Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Collective Action
1. Pengertian Collective action
Pengertian tindakan collective action memiliki pengertian yang cukup luas
menurut beberapa ahli, diantaranya Wright, Taylor, & Moghaddam (1990) yang
memberikan pengertian bahwa collective action merupakan tindakan yang
dilakukan sekelompok individu dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi dari
kelompoknya. Selain memperbaiki kondisi, tindakan collective action juga
mampu meningkatkan status kelompok tersebut dari kelompok yang lain (Tajfel,
& Turner, 1979).
Zomeren dan Louis (2017) menambahkan bahwa kesamaan budaya dari
suatu kelompok diklaim sebagai latar belakang dari munculnya tindakan yang
dilakukan kelompok secara massal. Dapat dikatakan pula bahwa tindakan
collective action merupakan gabungan dari dinamika gender, etnis, agama atau
paradigma kelompok yang berbeda dengan kelompok lainnya (Jasper, 2017).
Lang dan Lang (dalam Mustafa, 2000) menjelaskan bahwa tindakan
kolektif diartikan sebagai suatu kajian yang menitikberatkan pada pola-pola dan
urutan peristiwa yang terjadi pada situasi-situasi problematis serta mengutamakan
koordinasi yang baik antar anggota kelompok. Secara umum, tindakan collective
action didasari oleh kesamaan latar belakang kelompok dengan paradigma untuk
memperbaiki status kelompoknya dari tekanan kelompok lain. Sehingga, tidak
banyak tindakan yang dimunculkan oleh kelompok diantaranya yaitu demonstrasi,
11
penandatanganan petisi, atau bahkan mengarah pada tindakan yang lebih radikal,
seperti melakukan sabotase ataupun kekerasan.
Meskipun demikian, terkadang dalam struktur kolektif (seperti sebuah
organisasi atau kelompok masyarakat) individu dalam kelompok tersebut bisa
saja mengejar tujuan yang mungkin akan berbeda dari kelompoknya (Asrohah,
2016). Berdasarkan penjelasan diatas sehingga diketahui bahwa tindakan
collective action merupakan tindakan yang terkemas dari gabungan dinamika-
dinamika didalam kelompok yang memiliki tujuan untuk meningkatkan status
kelompoknya dari kelompok lain dengan mengutamakan koordinasi untuk
mencapai tujuan yang diinginkan secara bersama-sama.
Bamberg, Rees, & Seebauer (2015) menyebutkan ada beberapa
pertimbangan mewujudkan tindakan collective action, yaitu :
a. The cost-benefit pathway / Jalur untung rugi
Hal ini merujuk pada keuntungan dan kerugian seseorang jika
melakukan suatu tindakan, baik individu maupun secara kolektif. Individu
akan memperhitungkan dari setiap langkah yang mungkin akan dilakukan
dengan mempertimbangkan keuntungan yang akan didapat jika melakukan
ataupun tidak tindakan tersebut dan kerugian jika melakukan ataupun tidak
melakukan tindakan tersebut. Berkaitan dengan kasus yang akan diteliti
adalah bagaimana masyarakat yang berada diwilayah banjir tersebut dalam
menyikapi berbagai kondisi, salah satunya yaitu mengenai penawaran
relokasi dari pemerintah terhadap masyarakat desa tersebut.
12
b. The collective efficacy pathway / Jalur efikasi kolektif.
Hal ini merujuk pada keyakinan individu menghadapi tekanan-
tekanan yang berasal dari lingkungan sosialnya. Dengan keyakinan diri
tersebut, individu akan memberikan respon untuk ikut serta dalam
tindakan yang akan dilakukan kelompoknya atau tidak. Dengan kata lain,
individu akan memproses segala informasi dari lingkungan yang kemudian
memberikan motivasi untuk keikutsertaannya atau tidak terhadap tindakan
kolektif tersebut. Kesesuaian dengan permasalahan yang akan diteliti ini
adalah bahwa dalam menentukan suatu perilaku tersebut maka individu
akan mempertimbangkan dari kelompoknya. Seperti contoh masyarakat
yang ingin melakukan aksi penolakan terhadap kebijakan pemerintah
mengenai relokasi maka akan melihat pula respon dari kelompok
masyarakatnya.
c. The group-based emotions pathway / Jalur emosi kelompok.
Hal ini merujuk pada kuat tidaknya pengaruh yang diberikan
kelompok kepada individu untuk turut serta melakukan tindakan yang
dilakukan secara kolektif. Pengaruh yang diberikan kelompok tersebut
tentu akan mempengaruhi proses kognisi dan afektif dari seorang individu
untuk mempertimbangkan keikutsertaannya dalam melakukan tindakan
secara kolektif. Hal ini sesuai dengan perilaku yang akan ditampilkan
sekelompok masyarakat di wilayah banjir, kelompok tersebut akan
mempertimbangkan berbagai informasi dari kelompoknya sebelum mereka
melakukan suatu aksi yang berhubungan dengan rencana kebijakan dari
13
pemerintah. Dengan kemungkinan aksi-aksi yang akan terjadi adalah
dengan mengadakan demonstrasi atau mengadakan petisi untuk
menggalang dukungan dari pihak lain terhadap aksi yang dilakukan
kelompok masyarakat di wilayah banjir tersebut.
d. The social identity pathway / Jalur identitas sosial.
Hal ini merujuk pada keterikatan individu terhadap kelompoknya.
Semakin kuat keterikatan individu dalam suatu kelompok, maka
kemungkinan yang terjadi individu tersebut akan turut serta dalam
melakukan tindakan secara kolektif dengan tujuan sebagai respon
menyikapi suatu situasi. Begitupun dengan kelompok masyarakat
diwilayah banjir tersebut. Semakin kuat dukungan dari lingkungan sekitar
maka kemungkinan yang terjadi untuk merespon suatu permasalahan maka
semakin kuat pula. Dengan demikian kelekatan individu dengan
lingkungannya juga sangat mempengaruhi individu untuk turut serta aksi-
aksi yang akan ditampilkan kelompoknya.
e. Different contexts: implications for the current research program
Hal ini merujuk bahwa tindakan kolektif mengikat pada status sosial
yang sama. Jika ada suatu program yang datang mengarah pada
kelompoknya, maka didalam anggota kelompok tersebut tidak lagi
menganggap bahwa “saya” adalah “saya”, melainkan menggantikan
dengan “kami” atau “kita”. Hal ini dilakukan sebagai bentuk keterikatan
individu terhadap kelompoknya untuk merespon situasi yang mungkin
akan mempengaruhi kelompoknya.
14
Menurutnya, individu yang tergabung dalam suatu kelompok akan
melewati langkah tersebut baik secara sadar ataupun tidak sebelum
akhirnya memutuskan untuk terlibat atau tidak dalam tindakan kolektif
yang dilakukan kelompoknya.
2. Aspek collective action
Charles Tilly (1978) menyebutkan ada empat elemen munculnya
collective action yaitu :
a. Interest atau kepentingan
Aspek ini mencakup keuntungan dan kerugian yang diakibatkan dari
interaksi dalam kelompok atau kelompok lain sesuai pada kepentingan
dengan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapainya. Pada aspek ini
individu dalam kelompok juga akan mempersepsikan relevan atau tidak
antara dirinya dengan kelompok.
b. Organization atau organisasi
Aspek ini mencakup pada struktur didalam kelompok sehingga ada
pengaruh tekanan dalam melakukan tindakan untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki bersama. Didalamnya pun akan diketahui komitmen
keterlibatan individu didalam kelompok tersebut.
c. Mobilization atau mobilisasi
Aspek ini mencakup pada ketersediaan sumber daya sebagai
fasilitas penunjang terlaksananya tindakan kolektif yang dilakukan
15
kelompok, seperti kendaraan, jumlah anggota yang terlibat, atau bahkan
lebih ekstremnya adalah persenjataan.
d. Opportunity atau peluang
Aspek ini mencakup peluang yang tercipta dari hubungan interaksi
antara anggota dalam kelompok atau dengan kelompok lain untuk
mengetahui peluang sebelum melakukan tindakan.
Sedangkan Zomeren, Postmes, dan Spears (2008) berpendapat bahwa
aspek collective action diantaranya :
a. Sikap terhadap collective action
Sikap adalah cara evaluasi individu pada suatu stimulus yang
kemudian memunculkan persepsi terhadap rangsangan baik positif atau
negatif, menyetujui atau menolak, dan suka atau tidak suka. Pada hal ini,
sikap yang dimaksud mengarah pada sikap keturutsertaan dalam
melakukan tindakan collective action. Terdapat tiga komponen utama yang
membentuk sikap menurut Suharyat (2009), yaitu komponen kognitif
(berkaitan dengan persepsi individu terhadap stimulus), komponen afektif
(berkaitan dengan emosi yang sejalan dengan hasil evaluasi individu
terhadap stimulus), dan komponen konatif (berkaitan dengan keinginan
individu melakukan suatu tindakan sesuai dengan keyakinan dan
keinginannya). Namun demikian, sikap dapat dimaknai manakala sudah
ditampilkan dalam bentuk lisan ataupun perilaku oleh individu karena
sikap dapat diubah, dibentuk, atau dipengaruhi melalui interaksi sosial
sesuai dengan kondisi yang terjadi terhadap kelompoknya.
16
b. Intensi melakukan tindakan collective action
Intensi adalah niat yang muncul pada individu untuk melakukan
atau tidak melakukan suatu tindakan berdasarkan stimulus yang
diterimanya. Intensi kemudian diasumsikan sebagai motivasi individu
untuk memunculkan suatu perilaku, dalam hal ini niat keturutsertaan
dalam melakukan tindakan collective action. Faktor eksternal, khususnya
dalam ruang lingkup kelompok sangat berperan dalam mempengaruhi niat
individu untuk memunculkan suatu tindakan tertentu sesuai dengan yang
dimunculkan oleh kelompoknya (Ajzen dan Madden, 1986).
Berdasarkan teori diatas disebutkan bahwa kecenderungan munculnya
tindakan collective action didasari oleh sikap individu dalam mempersepsi suatu
stimulus, dan intensi atau niat yang muncul dari individu untuk melakukan suatu
tindakan tertentu sebagai bentuk respon terhadap suatu stimus yang datang.
3. Faktor collective action
Smelser (1962) menjelaskan faktor-faktor terjadinya collective action,
yaitu :
a. Pendorong struktural, yaitu kondisi struktural dalam masyarakat yang
mempunyai potensi untuk munculnya suatu tindakan kolektif. Dalam hal
ini kesamaan strata dalam masyarakat akan lebih memudahkan munculnya
tindakan kolektif.
17
b. Ketegangan struktural, yaitu suatu kondisi ketegangan di lingkungan
masyarakat yang diakibatkan oleh kenyataan struktur, seperti penindasan,
kesenjangan, dan ketidakadilan.
c. Pertumbuhan dan penyebar luasan kepercayaan umum, adalah kondisi
dimana ketegangan struktural menjadi berarti bagi para calon pelaku
tindakan kolektif. Sehingga mendorong kelompok tersebut untuk
merespon kondisi tersebut secara kolektif
d. Faktor pencetus, merupakan faktor situasional yang menegaskan terjadinya
tindakan secara kolektif. Biasanya faktor pencetus hanya berasal dari satu
individu saja, namun kemudian memberikan pemahaman kepada
kelompoknya sehingga terjadi tindakan secara kolektif.
e. Mobilisasi pemeran serta, yaitu berupa dukungan dari kelompok yang
memiliki kesamaan tujuan untuk terwujudnya tindakan kolektif tersebut.
Mobilisasi pemeran serta tersebut bisa juga berasal dari kelompok lain.
f. Bekerjanya pengendalian sosial, adalah suatu tahapan yang penting untuk
mencegah pecahnya suatu kerusuhan sosial. Dalam hal ini pihak keamanan
berwajib memiliki peran penting untuk mengontrol ketika ada tindakan
kolektif yang dilakukan oleh suatu kelompok.
18
B. Identitas Sosial
1. Pengertian Identitas Sosial
Identitas sosial memiliki pengertian yang luas dan beragam. Afif (2015)
menjelaskan bahwa identitas sosial adalah kumpulan dari deskripsi diri individu
yang menampilkan dimensi-dimensi sosial, sehingga mencerminkan karakteristik
dari kelompok yang diikuti individu tersebut. Menurut Baron dan Bryne (2004)
menambahkan bahwa identitas sosial adalah pendefinisian dari individu itu sendiri
termasuk didalamnya atribut pribadi dan atribut yang didalamnya sama dengan
kelompoknya.
Berdasarkan teori identitas sosial dijelaskan ada dua proses penting yang
mempengaruhi perilaku kelompok yaitu proses kognitif dan proses motivasional.
Ketika individu melakukan kategorisasi pada stimulus yang ia hadapi termasuk
pada kelompok yang ditemui, serta memandang orang lain dari anggota in-group
atau out-group maka masuk dalam proses kognitif individu. Sedangkan pada
proses motivasional mengarah pada bagaimana individu menampilkan perilaku
yang sesuai dengan kelompoknya untuk meningkatkan harga diri dan identitas
sosial (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Hal yang demikian itu dipersepsikan oleh
individu berdasarkan dari pengetahuannya tentang keanggotaan dalam suatu
kelompok dengan melibatkan nilai-nilai dan emosional dari keanggotaan (Tafjel,
1972).
Menurut Brown (2000) teori identitas sosial mengasumsikan bahwa
individu yang tergabung suatu kelompok akan menyusun kategori identitas terkait
hubungan interpersonal atau intrapersonal dan akan memunculkan self-image
19
yang positif terlebih ketika berhadapan dengan individu / kelompok lain. Semakin
banyak kategori yang menyusun identitas sosial terkait hubungan interpersonal
maka mengindikasikan persamaan dalam suatu kelompok dan perbedaan dengan
kelompok lainnya (Baron dan Bryne, 2004). Meskipun demikian, Identitas sosial
suatu kelompok dapat dilemahkan oleh batasan kelompok, kestabilan dalam
kelompok, dan kebijakan-kebijakan yang diputuskan dalam kelompok untuk
melakukan suatu tindakan (Ellemers dalam Kawakami dan Dion, 1995).
Postmes dkk (2005) memberikan gambaran arah terbentuknya identitas
sosial, yang pertama adalah model induksi (bottom-up) dengan asumsi bahwa
individu yang memiliki persepsi sama akan berkumpul dan membentuk suatu
kelompok untuk mencapai suatu kesepakatan bersama. Kedua, model deduksi
(top-down) dengan asumsi bahwa kelompok sebagai sumber identitas sosial,
sehingga individu yang berada dalam kelompok tersebut harus mampu
menyesuaikan atribut ataupun nilai-nilai yang telah terbentuk. Burke dan Stets
(2009) menambahkan bahwa identitas tertentu dapat menjadi aktif atau menonjol
sebagai fungsi interaksi antara karakteristik penginderaan (aksebilitas) dan situasi.
Aksebilitas adalah kesiapan suatu kategori tertentu yang terekam secara sadar,
sedangkan situasi adalah kesesuaian antara identitas dengan rangsangan yang
hadir. Namun demikian Hogg dan Abrams (1988) memberikan pandangan lain
bahwa individu tidak selalu dipaksa untuk berinteraksi dengan anggota kelompok
lainnya, hanya perlu mengidentifikasi kelompok maka dapat dikatakan cukup
untuk mengaktifkan kesamaan dalam persepsi dan perilaku antara anggota
kelompok.
20
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, dapat
diambil kesimpulan bahwa identitas sosial adalah suatu persepsi individu terhadap
kelompoknya berdasarkan proses pengamatan dan juga emosi melalui interaksi
yang dibangun didalam kelompok, sehingga individu akan berperilaku yang
mencerminkan identitas kelompoknya dengan tujuan untuk membedakan dengan
kelompok yang lain.
2. Aspek-aspek identitas sosial
Brewer dan Gardner (dalam Hong, dkk, 2003) menyebutkan ada tiga
dimensi atau aspek dari identitas sosial, yaitu :
a. Individual self
Definisi tentang diri sendiri yang dianggap berbeda dengan orang
lain ataupun kelompok lain. Hal ini berupa persepsi yang dimiliki individu
terhadap lingkungan sekitarnya, dan individu tersebut akan menganggap
bahwa dirinya tidak dapat disamakan dengan orang lain atau kelompok
lain.
b. Relation self
Definisi tentang diri berdasarkan hubungan interpersonal yang
dimiliki dengan orang lain baik sesama anggota kelompok ataupun orang
lain yang berasal dari luar kelompok. Hal ini juga kemudian mampu
meningkatkan identitas sosial yang dimiliki individu terhadap
kelompoknya.
21
c. Collective self
Definisi tentang diri berdasarkan keanggotaan dalam suatu
kelompok. Dalam hal ini individu mempersepsikan kesesuaian kelompok
dengan tujuan yang ingin dicapai olehnya, sehingga mampu
mempengaruhi kelekatan antara individu dengan kelompoknya.
Sedangkan menurut Cameroon (2004) identitas sosial memiliki tiga aspek,
yaitu :
a. Cognitive centrality
Yaitu persepsi yang muncul dari individu berdasarkan pengamatan
dari hubungan interpersonal didalam kelompoknya. Singkatnya bahwa
sentralitas mempersepsikan nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku kelompok
ke dalam dirinya untuk mencapai kepentingan yang dikehendaki. Sehingga
individu mampu menampilkan perilaku yang mewakili kelompoknya pada
siatuasi tertentu.
b. Ingroup affect
Yaitu pengaruh yang datang antar anggota kelompok dengan
melibatkan emosi sebagai bentuk evaluatif terhadap kelompoknya
berdasarkan perbandingan sosial dengan kelompok lain. Individu yang
berada dalam kelompok tersebut kemudian akan mengevalusi seberapa
jauh keterlibatan dirinya, sehingga individu kemudian mampu
memutuskan strategi lain yang akan dipakai untuk mencapai tujuan yang
akan dicapai bersama kelompoknya.
22
c. Ingroup ties
Yaitu kedekatan hubungan antara anggota kelompok yang
kemudian akan memperkuat persepsi individu terhadap kelompoknya,
misalnya individu merasa nyaman dalam kelompok tersebut atau bahkan
sebaliknya. Dengan demikian ketika kelompok akan melakukan suatu aksi
yang telah disepakati bersama-sama, belum tentu semua anggota
kelompok mampu akan menampilkan tindakan yang sama seperti anggota
lainnya. Hal ini tergantung pada rasa lekat yang dimiliki individu terhadap
kelompoknya.
Berdasarkan kedua teori yang disampaikan oleh kedua ahli diatas, bahwa
teori yang mendekati dengan penelitian ini adalah teori dari Cameroon (2004),
yaitu cognitive centrality, ingroup affect, dan ingroup ties. Karena dari aspek
disampaikan mewakili dari terbentuknya identitas sosial, seperti persepsi individu
terhadap kelompok, pengaruh kelompok atau lingkungan sosial, serta kedekatan
individu dengan individu lainnya didalam kelompok tersebut.
C. Hubungan Antara Identitas Sosial dengan Collective Action
Identitas yang melekat pada individu tidak hanya identitas dirinya sendiri.
Namun juga dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, hal inilah yang diyakini
sebagai identitas sosial. Secara pengertian, identitas sosial adalah suatu persepsi
individu yang terbentuk dari proses hubungan sosial dengan tujuan untuk
meningkatkan self image individu jika berhadapan dengan kelompok lain
(Hidayat, 2014). Individu yang merasakan adanya kesamaan nilai antara dirinya
23
dengan kelompok, kemudian akan mempersepsikan nilai-nilai tersebut menjadi
identitas baru didalam dirinya (Baron dan Bryne, 2004). Sehingga dalam
berperilaku pun individu akan mencerminkan dari identitas kelompoknya tersebut.
Menurut Cameron (2004) identitas sosial terdiri dari tiga aspek, yang
pertama cognitive centrality yaitu kemampuan kognitif individu berdasarkan
proses pengamatan terhadap lingkungan, tetapi kemampuan ini relatif berbeda
berdasarkan jenis kelamin (Cameron dan Lalonde, 2001). Kedua, ingroup affect
yaitu pengaruh dari kelompok yang melibatkan emosi dan evaluasi terhadap
individu., meskipun kemudian individu akan banyak dipengaruhi oleh orang lain
disekitarnya (Weinreich, 1986). Aspek ketiga, ingroup ties yaitu kedekatan
hubungan antara individu terhadap kelompok sehingga perilaku yang muncul pun
mencerminkan identitas kelompoknya tersebut. Namun tidak setiap saat identitas
sosial yang melekat dalam individu akan muncul secara tiba-tiba. Vaugh dan Hart
(2004) menjelaskan bahwa identitas sosial hanya akan dimunculkan oleh individu
ketika kelompoknya mendapatkan ancaman dari luar. Seperti halnya pada
kelompok masyarakat yang melakukan penolakan relokasi, mereka melakukan
tindakan tersebut karena menganggap rencana relokasi sebagai suatu ancaman
harga diri kelompoknya. Ketika melakukan tindakan pun tidak ada lagi
memandang secara individual, demikian pun yang disampaikan oleh Viaranita
(2008) pada kelompok buruh bahwa dalam melakukan aksi mereka
mengatasnamakan “kita” serta tidak memandang gender, status, ataupun latar
belakang individu. Serupa dengan yang terjadi di Pekalongan, mereka
24
mengatasnamakan nama kelompok masyarakat ketika melakukan suatu aksi
penolakan secara massal, bukan lagi sebagai individu.
Dalam istilah psikologi, aksi yang dilakukan secara massal dikenal dengan
istilah collective action. Ellemers (2002) menjelaskan bahwa tindakan collective
action merupakan hasil proses kognitif dan afektif individu dalam kelompok
dalam merespon suatu ancaman yang berasal dari luar. Secara substansial
tindakan kolektif sebenarnya tidak jauh berbeda dengan protes sosial karena
memiliki kesamaan berupa tindakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh
suatu kelompok dalam melakukan “perlawanan” demi memperjuangkan harga
diri kelompoknya. Hal ini senada dengan yang disebutkan Lofland (2015) dalam
bukunya yang menjelaskan bahwa protes sosial suatu kelompok dapat
dikategorikan sebagai tindakan collective action karena selalu dilakukan secara
massal yang kemunculannya sebagai respon dari luar kelompok.
Dalam artikelnya Sukamto (2010) menyebutkan bahwa munculnya
tindakan collective action diawali dari sekelompok orang-orang yang berkumpul
dengan berbagai faktor yang serupa seperti faktor psikologis, sosiologis, politis,
budaya, dan ekonomi. Secara teoritis tindakan collective action berasal dari dua
teori penting yang saling berkaitan, yaitu teori identitas sosial dengan fokus
utamanya pada aspek kognitif identifikasi berupa pengamatan dan juga evaluasi,
dan yang kedua adalah teori perampasan relatif dengan fokusnya pada peran
emosi ekspresif individu terhadap kelompoknya (Mummendey, 1999). Temuan
mengenai emosi yang mempengaruhi munculnya tindakan collective action juga
ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Yang (2000), disebutkan bahwa
25
emosi setiap individu akan mempengaruhi keturutsertaan untuk melakukan
collective action. Emosi yang dimaksud tidak selalu emosi negatif, emosi positif
pun dapat mempengaruhi individu terlibat dalam tindakan tersebut. Kedua emosi
ini saling terkait, emosi negatif (kemarahan) merupakan emosi yang muncul dari
respon ketidakadilan yang dirasakan oleh individu ataupun kelompok
(Wlodarczyk, Basabe, Paez, & Zumeta. 2007).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zomeren, Postmes, &
Spears (2008) bahwa respon dalam menyikapi suatu stimulus merupakan bentuk
sikap dari individu. Suharyat (2009) menambahkan bahwa individu atau
kelompok yang dalam kondisi dirugikan, maka akan memunculkan sikap yang
mengarah untuk memperbaiki kondisi kelompok. Meskipun ada hal lain yang
menjadi komponen sikap selain emosi atau afektif (Ajzen, 1991), yaitu komponen
kognisi yang merujuk pada kemampuan individu dalam mempersepsikan suatu
stimulus yang datang, dan komponen konatif yang merujuk pada keinginan
individu untuk melakukan suatu tindakan sebagai respon terhadap suatu stimulus
sesuai dengan keyakinan dan keinginannya (Suharyat, 2009). Kemudian Zuchdi
(1995) menambahkan bahwa sikap dapat dimunculkan oleh individu ataupun
kelompok atas dasar agar terpenuhinya hierarki kebutuhan menurut Maslow, yaitu
kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga
diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Atas dasar inilah, suatu kelompok dapat
bersikap dengan melakukan tindakan secara kolektif untuk mempertahankan
harga diri kelompok.
26
Sebelum jauh terlibat dalam suatu tindakan, individu akan mengevaluasi
suatu rencana yang akan dilakukan. Dengan demikian akan memunculkan suatu
intensi atau niat keterlibatan dalam melakukan tindakan tersebut. Zomeren,
Postmes, & Spears (2008) menyebutkan bahwa intensi merupakan dasar
motivasional individu untuk terlibat atau tidak dalam suatu tindakan. Faktor
eksternal atau lingkungan dianggap memiliki pengaruh kuat terhadap individu
agar terlibat dalam tindakan / perilaku seperti yang dilakukan oleh kelompoknya.
Keterlibatan individu untuk turut serta melakukan tindakan kolektif selalu erat
kaitannya dengan sikap dan niat. Kemudian sikap dan niat akan semakin
mengarah untuk melakukan tindakan yang seperti dilakukan oleh kelompoknya
karena persepsi kesamaan identitas sosial sebagai kelompok. Thomas, Mavor, &
McGarty (2011) pun menyebutkan dalam penelitiannya bahwa identitas sosial
mampu memotivasi individu dalam hal emosi, sikap, niat serta keyakinan yang
sama untuk melakukan suatu tindakan secara massal. Begitupun pada penelitian
yang dilakukan oleh Kawakami dan Dion (1995), disebutkan bahwa jika individu
tidak dapat bertindak secara individu, maka individu akan bergabung dengan
kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama. Hal inilah yang mungkin terjadi
pada kelompok masyarakat di Pekalongan yang melakukan tindakan penolakan
relokasi secara kolektif sebagai respon mempertahankan eksistensi kelompoknya
dari ancaman luar.
27
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif antara
identitas sosial dengan collective action, ini berarti bahwa semakin tinggi identias
sosial kelompok masyarakata maka semakin tinggi pula kecenderunan untuk
melakukan tindakan secara kolektif (collective action).