Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Disiplin Belajar
1. Pengertian Disiplin Belajar
Disiplin belajar adalah kepatuhan dari siswa untuk melaksanakan
kewajiban belajar sehingga diperoleh perubahan pada dirinya, baik itu berupa
pengetahuan, perbuatan maupun sikap baik itu belajar di rumah maupun belajar di
sekolah (Sumantri, 2010). Disiplin belajar diartikan lebih khusus sebagai bentuk
kesadaran tindakan untuk belajar seperti disiplin mengikuti pelajaran, ketepatan
dalam menyelesaikan tugas, kedisiplinan dalam mengikuti ujian, kedisiplinan
dalam menepati jadwal belajar, kedisiplinan dalam mentaati tata tertib yang
berpengaruh langsung terhadap cara dan teknik peserta didik dalam belajar yang
hasilnya dapat dilihat dari prestasi belajar yang dicapai (Sholihat, 2016).
Disiplin belajar bagi siswa diartikan lebih khusus sebagai tindakan yang
menunjukkan ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan, baik tertulis maupun tidak
tertulis dalam kegiatan mencari pengetahuan dan kecakapan baru. Kompri (2017)
menyatakan bahwa disiplin belajar adalah kesadaran diri untuk mengendalikan
atau mengontrol dirinya untuk sungguh-sungguh belajar. Menurut Ardi (2012),
disiplin belajar adalah hal yang berpengaruh terhadap keberhasilan siswa, dengan
demikian dapat dipahami bahwa disiplin belajar adalah mentaati tata tertib, atau
kepatuhan dalam pemanfaatan waktu untuk belajar secara efektif dan efisien.
Dimyati dan Mudjiono (2015) mengartikan disiplin belajar adalah suatu sikap,
25
tingkah laku dan perbuatan peserta didik dalam melakukan aktivitas belajar yang
sesuai dengan keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, dan norma-norma yang
telah ditetapkan, baik persetujuan tertulis maupun tidak tertulis antara peserta
didik dengan tenaga pengajar ataupun peraturan yang dibuat sendiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin belajar
adalah kepatuhan siswa untuk melaksanakan kewajiban belajar secara sadar
sehingga diperoleh perubahan pada dirinya, baik itu berupa pengetahuan,
perbuatan maupun sikap baik itu belajar di rumah maupun belajar di sekolah.
2. Aspek-aspek Disiplin Belajar
Aspek-aspek disiplin belajar yang dikemukakan oleh Sumantri (2010) antara lain:
a. Disiplin belajar di rumah, antara lain meliputi:
1) Belajar setiap hari.
Berkenaan dengan kewajiban belajar, maka bimbingan yang dapat
dilakukan orangtua adalah, anak diminta untuk membaca/mengulang kembali
pelajaran yang diterimanya dari sekolah setiap hari. Dengan kata lain, jangan
biarkan anak melakukan kebiasaan belajar kalau hendak ulangan atau ujian
saja. Hal ini dimaksudkan agar anak akan lebih mudah mengingat pelajaran.
Perlu diingatkan kepada anak bahwa belajar setiap hari meski hanya tiga
puluh menit akan lebih baik hasilnya; dibandingkan dengan belajar selama
tiga jam, tetapi seminggu sekali (Kompri, 2017).
26
2) Mengerjakan pekerjaan rumah
Agar siswa berhasil dalam belajarnya, perlulah mengerjakan tugas
dengan sebaik-baiknya. Tugas itu mencakup mengerjakan PR (Slameto,
2013). Menurut Unarajan (dalam Yuliyantika, 2017) menjelaskan siswa yang
terbiasa dalam disiplin belajar akan menggunakan waktu sebaik-baiknya di
rumah maupun di sekolah sehingga akan menunjukkan kesiapannya dalam
proses pembelajaran di sekolah, sedangkan siswa yang tidak disiplin belajar
mereka kurang menunjukkan kesiapannya dalam belajar dan menunjukkan
perilaku yang tidak baik dalam proses pembelajaran seperti tidak
mengerjakan PR.
3) Membuat laporan.
Siswa menyerahkan laporan tugas dan menjawab pertanyaan
sehubungan dengan tugas yang dikumpulkannya (Dimyati & Mudjiono,
2015).
4) Belajar berkelompok.
Dengan metode ini memberikan siswa bertanggungjawab mempelajari
materi pelajaran dan menjabarkan isinya dalam sebuah kelompok tanpa
campur tangan guru (Kompri, 2017). Menurut Slameto (2013) dengan belajar
kelompok mendapatkan situasi belajar yang sebaik-baiknya bila kelompok
siswa yang sedang belajar itu merasakan bahwa mereka berbuat sesuatu
berdasarkan inisiatif dan kehendak sendiri, menerima tanggungjawab
bersama. Kadang-kadang banyak masalah yang tidak dapat dipecahkan
sendiri, maka perlu bantuan orang lain. Bekerja di dalam kelompok dapat
27
juga meningkatkan cara berpikir mereka sehingga dapat memecahkan
masalah dengan lebih baik dan lancar (Slameto, 2013). Menurut Gunarsa
(1992) dengan belajar kelompok ada diskusi kelompok, anak-anak mendapat
kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya dengan teman sekelompok.
b. Disiplin belajar di sekolah antara lain meliputi:
1) Ketepatan waktu datang ke sekolah.
Sistim sosial di sekolah yang terbentuk dan perangkat tata tertib dan
peraturan sekolah adalah sistem nilai yang mengikat dan mengendalikan
perilaku anak, yang menuntut anak untuk tunduk dan mentaatinya. Di sekolah
semua kegiatan diatur dengan sebuah rencana yang sistimatis dan terpadu.
Anak tidak bisa masuk dan pulang sesuka hatinya (Djamarah, 2015). Disiplin
siswa dapat diketahui dengan salah satu ciri-ciri yaitu masuk kelas sesuai
dengan jadwal yang ditetapkan (Setiawan, 2017).
2) Keaktifan mengikuti pelajaran di kelas.
Menurut Kompri (2017) perlu adanya kegiatan hubungan timbal balik
(interaksi) antara guru dengan siswa, yang dapat meningkatkan cara belajar
siswa, sehingga dapat mencapai hasil yang diinginkan. Active learning
(belajar aktif) menuntun siswa untuk terlibat secara aktif mengikuti proses
belajar di kelas. Dalam kegiatan pembelajaran, siswa juga diharapkan ikut
berpartisipasi aktif tidak hanya sekedar hadir saja tanpa berbuat apa-apa atau
mengantuk saat pelajaran berlangsung, namun sebaliknya seorang siswa
harus sungguh-sungguh dan terlebih dahulu mempersiapkan diri dalam
28
belajar. Dengan kata lain, bahwa dalam pembelajaran diperlukan adanya
aktivitas, tanpa aktivitas itu tidak mungkin berjalan dengan baik.
3) Ketaatan mengikuti peraturan di kelas maupun di sekolah.
Peserta didik yang memiliki sikap mentaati semua peraturan serta
norma-norma yang ditetapkan dalam suatu situasi belajar, sehingga peserta
dapat dengan tenteram mengikuti belajar dan akan cenderung memperoleh
hasil belajar yang maksimal (Rohiat, 2010). Di sekolah semua kegiatan diatur
dengan sebuah rencana yang sistematis dan terpadu. Pulang pergi anak,
keluar masuk guru, pergantian jam pelajaran di setiap kelas, waktu istirahat,
dan lama tidaknya pemberian bahan pelajaran oleh guru di masing-masing
kelas, diatur dengan mempertimbangkan berbagai segi dan untung ruginya.
Anak tidak bisa masuk dan pulang sesuka hatinya. Juga tidak dibenarkan
mengabaikan tugas yang diberikan guru. Berbicara sesuka hati ketika
menerima pelajaran adalah perilaku anak yang harus dikendalikan (Djamarah,
2015).
4) Menggunakan waktu luang.
Disiplin dapat melahirkan semangat menghargai waktu, bukan menyia-
nyiakan waktu berlalu dalam kehampaan. Disiplin belajar adalah mentaati
tata tertib, atau kepatuhan dalam pemanfaatan waktu untuk belajar secara
efektif dan efisien, dapat membuat rencana alokasi waktu menurut prioritas
kepentingan masing-masing kegiatan belajar, mulai dari kegiatan yang
terpenting sampai dengan yang kurang penting (Ardi, 2012). Menurut
Unarajan (dalam Yuliyantika, 2017) siswa yang terbiasa dalam disiplin
29
belajar akan menggunakan waktu sebaik-baiknya di rumah maupun di
sekolah sehingga akan menunjukkan kesiapannya dalam proses pembelajaran
di sekolah, sedangkan siswa yang tidak disiplin belajar mereka kurang
menunjukkan kesiapannya dalam belajar dan menunjukkan perilaku yang
tidak baik dalam proses pembelajaran.
Menurut Kompri (2017), untuk menumbuhkan kedisiplinan dalam belajar,
maka siswa harus membiasakan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengikuti pedoman umum untuk belajar
1) Keteraturan dalam belajar.
Keteraturan merupakan unsur pokok dalam pelaksanaan disiplin belajar,
karena dengan belajar yang teratur siswa akan menemukan sendiri cara
belajar yang baik dan tentunya akan berpengaruh terhadap efektivitas belajar
siswa.
2) Konsentrasi.
Konsentrasi merupakan pemusatan pikiran terhadap sesuatu dengan
mengesampingkan semua masalah yang tidak berhubungan. Untuk itu, jika
seorang siswa akan mengkonsentrasikan dirinya dalam kegiatan belajar, maka
siswa harus memusatkan pikirannya terhadap satu pelajaran yang sedang
dihadapinya, dan ia harus berusaha mengesampingkan semua hal yang tidak
berhubungan dengan proses belajar yang akan dihadapi.
30
3) Tertib dalam belajar.
Tertib dalam belajar adalah apabila seorang siswa menyusun tata tertib dalam
belajar sehingga siswa dapat belajar dengan tertib, kontinu, dan konsisten
sesuai dengan tata tertib yang telah dibuatnya.
4) Tertib dalam menggunakan perpustakaan.
Tidak ada kegiatan belajar yang dapat dilakukan tanpa membaca dan sumber
bacaan adalah buku. Dalam menggunakan buku, anak harus mencintai dan
menganggap buku sebagai sahabat. Seseorang dapat mencintai buku-buku
dan mereka senantiasa merupakan sahabat yang abadi.
b. Cara mengatur waktu
1) Pengelompokkan waktu.
Salah satu yang dihadapi anak adalah penggunaan waktu dalam belajar.
Banyak anak yang mengeluh kekurangan waktu untuk belajar, tetapi
sebenarnya anak kurang memiliki keteraturan dan disiplin untuk
menggunakan waktu secara efektif dan efisien.
2) Penjatahan waktu.
Untuk belajar secara teratur setiap hari harus mempunyai rencana kegiatan.
Banyak anak yang membuang waktu untuk memikirkan mata pelajaran,
karena kebingungan apa yang sebaiknya dipelajari. Sehingga hal ini akan
membuang waktu secara sia-sia
Berdasarkan beberapa aspek disiplin belajar di atas, peneliti mengacu pada
aspek disiplin belajar yang ada di dalam Sumantri (2010) bahwa ciri-ciri orang
yang disiplin dalam belajar adalah: 1) disiplin belajar di rumah yang antara lain
31
meliputi: belajar setiap hari, mengerjakan pekerjaan rumah, membuat laporan; 2)
disiplin belajar di sekolah yang antara lain meliputi: ketepatan waktu datang ke
sekolah, keaktifan mengikuti pelajaran di kelas, ketaatan mengikuti peraturan di
kelas maupun sekolah, menggunakan waktu luang.
Aspek belajar kelompok tidak dimasukkan dalam aspek disiplin belajar dalam
penelitian ini karena disiplin belajar yang diamati adalah yang berasal dari faktor
internal dalam diri siswa. Syah (2011), menyatakan bahwa dalam perspektif
psikologis kognitif, sesuatu yang berasal dari dalam diri atau intrinsik lebih
signfikan karena lebih murni dan bersifat langgeng serta tidak bergantung pada
rongrongan atau pengaruh orang lain.
Alasan peneliti memilih aspek disiplin belajar dari Sumantri (2010), karena
penjelasannya mudah dipahami oleh peneliti, dan dapat digunakan untuk
mengungkapkan variabel disiplin belajar siswa.
3. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Disiplin Belajar
Suryabrata (dalam Khodijah, 2014) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi disiplin belajar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pembelajar, yang meliputi:
1) Faktor-faktor fisiologis:
a) Keadaan tonus jasmani
Keadaan tonus jasmani berpengaruh pada kesiapan dan aktivitas
belajar. Orang yang keadaan jasmaninya segar akan siap dan aktif dalam
belajarnya, sebaliknya orang yang keadaan jasmaninya lesu dan lelah
akan mengalami kesulitan untuk menyiapkan diri dan melakukan
32
aktivitas belajar. Keadaan tonus jasmani ini sangat berkaitan dengan
asupan nutrisi yang diterima dan penyakit kronis yang diderita.
Kekurangan nutrisi akan menimbulkan kelesuan lekas mengantuk, lekas
lelah, dan sebagainya, sehingga berakibat pada ketidaksiapan dan
kelesuan belajar. Adanya penyakit kronis yang diderita oleh seseorang
juga akan sangat mengganggu aktivitas belajar.
b) Pancaindra
Pancaindra merupakan alat belajar. Karenanya berfungsinya indra
dengan baik merupakan syarat untuk dapatnya belajar itu berlangsung
dengan baik. Indra yang terpenting adalah mata dan telinga karena kedua
indra inilah yang merupakan pintu gerbang masuknya berbagai informasi
yang diperlukan dalam proses belajar
2) Faktor-faktor psikologis:
a) Minat
Adanya minat terhadap objek yang dipelajari akan mendorong
orang untuk mempelajari sesuatu dan mencapai hasil belajar yang
maksimal. Minat merupakan komponen psikis yang berperan mendorong
seseorang untuk meraih tujuan yang diinginkan, sehingga siswa bersedia
melakukan kegiatan berkisar obyek yang diminati.
b) Motivasi
Motivasi bukan hanya berperanan dalam belajar di sekolah,
melainkan juga dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Motivasi
adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu (Winkel, 2015).
33
Motivasi belajar seseorang akan menentukan hasil belajar yang
dicapainya. Bahkan dua orang yang sama-sama menunjukkan perilaku
belajar yang sama, namun memiliki motivasi belajar yang berbeda akan
mendapat hasil belajar yang relatif berbeda (Khodijah, 2014).
c) Intelegensi
Intelegensi merupakan modal utama dalam melakukan aktivitas belajar
dan mencapai hasil belajar yang maksimal. Orang berinteligensi rendah
tidak akan mungkin mencapai hasil belajar yang melebihi orang yang
berinteligensi tinggi (Khodijah, 2014).
d) Memori
Memori merupakan kemampuan untuk merekam, menyimpan, dan
mengungkapkan kembali apa yang telah dipelajari akan sangat
membantu dalam proses belajar dan mencapai hasil belajar yang lebih
baik (Khodijah, 2014).
e) Emosi
Penelitian tentang otak menunjukkan bahwa emosi yang positif akan
sangat membantu kerja saraf otak untuk “merekatkan” apa yang
dipelajari ke dalam memori (Khodijah, 2014).
b. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pembelajar, yang meliputi:
1) Faktor-faktor sosial:
a) Orangtua
Diakui bahwa orangtua sangat berperan penting dalam belajar
anak. Pola asuh orangtua, fasilitas belajar yang disediakan, perhatian, dan
34
motivasi merupakan dukungan belajar yang harus diberikan orangtua
untuk kesuksesan belajar anak (Khodijah, 2014). Menurut Baumrind
(dalam Santrock, 2015) pola asuh dibagi menjadi empat: 1) Pola asuh
Otoriter (Authoritarian parenting) ialah suatu gaya membatasi dan
menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah
orangtua dan menghormati pekerjaan dan usaha; 2) Pola asuh yang
autoritatif (Authoritative parenting) ialah suatu sikap yang mendorong
anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan
pengendalian atas tindakan-tindakan mereka; 3) Pola asuh permissive-
indulgent ialah suatu gaya pengasuhan di mana orangtua sangat terlibat
dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau
kendali terhadap mereka; 4) Pola asuh permissive-indifferent ialah suatu
gaya dimana orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.
b) Guru
Terutama kompetensi pribadi dan profesional guru sangat berpengaruh
pada proses dan hasil belajar yang dicapai anak didik.
c) Teman-teman atau orang-orang di sekitar
Teman-teman atau orang-orang di sekitar lingkungan belajar, kehadiran
orang lain secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh
buruk atau baik pada belajar seseorang.
35
2) Faktor-faktor non-sosial:
a) Keadaan udara, suhu, dan cuaca
Keadaan udara dan suhu yang terlalu panas dapat membuat seseorang
tidak nyaman belajar sehingga juga tidak dapat mencapai hasil belajar
yang optimal.
b) Waktu (pagi, siang, atau malam)
Sebagian besar orang lebih mudah memahami pelajaran di waktu pagi
hari dibandingkanpada waktu siang atau sore hari.
c) Tempat (letak dan pergedungannya)
Seseorang biasanya sulit belajar di tempat yang ramai dan bising.
d) Alat-alat atau perlengkapan belajar
Dalam pelajaran tertentu yang memerlukan alat, belajar tidak akan
mencapai hasil yang maksimal jika tanpa alat tersebut.
Berdasarkan beberapa teori faktor-faktor yang memengaruhi disiplin belajar
yaitu a) Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pembelajar yang meliputi
faktor-faktor fisiologis dan faktor-faktor psikologis, b) Faktor-faktor yang berasal
dari luar diri pembelajar yang meliputi faktor-faktor sosial dan faktor-faktor non
sosial. Uraian yang dijelaskan di atas peneliti memilih faktor psikologis yang
memengaruhi disiplin belajar dari dalam diri pembelajar yaitu motivasi belajar
(Santrock, 2015) dan faktor sosial yang memengaruhi disiplin belajar dari luar diri
pembelajar yaitu pola asuh autoritatif orangtua (Santrock, 2002).
Alasan peneliti memilih faktor psikologis yang memengaruhi disiplin
belajar dari dalam diri pembelajar yaitu motivasi belajar karena motivasi belajar
36
erat hubungannya dengan dorongan yang menjadi penggerak dalam diri
seseorang. Motivasi merupakan suatu kekuatan yang dapat mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu perbuatan, termasuk belajar. Bila seseorang memiliki
motivasi belajar yang tinggi dan faktor psikologi berupa dorongan yang menjadi
penggerak juga tinggi untuk mencapai suatu tujuan/prestasi (Wahab, 2015;
Winkel, 2015).
Faktor lain yaitu intelegensi tidak diteliti karena intelegensi merupakan
faktor bawaan dari lahir. Djamarah (2008), menyebutkan intelegensi merupakan
faktor yang bersifat menetap atau bawaan dari lahir sehingga sulit untuk diubah.
Faktor lain yang tidak diteliti juga yaitu faktor minat. Minat sendiri merupakan
faktor dasar pembentuk motivasi, sehingga peneliti lebih mengutamakan untuk
meneliti motivasi belajar dibandingkan dengan intelegensi atau minat (Slameto,
2013). Faktor lainnya yang juga tidak diteliti yaitu memori dan emosi karena
seperti halnya intelegensi, memori merupakan bawaan yang sifatnya cenderung
tetap dan sulit untuk diubah (Djamarah, 2008).
Menurut Djamarah (2008), menyebutkan motivasi merupakan gejala
psikologis dalam bentuk dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar
untuk melakukan tindakan untuk tujuan tertentu. Motivasi memberikan gairah
atau semangat dalam belajar, sehingga siswa memiliki energi banyak untuk
melakukan kegiatan belajar. Motivasi mempunyai peran yang sangat strategis
untuk mewujudkan disiplin belajar siswa.
Hasil penelitian Sholihat (2016) menunjukkan bahwa motivasi belajar dan
disiplin belajar merupakan faktor yang penting agar diperoleh hasil belajar yang
37
optimal. Hasil penelitian Sumantri (2010) yang dilakukan pada siswa kelas XI
SMK PGRI 4 Ngawi, dapat disimpulkan bahwa tingkat kedisiplinan siswa dalam
belajar merupakan salah satu faktor yang ikut memengaruhi prestasi belajar siswa.
Hasil penelitian Lusi, Lestari, dan Purwanti (2015), dengan hasil terdapat korelasi
antara motivasi belajar dengan disiplin belajar. Dengan adanya motivasi belajar
dan diikuti disiplin belajar yang tinggi membentuk hasil belajar yang tinggi pula,
begitu juga dengan sebaliknya. Motivasi membentuk kesadaran dan disiplin
belajar berpengaruh terhadap cara dan sikap belajar yang akhirnya akan diperoleh
hasil belajar.
Peneliti memilih faktor sosial yang yang memengaruhi disiplin belajar dari
luar pembelajar yaitu pola asuh. Faktor keluarga merupakan awal dari
terbentuknya disiplin belajar pada siswa karena di dalam keluarga anak mulai
belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Keluarga merupakan
lingkungan pendidikan pertama, karena di dalam keluarga anak mendapatkan
pendidikan dan bimbingan pertama kali dan peletak dasar pendidikan (Kompri,
2017).
Dalam penelitian ini pola asuh yang diteliti adalah pola asuh otoritatif.
Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2015) pola asuh autoritatif adalah gaya asuh
positif yang mendorong anak untuk independen tapi masih membatasi dan
mengontrol tindakan mereka, percakapan ekstensif diizinkan, menghasilkan anak
yang kompeten secara sosial. Salah satu aspek penting dalam pola asuh ini yaitu
membiasakan perilaku disiplin pada anak, sehingga dengan pola asuh ini disiplin
belajar pada siswa akan terbentuk.
38
Alasan pemilihan pola asuh autoritatif pada faktor sosial diantaranya karena
diketahui ada hasil-hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten. Peneliti
sebelumnya ada yang menyimpulkan adanya pengaruh pola asuh dengan disiplin
belajar, dan ada juga yang menyimpulkan tidak ada pengaruh pola asuh terhadap
disiplin belajar. Hasil penelitian Trisakti dan Astuti (2014) pola asuh yang telah
dilakukan orangtua akan dipersepsikan siswa sejauh mana penilaian siswa
terhadap pola asuh autoritatif orangtua membentuk disiplin belajarnya, karena
hubungan orangtua dengan anak dipengaruhi oleh persepsi anak terhadap
pendidikan atau pola asuh yang diberikan orangtuanya. Hasil penelitian Maliki
(2017), didapatkan hasil tidak terdapat hubungan antara pola asuh orang tua
terhadap disiplin belajar SMP Negeri 7 Kubang. Penelitian Murti, Murti, dan
Suryani (2015), dengan hasil penelitian ada hubungan positif pola asuh orang tua
dengan kedisplinan belajar. Hasil penelitian Sonita (2013), menyimpulkan tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan disiplin
siswa. Hasil penelitian yang tidak konsisten dari peneliti-peneliti sebelumnya
menunjukkan bahwa sangat perlu untuk dilakukan pengkajian ulang tentang
hubungan pola asuh orang tua dengan disiplin belajar.
B. Motivasi Belajar
1. Pengertian Motivasi Belajar
Motivasi belajar ialah keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan
belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai suatu
39
tujuan. Motivasi belajar memegang peranan penting dalam memberikan gairah
atau semangat dalam belajar, sehingga siswa yang bermotivasi kuat memiliki
energi banyak untuk melakukan kegiatan belajar (Winkel, 2015).
Menurut Khodijah (2014), motivasi belajar adalah dorongan yang menjadi
penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dan mencapai suatu
tujuan yaitu untuk mencapai prestasi. Djamarah (2015) menjelaskan bahwa dalam
proses belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak
mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktivitas
belajar. Hal ini merupakan pertanda bahwa sesuatu yang akan dikerjakan itu tidak
menyentuh kebutuhannya. Segala sesuatu yang menarik minat orang lain belum
tentu menarik minat orang tertentu selama sesuatu itu tidak bersentuhan dengan
kebutuhannya.
Hakikat motivasi belajar menurut Uno (2016) adalah dorongan internal dan
eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan
tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang
mendukung. Menurut Wahab (2015) motivasi belajar adalah dorongan yang
menjadi penggerak dalam diri individu untuk melakukan sesuatu dan mencapai
suatu tujuan yaitu untuk mencapai prestasi. Menurut Sardiman (2016) motivasi
belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang
khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk
belajar. Kompri (2016) mengartikan motivasi belajar merupakan segi kejiwaan
yang mengalami perkembangan, artinya terpengaruh oleh kondisi fisiologis dan
kematangan psikologis siswa.
40
Berdasarkan uraian beberapa teori motivasi belajar eksternal dan internal
tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar internal adalah dorongan yang
menggerakkan seseorang melakukan kegiatan belajar dan memberikan arah pada
kegiatan belajar untuk mencapai tujuan yaitu mencapai prestasi belajar.
2. Aspek-aspek Motivasi Belajar
Motivasi belajar menurut Uno (2016) memiliki enam aspek yaitu:
a. Hasrat dan keinginan berhasil.
Seorang individu menyelesaikan suatu pekerjaan sebaik orang yang
memiliki motif berprestasi tinggi, justru karena dorongan menghindarkan
kegagalan yang bersumber pada ketakutan atau kegagalan itu. Seorang siswa
mungkin tampak bekerja dengan tekun, karena kalau dia tidak dapat
menyelesaikan tugasnya dengan baik maka dia akan mendapat malu dari
gurunya, atau diolok-olok oleh temannya, atau bahkan akan dihukum oleh
orangtuanya. Di sini tampak, bahwa “keberhasilan” siswa tersebut disebabkan
oleh dorongan atau rangsangan dari luar dirinya (Uno, 2016).
b. Dorongan dan kebutuhan dalam belajar
Dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan
sesuatu. Contoh konkret, seorang siswa itu melakukan belajar, karena betul-
betul ingin mendapat pengetahuan, nilai atau keterampilan agar dapat berubah
tingkah lakunya secara konstruktif, tidak karena tujuan yang lain-lain. Perlu
diketahui bahwa siswa yang memiliki motivasi instrinsik akan memiliki
tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam
bidang studi tertentu. Satu-satunya jalan untuk menuju ke tujuan yang ingin
41
dicapai ialah belajar, tanpa belajar tidak mungkin mendapat pengetahuan,
tidak mungkin menjadi ahli. Dorongan yang menggerakkan itu bersumber
pada suatu kebutuhan, kebutuhan yang berisikan keharusan untuk menjadi
orang yang terdidik dan berpengetahuan. Jadi memang motivasi itu muncul
dari kesadaran diri sendiri dengan tujuan secara esensial, bukan sekedar
simbol atau seremonial (Sardiman, 2016).
c. Harapan dan cita-cita masa depan
Besarnya minat remaja terhadap pendidikan sangat dipengaruhi oleh
minat mereka pada pekerjaan. Kalau remaja mengharapkan pekerjaan yang
menuntut pendidikan tinggi maka pendidikan akan dianggap sebagai batu
loncatan. Biasanya remaja lebih menaruh minat pada pelajaran-pelajaran yang
nantinya akan berguna dalam pekerjaan yang dipilihnya. Seperti remaja
muda, remaja yang lebih tua memandang keberhasilan dalam olah raga dan
kehidupan sosial sama pentingnya dengan keberhasilan tugas-tugas sekolah
dan merupakan batu loncatan bagi keberhasilan masa depan (Hurlock, 1980).
d. Penghargaan dalam belajar
Pada belajar instrumental, reaksi-reaksi seseorang siswa yang
diperlihatkan diikuti tanda-tanda yang mengarah pada apakah siswa tersebut
akan mendapat hadiah, hukuman, berhasil atau gagal. Oleh karena itu cepat
atau lambatnya seseorang belajar dapat diatur dengan jalan memberikan
penguat (reinforecement) atas dasar tingkat-tingkat kebutuhan. Dalam hal ini
maka salah satu bentuk belajar instrumental yang khusus adalah
“pembentukan tingkah laku”. Di sini individu diberi hadiah bila ia bertingkah
42
laku sesuai dengan tingkah laku yang dikehendaki, dan sebaliknya ia
dihukum bila memperlihatkan tingkah laku yang tidak sesuai dengan yang
dikehendakinya. Sehingga akhirnya akan terbentuk tingkah laku tertentu
(Slameto, 2013).
e. Kegiatan yang menarik dalam belajar
Peran motivasi dalam memperjelas tujuan belajar erat kaitannya dengan
kemaknaan belajar. Anak akan tertarik untuk belajar sesuatu, jika yang
dipelajarinya itu sedikitnya sudah dapat diketahui atau dinikmati manfaatnya
bagi anak. Sebagai contoh, anak akan termotivasi belajar elektronik karena
tujuan belajar elektronik itu dapat melahirkan kemampuan anak dalam bidang
elektronik. Dalam suatu kesempatan misalnya, anak tersebut diminta
membetulkan radio yang rusak, dan berkat pengalamannya dari bidang
elektronik, maka radio tersebut menjadi baik setelah diperbaikinya. Dari
pengalaman itu, anak makin hari makin termotivasi untuk belajar, karena
sedikit anak sudah mengetahui makna dari belajar itu (Uno, 2016).
f. Lingkungan belajar yang kondusif
Adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga memungkinkan
seorang siswa dapat belajar dengan baik. Sistem lingkungan belajar terdiri
atau dipengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masing akan saling
memengaruhi. Menurut Santrock (2015), aktivitas belajar di rumah
melibatkan keluarga dengan anak mereka. Ini antara lain menggunakan
pekerjaan rumah dan aktivitas lain yang berhubungan dengan kurikulum
pelajaran.
43
Sardiman (2016) menyampaikan motivasi belajar memiliki indikator
sebagai berikut:
a. Tekun menghadapi tugas
Menurut Wahab (2015), motivasi menentukan ketekunan belajar.
Seorang anak yang telah termotivasi untuk belajar sesuatu akan berusaha
mempelajarinya dengan baik dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil
yang baik. Dalam hal itu tampak bahwa motivasi untuk belajar menyebabkan
seseorang tekun belajar; Uno (2016) menyampaikan seorang anak yang telah
termotivasi untuk belajar sesuatu, akan berusaha mempelajarinya dengan baik
dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil yang baik. Dalam hal itu,
tampak bahwa motivasi untuk belajar menyebabkan seseorang tekun belajar.
b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa)
Pada mulanya anak didik tidak ada hasrat untuk belajar, tetapi karena
ada sesuatu yang dicari muncullah minatnya untuk belajar. Sesuatu yang akan
dicari itu dalam rangka untuk memuaskan rasa ingin tahunya dari sesuatu
yang akan dipelajari. Sesuatu yang belum diketahui tersebut akhirnya
mendorong anak didik untuk belajar dalam rangka mencari tahu. Sikap itulah
yang mendasari dan mendorong ke arah sejumlah perbuatan dalam belajar
(Wahab, 2015). Sardiman (2016), tidak memerlukan dorongan dari luar untuk
berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah
dicapainya).
44
c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah orang dewasa
Misalnya masalah pembangunan agama, politik, ekonomi, keadilan,
pemberantasan korupsi, penentangan terhadap setiap tindakan kriminal,
amoral dan sebagainya (Sardiman, 2016). Anak-anak mengembangkan
kemampuan mereka untuk memonitor atensinya, menetapkan apakah mereka
menggunakan strategi yang tepat, dan mengubah pendekatan saat diperlukan
untuk mengikuti rangkaian peristiwa yang kompleks (Flavel dalam Desmita,
2012).
d. Lebih senang bekerja mandiri
Menurut penjelasan Rousseau (dalam Sardiman, 2016), dalam hal
kegiatan belajar segala pengetahuan harus diperoleh dengan pengamatan
sendiri, pengalaman sendiri, dengan fasilitas yang disediakan sendiri. Ini
menunjukkan bahwa setiap orang yang belajar harus aktif sendiri. Tanpa ada
aktivitas, proses belajar tidak mungkin terjadi. Itulah sebabnya Parkhurst
menegaskan bahwa ruang kelas harus diubah/diatur sedemikian rupa menjadi
laboratorium pendidikan yang mendorong anak didik bekerja sendiri. Dewey
menegaskan bahwa sekolah harus dijadikan tempat kerja. Sehubungan dengan
itu, ia menganjurkan pengembangan metode-metode proyek, problem solving,
yang merangsang anak didik untuk melakukan kegiatan. Semboyan yang ia
populerkan adalah learning by doing. Dalam belajar sangat diperlukan adanya
aktivitas. Tanpa aktivitas, proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan
baik.
45
e. Cepat bosan
Pada tugas rutin menyampaikan hal-hal yang bersifat mekanis, berulang
ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif (Sardiman, 2016). Syah (2009)
menulis bahwa siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan
perhatian yang memadai dari sekolah karena pelajaran yang disajikan
terlampau mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustasi karena
tuntutan kebutuhan keingintahuannya (curiosity) merasa dibendung secara
tidak adil. Di sisi lain, siswa yang bodoh sekali akan merasa sangat payah
mengikuti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karenanya siswa itu
sangat tertekan, dan akhirnya merasa bosan dan frustasi seperti yang dialami
rekannya yang luar biasa positif tadi.
f. Dapat mempertahankan pendapatnya
Menurut Steinberg (dalam Desmita, 2012), dalam hal ini siswa memiliki
karakter kemandirian tingkah laku, yakni suatu kemampuan untuk membuat
keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya
secara bertanggungjawab.
g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini
Motivasi dapat berperan dalam penguatan belajar apabila seorang anak yang
belajar dihadapkan pada masalah yang memerlukan pemecahan, dan hanya
dapat dipecahkan berkat bantuan hal-hal yang pernah dilaluinya. Sebagai
contoh, seorang anak akan memecahkan materi matematika dengan bantuan
tabel logaritma. Tanpa bantuan tabel tersebut anak itu tidak dapat
menyelesaikan tugas matematika. Dalam kaitan itu, anak berusaha mencari
46
buku tabel matematika. Upaya untuk mencari tabel matematika merupakan
peran motivasi yang dapat menimbulkan penguatan belajar. Peristiwa tersebut
dapat dipahami bahwa sesuatu dapat menjadi penguat belajar untuk
seseorang, apabila dia sedang benar-benar mempunyai motivasi untuk belajar
sesuatu (Uno, 2016). Menurut Sardiman (2016) ada momen terbentuknya
kemauan dimana kalau seseorang sudah menetapkan satu putusan untuk
dikerjakan, timbullah dorongan pada diri seseorang untuk bertindak,
melaksanakan putusan itu.
h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
Peran motivasi dalam memperjelas tujuan belajar erat kaitannya dengan
kemaknaan belajar. Anak akan tertarik untuk belajar sesuatu, jika yang
dipelajari itu sedikitnya sudah dapat diketahui atau dinikmati manfaatnya
bagi anak. Sebagai contoh, anak akan termotivasi belajar elektronik karena
tujuan belajar elektronik itu dapat melahirkan kemampuan anak dalam bidang
elektronik. Dalam suatu kesempatan misalnya anak tersebut diminta
membetulkan radio yang rusak, dan berkat pengalamannya dari bidang
elektronik, maka radio tersebut menjadi baik setelah diperbaikinya. Dari
pengalaman ini, anak makinhari makin termotivasi untuk belajar, karena
sedikit anak sudah mengetahui makna dari belajar itu (Uno, 2016).
Menurut Santrock (2015) motivasi belajar ada yang disebut motivasi belajar
intrinsik yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri
(tujuan itu sendiri). Aspek-aspek motivasi belajar antara lain sebagai berikut:
47
a. Murid belajar menghadapi ujian karena dia senang pada mata pelajaran yang
diujikan itu. Dalam pandangan ini, murid ingin percaya bahwa mereka
melakukan sesuatu karena kemauan mereka sendiri, bukan karena kesuksesan
atau imbalan eksternal (Santrock, 2015).
b. Murid termotivasi untuk belajar saat mereka diberi pilihan, Para periset
(Grolnick dkk., 2002; Stipek, 1996, 2002) menemukan bahwa motivasi
internal dan minat intrinsik dalam tugas sekolah naik apabila murid punya
pilihan dan peluang untuk mengambil tanggungjawab personal atas
pembelajaran mereka (Santrock, 2015).
c. Senang menghadapi tantangan yang sesuai dengan kemampuan mereka, dan
mendapat imbalan yang mengandung nilai informasional tetapi bukan dipakai
untuk kontrol, misalnya guru memberikan pujian kepada siswa,
Chickszentmihalyi (dalam Santrock, 2015) mengatakan bahwa pengalaman
optimal ini terjadi ketika individu terlibat dalam tantangan yang mereka
anggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu mudah. Pengalaman optimal
ini berupa perasaan senang dan bahagia yang besar.
Berdasarkan uraian aspek-aspek motivasi belajar di atas peneliti memilih
aspek motivasi belajar dari Uno (2016). Aspek motivasi belajar dari Uno (2016),
keseluruhan ada 6 aspek tetapi dalam penelitian ini hanya digunakan 4 aspek saja
yaitu aspek-aspek yang berasal dari dalam diri atau bersifat internal sebagai
berikut: a) adanya hasrat dan keinginan berhasil; b) adanya dorongan dan
48
kebutuhan dalam belajar; c) adanya harapan dan cita-cita masa depan; d) adanya
kegiatan yang menarik dalam belajar.
Penggunaan 4 aspek yang bersifat intrinsik, mengacu pada pendapat Syah
(2011), yang menyatakan bahwa motivasi yang mempunyai pengaruh nyata
adalah motivasi intrinsik karena berasal dari dalam diri, tidak bergantung pada
pengaruh orang lain dan memberikan pengaruh yang lebih kuat dan lebih
langgeng. Dikuatkan lagi oleh Djamarah (2008), menyatakan bahwa siswa yang
mempunyai motivasi intrinsik semangatnya lebih kuat, melakukan sesuatu bukan
karena ingin mendapatkan pujian ataupun penghargaan tetapi benar-benar karena
kesadaran ingin mencapai tujuan.
Alasan peneliti memilih aspek tersebut karena penjelasannya mudah
dipahami oleh peneliti, dan dapat digunakan untuk mengungkapkan motivasi
belajar siswa.
C. Persepsi Terhadap Pola Asuh Autoritatif
1. Pengertian Persepsi Pola Asuh Autoritatif.
Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2015) pola asuh yang autoritatif
(Authoritative parenting) ialah suatu gaya asuh yang mendorong anak untuk
independen tapi masih membatasi dan mengontrol tindakan anak; dan
menghasilkan anak yang kompeten secara sosial. Orangtua tidak boleh terlalu
menghukum (punitive) atau terlalu tidak peduli (aloof). Sebaiknya, orangtua
49
menyusun aturan bagi anak dan pada saat yang sama bersifat suportif,
membimbing dan mengasuh (nurturant).
Shochib (2014) menjelaskan pola pertemuan antara orangtua sebagai
pendidik dan anak sebagai si terdidik dengan maksud bahwa orangtua
mengarahkan anaknya sesuai dengan tujuannya; yaitu membantu anak memiliki
dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Orangtua dengan anaknya sebagai
pribadi dan sebagai pendidik, dapat menyingkapkan pola asuh orangtua dalam
mengembangkan disiplin anak yang tersirat dalam situasi dan kondisi yang
bersangkutan.
Pola asuh diartikan sebagai sistem atau cara kerja mengasuh atau merawat
dan mendidik, membimbing, membantu dan melatih. Persepsi dibutuhkan siswa
guna menyimpulkan informasi dan pesan yang akan diberikan makna terhadap
pola asuh autoritatif (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995). Menurut Brooks
(2011) pola asuh merupakan sebuah tindakan dan interaksi antara orangtua dan
anak, dimana kedua pihak saling mengubah satu sama lain saat anak tumbuh
menjadi sosok dewasa.
Menurut Desmita (2012) persepsi adalah suatu proses penggunaan
pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh dan menginterpretasi stimulus
(rangsangan) yang diterima oleh sistem alat indra manusia. Menurut Walgito
(2010) persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian
terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga
merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrasi dalam
diri individu. Menurut Khairani (2016) persepsi merupakan suatu proses
50
penginderaan, stimulus yang diterima oleh individu melalui alat indera yang
kemudian diinterpretasikan sehingga individu dapat memahami dan mengerti
tentang stimulus yang diterimanya tersebut. Slameto (2013) menulis bahwa
persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam
otak manusia. Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan
dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera
penglihatan, pendengar, peraba, perasa dan pencium.
Persepsi pola asuh orangtua merupakan proses anak menggunakan
informasi dari lingkungan dan menilai pengalamannya berinteraksi dengan
orangtua untuk memberikan kesan tentang bagaimana orangtua mengasuhnya.
Setiap pola asuh yang diberikan oleh orangtua akan dipersepsikan secara
subyektif karena kebutuhan dan karakteristik anak itu sendiri (Khoirunnisa, Fitria,
Rofi, 2015).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan pengertian persepsi terhadap
pola asuh autoritatif adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah
dimiliki untuk memperoleh dan menginterpretasi gaya asuh yang mendorong anak
untuk independen tapi masih membatasi, mengontrol tindakan, mengijinkan
percakapan ekstensif sehingga menghasilkan anak yang kompeten secara sosial.
2. Aspek-aspek Persepsi Terhadap Pola Asuh autoritatif
Menurut Eisenberg & Valiente (dalam Santrock, 2007), aspek-aspek pola
asuh autoritatif antara lain:
51
a. Hangat dan suportif dibandingkan menghukum.
Keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan
hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan
anak. Dalam keluarga ini orangtua bertanggungjawab dan dapat dipercaya.
Setiap anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus
diminta. Orangtua sebagai koordinator keluarga harus berperilaku proaktif.
Jika anak menentang otoritas, segera ditertibkan karena di dalam keluarga
terdapat aturan-aturan dan harapan-harapan. Anak-anak merasa aman,
walaupun tidak selalu disadari (Shochib, 2014).
b. Menerapkan disiplin melalui cara membujuk
Membujuk adalah suatu teknik disiplin dimana orangtua menggunakan
penalaran dan penjelasan mengenai konsekuensi tindakan remaja terhadap
orang lain. Contoh membujuk adalah ”Jangan memukulnya. Ia hanya
mencoba membantu” dan “Mengapa kamu berteriak kepadanya? Ia tidak
bermaksud melukai perasaanmu (Santrock, 2007). Menurut pendapat
Hoffman (dalam Santrock, 2007) bahwa seharusnya orangtua menggunakan
cara membujuk untuk mendorong perkembangan moral remaja. Dalam
penelitian teknik pengasuhan, membujuk memiliki kaitan yang lebih positif
dengan perkembangan moral dibandingkan menarik cinta atau
memperlihatkan kekuasaan.
52
c. Memberikan peluang kepada anak-anak untuk mempelajari perspektif dan
perasaan orang lain
Menurut Saarni (dalam Santrock, 2007), individu pada masa remaja
cenderung lebih menyadari siklus emosionalnya, seperti perasaan bersalah
karena marah. Kesadaran yang baru ini dapat meningkatkan kemampuan
mereka dalam mengatasi emosi-emosinya. Remaja juga lebih terampil dalam
menampilkan emosi-emosinya ke orang lain. Sebagai contoh, mereka menjadi
menyadari pentingnya menutupi rasa marah dalam relasi sosial. Mereka juga
lebih memahami bahwa kemampuan mengomunikasikan emoso-emosinya
secara konstruktif dapat meningkatkan kualitas relasi mereka. Menurut
Lapsley & Murphy (dalam Santrock, 2007), perubahan-perubahan dalam
pengambilan perspektif (perspektif taking), yaitu kemampuan untuk
mempertimbangkan sudut pandang orang lain serta memahami pikiran dan
perasaannya, cenderung berperan dalam perkembangan egosentrisme remaja.
Menurut Selman & Adalbjarnardottir; Selman & Schultz (dalam Santrock,
2007), pengambilan perspektif dapat meningkatkan pemahaman-diri remaja,
meningkatkan status kawan sebaya, dan kualitas persahabatan mereka.
d. Melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan
Melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga dan
memberikan peluang bagi anak-anak untuk melakukannya juga. Enright dkk
(dalam Santrock 2007) menjelaskan orangtua adalah tokoh yang berpengaruh
dalam proses pencarian identitas pada remaja. Dalam studi-studi yang
mengaitkan perkembangan identitas dengan gaya pengasuhan, ditemukan
53
bahwa orangtua autoritatif yang mendorong remaja untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan akan mengembangkan identity achiement.
Stuart dan Hauser (dalam Santrock, 2007) telah mengidentifikasikan proses-
proses lain dalam keluarga yang dapat mengembangkan perkembangan
identitas remaja. Orangtua yang menampilkan perilaku membolehkan (seperti
menjelaskan, menerima, dan empati) akan mendorong perkembangan
indentitas remaja dibandingkan orangtua yang menampilkan perilaku
memaksa (seperti menilai dan merendahkan). Singkatnya, menurut Harter
(dalam Santrock, 2007), gaya interaksi keluarga, yang memberikan
kesempatan kepada remaja untuk bertanya dan untuk berbeda pendapat dalam
konteks yang saling mendukung akan mengembangkan pola perkembangan
identitas yang sehat.
e. Memberikan informasi mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai
alasan mengapa
Asesmen diri dapat dimiliki anak jika orangtua mampu membantu anak
menyadari dan menghayati perilaku-perilakunya. Artinya, dalam hal ini
orangtua dituntut untuk membantu anak agar dapat membaca perilaku-
perilakunya. Apakah mereka telah melakukan penyimpangan terhadap nilai-
nilai moral atau telah melakukan tindakan sesuai dengan nilai-nilai moral.
Jika mereka telah mampu melihat perilaku-perilakunya maka dengan
sendirinya mereka akan menyadari apakah perilaku-perilakunya telah
menyimpang atau tidak dari nilai-nilai moral. Kesadaran ini akan
menghindarkan mereka dari mengulang kesalahan yang sama serta dapat
54
meningkatkan perilaku-perilaku yang patuh terhadap nilai-nilai moral
(Shochib, 2014).
f. Mendorong penghayatan moral yang lebih bersifat internal dibandingkan
eksternal
Orangtua dengan pola asuh autoritatif cenderung mendorong
berkembangnya perhatian dan kepedulian anak-anaknya terhadap orang lain, serta
menciptakan relasi orangtua-anak yang positif (Santrock, 2007).
Sigelman dan Shaffer (dalam Trisakti dan Astuti, 2014) menjelaskan bahwa
aspek-aspek persepsi pola asuh autoritatif: (1) Ketegasan, yaitu adanya
kedisiplinan dan aturan dalam keluarga; (2) Kehangatan, yaitu adanya kasih
sayang dan cinta dalam huubungan orangtua dan anak; (3) Kebebasan, yaitu
adanya dorongan untuk membentuk kemandirian atau otonomi anak; (4) Tidak
ada kekerasan yaitu tidak adanya unsur kekerasan fisik dan non fisik dalam
berinteraksi dengan anak.
Aspek-aspek yang digunakan dalam persepsi pola asuh autoritatif yaitu
aspek dari Eisenberg & Valiente (Santrock, 2007) yaitu: (1) hangat dan suportif
dibandingkan menghukum; (2) menerapkan disiplin melalui cara membujuk; (3)
memberikan peluang kepada anak-anak untuk mempelajari perspektif dan
perasaan orang lain; (4) melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan di
dalam keluarga dan memberikan peluang bagi anak-anak untuk melakukannya;
(5) memberikan informasi mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai alasan
mengapa; (6) mendorong penghayatan moral yang lebih bersifat internal
dibandingkan eksternal.
55
Alasan pemilihan aspek ini karena mudah dipahami, aspeknya lengkap dan
menyeluruh serta dapat digunakan untuk mengukur persepsi pola asuh autoritatif.
D. Hubungan antara Motivasi Belajar dengan Disiplin Belajar pada Siswa
Seorang individu menyelesaikan suatu pekerjaan sebaik orang yang
memiliki motif berprestasi tinggi, justru karena dorongan menghindarkan
kegagalan yang bersumber pada ketakutan atau kegagalan itu. Seorang siswa
mungkin tampak bekerja dengan tekun, karena kalau dia tidak dapat
menyelesaikan tugasnya dengan baik maka dia akan mendapat malu dari gurunya,
atau diolok-olok oleh temannya, atau bahkan akan dihukum oleh orangtuanya
(Uno, 2016). Ketekunan tersebut berkenaan dengan kewajiban belajar yaitu
dengan membaca/mengulang kembali pelajaran yang diterimanya dari sekolah
setiap hari. Hal tersebut dimaksudkan agar anak akan lebih mudah mengingat
pelajaran (Kompri, 2017). Agar siswa berhasil dalam belajarnya, perlu
mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya, tugas itu mencakup mengerjakan PR
(Slameto, 2013).
Menurut Winkel (2015) motivasi belajar memegang peranan penting dalam
memberikan gairah atau semangat dalam belajar, sehingga siswa yang bermotivasi
kuat memiliki energi banyak untuk melakukan kegiatan belajar. Adanya dorongan
dan kebutuhan dalam belajar dipengaruhi oleh disiplin belajar. Ardi (2012)
menjelaskan bahwa disiplin dapat melahirkan semangat menghargai waktu.
Dengan disiplin belajar, berarti mentaati tata tertib, atau kepatuhan dalam
pemanfaatan waktu untuk belajar secara efektif dan efisien, dapat membuat
rencana alokasi waktu menurut prioritas kepentingan masing-masing kegiatan
56
kegiatan belajar, mulai dari kegiatan yang penting sampai dengan yang kurang
penting.
Aspek hasrat dan keinginan berhasil, dorongan dan kebutuhan dalam
belajar, harapan dan cita-cita masa depan berhubungan dengan belajar setiap hari.
Hasrat dan keinginan berhasil membuat seorang individu menyelesaikan suatu
pekerjaan karena dorongan menghindarkan kegagalan yang bersumber pada
ketakutan atau kegagalan (Uno, 2016). Dorongan dan kebutuhan dalam belajar
membuat seorang siswa itu melakukan belajar, karena betul-betul ingin mendapat
pengetahuan, nilai atau keterampilan agar dapat berubah tingkah lakunya secara
konstruktif (Sardiman, 2016). Seorang siswa dapat pula belajar karena ada
dorongan untuk memperoleh kekuatan sehingga kemauan belajar bertambah besar
dan mencapai keberhasilan yang tinggi. Seseorang yang akan berbuat lebih baik
dan berhasil apabila dia memahami apa yang harus dikerjakannya dan yang
dicapai dengan perbuatannya itu (Uno, 2016)
Harapan dan cita-cita masa depan membuat siswa bepikir dalam minat pada
pekerjaan. Kalau siswa mengharapkan pekerjaan yang menuntut pendidikan tinggi
maka pendidikan akan dianggap sebagai batu loncatan bagi keberhasilan masa
depan (Hurlock, 1980). Jadi, hasrat dan keinginan berhasil, dorongan dan
kebutuhan dalam belajar, harapan dan cita-cita masa depan akan mendorong siswa
untuk belajar setiap hari.
Disiplin belajar merupakan mentaati tata tertib, atau kepatuhan dalam
pemanfaatan waktu untuk belajar secara efektif dan efisien, dapat membuat
rencana alokasi waktu menurut prioritas kepentingan masing-masing kegiatan
57
belajar, mulai dari kegiatan yang terpenting sampai dengan yang kurang penting
(Ardi, 2012).
Kegiatan yang menarik dalam belajar, siswa akan tertarik untuk belajar
sesuatu, jika yang dipelajarinya itu sedikitnya sudah dapat diketahui atau
dinikmati manfaatnya bagi siswa. Dari pengalaman itu, anak makin hari makin
termotivasi untuk belajar, karena sedikit anak sudah mengetahui makna dari
belajar itu (Uno, 2016). Adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga
memungkinkan seorang siswa dapat belajar dengan baik. Sistim lingkungan
belajar terdiri atau dipengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masing
akan saling memengaruhi (Sardiman, 2016). Siswa yang memiliki sikap mentaati
semua peraturan dan norma-norma yang ditetapkan dalam situasi belajar dapat
dengan tenteram mengikuti pelajaran dan akan cenderung memperoleh hasil
belajar yang maksimal (Rohiat, 2011). Agar belajar dapat berjalan dengan baik
dan berhasil, seorang siswa idealnya mempunyai jadwal yang baik dan
melaksanakan dengan teratur dan disiplin (Slameto, 2003). Jadi, penghargaan
dalam belajar, kegiatan yang menarik dalam belajar, dan lingkungan belajar yang
kondusif akan mempengaruhi siswa dalam menggunakan waktu luangnya.
Berdasarkan hasil penelitian Sholihat (2016), secara umum menunjukkan
bahwa motivasi belajar dan disiplin belajar merupakan faktor yang penting agar
diperoleh hasil belajar yang optimal. Dengan adanya motivasi belajar dan diikuti
disiplin belajar yang tinggi maka akan diperoleh hasil belajar yang tinggi pula,
begitu juga dengan sebaliknya. Motivasi akan membentuk kesadaran dan disiplin
belajar akan berpengaruh terhadap cara dan sikap belajar. Disiplin belajar
58
merupakan suatu bentuk kesadaran tindakan untuk belajar seperti disiplin belajar
di rumah: belajar setiap hari, mengerjakan pekerjaan rumah, membuat laporan,
belajar berkelompok; disiplin belajar di sekolah: ketepatan waktu datang ke
sekolah, keaktifan mengikuti pelajaran di kelas, ketaatan mengikuti peraturan di
kelas maupun di sekolah, menggunakan waktu luang.
Berdasarkan hasil penelitian Febriani, Lestari, Purwanti (2015)
menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara motivasi belajar dengan
disiplin belajar pada siswa kelas X Sekolah Menengah Atas Mujahidin Pontianak.
Artinya bahwa semakin baik motivasi belajar siswa maka semakin baik pula
disiplin belajar siswa. Begitu pula sebaliknya, semakin tidak baik motivasi belajar
maka semakin tidak baik pula disiplin belajar siswa.
Berdasarkan ulasan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara motivasi belajar dengan disiplin belajar siswa. Semakin tinggi
motivasi belajar siswa maka semakin tinggi pula disiplin belajar siswa.
Sebaliknya apabila motivasi belajar siswa rendah maka disiplin belajar siswa akan
rendah pula.
E. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Autoritatif dengan
Disiplin Belajar Pada Siswa
Disiplin belajar merupakan kepatuhan dari siswa untuk melaksanakan
kewajiban belajar secara sadar sehingga diperoleh perubahan pada dirinya, baik
itu berupa pengetahuan, perbuatan maupun sikap baik itu belajar di sekolah
maupun belajar di rumah. Bekaitan dengan disiplin belajar di rumah, orangtua
sangat berperan dalam perkembangan disiplin belajar anak di rumah (Sumantri,
59
2010). Orangtua dituntut untuk membantu anak agar orangtua dapat mengetahui
perilaku anaknya. Orangtua memberikan informasi mengenai perilaku anak yang
diharapkan dan disertai alasan mengapa kepada anak. Jika anak telah mampu
melihat perilaku-perilakunya maka dengan sendirinya anak akan menyadari
apakah perilaku-perilakunya telah menyimpang atau tidak dari nilai-nilai moral.
Kesadaran ini akan menghindarkan mereka dari mengulang kesalahan yang sama
serta dapat meningkatkan perilaku-perilaku yang patuh terhadap nilai-nilai moral
(Shochib, 2014).
Anak akan mempersepsikan pola asuh yang diterimanya dari orangtua.
Persepsi pola asuh orangtua merupakan proses anak menggunakan informasi dari
lingkungan dan menilai pengalamannya berinteraksi dengan orangtua untuk
memberikan kesan tentang bagaimana orangtua mengasuhnya. Setiap pola asuh
yang diberikan oleh orangtua akan dipersepsikan secara subyektif karena
kebutuhan dan karakteristik anak itu sendiri (Khoirunnisa, Fitria, Rofi, 2015).
Salah satu teknik pola asuh autoritatif yaitu dengan cara membujuk. Membujuk
merupakan suatu teknik disiplin dimana orangtua menggunakan penalaran dan
penjelasan mengenai konsekuensi dari tindakan anak terhadap orang lain.
Menerapkan disiplin melalui cara membujuk contohnya adalah, “Jangan
memukulnya. Ia hanya mencoba membantu” dan “Mengapa kamu berteriak
kepadanya? Ia tidak bermaksud melukai perasaanmu (Santrock, 2007).
Anak akan terbiasa mempertimbangkan keputusannya karena persepsinya
terhadap pola asuh autoritatif. Perubahan-perubahan dalam pengambilan
perspektif yaitu kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain
60
serta memahami pikiran dan perasaannya, cenderung berperan dalam
perkembangan egosentrisme anak (Lapsley & Murphy dalam Santrock, 2007).
Orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif akan berupaya untuk
mengarahkan aktifitas anak secara rasional, mendorong anak untuk berani
berpendapat melalui dialog verbal, mendengarkan pendapat anak, bersedia
berbagi dengan anak terkait alasan menerapkan suatu aturan, dan menerima
apabila anak menolak untuk menyesuaikan dengan aturan yang diterapkan.
Orangtua dengan pola asuh autoritatif akan menetapkan ketegasan terkait kualitas
anak dan menetapkan standar bagi perilaku anak dimasa depan (Baumrind dalam
Santrock, 2015).
Syamaun (2014) berpendapat bahwa pola asuh orangtua tipe autoritatif,
cirinya adalah menerima, koorperatif, terbuka terhadap anak, mengajar anak untuk
mengembangkan disiplin diri, jujur, dan ikhlas dalam menghadapi masalah anak-
anak, memberikan penghargaan positif kepada anak tanpa dibuat-buat,
mengajarkan kepada anak untuk mengembangkan tanggungjawab atas setiap
perilaku dan tindakannya. Kemampuan mempertimbangan serta
bertanggungjawab atas perilaku dan tindakan akan mempengaruhi anak, termasuk
dalam disiplin belajarnya. Siswa yang memiliki perilaku displin belajar akan
menampilkan perilaku belajar setiap hari, mengerjakan pekerjaan rumah,
membuat laporan, belajar berkelompok, tepat waktu datang ke sekolah, aktif
mengikuti pelajaran di kelas, taat mengikuti peraturan di kelas maupun di sekolah,
mampu menggunakan waktu luang (Sumantri, 2010). Disiplin belajar ini muncul
karena anak merasa bertanggungjawab atas semua kewajibannya sebagai pelajar.
61
Aspek hangat dan suportif dibandingkan menghukum, menerapkan disiplin
melalui cara membujuk, memberikan peluang kepada anak-anak untuk
mempelajari perspektif dan perasaan orang lain, melibatkan anak-anak dalam
pengambilan keputusan, memberikan informasi mengenai perilaku yang
diharapkan dan disertai alasan mengapa, serta mendorong penghayatan moral
yang lebih bersifat internal dibandingkan eksternal berhubungan dengan aspek
belajar setiap hari. Hangat dan suportif dibandingkan menghukum ditandai oleh
keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta
ibu dengan anak. Jika anak menentang otoritas, segera ditertibkan karena di dalam
keluarga terdapat aturan-aturan dan harapan-harapan yang membuat anak merasa
aman (Shochib, 2014). Menerapkan disiplin melalui cara membujuk ditandai
orangtua menggunakan penalaran dan penjelasan mengenai konsekuensi tindakan
siswa terhadap orang lain (Santrock, 2007). Memberikan peluang kepada anak-
anak untuk mempelajari perspektif dan perasaan orang lain ditandai dengan
memberikan informasi mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai alasan
mengapa ditandai orangtua menggunakan penalaran dan penjelasan mengenai
konsekuensi tindakan siswa terhadap orang lain (Santrock, 2007).
Melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan ditandai dengan
memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya dan untuk berbeda pendapat
dalam konteks yang saling mendukung akan mengembangkan pola perkembangan
identitas yang sehat (Harter dalam Santrock, 2007). Memberikan informasi
mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai alasan mengapa ditandai orangtua
mampu membantu anak menyadari dan menghayati perilaku-perilakunya
62
sehingga meningkatkan perilaku-perilaku yang patuh terhadap nilai-nilai moral
(Shochib, 2014). Mendorong penghayatan moral yang lebih bersifat internal
dibandingkan eksternal ditandai dengan orangtua cenderung mendorong
berkembangnya perhatian dan kepedulian anak-anaknya terhadap orang lain, serta
menciptakan relasi orangtua-anak yang positif (Santrock, 2007). Keenam aspek
persepsi terhadap pola asuh ini akan membantu anak dalam mempertimbangkan,
mengetahui alasan, tanggungjawabnya dan konsekuensi yang anak lakukan
apabila tidak disiplin dalam belajar.
Menurut Trisakti dan Astuti (2014) pola asuh yang telah dilakukan orangtua
akan dipersepsikan siswa sejauh mana penilaian siswa terhadap pola asuh
autoritatif orangtua membentuk disiplin belajarnya, karena hubungan orangtua
dengan anak dipengaruhi oleh persepsi anak terhadap pendidikan atau pola asuh
yang diberikan orangtuanya. Hasil penelitian Setiawan (2017) terdapat pengaruh
positif dan sangat signifikan antara bentuk pola asuh orangtua terhadap disiplin
siswa.
Hasil penelitian Murti, Murti, dan Suryani (2015) menunjukkan ada
hubungan positif pola asuh orangtua autoritatif dengan kedisplinan belajar secara
signifikan. Hal tersebut dapat ditunjukan dengan nilai t hitung 2,798, koefisien
regresi 0,286 dan nilai signifikansi 0,006. Karena nilai signifikansi (p) < 0,05 dan
koefisien regresi mempunyai nilai positif, maka dapat disimpulkan terdapat
pengaruh positif dan signifikan pola asuh demokratis orangtua terhadap
kedisiplinan pada peraturan sekolah pada siswa kelas X di SMA N 1 Minggir.
63
Berdasarkan ulasan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara persepsi terhadap pola asuh autoritatif dengan disiplin belajar
pada siswa. Pola asuh autoritatif yang dipersepsikan anak tinggi maka disiplin
belajar anak tinggi. Sebaliknya apabila pola asuh autoritatif dipersepsikan anak
rendah maka disiplin belajar anak akan rendah pula.
F. Hubungan Antara Motivasi Belajar Dan Persepsi Terhadap Pola
Asuh Autoritatif Dengan Disiplin Belajar Pada Siswa
Motivasi belajar dan persepsi terhadap pola asuh autoritatif saling berkaitan
dalam mempengaruhi disiplin belajar (Hurlock, 1978). Dimyati dan Mudjiono
(2013) mengartikan disiplin belajar merupakan suatu sikap, tingkah laku dan
perbuatan peserta didik dalam melakukan aktivitas belajar yang sesuai dengan
keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, dan norma-norma yang telah
ditetapkan, baik persetujuan tertulis maupun tidak tertulis antara peserta didik
dengan tenaga pengajar ataupun peraturan yang dibuat sendiri. Sistem lingkungan
belajar terdiri atau dipengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masing
akan saling memengaruhi (Sardiman, 2016). Hurlock (1978) mengatakan
keyakinan bahwa anak-anak memerlukan disiplin dari dulu sudah ada, tetapi
terdapat perubahan dalam sikap mengenai mengapa mereka memerlukannya.
Disiplin belajar terbentuk melalui pembiasaan sikap belajar yang baik oleh
siswa (Hurlock, 1978). Disiplin belajar terbentuk karena adanya pengaruh faktor
internal maupun faktor eksternal. Dari faktor internal atau faktor dalam diri,
disiplin belajar dipengaruhi oleh motivasi belajar (Suryabrata, 2014). Motivasi
belajar siswa membentuk kesadaran bahwa belajar adalah suatu kebutuhan,
64
dimana motivasi tersebut selanjutnya akan mendorong dan menggerakkan siswa
untuk melakukan aktivitas belajar secara teratur, rajin, tekun serta senantiasa
menaati peraturan dalam melaksanakan tugas belajarnya (Winkel, 2015). Adanya
motivasi mendorong siswa untuk selalu disiplin dalam belajar. Didukung
pendapat Khodijah (2014), menyebutkan bahwa motivasi berperan penting dalam
belajar yaitu mendorong untuk menjadi aktif dalam belajar sehingga menentukan
hasil belajar yang dicapai.
Faktor eskternal yang mempengaruhi oleh faktor pola asuh orang tua. Peran
orang tua dalam mendidik anak melalui pola asuh yang diterapkan dapat
menanamkan dasar pendidikan, sikap, budi pekerti, sopan santun, kasih sayang,
dasar-dasar mematuhi peraturan dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan (Sumantri,
2010). Disiplin menjadi salah satu bentuk perilaku yang dibentuk melalui
pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua dalam menaati tata tertib
maupun peraturan.
Pola asuh mempengaruhi sudut pandang anak tentang informasi terhadap
suatu perilaku. Salah satu pola asuh yaitu pola asuh autoritatif. Orangtua yang
mengasuh dengan pola asuh autoritatif menurut Eisenberg & Valiente (dalam
Santrock, 2007) adalah pola asuh yang hangat dan suportif dibandingkan
menghukum, menerapkan disiplin melalui cara membujuk, memberikan peluang
kepada anak-anak untuk mempelajari perspektif dan perasaan orang lain,
melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga dan
memberikan peluang bagi anak-anak untuk melakukannya juga, memberikan
65
informasi mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai alasan mengapa,
mendorong penghayatan moral yang bersifat internal dibandingkan eksternal.
Siswa yang memiliki persepsi terhadap pola asuh autoritatif yang baik akan
bertanggungjawab terhadap belajarnya sesuai dengan keputusan-keputusan,
peraturan-peraturan, dan norma-norma yang telah ditetapkan karena orangtua
melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga dan
memberikan peluang bagi anak-anak untuk memberikan penjelasannya. Anak
dapat terbantu untuk bisa mengatasi hambatan tersebut (Kompri, 2017).
Kedua faktor tersebut yaitu motivasi belajar dan pola asuh autoritatif
merupakan faktor yang penting dalam terwujudnya disiplin belajar. Slameto
(2013), menjelaskan bahwa cara orang tua mendidik anak besar pengaruhnya
terhadap aktivitas belajar anak. Lebih lanjut Slameto (2013) menyatakan bahwa
motivasi merupakan daya penggerak yang mendorong siswa belajar dengan lebih
baik. Berdasarkan pendapat tersebut menguatkan bahwa kedudukan motivasi
belajar dan pola asuh orang tua besar pengaruhnya terhadap disiplin belajar anak.
Hasil penelitian Febriani, Lestari, Purwanti (2015) menunjukkan terdapat
korelasi yang signifikan antara motivasi belajar dengan disiplin belajar pada siswa
kelas X Sekolah Menengah Atas Mujahidin Pontianak. Artinya bahwa semakin
baik motivasi belajar siswa maka semakin baik pula disiplin belajar siswa. Begitu
pula sebaliknya, semakin tidak baik motivasi belajar maka semakin tidak baik
pula disiplin belajar siswa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila persepsi terhadap pola
asuh autoritatif tinggi maka akan mendorong motivasi belajar tinggi yang
66
menyebabkan disiplin belajar siswa akan tinggi. Sebaliknya apabila persepsi
terhadap pola asuh autoritatif rendah akan berpengaruh pada motivasi belajar
rendah yang menyebabkan disiplin belajar siswa juga rendah.
G. Landasan Teori
Disiplin belajar merupakan kepatuhan dari siswa untuk melaksanakan
kewajiban belajar secara sadar sehingga diperoleh perubahan pada dirinya, baik
itu berupa pengetahuan, perbuatan maupun sikap baik itu belajar di rumah
maupun belajar di sekolah (Sumantri, 2010). Peneliti menganalisis hubungan
motivasi belajar dan persepsi terhadap pola asuh menggunakan perspektif teori
kognitif sosial yaitu sebagian besar pembelajaran manusia terjadi dalam sebuah
lingkungan sosial. Dengan mengamati orang lain, manusia memperoleh
pengetahuan, aturan-aturan, keterampilan-keterampilan, strategi-strategi,
keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap (Schunk, 2012).
Bandura (dalam Schunk, 2012) dalam teori kognisi sosial memfokuskan
perhatiannya kepada bagaimana dapat mengembangkan fungsi kognitif individu
agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar
kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan oleh para
guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar peserta didik
sangat dipengaruhi oleh sejauh mana fungsi kognitif peserta didik dapat
berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses pendidikan.
Pembelajaran sebagian besar merupakan aktivitas pengolahan informasi tentang
struktur perilaku dan tentang peristiwa-peristiwa lingkungan ditransformasikan
menjadi representasi-representasi simbolis yang berperan sebagai tuntunan bagi
tindakan.
67
Sebagian besar perilaku manusia bertahan lama tanpa adanya insentif-
insentif eksternal langsung. Keteguhan ini tergantung pada penentuan tujuan dan
evaluasi terhadap kemajuan diri. Sebuah tujuan mencerminkan maksud seseorang
dan mengacu pada kuantitas, kualitas atau nilai praktik. Tujuan-tujuan dapat
memotivasi seseorang untuk memenuhi tuntutan-tuntutan tugas dan untuk
bertahan terhadap tugas tersebut sepanjang waktu. Tujuan-tujuan memberi orang
visi terarah untuk dapat fokus terhadap tugas, memilih strategi yang sesuai dengan
tugas dan menentukan efektivitas pendekatannya, yang kesemuaannya cenderung
meningkatkan kinerja (Schunk, 2012). Bagi siswa akan menjadi penentu arah
dalam menjalankan aktivitas belajar sesuai dengan tugas dan kewajiban siswa
sehingga mampu meningkatkan sikap belajar siswa menjadi semakin baik.
Berdasarkan toeri belajar sosial dapat disimpulkan bahwa suatu perilaku
terbentuk melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Dalam pembentukan disiplin belajar, berdasarkan teori belajar sosial dapat
dijelaskan bahwa disiplin terbentuk sebagai akibat dari proses siswa dalam
menggunakan aspek kognitif untuk berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana
yang perlu dilakukan. Kemampuan siswa dalam berfikir dan mengambil
keputusan tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi siswa dengan lingkungan
sosialnya.
Disiplin terbentuk dari dorongan faktor internal yaitu motivasi belajar.
Siswa yang mempunyai motivasi maka secara sadar akan melakukan perilaku
yang mendukung pencapaian mencapai tujuan, dalam hal ini disiplin belajar.
Siswa yang memiliki motivasi belajar merupakan bentuk visi yang terarah,
strategi yang sesuai dengan tugas untuk meningkatkan kinerja. Sehingga siswa
dapat mencapai disiplin belajar yang tinggi. Motivasi belajar merupakan daya
68
penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,
menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan
belajar itu demi mencapai suatu tujuan (Winkel, 2015).
Menurut teori kognisi sosial pembelajaran dapat terjadi dengan cara praktik
melalui tindakan yang sebenarnya atau dengan cara mengalaminya melalui orang
lain dengan melakukan modeling atau peniruan (Schunk, 2012). Persepsi terhadap
pola asuh merupakan bentuk nyata dari teori kognisi sosial yaitu suatu proses
penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh dan
menginterpretasi gaya asuh yang mendorong anak untuk independen tapi masih
membatasi, mengontrol tindakan, mengijinkan percakapan ekstensif sehingga
menghasilkan anak yang kompeten secara sosial. Siswa yang telah mendapatkan
pola asuh autoritatif akan memiliki persepsi pola asuh autoritatif yaitu
menetapkan ketegasan terkait kualitas anak dan menetapkan standar bagi perilaku
anak dimasa depan (Baumrind dalam Santrock, 2015). Apabila orangtua
mengajarkan anak bertanggungjawab terhadap disiplin belajar siswa dan siswa
memiliki sikap bertanggungjawab, terbiasa menetapkan pilihan, dan mengetahui
konsekuensi tindak perbuatannya dalam belajar maka siswa akan memilih disiplin
dalam belajarnya.
Secara keseluruhan motivasi belajar dan persepsi pola asuh autoritatif secara
bersama-sama memberikan pengaruh terhadap pembentukan disiplin belajar.
Proses berfikir yang melibatkan faktor internal membentuk motivasi belajar yang
mendorong timbulnya perilaku disiplin dalam belajar. Sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Uno (2016), yang menyatakan bahwa motivasi yang bersifat
internal merupakan hasrat dan keinginan berhasil dan mendorong kebutuhan
belajar sehingga seseorang berkeinginan untuk melakukan aktivitas belajar yang
69
lebih giat dan semangat. Proses pemodelan (peniruan) yang didapatkan dari
penerapan pola asuh autoritatif membentuk anak yang kompeten secara sosial.
Syah (2011), menyatakan bahwa orang tua merupakan lingkungan sosial yang
lebih banyak pengaruhnya terhadap kegiatan belajar siswa melalui kebiasaan yang
diterapkan orang tua dalam mengelola keluarga. Nilai-nilai kedisiplinan dan
kecakapan secara sosial yang ditanamkan dalam pola asuh autoritatif dapat
mewujudkan disiplin belajar siswa.
Berdasarkan ulasan mengenai landasan teori di atas, maka dapat dijelaskan
kerangka teori melalui gambar 2.1. Pada gambar 2.1. menguraikan hubungan
antara motivasi belajar (variabel X1) dengan disiplin belajar pada siswa (variabel
Y); hubungan antara persepsi terhadap pola asuh autoritatif (variabel X2) dengan
disiplin belajar pada siswa (variabel Y); dan hubungan antara motivasi belajar
(variabel X1) dan persepsi terhadap pola asuh autoritatif (variabel X2) dengan
disiplin belajar pada siswa (variabel Y). Hubungan antar variabel penelitian
dijelaskan dalam kerangka teori berikut.
70
Gambar. 2.1 Kerangka Teori
Keterangan gambar: Keterangan gambar: 1. Menunjukkan hubungan antara motivasi belajar dengan disiplin belajar 2. Menunjukkan hubungan antara pola asuh autoritatif orangtua dengan disiplin
belajar 3. Menunjukkan hubungan antara motivasi belajar dan pola asuh autoritatif
orangtua secara simultan/bersama-sama dengan disiplin belajar.
Motivasi Belajar (X1)
Aspek-aspek: 1. Adanya hasrat dan keinginan
berhasil 2. Adanya dorongan dan kebutuhan
dalam belajar 3. Adanya harapan dan cita-cita masa
depan 4. Adanya kegiatan yang menarik
dalam belajar
(Uno, 2016)
Disiplin Belajar (Y)
Aspek-aspek: A. Disiplin Belajar di rumah
1. Belajar setiap hari 2. Mengerjakan pekerjaan rumah
3. Membuat laporan
B. Disiplin Belajar di sekolah 1. Ketepatan waktu datang ke sekolah 2. Keaktifan mengikuti pelajaran di
kelas 3. Ketaatan mengikuti peraturan di
kelas maupun sekolah 4. Menggunakan waktu luang.
(Sumantri, 2010)
Pola Asuh autoritatif Orangtua (X2)
Aspek-aspek: 1. Hangat dan suportif dibandingkan
menghukum 2. Menerapkan disiplin melalui cara
membujuk 3. Memberikan peluang kepada anak-anak untuk mempelajari perspektif dan perasaan
orang lain 4. Melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga dan memberikan peluang bagi anak-anak untuk melakukannya
juga. 5. Memberikan informasi mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai alasan mengapa. 6. Mendorong penghayatan moral yang lebih
bersifat internal dibandingkan eksternal.
(Santrock, 2007)
1
2
3
71
H. Hipotesis
Berdasarkan uraian dan pembahasan teoritis sebagaimana yang
dikemukakan sebelumnya, maka diajukan tiga hipotesis yang akan digunakan
dalam penelitian sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan positif antara motivasi belajar dengan disiplin belajar pada
siswa. Semakin tinggi motivasi belajar siswa maka semakin tinggi pula
disiplin belajar siswa. Sebaliknya apabila motivasi belajar siswa rendah maka
disiplin belajar siswa akan rendah pula.
2. Terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap pola asuh autoritatif
dengan disiplin belajar pada siswa. Pola asuh autoritatif yang dipersepsikan
anak tinggi maka disiplin belajar anak tinggi. Sebaliknya apabila persepsi
terhadap pola asuh autoritatif rendah maka disiplin belajar anak akan rendah
pula.
3. Terdapat hubungan antara motivasi belajar dan persepsi terhadap pola asuh
autoritatif secara simultan dengan disiplin belajar pada siswa.