seperti danau, rawa, genangan air, dan (2) Habitat buatan manusia seperti
daerah sawah, irigasi, kolam. Adapun Bruce-Chwatt (1985) mengklasifikasikan
habitat larva dalam lima kelompok yaitu (1) Air tawar yang menggenang
permanen atau temporal seperti rawa-rawa yang terbuka luas atau daerah rawa
yang merupakan bagian dari danau, kolam, genangan air, dan mata air, (2)
Kumpulan air tawar yang sifatnya sementara seperti genangan air terbuka di
lapangan dan bekas tapak kaki binatang, (3) Air yang mengalir permanen atau
semi permanen seperti sungai yang terbuka dengan vegetasi, air yang mengalir
dari selokan, (4) Tempat penampungan air alami seperti lubang pada batu, pohon,
lubang buatan hewan, dan tempat penampungan air buatan manusia seperti
kaleng, ban, tempurung kelapa, dan (5) Air payau seperti rawa-rawa pasang surut.
Habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. berbeda di beberapa
wilayah di Indonesia. Munif et al. (2007) menyatakan bahwa di Langkap Jaya
Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat sawah merupakan habitat
perkembangbiakan larva A. barbirostris, A. vagus, dan A. aconitus, saluran irigasi
adalah habitat larva A. barbirostris dan A. aconitus, kubangan/mata air habitat
larva A. barbirostris dan A. maculatus; belas telapak kaki habitat larva A. kochi.
Sementara itu Sukowati (2000) melaporkan bahwa habitat pradewasa nyamuk A.
subpictus di Sayong adalah tambak dan saluran irigasi, di sekitar tambak yang
banyak ditumbuhi oleh algae, lumut dan rumput dengan kisaran salinitas 5-35 ‰,
sedangkan di Longlongan tempat perkembang-biakannya adalah sawah, sungai,
kobakan air, saluran irigasi yang banyak ditumbuhi oleh algae dan gulma air yang
7
lain seperti rumput dan eceng gondok dengan kisaran salinitas 10-35 ‰. Larva
nyamuk A. maculatus di Kokap Kabupaten Kulonprogo, DIY tumbuh dan
berkembang pada perairan terbuka baik mengalir maupun tidak mengalir, dan
dengan dasar berupa batu atau tanah, habitat yang sesuai bagi larva A.
balabacencis adalah pada perairan yang banyak ternaungi sehingga cahaya
matahari tidak dapat menembus langsung, dan dengan dasar berupa batu (Santoso
2002). Di Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah habitat potensial larva
Anopheles pada musim kemarau ditemukan di sungai yang ditanami kangkung
oleh masyarakat setempat (Mardiana et al. 2005).
Di Pulau Sulawesi, tepatnya di Ela-ela dan Caile Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan larva A. barbirostris, A. subpictus dan A. vagus ditemukan pada
habitat rawa-rawa, sedangkan larva A. barbirostris, A. vagus dan A. indefinitus
ditemukan di sawah (Suwito et al. 2010). Di Pulau Kalimantan, tepatnya di
Emparu Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat larva A. umbrosus group, A.
barbirostris, A. tessellatus, A. maculatus dan A. kochi ditemukan pada habitat sawah
paca panen, kobakan dan saluran (Suwito et al. 2010), sedangkan di Santuun
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan larva A. barbirostris, A. tessellatus, A.
vagus, A. kochi dan An. hyrcanus group ditemukan pada habitat kobakan bekas
kaki kerbau, sawah pasca panen, genangan air di sekitar permukiman dan parit
(Suwito et al. 2010).
Hasil pengindraan jauh
menggunakan satelit Landsat, di Pulau Bangka habitat perkembangbiakan
potensial Anopheles spp. adalah sungai dengan luas 4.212 Ha, kolong bekas galian
timah seluas 81.056 Ha, sawah seluas 452 Ha, rawa-rawa seluas 158.783 Ha dan
mangrove seluas 31.158 Ha (Suwito 2007).
Larva Anopheles di beberapa negara lain mempunyai habitat yang
bervariasi. Di Gurgaon, India habitat tangki ditemukan larva A. stephensi,
sedangkan di sumur ditemukan A. subpictus (Sharma 1990). Adapun di
Shahjahanpur, India larva A. culicifacies, A. subpictus, A. annularis, A. nigerrimus
dan A. barbirostris ditemukan pada habitat sawah (Prasad et al. 1990). Di dataran
tinggi Kenya larva A. gambiae ditemukan pada habitat rawa-rawa (Minakawa et
al. 2004), sedangkan di Dar Es Salam, Tanzania larva A. gambiae ditemukan pada
8
habitat
kolam dan saluran air (Sattler et al. 2005). Di Kota Mudon, Burma larva A.
balabacensis ditemukan pada habitat sumur (Lin-Tun et al. 1986).
2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Habitat Perkembangbiakan
Larva Anopheles spp.
2.2.2.1 Suhu Air
Suhu air sangat mempengaruhi perkembangan larva. Secara umum nyamuk
Anopheles lebih menyukai termperatur yang tinggi jika dibandingkan dengan jenis
Culicinae. Itulah sebabnya jenis Anopheles lebih banyak dijumpai di daerah tropis
(Takken et al. 1990 dalam Susanna 2005). Suhu air dipengaruhi oleh suhu
lingkungan dan paparan sinar matahari pada habitat. Suhu mempengaruhi kadar
oksigen terlarut dalam air, suhu air semakin tinggi maka semakin rendah kelarutan
oksigen di dalam air.
Suhu air berpengaruh terhadap metabolisme pertumbuhan fase telur, larva
dan pupa. Telur, larva dan pupa nyamuk menjadi dewasa membutuhkan waktu 14
hari pada suhu air 70 0F (21,1 0C), dan 10 hari pada suhu air 80 0F (26,7 0C)
(McCafferty et al. 1983). Hasil penelitian di Ban Khun Huay, Ban Pa Dae dan
Ban Tham Seau Kabupaten Mae Sot, Thailand bahwa suhu air mempengaruhi
kepadatan larva A. minimus, A. kochi, A. jamesii (Kengluecha et al. 2005).
Sementara itu di Kakamega, Kenya larva A. gambiae didapatkan pada perairan
dengan suhu air ≈ 3-3,4 0C (Tuno et al. 2005). Selain itu di Kecamatan Kokap
Kabupaten Kulonprogo, DIY larva A. maculatus dan A. balabacencis ditemukan
pada habitat dengan suhu air antara 24,10 - 24.15 0C (Santoso 2002). Selanjutnya
di Desa Doro Halmahera Selatan larva A. farauti ditemukan pada habitat dengan
suhu air 25-30 oC (Mulyadi 2010). Adapun di Lengkong Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat larva A. nigerrimus ditemukan pada perairan dengan suhu air 22,9-
31,2 0
C (Munif et al. 2007).
9
2.2.2.2 Derajat Keasaman (pH) Air
Derajat keasaman (pH) air mempengaruhi kehidupan organisme di dalam
air. Perairan asam kurang baik untuk perkembangbiakan bahkan cenderung
mematikan organisme. Swingle (1961) dalam Boyd (1990) membuat klasifikasi
pH terhadap kehidupan di air yaitu (1) pH 6,5-9 dibutuhkan oleh hewan air untuk
bereproduksi, (2) pH 5-6,5 perkembangan hewan air lambat, (3) pH 4-5 hewan
air tidak bereproduksi, (4) pH 4 merupakan titik kematian asam, dan (5) pH 11
merupakan titik kematian basa.
Jenis Anopheles yang berbeda dapat berkembang dengan kondisi pH air
yang berbeda. Larva A. culicifacies ditemukan hidup pada kisaran pH 5,4-9,8, A.
plumbeus pH 4,4-9,3, sedangkan A. stephensi dan A. varuna ditemukan pada pH
air 6-11 (Clements 1999). Sementara itu di Bengal India ditemukan larva A.
sundaicus pada perairan dengan pH 7,7-8,5 atau rata-rata 8,2 (Sent 1938 dalam
Rao 1981). Selanjutnya di Ban Khun Huay, Ban Pa Dae dan Ban Tham Seau
Kabupaten Mae Sot, Thailand pH air mempengaruhi pertumbuhan larva A. dirus,
A. kochi dan A. vagus (Kengluecha et al. 2005). Adapun di Kecamatan Kokap
Kabupaten Kulonprogo, DIY larva A. letifer, A. maculatus dan A. balabacencis
ditemukan
pada habitat sawah dan kolam dengan pH 7,13-7,2 (Santoso 2002). Di
Doro Kabupaten Halmahera Selatan larva A. farauti ditemukan pada perairan
seperti kobakan, kubangan, kolam, sumur, kali dan rawa-rawa dengan pH air 6,8-
7,1 (Mulyadi 2010).
2.2.2.3 Salinitas Air
Salinitas air pada habitat perkembangbiakan larva Anopheles dipengaruhi
oleh berubahnya luas genangan air, curah hujan, aliran air tawar dan evaporasi.
Salinitas air yang berubah selama satu tahun menyebabkan banyak spesies
nyamuk melakukan adaptasi (Mosha dan Mutero 1982 dalam Clements 1999).
Setiap jenis Anopheles memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda
terhadap derajat salinitas air. Salinitas optimum perkembangan A. sundaicus di
Indonesia adalah 12-18 ‰, dan tidak dapat berkembang pada salinitas 40 ‰ ke
atas (Bonne-Wepster dan Swellengrebel 1953). Sundararaman et al. (1957)
10
menyatakan salinitas optimum pertumbuhan A. sundaicus berkisar antara 15-20
‰. Hasil penelitian di Bangsring Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur larva A.
sundaicus ditemukan pada perairan dengan salinitas 0-4 ‰, sedangkan di Panggul
Kabupaten Trenggalek ditemukan pada salinitas air 9
Habitat pradewasa nyamuk A. subpictus di Sayong Lombok, NTB
ditemukan habitat tambak dan saluran irigasi dengan kisaran salinitas 5-35 ‰,
sedangkan di Longlongan pada habitat sawah, sungai, kobakan air dan saluran
irigasi dengan kisaran salinitas 10-35 ‰ (Sukowati 2000). Hasil penelitian di
laboratorium menunjukkan bahwa salinitas optimum untuk perkembangan larva
A. farauti di dalam medium garam NaCl adalah 10 ‰, dengan lama
perkembangan akan mencapai imago antara 6-8 hari, dengan jumlah rata-rata
imago yang hidup sebanyak 96 % (Bowolaksono 2001 dalam Mulyadi 2010).
Adapun larva A. farauti di Doro Kabupaten Halmahera Selatan ditemukan pada
air tawar dan payau, dengan salinitas salinitas 0-7 ‰ (Mulyadi 2010). Sementara
itu larva A. farauti di Honiara Pulau Solomon ditemukan pada salinitas air 0,22-
0,25 ‰ (Bell et al. 1999). Selanjutnya di Batticaloa, Sri Langka larva
‰ (Mardiana et al. 2002).
A.
culicifacies ditemukan pada perairan dengan salinitas 0,2-0,3
‰ (Jude et al.
2010).
2.2.2.4 Arus Air
Arus air adalah pergerakan air, dipengaruhi oleh gravitasi bumi, mengalir
dari tempat lebih tinggi ke tempat lebih rendah. Habitat perkembangbiakan
nyamuk diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu habitat air air mengalir
(lotic) dan habitat air tidak mengalir (lentic) (Mattingly 1969). Habitat air
mengalir seperti sungai, parit, saluran irigasi, sawah dan rawa-rawa, sedangkan
habitat tidak mengalir adalah kolam, kubangan dan kobakan.
Setiap jenis Anopheles memiliki kebiasaan yang berbeda-beda untuk
memilih habitatnya berdasarkan arus air. Mulyadi (2010) melaporkan di Doro
Halmahera Selatan larva Anopheles ditemukan pada perairan yang tidak mengalir
dan mengalir lambat. Larva A. farauti ditemukan pada habitat tidak mengalir
seperti parit, kobakan, kubangan, kolam, sumur dan kali. Adapun sungai yang
11
mengalir lambat ditemukan larva A. farauti, A. punctulatus, A. vagus dan A.
minimus. Sementara itu di Kokap Kabupaten Kulonprogo, DIY l
arva A. minimus,
A. maculatus dan A. balabacensis ditemukan pada habitat parit dan sawah yang
mengalair lambat, sedangkan larva A. letifer, A. maculatus dan A. balabacensis
pada habitat sawah dan kolam yang tidak mengalir (Santoso 2002). Selanjutnya di
Lengkong Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat larva A. nigerrimus dan A. aconitus
ditemukan pada habitat kolam yang tidak mengalir (Saleh 2002). Adapun di
Battaramulla, Sri Lanka larva A. culicifacies dan A. varuna ditemukan pada
habitat parit dan saluran irigasi yang mengalir perlahan (Piyaratne et al. 2005).
2.2.2.5 Luasan Habitat
Kepadatan Anopheles dipengaruhi oleh luasan habitat, semakin luas habitat
semakin tinggi kepadatan Anopheles. Larva Anopheles dapat berkembang pada
habitat dengan luasan kecil maupun besar, mulai dari kobakan yang hanya
beberapa cm2, hingga sawah hingga ratusan Ha. Mulyadi (2010) di Doro
Halmahera Selatan melaporkan A. faurauti pada habitat kubangan dengan luas 2-
15 m2, kolam dengan luas 20 m2, sumur dengan luar 3-4 m2, kali dengan 15-20
m2. Sementara itu Suwito (2005) melaporkan di Pulau Bangka habitat
perkembangbiakan potensial Anopheles spp. adalah sungai dengan luas 4.212 Ha,
kolong bekas galian timah seluas 81.056 Ha, sawah seluas 452 Ha, rawa-rawa
seluas 158.783 Ha dan mangrove seluas 31.158 Ha. Adapun di Kecamatan Sumur
Kabupaten Pandeglang larva A. sundaicus ditemukan di muara sungai dengan luas
kurang lebih 5 m2
(Mardiana et al. 2007).
2.2.2.6 Ketinggian Habitat
Ketinggian merupakan salah satu faktor yang menentukan cakupan
geografis penularan malaria. Penularan malaria jarang terjadi pada ketinggian di
atas 2000 mdpl. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata, semakin
tinggi letak geografis semakin dingin suhu udara, sehingga semakin panjang masa
inkubasi ekstrinsik.
Keberadaan larva Anopheles spp. dipengaruhi oleh ketinggian lokasi. Larva
A. sundaicus dan A. subpictus banyak ditemukan pada wilayah dengan ketinggian
12
0-200 mdpl, A. barbirostris dan A. aconitus pada ketinggian 200-500 mdpl, A.
maculatus dan A. farauti pada ketinggian 500-1000 mdpl, sedangkan A.
balabacencis pada ketinggian di atas 1000 mdpl (Ditjen PP&PL 2010).
2.2.2.7 Kedalaman Air
Larva nyamuk ditemukan sebagian besar di tempat yang airnya dangkal.
Perairan yang dangkal akan menyebabkan besarnya produktivitas mahluk air dan
tumbuhan air, termasuk larva nyamuk. Hal ini dikarenakan pada perairan yang
dangkal persediaan oksigen cukup banyak (Suwignyo 1989 dalam Susanna 2005).
Di Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat larva A. sundaicus
ditemukan di muara sungai dengan kedalaman 15 cm, luas kurang lebih 5 m2
,
salinitas air 10 ‰, dan pH air 8, sedangkan A. vagus dan A. kochi ditemukan di
sekitar kobakan yang ditumbuhi tanaman semak belukar dengan kedalaman air 10
cm dan pH 8 (Mardiana et al. 2007). Adapun di Langkap Jaya Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat larva A. barbirostris dan A. aconitus ditemukan pada
saluran irigasi dengan tinggi permukaan air antara 5-10 cm (Munif et al. 2007).
Sementara itu di Doro Halmahera Selatan larva A. farauti ditemukan pada habitat
kobakan dengan kedalaman 5-10 cm, kolam kedalaman 15-30 cm, kali kedalaman
5-20 cm dan rawa-rawa kedalaman 5-20 cm (Mulyadi 2010).
2.2.2.8 Gulma Air
Gulma air pada habitat perkembangbiakan sangat berperan terhadap
keberadaan larva nyamuk Anopheles. Gulma air dapat berfungsi sebagai tempat
menambatkan diri bagi larva nyamuk sewaktu istirahat di permukaan air, tempat
berlindung dari arus air dan serangan predator. Tumbuhan air dan ganggang yang
membusuk di permukaan air yang menyebar luas dan mendapat sinar matahari
langsung sangat membantu perkembangan larva. Hal ini disebabkan oleh
mikrofauna dan mikroflora sebagai bahan makanan larva banyak berkumpul di
sekitar tumbuhan air yang membusuk (Rao 1981).
Lagun dan rawa-rawa yang ditumbuhi rumput air dan lumut di Bangsring
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur merupakan habitat larva A. sundaicus, A.
vagus, A. subpictus, A. flavirostris, A. barbirostris, A. annularis dan A.
13
indefinitus, sedangkan rawa-rawa di Panggul
Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur
merupakan habitat larva A. sundaicus, A. vagus, A. subpictus, A. flavirostris, A.
barbirostris, A. maculatus, A. aconitus, A. tesselatus dan A. kochi (Mardiana
2001). Perairan sebagai habitat larva A. farauti di Doro Kabupaten Halmahera
Selatan banyak ditemukan ganggang (alga), tanaman permukaan air sejenis Pistia
sp. dan tanaman bakau (Mulyadi 2010). Habitat pradewasa nyamuk A. subpictus
di Sayong Lombok, NTB adalah tambak dan saluran irigasi, di sekitar tambak
yang banyak ditumbuhi oleh algae, lumut dan rumput; sedangkan di Longlongan
Lombok, NTB tempat perkembangbiakannya adalah sawah, sungai, kobakan air,
saluran irigasi yang banyak ditumbuhi oleh algae dan gulma air yang lain seperti
rumput dan eceng gondok (Sukowati 2000). Sementara itu di Kasimbar
Kabupaten Parigi-Mouton lagun sebagai habitat A. subpictus terdapat lumut jenis
Chladophora sp. dan Entheromorpha sp. (Garjito et al.)
2.2.2.9 Keberadaan Ikan (Predator Larva)
Predator memiliki peranan yang penting dalam menyeimbangkan kepadatan
larva nyamuk, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengendalian biotik. Ikan
merupakan salah satu predator larva. Kepadatan nyamuk di suatu daerah ditentukan
oleh keberadaan ikan sebagai predator, misalnya ikan kepala timah (Aplocheilus
panchax), ikan gapi (Poecilia reticulata), ikan nila (Oreochromis nilotica), ikan
mujair (O. mozambica), ikan sepat (Trichogaster pectoralis), ikan mas (Cyprinus
carpio), ikan gabus (Ophiio striatus), ikan bandeng (Chanos chanos), ikan lele
(Claricis batraus). Larva A. farauti di Doro Kabupaten Halmahaera Selatan
mempunyai predator ikan kecil, udang, nimfa capung dan berudu (Mulyadi 2010).
Ikan mujair dan ikan kepala timah merupakan predator larva Anopheles
yang efektif. Mattimu (1989) menyatakan ikan mujair berukuran 2,5 gram dapat
memangsa 480 larva A. aconitus per hari tanpa makanan tandingan, sedangkan
dengan makanan tandingan Moina sp. dapat memangsa 362 larva, dengan
makanan tandingan Chlorella sp. dapat memangsa 164 larva. Sementara itu,
Winarno (1989) melaporkan setiap ekor ikan kepala timah yang berukuran berat
1,5 ± 0,5 gr dan panjang 3,5 ± 0,5 cm mampu memangsa 119 larva A. aconitus
14
per hari. Ikan kepala timah mempunyai kemampuan menembus sela-sela rumpun
padi yang merupakan mikrohabitat yang disenangi larva Anopheles.
2.3 Kepadatan Populasi Anopheles spp.
Nyamuk Anopheles spp. pada umumnya beraktivitas pada malam hari.
Kepadatan Anopheles menghisap darah berbeda berdasarkan spesies. Nyamuk A.
sundaicus merupakan spesies dominan di daerah pantai Purwodadi Kabupaten
Purworejo, Jawa Tengah, hinggap di badan sepanjang malam, dengan puncak
aktivitas jam 02.00-03.00 (Sukowati dan Shinta 2009). Sementara itu, di
Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat puncak aktivitas A.
sundaicus di luar rumah jam 01.00-02.00 dan di dalam rumah jam 24.00-01.00
(Mardiana et al. 2007). Di Langkap Jaya Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat A.
aconitus mencapai puncaknya jam 01.00-02.00, sedangkan A. barbirostris dan A.
maculatus jam 19.00-20.00 (Munif et al. 2007). Di daerah Sukamaju Kota Bandar
Lampung Anopheles spp. menghisap darah sepanjang malam dengan puncak
aktivitas jam 24.00 di luar rumah dan jam 23.00 di dalam rumah (Rosa et al.
2010). Adapun di Kasimbar Kabupaten Parigi-Mouton, Sulawesi Tengah A.
barbirostris menghisap darah sepanjang malam, dengan puncak aktivitas jam
22.00-24.00 di luar rumah dan 23.00-01.00 di dalam rumah, sedangkan di Sidoan
puncak aktivitas A. barbirostris jam 02.00-03.00 di luar rumah dan jam 23.00-
24.00 di dalam rumah, kemudian A. subpictus di Sidoan menghisap darah
sepanjang malam, puncak aktivitas jam 21.00-22.00 di luar rumah dan jam 01.00-
02.00 di dalam rumah (Garjito et al. 2004). Selanjutnya di Pulau Nicobar, India A.
sundaicus aktif pada malam hari jam 20.00-03.00 (Dusfour et al. 2004).
Kepadatan Anopheles berhubungan dengan peningkatan kasus malaria.
Mardiana dan Munif (2009) melaporkan bahwa kepadatan A. aconitus di
Purwodadi Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah mempunyai hubungan positif
dengan insiden malaria, dengan nilai r2 = 0,491, artinya kasus malaria di
Purwodadi 49,1% disebabkan oleh kepadatan Anopheles, selebihnya disebabkan
oleh faktor lain di luar kepadatan Anopheles. Sementara itu di wilayah
pegunungan Menoreh perbatasan Jawa Tengah dan DIY kepadatan nyamuk
15
Anopheles juga berhubungan bermakna dengan kasus malaria (Achmad et al.
2003).
2.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepadatan Populasi Anopheles
spp.
2.3.1.1 Suhu Udara
Suhu diartikan sebagai kandungan panas pada sebuah zat/benda tertentu.
Suhu udara adalah derajat panas udara, yang dinyatakan dalam derajat selsius
(o
Pengamatan di Amurang, Amurang Barat, Amurang Timur, Tumpean,
Tareran, Kumelembuai, Motoling, Suluun, Ranoyapo, Maesaan, Tompaso Baru
dan Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara menunjukkan
bahwa ada hubungan positif yang sangat kuat antara suhu dengan persentase
nyamuk Anopheles spp. terinfestasi P. falciparum yang ditangkap di luar rumah
ditunjukkan dengan nilai r = 0,736 dan p < 0,05, sedangkan antara suhu dengan
persentase nyamuk Anopheles terinfestasi P. falciparum yang ditangkap di dalam
rumah ditemukan berkorelasi positif sedang dengan nilai r = 0,427 dan p < 0,05
(Pinontoan 2009). Sementara itu di Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah suhu
udara berhubungan bermakna dengan kepadatan nyamuk istirahat di dinding (p =
0,03) dan dengan kepadatan nyamuk istirahat di kandang (p = 0,05) (Yunianto
2003).
C). Suhu udara dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya sinar mata hari,
vegetasi dan polusi udara (Flanningan et al. 2000).
Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau
masa inkubasi ekstrinsik. Suhu udara yang semakin tinggi (hingga batas tertentu),
maka masa inkubasi ekstrinsik akan semakin pendek, sebaliknya semakin rendah
suhu semakin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Suhu optimum
perkembangbiakan nyamuk adalah 25-27 °C, pada suhu terlalu tinggi dapat
meningkatkan mortalitas nyamuk (Martens 1997; Epstein et al. 1998). Suhu udara
optimum untuk perkembangan Plasmodium di tubuh Anopheles dan proses
penularan Plasmodium ke tubuh manusia adalah 20-30 °C. Siklus sporogoni
(masa inkubasi ekstrinsik) akan tertunda pada suhu kurang 15 oC bagi
16
Plasmodium vivax, P. malariae, P. ovule, serta suhu kurang 19 °C. bagi P.
falciparum (Bruce-Chwatt 1985).
2.3.1.2 Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah jumlah uap air yang terdapat dalam udara yang
dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban relatif adalah persentase uap air yang
ada di udara saat pengukuran dibandingkan dengan kelembaban udara jenuh pada
suhu dan tekanan pada saat yang sama (Suin 1999). Uap air di udara sebagian
besar berasal dari penguapan air laut, sehingga kelembaban udara relatif pada
daerah pantai lebih tinggi, disebabkan penguapan air laut relatif besar.
Kelembaban udara mempengaruhi kelangsungan hidup (survival rate),
kebiasaan mencari darah dan istirahat nyamuk. Kelembaban yang rendah akan
memperpendek umur nyamuk. Peningkatan kelembaban udara berbanding lurus
dengan peningkatan kepadatan nyamuk, artinya semakin tinggi kelembaban udara
maka semakin tinggi pula kepadatan nyamuk (Epstein et al. 1998). Kelembaban
udara yang lebih tinggi menjadikan metabolisme nyamuk meningkat (Clements
1999), sehingga proses pematangan telur menjadi lebih cepat. Proses pematangan
telur membutuhkan darah, menyebabkan nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih
sering menghisap darah. Kelembaban udara di Mayong Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah berhubungan signifikan dengan kepadatan nyamuk istirahat di dinding (p
=0,001) dan kepadatan nyamuk istirahat di kandang (p = 0,015) (Yunianto 2003).
Sementara itu di wilayah pegunungan Menoreh perbatasan Jawa Tengah dan DIY
kasus malaria berhubungan signifikan dengan suhu udara (p = 0,00) dan
kelembaban udara (p = 0,00) (Achmad et al. 2003).
2.3.1.3 Curah Hujan
Hujan berperan penting dalam epidemiologi malaria, karena menyediakan
media bagi tahap akuatik dari daur hidup nyamuk (Martens 1997). Epstein el at.
(1998) melaporkan semakin tinggi curah hujan akan menaikan kepadatan populasi
nyamuk, demikian juga sebaliknya rendahnya curah hujan mengurangi kepadatan
populasi nyamuk. Hujan yang diselingi oleh panas akan memperbesar
kemungkinan berkembangbiaknya Anopheles. Hujan akan menguntungkan bagi
17
perkembangbiakan nyamuk jika tidak terlalu deras, karena jika terlalu deras maka
akan membilas telur, larva dan pupa nyamuk. Hujan juga dapat meningkatkan
kelembaban relatif, sehingga dapat memperpanjang usia nyamuk.
Curah hujan minimum yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang
adalah sekitar 1,5 mm per hari (Martens 1997). Curah hujan 150 mm per bulan di
Kenya mengakibatkan perkembangan yang pesat dari populasi A. gambiae, vektor
malaria di Kenya (Malakooti et al. 1998). Kasus malaria di Kokap Kabupaten
Kulonprogo
meningkat setelah terjadi peningkatan curah hujan yang tinggi
(Suwasono 2000). Hasil pengamatan di Sri Langka selama beberapa tahun relatif
kering, saat hujan meningkatkan habitat perkembangbiakan A. culicifacies dan
diikuti oleh epidemi malaria yang hebat (Bruce-Chwat 1985).
2.4 Perilaku Nyamuk Anopheles spp.
2.4.1 Perilaku Nyamuk Anopheles spp. Menghisap Darah
Nyamuk Anopheles tertarik pada cahaya, warna gelap, manusia serta hewan.
Beberapa spesies nyamuk bersifat antropofilik (di sekitar manusia), zoofilik (di
sekitar hewan), antropozoofilik (di sekitar manusia dan hewan) dan hidup bebas di
alam. Nyamuk betina menghisap darah sebelum bertelur agar reproduksi
berlangsung. Beberapa spesies memasuki rumah untuk menghisap darah
(endofagik) dan istirahat di dalam rumah (endofilik), sedangkan spesies lain
memasuki rumah hanya untuk menghisap darah (endofagik) dan menghabiskan
waktu istirahatnya di luar rumah (eksofilik), dan ada yang menghisap darah di
luar rumah (eksofagik) dan istirahat di luar rumah (eksofilik).
Hasil penelitian di Kenagarian Sungai Pinang Kabupaten Pesisir Selatan
Sumatera Barat nyamuk A. aconitus, A. barbirostris, A. subpictus dan A.
sundaicus ditemukan bersifat eksofilik (Adrial et al. 2005). Sementara itu di
Lengkong Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat A. aconitus, A. maculatus dan A.
barbirostris ditemukan lebih banyak bersifat eksofagik (Munif et al. 2007). Di
Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah nyamuk Anopheles spp. lebih menyukai
darah hewan, antara lain A. maculatus dengan angka human blood index (HBI)
32,4%, A. vagus 8,2% (Barodji dan Suwasono 2001 dalam Mulyadi 2010).
18
2.4.2 Perilaku Nyamuk Anopheles spp. Beristirahat
Nyamuk Anopheles spp. pada umumnya dapat beristirahat baik di luar
maupun di dalam rumah. Nyamuk A. maculatus dan A. balabacensis di Kokap
Kabupaten Kulonprogo bersifat eksofilik, lebih banyak beristirahat pada
ketinggian 0-75 cm dari permukaan tanah, di luar rumah lebih banyak beritirahat
di semak-semak dan tebing parit (Mahmud 2002). Sementara itu, di Loano
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah A. aconitus beristirahat di dalam rumah dan
di luar rumah, di dalam rumah beristirahat di kamar tidur dan ruang tamu,
sedangkan di luar rumah banyak beristirahat pada lubang-lubang buatan berjarak
20 m dari rumah, dengan ketinggian 0-75 cm (Riyanti 2002). Di Jawa Tengah A.
maculatus ditemukan beristirahat di luar rumah, hinggap pada pohon kopi dan
tanaman-tanaman yang hidup di tebing yang curam, demikian juga A. barbirostris
beristirahat di luar rumah dan di pohon kopi, pohon nanas dan tanaman lainnya
(Boewono dan Ristiyanto 2004 dalam Mulyadi 2010). Adapun di Moshi bagian
utara Tanzania A. arabiensis lebih banyak eksofilik sebesar 80,7% dibandingkan
A. gambiae sebesar 59,7% dan Culex spp. sebesar 60,8% (Mahande et al. 2007).
2.5 Sistem Informasi Geografis
Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu teknik pemetaan berbasis
komputer yang dapat mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, mengolah dan
mengelola berbagai data spasial dari fenomena geografis (Bretas 1996). Data
dasar yang terstruktur dalam SIG sangat memudahkan pengawasan suatu penyakit
tertentu dengan menggantikan atau menambahkan data dari suatu penyakit dengan
data penyakit lainnya (Verding et al. 1999). SIG dapat digunakan oleh tenaga
kesehatan masyarakat dan para profesional termasuk pembuat kebijakan,
statistikawan, epidemiolog, dan petugas medis. SIG dalam bidang kesehatan
digunakan untuk menentukan sebaran geografis penyakit dan vektor penyakit
(Kitron 2008).
Global Positioning System (GPS) adalah alat yang digunakan untuk
menentukan titik koordinat letak permukaan bumi. GPS dan SIG dapat
diaplikasikan untuk menunjukkan lokasi kejadian penyakit, dan menentukannya
19
dalam bentuk kajian risiko wilayah kejadian. Teknologi informasi tersebut sangat
menunjang pelaksanaan kegiatan penyelidikan epidemiologi, khususnya
penyelidikan untuk kasus malaria. SIG dimanfaatkan pada bidang kesehatan
antara lain untuk memprediksi dinamika populasi nyamuk Anopheles di daerah
pantai, memonitor pola transmisi malaria, memprediksi epidemik, dan
merencanakan strategi pengendalian.
Nyamuk Anopheles di Indonesia sangat beragam baik dari aspek jumlah
spesies, sebaran, populasi dan bioekologinya. Setiap spesies mempunyai daerah
penyebaran geografi, habitat perkembangbiakan dan ekosistem yang khusus.
Distribusi spasial Anopheles dimaksudkan sebagai sebaran berdasarkan tempat
atau wilayah geografis yang meliputi komponen topografi, ketinggian tempat
(altitude), kemiringan lahan (slope) dan penggunaan lahan (land use) (Risdiyanto
et al. 2009).