25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Labeling Labeling adalah identitas yang diberikan oleh kelompok kepada individu berdasarkan ciri-ciri yang dianggap minoritas oleh suatu kelompok masyarakat. Labeling cenderung diberikan pada orang yang memiliki penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat. Seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya (Sujono, 1994). Teori labeling mengatakan bahwa makin sering dan makin banyak orang yang memberikan label kepadanya, orang atau kelompok tersebut akan menyerupai bahkan dapat menjelma menjadi label yang diberikan kepadanya. Reaksi ini muncul karena seseorang yang diberi label merasa terkurung dalam label yang diberikan kepadanya (Hikmat, 2008 ). Labeling merupakan suatu teori yang muncul akibat reaksi masyarakat terhadap perilaku seseorang yang dianggap menyimpang. Seseorang yang dianggap menyimpang kemudian di cap atau diberi label oleh lingkungan sosialnya (Nitibaskara, 1994 ). Labeling merupakan salah satu penyebab seseorang melakukan penyimpangan sekunder. seseorang yang diberi label akan cenderung melakukan tindakan-tindakan lain yang juga termasuk tindakan penyimpangan primer, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label tersebut. Seseorang yang diberi label berusaha menghilangkan label yang diberikan, tetapi akhirnya mereka cenderung melakukan penyimpangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Labelingdigilib.unimus.ac.id/files/disk1/111/jtptunimus-gdl-srimulyati... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Labeling Labeling adalah identitas yang diberikan

  • Upload
    ledieu

  • View
    217

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Labeling

Labeling adalah identitas yang diberikan oleh kelompok kepada

individu berdasarkan ciri-ciri yang dianggap minoritas oleh suatu kelompok

masyarakat. Labeling cenderung diberikan pada orang yang memiliki

penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat.

Seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan

cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya (Sujono,

1994).

Teori labeling mengatakan bahwa makin sering dan makin banyak

orang yang memberikan label kepadanya, orang atau kelompok tersebut akan

menyerupai bahkan dapat menjelma menjadi label yang diberikan kepadanya.

Reaksi ini muncul karena seseorang yang diberi label merasa terkurung dalam

label yang diberikan kepadanya (Hikmat, 2008 ).

Labeling merupakan suatu teori yang muncul akibat reaksi masyarakat

terhadap perilaku seseorang yang dianggap menyimpang. Seseorang yang

dianggap menyimpang kemudian di cap atau diberi label oleh lingkungan

sosialnya (Nitibaskara, 1994 ).

Labeling merupakan salah satu penyebab seseorang melakukan

penyimpangan sekunder. seseorang yang diberi label akan cenderung

melakukan tindakan-tindakan lain yang juga termasuk tindakan

penyimpangan primer, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian

label tersebut. Seseorang yang diberi label berusaha menghilangkan label

yang diberikan, tetapi akhirnya mereka cenderung melakukan penyimpangan

yang lain karena tidak dapat mempertahankan sikap terhadap label yang

diberikan kepadanya (Martine, 2008 ).

Teori labeling memiliki dua proposisi, pertama, perilaku menyimpang

bukan merupakan perlawanan terhadap norma, tetapi berbagai perilaku yang

berhasil didefinisikan atau dijuluki menyimpang. Deviant atau penyimpangan

tidak selalu dalam tindakan itu sendiri tetapi merupakan respon terhadap

orang lain dalam bertindak. Proposisi kedua, labeling itu sendiri

menghasilkan atau memperkuat penyimpangan. Respon orang-orang yang

menyimpang terhadap reaksi sosial menghasilkan penyimpangan sekunder

yang mana mereka mendapatkan citra diri atau definisi diri (self-image or self

definition) sebagai seseorang yang secara permanen terkunci dengan peran

orang yang menyimpang. Penyimpangan merupakan outcome atau akibat dari

kesalahan sosial dan penggunaan kontrol sosial yang salah (Atwar, 2008 ).

Konsep lain dalam Teori labeling adalah :

a) Master Status

Teori penjulukan memiliki label dominant yang mengarah pada

suatu keadaan yang disebut dengan Master Status. Maknanya adalah

sebuah label yang dikenakan (Dikaitkan) biasanya terlihat sebagai

karakteristik yang lebih atau paling panting atau menonjol dari pada

aspek lainnya pada orang yang bersangkutan.

Bagi sebagian orang label yang telah diterapkan, atau yang biasa

disebut dengan konsep diri, mereka menerima dirinya seperti label yang

diberikan kepadanya. Bagaimanapun hal ini akan membuat keterbatasan

bagi seseorang yang diberi label, selanjutnya di mana mereka akan

bertindak.

Bagi seseorang yang diberi label, sebutan tersebut menjadi

menyulitkan, mereka akan mulai bertindak selaras dengan sebutan itu.

Dampaknya mungkin keluarga, teman, atau lingkungannya tidak mau lagi

bergabung dengan yang bersangkutan. Dengan kata lain orang akan

mengalami label sebagai penyimpang/menyimpang dengan berbagai

konsekwensinya, ia akan dikeluarkan dan tidak diterima oleh lingkungan

sosialnya. Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan untuk menata

identitasnya menjadi dirinya sendiri tanpa memandang label yang

diberikan kepadanya. Akibatnya, ia akan mencoba malihat dirinya secara

mendasar seperti label yang diberikan kepadanya, terutama sekarang ia

mengetahui orang lain memanggilnya seperti label yang diberikan.

b) Deviant Career

Konsep Deviant Career mengacu pada seseorang yang diberi label

telah benar-benar bersikap dan bertindak seperti label yang diberikan

kepadanya secara penuh. Kai T. Erikson dalam Becker (9 Januari 2005)

menyatakan bahwa label yang diberikan bukanlah keadaan sebenarnya,

tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahui

dan menyaksikan tindakan mereka baik langsung maupun tidak langsung

(Atwar, 2009).

Teori Labeling Howard S. Becker menekankan dua aspek:

a) Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orangorang tertentu

sampai diberi cap atau label sebagai penjahat; dan pengaruh

daripada label itu sebagai konsekuensi penyimpangan tingkah laku,

perilaku seseorang bisa sungguh-sungguh menjadi jahat jika orang

itu di cap jahat.

b) Edwin Lemert membedakan tiga penyimpangan, yaitu: (1)

Individual deviation, di mana timbulnya penyimpangan diakibatkan

oleh karena tekanan psikis dari dalam; (2)Situational deviation,

sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan; dan (3) Systematic

deviation, sebagai polapola perilaku yang terorganisir dalarn subsub

kultur atau sistem tingkah laku ( Nitibaskara, 1994).

Seseorang yang sudah diberi label dan berpersepsi sebagai seseorang yang tidak berguna akan semakin menguat karena interaksi dengan lingkungan sosialnya, sehingga terjadi proses sinergis yang negatif tersebut dapat dijelaskan dalam bagan di bawah ini :

Skema 2.1

Social Breakdown Syndrome Model

(Soetomo, 2008)

B. Belajar

1. Definisi Belajar

Belajar secara sederhana diartikan sebagai proses perubahan dari

belum mampu menjadi sudah mampu yang terjadi dalam jangka waktu

tertentu. Perubahan yang terjadi itu harus secara relatif bersifat menetap

dan tidak hanya terjadi pada perilaku yang saat ini tampak, tetapi juga

pada perilaku yang mungkin terjadi di masa mendatang ( Irwanto, 2002 ).

Skiner dalam Walgito ( 2004 ) mendefinisikan belajar merupakan suatu

proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti bahwa sebagai

akibat dari belajar adanya sifat progresivitas, adanya tendensi ke arah

yang lebih sempurna atau lebih baik dari keadaan sebelumnya ( Walgito,

2004 ).

Belajar pada hakikatnya adalah penyempurnaan potensi atau

kemampuan pada organisme biologis dan psikis yang diperlukan dalam

hubungan manusia dengan dunia luar dan hidup bermasyarakat. Belajar

adalah suatu usaha untuk menguasai segala sesuatu yang berguna untuk

hidup ( Notoatmojo, 2007 ).

Belajar merupakan proses psikis yang berlangsung dalam interaksi

aktif manusia dalam lingkungannya dan menghasilkan perubahan-

perubahan dalam pengetahuan, ketrampilan, nilai sikap yang bersifat

konstan dan menetap ( Purwanto, 1998 ).

Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhn,

sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya ( Slameto, 2003 ).

2. Ciri-ciri Kegiatan Belajar

Pada proses belajar terdapat kegiatan jiwa sendiri. Pengajar hanyalah

menyediakan kondisi-kondisi dan stimulus tertentu. Tanpa aktivitas dari

subjek yang bersangkutan tidak mungkin terjadi apa yang dinamakan

belajar. Pada kegiatan belajar tidak semua yang terjadi merupakan hal

yang baru. Kadang-kadang hanya sebagian saja yang baru.

Kegiatan belajar dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh siapa

saja. Seseorang dapat dikatakan belajar apabila di dalam dirinya terjadi

perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat mengerjakan

sesuatu menjadi dapat mengerjakan sesuatu. Dari uraian singkat tersebut

dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar itu memiliki ciri-ciri

(Notoatmodjo, 2007 ) :

a) Belajar adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan pada diri

individu yang sedang belajar, baik aktual maupun potensial.

b) Perubahan tersebut pada pokoknya didapatkan karena kemampuan

baru yang berlaku untuk waktu yang relatif lama.

c) Perubahan-perubahan itu terjadi karena usaha, bukan karena proses

kematangan.

C. Prestasi Belajar

1. Pengertian

Prestasi dari bahasa Belanda “ prestatie ” dalam bahasa Indonesia

menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Prestasi dalam literature selalu

di hubungkan dengan aktivitas tertentu, seperti dikemukakan oleh Robert

M. Gagne (1988 :65 ), bahwa dalam setiap proses akan selalu terdapat

hasil nyata yang dapat diukur dan dinyatakan sebagai hasil belajar

(achievement) seseorang.

Prestasi belajar merupakan taraf keberhasilan muridatau santri dalam

mempelajari materi pelajaran di sekolah atau pondok pesantren dinyatakan

dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi

pelajaran tertentu. Prestasi belajar adalah proses verbal dari fakta ataupun

proses tingkah laku secara fisik yang berupa memori atau ingatan yang

bersifat mentalistik, ia juga menambahkan, hasil belajar adalah proses

hubungan antara guru siswa di dalam kelas yang membawa implikasi

terhadap pengembangan diri siswa secara bebas, pembentukan memori

(ingatan) pada siswa, dan pembentukan pemahaman pada siswa. Prestasi

belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir,

merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila

memenuhi tiga aspek yakni kognitif, afektif dan psikomotor, sebaliknya

dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu

memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut ( Supardi, 2007 ).

Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar

adalah hasil yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang dapat

memberikan kepuasan emosional dan dapat diukur dengan alat atau tes

tertentu. Proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari

proses belajar mengajar yakni penguasaan, perubahan emosional atau

perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tertentu.

2. Faktor-faktot yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Prestasi belajar siswa dapat dicapai sebagaimana yang diharapkan,

maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi

belajar yaitu (Purwanto, 2007 ) :

a) Faktor Intern

Faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri, adapun

yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu kecerdasan /

intelegensi, bakat, minat dan motivasi.

1) Kecerdasan / intelegensi

Kecerdasan atau intelegensi adalah faktor yang sangat

mempengaruhi belajar dan juga hasil belajar, apabila intelegensi

rendah, prestasi belajarnya juga rendah.

2) Bakat

Seseorang yang tidak berbakat akan mempengaruhi hasil

belajar yang akan dicapai. Bakat adalah kemampuan tertentu yang

telah dimiliki seseorang sebagai kecakapan pembawaan. Ungkapan

ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Purwanto bahwa bakat

dalam hal ini lebih dekat pengertiannya dengan kata aptitude yang

berarti kecakapan, yaitu mengenai kesanggupan-kesanggupan

tertentu. Bakat adalah potensi atau kemampuan kalau diberikan

kesempatan untuk dikembangkan melalui belajar akan menjadi

kecakapan yang nyata. Bakat diartikan sebagai kemampuan

individu untuk melakukan tugas tanpa banyak tergantung pada

upaya pendidikan dan latihan.

Pendapat yang dijelaskan diatas menunjukkan bahwa

tumbuhnya keahlian tertentu pada seseorang sangat di tentukan

oleh bakat yang dimilikinya sehubungan dengan bakat ini dapat

mempunyai tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi

tertentu. Dalam proses belajar terutama belajar ketrampilan, bakat

memegang peranan penting dalam mencapai suatu hasil akan

prestasi yang baik. Apalagi seorang guru atau orang tua memaksa

anaknya untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan

bakatnya maka akan merusak keinginan anak tersebut.

3) Minat

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan

dan mengenai beberapa kegiatan. Kegiatan yang dimiliki

seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa

sayang. Minat adalah kecenderungan yang menetap dalam subjek

untuk merasa tertarik pada bidang tertentu dan merasa senang

berkecimpung dalam bidang itu. Minat adalah kecenderungan

yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa

kegiatan, kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus

yang disertai dengan rasa sayang. Minat adalah suatu kondisi

yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara

situasi yang dihubungkan denan keinginan-keinginan atau

kebutuhannya sendiri.

4) Motivasi

Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena hal

tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa

untuk melakukan belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam

belajar adalah bagaimana cara mengatur agar motivasi dapat

ditingkatkan. Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar

seorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi untuk

belajar. Motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang

untuk melakukan sesuatu.

Motivasi adalah menggerakkan siswa untuk melakukan sesuatu

atau ingin melakukan sesuatu. Motivasi dapat dibedakan menjadi

dua macam yaitu (a) motivasi intrinsik dan (b) motivasi

ekstrinsik. Motivasi intrinsik dimaksudkan dengan motivasi yang

bersumber dari dalam diri seseorang yang atas dasarnya

kesadaran sendiri untuk melakukan sesuatu yakni belajar.

Motivasi ekstrinsik dimaksudkan dengan motivasi yang

datangnya dari luar diri seorang siswa yang menyebabkan siswa

tersebut belajar.

b) Faktor Ekstern

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang

sifatnya di luar diri siswa , yaitu beberapa pengalaman-pengalaman,

keadaan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Pengaruh lingkungan ini

pada umumnya bersifat positif dan tidak memberikan paksaan kepada

individu.

1) Keadaan Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat

tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Keluarga adalah

lembaga pendidikan pertama dan utama. Keluarga yang sehat

artinya untuk pendidikan kecil, tetapi bersifat menentukan dalam

ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia. Adanya

ras aman dalam keluarga sangat penting dalam keberhasilan

seseorang dalam belajar. Rasa aman itu membuat seseorang akan

terdorong untuk belajar secara aktif, karena rasa aman merupakan

salah satu kekuatan pendorong dari luar yang menambah motivasi

untuk belajar. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang

pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama

mendapatkan pendidikan dan bimbingan, sedangkan tugas utama

dalam keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar

bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.

Orang tua hendaknya menyadari bahwa pendidikan dimulai

dari keluarga. Perhatian orang tua dapat memberikan dorongan

dan motivasi sehingga anak dapat belajar dengan tekun. Karena

anak memerlukan waktu, tempat dan keadaan yang baik untuk

belajar.

2) Keadaan Sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang

sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa,

karena itu lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong untuk

belajar yang lebih giat. Keadaan sekolah ini meliputi kurikulum,

guru / pengajar, sarana dan fasilitas, administrasi / manajemen.

Apabila hubungan siswa dengan keadaan sekolah kurang baik

akan mempengaruhi hasil-hasil belajarnya.

3) Lingkungan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi prestasi belajar anak

ada dua yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Lingkungan

sosial adalah dari orang tua, lingkungan masyarakat seperti teman

sebaya dan tetangga juga merupakan salah satu faktor yang tidak

sedikit pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa dalam proses

pelaksanaan pendidikan. Karena lingkungan masyarakat dapat

menimbulkan kesukaran belajar anak, terutama anak-anak yang

sebayanya. Jika anak-anak yang sebayanya merupakan anak-anak

yang rajin belajar, maka anak akan terangsang untuk mengikuti

jejak mereka. Sebaliknya bila anak-anak disekitarnya merupakan

kumpulan anak-anak nakal yang berkeliaran tiada menentukan

anakpun akan mengikutinya. Lingkungan alam sekitar sangat

besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi anak, sebab

dalam kehidupan sehari-hari anak akan lebih banyak bergaul

dengan lingkungan dimana anak itu berada. Bagi banyak orang

(termasuk remaja) pengalaman mendapatkan label tertentu

(terutama yang negatif) dari lingkungannya memicu pemikiran

bahwa dirinya ditolak. Hal tersebut dapat mengurangi

kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri dan

berpengaruh negatif terhadap kinerja siswa dalam berprestasi di

kehidupan sosial dan sekolahnya (Tasmin, 2009).

3. Ranah Hasil Belajar

Hasil belajar sering digunakan dalam arti yang sangat luas yakni untuk

bermacam-macam aturan terhadap apa yang telah dicapai oleh murid,

misalnya ulangan harian, tugas-tugas pekerjaan rumah, tes lisan yang

dilakukan selama pelajaran berlangsung dan tes akhir catur wulan.

Hasil belajar yang dimaksudkan adalah dalam pengertian yang

terakhir, yaitu tes terakhir catur wulan. Oleh karena itu proposisi yang

dipakai adalah sebagai berikut :

a) Hasil belajar murid merupakan ukuran keberhasilan guru dengan

anggapan bahwa fungsi penting guru dalam mengajar adalah untuk

meningkatkan prestasi belajar murid

b) Hasil belajar murid mengukur apa yang telah dicapai murid

c) Hasil belajar ( achievement ) itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat

keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di pondok

pesantren atau sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang

diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.

Pada umumnya, untuk menilai hasil belajar murid, guru dapat

menggunakan bermacam-macam “ achievement test ” seperti “ oral test ”

dan “ objective test ” atau “ short-answer test ”. Sedangkan untuk nilai

proses belajar dan hasil belajar murid yang bersifat ketrampilan, tidak

dapat dipergunakan hanya dengan tes tertulis atau lisan, tapi harus dengan

“ performance test ” yang bersifat praktek.

Gagne dalam Djiwandono ( 2002 ), hasil belajar dimaksukkan dalam

lima kategori yaitu informasi verbal, kemahiran intelektual, pengaturan

kegiatan, kognitif, sikap dan kletrampilan motorik.

Bloom dalam Djiwandono ( 2002 ), mengklasifikasikan hasil belajar

dalam tiga ranah yaitu ranah kognitif ( cognitive domain ), ranah afektif

( affective domain ) dan ranah psikomotor ( psychomotor domain ).

a) Ranah kognitif

Hasil belajar terdiri dari enam kategori yaitu pengetahuan

meliputi ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan

dalam ingatan, yang dapat digali bila dibutuhkan, pemahaman meliputi

kemampuan menangkap maksud dari mata pelajaran, penerapan

meliputi kemampuan untuk menggunakan suatu metode, analisis

meliputi kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks

menjadi lebih sederhana, sintesis meliputi kemampuan untuk membuat

suatu yang baru dengan menggabungkan bagian yang saling terhubung

secara bersama-sama dan evaluasi meliputi kemampuan untuk

mempertimbangkan nilai berdasarkan kriteria tertentu yang disertai

pertanggungjawaban.

b) Ranah afektif

Berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni

penerimaan meliputi kesediaan siswa untuk memperhatikan

rangsangan atau stimulasi yang ada, partisipasi bukan hanya dilihat

dari kehadiran tetapi juga dari keaktifan dalam kegiatan dan yang

menekankan persetujuan tanpa protes, penilaian meliputi kemampuan

dalam menilai yang dinyatakan dengan satu tindakan atau perkataan,

organisasi meliputi kemampuan dalam menyelesaikan konflik dengan

perbedaan nilai dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten dan

pembentukan pola hidup meliputi kemampuan individu dalam

menghayati nilai kehidupan dan menjadi pegangan hidup.

c) Ranah psikomotorik

Bekenaan dengan tujuh aspek, yakni persepsi meliputi

kemampuan untuk melihat perbedaan pada masing-masing stimulus

berdasarkan pada cirinya, kesepian meliputi kemampuan untuk

menyiapkan dirinya jika ingin melakukan suatu kegiatan, gerakan

terbimbing meliputi kemampuan untuk melakukan gerakan sesuai

contoh yang diberikan, gerakan yang terbiasa meliputi kemampuan

melakukan gerakan secara lancar tanpa memperhatikan contoh,

gerakan yang kompleks meliputi kemampuan untuk melaksanakan

suatu ketrampilan secara tepat dan efisien, penyesuaian pola gerakan

meliputi kemampuan untuk menyesuaikan gerakan sesuai dengan

persyaratan, kreativitas meliputi kemampuan untuk membuat gerakan

baru berdasarkan inisiatif sendiri.

4. Pengukuran Prestasi Belajar

Pengukuran yang dilakukan dengan memberikan skor yang

dilanjutkan dengan penilaian, penskoran adalah langkah awal dalam

mengolah hasil pekerjaan siswa dan merupakan pengubahan jawaban-

jawaban tes menjadi angka-angka, atau dengan istilah kita mengadakan

kuantifikasi. Penilaian adalah ubahan dari skor dan sudah dijadikan satu

dengan skor-skor lain serta telah disesuaikan pengaturannya dengan

standar tertentu ( Djiwandono, 2002 ).

Indikator yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur

keberhasilan suatu proses belajar mengajar khususnya di sekolah,

berdasarkan ketentuan kurikilum yang telah disempurnakan yang saai ini

digunakan adalah :

a) Daya serap terhadap bahan pelajaran yang diajarkan mencapai prestasi

tinggi, baik secra individu maupun kelompok.

b) Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran instruksional khusus

telah dicapai siswa dengan baik individu maupun klasikal.

Demikian tolok ukur yang dapat digunakan sebagai acuan dalam

menentukan tingkat keberhasilan proses belajar mengajar. Namun banyak

digunakan sebagai tolok ukur sebagai keberhasilan dari keduanya adalah

daya serap siswa terhadap pelajaran.

Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan pelajaran

belajar trsebut dapat dilakukan melalui tes prestasi belajar. Berdasarkan

tujuan dan ruang lingkupnya, tes prestasi belajar dapat digolongkan

kedalam jenis penilaian sebagai berikut :

a) Tes formatif

Pengukuran ini digunakan setiap satuan bahasan tertentu dan

bertujuan hanya utuk memeperoleh gambaran tentang datya serap

siswa terhadap satuan bahasan tersebut. Hasil tes ini digunakan untuk

memperbaiki proses belajar mengajar bahan terterntu dalam waktu

tertentu pula, atau sebagai feedback dalam memperbaiki proses belajar

mengajar.

b) Tes sub sumatif

Penilaian ini meliputi sejumlah bahan pengajaran satuan

bahasan yang telah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya dalah

selain untuk memperoleh gambaran daya serap, juga untuk

menetapkan tingkat prestasi belajar siswa. Hasilnya diperhitungkan

untuk menentukan nilai raport.

c) Tes sumatif

Penilaian ini diadakan untuk mengukur daya serap siswa

terhadap pokok-pokok bahasan yang telah diajarkan selama satu

semester. Tujuannya ialah untuk menetapkan tingkay atau taraf

keberhasilan belajar siswa dalam suatu periode belajar tertentu. Hasil

dari tes ini dimanfaatkan untuk kenaikan kelas, menyususn peringkat

atau sebagai ukuran kualitas sekolah.

Usman ( 1993 ) menyatakan bahwa untuk mengetahui sampai dimana

tingkat keberhasilan siswa terhadap proses belajar yang telah

dilakukannya dan sekaliguas juga untuk mengetahui keberhasilan megajar

guru, kita dapat menggunakan acuan tingkat keberhasilan tersebut sejalan

dengan kurikulum yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut :

a) Istimewa / maksimal

Apabila seluruh dahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh

siswa.

b) Baik sekali / optimal

Apabila sebagian besarc 85-91% bahan pelajaran yang diajarkan dapat

dikuasai siswa.

c) Baik / minimal

Apabila bahan pelajaran yang diajarkan hanya 75-84% dapatdikuasai

oleh siswa.

d) Kurang

Apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 75% yang

dikuasai.

D. Remaja

1. Definisi Remaja

WHO ( Word Health Organization ) 1974 mendefinisikan remaja yang

lebih konseptual dengan adanya tiga kriteria yaitu (a) biologis dengan ciri

individu berkembang mulai saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda

seksual sekundernya. Sampai saat mencapai kematangan seksual, (b)

remaja sebagai individu yang mengalami perkembangan psikologik dan

pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa dan (c) pada kriteria

sosial ekonomi terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang

penuh kepada keadaan yang relatif mandiri.

WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan remaja,

pada tahun 1985 menetapkan tahun pemuda internasional dengan kriteria

usia pemuda 15-24 tahun. Sensus penduduk 1980 di Indonesia membantah

kriteria remaja yang mendekati batasyaitu 14-24 tahun ( Widjanarko,

1999). Periode remaja adalah masa transisi dalam periode anak-anak ke

periode dewasa, periode ini dianggap sebagai masa yang amat penting

dala kehidupan sekarang khususnya dalam perkembangan kepribadian

individu ( Irwanto, 1996 ).

Remaja merupakan masa peralihan antar masa kanak-kanak dan masa

dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu

antara 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun yaitu menjelang masa

dewasa muda. Remaja tidak mempunyai tempat yang jelas, yaitu bahwa

mereka tidak termasuk golongan anak-anak tetapi tidak juga termasuk

golongan orang dewasa ( Soetjiningsih, 2004 ).

Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya

setempat. Menurut WHO batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun.

Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan

oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia10 sampai 19

tahun dan belum menikah. Sementara itu, menurut BKKBN ( Direktorat

Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi ) batasan usia remaja adalah 10

sampai 21 tahun (BKKBN, 2005 ).

Periode remaja adalah masa transisi dalam periode anak-anak ke

periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang sangat

penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan

kepribadian individu. Kebanyakan ahli memandang masa remaja harus

dibagi dalam dua periode karena terdapat ciri-ciri perilaku yang cukup

banyak berbeda dalam kedua sub periode tersebut ( Irwanto, 2002 ).

Ciri-ciri perilaku yang menonjol pada usia-usia ini terutama terlihat

pada perilaku sosialnya. Dalam masa-masa ini teman sebaya punya arti

yang sangat penting. Mereka ikut dalam klub-klub atau geng-geng sebaya

yang perilaku dan nilai-nilai kolektifnya sangat mempengaruhi perilaku

serta nilai-nilai individu yang menjadi anggotanya. Inilah proses dimana

individu membentuk pola perilaku dan nilai baru yang pada gilirannya

bisa menggantikan nilai-nilai serta pola perilaku yang dipelajarinya di

rumah ( Irwanto, 2002 ).

Kebanyakan ahli memandang masa remaja dibagi dalam dua periode

karena terdapat ciri-ciri perilaku yang cukup banyak berbeda dalam kedua

periode tersebut. Pembagian ini biasanya menjadi periode remaja awal

yaitu berkisar antara 13 sampai 17 tahun, dan periode masa akhir yaitu 17

sampai 18 tahun ( usia matang secara hukum ) ( Hurlock, 1995 ). Kaplan

& Sadock dalam bukunya Sinopsis Psikiatri, menyebutkan fase remaja

terdiri atas remaja awal (11-14 tahun), remaja pertengahan (14-17 tahun),

dan remaja akhir (17-20) tahun.

Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu

berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi

merasa dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan berada pada

tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak ( Hurlock,

1996 ).

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah

masa transisi dari periode anak-anak ke periode dewasa yang berkisar

antara 10 sampai 25 tahun dimana pada masa ini terjadi perubahan

psikologis, sosial dan fisiologis.

2. Perkembangan Psikososial Pada Remaja

Pencarian identitas diri merupakan tugas utama perkembangan

psikososial remaja. Remaja harus membentuk hubungan sebaya yang

dekat atau tetap terisolasi secara sosial. remaja mencari identitas

kelompok karena mereka membutuhkan harga diri dan penerimaan.

Kebutuhan yang kuat dari identitas kelompok tampaknya merupakan

konflik pada saat pencarian identitas diri. Seolah-olah remaja

membutuhkan ikatan kuat dengan sebayanya sehingga mereka kemudian

dapatmenemukan kembali diri mereka dalam identitas kelompok.

Perkembangan penilaian moral sangat tergantung pada ketrampilan

kognitif, komunikasi serta interaksi sebayanya. Remaja belajar untuk

memahami peraturan yang merupakan persetujuan kooperatif yang dapat

dimodifikasi untuk memperbaiki situasi. Remaja menilai diri mereka

sendiri dengan ide internal, yang sering menyebabkan konflik antara nilai

diri dan nilai kelompok ( Potter, 2005 ).

3. Perkembangan Sosioemosional Pada Remaja

Satu dari ciri-ciri remaja adalah penampilan reflectivity atau

kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang terjadi pada pikiran diri

seseorang dan mempelajari dirinya sendiri. Remaja mulai melihat lebih

dekat diri mereka sendiri untuk mendefinisikan bahwa diri mereka

berbeda. Mereka belajar diam-diam bahwa orang lain tidak dapat mengerti

secara penuh apa yang mereka pikir dan rasakan. Menurut Erikson. Tahap

selama remaja adalah berpusat pada siapa saya, dengan identitas apa

sebetulnya saya. Perubahan pubertas mengharuskan remaja untuk

mengubah konsep fisik mereka, menyesuaikan diri terhadap harapan-

harapan teman dan keluarga serta membuat keputusan tentang peranan

sekolah dan tingkah laku ( Djiwandono, 2006 ).

4. Ciri-ciri Masa Remaja

a) Masa remaja sebagai periode yang penting

Pada masa remaja sebagai akibat fisik dari psikologis

mempunyai persepsi yang sangat penting. Perkembangan fisik yang

tepat disertai dengan cepatnya perkembangan mental terutama pada

awal masa remaja, dimana perkembangan itu dapat menimbulkan

perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan

minat baru ( Hurlock, 1995 ).

b) Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang

terjadi sebelumnya, tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu

tahap perkembangan ketahap berikutnya. Artinya, apa yang terjadi

sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi

sekarang dan yang akan datang. Bila anak beralih dari masa kanak-

kanak kemasa dewasa, anak harus meninggalkan segala sesuatu yang

bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku

dan sikap baru untuk mengartikan perilaku dan sikap yang sudah

ditinggalkan (Hurlock, 1995 ).

c) Masa remaja sebagai usai bermasalah

Masalah pada remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi

baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan

bagi kesulitan anak tersebut, yaitu (1) sepanjang masa kanak-kanak,

masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-

guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam

mengatasi masalah, (2) para remaja merasa mandiri, sehingga mereka

ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan dari orang tua

dan guru. Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi masalahnya,

maka mereka memakai menurut cara mereka sendiri. Banyak akhirnya

remaja menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan

harapan mereka. Banyak kegagalan yang sering kali disertai akibat

tragis, bukan karena ketidakmampuan individu tetapi kenyataan bahwa

tuntutan yang diajukan kepadanya justru saat tenaganya telah

dihabiskan untuk mencoba mengatasi masalah pokok, yang

disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal

( Hurlock, 1995 ).

d) Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Periode remaja adalah periode pemantapan identitas dari

pengertiannya akan siapa ahli yang dipengaruhi oleh pandangan

orang-orang sekitarnya serta pengalaman-pengalaman pribadinya akan

menentukan pola perilaku sebagai orang dewasa ( Irwanto, 1996 ).

E. Hubungan Labeling Dengan Prestasi Belajar

Remaja yang diberi label akan mengatakan label yang diberikan

adalah benar, seterusnya akan terus menerus melakukan dan menjadi apa yang

di labelkan kepadanya. Seandainya guru-guru atau siapapun melabelkan

seseorang dengan gelar yang tidak baik seperti “ bodoh ”, akhirnya label itu

perlahan-lahan membentuk pribadi seseorang. Karena label-label ini,

seseorang menjadi pribadi yang tertutup, berputus asa dan tidak ada semangat

yang tinggi untuk menjalani hidup ( Sazuana, 2009 ).

Pelabelan-pelabelan yang diterima oleh seseorang menyebabkan ia

memiliki citra diri negatif. Mereka cenderung menjerumuskan dirinya menjadi

apa yang dilabelkan kepadanya. Citra dirinya menjadi hilang, keinginan untuk

menjadi anak yang rajin, pandai dan baik terpuruk oleh sebutan-sebutan dari

orang lain yang diberikan kepadanya sehingga menyebabkan penurunan

dalam kegiatan belajarnya. Mereka memiliki anggapan bahwa “ untuk apa

berubah, sekalian saja menjadi apa yang menjadi sebutannya sehari-hari ”.

dampak lain selain anak justru “ sekalian ” menjadi apa yang menjadi

julukannya juga banyak dampak-dampak lainnya, seperti rendah diri, minder,

persimis, tidak memiliki motivasi ( motivasi belajar untuk seorang siswa ) dan

tidak memiliki rasa percaya diri untuk berinteraksi dengan lingkungannya.

Begitu besar dampak labeling bagi anak terutama remaja yang sedang dalam

fase pencarian jati diri. Dia akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi

yang labil serta tidak memiliki rasa percaya diri ( Saputro, 2008 ).

Peran perawat dalam hal ini adalah sebagai konselor yaitu

mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sekitarnya.

Adanya pula interaksi ini merupakan dasar dalam merencanakan metode

untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya. Memberikan konseling/

bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan

sesuai prioritas. Konseling merupakan proses membantu klien untuk

menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial untuk

membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan

perkembangan seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan

intelektual (Bangfad, 2008).

Konseling diberikan kepada individu/keluarga dalam

mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan penglaman yang lalu,

pemecahan masalah difokuskan pada masalah keperawatan, mengubah

perilaku hidup kea rah perilaku hidup sehat (Admin, 2008).

F. KerangTeori

Faktor Intern

a. Kecerdasan atau intelegensi

b. Bakat

c. Minat

d. Motivasi

Prestasi Belajar Nilai rapot

Faktor Ekstern

a. Keadaan keluarga

b. Keadaan sekolah

c. Lingkungan

• Labeling (penilaian negatif)

Skema 2.2

Hubungan Labeling Dengan Prestasi Belajar

(Sumber : Purwanto, 2007; Tasmin, 2009 )

G. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Labeling Prestasi Belajar

Skema 2.3

Kerangka konsep

H. Variabel Penelitian

1. Variabel Independent

Variabel independent dalam penelitian ini adalah labeling.

2. Variabel Dependent

Variabel dependent dalam penelitian ini adalah prestasi belajar.

I. Hipotesis

Ada hubungan labeling dengan prestasi belajar di SMA Muhammadiyah

Gubug.