23
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System) merupakan sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan, memanipulasi dan menganalisis informasi geografis (Paryono, 1994). Sedangkan menurut Prahasta (2002), SIG adalah sejenis perangkat lunak yang digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan dan keluaran informasi geografis beserta atribut-atributnya. Tiap daerah memiliki keunikan dan serangkaian dinamisasi potensial bahaya. Ketika diketahui wilayah tertentu diketahui memiliki kerawanan dan dihuni oleh banyak orang maka dapat segera dilakukan tindakan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan. Sistem Informasi Geografi (SIG) diartikan sebagai suatu sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial, biasanya juga digunakan untuk mendukung dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya (Murai, 1999).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/f0112019_bab2.pdfPengertian Sistem Informasi Geografi ... pemodelan wilayah rawan akibat

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pengertian Sistem Informasi Geografi

Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System)

merupakan sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan,

memanipulasi dan menganalisis informasi geografis (Paryono, 1994).

Sedangkan menurut Prahasta (2002), SIG adalah sejenis perangkat lunak yang

digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan dan

keluaran informasi geografis beserta atribut-atributnya. Tiap daerah memiliki

keunikan dan serangkaian dinamisasi potensial bahaya. Ketika diketahui

wilayah tertentu diketahui memiliki kerawanan dan dihuni oleh banyak orang

maka dapat segera dilakukan tindakan untuk mengurangi kerugian yang

ditimbulkan.

Sistem Informasi Geografi (SIG) diartikan sebagai suatu sistem

informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil

kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data bereferensi

geografis atau data geospatial, biasanya juga digunakan untuk mendukung

dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber

daya alam, lingkungan transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum

lainnya (Murai, 1999).

10

Penggunaan SIG telah banyak dilakukan untuk mengidentifikasi

wilayah-wilayah potensi bencana, seperti yang dilakukan oleh: Wood dan

Good (2004) menggunakan SIG untuk mengidentifikasi kerawanan pada

bandara dan pelabuhan akibat bencana bumi dan tsunami, Rashed (2003),

mengukur konteks lingkungan pada kerawanan sosial akibat bencana bumi,

Dai et al.(2002) mengukur karakteristik hujan untuk yang menyebabkan tanah

longsor, Parson et al.(2004) menggunakan SIG untuk mengidentifikasi

bencana banjir dan rencana mitigasi bencana, Zerger (2002) mengunakan SIG

untuk menguji model risiko bencana, dan Cowell & Zeng (2003)

mengintegrasikan teori ketidakpastian dengan menggunakan SIG sebagai

pemodelan wilayah rawan akibat perubahan cuaca.

SIG dapat merepresentasikan real world (dunia nyata) pada layar

monitor, sebagaimana peta merepresentasikan dunia nyata melalui kertas.

Namun, SIG memiliki keunggulan dan fleksibilitas yang lebih daripada

lembarapn peta kertas (Prahasta, 2001). Selanjutnya mengenai cara kerja, SIG

akan menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-

atribut didalam basis data dan membentuknya dalam tabel-tabel (relasional).

Dengan begitu, atribut ini akan dapat diakses melalui lokasi dari unsur-unsur

peta dan sebaliknya. Lebih lanjut, Prahasta (2001) menyatakan bahwa Sistem

informasi Geografi (SIG) berfungsi untuk menghubungkan unsur-unsur peta

dan atriburnya dengan layer (sungai, bangunan, jalan, laut, dan batas-batas

11

wilayah administrasi). Kumpulan dari layer-layer tersebut yang kemudian

akan membentuk basis data SIG.

2. Ekonomi Pertanian

Ilmu ekonomi pertanian merupakan bagian dari kelompok Ilmu

Kemasyarakatan (social sciences), yaitu ilmu yang mempelajari perilaku dan

upaya, serta hubungan-hubungan antarmanusia. Perilaku yang dimaksud pada

ekonomi pertanian tidak hanya sebatas mengenai perilaku petani dalam

pertaniannya, namun juga mencakup persoalan ekonomi lainnya yang secara

langsung atau tidak akan mempengaruhi produksi, pemasaran, dan konsumsi

hasil pertanian (Hanafie, 2010). Pertanian adalah proses produksi yang

didasarkan pada pertumbuhan tanaman dan hewan.

Menurut Daniel (2002), ekonomi pertanian adalah suatu ilmu yang

mempelajari dan membahas serta menganalisis pertanian secara ekonomi, atau

ilmu ekonomi yang diterapkan pada pertanian. Ekonomi pertanian bukan

hanya mempelajari tentang bercocok tanam, namun juga suatu ilmu yang

mempelajari segala sesuatu tentang pertanian, baik mengenai subsektor

tanaman pangan dan hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor

peternakan, maupun subsektor perikanan.

Ilmu ekonomi pertanian adalah ilmu yang mempelajari faktor sumber

daya atau faktor produksi yang juga dilengkapi dengan permasalahan, potensi

dan kebijakan serta kelembagaan dan faktor lainnya. Pada proses produksi

12

dalam sektor pertanian, sebaiknya perlu dilakukan perencanaan yang matang,

karena proses produksi akan mempengaruhi hasil produksi dan produktivitas

dari pertanian tersebut. Untuk meningkatkan produktivitas ini maka

dibutuhkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah untuk merangsang hasil

produksi, misalnya dengan mempermudah petani dalam mendapatkan pupuk,

bibit, obat-obatan, dan memasarkan hasil produksinya.

Ekonomi pertanian juga mempelajari bahwa sektor pertanian

merupakan sektor yang berperan penting dalam pertumbuhan PDB (Produk

Domestik Bruto) di Indonesia. Di Kabupaten Sukoharjo sendiri, sektor

pertanian menempati urutan ketiga dalam kontribusi terhadap PDRB setelah

Sektor Industri dan Perdagangan. Penurunan pada produksi pertanian akibat

perubahan iklim ekstrim akan berdampak pada penurunan PDRB sektor

pertanian yang diduga juga akan menurunkan Nilai Tukar Petani (NTP). Hal

itu menyebabkan rentannya penghidupan petani yang hidup bertumpu pada

sektor pertanian.

3. Ekonomi Lingkungan

Ekonomi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari tentang

pemanfaatan lingkungan untuk kegiatan manusia, sehingga fungsi/peranan

lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan untuk jangka

waktu yang panjang. Lingkungan hidup dalam Undang-Undang Pengelolaan

Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 adalah kesatuan dari ruang dengan

13

semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya

manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan

dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Menurut Field dan Field (2013), ekonomi lingkungan adalah ilmu

yang mempelajari bagaimana perilaku dari manusia baik individu ataupun

kelompok dalam membuat keputusan mengenai penggunaan dan penyaluran

barang dan jasa yang berasal dari sumber daya alam dan sumber daya

manusia. Kegiatan ekonomi tidak hanya memiliki dampak positif namun juga

dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi

adalah tercapainya kesejahteraan manusia. Sementara dampak negatifnya

adalah akan berakibat pada terdegradasinya lingkungan.

Lingkungan merupakan aset komposit yang menyediakan berbagai

macam sumber daya sehingga dapat menopang eksistensi manusia

(Tientienberg dan Lewis, 2012). Lingkungan berperan sebagai penyedia

sumber daya yang diperlukan untuk kegiatan ekonomi seperti bahan baku

yang diproses oleh produsen menjadi sebuah produk konsumsi dan energi

sebagai bahan bakar.

Lahan pertanian merupakan salah satu jenis penggunaan lahan yang

digunakan untuk mengurangi kerusakan akibat kegiatan manusia yang

berdampak negatif pada lingkungan, khususnya lingkungan udara. Rusaknya

keseimbangan konsentrasi dari unsur-unsur yang terdapat di udara seperti

14

peningkatan pada konsentrasi CO2, akan mengakibatkan terjadinya

pemanasan global yang kemudian menyebabkan perubahan iklim.

4. Perubahan Iklim

Iklim adalah rata-rata kondisi cuaca dalam periode waktu yang

panjang (bulan/tahun), sedangkan cuaca adalah keadaan atmosfir pada

jangka waktu yang pendek (Achmadi dalam Yuniarti, 2009). Iklim pada

suatu daerah atau wilayah merupakan kondisi atmosfer dalam jangka

waktu yang panjang secara deskripsi statistik, sehingga dapat

menggambarkan rata-rata dari variabel cuaca (Murdiyarso dalam

Sarakusumah, 2012).

Perubahan iklim adalah perubahan pola dan intensitas unsur iklim

pada jangka waktu/periode tertentu dibandingkan dengan 10 – 30 tahun

lalu. Perubahan iklim dapat berupa : perubahan unsur iklim menuju arah

naik atau turun dari kondisi rata-ratanya, seperti peningkatan atau

penurunan suhu udara rata-rata bumi. Perubahan iklim yang diartikan

dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Nomor 32 tahun 2009 adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung

atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan

perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa

perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang

dapat dibandingkan.

15

Perubahan iklim global dipicu oleh akumulasi gas-gas pencemar di

atmosfer terutama karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida

(N2O) dan klorofluorokarbon (CFC). United States Department of

Agriculture (USDA) tahun 2010 dalam Indradewa dan Eka (2009)

menyebutkan bahwa telah terjadi kenaikan konsentrasi gas-gas pencemar

tersebut sebesar 0,50 - 1,85% pertahunnya. Konsentrasi tinggi dari gas-gas

pencemar tersebut akan memperangkap energi panas matahari yang

dipantulkan oleh permukaan bumi di zona atmosfer. Fenomena tersebut

sering disebut sebagai efek rumah kaca (green house effect) yang diikuti

oleh meningkatnya suhu permukaan bumi yang diistilahkan sebagai

pemanasan global (global warming).

Menurut UNDP Indonesia (2007), perubahan iklim disebabkan

oleh dua hal:

1) Peningkatan gas rumah kaca

Gas rumah kaca yang terus menerus mengalami peningkatan

adalah karbon dioksida. Gas ini adalah salah satu gas yang secara

alamiah kita hasilkan melalui hembusan nafas, pembakaran batu bara,

kayu dan penggunaan dari kendaraan/mesin berbahan bakar bensin

atau solar. Karbon dioksida merupakan salah satu unsur yang

digunakan oleh tumbuhan untuk melakukan fotosintesis. Namun

peningkatan karbon dioksida lebih cepat dibandingkan daya serap

16

tumbuhan untuk berfotosintesis, sehingga menyebabkan peningkatan

konsentrasi yang tinggi di atmosfer.

2) Berkurangnya lahan yang dapat menyerap karbon dioksida

Lahan pertanian selain memiliki fungsi sebagai penghasil

barang dan jasa yang dapat diperhitungkan dengan nilai/harga pasar

namun juga berfungsi dalam memberikan jasa pada lingkungan.

Fungsi jasa lingkungan tersebut disebut juga sebagai fungsi ekologi

lahan pertanian/mutifungsi pertanian, berkaitan dengan dampak positif

keberadaan lahan pertanian terhadap lingkungan. Beberapa fungsi

ekologi dari lahan pertanian tersebut adalah sebagai pemasok sumber

air tanah, pengendali banjir dan erosi, mitigasi suhu udara, sumber

emisi oksigen (O2), penyerap karbon dioksida (CO2), dan lain

sebagainya. Berkurangnya fungsi menyerap karbon dioksida (CO2)

oleh lahan pertanian tentunya akan mengaikbatkan terjadinya

peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfir dan

menyebabkan pemanasan global.

5. Bencana Banjir

a. Pengertian Bencana

Berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007, bencana

diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan

17

oleh faktor alam, faktor non alam dan faktor manusia yang mengakibatkan

timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta

benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat dikelompokan menjadi tiga,

yaitu sebagai berikut:

1) Bencana alam, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, seperti gempa bumi,

gunung meletus, tsunami, banjir, kekeringan, angina topan, dan tanah

longsor.

2) Bencana non alam, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian dari peristiwa non alam, seperti kegagalan teknologi,

epidemik, dan wabah penyakit.

3) Bencana sosial, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia, seperti komflik

sosial antar kelompok atau komunitas masyarakat, dan teror.

Semakin besar bencana yang terjadi, maka akan semakin besar

kerugiannya bila manusia, lingkungan, dan infrastruktur semakin rentan

(Himbawan, 2010). Apabila terjadi suatu ancaman namun masyarakatnya

tidak rentan, maka masyarakat tersebut diduga dapat mengatasi peristiwa

tersebut. Namun apabila kondisi masyarakatnya rentan tetapi tidak terjadi

peristiwa yang mengancam, maka hal tersebut tidak akan menyebabkan

bencana.

18

b. Bencana Banjir

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),

banjir adalah peristiwa atau keadaan terendamnya suatu daerah atau

daratan yang disebabkan karena peningkatan volume air. Selanjutnya

pengertian banjir yang diberikan oleh Pengarahan Banjir Uni Eropa adalah

perendaman daratan oleh jumlah air yang sangat banyak namun akan surut

kembali nantinya, sehingga bersifat sementara. Banjir adalah adanya

aliran air di permukaan tanah yang relatif tinggi dan tidak tertampung lagi

oleh saluran drainase atau sungai, sehingga meluap ke luar dan membuat

genangan pada daratan sekitarnya.

Selanjutnya, pengertian banjir yang diberikan oleh Hadisusanto

(2011), Banjir adalah tinggi muka air yang melebihi normal pada sungai

dan biasanya meluap melebihi dinding sungai dan membuat luapan airnya

menggenang pada suatu daerah genangan. Banjir pada suatu tempat akan

berbeda-beda tergantung dari kondisi fisik dan geografis wilayah tersebut.

Berikut ini adalah penjelasan dari kejadian banjir:

1) Banjir Lokal

Banjir lokal adalah banjir yang disebabkan oleh tingginya

intensitas hujan dengan kurangnya drainase yang tersedia. Banjir lokal

biasanya hanya terjadi pada lokasi tertentu atau setempat, sesuai

dengan luas sebaran hujan lokal. Banjir ini akan semakin parah apabila

19

saluran drainasenya tidak berfungsi dengan baik, misalnya tersumbat

sampah.

2) Banjir Kiriman

Banjir kiriman disebabkan oleh peningkatan debit air sungai yang

mengalir. Banjir ini akan menjadi lebih parah oleh air kiriman dari

dataran yang lebih tinggi. Sebagian besar juga diakibatkan karena

bertambah luasnya pengalihan fungsi lahan resapan air menjadi lahan

bangunan,sehingga semakin banyak air yang mengalir di permukaan.

3) Banjir Rob

Banjir rob disebabkan oleh tingginya pasang surut air laut yang

melanda daerah pinggiran laut atau pesisir pantai. Namun pada

penelitian ini tidak menggunakan pendekatan banjir rob karena

wilayah penelitian bukan merupakan wilayah yang berbatasan

langsung dengan laut atau pun pantai.

Secara umum penyebab banjir dapat diklasifikasikan ke dalam dua

kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir

disebabkan oleh ulah manusia (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).

Banjir disebabkan oleh faktor alam, yaitu:

1) Curah hujan: pada musim hujan, curah hujan tinggi dapat

mengakibatkan terjadina banjir di sungai dan apabila melewati batas

dinding sungai akan menimbulkan banjir/genangan.

20

2) Pengaruh fisiografi: fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk

fungsi dan kemiringan Daerah Aliran Sungai, lokasi sungai merupakan

hal-hal yang mempengaruhi terjadinya banjir.

3) Kapasitas drainase yang tidak memadai: kapasitas drainase yang tidak

memadai disuatu daerah juga dapat menyebabkan terjadinya banjir.

Banjir disebabkan oleh faktor manusia, seperti:

1) Sampah: fenomena kedisiplinan masyarakat yang kurang baik dengan

membuang sampah sembarangan bahkan pada saluran drainase dan

sungai.

2) Drainase lahan: drainase perkotaan dan pengembangan pertanian pada

daerah bantaran banjir akan mengurangi kemampuan bantaran dalam

menampung air dengan debit tinggi.

6. Kerentanan (Vulnerability)

Kerentanan adalah seberapa jauh sistem manusia dan lingkungan

mungkin akan mengalami kerugian karena gangguan atau stres (Kasperson et

al. 2003; Turner et al. 2003). Kerentanan sering dipahami memiliki dua sisi,

yaitu sisi eksternal dan sisi internal. Sisi eksternal ini berupa guncangan dan

gangguan sebagai suatu sistem yang terbuka, sedangkan sisi internal yaitu

kemampuan atau berkuranganya kemampuan untuk merespon dan pulih dari

tekanan eksternal (Chambers, 2006). Selain itu, pendapat lain juga

dikemukakan oleh Wignyosukarto (2007), yang mengartikan kerentanan

21

sebagai suatu keadaan penurunan ketahanan akibat dari adanya pengaruh

eksternal yang mengancam kehidupan, mata pencaharian, sumber daya alam,

infrastruktur, produktivitas ekonomi, dan kesejahteraan. Hubungan antara

bencana dan kerentanan menghasilkan suatu kondisi resiko bila tidak dikelola

dengan baik.

Pada hakikatnya sebagian besar rumah tangga di pedesaan pada

umumnya tidak dapat menghindar dari resiko yang disebabkan baik oleh

manusia atau karena faktor alam (Ellis, 2000). Narayan (2000)

menggambarkan kondisi kerentanan sebagai sebuah kondisi tanpa adanya aset

yang mengakibatkan suatu rumah tangga berada dalam kondisi yang serba

tidak terlindungi dan terbuka terhadap resiko. Kondisi tersebut membuat

rumah tangga penuh dengan ketergantungan dan rasa ketidakamanan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widiyanto dkk (2010),

bahwa petani menghadapi situasi kerentanan (vulnerability context) seperti,

fluktuasi harga, perubahan cuaca dan musim, kecenderungan luas kepemilikan

dan penguasaan lahan yang sempit, dan degradasi lingkungan. Situasi

kerentanan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keputusan rumah

tangga petani dalam mengelola aset yang dimiliki (modal alami, modal

sumberdaya manusia, modal fisik, modal finansial, dan modal sosial).

Dari beberapa uraian mengenai kerentanan diatas, maka kerentanan

dapat diartikan sebagai situasi perubahan yang mencakup penghidupan

22

manusia, baik individu, keluarga maupun masyarakat. Kerentanan merujuk

pada situasi yang rentan sehingga setiap saat dapat membawa pengaruh besar

terhadap penghidupan masyarakat, baik pengaruh positif maupun negatif.

Bencana banjir merupakan peristiwa yang akan mengancam

penghidupan petani di Kelurahan Sonorejo. Kegagalan panen, akan

menyebabkan petani harus mencari tambahan penghasilan lain demi menutup

kebutuhannya sehari-hari. Kurangnya informasi dan pengetahuan petani

dalam memprediksi datangnya hujan dan banjir menyebabkan penghidupan

petani menjadi rentan dalam situasi tersebut.

7. Dampak perubahan iklim terhadap pertumbuhan sektor pertanian

Pemanasan global akan mengakibatkan perubahan iklim dan

mempengaruhi sektor pertanian. Secara teknis, kerentanan sektor pertanian

terhadap perubahan iklim berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan

sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air dan tanaman, serta

varietas tanaman (Las et al. 2008). Perubahan iklim dapat memberikan

dampak negatif maupun positif terhadap sektor pertanian.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan sebagain

penyumbang emisi gas rumah kaca di atmosfer. Selain itu, sektor pertanian

juga merupakan sektor yang paling terkena dampak dari perubahan iklim,

terutama tanaman pangan. Perubahan iklim menyebabkan penurunan

produktivitas dan produksi tanaman pangan akibat peningkatan suhu udara,

23

banjir, kekeringan, intensitas serangan hama dan penyakit, serta penurunan

kualitas hasil pertanian (Putra dan Indradewa, 2011). Peningkatan suhu udara

di atmosfer sebesar 5oC akan diikuti oleh penurunan produksi jagung sebesar

40% dan kedelai sebesar 10-30%. Sementara itu, peningkatan suhu 1-3oC

akan menurunkan produksi hasil padi sebesar 6,1-40,2%.

Di beberapa daerah, peningkatan pada konsentrasi CO2 di atmosfer

dan radiasi matahari dapat berakibat positif untuk proses fotosintesis

tumbuhan. Salah satunya pada penelitian yang dilakukan terhadap kacang-

kacangan dengan simulasi cekaman suhu tinggi dan kekeringan

mengindikasikan peningkatan konsentrasi CO2 mampu menghilangkan

pengaruh negatif dari cekaman lingkungan yang ada (Indradewa dan Eka,

2009). Namun bagi petani, perubahan iklim ternyata dianggap lebih besar

membawa dampak negatif dibandingkan positifnya. Hujan merupakan salah

satu faktor penentu dan faktor pembatas kegiatan pertanian secara umum

(Lakitan, 2002). Perubahan iklim mempengaruhi terjadinya pergeseran musim

dan cuaca ekstrim. Sektor pertanian akan mengalami kehilangan produksi

akibat bencana kering dan banjir yang terjadi silih berganti, serta

meningkatkan kerentanan penghidupan petani di wilayah rawan bencana

tersebut.

Perubahan iklim juga berdampak terhadap degradasi lahan pertanian,

seperti erosi dan sedimentasi, tanah longsor, dan bencana banjir/genangan.

Genangan tersebut menyebabkan hilangnya lahan persawahan dan penurunan

24

produktivitas lahan karena adanya salinitas. Berdasarkan laporan dari Boer et

al. (2009), Kabupaten Karawang dan Subang mengalami penurunan produksi

beras sekitar 300.000 ton akibat terjadinya genangan. Pada awal tahun 2016,

wilayah persawahan di Kelurahan Sonorejo juga banyak yang mengalami

genangan akibat dari tingginya intensitas curah hujan dan meluapnya kali

Langsur. Akibatnya terjadi kerentanan pada penghidupan petani dan juga

penurunan pada produksi hasil panen padi.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu adalah penelitian mengenai suatu objek/subjek yang

telah dilakukan sebelumnya untuk selanjutnya dijadikan pedoman dalam

penelitian ini. Berikut ini adalah beberapa pedoman yang digunakan dalam

penelitian ini:

No. Peneliti, Tahun dan

Judul Penelitian Metode Analisis Hasil Studi

1. Jarungrattanapong dan

Manasboonphempool

(2009)

Metode survei

melalui site visits,

studi literatur, survei

melalui kuesioner

terstruktur, dan

diskusi dengan

penduduk setempat

Hasilnya penelitian

menunjukkan bahwa erosi

di pesisir pantai

merupakan permasalahan

yang paling utama di

Thailand dalam beberapa

tahun terakhir yang mana

telah mempengaruhi 2

(dua) desa di daerah Khun

Thian, Thailand. Namun,

warga sekitar telah

menerapkan tiga strategi

untuk dapat beradaptasi

dengan kondisi tersebut,

antara lain dengan strategi

25

perlindungan,

pemunduran lahan

pertanian, dan merenovasi

tempat tinggal warga

untuk menanggulangi

dampak erosi.

2

.

Alpizar et al.

(2011)

Metode survei

melalui observasi

individu

Dalam hasil penelitian

ditemukan bahwa terdapat

keengganan untuk

melakukan hal yang

berbeda dan beradaptasi

dengan perubahan iklim

dalam mengelola lahan

perkebunan dengan cara

menerapkan bertanam

dengan tingkat risiko

rendah.

3. Suprihati dkk

(2015)

Metode survei

melalui wawancara

dengan kuesioner

terstruktur, observasi

dan diskusi terfokus.

Hasil penelitian

menunjukkan bahwa

petani mengetahui isu

perubahan iklim dan

merasakan pengaruhnya

terhadap kegiatan

budidaya pertanian

terutama masalah

kekeringan dan serangan

organisme pengganggu

tanaman. Petani

meresponnya melalui

adaptasi kegiatan

pemilihan jenis tanaman,

waktu tanam, cara

mengolah tanah, dan

pemberian pupuk.

4. Ruminta

(2012)

Analisis Hazard,

Analisis kerentanan,

Analisis resiko,

Formulasi adaptasi

Sektor pertanian di

Kabupaten Bandung

rentan terhadap dampak

perubahan iklim global

yang diindikasikan oleh

adanya bahaya (hazard)

penurunan produktivitas,

luas panen. luas lahan, dan

produksi padi, jagung, dan

kedelai akibat peningkatan

26

suhu udara dan perubahan

variabilitas, frekuensi, dan

kuantitas curah hujan pada

saat masa tanam.

5. Hahn et al.

(2009)

Pendekatan Indeks

Komposit,

Pendekatan kerangka

IPCC

Hasilnya menyatakan

bahwa daerah moma lebih

rentan pada sumber air,

sementara daerah Mabote

lebih rentan pada struktur

sosial-demografinya.

6. Murad et al.

(2010)

Analisis regresi

dengan Ordinary

Least Square (OLS)

Hasil penelitian ini

membuktikan tiga

penemuan penting untuk

malaysia : hubungan

antara tingkat

pertumbuhan sektor

pertanian dan skor

perubahan iklim adalah

negatif, tetapi tidak

signifikan (p > 0,1),

hubungan antara emisi

CO2 perkapita dan indeks

produksi pertanian

ditemukan secara

langsung dan sangat

signifikan (p <0,01), dan

hubungan antara indeks

produksi pertanian dan

emisi CO2 perkapita

adalah positif dan sangat

signifikan (p <0,01). Juga

peningkatan pada emisi

CO2 perkapita di negara

memberikan dampak

kerugian dan manfaat

pada pertumbuhan

pertanian.

7. Madhuri

(2014)

Analisis dengan

pendekatan

Livelihoods

Vulnerability Index,

dan indeks LVI-

IPCC

Hasil penelitian

berdasarkan LVI yang

dikembangkan oleh Hahn

et al. (2009) dengan

penambahan komponen

yaitu modal alam dan

beberapa subkomponen

27

(perubahan waktu jadwal

menanam dan memanen,

penggunaan sumber

irigasi primer,

ketersediaan imunisasi,

rumah sakit negeri dan

swasta, serta fasilitas

toilet) mengungkapkan

bahwa blok yang paling

rentan di Bihar adalah

Kharik, Bihpur dan

Ismailpur dan yang paling

tidak rentan adalah

Naugachia.

8. Sakuntaladewi dan

Sylviani

(2014)

Data Primer,

Multivariant Analysis

Hasil penelitian

menunjukkan bahwa

perubahan iklim

menurunkan penghasilan

mayoritas masyarakat di

tiga desa penelitian.

Jumlah masyarakat desa

sekitar hutan mangrove

yang merupakan hutan

hak mempunyai

kerentanan paling rendah

(37%), kerentanan

tertinggi di masyarakat

desa sekitar hutan lindung

(82%) dan kerentanan

sedang di masyarakat desa

sekitar hutan konservasi

(55%).

Sumber: Jurnal, 2016 (diolah)

28

C. Kerangka Pemikiran

Pemanasan global diindikasikan menjadi penyebab perubahan iklim.

Peningkatan konsentrasi dari CO2 yang tinggi secara terus-menerus menyebabkan

ketidakseimbangan dari konsentrasi unsur-unsur yang ada di udara sehingga

menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim akan menyebabkan

perubahan pola hujan, peningkatan suhu, dan juga peningkatan curah hujan.

Salah satu penyebab perubahan iklim adalah bencana banjir/genangan.

Banjir/genangan di lahan sawah Kelurahan Sonorejo sering terjadi saat musim

penghujan setiap tahunnya, bahkan juga terjadi saat hujan harian dengan

intensitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan lahan sawah yang berada di Kelurahan

Sonorejo ini berada pada dataran yang lebih rendah dibanding sekelilingnya,

sehingga menjadi salah satu daerah tujuan buangan air hujan di Kecamatan

Sukoharjo. Banjir/genangan pada lahan sawah akan berakibat pada kerentanan

penghidupan petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan sawah tersebut.

Selain itu, perubahan iklim juga akan berdampak pada sektor pertanian,

khususnya tanaman bahan pangan. Peningkatan emisi CO2 di atmosfer akan

memberikan dampak negatif dan positif pada produksi pertanian.

Kerangka pemikiran yang telah dijelaskan diatas akan disajikan secara

lebih mudah dalam Gambar 2.1 berikut:

29

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran Teoritis

D. Hipotesis

1. Hubungan skor perubahan iklim dan tingkat pertumbuhan sektor

pertanian adalah negatif. Penurunan pada skor perubahan iklim akan

meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian di Kabupaten Sukoharjo.

Pemanasan

Global

Kerentanan

rumah tangga

tani

Dampak Sektor

Pertanian

Perubahan Iklim

Peningkatan

Emisi CO2 di

udara

Kesimpulan

30

Hipotesis ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh

Murad et al. (2010) dengan studi kasus di Malaysia. Variabel skor

perubahan iklim memiliki hubungan negatif dengan tingkat pertumbuhan

sektor pertanian. Penurunan pada skor perubahan iklim akan

menyebabkan peningkatan pada pertumbuhan sektor pertanian di

Malaysia.

2. Hubungan antara indeks produksi pertanian dan emisi CO2 per kapita

adalah negatif. Peningkatan pada indeks produksi pertanian akan

menyebabkan penurunan pada emisi CO2 per kapita. Pemanfaatan air

hujan dan sistem saluran buka-tutup air dan pemanenan secara tradisional

dengan alat bantu sabit merupakan salah satu upaya penurunan emisi CO2

pada sektor pertanian di Kabupaten Sukoharjo.

Hipotesis ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh

Murad et al. (2010) dengan studi kasus di Malaysia. Variabel indeks

produksi pertanian memiliki hubungan positif dengan emisi CO2 per

kapita. Peningkatan produksi pertanian akan menyebabkan peningkatan

pada emisi CO2 per kapita di Malaysia, dengan faktor lain dianggap

konstan. Hal ini terjadi karena penggunaan peralatan pertanian modern,

penggilingan hasil panen, penggunaan bahan kimia/pupuk, dan irigasi

dengan mesin dapat meningkatkan produksi pertanian juga emisi CO2

secara bersamaan.

31

3. Hubungan antara emisi CO2 per kapita dan indeks produksi pertanian per

kapita adalah negatif. Emisi CO2 merupakan salah satu unsur yang

dibutuhkan oleh tanaman untuk dapat tumbuh dengan normal. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Murad et al. (2010) di Malaysia,

peningkatan CO2 diharapkan dapat membantu tanaman dalam

menghadapi suhu tinggi. Namun, peningkatan emisi CO2 per kapita juga

dapat menyebabkan dampak negatif bagi sektor pertanian, yaitu

terjadinya peningkatan intensitas curah hujan dan cuaca ekstrim sehingga

menurunkan produksi pertanian per kapita di Kabupaten Sukoharjo.