Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dan Ketentuan Hukum Meterai
1. Pengertian Meterai
Meterai menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 13
Tahun 1985 tentang Bea Meterai (selanjutnya disebut UUBM) dinyatakan
bahwa “dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang
disebut dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, fungsi utama Bea
Meterai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk
dokumen-dokumen tertentu.
Kata “Bea” di sini digunakan sebagai istilah khusus untuk
menyatakan “pajak tidak langsung”.14
Pajak tidak langsung yaitu pajak
yang dikenakan secara insidental yaitu pada saat dipenuhinya Tatbestand
(keadaan, perbuatan, peristiwa) yang ditentukan dalam Undang-undang
Pajak, tidak mempunyai kohir atau daftar dan jumlahnya dapat
dilimpahkan kepada orang lain.15
Dalam Kamus Hukum Umum Bahasa
Belanda – Bahasa Indonesia, pengertian pajak, tarif, bea disebut belasting
yaitu semua jenis pungutan resmi yang diatur oleh perundang-undangan
dan dipungut oleh pemerintah untuk dimasukkan ke dalam kas negara.16
14
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Jidil 1, Eresco, Bandung, 1992, hal. 3. 15
Rochmat Soemitro, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum, Eresco, Bandung, 1991, hal. 1. 16
A.F. Elly Erawaty, Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda – Bahasa Indonesia,
1997/1998, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta, hal. 18-19.
12
Menurut Santoso Brotodihardjo, pengertian pajak adalah sebagai
berikut:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terhutang oleh wajib Pajak membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan”.17
Pengertian dokumen itu sendiri menurut Pasal 1 ayat (2) UUBM
adalah “kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-
pihak yang berkepentingan”. Definisi ini memberikan pengertian dokumen
secara sempit yaitu terbatas pada kertas yang berisikan tulisan. Dikatakan
secara sempit karena dalam kehidupan sehari-hari dokumen tidak hanya
terbatas dalam bentuk kertas yang berisikan tulisan, tetapi juga bentuk lain
seperti film, rekaman vidio, kaset, dan sebagainya.
Pengertian dokumen secara harfiah dapat dilihat pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pedidikan Nasional, dokumen
memiliki tiga pengertian, yaitu: (a) Surat yang tertulis atau tercetak yang
dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti kelahiran, surat nikah, dan
surat perjanjian); (b) Barang cetakan atas naskah karangan yang dikirim
melalui pos; atau (c) Rekaman suara, gambar di film, dan sebagainya yang
dapat dijadikan bukti keterangan.18
Hanya saja, karena secara umum yang
17
R. Santoso Brotodihardjo, Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1995, hal. 2. 18
Tim Penyusun Pusat Pembiaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2005, hal. 1175.
13
digunakan oleh masyarakat (setidaknya sampai dengan tahun 1983 pada
saat UUBM dibuat) adalah kertas sebagai dokumen yang membuktikan
adanya perbuatan hukum, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan
atau pihak-pihak yang berkepentingan, maka dokumen yang dikenakan
pajak dalam UUBM dibatasi hanya pada kertas yang berisi tulisan.
Menurut Mariot P. Siahaan, dokumen adalah kertas yang berisikan
tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan,
atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak berkepentingan,
dalam hal ini dikenal sebagai surat dan dapat dikembangkan menjadi
akta.19
Dengan demikian, unsur-unsur yang terkandung dalam dokumen
antara lain:
(a) Ada pembuat/orang yang membuat;
(b) Ada orang yang menerima dokumen atau yang mendapat manfaat dari
dokumen tersebut;
(c) Ada suatu tulisan di atas kertas atau bahan lain;
(d) Ada keadaan, perbuatan kejadian atau peristiwa yang dinyatakan dalam
dokumen.
(e) Bahwa keadaan, perbuatan, peristiwa itu ada di bidang hukum perdata.
(f) Ada tanda tangan dari orang yang membuatnya.20
Selain benda meterai dan dokumen, aturan yang melekat di dalam
UUBM adalah tanda tangan. Dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c UUBM, yang
dimaksud tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya
19
Marihot Pahala Siahaan, Bea Meterai di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006,
hal.. 15. 20
R. Santoso Brotodihardjo, Op.Cit, hal. 279.
14
dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap
paraf, teraan cap atau nama lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Bea Meterai
adalah pajak tidak langsung yang dipungut secara insidental jika dibuat
dokumen yang dibuat oleh Undang-undang dari suatu keadaan, perbuatan
atau peristiwa dalam suatu masyarakat. Insidental mempunyai arti bahwa
pajak itu dipungut sekali (tidak berulang-ulang seperti pajak langsung)
yang dapat digunakan sebagai bukti dari keadaan, perbuatan atau peristiwa
di bidang hukum perdata oleh pemegangnya.
2. Subjek dan Objek Bea Meterai
Pengenaan Bea Meterai di Indonesia sudah mulai dikenal sejak
tahun 1817 yaitu pada masa penjajahan Belanda, yang disebut De Heffing
Van Het Recht Kleinnegel. Dalam peraturan tersebut pengenaan Bea
Meterai didasarkan pada perbuatan atau persetujuan yang tercantum dalam
surat (akta). Tahun 1885 aturan pengenaan Bea Meterai tersebut di atas
diganti dengan Ordonantie op de heffing van het legel recht in
Nederhlands Indie. Pengertian Bea Meterai ada dua cara yaitu yang
seragam dan ada pula yang sebanding yaitu untuk akta yang dibuat melalui
pejabat umum, peraturan ini berlaku sampai tahun 1921.
Mulai tahun 1921 berlaku Aturan Bea Meterai 1921 (Zegel
Verordening 1921) yang dimuat dalam Staatslelad 1921 Nomor 498,
sebagaimana telah beberapa kali telah diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 2 Prp Tahun 1956 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor
15
121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-
Undang No 7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38),
yakni ditetapkan menurut luas kertas dan Bea Meterai sebanding.
Mengingat Bea Meterai yang selama ini dipungut berdasarkan Aturan Bea
Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) tidak sesuai lagi dengan keperluan
dan perkembangan keadaan di Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, yang mulai
berlaku tanggal 1 Januari 1986.21
Undang-undang yang terakhir ini
sifatnya perubahan atau penyempurnaan dari Aturan Bea Meterai 1921
dan masih berlaku atau digunakan dalam lalu lintas perdagangan di
Indonesia sampai sekarang.
Berdasarkan Pasal 1 (1) UUBM, menetapkan bahwa objek yang
dikenakan Bea Meterai adalah dokumen-dokumen yang disebutkan dalam
Undang-undang. Adapun jenis dokumen yang dikenakan Bea Meterai
adalah sebagai mana tercantum dalam Pasal 2 UUBM jo Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai,
antara lain:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya22
yang dibuat dengan tujuan
untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai pembuatan,
kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya;
21
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. 22
Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa, surat hibah, surat
pernyataan. Penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
16
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk
rangkap-rangkapnya;
d. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah):
1) Yang menyebutkan penerimaan uang;
2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam
rekening di bank;
3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4) Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau
sebagaimana telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek yang berharga
nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga
nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Selain itu, Bea Meterai dikenakan pula atas dokumen yang akan
digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (3) UUBM, sebagai berikut:
a. Surat-surat biasa23
dan surat kerumahtanggaan24
;
23
Surat-surat biasa yang dimaksud dalam huruf a ayat ini dibuat tidak untuk tujuan sesuatu
pembuktian, misalnya seseorang mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan suatu
barang. Surat semacam ini tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila kemudian dipakai sebagai alat
pembuktian di muka pengadilan, maka terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian. (Lihat
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a Undang-undang No. 13 Tahun 1985 jo Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 2000). 24
Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar harga barang. Daftar ini dibuat tidak dimaksudkan
untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila
kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini digunakan sebagai alat pembuktian, maka
daftar harga barang ini terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian (Lihat Penjelasan Pasal 3
huruf ayat (3) huruf a Undang-undang No. 13 Tahun 1985 jo Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
2000).
17
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang
lain, lain dari maksud semula.
Ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (3) UUBM di atas
secara tegas menyatakan bahwa dokumen berupa surat-surat biasa dan
surat kerumahtanggaan yang semula tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila
digunakan sebagai alat bukti di muka Pengadilan, maka terlebih dahulu
dilakukan pemeteraian kemudian. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara
pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atau permintaan
pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana
mestinya (Pasal 1 ayat (2) huruf d UUBM).
Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa secara jelas dinyatakan
bahwa objek pajak Bea Meterai adalah dokumen seperti dinyatakan dalam
huruf a sampai f Pasal 2 UUBM dimaksud. Dengan demikian, jika tidak
dibuat dokumen ada masalah pengenaan Bea Meterai. Artinya, yang
menjadi objek Bea Meterai bukan perbuatan hukumnya, seperti dokumen
perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, kuitansi, melakukan
pemborongan pekerjaan, dan sebagainya. Tetapi, tidak semua dokumen
dapat dikenakan Bea Meterai. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 UUBM
yang menyebutkan bahwa tidak dikenakan Bea Meterai, antara lain:
a. Dokumen yang berupa :
1) Surat penyimpanan uang;
2) Konosemen;
3) Surat angkutan penumpang dan barang;
18
4) Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen
sebagaimana dimaksud dalam angka 1), angka 2) dan angka 3);
5) Bukti untuk penerimaan dan pengiriman uang;
6) Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengiriman;
7) Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat
sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).
b. Segala bentuk ijazah25
;
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan
pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta
surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;
d. Tanda bukti penerimaan uang negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah
Daerah, dan bank;
e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang
disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan
bank;
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan pembayaran uang tabungan
kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan dan lainnya
yang bergerak di bidang tersebut;
h. Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
25
Termasuk dalam pengertian segala bentuk ijazah ialah surat tanda tamat belajar, tanda lulus,
surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan, kursus, dan penataran. (Lihat
Penjelasan Pasal 4 huruf b Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai).
19
Mengenai subjek Bea Meterai diatur dalam Pasal 6 UUBM, yang
menentukan bahwa Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau
pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-
pihak yang bersangkutan menentukan lain. Selanjutnya dalam penjelasan
Pasal 6 UUBM tersebut dijelaskan subjek Bea Meterai untuk tiap-tiap
jenis dokumen sebagai berikut:
a. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi maka Bea
Meterai terhutang oleh penerima kuitansi.
b. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya
surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terhutang
Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.
c. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai
yang terhutang baik akta asli yang disimpan oleh Notaris maupun
salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan
terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen
tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan
lain, maka Bea Meterai terhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang
ditentukan dalam dokumen tersebut.
3. Tarif Bea Meterai
Tarif Bea Meterai pada dasarnya dibagai dua, yaitu (1) tarif
berdasarkan jenis dokumen dan (2) tarif berdasarkan jumlah nominal yang
disebutkan dalam dokumen tersebut. Pembagian ini memang tidak
20
disebutkan secara jelas dalam UUBM, namun secara implisit dapat dilihat
dalam Pasal 2 UUBM, yaitu dokumen yang merupakan surat yang dibuat
dengan tujuan untuk digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, seperti
akta notaris dan akta PPAT dikenakan tarif yang sama tanpa melihat isi
dari dokumen tersebut. Selain itu, dokumen yang memuat jumlah uang
akan dikenakan tarif Bea Meterai berdasarkan jumlah uang yang termuat
dalam dokumen itu.26
Tarif Bea Meterai atas dokumen-dokumen sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 UUBM adalah Rp 1.000,- dan Rp 500,-. Selanjutnya dalam
Pasal 3 UUBM disebutkan bahwa dengan Peraturan Pemerintah dapat
ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga
nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan,
dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUBM. Seiring dengan adanya
perkembangan ekonomi nasional, pemerintah telah mengadakan dua kali
penyesuaian tarif dan besarnya harga nominal yang dikenakan Bea
Meterai, yaitu perubahan pertama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7
tahun 1995, tarif Bea Meterai diubah menjadi Rp 1.000,- dan Rp 2.000,-.
Perubahan kedua diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
2000 yaitu tarif Bea Meterai ditentukan sebesar Rp 3.000,- dan Rp 6.000.27
Berikut ini perubahan tarif Bea Meterai menurut ketentuan
Undang-undang No. 13 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2000, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
26
Hasanuddin Tatang. Modul Bea Meterai. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak, Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Direktur Jenderal Pajak, Jakarta, 2006, hal. 10. 27
Ibid. hal. 10.
21
Tabel 1. Perubahan Tarif Bea Meterai
No.
Dokumen
Tarif Bea Meterai
UU No. 13
Tahun 1985
PP No. 24
Tahun 2000
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya
(al. surat kuasa, hibah, surat pernyataan)
yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, keadaan yang
bersifat perdata.
Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
2. Akta Notaris dan salinannya Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
3. Akta yang dibuat PPAT termasuk
rangkapannya.
Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
4.a Surat yang memuat sejumlah uang lebih
dari Rp. 1.000.000,00 (harga nominal
yang dinyatakan dalam mata uang
asing)
a. Yang menyebutkan penerimaan
uang;
b. Yang menyatakan pembukaan uang
atau penyimpanan uang dalam
rekening di bank;
c. Yang berisi pemberitahuan saldo
rekening di bank, dan
d. Yang berisi pengakuan bahwa utang
seluruhnya atau sebagian telah
dilunasi atau diperhitungkan.
Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
4.b Surat yang memuat jumlah uang lebih
dari Rp.250.000,00 tetapi tidak lebih
dari Rp. 1.000.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
4.c Surat yang memuat jumlah uang lebih
dari Rp.100.000,00 tetapi tidak lebih
dari Rp. 250.000,00
Rp. 500,- Nihil
4.d Surat yang memuat jumlah uang tidak
lebih dari Rp.100.000,00
Nihil Nihil
5.a Surat berharga seperti wesel,
promes,dan aksep yang harga
nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00
Rp. 1.000,- Rp. 6.000 -
5.b
Surat berharga seperti wesel, promes,
dan aksep yang harga nominalnya lebih
dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih
dari Rp 1.000.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
5.c Surat berharga seperti wesel, promes,
dan aksep yang harga nominalnya tidak
lebih dari Rp 250.000,00
Rp. 500,- Nihil
22
6.a Cek dan bilyet giro yang harga
nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00
Rp. 1.000,- Rp. 3.000,-
6.b Cek dan bilyet giro yang harga
nominalnya lebih dari Rp 250.000,00
tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
6.c Cek dan bilyet giro yang harga
nominalnya lebih dari Rp 100.000,00
tetapi tidak lebih dari Rp 250.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
6.d Cek dan bilyet giro yang harga
nominalnya tidak lebih dari
Rp100.000,00
Nihil Rp. 3.000,-
7.a Efek yang harga nominalnya lebih dari
Rp 1.000.000,00
Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
7.b Efek yang harga nominalnya lebih dari
Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari
Rp 1.000.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
7.c Efek yang harga nominalnya lebih dari
Rp 100.000,00 tetapi tidak lebih dari
Rp 250.000,00
Rp. 500,- Rp. 3.000,-
7.d Efek yang harga nominalnya tidak lebih
dari Rp 100.000,00
Nihil Rp. 3.000,-
8. Dokumen yang akan digunakan sebagai
alat bukti di muka pengadilan meliputi :
a. Surat-surat biasa dan surat kerumah-
tanggaan;
b. Surat-surat yang semula tidak
dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk
tujuan lain atau digunakan oleh orang
lain, selain dari masksud semula.
Rp. 1.000,- Rp. 6.000,-
Sumber: UUBM dan PP No. 24 Tahun 2000 (diolah penulis).
4. Saat Terutang Bea Meterai
Ketentuan mengenai saat terutang Bea Meterai diatur dalam Pasal
5 UUBM, yang menyatakan bahwa saat terutang Bea Meterai ditentukan
dalam hal :
a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu
diserahkan.
23
Penjelasan ayat ini bahwa dokumen dikenakan Bea Meterai
pada saat dokumen tersebut diserahkan dan diterima oleh pihak untuk
siapa dokumen tersebut dibuat, bukan pada saat ditandatangani,
misalnya kuitansi, cek dan sebagiannya. Misalnya, A membuat surat
kuasa kepada B, dimana dalam surat kuasa itu disebutkan bahwa B
atas nama A diberi kuasa untuk menagih dan menerima sejumlah uang
dari C yang berhutang kepada A. Pada waktu surat kuasa itu dibuat
oleh A dan belum diserahkan kepada B, maka atas surat kuasa itu
belum dikenakan Bea Meterai. Jika surat kuasa itu diserahkan kepada
B (pihak penerima kuasa) maka pada saat penyerahan itu Bea
Meterainya menjadi terhutang.
b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat
dokumen itu selesai dibuat
Maksud dari ayat ini adalah saat terutang Bea Meterai atas
dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak adalah pada saat
dokumen itu selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda
tangan dari yang bersangkutan. Misalnya, A menjual tanah kepada B
dihadapan PPAT, maka tanda tangan PPAT merupakan penutup dari
akta jual beli yang sebelumnya ditandatangani oleh saksi dan para
penghadap. Pada saat akta jual beli itu selesai ditandatangani oleh
semua pihak yang bersangkutan termasuk PPAT, maka saat itulah Bea
Meterai terutang.
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat dokumen
tersebut digunakan di Indonesia.
24
Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 9 UUBM yang menetapkan
bahwa: “Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di
Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terutang dengan cara
pemeteraian kemudian.” Misalnya, A (orang Indonesia) membuat
perjanjian jual beli di Kuala Lumpur dengan B warga negara Malaysia.
Jika dokumen perjanjian jual beli itu oleh A dibawa ke Indonesia dan
disimpan saja di dalam lemari, maka atas dokumen perjanjian jual beli
itu belum/tidak terutang Bea Meterai. Tetapi, jika dokumen perjanjian
itu hendak digunakan di Indonesia (misalnya dalam realisasi jual beli
yang diperjanjikan) maka pada saat itu terutang Bea Meterai dan harus
dibubuhi meterai dengan cara pemeteraian kemudian di Kantor Pos.
Mengenai siapa yang terutang Bea Meterai. Ketentuan ini di atur
dalam Pasal 6 UUBM yang menetapkan bahwa: “Bea Meterai terhutang
oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari
dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan
lain.”
Dalam Penjelasan Pasal 6 UUBM tersebut diberikan contoh-contoh
sebagai berikut :
a. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai
terutang oleh penerima kuitansi.
b. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya
surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terutang
Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.
25
c. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris maka Bea Meterai
yang terhutang baik atas asli salih yang disimpan oleh Notaris maupun
salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan
terutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen
tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian.
d. Jika pihak-pihak bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai
terutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen
tersebut.
5. Pelunasan dan Penggunaan Benda Meterai
a. Pelunasan Bea Meterai
Cara melunasi Bea Meterai pada dasarnya diatur melalui Pasal
7 ayat (2) UUBM, menetapkan bahwa: Bea Meterai atas dokumen
dilunasi dengan cara: a. Menggunakan benda meterai; b. Menggunakan
cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Berikut uraian
selengkapnya atas pelunasan Bea Meterai dimaksud.
1) Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Benda Meterai
Benda meterai yang dapat digunakan sebagai sarana
pelunasan benda meterai terutang adalah benda meterai
sebagaimana dimaksud dalm Pasal 1 ayat (2) huruf b UUBM, yaitu
meterai tempel dan kertas metereai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
26
Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan meterai
tempel dilakukan sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) sampai dengan
ayat (6) UUBM, yaitu sebagai berikut:
a) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak
rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
b) Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan
dibubuhkan.
c) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman
tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang
sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas
kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.
d) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan
harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan
sebagian di atas kertas.
Letak perekatan meterai tempel bergantung kepada dimana
letak tanda tangan akan dibubuhkan di atas kertas yang
bersangkutan. Pada umumnya di bawah tulisan yang sudah selesai
dibuat. Jika suatu dokumen yang dibubuhi meterai tempel harus
ditanda-tangani oleh lebih dari satu orang, penanda tanga pertama
harus mempergunakan meterai tempel tersebut.28
Sementara pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan
kertas meterai dilakukan sesuai dengan Pasal 7 ayat (7) dan ayat
28
Hasanuddin Tatang, Op.Cit. hal. 12.
27
(8) UUBM, yaitu dengan cara menuliskan dokumen yang menjadi
objek Bea Meterai pada kertas meterai yang ditentukan. Tanda
tangan pihak yang membuat dokumen tersebut dilakukan di atas
kertas meterai, pada bagian yang sesuai dengan dokumen yang
dibuat (tidak ditentukan harus pada sisi tertentu dari kertas
meterai). Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu
panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang
digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat
digunakan kertas tidak bermeterai.
Suatu dokumen yang menggunakan beberapa helai kertas
(misalnya akta pendirian sebuah perseroan terbatas) dan akta
pendirian tersebut menggunakan kertas meterai, maka hanya
bagian awal (helai pertama) saja yang menggunakan meterai,
kemudia helai-helai berikutnya dapat menggunakan kertas biasa
tanpa meterai.
Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh
digunakan lagi (Pasal 7 ayat (7) UUBM). Hal ini berarti bahwa
sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali
pemakai, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang
dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian
saja dari kertas meterai. Jika bagian yang masih kosong atau tidak
terisi tulisan atau keterangan akan dimuat tulisan atau keterangan
lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain tersebut
28
terutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan
besarnya tarif Bea Meterai yang berlaku.29
Jika sehelai kertas meterai karena suatu hal tidak jadi
digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh pembuat
atau yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah
terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belum
merupakan suatu dokumen yang selesai, kemudian tulisan yang
ada pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau
keterangan baru, maka kertas meterai yang demikian dapat
digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi.30
Konsekuensi penggunaan meterai di luar ketentuan tentang
bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai,
demikian pula pencetakan, serta tata cara pelunasan Bea Meterai
tidak dipenuhi sebagaimana ditentukan oleh UUBM di atas, maka
dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
2) Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Cara Lain
Penjelasan Pasal 7 UUBM menyebutkan bahwa pada
umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda
meterai menurut tarif yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Disamping itu dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat
ditetapkan cara lain bagi pelunasan Bea Meterai, misalnya
membutuhkan tanda tera sebagai pengganti benda meterai di atas 29
Ibid. hal. 13. 30
Penjelasan Pasal 7 ayat (7) Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
29
dokumen dengan mesin teraan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ditentukan untuk itu.
Cara pelunasan Bea Meterai dengan cara lain yang
ditetapkan Menteri Keuangan, yaitu : (a) Membubuhkan tanda Bea
Meterai Lunas dengan menggunakan mesin teraan meterai; (b)
Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi
percetakan; (c) Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan
sistem komputerisasi; (d) Membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan alat lain dan teknologi tertentu.31
a) Pelunasan Bea Meterai dengan Mesin Teraan Meterai
Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan mesin
teraan meterai diperbolehkan bagi penerbit dokumen yang
melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari
minimal 50 dokumen. Penerbit dokumen yang akan
menggunakan mesin teraan meterai harus memenuhi beberapa
syarat berikut:32
(1) Mengajukan permohonan ijin tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan
jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang
akan digunakan serta melampirkan surat pernyataan tentang
31
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai
dengan Menggunakan Cara Lain. 32
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai
dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
30
jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai
setiap hari.
(2) Melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal
sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kas Negara
melalui Bank Persepsi.
(3) Dalam hal wajib pajak telah memperoleh ijin untuk
menggunakan mesin teraan meterai, maka wajib pajak
harus menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin
teraan meterai kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
setempat, paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
(4) Ijin menggunakan mesin teraan meterai berlaku untuk 2
(dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya, dan dapat
diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan.
(5) Dalam hal mesin teraan meterai rusak atau tidak digunakan
lagi, maka Bea Meterai yang belum digunakan dapat
dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai lain
atau pencetakan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi
percetakan ataupun dengan sistem komputerisasi.
(6) Penerbit dokumen yang akan mengalihkan Bea Meterai
harus mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat disertai dengan alasan
dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.33
33
Notaris Herman. Tax Learning Bea Meterai. Diakses melalui http://herman-notary.
blogspot.com/2009_05_01_archive.html. tanggal 15 Oktober 2013.
31
b) Pelunasan Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan
Tata cara pelunasan Bea Meterai dengan teknologi
percetakan diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP - 122c/PJ./2000 tentang Tata Cara Pelunasan Bea
Meterai dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas
dengan Teknologi Percetakan, yang menetapkan sebagai
berikut: 34
(1) Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi percetakan hanya
digunakan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro,
dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.
(2) Perusahaan yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak untuk
melaksanakan pembubuhan tanda Bea Meterai lunas adalah
Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia
(PERURI) dan/atau perusahaan sekuriti yang memperoleh
ijin dari Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu
(BOTASUPAL) yang ditunjuk oleh Bank Indonesia,yaitu:
PT Wahyu Abadi, PT Graficindo Megah Utama, PT
Swadharma Eragrafindo Sarana, PT Jasuindo Tiga Perkasa,
PT Sandipala Arthaputra, PT Karsa Wira Utama.35
(3) Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea
Meterai dengan teknologi percetakan harus melakukan
pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen
34
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 122c/PJ./2000 tentang Tata Cara Pelunasan
Bea Meteri dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Teknologi Percetakan. 35
Notaris Herman. Op.Cit.
32
yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan
SSP ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
(4) Penerbit dokumen yang melakukan pelunasan Bea Meterai
dengan teknologi percetakan harus mengajukan
permohonan ijin tertulis kepada Dirjen Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea
Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.
(5) Perum PERURI dan perusahaan sekuriti yang melakukan
pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet
giro, atau efek, harus menyampaikan laporan bulanan
kepada Dirjen Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
(6) Surat ijin dikeluarkan oleh Dirjen pajak dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari sejak permohonan diterima secara
lengkap.
(7) Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai
Lunas yang tercetak pada cek, bilyet giro, dan efek yang
belum digunakan dapat dialihkan untuk pengisian deposit
mesin teraan meterai atau untuk pembubuhan tanda Bea
Meterai dengan cara lainnya.
(8) Penerbit dokumen yang akan mengalihkan Bea Meterai
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Dirjen Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea
Meterai yang akan dialihkan.
33
(9) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek
yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sebelum
tanggal 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan menggunakan
mesin teraan meterai atau meterai tempel.
(10) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek
yang tanda lunasnya dibubuhkan sejak tanggal 1 Mei 2000
harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan meterai
atau dengan meterai tempel ditambah denda administrasi
sebesar 200% dari Bea Meterai kurang bayar (Pasal 9
UUBM).
c) Pelunasan Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi
Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda
Bea Meterai Lunas dengan sistem Komputerisasi diatur dalam
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang
Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda
Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi, dengan syarat
sebagai berikut :
(1) Dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang
sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf d Peraturan
Pemerintah No.24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal
yang Dikenakan Bea Meterai, dengan jumlah rata-rata
pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen.
34
(2) Penerbit dokumen yang menggunakan sistem komputerisasi
harus mengajukan ijin tertulis kepada Dirjen Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-
rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.
(3) Penerbit dokumen yang menggunakan sistem komputerisasi
harus membayar Bea Meterai di muka minimal sebesar
perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai
setiap bulan, dengan menggunakan SSP ke Kas Negara
melalui Bank Persepsi.
(4) Penerbit dokumen yang memperoleh ijin pelunasan Bea
Meterai dengan sistem komputerisasi harus menyampaikan
laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo
Bea Meterai kepada Dirjen Pajak paling lambat tanggal 15
setiap bulan.
(5) Ijin pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi
berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada
saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan
pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.
(6) Penerbit dokumen yang saldo Bea Meterainya kurang dari
estimasi kebutuhan satu bulan, harus mengajukan
permohonan ijin baru, dengan terlebih dahulu membayar
uang muka minimal sebesar kekurangan yang harus
dipenuhi untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
35
(7) Bea Meterai yang belum digunakan karena sesuatu hal,
dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan
meterai, atau pencetakan Bea Meterai Lunas dengan
teknologi percetakan.
(8) Penerbit dokumen yang melakukan pengalihan Bea Meterai
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Dirjen Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea
Meterai yang dialihkan.36
b. Penggunaan Bea Meterai
Penggunaan benda meterai dalam pelunasan Bea Meterai di
atur dalam Pasal 6 ayat (3) sampai dengan ayat (9) UUBM, sebagai
berikut :
(3) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak
di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
(4) Meterai tempel direkatkan di tempat di mana tanda tangan akan
dibubuhkan.
(5) Pembubuhan tandatangan disertai dengan pencantuman tanggal,
bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau sejenis dengan itu,
sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi
di atas meterai tempel.
36
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 122d/PJ./2000 tentang Tata Cara Pelunasan
Bea Meterai dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem Komputerisasi.
36
(6) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus
dibubuhkan sebagaian di atas semua meterai tempel dan sebagian
diatas kertas.
(7) Kertas meterai yang sudak digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
(8) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang
untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan,
maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan
kertas tidak bermeterai.
(9) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai
dengan ayat (8) tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan
dianggap tidak bermeterai.
Ketentuan penggunaan meterai di atas secara eksplisit
menegaskan bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan
untuk sekali pemakaian, sekalipun dapat terjadi tulisan atau keterangan
yang dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan
sebagaian saja dari kertas meterai. Andaikan bagian yang masih
kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan, akan dimuat tulisan
atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain
tersebut terhutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan
dengan besarnya tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Jika
sehelai kertas meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan
dalam hal ini belum ditanda tangani oleh pembuat atau yang
berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah terlajur ditulis
37
dengan beberapa kata atau kalimat yang belum merupakan suatu
dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada kertas
meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka
kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu
dibubuhi meterai lagi.37
Jadi, apabila penggunaan meterai digunakan tidak sesuai
dengan sebagaimana hal-hal yang telah diuraikan di atas maka
konsekuensinya terhadap dokumen yang diberikan meterai tersebut
baik tempel maupun kertas meterai akan dianggap tidak bermeterai,
hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 ayat 3 UUBM.
6. Pemeteraian Kemudian (Nazegelen)
Mengenai pemeteraian kemudian diatur dalam Pasal 8, Pasal 9 dan
Pasal 10 UUBM, yang lengkapnya sebagai berikut :
a. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya
tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda
administrasi sebesar 200 % (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang
tidak atau kurang dibayar (Pasal 8 ayat (1) UUBM).
b. Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya
dengan cara pemeteraian kemudian (Pasal 8 ayat (2) UUBM).
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia
harus telah dilunasi Bea Meterai yang terhutang dengan cara
pemeteraian kemudian (Pasal 9 UUBM).
37
Penjelasan Pasal 6 ayat (7) Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
38
d. Pemeteraian kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 dilakukan oleh Pejabat Pos
menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Pasal 10
UUBM).
Menurut Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Keuangan No.
476/KMK.03/2002 Tahun 2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dgn Cara
Pemeteraian Kemudian, dinyatakan bahwa pemeteraian kemudian
dilakukan atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun
akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Pemeteraian
kemudian juga dilakukan atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang
akan digunakan di Indonesia (Pasal 1 huruf c Keputusan Menteri
Keuangan No. 476/KMK.03/2002).
Pemeteraian kemudian wajib dilakukan oleh pemegang dokumen
dengan menggunakan Meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak dan
kemudian disahkan oleh Pejabat Pos. Besarnya Bea Meterai yang harus
dilunasi adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan
yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan (Pasal 3 huruf a
Keputusan Menteri Keuangan No. 476/KMK.03/2002).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemeteraian
kemudian dilakukan karena :
1) Dokumen yang semula tidak/belum perlu dibubuhi meterai tetapi
karena kemudian dipergunakan sebagai alat bukti di muka Pengadilan,
maka harus dibubuhi meterai (Pasal 2 ayat (3) UUBM).
39
2) Dokumen tidak/kurang dilunasi pengenaan Bea Meterainya.
3) Dokumen yang dibuat di Luar Negeri akan digunakan di Indonesia.
4) Pada dasarnya pemeteraian kemudian (yang dilakukan oleh Pejabat
Pos) adalah pelunasan Bea Meterai dengan cara menggunakan meterai
tempel juga, tetapi karena sesuatu hal dilakukan kemudian (dokumen
telah ditandatangani).
Cara melakukan pemeteraian kemudian tergantung dari penyebab
dilakukan pemeteraian kemudian dan jenis dokumennya.
a. Jika pemeteraian kemudian dilakukan atas surat kerumahtanggaan dan
surat lainnya sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (3) UUBM, yang
dipergunakan sebagai alat bukti di muka Pengadilan, maka besarnya
Bea Meterai adalah Rp. 6.000,- tanpa denda administrasi.
b. Jika pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen yang seharusnya
dikenakan Bea Meterai (misalnya Rp 3.000,-) tetapi ternyata
pelunasannya terlambat (lewat saat terhutangnya) maka dalam
pelaksanaan pemeteraian kemudiannya ditambah denda 200 %.
c. Jika pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen yang kurang
bayar Bea Meterainya, maka pengenaan pemeteraian kemudian adalah
disamping yang kurang bayarnya harus dilunasi dikenakan pula denda
administrasi 200 % terhadap yang barang bayar itu.38
38
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Bea Meterai Modul Diklat Teknis Substantif Dasar
Pajak I, Pusdiklat Perpajakan, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta, 2008, hal. 31-
33.
40
7. Ketentuan Khusus dan Daluwarsa
Dalam Bab IV Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Meterai mengatur tentang ketentuan khusus, yang memuat dua hal yaitu:
(a) tindakan yang tidak dibenarkan bagi pejabat (b) daluwarsa.
a. Tindakan yang Tidak Dibenarkan Bagi Pejabat
Pasal 11 Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea
Meterai, menentukan :
(1) Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat
umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak
dibenarkan :
a) Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen
yang Bea Meterainya tidak kurang bayar;
b) Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang
dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang
berkaitan;
c) Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari
dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;
d) Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak
atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikenakan sanksi administatif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa contoh berikut ini akan lebih memperjelas ketentuan
khusus sebagaimana dimaksud.
41
1) Seorang notaris menerima dan menyimpan dari kliennya surat
kuasa jual beli, padahal suarat kuasa itu belum dikenakan Bea
Meterai.
2) Seorang PPAT menyimpan dalam berkas penyelesaian Akta Jual
Beli Tanah kliennya, sebuah kuitansi yang pengenaan Bea
Meterainya masih kurang dibayar.
3) Seorang Notaris membuat salinan Akta Jual Beli Tanah dan
Bangunan kemudian menyerahkan Akta tersebut kepada kliennya
padahal Bea Meterainya tidak atau kurang di bayar.
4) Seorang hakim memberikan keterangan atau catatan pada dokumen
berupa surat kerumahtanggaan yang digunakan sebagai alat bukti
pada hal surat kerumahtanggaan tersebut belum dikenakan
pemeteraian kemudian.
b. Daluwarsa
Ketentuan tentang daluwarsa diatur dalam Pasal 12 UUBM
yang menetapkan bahwa “Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan
denda administrasi yang terhutang menurut Undang-undang ini
daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal
dokumen dibuat.” Menurut penjelasan atas Pasal 12 UUBM ini,
ditinjau dari segi kepastian hukum daluwarsa 5 (lima) tahun dihitung
sejak tanggal dokumen dibuat, berlaku untuk seluruh dokumen
termasuk kuitansi.
42
Ketentuan daluwarsa di atas berarti setelah lampau 5 (lima)
tahun sejak tanggal dokumen dibuat, maka orang yang terhutang Bea
Meterai dan denda administrasinya atas dokumen tersebut. Saat
tanggal dokumen dibuat, dan jangka waktu lima tahun merupakan
waktu-waktu yang pasti, dengan demikian adanya ketentuan daluwarsa
dimaksud untuk menjamin kepastian hukum dan memudahkan
menghitung daluwarsanya. Misalnya, kuitansi penerimaan uang senilai
Rp. 5.000.000,- yang dibuat tanggal 20 Agustus 2009 tidak dikenakan
Bea Meterai sebagaimana mestinya, maka setelah lampau tanggal 20
Agustus 2014 yang mendapat manfaat atas kuitansi tersebut tidak
berkewajiban lagi memenuhi Bea Meterai yang terhutang, demikian
juga dendanya. Perlu diingatkan bahwa saat tanggal dokumen dibuat
berbeda dengan saat terutang Bea Meterai, sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 5 UUBM.
B. Penggunaan Meterai pada Akta Otentik dan Akta Dibawah Tangan
Pengertian akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu ”Suatu akta otentik ialah suatu akta
yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana
akta dibuat.”
Menurut Sudikno Mertokusumo, “Akta otentik adalah surat yang diberi
tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
43
perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian”.39
Pendapat C.A. Kraan dalam disertasinya ”De Authentieke Akte” sebagaimana
dikutip Herlien Budiono, menyebutkan bahwa akta otentik memiliki lima kriteria
sebagai berikut:
1) Suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan suatu bukti
dan dibuat serta dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan itu
ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat umum
yang bersangkutan;
2) Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya dianggap berasal dari
pejabat yang berwenang;
3) Tata cara pembuatannya memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan (sedikitnya memuat mengenai tanggal, tempat dibuatnya
tulisan, nama dan tempat kedudukan/jabatan pejabat yang
membuatnya);
4) Pejabat itu diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan
yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya;
5) Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan dalam tulisan
tersebut memuat hubungan hukum dalam bidang hukum keperdataan.40
Berdasarkan definisi tersebut, syarat agar suatu akta menjadi akta otentik
adalah :
1) Akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang.
Maksud dari bentuk yang ditentukan undang-undang dalam hal ini adalah
bahwa akta tersebut pembuatannya harus memenuhi ketentuan undang-
undang.
2) Akta otentik tersebut harus dibuat dihadapan atau oleh pejabat umum
(openbaar ambtenaar). Kata ”dihadapan” menunjukkan bahwa akta tersebut
dibuat atas permintaan seseorang, sedangkan akta yang dibuat ”oleh” pejabat
39
Disriani Latifah. “Akta Otentik”, diakses melalui http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/
tag/akta-otentik/, tanggal 18 Oktober 2013. 40
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2008, hal. 214-215.
44
umum karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan, dan sebagainya
(berita acara rapat, protes wesel, dan lain-lain).
3) Pejabat yang membuat akta tersebut harus berwenang untuk maksud itu di
tempat akta tersebut dibuat. Berwenang (bevoged) dalam hal ini khususnya
menyangkut: (1) jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya; (2) hari dan
tanggal pembuatan akta; dan (3) tempat akta dibuat.
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta dibawah tangan adalah
cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Akta otentik cara pembuatan atau
terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum
(seperti notaris, hakim, panitra, jurusita, pegawai pencatat sipil). Sedangkan akta
di bawah tangan, cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau di
hadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan
saja.41
Contoh akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang,
proses verbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian. Sedangkan akta di
bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah dan surat
perjanjian jual beli.
Akta mempunyai fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi sebagai alat
bukti (probationis causa).42
Akta sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu
perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Sebagai
contoh perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat
formil adalah perbuatan hukum disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata
41
Komang Kusdi Wartanaya dan Nyoman A. Martana. Kekuatan Yuridis Meterai Dalam Surat
Perjanjian. Artikel. Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, 2005, hal. 3. 42
Sofyan Arief, “Penggunaan Bea Meterai yang Benar Dalam Rangka Sempurnanya Akta
Autentik”, Humanity. Volume 7, Nomor 1, September 2011, hal. 45.
45
mengenai perjanjian hutang piutang. Minimal terhadap perbuatan hukum yang
disebutkan dalam Pasal 1767 KUH Perdata, disyaratkan adanya akta dibawah
tangan. Fungsi akta lainnya yang juga merupakan fungsi akta yang paling penting
adalah akta sebagai alat pembuktian. Dibuatnya akta oleh para pihak yang terikat
dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian di kemudian hari. Akta
otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan
ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang
dimuat dalam akta tersebut (Pasal 1870 KUH Perdata).43
Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat
dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan,
kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen
tersebut Bea Meterai. Dengan tiadanya meterai dalam suatu surat perjanjian
(misalnya perjanjian jual beli), tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual
beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat
pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau
tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya meterai, tetapi ditentukan oleh
Pasal 1320 KUH Perdata, di mana suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, maka
suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
43
Ibid.
46
membuatnya.44
Jadi, apabila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterai dan
akan dipergunakan sebagai alat bukti di Pengadilan maka pemeteraian dapat
dilakukan belakangan atau pemeteraian kemudian sebagaimana diatur dalam Pasal
8, 9, dan 10 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
C. Kekuatan Hukum Meterai Sebagai Alat Pembuktian
Batasan alat bukti dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan sebagai
berikut:
”Evidence is any species of proof, or probative matter, legally presented at
the trial of an issue, by the act os the partnes and through the medium of
witnesses, record, documents, exhibits, concrete objects, etc, for the
purpose of including belief in the mind of the court of jury as to their
contention” (Alat bukti adalah semua jenis bukti yang secara legal
disajikan di depan persidangan oleh suatu pihak dan melalui sarana saksi,
catatan, dokumen, peragaan, benda-benda konkrit dan lain sebagainya,
dengan tujuan untuk menimbulkan keyakinan pada Hakim).45
Dalam Hukum Perdata, alat bukti diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa “Alat-alat bukti
terdiri atas: bukti tulisan; bukti dengan saksi-saksi; persangkaan-persangkaan;
pengakuan; dan sumpah.”
Dalam Hukum Pidana, macam-macam alat bukti diatur dalam ketentuan
Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdiri
atas: “keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan
terdakwa” Alat bukti yang diajukan dalam acara persidangan di Pengadilan dapat
dikategorikan sebagai :
44
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Kasus, Cetakan Keenam, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2009, hal. 1-2. 45
Wayan Guana, “Pengertian Alat Bukti”. Diakses melalui http://wayanguana.blogspot.com/2008/
12/pengertian-alat-bukti.html, diunduh 18 Oktober 2013.
47
1) alat bukti yang mencapai batas minimal yang ditentukan hukum; dan
2) alat bukti yang tidak mencapai batas minimal; dimana yang terakhir
dapat dikategorikan menjadi 2 bagian lagi yaitu :
a) alat bukti yang tidak sah/tidak memenuhi syarat; dan
b) alat bukti permulaan (begin van bewijs).46
Menurut Yahya Harahap, yang dimaksud dengan alat bukti minimal
adalah secara teknis dan populer dapat diartikan sebagai suatu jumlah alat bukti
yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai
kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau
dikemukakan; apabila alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai
batas minimal, alat bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan
yang dikemukakan.47
Alat bukti yang sah atau memenuhi syarat sebagai alat bukti
adalah alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil, apabila alat bukti
yang diajukan tidak memenuhi kedua syarat tersebut, maka alat bukti tersebut
tidak sah sebagai alat bukti dan oleh karena itu tidak memenuhi batas minimal
pembuktian.48
Alat bukti permulaan adalah alat bukti yang tidak memenuhi batas
minimal pembuktian apabila tidak ditambah paling sedikit satu alat bukti lagi,
contohnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 1905 KUHPerdata jo Pasal 169
46
Jusuf Patrick, “Kedudukan Akta Otentik Dalam Sistem Hukum Pembuktian: Batas Minimal dan
Nilai Kekuatan Pembuktian Akta Otentik”, diakses melalui http://notarissby.blogspot.
com/2008/07/kedudukan-aktaotentik-dalam-sistem.html, tanggal 18 Oktober 2013. 47
M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Jusuf Patrianto Tjahjono diakses melalui http://
notarissby.blogspot.com/2008/07/kedudukan-akta-otentik-dalam-sistem.html, tanggal 18 Oktober
2013. 48
Hendra Wiratno, Kajian Yuridis Mengenai Siapakah yang Berhak atas Salinan Akta Risalah
RUPS Luar Biasa (Studi Kasus Putusan MPP Tanggal 13 Maret 2009 Nomor 03/B/Mj.PPN/2009).
Tesis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2011, hal. 20.
48
HIR49
, asas seorang saksi bukanlah saksi (unus testis nullus testis). Agar dapat
memenuhi ketentuan batas minimal, maka perlu ditambah satu alat bukti lagi.
Pedoman yang dapat digunakan agar alat bukti yang diajukan di
persidangan mencapai batas minimal pembuktian adalah tidak tergantung pada
jumlah alat bukti (faktor kuantitas) namun pada faktor kualitas alat bukti yaitu alat
bukti yang memenuhi syarat formil dan materil. Setiap alat bukti mempunyai
syarat formil dan materiil yang berbeda-beda. Sebagai contohnya saksi, harus
memenuhi syarat formil dan materiil baru dapat menjadi saksi.
Syarat formil :
- orang yang tidak dilarang menjadi saksi (Pasal 1910 KUHPerdata, Pasal 145 jo
Pasal 172 HIR50
);
- mengucapkan sumpah menurut agama atau kepercayaannya sesuai Pasal 1911
KUHPerdata.
Syarat materil :
- keterangan yang diberikan berisi segala sebab pengetahuan bukan berdasarkan
pendapat atau dugaan yang diperoleh dengan menggunakan pikiran sesuai
Pasal 1907 KUHPerdata jo Pasal 171 HIR51
;
49
Pasal 169 HIR menyatakan bahwa keterangan dari seorang saksi tanpa suatu alat bukti lain tidak
dapat dipercaya dalam hukum. 50
Pasal 172 HIR menyatakan bahwa dalam hal menimbang nilai kesaksian itu hakim harus
memperhatikan cocoknya saksi satu sama lain, kesesuaian kesaksian-kesaksian mereka dengan apa
yang diketahui dari sumber lain tentang perkara yang bersangkutan, semua alasan para saksi untuk
menerangkan duduk perkaranya dengan cara begini atau begitu, peri kehidupan, adat istiadat dan
kedudukan para saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat
dipercaya atau kurang dipercayai. 51
Pasal 171 HIR menyatakan bahwa: (1) Tiap-tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang
bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya; (2) Pendapat atau dugaan khusus yang timbul dari
pemikiran, tidak dipandang sebagai kesaksian.
49
- keterangan yang diberikan saling bersesuaian dengan yang lain atau alat bukti
lain (Pasal 1906 KUHPerdata jo Pasal 170 HIR52
).
Tidak seperti didalam sistem pembuktian dalam Hukum Pidana (yang
tidak mengenal alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
dan menentukan), maka didalam sistem pembuktian dalam Hukum Perdata, setiap
alat bukti memiliki batas minimal dan nilai kekuatan pembuktian yang berbeda-
beda.53
Pembuktian dalam hukum acara perdata adalah pembuktian yang bersifat
yuridis, karena tujuan pembuktian adalah untuk menetapkan hubungan hukum
antara kedua belah pihak, setelah itu hakim tinggal menjatuhkan Putusan hukim
yang didasarkan pada pembuktian, dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dikenal adanya alat bukti tertulis yang berupa akta atau bukan akta. Penilaian
pembuktian hakim bila diatur atau ditentukan oleh Undang-undang maka Hakim
terikat pada alat bukti oleh sebab itu, bila undang-undang tidak mengatur maka
hakim diberikan kebebasan untuk menilai pembuktian.54
Kekuatan pembuktian dalam Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1888
KUH Perdata, yang menyatakan bahwa: "Kekuatan pembuktian dengan suatu
tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta
kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai
dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan."
52
Pasal 170 HIR menyatakan bahwa jika kesaksian yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri dari
beberapa orang tentang beberapa kejadian dapat meneguhkan perkara tertentu karena kesaksian-
kesaksian itu sesuai dan berhubungan satu sama lain maka kekuatan bukti hukum sepanjang yang
akan diberikan kepada kesaksian-kesaksian yang beraneka ragam itu, hal itu diserahkan kepada
pertimbangan hakim, berhubung dengan keadaan. 53
Hendra Wiratno, Op.Cit., hal. 22. 54
Sofyan Arief, Op.Cit. hal. 48.
50
Dalam prakteknya yang diajukan oleh pihak yang berperkara di
persidangan pengadilan adalah bukti surat/tertulis yang di foto copy dengan
dibubuhi meterai serta dilegalisasi di Kantor Pos, kemudian foto copy tersebut
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan untuk dilegalisasi untuk selanjutnya
diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim. Pada saat diajukan ke
sidang pengadilan kepada majelis hakim, foto copy tersebut akan dicocokkan
dengan aslinya untuk menentukan apakah foto copy tersebut dapat digunakan
sebagai bukti yang sah. Dengan demikian, pada prinsipnya yang diakui sebagai
alat bukti surat atau tertulis yang sah adalah yang “asli”.55
Namun demikian,
terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut di atas sebagaimana yang
dimaksud di dalam pasal 1889 KUH Perdata sebagai berikut :
“Bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak ada lagi, maka salinannya
memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1e. salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama dengan akta asli;
demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah Hakim di
hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil
secara sah sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua
belah pihak dengan persetujuan mereka;
2e. salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa
perantaraan Hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak entah
oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang
penggantinya ataupun oleh pegawai yang karenajabatannya
menyimpan akta asli (minut) dam berwenang untuk memberikan
salinan salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti sempurna bila akta
asli telah hilang;
3e. bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh Notaris
yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh seorang
penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya
menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai
sebagai bukti, melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis;
4e. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan,
menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan tertulis.“
55
“Alat Bukti Surat/Tertulis” diakses melalui http://boedexx.blogspot.com/2012/03/alat-bukti-
surat-tertulis.html tanggal 26 Oktober 2013.
51
Ketentuan pasal 1889 KUH Perdata tersebut di atas merupakan landasan
hukum bagi Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI No. 3038 K/Sip/Pdt/1981
tertanggal 18 September 1986, yang berbunyi sebagai berikut: “Meskipun surat
bukti hanya fotocopi namun hal ini tidak menyebabkan surat bukti tersebut tidak
mempunyai kekuatan bukti sama sekali melainkan dianggap sebagai petunjuk”.56
Berkaitan dengan hal di atas, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985
tentang Bea Materai (UUBM) mengatur obyek dari Bea Materai termasuk
didalamnya dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka
Hakim ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UUBM, sehingga jelas
bahwa setiap dokumen yang akan digunakan di muka persidangan sebagai alat
bukti wajib dikenakan Bea Materai.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 UUBM di atas secara eksplisit
menerangkan bahwa dokumen yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhi
meterai agar dapat digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan. Namun, hal ini
bukan berarti dengan tiadanya meterai dalam alat bukti tertulis menyebabkan
tidak sahnya perbuatan hukum yang dilakukan, hanya akta dari perbuatan hukum
yang dilakukan itu tidak memenuhi syarat untuk dapat digunakan sebagai alat
bukti di Pengadilan.57
Oleh karena itu, perlu diperhatikan adalah bagaimana
penggunaan dari meterai itu sendiri, karena jika penggunaannya dilakukan tidak
sesuai dengan ketentuannya maka konsekuensinya akan timbul pada status pajak
dari suatu dokumen, yaitu suatu dokumen dianggap tidak bermeterai atau dengan
kata lain Bea Meterainya belum lunas.
56
Ibd. 57
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
1996, hal. 3.
52
Jika Bea Meterai suatu dokumen dinyatakan tidak bermeterai/belum lunas
atau kurang dibayar, maka konsekuensi selanjutnya yang akan timbul adalah suatu
dokumen tersebut tidak dapat diterima, dipertimbangkan atau disimpan oleh
pejabat pemerintah, hakim, panitera, notaris dan pejabat umum lainnya, dan
dokumen tersebut juga oleh pejabat-pejabat dimaksud tidak dapat melekatkan
dokumen tersebut pada dokumen lain yang berkaitan atau dibuatkan salinan,
tembusan, rangkapan maupun petikan serta tidak dapat juga diberikan keterangan
atau catatan terhadap dokumen tersebut. Untuk itu, walaupun bukan sebagai
syarat sahnya perjanjian, meterai juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Jadi,
apabila meterai terlupakan dalam pembuatan suatu dokumen atau ternyata kurang
dibayarkan, tidak perlu melakukan pengulangan terhadap pembuatan suatu
dokumen tersebut, namun dapat melakukan pemeteraian kemudian dengan tidak
lupa membayar dendanya sebesar 200% dari tarif meterai yang seharusnya
dikenakan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-undang No. 13 Tahun 1985
tentang Bea Meterai jo Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang
Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang
dikenakan Bea Meterai.
Mengenai kekuatan hukum meterai dalam suatu dokumen, Warsito
mengemukakan bahwa berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang
Bea Materai, fungsi meterai hanya untuk membayar pajak kepada negara tidak
lebih dari itu.58
Warsito menambahkan bahwa jika orang sudah tanda tangan
dengan dibubuhi materai seolah-olah sudah mempunyai pembuktian yang kuat.
58
Warsito. “Fungsi Meterai”. diakses melalui http://mpr.go.id/berita/read/2009/03/25/8338/
fungsi-materai, tanggal 20 Oktober 2013.
53
Padahal sebenarnya tidak demikian, materai itu tidak memilki pembuktian apa-
apa. Oleh karena itu, agar kontrak atau perjanjian baik di instansi Pemerintah
ataupun swasta memilki kekuatan pembuktian yang otentik maka harus memenuhi
syarat-syarat berikut: (1) Bentuk perjanjian/kontrak ditentukan oleh Undang-
undang; (2) dibuat dihadapan atau oleh pejabat umum/notaris; (3) dibuat di
wilayah pembuatan kontrak tersebut (Pasal 1868 KUH Perdata). Apabila syarat-
syarat itu sudah terpenuhi, maka konsekuensinya kontrak atau perjanjian itu
memiliki pembuktian yang sempurna apa yang termuat didalamnya.59
Bertolak dari uraian di atas, maka pemahaman masyarakat selama ini
tentunya perlu dikoreksi mengingat dalam hukum perdata tidak ada kaitan antara
sah tidaknya dokumen yang dibuat oleh para pihak untuk membuktikan perbuatan
hukum yang disepakati dengan Bea Meterai yang harus dibayar. Sah tidaknya
suatu dokumen yang dibuat untuk membuktikan perbuatan hukum ditentukan oleh
cakap tidaknya para pihak menurut hukum untuk bertindak melakukan perbuatan
hukum dimaksud, di mana perbuatan hukum tidak dibuat bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku, dan isi dari dokumen tersebut diakui oleh para
pihak.60
59
Ibid. 60
Arief Surojo, Materi Pokok Bea Meterai, Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan, Jakarta, 2006,
hal. 7.