Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konflik Peran Ganda
1. Konflik
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri
yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai
sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan
integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan
konflik (Widyarini, 2008).
Menurut Newstorm dan Davis (1997), konflik merupakan warisan
kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat
daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
11
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
24
Menurut Gibson, et al., (2000), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik.
Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama
lain.
Menurut Widyarini (2008), keberadaan konflik dalam organisasi
dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika
mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara
umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka
mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka
konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Menurut Murtiningrum (2006), konflik organisasi merupakan
interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan
dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan. Konflik
dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak
yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu
pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan
menyerang secara negatif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konflik diantaranya adalah
Robbin (1996):
a. Karakteristik Individual
1) Nilai sikap dan Kepercayaan (Values, Attitude, and Baliefs) atau
Perasaan kita tentang apa yang benar dan apa yang salah, untuk
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
25
bertindak positif maupun negatif terhadap suatu kejadian, dapat
dengan mudah menjadi sumber terjadinya konflik.
2) Kebutuhan dan Kepribadian (Needs and Personality). Konflik
muncul karena adanya perbedaan yang sangat besar antara
kebutuhan dan kepribadian setiap orang, yang bahkan dapat
berlanjut kepada perseteruan antar pribadi. Sering muncul kasus
di mana orang-orang yang memiliki kebutuhan kekuasaan dan
prestasi yang tinggi cenderung untuk tidak begitu suka
bekerjasama dengan orang lain.
3) Perbedaan Persepsi (Perseptual Differences). Persepsi dan
penilaian dapat menjadi penyebab terjadinya konflik. Misalnya
saja, jika kita menganggap seseorang sebagai ancaman, kita
dapat berubah menjadi defensif terhadap orang tersebut.
b. Faktor Situasi
1) Kesempatan dan Kebutuhan Barinteraksi (Opportunity and Need
to Interact) Kemungkinan terjadinya konflik akan sangat kecil
jika orang-orang terpisah secara fisik dan jarang berinteraksi.
Sejalan dengan meningkatnya assosiasi di antara pihak-pihak
yang terlibat, semakin mengikat pula terjadinya konflik. Dalam
bentuk interaksi yang aktif dan kompleks seperti pengambilan
keputusan bersama (joint decision-making), potensi terjadinya
koflik bahkan semakin meningkat.
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
26
2) Ketergantungan satu pihak kepada Pihak lain (Dependency of
One Party to Another) Dalam kasus seperti ini, jika satu pihak
gagal melaksanakan tugasnya, pihak yang lain juga terkena
akibatnya, sehingga konflik lebih sering muncul.
3) Perbedaan Status (Status Differences) Apabila seseorang
bertindak dalam cara-cara yang ”arogan” dengan statusnya,
konflik dapat muncul. Sebagai contoh, dalam engambilan
keputusan, pihak yang berada dalam level atas organisasi merasa
tidak perlu meminta pendapat para anggota tim yang ada.
2. Konflik Peran
Konflik peran adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-
anggota atau kelompok (dalam suatu organisasi/perusahaan) yang harus
membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan
atau kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai
atau persepsi (Widiyanti, 2008). Menurut Robin (1996) konflik sebagai
suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa suatu pihak
lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi
secara negatif, sesuatu yang diperhatikan pihak pertama. Konflik dapat
merupakan masalah yang serius dalam setiap organisasi. Konflik itu
mungkin tidak menimbulkan kematian suatu perusahaan tetapi pasti
dapat merugikan kinerja suatu organisasi maupun mendorong kerugian
bagi banyak karyawan yang baik. Semua konflik tidaklah buruk, konflik
mempunyai sisi-sisi yang positif maupun negatif. Konflik peran adalah
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
27
situasi dimanaharapan-harapan peran seseorang datang pada saat
bersamaan, baik dari individu sendiri maupun dari lingkungan, tetapi
bersifat bertentangan.
Konflik peran terjadi ketika seseorang menghadapi ketidak
konsistenan antara peran yang diterima dengan perilaku peran. Konflik
peran tidak sama dengan ambiguitas peran karena peran yang diterima itu
jelas dan spesifik. Konflik muncul ketika seseorang menerima pesan
yang tidak sebanding berkenaan dengan perilaku peran yang sesuai.
Konflik pada pemegang peran dapat terjadi ketika peran dengan beban
kerja berlebih, peran yang kekurangan beban kerja dan rumusan berlebih
(Chaplin, 2004).
Luthans (2005) menyatakan bahwa konflik peran terjadi jika
karyawan atau anggota tim: (1) diminta untuk melakukan tugas yang sulit
atau (2) diharuskan melakukan tugas yang bertentangan dengan nilai
pribadi. Pada kelompok, konflik peran meningkat, khususnya jika di
dalam kelompok terdapat perilaku nonetis atau antisosial serta jika
anggota kelompok menekankan norma-norma tertentu, sementara
pemimpin dan penguasa organisasi formal menekankan norma lainnya.
3. Konflik Peran Ganda
Konflik peran ganda menurut Gibson (2000) Konflik peran ganda
adalah terdapat bukti bahwa ketegangan antara keluarga dan aturan
pekerjaan yang menunjukan terdapatnya penurunan secara psikoligis dan
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
28
fisik dari kesejahteraan individu. Faktor-faktor penyebab konflik peran
ganda, diantaranya:
a. Permintaan waktu akan satu peran yang tercampur dengan
pengambilan bagian dalam peran yang lain.
b. Stres yang dimulai dalam satu peran yang terjatuh ke dalam peran
lain dikurangi dari kualitas hidup dalam peran itu.Stres yang
dimaksud diantaranya adalah stres kerja.
c. Kecemasan dan kelelahan yang disebabkan ketegangan dari satu
peran dapat mempersulit untuk peran yang lainnya.
d. Perilaku yang efektif dan tepat dalam satu peran tetapi tidak efektif
dan tidak tepat saat dipindahkan ke peran yang.
Acuan guna mengukur konflik peran ganda yakni: Work interfere
with family, bercampurnya masalah pekerjaan dengan keluarga. Family
interfere with work, bercampurnya masalah keluarga dengan pekerjaan.
Keterlibatan kerja, sejauh mana keterlibatan dalam pekerjaan.
Keterlibatan keluarga, sejauh mana keterlibatan dengan anak-anak dan
keluarga. Tekanan dalam keluarga, dukungan pasangan, tekanan dan
relasi dalam pernikahann Tekanan dalam pekerjaan, kekaburan peran
atau ketidakjelasan tugas sehari-hari, harapan-harapan, tujuan kerja.
4. Konflik Peran Ganda pada Wanita Pekerja
Anoraga (2002) mengartikan wanita pekerja adalah wanita yang
memperoleh atau mengalami perkembangan dan kemajuan dalam
pekerjaan jabatan dan dari pekerjaanya diperoleh uang, kemajuan, dan
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
29
perkembangan tersebut karena mereka mau memanfaatkan kemajuan
kemampuan jiwa dan raga serta adanya aturan yang harus diikuti dalam
perkembangan karirnya. Wanita berkeluarga yang bekerja masih
mempunyai kegiatan untuk melayani keluarganya (suami dan anak)
tetapi disamping itu wanita wanita ini juga bekerja melakukan kegiatan
yang memberikan tambahan penghasilan keluarga. Dalam hal ini yang
dimaksud adalah bekerja secara formal, yaitu mendapatkan gaji tetap
setiap bulannya, dan jenjang karir yang semakin mantap.
Wanita berkeluarga yang bekerja mempunyai peran ganda yaitu
peran sebagai ibu rumah tangga dan peran sebagai pekerja. Peran adalah
pola tindakan yang diharapka dari seseorang dalam tindakan yang
melibatkan orang lain. Peran mencerminkan posisi seseorang dalam
sistem sosial dengan hak dan kewajiban. Peran ganda wanita berkeluarga
yang bekerja berarti menduduki dua posisi, yaitu sebagai ibu rumah
tangga dan sebagai wanita pekerja (Greenhaus, 2000).
Anoraga (2002) mengatakan bahwa sebagai wanita yang bekerja
yang mempunyai peran utama dalam keluarga juga mempunyai peran
yang lain dilingkungan kerjanya disebut wanita yang berperan ganda. Hal
ini berarti, dalam posisi tersebut wanita dituntut untuk melakukan
tingkah laku tertentu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja.
Karena adanya dua set tuntutan tersebut, maka wabita tersebut berperen
dua atau berperan ganda. Apabila kedua tuntutan tersebut pada saat yang
bersamaan harus dipenuhi maka akan terjadi konflik.
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
30
Greenhaus (2000) mendefinisikan konflik peran sebagai kemuculan
dua atau lebih tuntutan yang bersamaan dimana pemenuhan salah satunya
akan menyulitkan pemenuhan yang lainnya. Terdapat dua tipe utama dari
konflik peran, antara lain (Greenhaus, 2000):
a. Konflik Antarperan
Konflik antarperan terjadi karena tuntutan yang saling
bertentangan oleh seseorang yang mengalami dua atau lebih peran.
Ketidak sesuaian atau pertentangan ini muncul ketika partisipasi
dalam suatu peran menjadi lebih sulit dilakukan karena partisipasi
dalam peran yang lainnya. Misalnya adanya tuntutan yan bersamaan
akan pemenuhan kewajiban-kewajiban peran kerja dan kewajiban-
kewajiban peran keluarga. Konflik ini dapat menimbulkan
konsekuensi yang serius, baik pada kehidupan kerja maupun
keluarga.
b. Konflik Intraperan
Konflik ini terjadi karena adanya pertentangan tuntutan dalam
suatu peran. Konflik tipe ini dapat juga berasal dari ketidak jelasan
tugas individi dalam pekerjaannya.
Fokus dalam penelitian ini adalah konflik antarperan, tepatnya work-
family conflict, karena diungkapkan bahwa masalah utama yang dihadapi
oleh wanita yang berkeluarga adalah konflik antarperan (muncul dari
tuntutan yang saling berkompetisi daiantara peran-peran yang ada)
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
31
dibandingkan konflik intraperan (pertentangan harapan dalam satu peran)
meskipun sebenarnya mereka mengalami keduanya (Suchet, 1996).
Konflik timbul jika adanya dua motif yang bertentangan dalam diri
individu yang menunjukan ketidaksesuaian antara satu motif dengan
motif lainnya. Konflik terjadi apabila harapan terhadap peran tidak
terpenuhi, individu yang berperan ganda mempunyai keinginan dapat
menyelesaikan tugas dan masalah yang dialami dalam rumah tangga,
pekerjaan, dan peran lainnya agar seimbang (Aziz, 2006).
5. Dimensi Konflik Peran Ganda
Fronte dan Cooper (1994) menggambarkan tiga tipe konflik yang
berkaitan dengan dilema peran perempuan antara di rumah tangga dan
pekerjaan.
a. Time-Based Conflict, yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang
digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk
memenuhi peran lainnya, meliputi pembagian waktu, energi dan
kesempatan antara peran pekerjaan dan rumah tangga. Dalam hal ini,
menyusun jadwal merupakan hal yang sulit dan waktu terbatas saat
tuntutan dan perilaku yang dibutuhkan untuk memerankan keduanya
tidak sesuai.
b. Strain Based Conflict, yaitu mengacu kepada munculnya ketegangan
atau keadaan emosional yang dihasilkan oleh salah satu peran
membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang
lain. Sebagai contoh, seorang ibu yang seharian bekerja, ia akan
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
32
merasa lelah, dan hal itu membuatnya sulit untuk duduk dengan
nyaman menemani anak menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Ketegangan peran ini bisa termasuk stress, tekanan darah meningkat,
kecemasan, keadaan emosional, dan sakit kepala.
c. Behavior Based Conflict, yaitu konflik yang muncul ketika terjadi
ketidaksesuaian antara yang diiinginkan dalam dua wilayah
(keluarga dan pekerjaan). Ketidaksesuaian perilaku individu ketika
bekerja dan ketika di rumah, yang disebabkan perbedaan aturan
perilaku seorang wanita karir biasanya sulit menukar antara peran
yang dia jalani satu dengan yang lain.
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda
Charles (2000) menyatakan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi konflik peran ganda, yaitu:
a. Time pressure, semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja
maka semakin sedikit waktu untuk keluarga.
b. Family size and support, semakin banyak anggota keluarga maka
semakin banyak konflik, dan semakin banyak dukungan keluarga
maka semakin sedikit konflik.
c. Kepuasan kerja, semakin tinggi kepuasan kerja maka konflik yang
dirasakan semakin sedikit.
d. Marital and life satisfaction, ada asumsi bahwa wanita bekerja
memiliki konsekuensi yang negatif terhadap pernikahannya.
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
33
e. Size of firm, yaitu banyaknya pekerja dalam perusahaan mungkin
saja mempengaruhi konflik peran ganda seseorang.
B. Stres Kerja
1. Stres
Tiga komponen stres yaitu stresor, proses (interaksi), dan respon
stres. Stresor adalah situasi atau stimulus yang mengancam kesejahteraan
individu. Respons stres adalah reaksi yang muncul, sedangkan proses
stres merupakan mekanisme interaksi yang dimulai dari datangnya
stresor sampai munculnya respons stres (Sasono, 2004).
Pengertian stres dihubungkan dengan adanya peristiwa yang
menekan sehingga seseorang dalam keadaan tidak berdaya akan
menimbulkan dampak negatif, misalnya pusing, tekanan darah tinggi,
mudah marah, sedih, sulit berkonsentrasi, nafsu makan bertambah, sulit
tidur, ataupun merokok terus. Pendekatan kedua, definisi stres
dihubungkan dari sisi stresor (sumber stres). Stres dalam hal ini
digambarkan sebagai kekuatan yang menimbulkan tekanan-tekanan
dalam diri, stres dalam pendekatan ini muncul jika tekanan yang dihadapi
melebihi batas optimum. Pendekatan ketiga adalah pendekatan
interaksionis yang menitikberatkan definisi stres dengan adanya transaksi
antara tekanan dari luar dengan karakteristik individu, yang menentukan
apakah tekanan tersebut menimbulkan stes atau tidak (Yohanita, 2005).
Cloninger (1996) mengemukakan stres adalah keadaan yang
membuat tegang yang terjadi ketika seseorang mendapatkan masalah
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
34
atau tantangan dan belum mempunyai jalan keluarnya atau banyak
pikiran yang mengganggu seseorang terhadap sesuatu yang akan
dilakukannya. Stres dapat terjadi pada individu ketika terdapat
ketidakseimbangan antara situasi yang menuntut dengan perasaan
individu atas kemampuannya untuk bertemu dengan tuntutan-tuntutan
tersebut. Situasi yang menuntut tersebut. Situasi yang menuntut tersebut
dipandang sebagai beban melebihi kemampuan individu untuk
mengatasinya. Ketika individu tidak dapat menyelesaikan atau mengatasi
stres dengan efektif maka stres tersebut berpotensi untuk menyebabkan
gangguan psikologis lainnya seperti post-traumatic stres disorder.
Hurlock (2006) mendefinisikan stres sebagai berikut.
a. Suatu setimulus yang menegangkan kapasitas-kapasitas (daya)
psikologis atau fisiologis organisme.
b. Sejenis frustasi, dengan aktivitas yang terarah pada pencapaian
tujuan telah terganggu atau dipersukar, tetapi tidak terhalang-halangi
peristiwa ini biasanya disertai oleh perasaan was-was khawatir
dalam pencapaian tujuan.
c. Kekuatan yang diterapkan pada suatu sistem; tekanan-tekanan fisik
dan psikologis yang dikenakan pada tubuh dan pribadi.
d. Suatu kondisi ketegangan fisik atau psikologis disebabkan oleh
adanya persepsi ketakutan dan kecemasan.
Stres memiliki tiga makna yang berbeda. Makna yang pertama stress
nerujuk pada berbagai macam peristiwa atau stimulus lingkungan yang
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
35
menyebabkan seseorang merasa tertekan. Kedua, stress diartikan sebagai
respon subyektif atau dengan kata lain stress adalah kondisi mental
internal seseorang yang termasuk didalamnya asalah proses interpretasi,
emosi, defensive dan coping. Ketiga, stress merupakan reaksi fisik
terhadap tuntutan yang ada. Dalam penelitian ini, makna stress yang
digunakan adalah makna yang pertama, yaitu stres sebagai berbagai
macam peristiwa atau stimulus lingkungan yang menyebabkan seseorang
merasa merasa tertekan. Berkaitan dengan variable stress yang diteliti,
ada dua, yaitu stress yang bersumber dari pekerjaan (stres kerja) dan
work-family conflict.
2. Stres Kerja
Altmaier (1994), menyebutkan bahwa stress kerja merupakan
akumulasi sejumlah sumber-sumber stress, yaitu situasi-situasi pekerjaan
yang dianggap sebagai tekanan bagi kebayakan orang. Lebih lanjut
disebutkan bahwa stress kerja merupakan interaksi antara sejumlah
kondisi pekerjaan dengan karakteristik yang dimiliki oleh pekerja dimana
tuntutan pekerjaan melebihi kemampuan pekerja. Stress sebagai berbagai
elemen dalam situasi kerja yang berpotensi menimbulkan dampak yang
negative karena merugikan dan menyakitkan. Sedangkan Greenberg dan
Baron (2003) mendefinisikan stres sebagai pola keadaan emosional dan
reaksi fisiologis yang timbuk sebagai respon dari yang timbul sebagai
respon dari tuntutan yang berasal dari dalam maupun luar organisasi.
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
36
Rice (1999) memfokuskan stres kerja pada aspek-aspek pekerjaan
yamg merupakan ancaman bagi pekerja. Ancaman ini dapat berupa
tuntutan kerja yang berlebihan, tidak mencukupinya sumber daya untuk
memenuhi kebutuhan pekerja dan kemungkinan akan kehilangan.
Tuntutan kerja yang berlebihan ini misalnya terjadi ketika pekerja
diminta untuk menyelesaikan terlalu banyak pekerjaan dalam waktu yang
terlalu singkat. Tidak mencukupinya sumber daya alam memenuhi
kebutuhan pekerja berkaitan dengan gaji yang tidak mencukupi,
kepuasan kerja, dan perkembangan atau promosi dalam pekerjaan.
Ancaman terhadap kemungkinan akan kehilangan diantaran adalah
penurunan pangkat atau jabatan, penempatan yang tidak menyenangkan,
atau pemutusan hubungan kerja. Dalam penelitian ini, definisistres kerja
digunakan adalah berbagai elemen atau aspek-aspek dalam situasi kerja
yang dianggap sebagai tekanan, menjasdi ancaman bagi pekerja dan
berpotensi menimblkan dampak yang negative karena merugikan dan
meyakitkan.
Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan
adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi,
proses berpikir, dan kondisi individu. Stres kerja oleh para ahli perilaku
organisasi, telah dinyatakan sebagai agen penyebab dari berbagai
masalah fisik, mental bahkan output organisasi. Stres kerja tidak hanya
berpengaruh terhadap individu, tetapi juga terhadap biaya organisasi dan
industri. Banyak studi yang menghubungkan stres kerja dengan berbagai
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
37
hal, misalnya stres kerja dihubungkan dengan kepuasan kerja, kesehatan
mental, ketegangan, ketidak hadiran, dan sering juga dihubungkan
dengan kinerja (Aziz, 2006).
3. Sumber-sumber Stres Kerja
Buker dan Wiecko (2007) menuliskan bahwa pada awalnya dalam
beberapa studi, sumber stres pada polisi dikategorikan atas empat bagian
yaitu karakteristik pekerjaan, public atau masyarakat, system peradilan,
dan karakteristik organisasi. Studi selanjutnya, dengan mendasarkan pada
persepsi polisi, menggolongkan sumber stres pada polisi menjadi dua
yaitu sumber stress yang berasal dari organisasi dan sumber stres yang
berasal dri karakteritik pekerjaan itu sendiri.
Marzoni dan Eisner (2006) menyebutkan bahwa sumber stres yang
terkait dengan karakteristik pekerjaan berasal dari tugas polisi yang
terjadi setiap harinya, termasuk resiko terlibat dalam tindak kekerasan,
tekanan waktu, atau tanggung jawab melakukan suatu tindakan. Selain
itu Burker dan Wiecko (2007) menambahkan stres kerja yang lainnya
dalah paparan terhadap bahaya dan kekerasan, pengambilan kebijakan
pada situasi kritis, prubahan jam kerja yang tidak teratur dan berlebihan.
Stres yang melekat pada pekerjaan polisi terlebih lagi bagi polisi wanita
antara lain adalah kebosanan dan kondisi ketika tidak melakukan apapun,
penggunaan kekerasan,penggunaan wewenang, membuat keputusan
penting, paparan yang terus menerus pada masyarakat, kemungkinan
mengalami kematian.
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
38
Marzoni dan Eisner (2006) menuliskan bahwa sumber stres yang
berkaitan dengan organisasi berakar dari karakteristik organisasi
kepolisian, misalnya kepemimpinan yang tidak adekuat, kurang
komunikasi diantara hierarki kepolisian, ketiadaan sumber daya dalam
kepolisisan, dan ketiadaannya kesempatan untuk meningkatkan karir.
Sedangkan menurut Buker dan Wiecko (2007) sumber stres berkaitan
dengan kebijakan-kebijakan administratif, supervisi, promosi dan kondisi
kerja. Sumber stress yang berasal dari organisasi merujuk pada
kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik dari departemen kepolisisan.
Hal-hal yang termasuk di dalamnya adalah upah yang sedikit, tugas
laporan yang berlebihan, birokrasi, kurang mencukupinya pelatihan yang
diberikan, peralatan kerja yang tidak adekuat, kerja shift, tugas pada akhir
peran, terbatasnya kesempatan promosi, kurangnya dukungan
administratif, dan buruknya hubungan relasi dengan atasan atau sesame
rekan kerja.
Luthan (2005) menyatakan bahwa beberapa sumber potensial
penyebab stres kerja diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Organizational Stressor
Stres yang bersumber dari sebuah organisasi dimana didalamnya
terdapat administrasi, struktur organisasi, lingkungan kerja.
b. Group Stressor
Group stressor dibagi menjadi intra kelompok dan inter
kelompok.
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
39
c. Individual Stressor
Salah satu sumber potensial stres kerja adalah stres karena watak
individu dapat berupa role conflict (konflik peran). Konflik peran
yang menjadi sumber stres kerja mengindikasikan suatu kondisi
dimana individu mengalami ketidaksesuaian antara permintaan dan
komitmen pada suatu peran. Stres yang bersumber dari peran
seseorang dalam suatu pekerjaan dapat berakibat atau memiliki
konsekuensi pada hal-hal yang tidak diinginkan baik secara
individual maupun organisasional.
4. Dampak Stres Kerja
Almaiser (1994) menyebutkan bahwa terdapat tiga dampak dari stres
kerja, yaitu:
a. Dampak psikologis. Dampak ini merupakan masalah-masalah
kognitif dan afektif yang timbul akibat stres. Konsekuensi yang
paling sering timbul akibat stress kerja dalah ketidak pastian kerja,
dimana pekerja menjadi tidak puas terhadap pekerjaannya, tidak
suka datang ketempat kerja, dan mulai menemukan hanya sedikit
alasan untuk bekerja sebaik mungkin di tempat kerja. Selaim
ketidakpuasan kerja dampak lainnya antara lain depresi, kecemasan,
kebosanan, frustasi, perasaan terisolasi, dan kemarahan. Beehr dan
Newman dalam Rice (1999) menambahkan beberapa dampak
lainnya seperti kelelahan mental, menurunnya fungsi intelektual, dan
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
40
hilangnya konsentrasi, berkurang spontanitas dan kreativitas, serta
menurunnya self-esteem.
b. Dampak fisik. Dampak fisik yang paling umumdalam stres kerja
adalah penyakit cardio-vascular, selain alergi dan gangguan pada
kulit, gangguan tidur, sakit kepala, dan ganguan pernapasan.
c. Dampak tingkah laku. Dampak ini hadir dalam dua kategori, yaitu
dampak yang berlaku bagi organisasi. Dampak yang asa pada
pekerja antara lain adalah perilaku menghindari pekerjaan,
menigkatnya penggunaan alkohol dan obat, makan berlebihan atau
sangat mengurangi makan, agresi terhadap rekan kerja atau anggota
keluarga, dan masalah interpersonal. Sedangakan dampak tingkah
laku yang ada pada organisai adalah pekerja yang absen,
meninggalkan pekerjaan, kurangnya produktivitas dan kecelakaan
kerja.
Secara khusus pada polisi wanita (Polwan), stres kerja membawa
dampak yang negatif, baik bahwa individu maupun organisasi. Petugas
polisi yang mengalami masalah psikologis dan fisik yang tinggi yang
mempengaruhi untuk kerja mereka. Pada umumnya, mereka mengalami
kesehatan yang buruk, sering absen dari pekerjaan, mengalami burnout
dan tidak puas terhdap pekerjaan mereka, dan karena lemahnya
komitmen organisasi yang dimiliki maka mungkin petugas polisi tidak
seutuhnya melibatkan diri dalam pekerjaan atau mungkn akan berhenti
dari pekerjaannya lebih awal. Ketika individu mengalami stres kerja,
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
41
mereka juga mengalami peningkatan stres kronis, depresi, gangguam
pencernaan, penyakit jantung, penggunaan dan penyalahgunaan alcohol
dan obat-obatan, perceraiaan, bahkan usaha untuk bunuh diri (Khohidin
dan Sadjijono, 2005).
He, dkk (2004) mencatat bahwa sumber stress lainnya yang
diasosiasikan dengan pkerjaan polisi adalah work-family conflict.
Penelitian mengenai work-familiy conflict menemukan bahwa kehidupan
pribadi petugas polisi dipengaruhi juga oleh karakteristik yang unik dari
pekerjaan sebagai polisi, yang kemudian membuat petugas polisi
semakin mempersepsikan pekerjaan mereka sebagai pekerjaan yang
penuh tekanan, baik secara psikologis maupun fisik. Hal ini tampak
semakin nyata bagi para polisi wanita karena adanya tuntutan peran
domestik sebagai ibu dan isteri yang jauh lebih besar dibandingkan polisi
laki-laki.
5. Gejala Stress Kerja
Secara umum, seseorang yang mengalami stres pada pekerjaan akan
menampilkan gejala-gejala yang meliputi 3 aspek, yaitu (Robbins, 1996):
a. Physiological memiliki indikator yaitu: terdapat perubahan pada
metabolisme tubuh, meningkatnya kecepatan detak jantung dan
napas, meningkatnya tekanan darah, timbulnya sakit kepala dan
menyebabkan serangan jantung.
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
42
b. Psychological memiliki indikator yaitu: terdapat ketidakpuasan
hubungan kerja, tegang, gelisah, cemas, mudah marah, kebosanan
dan sering menunda pekerjaan.
c. Behavior memiliki indikator yaitu: terdapat perubahan pada
produktivitas, ketidakhadiran dalam jadwal kerja, perubahan pada
selera makan, meningkatnya konsumsi rokok dan alkohol, berbicara
dengan intonasi cepat, mudah gelisah dan susah tidur.
6. Faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja
Davis dan Newstrom (1999) stres kerja disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya adalah:
a. Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu
menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya
tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun
keahlian dan waktu yang tersedia bagi individu.
b. Supervisor yang kurang pandai. Individu dalam menjalankan tugas
sehari-harinya sebagai pekerja biasanya di bawah bimbingan
sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika
seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan
membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan
benar.
c. Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Individu biasanya
mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas dalam
pekerjaan mereka dari kantor/perusahaan yang dibebankan
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
43
kepadanya. Kemampuan bcrkaitan dengan keahlian, pcngalaman,
dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan
seringkali memberikan tugas dengan waktu yang lerbatas.
Akibatnya, individu dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai
tepat waktu yang ditetapkan atasan.
d. Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor ini
berkaitan dengan hak dan kewajiban individu. Atasan sering
memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan
(hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan
harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan.
e. Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performan yang baik,
karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang
diharapkan untuk dikerjakan serta scope dan tanggungjawab dari
pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan
apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas
peran.
f. Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada
para pekerja atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan
dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang
dijunjung tinggi (altruisme).
g. Frustrasi, dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bias
disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan
frustrasi kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
44
dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang
diterima.
h. Organisasi atau perusahaan tipe pekerjaan, khususnya jika hal
terscbul tidak umum. Situasi ini bisatimbul akibat mutasi yang tidak
sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang di lalui atau mutasi
pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun lokasinya
dan status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah
perusahaan pertama.
i. Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a)
konflik peran intersender, dimana pegawai berhadapan dengan
harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak
sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan
terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua
struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan
pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau
manajer yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika mereka
harus memilih salah satu alternatif.
7. Dimensi Stress kerja
Davis dan Newstrom (1999) menyebutkan bebrapa spek-aspek stres
kerja yaitu:
a. Beban kerja
Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan
menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
45
kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia
bagi karyawan.
b. Tekanan waktu
Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan
biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas
kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan
berkaitan dengan keahlian, pcngalaman, dan waktu yang dimiliki.
Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas
dengan waktu yang lerbatas. Akibatnya, karyawan dikejar waktu
untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan
atasan.
c. Iklim kerja.
Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor ini
berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering
memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan
(hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan
harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan.
d. Ambiguitas peran
Agar menghasilkan performan yang baik, karyawan perlu
mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk
dikerjakan dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada
kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari
pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
46
e. Frustrasi
Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bias
disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan
frustrasi kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas
dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang
diterima.
f. Kepuasan kerja
Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi
pada para karyawan atau pimpinan yang mempunyai prinsip yang
berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan
yang dijunjung tinggi (altruisme).
C. Polisi Wanita
1. Polisi Wanita
Polisi adalah bagian dari suatu sistem dan budaya masyarakat.
Penonjolan tersebut diartikan sebagai peningkatan perannya untuk
mengamankan negara dalam masalah yang berkaitan dengan keamanan
dan ketertiban masyarakat. Dalam UU Pertafiatan dan Keamanan Negara
R.I (UU No.20 tahun 1982) antara lain dikatakan, bahwa ABRI sebagai
kekuatan sosial bertindak selalsb dinamisator dan stabilisator yang
bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung
jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan bangsa dalam
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
47
mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Karakteristik dari pekerjaan Polri/Polwan yang berbeda dari ketiga
angkatan lainnya, yaitu sebagai penegak hukum, yang menjaga tertib
hukum, membina ketentraman, masyarakat, memberikan pengayoman,
perlindungan,dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 30 ayat 4).
Keberadaan lembaga kepolisian yang tergabung menyatu dengan
lembaga ABRI memiliki pengaruh eksplisit mauphh implisit terhadap
persepsi citra baik dari pihak masyarakat maupun terhadap diri sendiri
para petugas Polisi/Polwan. Dampak psikologis tersebut perlu disadari,
disimak dan diperhitungkan demi mencegah gangguan sisi-sisi tajamnya.
Polisi Polwan dianggap sebagai ujung tombak Sistern Peradilan
Pidana. Ujung tombak memang penting, namun harus diingat hanya
dengan ujung tombak belaka sebenarnya tidak banyak faedah. Disini
ujung tombak masih memerlukan tangkai tombak yang memadahi di
samping perlengkapan lain seperti rumbai-rumbai tombak, perisai dan
tentu saja kemahiran mendayagunakan sang tombak. Maka tanpa
dukungan pelengkap, Polisi/Polwan sebagai ujung tombak SPP tidak bisa
berdaya banyak, sekaligus juga bukan pemikul dosa tunggal yang siap
dikambing hitamkan. Citra Polwan yang terbukti positif mcrupakan
indikasi bahwa sudah tiba saatnya tugas Polisi bukan lagi bergaya
maskulin yang destruktif, namun perlu sentuhan feminim yang
konstruktif. Sosok Polisi masa kini dan masa depan seyogyanya androgin
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
48
yang memiliki ciri-ciri positif maskulin feminim yang menjauhi
kejantanan semu ialah kekerasan dan kebengisan tanpa meninggalkan
ketegasan dan kedisiplinan dalam kelembutan (bukan kelemahan) penuh
kasih sayang (Khohidin dan Sadjijono, 2005).
2. Tugas Pokok Polisi Wanita (Polwan)
Polisi wanita (Polwan) memiliki tugas dan fungsi yang sama dengan
polisi pada umumnya yaitu menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 13
menyatakan bahwa “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia
adalah: 1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2)
Menegakkan hukum; dan 3) Memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat”. Akibat kewenangan polisi tersebut,
bagi orang yang dicurigai melakukan tindakan kejahatan maka polisi
akan menangkap dan menahan pelaku kejahatan (UU Kepolisian Negara
Republik Indonesia, 2002).
Polwan dalam menjalankan tugasnya tidak hanya dihadapkan dengan
kejahatan biasa (konvensional) tetapi juga kejahatan lain yang merugikan
masyarakat. Jika pada masa dahulu, kita mengenal bentuk kejahatan yang
sederhana, seperti mencuri, merampok, menipu atau bahkan membunuh,
maka pada masa sekarang, bentuk kejahatan sudah berubah. Modus
operandinya pun semakin canggih melalui tehnik-tehnik yang tidak
mudah dilacak, seperti melakukan pemalsuan dokumen yang sangat rapi
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
49
dengan penyalahgunaan komputer, termasuk di dalamnya kasus
pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Untuk kasus-kasus tertentu peranan Polwan sangat dibutuhkan dalam
menyelesaikan suatu perJran pidana seperti halnya dalam tindak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) khususnya pemeriksaan
terhadap korban dan saksi. Seperti halnya tugas penyidik Polwan diberi
tugas yang sama dengan Polisi Pria. Namun, dalam menjalani tugasnya
sebagai penyidik khususnya perkara KDRT, Polwan diberi kewenangan
yang tidak diatur secara khusus dalam KUHAP maupun Undang-undang
Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), sehingga sangat perlu diketahui
penerapannya dalam praktek mengenai tugas dan wewenang Polwan
dalam memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban
kekerasan dalam rumah tangga (Widyarini, 2008). Sedangkan sebagai
ibu rumah tangga, yang secara umum disesuaikan dengan keadaan sosial
budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia selama ini dapat
disimpulkan bahwa ada tiga tugas utama wanita dalam rumah tangga
yaitu:
a. Sebagai istri, supaya dapat mendampingi suami sebagai kekasih dan
sahabat untuk bersama membimbing keluarga yang bahagia.
b. Sebagai pendidik, untuk pembina generasi muda supaya anak-anak
dibekali kekuatan rohani maupun jasmani yang berguna bagi nusa
dan bangsa.
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
50
c. Sebagai ibu rumah tangga, supaya mempunyai tempat aman dan
teratur bagi seluruh anggota keluarga.
D. Konflik Peran Ganda pada Anggota Polwan
Masuknya wanita ke dalam dunia kerja kepolisian dengan menjadi polisi
wanita (Polwan) mengakibatkan wanita memiliki peran ganda. Selain sebagai
Polwan, wanita juga berperan sebagai ibu rumah tangga. Polwan dalam
meniti karir mempunyai beban lebih dibanding rekan prianya, Polwan
terlebih dahulu harus mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal lain
yang menyangkut kehidupan rumah tangga. Kedua peran ini harus dijalani
dalam waktu bersamaan.
Dampak dari peran ganda seorang istri/ibu yang bekerja sebagai Polwan
yang paling utama adalah berkurangnya waktu dan perhatian terhadap suami
dan anak-anak. Dalam kasus terjadinya kenakalan anak maka ibulah akan
dipersalahkan, ibu yang bekerja sebagai Polwan di luar rumah dianggap
kurang berperan secara emosional dan kurang menyediakan waktu dalam
pengasuhan anak. Masalah lainnya yang muncul adalah pengaturan waktu,
stress dan kelelahan.
Tuntutan masyarakat kepada wanita untuk selalu bertindak dan
berperilaku sesuai dengan “kodrat”nya disatu sisi, sementara disisi lain
mereka memiliki keinginan untuk maju dan berkarir menyebabkan timbulnya
dilema dan konflik pada diri wanita. Konflik tersebut muncul akibat adanya
pertentangan antara peran sebagai istri/ibu yang harus mengurus keluarga
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
51
serta mengasuh anak dengan peran sebagai wanita karir (Polwan) yang harus
mampu bersikap profesional dalam pekerjaan.
Menurut Burker (2007) terdapat tujuh aspek konflik peran ganda, yaitu:
(a) aspek pengasuhan anak, (b) bantuan pekerjaan rumah tangga, (c)
komunikasi dan interaksi dengan anak dan suami, (d) waktu untuk keluarga,
(e) menentukan prioritas, (f) tekanan karir dan tekanan keluarga, dan (g)
pandangan suami tentang peran ganda wanita. Ketujuh aspek tersebut terurai
dalam empat faktor penyebab konflik peran ganda pada polwan, yaitu: (1)
faktor pekerjaan, wanita yang bekerja sebagai polwan dituntut untuk
menunjukkan dedikasi, keuletan, ambisius, mandiri, progresif dan
bermotivasi tinggi; (2) factor keluarga, status sebagai istri menuntut wanita
untuk memperhatikan suami dan anak, menjaga keharmonisan keluarga serta
menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga lainnya; (3) faktor masyarakat,
tuntutan sosial menghendaki wanita dapat bersifat feminin (lembut, hangat,
mementingkan keluarga, tidak berperilaku kompetitif, agresif dan ambisius);
dan (4) nilai individu, yaitu keyakinan, kepercayaan dan norma yang dianut
yang menentukan pandangan individu terhadap peran yang dihadapi.
Ketidak berhasilan mengatur peran ganda yang dijalani wanita dapat
memberikan dampak negatif seperti munculnya ketegangan dalam rumah
tangga, disalahkannya istri/ibu jika terjadi kenakalan anak dan kemunduran
prestasi belajar anak, dan mengurangi sifat-sifat feminin. Adanya dampak
negatif membuat wanita berpikir dua kali untuk ditempatkan di posisi yang
strategis. Wanita takut untuk menduduki jabatan yang tinggi karena
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013
52
kedudukan kedudukan ini dianggap menjadi penyebab hal-hal yang kurang
menguntungkan. Oleh karena itu wanita karir cenderung akan menekan
ambisi untuk meraih prestasi serta jabatan yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan
agar wanita yang memiliki peran ganda tetap dianggap feminin dan dihargai
oleh lingkungan.
E. Kerangka Berfikir
Gambar 2. 1. Kerangka Pemikiran
F. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah: “konflik peran ganda pada anggota
polisi wanita di Polres Banyumas berpengaruh terhadap stres kerja”.
Konflik peran ganda Stres kerja Polisi Wanita
1. Konflik berdasarkan waktu (time-based conflict)
2. Konflik berdasarkan tegangan (strain-based conflict)
3. Konflik berdasarkan perilaku (behaviour-based conflict)
1. Beban kerja 2. Tekanan waktu 3. Iklim kerja 4. Ambiguitas
peran 5. Frustasi 6. Kepuasan
Pengaruh Konflik Peran Ganda..., Diyah Markuwati, Fakultas Psikologi UMP, 2013