Upload
builiem
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Makna Merokok Bagi Perempuan Muslim Perokok
1. Konsep Makna Merokok
Saussure (dalam Chaer, 1994) mengungkapkan pengertian makna sebagai
pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Makna mengacu pada proses kognitif individu. Menurut Pateda (2001) Makna
kognitif adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa yang
sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek atau gagasan, dan dapat
dijelaskan berdasarkan analisis komponennya. Pada makna merokok, komponen
yang dapat dijelaskan sebagai proses kognitif mencakup efikasi diri, persepsi resiko
merokok, serta ekspektasi efek merokok. Santrock (2008) menjelaskan tentang
definisi kognitif sebagai faktor yang mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi,
pemikiran, dan kecerdasan.
Park (2010) mengatakan bahwa makna terbentuk dari perbedaan
mempersepsikan antara makna penilaian mereka atas situasi tertentu dengan makna
secara global, yaitu apa yang mereka inginkan dan mereka percayai yang kemudian
menimbulkan suatu tekanan dan pada akhirnya muncul upaya untuk mengurangi
tekanan tersebut. Dalam kaitannya dengan perilaku merokok pada perempuan
muslim, makna merokok muncul ketika terdapat perbedaan mempersepsikan rokok
sebagai benda yang bermanfaat, sedangkan penilaian umum mengatakan rokok
sangat merugikan daan tidak pantas bagi perempuan. Park (2010) mengatakan
13
bahwa pembentukan makna juga melibatkan upaya-upaya intrapsikis yang
berorientasi mengurangi tekanan antara penilaian individu dengan makna global.
Munculnya pemaknaan perokok terhadap rokok melibatkan usaha intrapsikis
perempuan perokok dalam mengurangi tekanan dari makna rokok secara umum
yang merugikan dan dilarang oleh agama Islam. Park (2010) juga menambahkan
bahwa pembentukan makna merupakan proses mencari pemahaman yang lebih baik
saat individu terlibat dalam situasi tertekan. Ketika perempuan muslim perokok
dalam situasi tertekan oleh segala macam larangan merokok dalam agama Islam,
perempuan muslim perokok berupaya mencari makna yang lebih baik menurutnya
dan dapat memahami situasinya. Pemaknaan terhadap rokok pada diri perempuan
muslim perokok dapat berubah ketika dirinya meyakini bahwa rokok merugikan.
Wrosch (2010) mengatakan dalam pembentukan makna, seseorang dapat merubah
apa yang diyakininya dan mengikuti apa yang menjadi keyakinan global. Seringkali
perempuan muslim perokok tidak menyadari sepenuhnya bahwa merokok
merupakan perilaku merugikan dan kurang pantas dilakukan bagi perempuan,
sehingga tetap memaknai rokok sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan
mengabaikan kesehatan orang lain disekitarnya. Greenberg (1995) mengatakan
bahwa pembentukan makna merupakan proses ketidaksadaran dalam mengatasi
perbedaan makna yang dimiliki seseorang dengan makna yang diyakini secara
umum. Seorang perempuan muslim perokok akan mendapatkan penyesuaian yang
lebih baik ketika dapat merubah makna rokok bagi dirinya ke makna rokok secara
umum yang diyakini masyarakat. Sebaliknya jika gagal menyesuaikan maka akan
mengarahkan diri perokok kepada kegagalan mengintegrasikan identitasnya
14
sebagai perempuan muslim. Segerstrom, Stanton, Alden, dan Shortridge (2003)
mengatakan bahwa proses perubahan makna dari situasional ke makna global dapat
menghasilkan penyesuaian yang lebih baik terutama ketika individu dapat
menemukan makna yang memadai bagi dirinya . Sebaliknya jika hanya berlarut-
larut akan membuat individu mengarah kepada sikap-sikap maladaptif. Park (2014)
mengatakan bahwa spiritualitas dapat menginformasikan semua aspek makna
global, menginformasikan keyakinan (misalnya, sifat Tuhan dan kemanusiaan,
kontrol, takdir, karma) dan memberikan motivasi, tujuan utama kehidupan dan
pedoman untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam kaitannya dengan perilaku
merokok, hukum merokok dalam agama Islam menjadi pedoman larangan merokok
bagi umat Islam, mengingatkan tentang dosa, dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Park (2008) mengatakan bahwa proses pembentukan makna membantu seseorang
mengubah pemahaman mereka tentang apa yang mereka alami, mengubah makna
yang dinilai jika memadai bagi mereka, seperti penyebabnya atau implikasinya bagi
kehidupan mereka, makna global adalah tentang keyakinan, tujuan, dan cita-cita
subjektif.
Berbagai macam penyebab perempuan berjilbab merokok, akhirnya mereka
mempunyai makna tersendiri ketika dirinya sudah menjadi perokok aktif. Baginya
merokok bukan hanya sekedar pengaruh orang tua, pengaruh lingkungan teman
sebaya atau hanya sekedar keinginan mereka pribadi. Rokok bukan hanya sekedar
rokok bagi mereka.
15
2. Rokok Dan Perempuan
Menurut Suharyono (dalam Mulyadi, 1993) prinsip perilaku merokok pada
umumnya adalah memasukkan bahan yang berasal dari dedaunan (tembakau) yang
mengandung zat tertentu (khususnya nikotin) sebagai tindakan untuk memperoleh
kenikmatan. Eriksen, Judith, dan Hana (2012) mendefinisikan perilaku merokok
sebagai aktivitas membakar daun tembakau kering dan menghisap asap
pembakarannya. Aditama (2011) menyatakan bahwa asap rokok mengandung
sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, tar, n-nitrosamines, polyaromatic, dan
masih banyakzat-zat lain yang dapat membahayakan kesehatan. Bahaya rokok
dapat menyerang siapa saja, namun risiko terbesar dari merokok lebih mengancam
para perempuan. Kurniafitri (2015) mengatakan bahwa perokok perempuan
memiliki risiko ganda terhadap penyakit jantung dan kanker paru-paru bila
dibandingkan dengan perokok laki-laki. Kurniafitri(2015) menjelaskan bahwa
bahaya merokok pada perempuan antara lain merusak kulit, mengganggu sistem
reproduksi, mengganggu siklus menstruasi termasuk timbulnya rasa nyeri,
menurunkan kesuburan, meningkatkan risiko terkena kanker payudara, kanker
rahim, kanker paruparu, mengganggu pertumbuhan janin dalam rahim, menganggu
kelancaran ASI, keguguran, hingga kematian janin.
Terlepas dari bahayanya, merokok dikalangan perempuan seolah
membuktikan bahwa perempuan tidak ingin dibedakan dengan laki-laki.
Riztiardhana dan Dewi (2013) menyebutkan bahwa karena majunya perkembangan
jaman saat ini diikuti pula dengan gaya hidup yang semakin meningkat, membuat
seorang perempuan memunculkan perilaku merokok. Riztiardhana dan Dewi
16
(2013) mengatakan bahwa emansipasi perempuan juga menjadi titik balik bagi para
perempuan modern saat ini untuk mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-
laki, sehingga mungkin banyak pola pikir perempuan yang melebihi pola pikir laki-
laki.
Dari sudut pandang agama islam, ketua MUI (dalam Trigiyatno, 2011)
menegaskan bahwa rokok diharamkan khusus bagi anak-anak, ibu hamil dan juga
bagi semua orang yang merokok di tempat umum. Oleh karena itu, hukum merokok
bagi perempuan dan laki-laki adalah sama. Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa perempuan perokok memiliki resiko ganda terhadap penyakit
yang ditimbulkan oleh rokok dibandingkan laki-laki. Terlepas oleh alasan
psikologis dan sosial, perilaku merokok pada perempuan sendiri pada dasarnya
dilarang oleh agama Islam.
Fenomena diatas kemudian menjadi dasar dilakukannya beberapa penelitian
antara lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok pada
perempuan, kemudian tentang bahaya penyakit yang ditimbulkan dari merokok,
dan tentang perilaku merokok itu sendiri. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Mulyadi (2007) dalam skripsi berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Perilaku Merokok Pada Remaja Putri”, penelitian hanya berfokus pada pencarian
faktor penyebab perilaku merokok saja. Penelitian ini menggali pengalaman hidup
dari subjek dan kondisi-kondisi awal sebagai pemicu perilaku merokok. Penelitian
ini tidak difokuskan untuk mengungkap upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
subjek dalam rangka berhenti merokok, dan faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi subjek supaya berhenti merokok. Penelitian selanjutnya oleh Sinta
17
(2007) dalam skripsi berjudul “Pemahaman Wanita Perokok Tentang Kesehatan
Reproduksi”. Dalam Penelitian ini peneliti hanya ingin tahu sejauh mana
pemahaman wanita perokok tentang kesehatan reproduksi. Penelitian ini
menekankan pada bahaya rokok terhadap kesehatan reproduksi wanita dengan
menyisipkan informasi bahaya merokok, tujuan nya supaya wanita sadar merokok
berbahaya bagi dirinya, sehingga prevalensi merokok pada wanita menurun. Dari
tujuan penelitian ini tidak disinggung tentang keterkaitan rokok dengan tingkat
religiusitas, dan bagaimana cara perempuan memandang rokok, bahwa ada banyak
alasan perempuan memilih rokok dari pada memperhatikan kesehatannya sendiri.
Penelitian berbeda lagi dilakukan oleh Afandi (2016) dalam skripsi berjudul
“Perilaku Merokok Pada Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta”. Dalam penelitian ini peneliti mencoba menganalisa
perilaku merokok pada mahasiswi, bahwa dalam perilaku tersebut terdapat motivasi
yang muncul dari faktor yang ada pada diri perokok. Arah penelitian tersebut
berujung pada pencarian faktor yang menyebabkan keputusan merokok itu dipilih
oleh subjek. Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisa lebih jauh tentang makna
merokok bagi subjek dan mengaitkannya dengan tingkat religiusitas dan bahaya
kesehatan.
Sejauh ini telah banyak penelitian yang serupa dengan penelitian di atas,
maka berdasar pada penelitian-penelitian tersebut, kemudian muncul gagasan oleh
peneliti bahwa sebelum melangkah lebih jauh untuk meneliti tentang faktor
penyebab dan bagaimana perilaku merokok dikalangan perempuan, alangkah
baiknya terlebih dahulu mengetahui makna merokok bagi perempuan yang juga
18
penting untuk dilakukan. Leventhal dan Cleary (dalam Cahyani, 1995) menyatakan
bahwa seseorang akan berperilaku merokok karena sebelumnya ia telah memiliki
persepsi tertentu mengenai merokok. Faktor yang berperan penting terhadap
munculnya perilaku merokok pada akhirnya akan menjadi suatu kebiasaan dan
menyebabkan kecanduan terhadap rokok. Dapat dipastikan bahwa setiap individu
berbeda-beda, sehingga pemaknaan terhadap munculnya perilaku merokok juga
akan berbeda pada setiap perempuan. Keunikan dari penelitian yang akan dilakukan
ini adalah bahwa penelitian ini akan mengangkat fenomena merokok dikalangan
perempuan muslim perokok. Peneliti akan menggali makna merokok dari sudut
pandang perempuan muslim perokok. Telah kita pahami bahwa dari sudut pandang
agama Islam, MUI secara tegas mengharamkan rokok walaupun terbatas. Dari
sinilah kemudian peneliti tertarik untuk mencari makna merokok bagi mereka,
selain karna penelitian yang mengungkap fenomena merokok dikalangan
perempuan muslim juga masih sedikit.
Perempuan muslim seringkali diidentikan dengan pemakaian jilbab.Surya
(2004) mendefinisikan perempuan berjilbab adalah image yang mengacu pada
konstruksi sosial yang dibangun berdasarkan standar Islam.Surya (2004)
menambahkan bahwa pencitraan yang dibentuk oleh masyarakat tentang
perempuan muslim berjilbab adalah komitmen terhadap cara hidup islami yang
disimbolkan dengan jilbab yang juga berfungsi sebagai penanda sosiokultural. Hal
ini merujuk pada peran sosial perempuan muslim yang dibentuk oleh budaya
masyarakat itu sendiri yaitu gender.
19
Menurut Wulansari (2013) gender adalah karakteristik laki-laki dan
perempuan yang di konstruksi secara sosial dan kultural sehingga berbeda dengan
karakteristik biologis. Janmohammed (2017) mengatakan bahwa pada perempuan
muslim, nilai-nilai sosial yang dibentuk masyarakat adalah bahwa citra
“perempuan muslim baik” seringkali digambarkan mengenakan kerudung sehingga
bagi perempuan muslim yang tidak mengenakan kerudung dianggap bukan
muslimah yang baik. Janmohammed (2017) menambahkan bahwa penggambaran
perempuan muslim berkerudung seringkali diartikan sebagai kesungguhan dalam
menaati cara hidup islami, yaitu mempertahankan kehormatan, patuh dan tidak
terpapar budaya barat.
Gender erat kaitannya dengan budaya. Surya (2004) mengatakan bahwa bagi
perempuan Indonesia, memakai jilbab berarti tidak boleh bergaul bebas, harus taat
kepada agama, tidak boleh tertawa keras, tidak boleh bergosip, atau dengan kata
lain “memiliki peran perempuan yang benar”. Lebih lanjut lagi, Surya (2004)
mengatakan bahwa simbol jilbab dan interpretasinya yang sangat beragam
membantu perempuan untuk memperjelas peran gendernya.Nurhayati(2012)
mengatakan pencitraan perempuan berdasarkan gender berbeda antara budaya satu
dengan budaya lain, begitu pula waktu dan tempat. Dalam kaitannya dengan budaya
Jawa, Jati (2015) mengatakan bahwa secara kultural masyarakat Jawa adalah
masyarakat patrilineal yang menempatkan keutamaan dan superioritas pria diatas
wanita. Jati (2015) menambahkan bahwa penempatan perempuan sebagai bagian
dari “Kesempurnaan Hidup Pria Jawa” kemudian menempatkan perempuan secara
otoritatif sebagai pelengkap kehidupan yang sepenuhnya berada dalam penguasaan
20
pria. Lebih lanjut lagi, Jati (2015) mengatakan bahwa budaya patrilineal
menginginkan adanya sosok “perempuan yang lemah lembut” dan “perempuan
yang keibuan”. Simon de Beauvoir (dalam sukmawati, 2015) mengatakan bahwa
kaum perempuan sering dianggap sebagai makhluk “The Second Sex”, bahwa
perempuan selalu berada dibawah laki-laki. Menurut Rohmaniyah (2009)
perempuan diperlakukan layaknya kelompok minoritas yang ditekan
kepentingannya agar mereka dibawah otoritas laki-laki.Jati (2015) mengatakan
bahwa kondisi ini kemudian membentuk konstruksi mendasar perempuan Jawa
yang diwariskan dari generasi ke generasi bahwa perempuan Jawa adalah
pengikutlaki-laki dalam berbagai kesempatan dan kehidupan.
Dalam sudut pandang agama islam, Rohmaniyah (2009) mengatakan bahwa
perempuan memiliki kemampuan akal dan pengetahuan yang lebih rendah
dibanding pria. Rohmaniyah (2009)mengatakan, dalam tafsir Al-Qurtubi dikatakan
bahwa laki-laki memiliki kelebihan dalam hal akal, ketegasan dan kekuatan fisik
yang tidak dimiliki oleh perempuan.Sasmita dan Raihan (2014) menambahkan
bahwa, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah, halus dan emosional.
Menurut Sasmitadan Raihan (2014) pandangan ini telah memposisikan perempuan
sebagai makhluk yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada
kaum laki-laki.Lebih lanjut lagi Sasmita dan Raihan(2014) mengatakan bahwa
kemudian jarang sekali perempuandapat tampil menjadi pemimpin, karena mereka
tersisihkan oleh dominasi laki-laki.Rohmaniyah (2009) kemudian menjelaskan
bahwa konstruksi status perempuan yang lebih rendah dari laki-laki ini berimplikasi
pada pembagian peran gender yaitu laki-laki disimbolkan dengan kekuatan dan
21
perempuan disimbolkan dengan kelemahan.Pembedaan peran gender inilah yang
kemudian menjadi dasar bahwa hak yang dimiliki perempuan tidak setara dengan
laki-laki.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa peran yang dibangun
oleh masyarakat pada perempuan muslim berjilbab adalah peran seorang muslimah
yang baik, tertutup, dan taat agama. Khususnya bagi perempuan muslim jawa, sifat
yang digambarkan adalah kelembutan dan kepatuhan terhadap laki-laki.
Penggambaran sifat-sifat tersebut kemudian menjadi dasar bahwa pemahaman
tentang permasalahan gender kembali lagi kepada norma dan nilai yang dibentuk
oleh masyarakat itu sendiri.
Motivasi seseorang melakukan aktivitas merokok tentu berkaitan dengan
faktor psikologis yang melatarbelakanginya. Menurut Laventhal dan Cleary (dalam
Oskamp, 1984), faktor psikologis yang menyebabkan seseorang merokok pada
umumnya terbagi dalam lima bagian, yaitu:
a. Kebiasaan
Perilaku merokok telah menjadi perilaku yang harus tetap dilakukan
tanpa adanya motivasi yang bersifat negatif ataupun positif. Seseorang
merokok tanpa ada tujuan.
b. Reaksi emosi yang positif
Merokok dilakukan karna perokok ingin mendapatkan emosi yang
positif, misalnya rasa senang, relaksasi, dan kenikmatan rasa.
22
c. Reaksi penurunan emosi
Merokok dilakukankarna perokok ingin mengurangi ketegangan,
kecemasan baik dari diri sendiri atau dari orang lain.
d. Kecanduan atau ketagihan
Seseorang merokok karena telah mengalami kecanduan. Kecanduan
terjadi karena adanya zat nikotin yang terkandung di dalam rokok. Pada
awalnya hanya mencoba-coba rokok, akhirnya tidak dapat menghentikan
perilaku tersebut karena kebutuhan tubuh akan nikotin.
e. Alasan sosial
Merokok dilakukan dengan tujuan mengikuti kebiasaan kelompok
(umumnya pada remaja dan anak-anak). Merokok dilakukan untuk
menentukan image diri seseorang. Merokok pada anak-anak juga dapat
disebabkan adanya paksaan dari teman-temannya.
Berdasarkan faktor yang telah diungkapkan diatas, beberapa peneliti
kemudian turut melakukan penelitian untuk mendukung faktor-faktor yang
telah ada sebelumnya dengan karakteristik subjek yang berbeda. Beberapa
diantaranya adalahpenelitian oleh Mulyadi(2007) dalam skripsi berjudul
“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Pada Remaja
Putri”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku merokok pada remaja putri dikategorikan menjadi
6 (enam) yaitu :
1) Keinginan mencoba rasa rokok
2) Sebagai fashion (gaya hidup)
23
3) Menyukai rasa rokok
4) Ketidakpedulian terhadap bahaya rokok
5) Merokok memberikan kepuasan
6) Lingkungan sosial
Penelitian serupa dilakukan oleh Nur Farida Arfiani (2009) dalam
skripsi berjudul “Faktor Psikologis Penyebab Remaja Putri
Mempertahankan Perilaku Merokok”. Hasil penelitian menunjukkan
faktor psikologis yang menyebabkan remaja putri mempertahankan
perilaku merokoknya adalah:
a) Faktor Internal, berupa :
(1) Ketidakpedulian terhadap dampak buruk rokok terhadap tubuh
(2) Menyukai rasa rokok
(3) Rokok menjadi kebutuhan sehari-hari
(4) Persepsi yang salah tentang salah satu pengaruh rokok terhadap
tubuh, yaitu dapat menekan nafsu makan yang terjadi karena body
image
b) Faktor Eksternal, berupa :
(1) Ketidakpedulian dengan pandangan negatif masyarakat terhadap
remaja putri yang merokok.
(2)Tanggapan positif dari anggota keluarga yang mengetahui
perilaku merokok subjek.
(3) Lingkungan pergaulan subjek yang mayoritas perokok.
24
Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Dari banyaknya
faktor yang muncul, tentu tergantung pada pemaknaan seseorang terhadap rokok
itu sendiri. Pemaknaan seseorang terhadap rokok tentu berbeda-beda.
Pratikasaridkk. (2014) mengatakan beberapa asumsi bahwa rokok dapat
menurunkan emosi, menurunkan nafsu makan dan mempermudah sosialisasi
adalah pemaknaan dari dalam diri perokok terhadap rokok yang menyebabkan
perilaku merokok terus dilakukan. Hal ini yang kemudian membuat peneliti tertarik
untuk mencari pemaknaan terhadap rokok itu sendiri.
Permasalahan rokok kemudian menjadi permasalahan bagi banyak orang.
Aditama (2005) mengatakan bahwa masalah rokok pada hakikatnya menjadi
masalah nasional dan internasional. Menurut The Tobacco Atlas 3rd Edition 2009
(dalam Infodatin Depkes,2015) terkait prosentase penduduk dunia yang
mengkonsumsi tembakau didapatkan sebanyak 57% pada penduduk Asia dan
Australia, 14 % pada penduduk Eropa Timur dan pecahan Uni Soviet, 12 %
penduduk Amerika, 9% penduduk Eropa Barat, dan 8% pada penduduk Timur
Tengah serta Afrika. Masih menurut The Tobacco Atlas 3rd Edition 2009 (dalam
Infodatin Depkes,2015) bahwa negara Asean merupakan sebuah kawasan dengan
10% dari seluruh perokok dunia dan 20% penyebab kematian global akibat
tembakau.The Tobacco Atlas 3rd Edition 2009 (dalam Infodatin Depkes, 2015)
menyebutkan bahwa persentase perokok pada penduduk negara ASEAN tersebar
di Indonesia (46.16%), Filipina (16,62%), Vietnam (14,11%), Myanmar (8,73%),
Thailand (7,74%, Malaysia (2,90%), Kamboja (2,07%), Laos (1,23%), Singapura
(0,39%), dan Brunei (0,04%). Menurut WHO (2011) mengenai konsumsi tembakau
25
dunia, angka prevalensi merokok di indonesia merupakan salah satu diantara yang
tertinggi di dunia dengan 46 % laki-laki dan 3,1 % perempuan usia 10 tahun keatas
yang diklasifikasikan sebagai perokok. Komalasari dan Helmi (2000) mengatakan
bahwa merokok merupakan sesuatu yang fenomenal, artinya meskipun sudah
diketahui dampak negatif rokok, jumlah perokok tetap tinggi.MacKay dan Eriksen
(2002) mengatakan bahwa prevalensi konsumsi rokok di indonesia pernah
menempati posisi lima tertinggi di dunia pada tahun 1998, yaitu sebesar 215 miliar
batang.Departemen Kesehatan (dalam Infodatin Depkes, 2015) menyebutkan
bahwa pada tahun 1995 sekitar 53 % laki-laki merokok dan meningkat menjadi 63
% di tahun 2004. Seiring dengan perubahan stigma masyarakat dan target
pemasaran, prevalensi perokok perempuan meningkat dari 1,7 % menjadi 4,5 %
pada periode yang sama. Prevalensi merokok diIndonesia sangat tinggi diberbagai
lapisan masyarakat terutama pada laki-laki. Kecenderungan merokok terus
meningkat dari tahun ke tahun baik pada laki-laki dan perempuan, hal ini sangat
mengkhawatirkan. Berdasarkan data SUSENAS tahun 1995, 2001, 2004 dan data
Riskerdas tahun 2007 dan 2010 (dalam depkes, 2015) seperti tampak pada Tabel 1
di bawah ini menunjukan prevalensi perokok 16 kali lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan.
26
Tabel 1
Sumber : SUSENAS 1995, 2001, 2004, Badan Pusat Statistik, Riskesdas 2007 dan
2010
Pada Tabel I ditunjukan bahwa dari tahun 1995 sampai 2013 jumlah perokok
laki-laki maupun perempuan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun
1995 jumlah perokok laki-laki berada di angka 53,4% dari jumlah penduduk
Indonesia, kemudian meningkat kurang lebih 10% pada tahun 2004 menjadi 63,1%
dan meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 66%. Berbeda dengan jumlah perokok
perempuan yang lebih sedikit namun tetap mengalami peningkatan. Di tahun 1995
jumlah perokok perempuan berada di angka 1,7% dari jumlah penduduk Indonesia,
yang kemudian meningkat hampir empat kali lipat di tahun 2013 menjadi 6,7%.
Data tersebut menunjukan bahwa prevalensi pada laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan, meskipun demikian prevalensi perokok pada perempuan
juga mengalami kenaikan dari tahun ketahun. Depkes (dalam Infodatin Depkes
53,4%
62,2% 63,1%65,6% 65,8% 66%
1,7% 1,3%4,5% 5,2% 4,1%
6,7%
0
10
20
30
40
50
60
70
1995 2001 2004 2007 2010 2013
Dal
am P
erse
nta
se
Data Jumlah Perokok Laki-laki dan Perempuan di Indonesia
Laki-laki Perempuan
27
2015) menjelaskan bahwa hal ini dibuktikan dari konsumsi rokok di indonesia
bahwa perilaku merokok pada masyarakat indonesia tidak banyak berubah selama
5 tahun terakhir. jika dilihat dari jumlah batang yang dihisap per hari pada tahun
2007 rata-rata 12 batang per hari, sedangkan pada tahun 2013 rata-rata jumlah
batang rokok yang dihisap 12,3 batang per hari. Seperti ditunjukan pada Tabel 2
berikut :
Tabel 2
Sumber : P2-PL Laporan TB07 per 14 Februari 2015, Kemenkes RI 2015
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, meskipun prevalensi pada laki-
laki lebih banyak dibandingkan perempuan, prevalensi perokok pada perempuan
juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dari sisi kesehatan, peningkatan
jumlah perokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan
bertambahnya angka kematian akibat rokok, karna rokok tidak hanya berimbas
pada diri perokok aktif namun juga perokok pasif. Depkes (dalam Infodatin DepKes
0
20
40
60
80
100
Tahun 2007 Tahun 2013
23.7 24.35.5 53 4
67.8 66.6
Pro
sen
tase
Pen
du
du
k In
do
esia
Perbandingan Tahun
Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia Berdasarkan Riskerdas 2007 dan 2013
Perokok Tiap Hari Perokok Kadang-kadang Mantan Tidak
28
2015) mengatakan bahwa pada tahun 2030 diperkirakan angka kematian perokok
didunia akan mencapai 10 juta jiwa, dan 70% diantaranya berasal dari negara
berkembang. Lebih lanjut lagi Depkes (dalam Infodatin DepKes 2015) mengatakan
bahwa, apabila kecenderungan ini terus berlanjut, sekitar 650 juta orang akan
terbunuh oleh rokok.
3. Dinamika Psikologis Perilaku Merokok
Seseorang memutuskan merokok tentu dipengaruhi oleh banyak
faktor,namun faktor tersebut bukan satu-satunya penyebab perilaku merokok itu
ada. Ada pemahamanyang diyakini terlebih dahulu sebelum faktor itu muncul.
Leventhal dan Cleary (dalam Cahyani, 1995) menyatakan bahwa seseorang akan
berperilaku merokok karena sebelumnya ia telah memiliki pandangan tertentu
mengenai merokok.Anggapan-anggapan bahwa merokok dapat mengurangi
tekanan dan memunculkan rasa percaya diri adalah keyakinan dari diri perokok.
Astuti (2007) menjelaskan bahwa alasan seseorang memutuskan merokok
disebabkan adanya anggapan-anggapan bahwa dengan merokok akan
mempermudah sosialisasi dalam pergaulan atau persahabatan, mengurangi stress,
memunculkan perasaan percaya diri serta kedewasaan dan kejantanan, maupun
menimbulkan rasa nikmat dan kenyamanan. Ketika anggapan tersebut telah
menjadi keyakinan yang menetap dalam pemikiran diri perokok, maka timbulah
pemaknaan terhadap rokok itu sendiri.
Pemaknaan individu terhadap rokok itu sendiri dipengaruhi oleh faktor
kognitifnya. Santrock (2008) menjelaskantentang definisi kognitif sebagai faktor
yang mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan kecerdasan. Lebih
29
lanjut lagi Martinis (2004) menjelaskan proses kognitif terjadi secara internal di
dalam otak manusia pada saat berpikir. Pada perilaku merokok, pemaknaan
terhadap rokok muncul terlebih dahulu sebelum aktivitas merokok dilakukan.
Pemaknaan terhadap rokok adalah hasil proses kognitif yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor berikut :
a. Efikasi Diri
Astuti (2010) mengatakan bahwa efikasi diri menggambarkan kemampuan
individu dalam membentuk perilaku tertentu dalam situasi tertentu, sehingga
individu yang mempunyai efikasi diri tinggi akan dapat mengontrol lingkungan
sekitarnya dan menampilkan perilaku yang diinginkannya. Dalam kaitannya
dengan perilaku merokok, jika seseorang memiliki efikasi diri yang tinggi maka
ia akan menolak merokok, karna ia yakin dan mampu mengatasi tugas atau
permasalahan tanpa rokok.
b. Persepsi Risiko Merokok
Menurut Slovic (1987) persepsi risiko adalah penilaian individu terhadap
aktivtitas-aktivitas maupun teknologi yang mengandung bahaya. Dalam
penelitian ini persepsi risiko yang dikenakan adalah bahaya yang terkandung
dalam perilaku merokok. Astuti (2010) mengatakan persepsi risiko merokok
terbentuk dari pengetahuan, kepercayaan, dan pengalaman yang dimiliki
individu. Lebih lanjut lagi D’Amico dan Fromme (dalamAstuti, 2010)
menjelaskan bahwa individu dengan persepsi risiko yang rendahakan cenderung
terlibat dalam bentuk perilaku yang membahayakan kesehatan, salah satunya
30
merokok. Sebaliknya jika persepsi risiko tinggi karna pengetahuan adanya
kerugian yang ditimbulkan maka individu cenderung menjauhi rokok.
c. Ekspektasi Efek Merokok
Menurut Goldman (dalam Durrand & Barlow, 2003) ekspektasi adalah apa
yang dipikirkan individu mengenai efek penggunaan zat adiktif. Astuti (2010)
Ekspektasi efek merokok didefinisikan sebagai keyakinan mengenai efek zat
adiktif yaitu nikotin yang terkandung dalam rokok sebagai hasil dari pengalaman
merokok atau mengamati perilaku orang lain. Seseorang yang merokok akan
memiliki ekspektasi bahwa rokok akan menimbulkan afeksi positif yaitu
relaksasi, kesenangan dan mengurangi afeksi negatif yang sedang dialaminya,
misalnya, kecemasan atau ketegangan.
Demikian faktor-faktor kognitif sosial tersebut dijabarkan, sehingga
membentuk suatu pemaknaan dalam diri perokok. Pemaknaan yang muncul karna
proses kognitif itu sendiri berkaitan dengan usia. Santrock (2002) mengatakan
bahwa kemampuan kognitif yang sangat baik berada pada masa dewasa awal, yaitu
usia 20 hingga 30 tahun. Santrock (2002) menambahkan bahwa kaum dewasa awal
mulai menyadari perbedaan pendapat, dan setiap orang memiliki pandangan
masing-masing. Lebih lanjut lagi Jan Sinont (1998) mengatakan bahwa seseorang
pada masa dewasa awal identik dengan individu yang pragmatis, pragmatis
diartikan sebagai individu yang mampu menyadari dan dapat memilih solusi terbaik
dalam menyelesaikan suatu masalah. Lebih lanjut lagi, Jan Sinont (1998)
mengatakan bahwa seseorang pada masa dewasa awal dapat menghargai pilihan
orang lain yang berbeda dengan dirinya.
31
Dalam pikiran peneliti, munculnya faktor dari dalam diri perokok dianggap
sebagai tekanan atau permasalahan dalam diri perokok. Perokok berusaha
menyeimbangkan tekanan tersebut dengan merokok. Keputusan merokok dimaknai
oleh perokok bahwa dengan merokok akan mengurangi tekanan, maka setiap kali
ia mendapat tekanan, ia akan merokok.Berdasarkan dinamika tersebut, peneliti
mencoba menggali makna yang tersembunyi dalam pemikiran diri perokok. Bahwa
munculnya faktor penyebab perilaku merokok, dilatarbelakangi oleh adanya
pemaknaan dari hasil proses kognitif perokok terhadap rokok itu sendiri.
B. Pertanyaan Penelitian
“Bagaimana perempuan muslim perokok memaknai perilaku merokok yang
dilakukan oleh dirinya sendiri ?”.