Upload
others
View
13
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi
Salah satu fenomena amat menakjubkan bukan hanya dalam filsafat
politik, tetapi dalam kesadaran nyata masyarakat adalah pengakuan hampir
universal terhadap demokrasi. Meskipun seratus tahun lalu kebanyakan orang
di bumi ini belum pernah mendengar apapun tentang demokrasi, sekarang
keabsahan etis dan politis sebuah negara hampir di seluruh dunia diukur pada
kadar kedemokratisnya.24
Menurut Robert Dahl campuran lembaga kekuasaan yang kita sebut
demokrasi merupakan hasil gabungan aliran dari empat sumber yaitu
demokratia yunani kuno, tradisi republikan yang berasal dari Roma kuno,
pemerintahan perwakilan dan logika kesamaan politik.25 Konsep domokrasi
yang berasal dari dua suku kata yaitu domos dan kratos atau cratein. Kata
denokrasi yang diurakan sebagaimana dua suku kata yakni demos yang berarti
rakyat dan cratos yang berarti kekuatan/kedaulatan, sehingga konsep
demokrasi dapat diartikan kedaulatan rakyat atau kedaulatan tertinggi dari
24Franz Magnis Suseno SJ, Catatan Untuk Edisi Revisi : Demokrasi Dalam Kesaksian Sejarah, Dalam
Diane Revitch & Abigail Thernstrom (ed), Demokrasi Klasik & Modern, Yayasan Pustaka Obor,
Jakarta : 2005, hlm. Vii. 25Franz Magnis Suseno SJ, Mencari sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta : 1997, hlm. 33
16
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.26
Dalam Perkembangan lebih lanjur demokrasi diartikan sebagai pemerintahan
rakyat, yaitu rakyat yang memerintah diri sendiri.27 Akan tetapi demokrasi
yang demikian itu mustahil dilakukan di era sekarang. Demokrasi atau
pemerintahan rakyat sekarang di representasikan dengan jalan perwakilan.
Rakyat yang banyak memilih wakil-wakilnya dalam tiap-tiap waktu, jadinya
pemerintahan rakyat sekarang direpresentasikan oleh perantara Dewan
Rakyat.28
2. Ciri-Ciri Negara Demokrasi
Jimly Asshiddiqie29 menegaskan bahwa negara hukum yang bertopang pada
sistem demokrasi pada pokoknya mengidealkan suatu mekanisme bahwa
negara hukum itu haruslah demokratis, dan negara demokrasi itu haruslah
didasarkan atas hukum. Menurutnya, dalam perspektif yang bersifat
horizontal gagasan demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional
democracy) mengandung 4 (empat) prinsip pokok, yaitu:
a) Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama;
b) Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas;
26Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Prena Media Group, Jakarta : 2014, hlm. 63 27Mohammad Hatta, Demokrasi Kita Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat,
Sega Arsy, Bandung : Cet.4 2014, hlm 21. 28Op.cit, hlm 23. 29Jimly Asshiddiqie Dalam Muntoha, Demokrasi dan Negara Hukum, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16,
Juli 2009, hlm. 388-389
17
c) Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan
d) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan
yang ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, di mana terkait
pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal antar institusi
negara dengan warga negara.
Dalam pandangannya, keempat prinsip-prinsip pokok dari demokrasi tersebut
lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara hukum
(nomokrasi), yaitu:
a) Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia;
b) Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme kekuasaan dan pembagian
kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar
lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal;
c) Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak
(independent and impartial)
d) Dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan
warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan
(pejabat administrasi negara);
e) Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga legislatif maupun
lembaga eksekutif;
f) Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
jaminan-jaminan pelaksana prinsip-prinsip tersebut; dan
18
g) Pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam
keseluruhan sistem penyelenggaraan negara
Franz Magnis-suseno menyebutkan bahwa negara demokratis memiliki lima
gugus cirri hakiki sebagaimana berikut ini :
a) Kekuasaan negara terikat oleh hukum
b) Pemerintah dibawah kontrol nyata masyarakat
c) Pemilihan umum yang bebas
d) Prinsip Mayoritas
e) Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis (meliputi hak menyatakan
pendapat, hak berkumpul, hak membentuk serikat, hak mengkritik
pemerintah dan kebebasan pers).30
3. Perkembangan Demokrasi Di Indonesia
a. Masa Orde Lama
Praktik kehidupan demokrasi sebagaimana terjadi dinegara-negara yang
berkembang (termasuk Indonesia) sering terkecoh oleh fenomena-
fenomena politik yang nampak demokratis tetapi pada hakikatnya ialah
berwujud otoriter. Hal ini terlihat ketika UUD 1945 ditetapkan kembali
melalui dekret Presiden 5 Juli 1959, dan bertekad melaksanakan UUD
1945 dan pancasila secara murni dan konsekuen, namun demikian
pelaksanaanya belum tercapai pada masa demokrasi terpimpin (1959-
30Franz Magnis-Suseno SJ, Mencari Sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis, Gramdia Pustaka
Utama, Jakarta : 1997, hlm. 57-60
19
1966) karena pemerintahan waktu itu cenderung memusatkan
pemerintahan pada Presiden, yang akhirya pada tahun 1965 Indonesia
mengalami gejolak diberbagai Sektor.31
b. Masa Orde Baru
Pada masa rezim Otoriter yang dikomandoi oleh Presiden soeharto jelas
bahwa kebebasan (red : demokrasi) hanyalah sebuah bayang-bayang semu
belaka, pada masa pemerintahan orde baru hampir disetiap lini kehidupan
massa dibatasi ruang geraknya. Selain itu tindakan pemerintah sama
halnya dengan kemauan Presiden Soeharto atau dapat dikatakan semua
berada pada kemauaan Soeharto, namun pada waktu itu Soeharto
menutupi tindakan-tindakan otoriternya dengan lebel demokrasi pancasila.
Secara konsep demokrasi pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat
yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainya. Lain dari itu rezim
waktu itu juga memberi penjelasan bahwa demokrasi pancasila yang
berarti menegakkan kembali asas-asas negara hukum dimana kepastian
hukum, dirasakan oleh segenap warga negara, hak asasi manusia dalam
aspek kolektif maupun perseorangan dijamin, dan penyalahgunaan
kekuasaan dapat dihindarkan.32
31Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta Cet. 9 : 2014, hlm.
270-271 32Mahfud MD, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik Dan
Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Cet.2 Jakarta : 2000, hlm. 43
20
Pada masa itu pula presiden yang dipilih oleh MPR yang separuh dari
anggotanya adalah anggota-anggota DPR 33 dalam praktiknya presiden
yang memiliki kekuasaan terlampau besar tersebut berubah menjadi
ototiter dan sangat jauh dari konsep demokrasi pancasila.
Pada akhrnya ketidakpuasan publik dan diiringi oleh berbagai gejolak
protes dari berbagai sektor akhirnya membuat kekuasaan Presiden
Soeharto runtuh. Jelas bahwa pemuastan kekuasaan ditangan Presiden
telah membawa bangsa Indonesia pada ambang krisis dimensi.34
Keruntuhan rezim otoriter Soeharto pada mei 1998 menandai era baru
bangsa Indonesia menuju era keterbukaan.
c. Masa Reformasi
Periode reformasi bermula tepat pada saat keruntuhan kekuasaan Soeharto
pada 21 Mei 1998. Berbicara dalam konteks Indonesia setelah rezim
otoriter Soeharto berhasil ditumbangkan pada tahun 1998 maka itu
merupakan sebuah penyematan terhadap mahkota demokrasi yang secara
sah menggantikan rezim otoriter dan militeristik Soeharto.35 Bj. Habibie
sebagai sang suksesor dan parlmen mengeluarkan Undang-undang No 2
Tahun 1999 tentang Partai Politik, sebagai salah satu hasil daripada
33Ibid, hlm. 44 34Nimatul huda, Op. Cit, hlm. 271 35Heru Nugroho, Demokrasi dan Demokratisasi Demokrasi dan Demokratisasi : Sebuah Kerangka
Konseptual untuk Memahami Dinamika Sosial Politik di Indonesia Sebuah Kerangka Konseptual
untuk Memahami Dinamika Sosial Politik di Indonesia, Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1,
2012, hlm. 11
21
amanat reformasi. Perubahan yang didambakan ialah mendirikan suatu
sistem dimana partai-partai tidak terlalu mendominasi kehidupan politik
secara berlebihan, akan tetapi tidak member peluang kepada eksekutif
untuk menjadi super power. Sebaliknya kekuatan eksekutif dan legislatif
diharapkan menjadi setara atau nevengeschikt sebagaimana diamanatkan
dalam UUD NRI 1945.36Jika ditarik lebih jauh maka dapat dilihat
bahwasanya demokrasi dalam konteks Indonesia saat ini merupakan suatu
rangkaian terhadap penegasan HAM dimana semua orsng memiliki
kesempatan yang sama.37
B. Sistem Perwakilan.
1. Pengertian Sistem Perwakilan
Perwakilan ialah suatu bentuk hubungan antara dua pihak atau lebih,
yakni antara wakil dan terwakili yang dimana orang yang mewakili memiliki
wewenang dari orang yang mewakilkan.38Perwakilan merupakan orang yang
mewakili kelompok untuk mencapai suatu tujuan bersama, prinsip perwakilan
menggambarkan para politisi sebagai pelayan rakyat dan memberi mereka
tanggung jawab untuk bertindak bagi kepentingan diri mereka yang telah
memilihnya Konsep perwakilan adalah, secara luas, sebuah hubungan melalui
36Miriam Budiardjo, Op. Cit, hlm. 449-450 37Jailani, Sistem Demokrasi Di Indonesia Ditinjau Dari Sudut Hukum Ketatanegaraan, Jurnal Inovatif,
Volume VIII Nomor I Januari 2015, hlm. 145 38Abdi Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indoensia Pasca Perubahan UUD 1945 Sistem Perwakilan Di
Indonesia Dan Masa Depan MPR, Fokus Media, Bandung : 2013, hlm. 54-56.
22
mana seseorang atau sebuah kelompok membela, atau bertindak untuk
kepentingan sekumpulan masyarakat yang lebih luas.39 Arbi Sanit
menjabarkan bahwa sistem perwakilan diartikan sebagai hubungan antara dua
pihak dalam artian wakil dengan terwakili dimana wakil memegang kewengan
untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang
dibuat bersama si terwakili, Artinya yang menjadi fokus perhatian ialah
kaitanya dengan aspirasi politik.40
2. Jenis Sistem Perwakilan
Dalam diskursus ilmu hukum tata negara dikenal beberapa bentuk
sistem perwakilan, yang kemudian akan penulis bahas sebagaimana berikut
ini, Sistem yang pertama yaitu sistem distrik, atau disebut juga sistem the
winner’s take all. Dinamakan demikian karena wilayah negara dibagi menjadi
distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan (dapil) yang jumlahnya
sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang diperlukan
untuk dipilih. Artinya setiap distrik atau daerah pemilihan akan diwakili oleh
hanya satu orang wakil, oleh karena itu sistem ini dinamakan juga single
member constituencies.41
39Eko Priyo Purnomo, Heru Kusuma Bakti,Sistem Perwakilan
https://www.researchgate.net/publication/325525338_SISTEM_PERWAKILAN_PEMILIHAN_DAN
_VOTING_YANG_ADA_DI_INDONESIA/link/5b11efeda6fdcc4611dbee0a/download , Diakses 12
Desember 2019. 40Ibid, hlm. 54 41Jimly asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Cet. 5 Rajawali Pers :
2013, hlm. 424
https://www.researchgate.net/publication/325525338_SISTEM_PERWAKILAN_PEMILIHAN_DAN_VOTING_YANG_ADA_DI_INDONESIA/link/5b11efeda6fdcc4611dbee0a/downloadhttps://www.researchgate.net/publication/325525338_SISTEM_PERWAKILAN_PEMILIHAN_DAN_VOTING_YANG_ADA_DI_INDONESIA/link/5b11efeda6fdcc4611dbee0a/download
23
Sistem yang kedua yaitu sistem perwakilan berimbang/proporsional,
persentase kursi dibagi ke tiap-tiap partai politik,sesuai dengan presentase
jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Pembagian kursi tersebut
tergantung pada pada seberapa jumlah suara yang didapat setiap partai
politik.42
3. Konsep Lembaga Perwakilan
Sejak awal munculnya gagasan demokrasi perwakilan, muncul
pemikiran untuk menciptakan wadah demokrasi perwakilan yang bertugas
menghasilkan keputusan-keputusan penting dalam urusan bernegara demi
kesejahteraan warga yang diwakili. Pada umumnya dikenal ada 2 (dua)
macam lembaga perwakilan atau parlemen, yaitu parlemen dua kamar
(bicameral parliament)) dan parlemen satu kamar (unicameral parliament).43
Adapun pejelasan kedua konsep lembaga perwakilan tersebut ialah sebagai
berikut :
a. Unikameral
Sistem unikameral, sistem ini terpusat pada satu badan legislatif
tertinggi dalam struktur negara. Isi aturan menganai fungsi dan tugas
parlemen unikameral ini beragam dan bervariasi dari satu negara ke negara
lain, tetapi pada pokoknya bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif
42Jimly Asshidiqie, Konstitusi Bernegara Praksis Kenegaraan Bermartabat Dan Demokratis, Malang,
Setara Press :Cet.22016, hlm. 225-226. 43Menurut Mahmuf MD, dalam, Miki Pirmansyah, Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam
Sistem Bikameral Di Indonesia, Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 1 Juni 2014, hlm. 167
24
tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih
oleh rakyat. Dalam sistem unikameral, struktur parlemen tipe unikameral (satu
kamar) ini, tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seperti adanya DPR
dan Senat, ataupun Majelis Tinggi dan Majelis Rendah, namun justru sistem
unikameral inilah yang sesungguhnya lebih popular karena sebagian besar
dunia sekarang sedang menganut sistem ini. Meskipun banyak negara-negara
yang memakai sistem ini, tetapi sistem satu kamar ini hanya popular
dikalangan negara yang berukuran kecil, karena masalah keseimbangan
kekuatan politik sangat kecil kesulitannya untuk memecahkannya daripada
dalam suatu negara besar.44 Prinsip ini oleh kalangan penganutnya dianggap
sesuai dengan konsep demokrasi. Lagi pula prosedur pengambilan
keputusanya berjalan relatif cepat.45 Dari sistem unikameral kita beranjak
pada satu sistem yang lainya yaitu sistem bikameral.
b. Bikameral.
Model pada bentuk bikameral pada hakikatnya mengidealkan adanya
dua kamar di dalam lembaga perwakilan. Doktrin ini berasal dari teori klasik
Aristoteles dan Polybus yang berargumentasi, bahwa pemerintahan yang baik
adalah gabungan antara prinsip demokrasi dan oligarki. Namun, pandangan
mengenai bikameral ini dikemukakan pertama kali oleh Jeremy Betham. Dan
44Unknown, Lembaga Perwakilan Dalam Negara Kesatuan,
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/10957/05.3%20bab%203.pdf?sequence=7&isAllo
wed=y , Diakses 18 Desember 2019, hlm 62-63. 45Miriam Budiarjo, Op. Cit, hlm. 319
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/10957/05.3%20bab%203.pdf?sequence=7&isAllowed=yhttps://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/10957/05.3%20bab%203.pdf?sequence=7&isAllowed=y
25
bentuk parlemen dua kamar inilah yang banyak digunakan oleh negara
modern saat ini.46 selanjutnya, sistem bikameral berkembangan menjadi
beberapa turunan sebagimana pandangan Giovani Sartori membagi model
bikameral ini menjadi tiga jenis, yaitu (1) Sistem Bikameral yang lemah
(asymmetric bicameralism/weak bicameralism/soft bicameralism), yaitu
apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya; (2)
Sistem Bikameral yang simetris atau relatif sama kuat (symmetric
bicameralis/strong bicameralism) apabila kekuatan antara kedua kamarnya
nyaris sama kuat; dan (3) perfect bicameralism, yaitu apablia kekuatan antata
kedua kamar betul- betul seimbang.47
4. Dewan Perwakilan Rakyat.
DPR adalah lembaga negara sebagai lembaga perwakilan
rakyat(parlemen). Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014
memberikan definisi bahwa Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya
disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimanadimaksud
dalam UndangUUD NRI 1945.48
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yangberkedudukan sebagai
46Saldi Isra, DalamYokotani, Sistem Bikameral Di Lembaga Legislatif Berdasarkan Tugas Dan
Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (Perbandingan dengan Amerika Serikat, Inggris, dan
Argentina), Jurnal Hukum Progresif: Volume XI/No.1/Juni 2017, hlm. 1851. 47Yokotani, Sistem Bikameral Di Lembaga Legislatif Berdasarkan Tugas Dan Kewenangan Dewan
Perwakilan Daerah (Perbandingan dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Argentina) Jurnal Hukum
Progresif: Volume XI/No.1/Juni 2017, hlm. 1851-1852 48 Pasal 1 Angka 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
26
lembaga negara. DPR beranggotakan para wakilrakyat dari partai politik yang
dipilih melalui pemilihan umum. Seluruhanggota Dewan Perwakilan kakyat
menjadi anggota MPR. DPRmempunyai fungsi:
a) Legislasi, yaitu membentuk undang-undang;
b) Anggaran, yaitu menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c) Pengawasan, yaitu mengawasi jalannya pemerintahan.49
Menurut Akbar Kalelola DPR adalah lembaga yang anggotanya dipilih
oleh rakyat dalam pemilu, memiliki fungsi legislasi(membuat undang-undang),
menyusun anggaran dan pengawasan kerja pemerintah.50 Sedang ahli yang lain
memberikan definisi yang hampir mirip sebagaimana didefinikan oleh Charles
Simabura, DPR ialah lembaga negara penampung aspirasi serta pemikiran rakyat
dan juga jembatan yuridis antara rakyat denganpemerintahaneksekutif di dalam
tata ruang kekuasaan lembaga negara. Kehadiran lembagaperwakilan rakyat
merupakan wujud dari demokrasi.51Kehadiran lembaga perwakilan ini tentunya
merupakan sarana guna menampung berbagai aspirasi rakyat yang sangat
beraneka ragam. Jelas bahwasanya Dewan Perwakilan Rakyat yang ada harus
mampu menjadi suatu badan yang sangat representatif bagi berbagai kalangan
terlepas itu perempuan maupun lelaki, Jangan sampai adanya badan perwakilan
49Sri Soemantri, dalam, Zaki ulya, Hukum Kelembagaan Negara (Kajian teoritis perkembangan
lembaga negara pasca reformasi, Langsa : 2017, hlm 33. 50Akbar Kaelola, Kamus Istilah Politik, Cakrawala, Yogyakarta : 2009, hlm 86. 51Charles Simabura, Parlemen Indonesia:Lintasan Sejarah dan Sistemnya, RajaGrafindoPersada,
Jakarta : 2011, hlm 23.
27
tersebut malah mensubordinasi salah satu kalangan terkhusus
perempuan.Keterlibatan dan partisipasi perempuan baik di parpol maupun di
lembaga legislatif mutlak dibutuhkan. Sebab partisipasi wanita akan memberikan
sumbangan yang lebih lengkap dan sempurna pada partai maupun dewan dalam
melaksanakan amanat umat.52 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang
partai politik, merupakan titik tolok dimana ada kemajuan terkait keterlibatan
aktif peremouan di partai politik.
Jika kita berbicara mengenai keterlibatan perempuan Indonesia dalam ranah atau
dunia publik (Politik), maka yang diperbincangkan sebenarnya bukan suatu yang
secara historis asing sama sekali dalam perjalanan perempuanIndonesia.53 Adapun
keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan rakyat dari masa kemasa ialah
sebagai berikut :
Jumlah Keterwakilan perempuan di DPR RI sebelum Reformasi, pemilu 1971
sebanyak 7,8%, pada pemilu 1977 sebanyak 6,3%, pada pemilu 1982 sebanyak
8,5%, pada pemilu 1987sebanyak 13%, pada pemilu 1992 sebanyak 12,5%.54
Pada masa Era Reformasi keterwakilan perempuan secara berturut-turut
sebagaimana berikut, pemilu 1999 sebanyak 9%, pemilu 2004 sebanyak 11%,
52Catur Wido Haruni, Kiprah Wanita Dalam DUnia Politik Dan Hukum, Jurnal Legality, Vol.
5/IV/Agustus 1996, hlm 71. 53Louise Edward dalam Mizbah Zulfa Elizabeth, Resistensi Perempuan Parlemen Perjuangan Menuju
Kesetaraan Gender, LP3S, Depok : 2018, hlm 1. 54Mizbah Zulfa Elizabeth, Op. Cit, hlm. 53
28
pemilu 2009 sebanyak 18%, pemilu 2014 sebanyak 17%,55 dan pada pemilu 2019
sebanyak 20,5%
C. Affirmative Action
1. Affirmative ActionYang Pernah Berlaku di Indonesia
Affirmative action ialah sutau kebijakan yang digunakan untuk
mendorong suatu hal yang dianggap tertinggal. Berkenaan dengan hal tersebut
di Indonesia sendiri pernah melakukan kebijakan afirmasi dibeberapa sektor
diantaranya kebijakan afirmasi pendidikan tinggi untuk papua yang
dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi pemuda di papua dalam
mengenyam pendidikan tinggi serta untuk menjawab tantangan rendahnya
tingkat strata satu pemuda-pemuda Papua.56Pengaturan terkait dengan
kebijakan afirmasi terdapat pula dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, dan Pasal 28 Perturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat.57
55Lampiran peraturan menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak republik Indonesia
nomor 10 tahun 2015 tentang grand design peningkatan keterwakilan perempuan di dewan
perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah pada pemilu
tahun 2019. 56Ardian Bakhtiar Rivai, Kebijakan Afirmasi Pendidikan Tinggi Untuk Papua, Jurnal CosmoGov,
Vol.1 No.2, Oktober 2015, ISSN 2442-5958, hlm. 285
57 Zulfah Latuconsina, Afirmasi Kebijakan Pemerintah dalam Fasilitasi Kerja bagi Penyandang
Disabilitas ,Pandecta. Vol. 9, Nomor 2, Desember 2014, ISSN 1907-8919, hlm 205
29
2. Affirmative ActionTerhadap Perempuan di DPR
Sebagai bagian gerakan demokrasi, perjuangan perempuan untuk
meningkatkan jumlah perempuan di parlemen (DPR) harus dilakukan dengan
cara-cara demokratis, yakni melalui pemilu yang jujur dan adil. Di sinilah
perlunya gerakan peningkatan keterwakilan perempuan memilih sistem
pemilu yang memberi kesempatan lebih terbuka bagi para calon perempuan
untuk memasuki parlemen.58 Perjuangan terkait dengan usaha untuk
melakukan peningkatan keterwakilan perempuan di DPR terlihat dari adanya
kebijakan afirmatif bagi perempuan untuk melenggang masuk DPR.
Pengaturan yang lebih penting dalam rangka affirmative actionagar
perempuan dapat semakin berkiprah di lembaga legislatif adalah ketentuan
awal dimana memang memiliki dampak politik besar terhadap upaya
marginalisasi perempuan dibidang politik. Hal ini merupakan satu revolusi
yang harus dilakukan parpol, yang tidak hanya bicara masalah 30%.59 Kuota
bagi perempuan yang diatur dalam pasal 65 ayat 1 UU nomor 12 Tahun 2003
adalah bukan sebuah jatah, tapi perjungan untuk implementasinya. Ia
merupakan sarana dan salah satu pintu pembuka halangan yang selama ini
dihadapi oleh perempuan untuk berpartisipasi di bidang politik.60
58Op.cit, Ramlan Subakti, dkk, Hlm 5. 59Nur Zuriah, Refleksi Hak-Hak Politik Perempuan Peluang dan Prospeknya, Jurnal Legality, Vol 12.
No. 1 maret-Agustus 2004, hlm. 3 60Ibid
30
Mengenai daftar bakal paling sedikit 30% keterwakilan perempuan
secara berturut-turut perubahan Undang-Undang pemilu tetap mengatur terkait
hal terbsebut. Pasal 53 UU Pemilu No 10 Tahun 2008 menyatakan: ‟Daftar
bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30%
(tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan‟.
Ketentuan lebih maju lagi dalam affirmative actionadalah adanya penerapan
zipper system. Sistem tersebut mengatur bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon
terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan. Pasal 55 ayat (2) UU
No. 10 Tahun 2008 menyatakan: „‟Di dalam daftar bakal calon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-
kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Pada ayat (1) mengatur
bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor
urut.61
D. Pengaturan Keterwakilan Perempuan di Parlemen di Beberapa Negara.
1. Prancis
Aturan terkait dengan kuota perempuan di parlemen Prancis termaktub dalam
Electoral Code Of France 2015, Law No. 88-227
Members of the National Assembly are elected in 577 single-member
constituencies, according to a two-round majoritarian system. The
difference between the number of candidates of each sex that a party or
61Ignatius Mulyono, Ketua Badan Legislasi DPRRI, Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel RUU
PemiluPeluang untuk Keterwakilan Perempuan, Dep. Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan
Anak DPP Partai Demokrat di Hotel Crown, Jakarta, 2 Februari 2010.
31
group of parties present for single-member constituency elections can not
be greater than 2% (Law No. 88-227, Article 9 (1)).
Non-compliance with 50% parity rule (only 2% difference allowed
between the number of female and male candidates) will result in a
financial penalty calculated in the following way: the public funding
provided to parties based on the number of votes they receive in the first
round of elections will be decreased ‘by a percentage equivalent to three
quarters of the difference between the total number of candidates of each
sex, out of the total number of candidates’. (Article 9-1).62
Artinya :Anggota Majelis Nasional dipilih di 577 daerah pemilihan
dengan 1 anggota, menurut sistem mayoritas dua putaran.
Perbedaan antara jumlah kandidat dari setiap jenis kelamin oleh
suatu partai atau kelompok partai untuk pemillihan konstituan
yang beranggotakan tunggal tidak boleh lebih dari 2% (UU No
88-227, Pasal 9 (1)). Ketidakpatuhan dengan 50% aturan
paritas (hanya selisih 2% saja yang dibolehkan perbedaan
jumlah kandidat wanita dan pria) akan menyebabkan penalty
finalsial dengan penghitungan sebagai berikut : dana public yang
diberikan kepada partai berdasarkan jumlah suara yang mereka
terima diputaran pertama pada pemilihan, akan dikurangi dengan
presentase yang setara dengan 3 4⁄ dari selisih antara jumlah total
kandidat dari tiap jenis kelamin, dari total jumlah kandidat (Pasal
9-1).
2. Belgia
Di Belgia, Electoral Act yang diundangkan tanggal 24 Mei 1994 membatasi
setiap parpol untuk tidak mengajukan caleg yang berjenis kelamin sama
62IDEA, https://www.idea.int/data-tools/data/gender-quotas/country-view/86/35, diakses 13 Desember
2019
https://www.idea.int/data-tools/data/gender-quotas/country-view/86/35
32
lebih dari 2/3 bagian. Jika sebuah parpol tidak mampu melaksanakan UU
ini, daftar caleg harus dibiarkan kosong atau bahkan dianggap tidak sah
(Global Database of Quotas for Women, dikutip oleh Norris,
2003).63Belgium (Kingdom of Belgium) has a Bicameral parliament with
legislated quotas for the single/lower house and upper house and at the sub-
national level. 63 of 150 (42%) seats in the Chambre des Représentants /
House of Representatives are held by women.64(Kerajaan Belgia memiliki
parlemen bicameral dengan kuota untuk diberikan kepada majelis
rendah/majlis tinggi dan majlis tinggi ditingkat regional. 63 dari 150 kursi
(42%) dari kursi di Chambre des Represantants/House of Representatitive
dimiliki oleh wanita.)
Aturan terkait dengan jumlah kuota di parlemen Belgia diatur dalam Code
Electoral Algemeen Kieswetboek 2007 sebagaimana berikut :
150 members of the House of Representatives are elected using the list
proportional representation system in multi-member constituencies. On
electoral lists, the difference between the number of candidates of each
sex should not be more than one. This also applies to the list of alternates.
The 2 top candidates on candidate lists and on the lists of alternates
cannot be of the same sex (Electoral Code, Article 117bis).The two top
candidates on candidate lists and on the lists of alternates cannot be of the
same sex (Electoral Code, Article 117bis).65
Artinya :
63IbidAndayani (Pengajar IAIN Sunan Kalijaga), Efektivitas kuota Perempuan dalam Pemilihan
Umum, Kompas : 19 Januari 2004. 64IDEA, https://www.idea.int/data-tools/data/gender-quotas/country-view/60/35, diakses 13 Desember
2019 65Code Electoral Algemeen Kieswetboek 2007
https://www.idea.int/data-tools/data/gender-quotas/country-view/60/35
33
150 anggota DPR dipilih menggunakan sistem daftar perwakilan
proporsional di konstituensi multi-anggota. Pada daftar pemilihan,
perbedaan antara jumlah kandidat perjenis kelamin tidak boleh
lebih dari satu. Ini juga berlaku untuk daftar alternatif. 2 kandidat
teratas dalam daftar kandidat pada daftar alternatif mungkin tidak
berjenis kelamin sama (Kode Pemilihan, Pasal 117bis). Parpol
tidak dapat menyangkal pada daftar pemilihan, perbedaan antara
jumlah jenis kelamin tidak boleh lebih dari satu. Ini juga berlaku
untuk daftar alternative. 2 pada daftar kandidat dan daftar
alternative mungkin tidak memiliki jenis kelamin yang sama
(Pasal 117bis). 2 kandidat teratas pada daftar kandidat dan pada
daftar alternatif tidak boleh memiliki jenis kelamin yang sama
(Pasal 117bis).
3. Timor Leste
para perempuan di parlemen Timor Leste juga berhasil meloloskan UU
Pemilihan Parlemen pada 2012. UU ini memberikan peluang lebih lebar bagi
perempuan yang hendak duduk di kursi dewan. Sebab partai wajib mengusung
satu perempuan di antara tiga kandidat. Dengan cara itu, jumlah perempuan
yang duduk di parlemen meningkat hingga 39 persen dari sebelumnya yang
hanya 27 persen.66 Aturan terkait dengan kuota perempuan terkandung dalam
pasal 12 ayat 3 Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 Timur Leste Tentang
Pemilihan Parlemen Nasioanal sebagaimana berikut :
66kolaborasi antara Jaring.id dengan radio Rakambia, Timor Leste, Suara Nyaring Perempuan
Parlemen Timor Leste, https://jaring.id/politik , Diakses 20 Desember 2019.
https://jaring.id/politik/suara-nyaring-perempuan-parlemen-timor-leste/
34
As listas de candidatos efetivos e suplentes devem incluir, pelo menos,
uma mulher por cada conjunto de três candidatos, sob pena de rejeição. 67
(Daftar kandidat penuh dan alternatif harus menyertakan setidaknya satu
wanita untuk setiap set tiga kandidat, di bawah penalti penolakan.)
67Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Timor Leste tentang perubahan Ke empat Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Parlemen Nasional (LEI N.º 9/2017de 5 de Maio Quarta
Alteração À Lei N.º 6/2006, (Lei Eleitoral Para O Parlamento Nacional)