48
24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Disiplin Belajar 1. Pengertian Disiplin Belajar Disiplin belajar adalah kepatuhan dari siswa untuk melaksanakan kewajiban belajar sehingga diperoleh perubahan pada dirinya, baik itu berupa pengetahuan, perbuatan maupun sikap baik itu belajar di rumah maupun belajar di sekolah (Sumantri, 2010). Disiplin belajar diartikan lebih khusus sebagai bentuk kesadaran tindakan untuk belajar seperti disiplin mengikuti pelajaran, ketepatan dalam menyelesaikan tugas, kedisiplinan dalam mengikuti ujian, kedisiplinan dalam menepati jadwal belajar, kedisiplinan dalam mentaati tata tertib yang berpengaruh langsung terhadap cara dan teknik peserta didik dalam belajar yang hasilnya dapat dilihat dari prestasi belajar yang dicapai (Sholihat, 2016). Disiplin belajar bagi siswa diartikan lebih khusus sebagai tindakan yang menunjukkan ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis dalam kegiatan mencari pengetahuan dan kecakapan baru. Kompri (2017) menyatakan bahwa disiplin belajar adalah kesadaran diri untuk mengendalikan atau mengontrol dirinya untuk sungguh-sungguh belajar. Menurut Ardi (2012), disiplin belajar adalah hal yang berpengaruh terhadap keberhasilan siswa, dengan demikian dapat dipahami bahwa disiplin belajar adalah mentaati tata tertib, atau kepatuhan dalam pemanfaatan waktu untuk belajar secara efektif dan efisien. Dimyati dan Mudjiono (2015) mengartikan disiplin belajar adalah suatu sikap,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Disiplin Belajar 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5576/3/BAB II.pdf · 2019. 6. 25. · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Disiplin Belajar 1. Pengertian

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  •  

    24

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Disiplin Belajar

    1. Pengertian Disiplin Belajar

    Disiplin belajar adalah kepatuhan dari siswa untuk melaksanakan

    kewajiban belajar sehingga diperoleh perubahan pada dirinya, baik itu berupa

    pengetahuan, perbuatan maupun sikap baik itu belajar di rumah maupun belajar di

    sekolah (Sumantri, 2010). Disiplin belajar diartikan lebih khusus sebagai bentuk

    kesadaran tindakan untuk belajar seperti disiplin mengikuti pelajaran, ketepatan

    dalam menyelesaikan tugas, kedisiplinan dalam mengikuti ujian, kedisiplinan

    dalam menepati jadwal belajar, kedisiplinan dalam mentaati tata tertib yang

    berpengaruh langsung terhadap cara dan teknik peserta didik dalam belajar yang

    hasilnya dapat dilihat dari prestasi belajar yang dicapai (Sholihat, 2016).

    Disiplin belajar bagi siswa diartikan lebih khusus sebagai tindakan yang

    menunjukkan ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan, baik tertulis maupun tidak

    tertulis dalam kegiatan mencari pengetahuan dan kecakapan baru. Kompri (2017)

    menyatakan bahwa disiplin belajar adalah kesadaran diri untuk mengendalikan

    atau mengontrol dirinya untuk sungguh-sungguh belajar. Menurut Ardi (2012),

    disiplin belajar adalah hal yang berpengaruh terhadap keberhasilan siswa, dengan

    demikian dapat dipahami bahwa disiplin belajar adalah mentaati tata tertib, atau

    kepatuhan dalam pemanfaatan waktu untuk belajar secara efektif dan efisien.

    Dimyati dan Mudjiono (2015) mengartikan disiplin belajar adalah suatu sikap,

  • 25

     

    tingkah laku dan perbuatan peserta didik dalam melakukan aktivitas belajar yang

    sesuai dengan keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, dan norma-norma yang

    telah ditetapkan, baik persetujuan tertulis maupun tidak tertulis antara peserta

    didik dengan tenaga pengajar ataupun peraturan yang dibuat sendiri.

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin belajar

    adalah kepatuhan siswa untuk melaksanakan kewajiban belajar secara sadar

    sehingga diperoleh perubahan pada dirinya, baik itu berupa pengetahuan,

    perbuatan maupun sikap baik itu belajar di rumah maupun belajar di sekolah.

    2. Aspek-aspek Disiplin Belajar

    Aspek-aspek disiplin belajar yang dikemukakan oleh Sumantri (2010) antara lain:

    a. Disiplin belajar di rumah, antara lain meliputi:

    1) Belajar setiap hari.

    Berkenaan dengan kewajiban belajar, maka bimbingan yang dapat

    dilakukan orangtua adalah, anak diminta untuk membaca/mengulang kembali

    pelajaran yang diterimanya dari sekolah setiap hari. Dengan kata lain, jangan

    biarkan anak melakukan kebiasaan belajar kalau hendak ulangan atau ujian

    saja. Hal ini dimaksudkan agar anak akan lebih mudah mengingat pelajaran.

    Perlu diingatkan kepada anak bahwa belajar setiap hari meski hanya tiga

    puluh menit akan lebih baik hasilnya; dibandingkan dengan belajar selama

    tiga jam, tetapi seminggu sekali (Kompri, 2017).

  • 26

     

    2) Mengerjakan pekerjaan rumah

    Agar siswa berhasil dalam belajarnya, perlulah mengerjakan tugas

    dengan sebaik-baiknya. Tugas itu mencakup mengerjakan PR (Slameto,

    2013). Menurut Unarajan (dalam Yuliyantika, 2017) menjelaskan siswa yang

    terbiasa dalam disiplin belajar akan menggunakan waktu sebaik-baiknya di

    rumah maupun di sekolah sehingga akan menunjukkan kesiapannya dalam

    proses pembelajaran di sekolah, sedangkan siswa yang tidak disiplin belajar

    mereka kurang menunjukkan kesiapannya dalam belajar dan menunjukkan

    perilaku yang tidak baik dalam proses pembelajaran seperti tidak

    mengerjakan PR.

    3) Membuat laporan.

    Siswa menyerahkan laporan tugas dan menjawab pertanyaan

    sehubungan dengan tugas yang dikumpulkannya (Dimyati & Mudjiono,

    2015).

    4) Belajar berkelompok.

    Dengan metode ini memberikan siswa bertanggungjawab mempelajari

    materi pelajaran dan menjabarkan isinya dalam sebuah kelompok tanpa

    campur tangan guru (Kompri, 2017). Menurut Slameto (2013) dengan belajar

    kelompok mendapatkan situasi belajar yang sebaik-baiknya bila kelompok

    siswa yang sedang belajar itu merasakan bahwa mereka berbuat sesuatu

    berdasarkan inisiatif dan kehendak sendiri, menerima tanggungjawab

    bersama. Kadang-kadang banyak masalah yang tidak dapat dipecahkan

    sendiri, maka perlu bantuan orang lain. Bekerja di dalam kelompok dapat

  • 27

     

    juga meningkatkan cara berpikir mereka sehingga dapat memecahkan

    masalah dengan lebih baik dan lancar (Slameto, 2013). Menurut Gunarsa

    (1992) dengan belajar kelompok ada diskusi kelompok, anak-anak mendapat

    kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya dengan teman sekelompok.

    b. Disiplin belajar di sekolah antara lain meliputi:

    1) Ketepatan waktu datang ke sekolah.

    Sistim sosial di sekolah yang terbentuk dan perangkat tata tertib dan

    peraturan sekolah adalah sistem nilai yang mengikat dan mengendalikan

    perilaku anak, yang menuntut anak untuk tunduk dan mentaatinya. Di sekolah

    semua kegiatan diatur dengan sebuah rencana yang sistimatis dan terpadu.

    Anak tidak bisa masuk dan pulang sesuka hatinya (Djamarah, 2015). Disiplin

    siswa dapat diketahui dengan salah satu ciri-ciri yaitu masuk kelas sesuai

    dengan jadwal yang ditetapkan (Setiawan, 2017).

    2) Keaktifan mengikuti pelajaran di kelas.

    Menurut Kompri (2017) perlu adanya kegiatan hubungan timbal balik

    (interaksi) antara guru dengan siswa, yang dapat meningkatkan cara belajar

    siswa, sehingga dapat mencapai hasil yang diinginkan. Active learning

    (belajar aktif) menuntun siswa untuk terlibat secara aktif mengikuti proses

    belajar di kelas. Dalam kegiatan pembelajaran, siswa juga diharapkan ikut

    berpartisipasi aktif tidak hanya sekedar hadir saja tanpa berbuat apa-apa atau

    mengantuk saat pelajaran berlangsung, namun sebaliknya seorang siswa

    harus sungguh-sungguh dan terlebih dahulu mempersiapkan diri dalam

  • 28

     

    belajar. Dengan kata lain, bahwa dalam pembelajaran diperlukan adanya

    aktivitas, tanpa aktivitas itu tidak mungkin berjalan dengan baik.

    3) Ketaatan mengikuti peraturan di kelas maupun di sekolah.

    Peserta didik yang memiliki sikap mentaati semua peraturan serta

    norma-norma yang ditetapkan dalam suatu situasi belajar, sehingga peserta

    dapat dengan tenteram mengikuti belajar dan akan cenderung memperoleh

    hasil belajar yang maksimal (Rohiat, 2010). Di sekolah semua kegiatan diatur

    dengan sebuah rencana yang sistematis dan terpadu. Pulang pergi anak,

    keluar masuk guru, pergantian jam pelajaran di setiap kelas, waktu istirahat,

    dan lama tidaknya pemberian bahan pelajaran oleh guru di masing-masing

    kelas, diatur dengan mempertimbangkan berbagai segi dan untung ruginya.

    Anak tidak bisa masuk dan pulang sesuka hatinya. Juga tidak dibenarkan

    mengabaikan tugas yang diberikan guru. Berbicara sesuka hati ketika

    menerima pelajaran adalah perilaku anak yang harus dikendalikan (Djamarah,

    2015).

    4) Menggunakan waktu luang.

    Disiplin dapat melahirkan semangat menghargai waktu, bukan menyia-

    nyiakan waktu berlalu dalam kehampaan. Disiplin belajar adalah mentaati

    tata tertib, atau kepatuhan dalam pemanfaatan waktu untuk belajar secara

    efektif dan efisien, dapat membuat rencana alokasi waktu menurut prioritas

    kepentingan masing-masing kegiatan belajar, mulai dari kegiatan yang

    terpenting sampai dengan yang kurang penting (Ardi, 2012). Menurut

    Unarajan (dalam Yuliyantika, 2017) siswa yang terbiasa dalam disiplin

  • 29

     

    belajar akan menggunakan waktu sebaik-baiknya di rumah maupun di

    sekolah sehingga akan menunjukkan kesiapannya dalam proses pembelajaran

    di sekolah, sedangkan siswa yang tidak disiplin belajar mereka kurang

    menunjukkan kesiapannya dalam belajar dan menunjukkan perilaku yang

    tidak baik dalam proses pembelajaran.

    Menurut Kompri (2017), untuk menumbuhkan kedisiplinan dalam belajar,

    maka siswa harus membiasakan hal-hal sebagai berikut:

    a. Mengikuti pedoman umum untuk belajar

    1) Keteraturan dalam belajar.

    Keteraturan merupakan unsur pokok dalam pelaksanaan disiplin belajar,

    karena dengan belajar yang teratur siswa akan menemukan sendiri cara

    belajar yang baik dan tentunya akan berpengaruh terhadap efektivitas belajar

    siswa.

    2) Konsentrasi.

    Konsentrasi merupakan pemusatan pikiran terhadap sesuatu dengan

    mengesampingkan semua masalah yang tidak berhubungan. Untuk itu, jika

    seorang siswa akan mengkonsentrasikan dirinya dalam kegiatan belajar, maka

    siswa harus memusatkan pikirannya terhadap satu pelajaran yang sedang

    dihadapinya, dan ia harus berusaha mengesampingkan semua hal yang tidak

    berhubungan dengan proses belajar yang akan dihadapi.

  • 30

     

    3) Tertib dalam belajar.

    Tertib dalam belajar adalah apabila seorang siswa menyusun tata tertib dalam

    belajar sehingga siswa dapat belajar dengan tertib, kontinu, dan konsisten

    sesuai dengan tata tertib yang telah dibuatnya.

    4) Tertib dalam menggunakan perpustakaan.

    Tidak ada kegiatan belajar yang dapat dilakukan tanpa membaca dan sumber

    bacaan adalah buku. Dalam menggunakan buku, anak harus mencintai dan

    menganggap buku sebagai sahabat. Seseorang dapat mencintai buku-buku

    dan mereka senantiasa merupakan sahabat yang abadi.

    b. Cara mengatur waktu

    1) Pengelompokkan waktu.

    Salah satu yang dihadapi anak adalah penggunaan waktu dalam belajar.

    Banyak anak yang mengeluh kekurangan waktu untuk belajar, tetapi

    sebenarnya anak kurang memiliki keteraturan dan disiplin untuk

    menggunakan waktu secara efektif dan efisien.

    2) Penjatahan waktu.

    Untuk belajar secara teratur setiap hari harus mempunyai rencana kegiatan.

    Banyak anak yang membuang waktu untuk memikirkan mata pelajaran,

    karena kebingungan apa yang sebaiknya dipelajari. Sehingga hal ini akan

    membuang waktu secara sia-sia

    Berdasarkan beberapa aspek disiplin belajar di atas, peneliti mengacu pada

    aspek disiplin belajar yang ada di dalam Sumantri (2010) bahwa ciri-ciri orang

    yang disiplin dalam belajar adalah: 1) disiplin belajar di rumah yang antara lain

  • 31

     

    meliputi: belajar setiap hari, mengerjakan pekerjaan rumah, membuat laporan; 2)

    disiplin belajar di sekolah yang antara lain meliputi: ketepatan waktu datang ke

    sekolah, keaktifan mengikuti pelajaran di kelas, ketaatan mengikuti peraturan di

    kelas maupun sekolah, menggunakan waktu luang.

    Aspek belajar kelompok tidak dimasukkan dalam aspek disiplin belajar dalam

    penelitian ini karena disiplin belajar yang diamati adalah yang berasal dari faktor

    internal dalam diri siswa. Syah (2011), menyatakan bahwa dalam perspektif

    psikologis kognitif, sesuatu yang berasal dari dalam diri atau intrinsik lebih

    signfikan karena lebih murni dan bersifat langgeng serta tidak bergantung pada

    rongrongan atau pengaruh orang lain.

    Alasan peneliti memilih aspek disiplin belajar dari Sumantri (2010), karena

    penjelasannya mudah dipahami oleh peneliti, dan dapat digunakan untuk

    mengungkapkan variabel disiplin belajar siswa.

    3. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Disiplin Belajar

    Suryabrata (dalam Khodijah, 2014) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

    memengaruhi disiplin belajar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:

    a. Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pembelajar, yang meliputi:

    1) Faktor-faktor fisiologis:

    a) Keadaan tonus jasmani

    Keadaan tonus jasmani berpengaruh pada kesiapan dan aktivitas

    belajar. Orang yang keadaan jasmaninya segar akan siap dan aktif dalam

    belajarnya, sebaliknya orang yang keadaan jasmaninya lesu dan lelah

    akan mengalami kesulitan untuk menyiapkan diri dan melakukan

  • 32

     

    aktivitas belajar. Keadaan tonus jasmani ini sangat berkaitan dengan

    asupan nutrisi yang diterima dan penyakit kronis yang diderita.

    Kekurangan nutrisi akan menimbulkan kelesuan lekas mengantuk, lekas

    lelah, dan sebagainya, sehingga berakibat pada ketidaksiapan dan

    kelesuan belajar. Adanya penyakit kronis yang diderita oleh seseorang

    juga akan sangat mengganggu aktivitas belajar.

    b) Pancaindra

    Pancaindra merupakan alat belajar. Karenanya berfungsinya indra

    dengan baik merupakan syarat untuk dapatnya belajar itu berlangsung

    dengan baik. Indra yang terpenting adalah mata dan telinga karena kedua

    indra inilah yang merupakan pintu gerbang masuknya berbagai informasi

    yang diperlukan dalam proses belajar

    2) Faktor-faktor psikologis:

    a) Minat

    Adanya minat terhadap objek yang dipelajari akan mendorong

    orang untuk mempelajari sesuatu dan mencapai hasil belajar yang

    maksimal. Minat merupakan komponen psikis yang berperan mendorong

    seseorang untuk meraih tujuan yang diinginkan, sehingga siswa bersedia

    melakukan kegiatan berkisar obyek yang diminati.

    b) Motivasi

    Motivasi bukan hanya berperanan dalam belajar di sekolah,

    melainkan juga dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Motivasi

    adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu (Winkel, 2015).

  • 33

     

    Motivasi belajar seseorang akan menentukan hasil belajar yang

    dicapainya. Bahkan dua orang yang sama-sama menunjukkan perilaku

    belajar yang sama, namun memiliki motivasi belajar yang berbeda akan

    mendapat hasil belajar yang relatif berbeda (Khodijah, 2014).

    c) Intelegensi

    Intelegensi merupakan modal utama dalam melakukan aktivitas belajar

    dan mencapai hasil belajar yang maksimal. Orang berinteligensi rendah

    tidak akan mungkin mencapai hasil belajar yang melebihi orang yang

    berinteligensi tinggi (Khodijah, 2014).

    d) Memori

    Memori merupakan kemampuan untuk merekam, menyimpan, dan

    mengungkapkan kembali apa yang telah dipelajari akan sangat

    membantu dalam proses belajar dan mencapai hasil belajar yang lebih

    baik (Khodijah, 2014).

    e) Emosi

    Penelitian tentang otak menunjukkan bahwa emosi yang positif akan

    sangat membantu kerja saraf otak untuk “merekatkan” apa yang

    dipelajari ke dalam memori (Khodijah, 2014).

    b. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pembelajar, yang meliputi:

    1) Faktor-faktor sosial:

    a) Orangtua

    Diakui bahwa orangtua sangat berperan penting dalam belajar

    anak. Pola asuh orangtua, fasilitas belajar yang disediakan, perhatian, dan

  • 34

     

    motivasi merupakan dukungan belajar yang harus diberikan orangtua

    untuk kesuksesan belajar anak (Khodijah, 2014). Menurut Baumrind

    (dalam Santrock, 2015) pola asuh dibagi menjadi empat: 1) Pola asuh

    Otoriter (Authoritarian parenting) ialah suatu gaya membatasi dan

    menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah

    orangtua dan menghormati pekerjaan dan usaha; 2) Pola asuh yang

    autoritatif (Authoritative parenting) ialah suatu sikap yang mendorong

    anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan

    pengendalian atas tindakan-tindakan mereka; 3) Pola asuh permissive-

    indulgent ialah suatu gaya pengasuhan di mana orangtua sangat terlibat

    dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau

    kendali terhadap mereka; 4) Pola asuh permissive-indifferent ialah suatu

    gaya dimana orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.

    b) Guru

    Terutama kompetensi pribadi dan profesional guru sangat berpengaruh

    pada proses dan hasil belajar yang dicapai anak didik.

    c) Teman-teman atau orang-orang di sekitar

    Teman-teman atau orang-orang di sekitar lingkungan belajar, kehadiran

    orang lain secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh

    buruk atau baik pada belajar seseorang.

  • 35

     

    2) Faktor-faktor non-sosial:

    a) Keadaan udara, suhu, dan cuaca

    Keadaan udara dan suhu yang terlalu panas dapat membuat seseorang

    tidak nyaman belajar sehingga juga tidak dapat mencapai hasil belajar

    yang optimal.

    b) Waktu (pagi, siang, atau malam)

    Sebagian besar orang lebih mudah memahami pelajaran di waktu pagi

    hari dibandingkanpada waktu siang atau sore hari.

    c) Tempat (letak dan pergedungannya)

    Seseorang biasanya sulit belajar di tempat yang ramai dan bising.

    d) Alat-alat atau perlengkapan belajar

    Dalam pelajaran tertentu yang memerlukan alat, belajar tidak akan

    mencapai hasil yang maksimal jika tanpa alat tersebut.

    Berdasarkan beberapa teori faktor-faktor yang memengaruhi disiplin belajar

    yaitu a) Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pembelajar yang meliputi

    faktor-faktor fisiologis dan faktor-faktor psikologis, b) Faktor-faktor yang berasal

    dari luar diri pembelajar yang meliputi faktor-faktor sosial dan faktor-faktor non

    sosial. Uraian yang dijelaskan di atas peneliti memilih faktor psikologis yang

    memengaruhi disiplin belajar dari dalam diri pembelajar yaitu motivasi belajar

    (Santrock, 2015) dan faktor sosial yang memengaruhi disiplin belajar dari luar diri

    pembelajar yaitu pola asuh autoritatif orangtua (Santrock, 2002).

    Alasan peneliti memilih faktor psikologis yang memengaruhi disiplin

    belajar dari dalam diri pembelajar yaitu motivasi belajar karena motivasi belajar

  • 36

     

    erat hubungannya dengan dorongan yang menjadi penggerak dalam diri

    seseorang. Motivasi merupakan suatu kekuatan yang dapat mendorong seseorang

    untuk melakukan sesuatu perbuatan, termasuk belajar. Bila seseorang memiliki

    motivasi belajar yang tinggi dan faktor psikologi berupa dorongan yang menjadi

    penggerak juga tinggi untuk mencapai suatu tujuan/prestasi (Wahab, 2015;

    Winkel, 2015).

    Faktor lain yaitu intelegensi tidak diteliti karena intelegensi merupakan

    faktor bawaan dari lahir. Djamarah (2008), menyebutkan intelegensi merupakan

    faktor yang bersifat menetap atau bawaan dari lahir sehingga sulit untuk diubah.

    Faktor lain yang tidak diteliti juga yaitu faktor minat. Minat sendiri merupakan

    faktor dasar pembentuk motivasi, sehingga peneliti lebih mengutamakan untuk

    meneliti motivasi belajar dibandingkan dengan intelegensi atau minat (Slameto,

    2013). Faktor lainnya yang juga tidak diteliti yaitu memori dan emosi karena

    seperti halnya intelegensi, memori merupakan bawaan yang sifatnya cenderung

    tetap dan sulit untuk diubah (Djamarah, 2008).

    Menurut Djamarah (2008), menyebutkan motivasi merupakan gejala

    psikologis dalam bentuk dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar

    untuk melakukan tindakan untuk tujuan tertentu. Motivasi memberikan gairah

    atau semangat dalam belajar, sehingga siswa memiliki energi banyak untuk

    melakukan kegiatan belajar. Motivasi mempunyai peran yang sangat strategis

    untuk mewujudkan disiplin belajar siswa.

    Hasil penelitian Sholihat (2016) menunjukkan bahwa motivasi belajar dan

    disiplin belajar merupakan faktor yang penting agar diperoleh hasil belajar yang

  • 37

     

    optimal. Hasil penelitian Sumantri (2010) yang dilakukan pada siswa kelas XI

    SMK PGRI 4 Ngawi, dapat disimpulkan bahwa tingkat kedisiplinan siswa dalam

    belajar merupakan salah satu faktor yang ikut memengaruhi prestasi belajar siswa.

    Hasil penelitian Lusi, Lestari, dan Purwanti (2015), dengan hasil terdapat korelasi

    antara motivasi belajar dengan disiplin belajar. Dengan adanya motivasi belajar

    dan diikuti disiplin belajar yang tinggi membentuk hasil belajar yang tinggi pula,

    begitu juga dengan sebaliknya. Motivasi membentuk kesadaran dan disiplin

    belajar berpengaruh terhadap cara dan sikap belajar yang akhirnya akan diperoleh

    hasil belajar.

    Peneliti memilih faktor sosial yang yang memengaruhi disiplin belajar dari

    luar pembelajar yaitu pola asuh. Faktor keluarga merupakan awal dari

    terbentuknya disiplin belajar pada siswa karena di dalam keluarga anak mulai

    belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Keluarga merupakan

    lingkungan pendidikan pertama, karena di dalam keluarga anak mendapatkan

    pendidikan dan bimbingan pertama kali dan peletak dasar pendidikan (Kompri,

    2017).

    Dalam penelitian ini pola asuh yang diteliti adalah pola asuh otoritatif.

    Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2015) pola asuh autoritatif adalah gaya asuh

    positif yang mendorong anak untuk independen tapi masih membatasi dan

    mengontrol tindakan mereka, percakapan ekstensif diizinkan, menghasilkan anak

    yang kompeten secara sosial. Salah satu aspek penting dalam pola asuh ini yaitu

    membiasakan perilaku disiplin pada anak, sehingga dengan pola asuh ini disiplin

    belajar pada siswa akan terbentuk.

  • 38

     

    Alasan pemilihan pola asuh autoritatif pada faktor sosial diantaranya karena

    diketahui ada hasil-hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten. Peneliti

    sebelumnya ada yang menyimpulkan adanya pengaruh pola asuh dengan disiplin

    belajar, dan ada juga yang menyimpulkan tidak ada pengaruh pola asuh terhadap

    disiplin belajar. Hasil penelitian Trisakti dan Astuti (2014) pola asuh yang telah

    dilakukan orangtua akan dipersepsikan siswa sejauh mana penilaian siswa

    terhadap pola asuh autoritatif orangtua membentuk disiplin belajarnya, karena

    hubungan orangtua dengan anak dipengaruhi oleh persepsi anak terhadap

    pendidikan atau pola asuh yang diberikan orangtuanya. Hasil penelitian Maliki

    (2017), didapatkan hasil tidak terdapat hubungan antara pola asuh orang tua

    terhadap disiplin belajar SMP Negeri 7 Kubang. Penelitian Murti, Murti, dan

    Suryani (2015), dengan hasil penelitian ada hubungan positif pola asuh orang tua

    dengan kedisplinan belajar. Hasil penelitian Sonita (2013), menyimpulkan tidak

    terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan disiplin

    siswa. Hasil penelitian yang tidak konsisten dari peneliti-peneliti sebelumnya

    menunjukkan bahwa sangat perlu untuk dilakukan pengkajian ulang tentang

    hubungan pola asuh orang tua dengan disiplin belajar.

    B. Motivasi Belajar

    1. Pengertian Motivasi Belajar

    Motivasi belajar ialah keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri

    siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan

    belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai suatu

  • 39

     

    tujuan. Motivasi belajar memegang peranan penting dalam memberikan gairah

    atau semangat dalam belajar, sehingga siswa yang bermotivasi kuat memiliki

    energi banyak untuk melakukan kegiatan belajar (Winkel, 2015).

    Menurut Khodijah (2014), motivasi belajar adalah dorongan yang menjadi

    penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dan mencapai suatu

    tujuan yaitu untuk mencapai prestasi. Djamarah (2015) menjelaskan bahwa dalam

    proses belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak

    mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktivitas

    belajar. Hal ini merupakan pertanda bahwa sesuatu yang akan dikerjakan itu tidak

    menyentuh kebutuhannya. Segala sesuatu yang menarik minat orang lain belum

    tentu menarik minat orang tertentu selama sesuatu itu tidak bersentuhan dengan

    kebutuhannya.

    Hakikat motivasi belajar menurut Uno (2016) adalah dorongan internal dan

    eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan

    tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang

    mendukung. Menurut Wahab (2015) motivasi belajar adalah dorongan yang

    menjadi penggerak dalam diri individu untuk melakukan sesuatu dan mencapai

    suatu tujuan yaitu untuk mencapai prestasi. Menurut Sardiman (2016) motivasi

    belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang

    khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk

    belajar. Kompri (2016) mengartikan motivasi belajar merupakan segi kejiwaan

    yang mengalami perkembangan, artinya terpengaruh oleh kondisi fisiologis dan

    kematangan psikologis siswa.

  • 40

     

    Berdasarkan uraian beberapa teori motivasi belajar eksternal dan internal

    tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar internal adalah dorongan yang

    menggerakkan seseorang melakukan kegiatan belajar dan memberikan arah pada

    kegiatan belajar untuk mencapai tujuan yaitu mencapai prestasi belajar.

    2. Aspek-aspek Motivasi Belajar

    Motivasi belajar menurut Uno (2016) memiliki enam aspek yaitu:

    a. Hasrat dan keinginan berhasil.

    Seorang individu menyelesaikan suatu pekerjaan sebaik orang yang

    memiliki motif berprestasi tinggi, justru karena dorongan menghindarkan

    kegagalan yang bersumber pada ketakutan atau kegagalan itu. Seorang siswa

    mungkin tampak bekerja dengan tekun, karena kalau dia tidak dapat

    menyelesaikan tugasnya dengan baik maka dia akan mendapat malu dari

    gurunya, atau diolok-olok oleh temannya, atau bahkan akan dihukum oleh

    orangtuanya. Di sini tampak, bahwa “keberhasilan” siswa tersebut disebabkan

    oleh dorongan atau rangsangan dari luar dirinya (Uno, 2016).

    b. Dorongan dan kebutuhan dalam belajar

    Dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan

    sesuatu. Contoh konkret, seorang siswa itu melakukan belajar, karena betul-

    betul ingin mendapat pengetahuan, nilai atau keterampilan agar dapat berubah

    tingkah lakunya secara konstruktif, tidak karena tujuan yang lain-lain. Perlu

    diketahui bahwa siswa yang memiliki motivasi instrinsik akan memiliki

    tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam

    bidang studi tertentu. Satu-satunya jalan untuk menuju ke tujuan yang ingin

  • 41

     

    dicapai ialah belajar, tanpa belajar tidak mungkin mendapat pengetahuan,

    tidak mungkin menjadi ahli. Dorongan yang menggerakkan itu bersumber

    pada suatu kebutuhan, kebutuhan yang berisikan keharusan untuk menjadi

    orang yang terdidik dan berpengetahuan. Jadi memang motivasi itu muncul

    dari kesadaran diri sendiri dengan tujuan secara esensial, bukan sekedar

    simbol atau seremonial (Sardiman, 2016).

    c. Harapan dan cita-cita masa depan

    Besarnya minat remaja terhadap pendidikan sangat dipengaruhi oleh

    minat mereka pada pekerjaan. Kalau remaja mengharapkan pekerjaan yang

    menuntut pendidikan tinggi maka pendidikan akan dianggap sebagai batu

    loncatan. Biasanya remaja lebih menaruh minat pada pelajaran-pelajaran yang

    nantinya akan berguna dalam pekerjaan yang dipilihnya. Seperti remaja

    muda, remaja yang lebih tua memandang keberhasilan dalam olah raga dan

    kehidupan sosial sama pentingnya dengan keberhasilan tugas-tugas sekolah

    dan merupakan batu loncatan bagi keberhasilan masa depan (Hurlock, 1980).

    d. Penghargaan dalam belajar

    Pada belajar instrumental, reaksi-reaksi seseorang siswa yang

    diperlihatkan diikuti tanda-tanda yang mengarah pada apakah siswa tersebut

    akan mendapat hadiah, hukuman, berhasil atau gagal. Oleh karena itu cepat

    atau lambatnya seseorang belajar dapat diatur dengan jalan memberikan

    penguat (reinforecement) atas dasar tingkat-tingkat kebutuhan. Dalam hal ini

    maka salah satu bentuk belajar instrumental yang khusus adalah

    “pembentukan tingkah laku”. Di sini individu diberi hadiah bila ia bertingkah

  • 42

     

    laku sesuai dengan tingkah laku yang dikehendaki, dan sebaliknya ia

    dihukum bila memperlihatkan tingkah laku yang tidak sesuai dengan yang

    dikehendakinya. Sehingga akhirnya akan terbentuk tingkah laku tertentu

    (Slameto, 2013).

    e. Kegiatan yang menarik dalam belajar

    Peran motivasi dalam memperjelas tujuan belajar erat kaitannya dengan

    kemaknaan belajar. Anak akan tertarik untuk belajar sesuatu, jika yang

    dipelajarinya itu sedikitnya sudah dapat diketahui atau dinikmati manfaatnya

    bagi anak. Sebagai contoh, anak akan termotivasi belajar elektronik karena

    tujuan belajar elektronik itu dapat melahirkan kemampuan anak dalam bidang

    elektronik. Dalam suatu kesempatan misalnya, anak tersebut diminta

    membetulkan radio yang rusak, dan berkat pengalamannya dari bidang

    elektronik, maka radio tersebut menjadi baik setelah diperbaikinya. Dari

    pengalaman itu, anak makin hari makin termotivasi untuk belajar, karena

    sedikit anak sudah mengetahui makna dari belajar itu (Uno, 2016).

    f. Lingkungan belajar yang kondusif

    Adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga memungkinkan

    seorang siswa dapat belajar dengan baik. Sistem lingkungan belajar terdiri

    atau dipengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masing akan saling

    memengaruhi. Menurut Santrock (2015), aktivitas belajar di rumah

    melibatkan keluarga dengan anak mereka. Ini antara lain menggunakan

    pekerjaan rumah dan aktivitas lain yang berhubungan dengan kurikulum

    pelajaran.

  • 43

     

    Sardiman (2016) menyampaikan motivasi belajar memiliki indikator

    sebagai berikut:

    a. Tekun menghadapi tugas

    Menurut Wahab (2015), motivasi menentukan ketekunan belajar.

    Seorang anak yang telah termotivasi untuk belajar sesuatu akan berusaha

    mempelajarinya dengan baik dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil

    yang baik. Dalam hal itu tampak bahwa motivasi untuk belajar menyebabkan

    seseorang tekun belajar; Uno (2016) menyampaikan seorang anak yang telah

    termotivasi untuk belajar sesuatu, akan berusaha mempelajarinya dengan baik

    dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil yang baik. Dalam hal itu,

    tampak bahwa motivasi untuk belajar menyebabkan seseorang tekun belajar.

    b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa)

    Pada mulanya anak didik tidak ada hasrat untuk belajar, tetapi karena

    ada sesuatu yang dicari muncullah minatnya untuk belajar. Sesuatu yang akan

    dicari itu dalam rangka untuk memuaskan rasa ingin tahunya dari sesuatu

    yang akan dipelajari. Sesuatu yang belum diketahui tersebut akhirnya

    mendorong anak didik untuk belajar dalam rangka mencari tahu. Sikap itulah

    yang mendasari dan mendorong ke arah sejumlah perbuatan dalam belajar

    (Wahab, 2015). Sardiman (2016), tidak memerlukan dorongan dari luar untuk

    berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah

    dicapainya).

  • 44

     

    c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah orang dewasa

    Misalnya masalah pembangunan agama, politik, ekonomi, keadilan,

    pemberantasan korupsi, penentangan terhadap setiap tindakan kriminal,

    amoral dan sebagainya (Sardiman, 2016). Anak-anak mengembangkan

    kemampuan mereka untuk memonitor atensinya, menetapkan apakah mereka

    menggunakan strategi yang tepat, dan mengubah pendekatan saat diperlukan

    untuk mengikuti rangkaian peristiwa yang kompleks (Flavel dalam Desmita,

    2012).

    d. Lebih senang bekerja mandiri

    Menurut penjelasan Rousseau (dalam Sardiman, 2016), dalam hal

    kegiatan belajar segala pengetahuan harus diperoleh dengan pengamatan

    sendiri, pengalaman sendiri, dengan fasilitas yang disediakan sendiri. Ini

    menunjukkan bahwa setiap orang yang belajar harus aktif sendiri. Tanpa ada

    aktivitas, proses belajar tidak mungkin terjadi. Itulah sebabnya Parkhurst

    menegaskan bahwa ruang kelas harus diubah/diatur sedemikian rupa menjadi

    laboratorium pendidikan yang mendorong anak didik bekerja sendiri. Dewey

    menegaskan bahwa sekolah harus dijadikan tempat kerja. Sehubungan dengan

    itu, ia menganjurkan pengembangan metode-metode proyek, problem solving,

    yang merangsang anak didik untuk melakukan kegiatan. Semboyan yang ia

    populerkan adalah learning by doing. Dalam belajar sangat diperlukan adanya

    aktivitas. Tanpa aktivitas, proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan

    baik.

  • 45

     

    e. Cepat bosan

    Pada tugas rutin menyampaikan hal-hal yang bersifat mekanis, berulang

    ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif (Sardiman, 2016). Syah (2009)

    menulis bahwa siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan

    perhatian yang memadai dari sekolah karena pelajaran yang disajikan

    terlampau mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustasi karena

    tuntutan kebutuhan keingintahuannya (curiosity) merasa dibendung secara

    tidak adil. Di sisi lain, siswa yang bodoh sekali akan merasa sangat payah

    mengikuti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karenanya siswa itu

    sangat tertekan, dan akhirnya merasa bosan dan frustasi seperti yang dialami

    rekannya yang luar biasa positif tadi.

    f. Dapat mempertahankan pendapatnya

    Menurut Steinberg (dalam Desmita, 2012), dalam hal ini siswa memiliki

    karakter kemandirian tingkah laku, yakni suatu kemampuan untuk membuat

    keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya

    secara bertanggungjawab.

    g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini

    Motivasi dapat berperan dalam penguatan belajar apabila seorang anak yang

    belajar dihadapkan pada masalah yang memerlukan pemecahan, dan hanya

    dapat dipecahkan berkat bantuan hal-hal yang pernah dilaluinya. Sebagai

    contoh, seorang anak akan memecahkan materi matematika dengan bantuan

    tabel logaritma. Tanpa bantuan tabel tersebut anak itu tidak dapat

    menyelesaikan tugas matematika. Dalam kaitan itu, anak berusaha mencari

  • 46

     

    buku tabel matematika. Upaya untuk mencari tabel matematika merupakan

    peran motivasi yang dapat menimbulkan penguatan belajar. Peristiwa tersebut

    dapat dipahami bahwa sesuatu dapat menjadi penguat belajar untuk

    seseorang, apabila dia sedang benar-benar mempunyai motivasi untuk belajar

    sesuatu (Uno, 2016). Menurut Sardiman (2016) ada momen terbentuknya

    kemauan dimana kalau seseorang sudah menetapkan satu putusan untuk

    dikerjakan, timbullah dorongan pada diri seseorang untuk bertindak,

    melaksanakan putusan itu.

    h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal

    Peran motivasi dalam memperjelas tujuan belajar erat kaitannya dengan

    kemaknaan belajar. Anak akan tertarik untuk belajar sesuatu, jika yang

    dipelajari itu sedikitnya sudah dapat diketahui atau dinikmati manfaatnya

    bagi anak. Sebagai contoh, anak akan termotivasi belajar elektronik karena

    tujuan belajar elektronik itu dapat melahirkan kemampuan anak dalam bidang

    elektronik. Dalam suatu kesempatan misalnya anak tersebut diminta

    membetulkan radio yang rusak, dan berkat pengalamannya dari bidang

    elektronik, maka radio tersebut menjadi baik setelah diperbaikinya. Dari

    pengalaman ini, anak makinhari makin termotivasi untuk belajar, karena

    sedikit anak sudah mengetahui makna dari belajar itu (Uno, 2016).

    Menurut Santrock (2015) motivasi belajar ada yang disebut motivasi belajar

    intrinsik yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri

    (tujuan itu sendiri). Aspek-aspek motivasi belajar antara lain sebagai berikut:

  • 47

     

    a. Murid belajar menghadapi ujian karena dia senang pada mata pelajaran yang

    diujikan itu. Dalam pandangan ini, murid ingin percaya bahwa mereka

    melakukan sesuatu karena kemauan mereka sendiri, bukan karena kesuksesan

    atau imbalan eksternal (Santrock, 2015).

    b. Murid termotivasi untuk belajar saat mereka diberi pilihan, Para periset

    (Grolnick dkk., 2002; Stipek, 1996, 2002) menemukan bahwa motivasi

    internal dan minat intrinsik dalam tugas sekolah naik apabila murid punya

    pilihan dan peluang untuk mengambil tanggungjawab personal atas

    pembelajaran mereka (Santrock, 2015).

    c. Senang menghadapi tantangan yang sesuai dengan kemampuan mereka, dan

    mendapat imbalan yang mengandung nilai informasional tetapi bukan dipakai

    untuk kontrol, misalnya guru memberikan pujian kepada siswa,

    Chickszentmihalyi (dalam Santrock, 2015) mengatakan bahwa pengalaman

    optimal ini terjadi ketika individu terlibat dalam tantangan yang mereka

    anggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu mudah. Pengalaman optimal

    ini berupa perasaan senang dan bahagia yang besar.

    Berdasarkan uraian aspek-aspek motivasi belajar di atas peneliti memilih

    aspek motivasi belajar dari Uno (2016). Aspek motivasi belajar dari Uno (2016),

    keseluruhan ada 6 aspek tetapi dalam penelitian ini hanya digunakan 4 aspek saja

    yaitu aspek-aspek yang berasal dari dalam diri atau bersifat internal sebagai

    berikut: a) adanya hasrat dan keinginan berhasil; b) adanya dorongan dan

  • 48

     

    kebutuhan dalam belajar; c) adanya harapan dan cita-cita masa depan; d) adanya

    kegiatan yang menarik dalam belajar.

    Penggunaan 4 aspek yang bersifat intrinsik, mengacu pada pendapat Syah

    (2011), yang menyatakan bahwa motivasi yang mempunyai pengaruh nyata

    adalah motivasi intrinsik karena berasal dari dalam diri, tidak bergantung pada

    pengaruh orang lain dan memberikan pengaruh yang lebih kuat dan lebih

    langgeng. Dikuatkan lagi oleh Djamarah (2008), menyatakan bahwa siswa yang

    mempunyai motivasi intrinsik semangatnya lebih kuat, melakukan sesuatu bukan

    karena ingin mendapatkan pujian ataupun penghargaan tetapi benar-benar karena

    kesadaran ingin mencapai tujuan.

    Alasan peneliti memilih aspek tersebut karena penjelasannya mudah

    dipahami oleh peneliti, dan dapat digunakan untuk mengungkapkan motivasi

    belajar siswa.

    C. Persepsi Terhadap Pola Asuh Autoritatif

    1. Pengertian Persepsi Pola Asuh Autoritatif.

    Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2015) pola asuh yang autoritatif

    (Authoritative parenting) ialah suatu gaya asuh yang mendorong anak untuk

    independen tapi masih membatasi dan mengontrol tindakan anak; dan

    menghasilkan anak yang kompeten secara sosial. Orangtua tidak boleh terlalu

    menghukum (punitive) atau terlalu tidak peduli (aloof). Sebaiknya, orangtua

  • 49

     

    menyusun aturan bagi anak dan pada saat yang sama bersifat suportif,

    membimbing dan mengasuh (nurturant).

    Shochib (2014) menjelaskan pola pertemuan antara orangtua sebagai

    pendidik dan anak sebagai si terdidik dengan maksud bahwa orangtua

    mengarahkan anaknya sesuai dengan tujuannya; yaitu membantu anak memiliki

    dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Orangtua dengan anaknya sebagai

    pribadi dan sebagai pendidik, dapat menyingkapkan pola asuh orangtua dalam

    mengembangkan disiplin anak yang tersirat dalam situasi dan kondisi yang

    bersangkutan.

    Pola asuh diartikan sebagai sistem atau cara kerja mengasuh atau merawat

    dan mendidik, membimbing, membantu dan melatih. Persepsi dibutuhkan siswa

    guna menyimpulkan informasi dan pesan yang akan diberikan makna terhadap

    pola asuh autoritatif (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995). Menurut Brooks

    (2011) pola asuh merupakan sebuah tindakan dan interaksi antara orangtua dan

    anak, dimana kedua pihak saling mengubah satu sama lain saat anak tumbuh

    menjadi sosok dewasa.

    Menurut Desmita (2012) persepsi adalah suatu proses penggunaan

    pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh dan menginterpretasi stimulus

    (rangsangan) yang diterima oleh sistem alat indra manusia. Menurut Walgito

    (2010) persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian

    terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga

    merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrasi dalam

    diri individu. Menurut Khairani (2016) persepsi merupakan suatu proses

  • 50

     

    penginderaan, stimulus yang diterima oleh individu melalui alat indera yang

    kemudian diinterpretasikan sehingga individu dapat memahami dan mengerti

    tentang stimulus yang diterimanya tersebut. Slameto (2013) menulis bahwa

    persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam

    otak manusia. Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan

    dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera

    penglihatan, pendengar, peraba, perasa dan pencium.

    Persepsi pola asuh orangtua merupakan proses anak menggunakan

    informasi dari lingkungan dan menilai pengalamannya berinteraksi dengan

    orangtua untuk memberikan kesan tentang bagaimana orangtua mengasuhnya.

    Setiap pola asuh yang diberikan oleh orangtua akan dipersepsikan secara

    subyektif karena kebutuhan dan karakteristik anak itu sendiri (Khoirunnisa, Fitria,

    Rofi, 2015).

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan pengertian persepsi terhadap

    pola asuh autoritatif adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah

    dimiliki untuk memperoleh dan menginterpretasi gaya asuh yang mendorong anak

    untuk independen tapi masih membatasi, mengontrol tindakan, mengijinkan

    percakapan ekstensif sehingga menghasilkan anak yang kompeten secara sosial.

    2. Aspek-aspek Persepsi Terhadap Pola Asuh autoritatif

    Menurut Eisenberg & Valiente (dalam Santrock, 2007), aspek-aspek pola

    asuh autoritatif antara lain:

  • 51

     

    a. Hangat dan suportif dibandingkan menghukum.

    Keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan

    hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan

    anak. Dalam keluarga ini orangtua bertanggungjawab dan dapat dipercaya.

    Setiap anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus

    diminta. Orangtua sebagai koordinator keluarga harus berperilaku proaktif.

    Jika anak menentang otoritas, segera ditertibkan karena di dalam keluarga

    terdapat aturan-aturan dan harapan-harapan. Anak-anak merasa aman,

    walaupun tidak selalu disadari (Shochib, 2014).

    b. Menerapkan disiplin melalui cara membujuk

    Membujuk adalah suatu teknik disiplin dimana orangtua menggunakan

    penalaran dan penjelasan mengenai konsekuensi tindakan remaja terhadap

    orang lain. Contoh membujuk adalah ”Jangan memukulnya. Ia hanya

    mencoba membantu” dan “Mengapa kamu berteriak kepadanya? Ia tidak

    bermaksud melukai perasaanmu (Santrock, 2007). Menurut pendapat

    Hoffman (dalam Santrock, 2007) bahwa seharusnya orangtua menggunakan

    cara membujuk untuk mendorong perkembangan moral remaja. Dalam

    penelitian teknik pengasuhan, membujuk memiliki kaitan yang lebih positif

    dengan perkembangan moral dibandingkan menarik cinta atau

    memperlihatkan kekuasaan.

  • 52

     

    c. Memberikan peluang kepada anak-anak untuk mempelajari perspektif dan

    perasaan orang lain

    Menurut Saarni (dalam Santrock, 2007), individu pada masa remaja

    cenderung lebih menyadari siklus emosionalnya, seperti perasaan bersalah

    karena marah. Kesadaran yang baru ini dapat meningkatkan kemampuan

    mereka dalam mengatasi emosi-emosinya. Remaja juga lebih terampil dalam

    menampilkan emosi-emosinya ke orang lain. Sebagai contoh, mereka menjadi

    menyadari pentingnya menutupi rasa marah dalam relasi sosial. Mereka juga

    lebih memahami bahwa kemampuan mengomunikasikan emoso-emosinya

    secara konstruktif dapat meningkatkan kualitas relasi mereka. Menurut

    Lapsley & Murphy (dalam Santrock, 2007), perubahan-perubahan dalam

    pengambilan perspektif (perspektif taking), yaitu kemampuan untuk

    mempertimbangkan sudut pandang orang lain serta memahami pikiran dan

    perasaannya, cenderung berperan dalam perkembangan egosentrisme remaja.

    Menurut Selman & Adalbjarnardottir; Selman & Schultz (dalam Santrock,

    2007), pengambilan perspektif dapat meningkatkan pemahaman-diri remaja,

    meningkatkan status kawan sebaya, dan kualitas persahabatan mereka.

    d. Melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan

    Melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga dan

    memberikan peluang bagi anak-anak untuk melakukannya juga. Enright dkk

    (dalam Santrock 2007) menjelaskan orangtua adalah tokoh yang berpengaruh

    dalam proses pencarian identitas pada remaja. Dalam studi-studi yang

    mengaitkan perkembangan identitas dengan gaya pengasuhan, ditemukan

  • 53

     

    bahwa orangtua autoritatif yang mendorong remaja untuk berpartisipasi

    dalam pengambilan keputusan akan mengembangkan identity achiement.

    Stuart dan Hauser (dalam Santrock, 2007) telah mengidentifikasikan proses-

    proses lain dalam keluarga yang dapat mengembangkan perkembangan

    identitas remaja. Orangtua yang menampilkan perilaku membolehkan (seperti

    menjelaskan, menerima, dan empati) akan mendorong perkembangan

    indentitas remaja dibandingkan orangtua yang menampilkan perilaku

    memaksa (seperti menilai dan merendahkan). Singkatnya, menurut Harter

    (dalam Santrock, 2007), gaya interaksi keluarga, yang memberikan

    kesempatan kepada remaja untuk bertanya dan untuk berbeda pendapat dalam

    konteks yang saling mendukung akan mengembangkan pola perkembangan

    identitas yang sehat.

    e. Memberikan informasi mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai

    alasan mengapa

    Asesmen diri dapat dimiliki anak jika orangtua mampu membantu anak

    menyadari dan menghayati perilaku-perilakunya. Artinya, dalam hal ini

    orangtua dituntut untuk membantu anak agar dapat membaca perilaku-

    perilakunya. Apakah mereka telah melakukan penyimpangan terhadap nilai-

    nilai moral atau telah melakukan tindakan sesuai dengan nilai-nilai moral.

    Jika mereka telah mampu melihat perilaku-perilakunya maka dengan

    sendirinya mereka akan menyadari apakah perilaku-perilakunya telah

    menyimpang atau tidak dari nilai-nilai moral. Kesadaran ini akan

    menghindarkan mereka dari mengulang kesalahan yang sama serta dapat

  • 54

     

    meningkatkan perilaku-perilaku yang patuh terhadap nilai-nilai moral

    (Shochib, 2014).

    f. Mendorong penghayatan moral yang lebih bersifat internal dibandingkan

    eksternal

    Orangtua dengan pola asuh autoritatif cenderung mendorong

    berkembangnya perhatian dan kepedulian anak-anaknya terhadap orang lain, serta

    menciptakan relasi orangtua-anak yang positif (Santrock, 2007).

    Sigelman dan Shaffer (dalam Trisakti dan Astuti, 2014) menjelaskan bahwa

    aspek-aspek persepsi pola asuh autoritatif: (1) Ketegasan, yaitu adanya

    kedisiplinan dan aturan dalam keluarga; (2) Kehangatan, yaitu adanya kasih

    sayang dan cinta dalam huubungan orangtua dan anak; (3) Kebebasan, yaitu

    adanya dorongan untuk membentuk kemandirian atau otonomi anak; (4) Tidak

    ada kekerasan yaitu tidak adanya unsur kekerasan fisik dan non fisik dalam

    berinteraksi dengan anak.

    Aspek-aspek yang digunakan dalam persepsi pola asuh autoritatif yaitu

    aspek dari Eisenberg & Valiente (Santrock, 2007) yaitu: (1) hangat dan suportif

    dibandingkan menghukum; (2) menerapkan disiplin melalui cara membujuk; (3)

    memberikan peluang kepada anak-anak untuk mempelajari perspektif dan

    perasaan orang lain; (4) melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan di

    dalam keluarga dan memberikan peluang bagi anak-anak untuk melakukannya;

    (5) memberikan informasi mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai alasan

    mengapa; (6) mendorong penghayatan moral yang lebih bersifat internal

    dibandingkan eksternal.

  • 55

     

    Alasan pemilihan aspek ini karena mudah dipahami, aspeknya lengkap dan

    menyeluruh serta dapat digunakan untuk mengukur persepsi pola asuh autoritatif.

    D. Hubungan antara Motivasi Belajar dengan Disiplin Belajar pada Siswa

    Seorang individu menyelesaikan suatu pekerjaan sebaik orang yang

    memiliki motif berprestasi tinggi, justru karena dorongan menghindarkan

    kegagalan yang bersumber pada ketakutan atau kegagalan itu. Seorang siswa

    mungkin tampak bekerja dengan tekun, karena kalau dia tidak dapat

    menyelesaikan tugasnya dengan baik maka dia akan mendapat malu dari gurunya,

    atau diolok-olok oleh temannya, atau bahkan akan dihukum oleh orangtuanya

    (Uno, 2016). Ketekunan tersebut berkenaan dengan kewajiban belajar yaitu

    dengan membaca/mengulang kembali pelajaran yang diterimanya dari sekolah

    setiap hari. Hal tersebut dimaksudkan agar anak akan lebih mudah mengingat

    pelajaran (Kompri, 2017). Agar siswa berhasil dalam belajarnya, perlu

    mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya, tugas itu mencakup mengerjakan PR

    (Slameto, 2013).

    Menurut Winkel (2015) motivasi belajar memegang peranan penting dalam

    memberikan gairah atau semangat dalam belajar, sehingga siswa yang bermotivasi

    kuat memiliki energi banyak untuk melakukan kegiatan belajar. Adanya dorongan

    dan kebutuhan dalam belajar dipengaruhi oleh disiplin belajar. Ardi (2012)

    menjelaskan bahwa disiplin dapat melahirkan semangat menghargai waktu.

    Dengan disiplin belajar, berarti mentaati tata tertib, atau kepatuhan dalam

    pemanfaatan waktu untuk belajar secara efektif dan efisien, dapat membuat

    rencana alokasi waktu menurut prioritas kepentingan masing-masing kegiatan

  • 56

     

    kegiatan belajar, mulai dari kegiatan yang penting sampai dengan yang kurang

    penting.

    Aspek hasrat dan keinginan berhasil, dorongan dan kebutuhan dalam

    belajar, harapan dan cita-cita masa depan berhubungan dengan belajar setiap hari.

    Hasrat dan keinginan berhasil membuat seorang individu menyelesaikan suatu

    pekerjaan karena dorongan menghindarkan kegagalan yang bersumber pada

    ketakutan atau kegagalan (Uno, 2016). Dorongan dan kebutuhan dalam belajar

    membuat seorang siswa itu melakukan belajar, karena betul-betul ingin mendapat

    pengetahuan, nilai atau keterampilan agar dapat berubah tingkah lakunya secara

    konstruktif (Sardiman, 2016). Seorang siswa dapat pula belajar karena ada

    dorongan untuk memperoleh kekuatan sehingga kemauan belajar bertambah besar

    dan mencapai keberhasilan yang tinggi. Seseorang yang akan berbuat lebih baik

    dan berhasil apabila dia memahami apa yang harus dikerjakannya dan yang

    dicapai dengan perbuatannya itu (Uno, 2016)

    Harapan dan cita-cita masa depan membuat siswa bepikir dalam minat pada

    pekerjaan. Kalau siswa mengharapkan pekerjaan yang menuntut pendidikan tinggi

    maka pendidikan akan dianggap sebagai batu loncatan bagi keberhasilan masa

    depan (Hurlock, 1980). Jadi, hasrat dan keinginan berhasil, dorongan dan

    kebutuhan dalam belajar, harapan dan cita-cita masa depan akan mendorong siswa

    untuk belajar setiap hari.

    Disiplin belajar merupakan mentaati tata tertib, atau kepatuhan dalam

    pemanfaatan waktu untuk belajar secara efektif dan efisien, dapat membuat

    rencana alokasi waktu menurut prioritas kepentingan masing-masing kegiatan

  • 57

     

    belajar, mulai dari kegiatan yang terpenting sampai dengan yang kurang penting

    (Ardi, 2012).

    Kegiatan yang menarik dalam belajar, siswa akan tertarik untuk belajar

    sesuatu, jika yang dipelajarinya itu sedikitnya sudah dapat diketahui atau

    dinikmati manfaatnya bagi siswa. Dari pengalaman itu, anak makin hari makin

    termotivasi untuk belajar, karena sedikit anak sudah mengetahui makna dari

    belajar itu (Uno, 2016). Adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga

    memungkinkan seorang siswa dapat belajar dengan baik. Sistim lingkungan

    belajar terdiri atau dipengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masing

    akan saling memengaruhi (Sardiman, 2016). Siswa yang memiliki sikap mentaati

    semua peraturan dan norma-norma yang ditetapkan dalam situasi belajar dapat

    dengan tenteram mengikuti pelajaran dan akan cenderung memperoleh hasil

    belajar yang maksimal (Rohiat, 2011). Agar belajar dapat berjalan dengan baik

    dan berhasil, seorang siswa idealnya mempunyai jadwal yang baik dan

    melaksanakan dengan teratur dan disiplin (Slameto, 2003). Jadi, penghargaan

    dalam belajar, kegiatan yang menarik dalam belajar, dan lingkungan belajar yang

    kondusif akan mempengaruhi siswa dalam menggunakan waktu luangnya.

    Berdasarkan hasil penelitian Sholihat (2016), secara umum menunjukkan

    bahwa motivasi belajar dan disiplin belajar merupakan faktor yang penting agar

    diperoleh hasil belajar yang optimal. Dengan adanya motivasi belajar dan diikuti

    disiplin belajar yang tinggi maka akan diperoleh hasil belajar yang tinggi pula,

    begitu juga dengan sebaliknya. Motivasi akan membentuk kesadaran dan disiplin

    belajar akan berpengaruh terhadap cara dan sikap belajar. Disiplin belajar

  • 58

     

    merupakan suatu bentuk kesadaran tindakan untuk belajar seperti disiplin belajar

    di rumah: belajar setiap hari, mengerjakan pekerjaan rumah, membuat laporan,

    belajar berkelompok; disiplin belajar di sekolah: ketepatan waktu datang ke

    sekolah, keaktifan mengikuti pelajaran di kelas, ketaatan mengikuti peraturan di

    kelas maupun di sekolah, menggunakan waktu luang.

    Berdasarkan hasil penelitian Febriani, Lestari, Purwanti (2015)

    menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara motivasi belajar dengan

    disiplin belajar pada siswa kelas X Sekolah Menengah Atas Mujahidin Pontianak.

    Artinya bahwa semakin baik motivasi belajar siswa maka semakin baik pula

    disiplin belajar siswa. Begitu pula sebaliknya, semakin tidak baik motivasi belajar

    maka semakin tidak baik pula disiplin belajar siswa.

    Berdasarkan ulasan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada

    hubungan antara motivasi belajar dengan disiplin belajar siswa. Semakin tinggi

    motivasi belajar siswa maka semakin tinggi pula disiplin belajar siswa.

    Sebaliknya apabila motivasi belajar siswa rendah maka disiplin belajar siswa akan

    rendah pula.

    E. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Autoritatif dengan

    Disiplin Belajar Pada Siswa

    Disiplin belajar merupakan kepatuhan dari siswa untuk melaksanakan

    kewajiban belajar secara sadar sehingga diperoleh perubahan pada dirinya, baik

    itu berupa pengetahuan, perbuatan maupun sikap baik itu belajar di sekolah

    maupun belajar di rumah. Bekaitan dengan disiplin belajar di rumah, orangtua

    sangat berperan dalam perkembangan disiplin belajar anak di rumah (Sumantri,

  • 59

     

    2010). Orangtua dituntut untuk membantu anak agar orangtua dapat mengetahui

    perilaku anaknya. Orangtua memberikan informasi mengenai perilaku anak yang

    diharapkan dan disertai alasan mengapa kepada anak. Jika anak telah mampu

    melihat perilaku-perilakunya maka dengan sendirinya anak akan menyadari

    apakah perilaku-perilakunya telah menyimpang atau tidak dari nilai-nilai moral.

    Kesadaran ini akan menghindarkan mereka dari mengulang kesalahan yang sama

    serta dapat meningkatkan perilaku-perilaku yang patuh terhadap nilai-nilai moral

    (Shochib, 2014).

    Anak akan mempersepsikan pola asuh yang diterimanya dari orangtua.

    Persepsi pola asuh orangtua merupakan proses anak menggunakan informasi dari

    lingkungan dan menilai pengalamannya berinteraksi dengan orangtua untuk

    memberikan kesan tentang bagaimana orangtua mengasuhnya. Setiap pola asuh

    yang diberikan oleh orangtua akan dipersepsikan secara subyektif karena

    kebutuhan dan karakteristik anak itu sendiri (Khoirunnisa, Fitria, Rofi, 2015).

    Salah satu teknik pola asuh autoritatif yaitu dengan cara membujuk. Membujuk

    merupakan suatu teknik disiplin dimana orangtua menggunakan penalaran dan

    penjelasan mengenai konsekuensi dari tindakan anak terhadap orang lain.

    Menerapkan disiplin melalui cara membujuk contohnya adalah, “Jangan

    memukulnya. Ia hanya mencoba membantu” dan “Mengapa kamu berteriak

    kepadanya? Ia tidak bermaksud melukai perasaanmu (Santrock, 2007).

    Anak akan terbiasa mempertimbangkan keputusannya karena persepsinya

    terhadap pola asuh autoritatif. Perubahan-perubahan dalam pengambilan

    perspektif yaitu kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain

  • 60

     

    serta memahami pikiran dan perasaannya, cenderung berperan dalam

    perkembangan egosentrisme anak (Lapsley & Murphy dalam Santrock, 2007).

    Orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif akan berupaya untuk

    mengarahkan aktifitas anak secara rasional, mendorong anak untuk berani

    berpendapat melalui dialog verbal, mendengarkan pendapat anak, bersedia

    berbagi dengan anak terkait alasan menerapkan suatu aturan, dan menerima

    apabila anak menolak untuk menyesuaikan dengan aturan yang diterapkan.

    Orangtua dengan pola asuh autoritatif akan menetapkan ketegasan terkait kualitas

    anak dan menetapkan standar bagi perilaku anak dimasa depan (Baumrind dalam

    Santrock, 2015).

    Syamaun (2014) berpendapat bahwa pola asuh orangtua tipe autoritatif,

    cirinya adalah menerima, koorperatif, terbuka terhadap anak, mengajar anak untuk

    mengembangkan disiplin diri, jujur, dan ikhlas dalam menghadapi masalah anak-

    anak, memberikan penghargaan positif kepada anak tanpa dibuat-buat,

    mengajarkan kepada anak untuk mengembangkan tanggungjawab atas setiap

    perilaku dan tindakannya. Kemampuan mempertimbangan serta

    bertanggungjawab atas perilaku dan tindakan akan mempengaruhi anak, termasuk

    dalam disiplin belajarnya. Siswa yang memiliki perilaku displin belajar akan

    menampilkan perilaku belajar setiap hari, mengerjakan pekerjaan rumah,

    membuat laporan, belajar berkelompok, tepat waktu datang ke sekolah, aktif

    mengikuti pelajaran di kelas, taat mengikuti peraturan di kelas maupun di sekolah,

    mampu menggunakan waktu luang (Sumantri, 2010). Disiplin belajar ini muncul

    karena anak merasa bertanggungjawab atas semua kewajibannya sebagai pelajar.

  • 61

     

    Aspek hangat dan suportif dibandingkan menghukum, menerapkan disiplin

    melalui cara membujuk, memberikan peluang kepada anak-anak untuk

    mempelajari perspektif dan perasaan orang lain, melibatkan anak-anak dalam

    pengambilan keputusan, memberikan informasi mengenai perilaku yang

    diharapkan dan disertai alasan mengapa, serta mendorong penghayatan moral

    yang lebih bersifat internal dibandingkan eksternal berhubungan dengan aspek

    belajar setiap hari. Hangat dan suportif dibandingkan menghukum ditandai oleh

    keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta

    ibu dengan anak. Jika anak menentang otoritas, segera ditertibkan karena di dalam

    keluarga terdapat aturan-aturan dan harapan-harapan yang membuat anak merasa

    aman (Shochib, 2014). Menerapkan disiplin melalui cara membujuk ditandai

    orangtua menggunakan penalaran dan penjelasan mengenai konsekuensi tindakan

    siswa terhadap orang lain (Santrock, 2007). Memberikan peluang kepada anak-

    anak untuk mempelajari perspektif dan perasaan orang lain ditandai dengan

    memberikan informasi mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai alasan

    mengapa ditandai orangtua menggunakan penalaran dan penjelasan mengenai

    konsekuensi tindakan siswa terhadap orang lain (Santrock, 2007).

    Melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan ditandai dengan

    memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya dan untuk berbeda pendapat

    dalam konteks yang saling mendukung akan mengembangkan pola perkembangan

    identitas yang sehat (Harter dalam Santrock, 2007). Memberikan informasi

    mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai alasan mengapa ditandai orangtua

    mampu membantu anak menyadari dan menghayati perilaku-perilakunya

  • 62

     

    sehingga meningkatkan perilaku-perilaku yang patuh terhadap nilai-nilai moral

    (Shochib, 2014). Mendorong penghayatan moral yang lebih bersifat internal

    dibandingkan eksternal ditandai dengan orangtua cenderung mendorong

    berkembangnya perhatian dan kepedulian anak-anaknya terhadap orang lain, serta

    menciptakan relasi orangtua-anak yang positif (Santrock, 2007). Keenam aspek

    persepsi terhadap pola asuh ini akan membantu anak dalam mempertimbangkan,

    mengetahui alasan, tanggungjawabnya dan konsekuensi yang anak lakukan

    apabila tidak disiplin dalam belajar.

    Menurut Trisakti dan Astuti (2014) pola asuh yang telah dilakukan orangtua

    akan dipersepsikan siswa sejauh mana penilaian siswa terhadap pola asuh

    autoritatif orangtua membentuk disiplin belajarnya, karena hubungan orangtua

    dengan anak dipengaruhi oleh persepsi anak terhadap pendidikan atau pola asuh

    yang diberikan orangtuanya. Hasil penelitian Setiawan (2017) terdapat pengaruh

    positif dan sangat signifikan antara bentuk pola asuh orangtua terhadap disiplin

    siswa.

    Hasil penelitian Murti, Murti, dan Suryani (2015) menunjukkan ada

    hubungan positif pola asuh orangtua autoritatif dengan kedisplinan belajar secara

    signifikan. Hal tersebut dapat ditunjukan dengan nilai t hitung 2,798, koefisien

    regresi 0,286 dan nilai signifikansi 0,006. Karena nilai signifikansi (p) < 0,05 dan

    koefisien regresi mempunyai nilai positif, maka dapat disimpulkan terdapat

    pengaruh positif dan signifikan pola asuh demokratis orangtua terhadap

    kedisiplinan pada peraturan sekolah pada siswa kelas X di SMA N 1 Minggir.

  • 63

     

    Berdasarkan ulasan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada

    hubungan antara persepsi terhadap pola asuh autoritatif dengan disiplin belajar

    pada siswa. Pola asuh autoritatif yang dipersepsikan anak tinggi maka disiplin

    belajar anak tinggi. Sebaliknya apabila pola asuh autoritatif dipersepsikan anak

    rendah maka disiplin belajar anak akan rendah pula.

    F. Hubungan Antara Motivasi Belajar Dan Persepsi Terhadap Pola

    Asuh Autoritatif Dengan Disiplin Belajar Pada Siswa

    Motivasi belajar dan persepsi terhadap pola asuh autoritatif saling berkaitan

    dalam mempengaruhi disiplin belajar (Hurlock, 1978). Dimyati dan Mudjiono

    (2013) mengartikan disiplin belajar merupakan suatu sikap, tingkah laku dan

    perbuatan peserta didik dalam melakukan aktivitas belajar yang sesuai dengan

    keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, dan norma-norma yang telah

    ditetapkan, baik persetujuan tertulis maupun tidak tertulis antara peserta didik

    dengan tenaga pengajar ataupun peraturan yang dibuat sendiri. Sistem lingkungan

    belajar terdiri atau dipengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masing

    akan saling memengaruhi (Sardiman, 2016). Hurlock (1978) mengatakan

    keyakinan bahwa anak-anak memerlukan disiplin dari dulu sudah ada, tetapi

    terdapat perubahan dalam sikap mengenai mengapa mereka memerlukannya.

    Disiplin belajar terbentuk melalui pembiasaan sikap belajar yang baik oleh

    siswa (Hurlock, 1978). Disiplin belajar terbentuk karena adanya pengaruh faktor

    internal maupun faktor eksternal. Dari faktor internal atau faktor dalam diri,

    disiplin belajar dipengaruhi oleh motivasi belajar (Suryabrata, 2014). Motivasi

    belajar siswa membentuk kesadaran bahwa belajar adalah suatu kebutuhan,

  • 64

     

    dimana motivasi tersebut selanjutnya akan mendorong dan menggerakkan siswa

    untuk melakukan aktivitas belajar secara teratur, rajin, tekun serta senantiasa

    menaati peraturan dalam melaksanakan tugas belajarnya (Winkel, 2015). Adanya

    motivasi mendorong siswa untuk selalu disiplin dalam belajar. Didukung

    pendapat Khodijah (2014), menyebutkan bahwa motivasi berperan penting dalam

    belajar yaitu mendorong untuk menjadi aktif dalam belajar sehingga menentukan

    hasil belajar yang dicapai.

    Faktor eskternal yang mempengaruhi oleh faktor pola asuh orang tua. Peran

    orang tua dalam mendidik anak melalui pola asuh yang diterapkan dapat

    menanamkan dasar pendidikan, sikap, budi pekerti, sopan santun, kasih sayang,

    dasar-dasar mematuhi peraturan dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan (Sumantri,

    2010). Disiplin menjadi salah satu bentuk perilaku yang dibentuk melalui

    pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua dalam menaati tata tertib

    maupun peraturan.

    Pola asuh mempengaruhi sudut pandang anak tentang informasi terhadap

    suatu perilaku. Salah satu pola asuh yaitu pola asuh autoritatif. Orangtua yang

    mengasuh dengan pola asuh autoritatif menurut Eisenberg & Valiente (dalam

    Santrock, 2007) adalah pola asuh yang hangat dan suportif dibandingkan

    menghukum, menerapkan disiplin melalui cara membujuk, memberikan peluang

    kepada anak-anak untuk mempelajari perspektif dan perasaan orang lain,

    melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga dan

    memberikan peluang bagi anak-anak untuk melakukannya juga, memberikan

  • 65

     

    informasi mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai alasan mengapa,

    mendorong penghayatan moral yang bersifat internal dibandingkan eksternal.

    Siswa yang memiliki persepsi terhadap pola asuh autoritatif yang baik akan

    bertanggungjawab terhadap belajarnya sesuai dengan keputusan-keputusan,

    peraturan-peraturan, dan norma-norma yang telah ditetapkan karena orangtua

    melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga dan

    memberikan peluang bagi anak-anak untuk memberikan penjelasannya. Anak

    dapat terbantu untuk bisa mengatasi hambatan tersebut (Kompri, 2017).

    Kedua faktor tersebut yaitu motivasi belajar dan pola asuh autoritatif

    merupakan faktor yang penting dalam terwujudnya disiplin belajar. Slameto

    (2013), menjelaskan bahwa cara orang tua mendidik anak besar pengaruhnya

    terhadap aktivitas belajar anak. Lebih lanjut Slameto (2013) menyatakan bahwa

    motivasi merupakan daya penggerak yang mendorong siswa belajar dengan lebih

    baik. Berdasarkan pendapat tersebut menguatkan bahwa kedudukan motivasi

    belajar dan pola asuh orang tua besar pengaruhnya terhadap disiplin belajar anak.

    Hasil penelitian Febriani, Lestari, Purwanti (2015) menunjukkan terdapat

    korelasi yang signifikan antara motivasi belajar dengan disiplin belajar pada siswa

    kelas X Sekolah Menengah Atas Mujahidin Pontianak. Artinya bahwa semakin

    baik motivasi belajar siswa maka semakin baik pula disiplin belajar siswa. Begitu

    pula sebaliknya, semakin tidak baik motivasi belajar maka semakin tidak baik

    pula disiplin belajar siswa.

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila persepsi terhadap pola

    asuh autoritatif tinggi maka akan mendorong motivasi belajar tinggi yang

  • 66

     

    menyebabkan disiplin belajar siswa akan tinggi. Sebaliknya apabila persepsi

    terhadap pola asuh autoritatif rendah akan berpengaruh pada motivasi belajar

    rendah yang menyebabkan disiplin belajar siswa juga rendah.

    G. Landasan Teori

    Disiplin belajar merupakan kepatuhan dari siswa untuk melaksanakan

    kewajiban belajar secara sadar sehingga diperoleh perubahan pada dirinya, baik

    itu berupa pengetahuan, perbuatan maupun sikap baik itu belajar di rumah

    maupun belajar di sekolah (Sumantri, 2010). Peneliti menganalisis hubungan

    motivasi belajar dan persepsi terhadap pola asuh menggunakan perspektif teori

    kognitif sosial yaitu sebagian besar pembelajaran manusia terjadi dalam sebuah

    lingkungan sosial. Dengan mengamati orang lain, manusia memperoleh

    pengetahuan, aturan-aturan, keterampilan-keterampilan, strategi-strategi,

    keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap (Schunk, 2012).

    Bandura (dalam Schunk, 2012) dalam teori kognisi sosial memfokuskan

    perhatiannya kepada bagaimana dapat mengembangkan fungsi kognitif individu

    agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar

    kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan oleh para

    guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar peserta didik

    sangat dipengaruhi oleh sejauh mana fungsi kognitif peserta didik dapat

    berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses pendidikan.

    Pembelajaran sebagian besar merupakan aktivitas pengolahan informasi tentang

    struktur perilaku dan tentang peristiwa-peristiwa lingkungan ditransformasikan

    menjadi representasi-representasi simbolis yang berperan sebagai tuntunan bagi

    tindakan.

  • 67

     

    Sebagian besar perilaku manusia bertahan lama tanpa adanya insentif-

    insentif eksternal langsung. Keteguhan ini tergantung pada penentuan tujuan dan

    evaluasi terhadap kemajuan diri. Sebuah tujuan mencerminkan maksud seseorang

    dan mengacu pada kuantitas, kualitas atau nilai praktik. Tujuan-tujuan dapat

    memotivasi seseorang untuk memenuhi tuntutan-tuntutan tugas dan untuk

    bertahan terhadap tugas tersebut sepanjang waktu. Tujuan-tujuan memberi orang

    visi terarah untuk dapat fokus terhadap tugas, memilih strategi yang sesuai dengan

    tugas dan menentukan efektivitas pendekatannya, yang kesemuaannya cenderung

    meningkatkan kinerja (Schunk, 2012). Bagi siswa akan menjadi penentu arah

    dalam menjalankan aktivitas belajar sesuai dengan tugas dan kewajiban siswa

    sehingga mampu meningkatkan sikap belajar siswa menjadi semakin baik.

    Berdasarkan toeri belajar sosial dapat disimpulkan bahwa suatu perilaku

    terbentuk melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).

    Dalam pembentukan disiplin belajar, berdasarkan teori belajar sosial dapat

    dijelaskan bahwa disiplin terbentuk sebagai akibat dari proses siswa dalam

    menggunakan aspek kognitif untuk berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana

    yang perlu dilakukan. Kemampuan siswa dalam berfikir dan mengambil

    keputusan tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi siswa dengan lingkungan

    sosialnya.

    Disiplin terbentuk dari dorongan faktor internal yaitu motivasi belajar.

    Siswa yang mempunyai motivasi maka secara sadar akan melakukan perilaku

    yang mendukung pencapaian mencapai tujuan, dalam hal ini disiplin belajar.

    Siswa yang memiliki motivasi belajar merupakan bentuk visi yang terarah,

    strategi yang sesuai dengan tugas untuk meningkatkan kinerja. Sehingga siswa

    dapat mencapai disiplin belajar yang tinggi. Motivasi belajar merupakan daya

  • 68

     

    penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,

    menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan

    belajar itu demi mencapai suatu tujuan (Winkel, 2015).

    Menurut teori kognisi sosial pembelajaran dapat terjadi dengan cara praktik

    melalui tindakan yang sebenarnya atau dengan cara mengalaminya melalui orang

    lain dengan melakukan modeling atau peniruan (Schunk, 2012). Persepsi terhadap

    pola asuh merupakan bentuk nyata dari teori kognisi sosial yaitu suatu proses

    penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh dan

    menginterpretasi gaya asuh yang mendorong anak untuk independen tapi masih

    membatasi, mengontrol tindakan, mengijinkan percakapan ekstensif sehingga

    menghasilkan anak yang kompeten secara sosial. Siswa yang telah mendapatkan

    pola asuh autoritatif akan memiliki persepsi pola asuh autoritatif yaitu

    menetapkan ketegasan terkait kualitas anak dan menetapkan standar bagi perilaku

    anak dimasa depan (Baumrind dalam Santrock, 2015). Apabila orangtua

    mengajarkan anak bertanggungjawab terhadap disiplin belajar siswa dan siswa

    memiliki sikap bertanggungjawab, terbiasa menetapkan pilihan, dan mengetahui

    konsekuensi tindak perbuatannya dalam belajar maka siswa akan memilih disiplin

    dalam belajarnya.

    Secara keseluruhan motivasi belajar dan persepsi pola asuh autoritatif secara

    bersama-sama memberikan pengaruh terhadap pembentukan disiplin belajar.

    Proses berfikir yang melibatkan faktor internal membentuk motivasi belajar yang

    mendorong timbulnya perilaku disiplin dalam belajar. Sesuai dengan apa yang

    dikemukakan oleh Uno (2016), yang menyatakan bahwa motivasi yang bersifat

    internal merupakan hasrat dan keinginan berhasil dan mendorong kebutuhan

    belajar sehingga seseorang berkeinginan untuk melakukan aktivitas belajar yang

  • 69

     

    lebih giat dan semangat. Proses pemodelan (peniruan) yang didapatkan dari

    penerapan pola asuh autoritatif membentuk anak yang kompeten secara sosial.

    Syah (2011), menyatakan bahwa orang tua merupakan lingkungan sosial yang

    lebih banyak pengaruhnya terhadap kegiatan belajar siswa melalui kebiasaan yang

    diterapkan orang tua dalam mengelola keluarga. Nilai-nilai kedisiplinan dan

    kecakapan secara sosial yang ditanamkan dalam pola asuh autoritatif dapat

    mewujudkan disiplin belajar siswa.

    Berdasarkan ulasan mengenai landasan teori di atas, maka dapat dijelaskan

    kerangka teori melalui gambar 2.1. Pada gambar 2.1. menguraikan hubungan

    antara motivasi belajar (variabel X1) dengan disiplin belajar pada siswa (variabel

    Y); hubungan antara persepsi terhadap pola asuh autoritatif (variabel X2) dengan

    disiplin belajar pada siswa (variabel Y); dan hubungan antara motivasi belajar

    (variabel X1) dan persepsi terhadap pola asuh autoritatif (variabel X2) dengan

    disiplin belajar pada siswa (variabel Y). Hubungan antar variabel penelitian

    dijelaskan dalam kerangka teori berikut.

  • 70

     

    Gambar. 2.1 Kerangka Teori               

    Keterangan gambar: Keterangan gambar: 1. Menunjukkan hubungan antara motivasi belajar dengan disiplin belajar 2. Menunjukkan hubungan antara pola asuh autoritatif orangtua dengan disiplin

    belajar 3. Menunjukkan hubungan antara motivasi belajar dan pola asuh autoritatif

    orangtua secara simultan/bersama-sama dengan disiplin belajar.

    Motivasi Belajar (X1)

    Aspek-aspek: 1. Adanya hasrat dan keinginan

    berhasil 2. Adanya dorongan dan kebutuhan

    dalam belajar 3. Adanya harapan dan cita-cita masa

    depan 4. Adanya kegiatan yang menarik

    dalam belajar

    (Uno, 2016)

    Disiplin Belajar (Y)

    Aspek-aspek: A. Disiplin Belajar di rumah

    1. Belajar setiap hari 2. Mengerjakan pekerjaan rumah

    3. Membuat laporan

    B. Disiplin Belajar di sekolah 1. Ketepatan waktu datang ke sekolah 2. Keaktifan mengikuti pelajaran di

    kelas 3. Ketaatan mengikuti peraturan di

    kelas maupun sekolah 4. Menggunakan waktu luang.

    (Sumantri, 2010)

    Pola Asuh autoritatif Orangtua (X2)

    Aspek-aspek: 1. Hangat dan suportif dibandingkan

    menghukum 2. Menerapkan disiplin melalui cara

    membujuk 3. Memberikan peluang kepada anak-anak untuk mempelajari perspektif dan perasaan

    orang lain 4. Melibatkan anak-anak dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga dan memberikan peluang bagi anak-anak untuk melakukannya

    juga. 5. Memberikan informasi mengenai perilaku yang diharapkan dan disertai alasan mengapa. 6. Mendorong penghayatan moral yang lebih

    bersifat internal dibandingkan eksternal.

    (Santrock, 2007)

    1

    2

    3

  • 71

     

    H. Hipotesis

    Berdasarkan uraian dan pembahasan teoritis sebagaimana yang

    dikemukakan sebelumnya, maka diajukan tiga hipotesis yang akan digunakan

    dalam penelitian sebagai berikut:

    1. Terdapat hubungan positif antara motivasi belajar dengan disiplin belajar pada

    siswa. Semakin tinggi motivasi belajar siswa maka semakin tinggi pula

    disiplin belajar siswa. Sebaliknya apabila motivasi belajar siswa rendah maka

    disiplin belajar siswa akan rendah pula.

    2. Terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap pola asuh autoritatif

    dengan disiplin belajar pada siswa. Pola asuh autoritatif yang dipersepsikan

    anak tinggi maka disiplin belajar anak tinggi. Sebaliknya apabila persepsi

    terhadap pola asuh autoritatif rendah maka disiplin belajar anak akan rendah

    pula.

    3. Terdapat hubungan antara motivasi belajar dan persepsi terhadap pola asuh

    autoritatif secara simultan dengan disiplin belajar pada siswa.