Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
1. Memori
Memori merupakan tempat penyimpanan berbagai informasi yang
kemudian dapat di panggil (retrive) kembali ketika ingatan itu diperlukan kembali
pada waktu tertentu, untuk bisa mendapatkan kembali memori, maka ingatan
sangat penting (Sweatt, 2003). Memori ingatan adalah proses dimana informasi
belajar disimpan dan dapat dibaca kembali (dikeluarkan kembali) (Japardi, 2002).
Memori terbagi dalam tiga subproses yang berurutan yaitu encoding, storage, dan
retrieval. Encoding adalah proses memasukan informasi ke dalam sistem saraf.
Setelah proses encoding dilanjutkan dengan proses storage dimana terjadi
penyimpanan informasi ke dalam otak menjadi memori. Bagian terakhir dari
proses pembentukan memori adalah retrieval, pemanggilan kembali informasi
yang telah disimpan (Rains, 2001). Menurut Lashley’s banyak daerah dan struktur
di otak sebagaimana cortex serebri juga berperan dalam belajar dan mengingat.
Ingatan juga kelihatannya didistribusikan secara berlebihan di daerah korteks.
Untuk mengingat sesuatu manusia harus berhasil melakukan 3 hal yaitu
mendapatkan informasi, menyimpannya dan mengeluarkan kembali (memanggil
kembali). Kegagalan dalam mengingat sesuatu dapat disebabkan karena gangguan
pada salah satu dari ke 3 proses tersebut (Bloom, 1988).
Memori yang berada pada kondisi fisiologis merupakan hasil perubahan
kemampuan penjalaran sinaptik dari satu neuron ke neuron lainnya, sebagai akibat
dari aktivitas neural sebelumnya. Proses ini kemudian menghasilkan berkas
berkas yang terfasilitasi untuk membentuk penjalaran impuls melalui lintasan
neural di otak (Guyton dan Hall, 1996). Gal dan Bardos (1994) membagi memori
menjadi dua yaitu memori spasial dan memori temporal. Memori spasial
berorientasi pada ruang sedangkan memori temporal berorientasi pada waktu.
Dari perspektif yang lain, memori terbagi menjadi memori deklaratif (semantik
dan episodik) dan memori prosedural. Memori deklaratif adalah memori tentang
8
suatu objek, sedangkan memori prosedural adalah memori yang dihubungkan
dengan aktivitas motorik (Guyton dan Hall, 1996).
Memori spasial merupakan ingatan mengenai ruang dan tempat yang
dikaitkan dengan kemampuan individu untuk bertahan hidup dan merupakan salah
satu bentuk memori kerja, dan untuk dapat lebih memahami mengenai fungsi
memori maka diperlukan pula pemahaman tentang fungsi kognitif (Wiyoto,
2002). Tanpa adanya memori spasial maka individu akan mengalami kesulitan
dalam memahami posisi diri, melihat bentuk dan ruang bidang, tidak dapat
mengingat arah atau letak suatu benda, serta tidak dapat memperkirakan jarak
suatu tempat (Mastrangelo et al, 2008).
Bagian otak yang terlibat dalam memori spasial adalah hipokampus
(Durtewitz et al, 2000). Memori spasial pada binatang berperan membantu
binatang menemukan lokasi yang dapat menyediakan, diantaranya makanan dan
keselamatan untuk mempertahankan hidup (Dogru et al, 2003). Memori spasial
pada tikus sama dengan memori deklaratif pada manusia yaitu memori tentang
suatu objek (Guyton dan Hall, 2001). Diketahui bahwa secara fungsional, kognitif
meliputi proses pengumpulan informasi oleh semua sensor yang ada pada tubuh
seperti sensori taktil, visual, dan auditorik, yang kemudian akan diubah, diolah
dan disimpan agar seluruh informasi tersebut dapat dipergunakan kembali pada
hubungan interneuron ketika seorang manusia akan melakukan fungsi penalaran
(Wiyoto, 2002).
Domain pada fungsi kognitif terdiri atas lima hal (Sidiarto dan
Kusumoputro, 2003), yaitu attention (pemusatan perhatian), language (bahasa),
memory (daya ingat), visuospatial (pengenalan ruang), executive function
(merupakan fungsi otak dalam hal perencanaan, pengorganisasian serta
pelaksanaan).
Adanya gangguan pada fungsi kognitif mengakibatkan beberapa gejala, di
antaranya kesulitan dalam berpikir, penurunan Intelligence-Quotion, hilangnya
ingatan secara episodik, amnesia, kesulitan memecahkan sebuah masalah,
kesulitan mengkoordinasikan fungsi-fungsi motorik serta yang paling menonjol
adalah terjadi perubahan pada kondisi emosi penderita (Suliatiarto, 2010).
9
Fungsi memori merupakan salah satu aspek fungsi kognitif yang memiliki
peranan penting dalam kehidupan manusia, memori adalah proses bertingkat
ketika informasi pertama kali harus dicatat dalam area korteks sensorik, kemudian
diproses melalui sistem limbik untuk pembelajaran baru. Fungsi memori dapat
diukur untuk menentukan perubahan fungsi kognitif seseorang. Gangguan fungsi
memori adalah gejala yang paling sering dikeluhkan pasien yang mengalami
penurunan fungsi kognitif (Rizzo, dkk., 2004).
Pada tahap pertama informasi dicatat pada area korteks sensorik, kemudian
diproses melalui sistem limbik sampai terbentuknya suatu ingatan, selanjutnya
proses pembelajaran baru yang secara klinik berdasarkan jeda waktu antara
stimulus dengan proses pemanggilan ingatan.
Memori dapat dibedakan berdasarkan waktu kemampuan memanggil
kembali ingatan yaitu immediate memory kemampuan memanggil kembali
ingatan dalam waktu beberapa detik, recent memory kemampuan memanggil
kembali ingatan akan kejadian sehari hari atau saat menerima informasi baru
dalam hitungan menit, jam, bulan dan tahun (dalam hal ini, daerah yang
memegang peranan penting adalah hipokampus dan amigdala), remote memory
kemampuan memanggil kembali ingatan yang terjadi pada bertahun-tahun lalu
(dalam hal ini, daerah otak yang memiliki peran penting adalah korteks asosiasi
kanan dan kiri) (Eichenbaum, 2002). Memori dapat terbentuk melalui proses
pembelajaran yang melibatkan sistem limbik terutama hipokampus dan amigdala,
korteks asosiasi lobus frontalis, lobus parietalis dan lobus temporalis, serta
thalamus (Aswin, 2000).
Hipokampus dan amigdala merupakan bagian dari otak yang terletak di
wilayah otak depan dan termasuk dalam sistem limbik. Berperan dalam proses
belajar, mengingat dan mengatur emosi. Hipokampus adalah bagian otak yang
cepat mengalami penurunan fungsi. Penurunan fungsi hipokampus dapat
disebabkan pertambahan umur dan stres oksidatif (Sunarno dkk, 2012).
Hipokampus berperan sebagai gerbang memori yang harus dilewati jika ada
memori baru yang akan masuk menuju penyimpanan permanen. Kerusakan pada
10
hipokampus berakibat pada ketidakmampuan otak membentuk memori baru
sehingga menyebabkan penurunan fungsi memori.
2. Hipokampus
Hippocampus (hipokampus) adalah bagian dari otak besar yang terletak di
lobus temporal. Manusia memiliki dua hipokampus, yakni pada sisi kiri dan
kanan. Hipokampus merupakan bagian dari sistem limbik dan berperan pada
kegiatan mengingat (memori) dan navigasi ruangan. Istilah hipokampus
diturunkan dari bentuknya pada potongan koronal yang menyerupai kuda laut
(Clark, dkk., 2005).
Hipokampus merupakan substansia grisea yang melengkung ke atas
sepanjang dasar Cornu inferius ventriculus lateralis. Ujung depannya melebar
membentuk pes hipokampi. Pada penampang frontal, hipokampus berbentuk
huruf “C” (Snell, 1980). Terdiri dari dua lembaran tipis neuron-neuron yang
melipat satu sama lain. Lembaran yang satu disebut gyrus dentatus dan lembaran
yang lain disebut cornu ammonis (CA). CA memiliki empat bagian, dua bagian
yang terpenting adalah CA1 dan CA3 (Duvernoy, 2005).
Gambar 1. Hipokampus (Torrealba & Valdes, 2008)
11
Tabel 1. Beberapa area otak yang memainkan peranan dalam belajar dan memori
Tipe Belajar/Memori Area Otak yang Terlibat
Belajar spatial Hipokampus
Parahipokampus
Subiculum
Kortex Temporal, Area 47, dan Kortex parietal posterior
Memori emosional Amigdala
Memori rekognisi Hipokampus
Lobus temporal
Memori kerja Hipokampus
Korteks prefrontal
Keterampilan motorik Striatum
Serebelum
Sensori ( visual dan auditorik) Area kortikal bervariasi
Kondisi klasik Serebelum
Habituasi Ganglia basalis Sumber : (Lynch, 2004)
Hipokampus bersama bagian-bagian di cerebrum (otak besar) memiliki
peran yang sangat besar dalam fungsi kognisi termasuk learning dan memory.
Hipokampus berperan penting pada penyusunan memori spasial, bukan sebagai
tempat penyimpanan memori jangka panjang melainkan sebagai pengorganisir
sehingga informasi yang diperoleh dapat disimpan menjadi memori jangka
panjang (Maviel et al, 2004)
Walaupun beberapa area otak melakukan konsolidasi beragam bentuk dari
belajar atau memori, hipokampus telah dikenal memainkan peranan penting dalam
pembentukan memori deklaratif secara khusus, yang membuat sintesis memori
episodik dan semantik. Penelitian oleh Scoville dan Milner pada 1957,
menunjukkan bahwa pengangkatan kedua hipokampus untuk terapi epilepsi,
mengakibatkan amnesia anterograd. Secara eksplisit menunjukkan peranan
penting dari hipokampus dan struktur lobus temporal dalam memori. Sejak itu,
studi-studi pada manusia dan hewan telah mengkonsolidasikan temuan penting
dari studi tersebut (Lynch, 2004). Beberapa area otak yang memainkan peranan
dalam belajar dan memori dapat dilihat pada tabel 1.
Hipokampus berperan dalam mentransfer memori untuk disimpan menjadi
memori jangka panjang yang disebut dengan proses konsolidasi. Sistem
penyimpanan memori jangka panjang terdapat di cortex. Memori dengan jejas
yang kuat dapat diungkap kembali dengan mudah, sedangkan memori dengan
jejas yang lemah lebih sulit untuk diungkap kembali (Kandel et al, 2000).
12
Pada awal proses konsolidasi, memori berada di hipokampus dan setelah
proses konsolidasi selesai, memori akan berada di cortex (Andersen et al, 2007).
Sel di hipokampus mengkode informasi spasial yang spesifik sehingga
hipokampus sangat penting bagi persepsi spasial. Hipokampus kanan lebih terlibat
dalam memori spasial, sedangkan hipokampus kiri lebih terlibat dalam memori
verbal (Kandel et al., 2000).
Hipokampus memainkan peranan penting dalam pembentukan memori
spasial melalui aktivasi sel-sel place dalam menanggapi lokasi lingkungannya.
O'Keefe dan Nadel dalam Aswin (2000) menyatakan bahwa sel-sel place
hippocampus melengkapi landasan neuronal untuk pembentukan memori spasial.
Oleh karena itu gangguan pada hipokampus akan mengganggu pemakaian memori
spasial, misalnya kemampuan untuk membuat jalan pintas.
Hipokampus dan bagian korteks otak, daerah utama transmisi kolinergik
untuk memonitor proses belajar dan mengingat, merupakan daerah yang peka
terhadap kerusakan oksidatif. Kerusakan sinapsis pada daerah tersebut telah
dilaporkan berperan pada penurunan fungsi memori yang menjadi gejala utama
demensia (Fukui et al, 2002).
Otak merupakan organ yang lebih rentan terhadap stres oksidatif.
Kerusakan otak akibat stres oksidatif ini dapat memicu penurunan memori.
Penurunan memori dihubungkan dengan kerusakan pada bagian hipokampus yang
berperan menghasilkan memori. Menurut Stoltenburg (1994), formatio
hippocampus dan masukan kolinergiknya adalah substrat neurobiologis yang
penting dalam proses belajar dan mengingat. Apabila ada gangguan pada
hipokampus maka proses belajar dan memori juga akan terganggu, karena
hipokampus merupakan bagian otak yang rentan terhadap senyawa toksik.
Disamping itu gangguan lain yang dapat mempengaruhi memori di otak
yaitu stres dan depresi. Saat stres, hipotalamus akan melepaskan sinyal-sinyal
kimiawi yang berhubungan dengan kelenjar hipofisis. Selanjutnya sinyal-sinyal
tersebut dikirim ke korteks adrenal untuk merilis kortisol (Wade dan Tavris,
2007). Kortisol akan menghambat fungsi hipokampus yang berperan dalam
pembentukan memori. Hipokampus adalah bagian dari sistem limbik yang
13
berperan penting dalam pemrosesan dan penguatan memori jangka pendek
menjadi memori jangka panjang. Stres yang berkepanjangan menyebabkan
hilangnya neuron pada hipokampus dan akhirnya mengakibatkan kerusakan
memori (Rossman, 2010).
Gangguan fungsi memori akibat stres dapat berupa penurunan kemampuan
pengenalan objek, gangguan menyimpan informasi, dan gangguan pengingatan
kembali informasi yang disimpan. Hipokampus adalah salah satu regio otak yang
berperan penting dalam belajar dan memori, terutama fungsi konsolidasi memori
dan merupakan struktur yang rentan terhadap stres. Gangguan struktur yang
terlibat dalam memori akibat stres dapat berupa perubahan plastisitas struktural
yaitu remodelling dendrit sel piramidal Cornu Ammonis (CA)3 hipokampus, dan
penekanan neurogenesis neuron granula gyrus dentatus (McEwen, 2005).
Perbaikan neuronal yang terjadi baik akibat penyakit maupun cedera pada
otak merupakan suatu mekanisme kompensasi guna melawan terjadinya degradasi
sel-sel syaraf. Pada saat dewasa, kompensasi perbaikan neuronal terlihat dengan
adanya proses plastisitas neuronal (Sanchez dkk, 2000) dan ditemukannya
neurogenesis yang diperankan oleh neural stem cell (NSC) pada otak dewasa.
NSC memiliki sifat yang mampu untuk memperbarui dirinya sendiri, mampu
berproliferasi dan berkembang menjadi sel-sel progenitor yang dapat berkembang
menjadi neuron dan sel glial (Lazarov dkk, 2010).
Proliferasi sel merupakan bagian awal pada proses pembentukan neuron,
kemudian bermigrasi serta bertahan hingga menjadi dewasa dan terintegrasi serta
berfungsi sebagai neuron baru (Emsley dkk, 2005) (Gambar 2). Proliferasi sel atau
neurogenesis yang terjadi di hipokampus pada otak dewasa berperan dalam proses
penyimpanan memori dan proses perbaikan neuronal akibat penyakit maupun
kelukaan pada otak (Lazarov et al, 2010).
Menurut Garthe (2009), penghambatan neurogenesis dewasa dapat
meminimalkan jumlah neuron baru yang terbentuk, Pengurangan neurogenesis
tidak mengganti Long Term Potentiation (LTP) di CA3 dan dentate gyrus tetapi
menghapuskan bagian dari LTP di dentate gyrus yang berkaitan dengan neuron
baru sehingga menyebabkan gangguan dalam fungsi pembelajaran dan memori
14
spasial. Demensia berkaitan dengan peningkatan kematian sel neuron dan
gangguan fungsi kognitif (Santa et al, 2005).
3. Sel Piramidal Hipokampus
Sel di hipokampus berbentuk piramidal yang berbeda di setiap region
cornu ammonis (CA) meliputi CA1, CA2, dan CA3. Regio CA3 sel piramidal
adalah regio yang paling luas dengan badan sel piramidal besar dan ovoid tetapi
kurang padat. Sel piramidal di regio CA1 dan juga CA2 paling rentan terhadap
hipoksia, sedangkan regio CA3 rentan terhadap pengaruh stresor fisik dan juga
paparan stres kronik pada hipokampus yang mengakibatkan depresi dan hilangnya
neuron di hipokampus serta amigdala yang selanjutnya menurunkan fungsi
ingatan dan kognitif. Stres itu memengaruhi sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal
(HHA), menghasilkan glukokortikoid dan apabila terjadi pengaruh yang
berbahaya dari glukokortikoid yang berlebihan, maka terjadi umpan balik negatif
pada reseptor glukokortikoid untuk menghambat aktivitas sumbu HHA. Pada
keadaan stres kronik, sinyal umpan balik lemah dan sistem tersebut tetap aktif
dalam periode waktu lama sehingga mengakibatkan efek yang merusak bagi
tubuh, termasuk pada hipokampus. Kerusakan hipokampus pada sel piramidal di
area CA1 dan CA3 dapat menyebabkan gangguan memori pada bermacam-
macam tugas spasial (Aswin, 2000).
4. Demensia
Demensia merupakan kumpulan gejala karena penyakit otak, bersifat
kronis dan progresif dimana ada banyak gangguan fungsi kortikal yang lebih
tinggi, termasuk memori, berpikir, orientasi, pemahaman, perhitungan, belajar,
kemampuan, bahasa, dan penilaian kesadaran tidak terganggu. Gangguan fungsi
kognitif yang biasanya disertai, kadang-kadang didahului oleh kemerosotan dalam
pengendalian emosi, perilaku sosial, atau motivasi (Durand dan Barlow, 2006).
Pada demensia, efek dari serangan radikal bebas, terutama yang diproduksi oleh
reactive oxygen species (ROS), dapat menumpuk dari tahun ke tahun. Radikal
bebas menghasilkan kerusakan pada komponen utama dari sel yaitu inti, DNA
mitokondria, membran, dan protein sitoplasma. Ketidakseimbangan antara radikal
bebas dan ROS merupakan patogenesis sebagian besar gangguan
15
neurodegeneratif. Radikal bebas adalah agen perusak potensial yang
menyebabkan kematian sel atau bentuk-bentuk kerusakan permanen, misalnya,
radikal bebas muncul untuk mengubah <10.000 pasangan basa DNA setiap hari.
Neuron sangat rentan terhadap serangan radikal bebas karena alasan berikut: 1)
glutation, antioksidan alami yang rendah, 2) membran yang mengandung proporsi
yang tinggi dari asam lemak tak jenuh, dan 3) metabolisme otak yang
membutuhkan oksigen dalam jumlah besar (Christen, 2000).
Penyebab paling umum dari demensia adalah penyakit Alzheimer yaitu
penyakit degeneratif yang berhubungan dengan kerusakan otak secara progresif,
yang terkait dengan perubahan sel-sel saraf yang mengakibatkan kematian sel
otak sehingga mempengaruhi perilaku atau gejala kejiwaan, memori dan kognitif,
dan akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan untuk melakukan kegiatan normal
sehari-hari. Stres oksidatif merupakan patogenesis penting dalam perkembangan
demensia (Butterfield et al, 2002). Radikal bebas dapat menyebabkan peroksidasi
lipid, oksidasi protein, perubahan spesies oksigen reaktif (ROS), dan akhirnya
menyebabkan kematian neuron (Varadarajan et al, 2000). Kematian sel-sel neuron
dapat menyebabkan kelemahan memori (Colville dan Bassert, 2002).
5. Malondialdehid (MDA)
MDA merupakan salah satu senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas
oksidan (radikal bebas) dalam sel (Asni dkk., 2009). MDA banyak didapatkan
dalam sirkulasi dan merupakan produk utama hasil reaksi radikal bebas dengan
fosfolipid yang di produksi secara konstan sesuai dengan proporsi peroksidasi
lipid yang terjadi, sehingga merupakan indikator yang baik untuk melihat
kecepatan peroksidasi lipid in vivo (Siswonoto, 2008).
Gambar 2. Malondialdehid (Jetawattana, 2005).
Oksidasi asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) menghasilkan senyawa
malondialdehide (MDA), 4-hidroksi noneal (HNE), trans-4-hidroksi-2- heksenal
(HHE), isoproston, etan, pentan dan lain-lain (Halliwel and Gutteridge, 1999).
16
MDA dan 4-hidroksi noneal (HNE) merupakan produk utama hasil oksidasi
PUFA dan MDA merupakan salah satu yang paling sering digunakan sebagai
indikator peroksidasi lipid. MDA juga digunakan secara luas sebagai petanda
biologik stres oksidatif, sensitif, dan bisa digunakan pada penelitian dalam jumlah
besar (Siswonoto, 2008). Metode asam tiobarbiturat (thiobarbituric acid, TBA)
telah banyak digunakan untuk mengukur konsentrasi MDA yang terbentuk dalam
sistem peroksidasi lipid (Halliwell dan Chirico, 1993).
6. Kuersetin
Kuersetin adalah senyawa kelompok flavonoid terbesar, kuersetin dan
glikosidanya berada dalam jumlah sekitar 60-75% dari flavonoid. Nama lain
kuersetin adalah 3,5,7,3’,4’-pentahydroxyflavone (IUPAC) dengan rumus formula
C15H10O7 dan bobot molekul 302,2.
Gambar 3. Struktur kuersetin (Leone et al, 2015)
Ketika flavonol kuersetin bereaksi dengan radikal bebas, kuersetin
mendonorkan protonnya dan menjadi senyawa radikal, tapi elektron tidak
berpasangan yang dihasilkan didelokalisasi oleh resonansi, hal ini membuat
senyawa kuersetin radikal memiliki energi yang sangat rendah untuk menjadi
radikal yang reaktif. Tiga gugus dari struktur kuersetin yang membantu dalam
menjaga kestabilan dan bertindak sebagai antioksidan ketika bereaksi dengan
radikal bebas antara lain gugus O-hidroksil pada cincin B, gugus 4-oxo dalam
konjugasi dengan alkena 2;3, gugus 3, 5- hidroksil. Gugus fungsi tersebut dapat
mendonorkan elektron kepada cincin yang akan meningkatkan jumlah resonansi
dari struktur benzene senyawa kuersetin.
Kebanyakan flavonoid terikat pada gula dalam bentuk alamiahnya yaitu
dalam bentuk O-glikosida, dimana proses glikosilasi dapat terjadi pada gugus
hidroksil mana saja untuk menghasilkan gula. Bentuk glikosida kuersetin yang
17
paling umum ditemukan adalah kuersetin yang memiliki gugus glikosida pada
posisi 3 seperti kuersetin-3-O-β-glikosida. Kuersetin dipercaya dapat melindungi
tubuh dari beberapa jenis penyakit degeneratif dengan cara mencegah terjadinya
proses peroksidasi lemak. Kuersetin memperlihatkan kemampuan mencegah
proses oksidasi dari Low Density Lipoprotein (LDL) dengan cara menangkap
radikal bebas dan menghelat ion logam transisi (Waji dan Sugraini, 2009).
7. Timbal (Pb) Asetat
Plumbum (Pb) atau dikenal juga dengan nama timbal atau timah hitam
merupakan logam yang mempunyai empat bentuk isotop, 208Pb, 206Pb, 207Pb,
dan 204Pb, berwarna kebiruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada
327,5ºC dan titik didih pada 1740ºC di atmosfer. Secara kimiawi, Pb mempunyai
titik uap yang rendah dan dapat menstabilkan senyawa lain sehingga memiliki
banyak manfaat pada bidang industri (Lubis et al, 2013). Pb menjadi logam yang
familiar digunakan di berbagai industri seperti pipa solder, dan baterai karena
rendahnya titik leleh, densitas, dan resistensi korosif yang tinggi (Abadin et al,
2007).
Secara klinis Pb merupakan bahan toksik murni dan salah satu logam berat
yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup karena bersifat karsinogenik,
mutagenik, terurai dalam waktu yang lama, dan toksisistasnya tidak berubah
(Brass dan Strauss, 1981). Menurut Abadin et al (2007) efek Pb terhadap tubuh
akan sama meskipun cara Pb memasuki tubuh lewat inhalasi atau tertelan. Dalam
penelitiannya Gracia dan Snodgrass (2007) menyebutkan bahwa anak dengan
Blood Lead Level (BLL) lebih dari 10 μg/dL dan orang dewasa dengan BLL lebih
dari atau sama dengan 45 μg/dL harus dievaluasi lebih lanjut. Gejala toksisitas Pb
biasanya berkorelasi dengan kadar BLL 25–50 μg/dL pada anak dan 40–60 μg/dL
pada dewasa. Tipe-tipe keracunan Pb dapat dilihat di tabel 2.
Tabel 2. Tipe Keracunan Pb
Tipe Paparan Pb Blood Lead Level
(µg/dL)
Akut Paparan intens dalam waktu singkat 100 - 120
Kronik Paparan rendah berulang dalam waktu lama 40- 60
Sumber : (Flora et al, 2012)
18
Akumulasi Pb dalam tubuh dapat merusak berbagai sistem dalam tubuh
seperti sistem saraf, reproduksi, ginjal, dan hematopoetik. Namun target utama
toksisitas Pb adalah sistem saraf, baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak
(Abadin et al, 2007). Penelitian (Mello et al, 1998) menunjukkan bahwa
intoksikasi Pb asetat dapat menyebabkan perubahan yang menyimpang terhadap
perkembangan perilaku tikus. Penelitian Liu et al. (2015) menunjukkan bahwa
paparan Pb dapat memicu microgliosis abnormal dan astrogliosis pada
hipokampus tikus muda, yang kemudian dapat mengganggu neurogenesis
hipokampus. Lemaire et al (2000) menyebutkan bahwa neurogenesis berhubungan
dengan kemampuan belajar.
Stres oksidatif menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara produksi
radikal bebas dan kemampuan sistem biologis untuk segera mendetoksifikasi zat
antara atau memperbaiki kerusakan yang dihasilkan. Hal tersebut dilaporkan
menjadi mekanisme utama keracunan yang diinduksi Pb. Karena pengaruh Pb,
onset stres oksidatif muncul dengan dua pathways yang terjadi secara simultan.
Pertama-tama hadir generasi reactive oxygen species (ROS) seperti singlet oxygen
(O2) dan hydrogen peroksida (H2O2). Setelah itu cadangan antioksidan dalam
tubuh akan berkurang. Pertahanan antioksidan dalam tubuh berperan untuk
menghilangkan ROS yang dihasilkan. Salah satu antioksidan yang penting dan
ditemukan dalam sel adalah glutathione (GSH). GSH adalah sebuah tripeptida
yang memiliki gugus sulfhydryl dan ditemukan pada jaringan mamalia dalam
konsentrasi milimolar. GSH penting untuk meredam radikal bebas. GSH ada
dalam dua bentuk yaitu bentuk tereduksi (GSH) dan teroksidasi (GSSG). GSH
mendonasikan reducing equivalent (H2+
) dari gugus thiol dan menstabilkan ROS
(Flora et al, 2012). Pb menunjukkan kemampuan berbagi elektron yang
menghasilkan formasi ikatan kovalen. Ikatan ini terbentuk diantara bagian Pb dan
gugus sulfhydryl yang ada dalam enzim antioksidan, yang menjadi target yang
paling rentan bagi Pb dan perlahan akan terinaktivasi. Pb menginaktivasi
glutathione dengan cara itu. Cara yang sama juga digunakan Pb untuk
menginaktivasi enzim lain seperti d-amino levulinic acid dehydratase (ALAD),
glutathione reductase (GR), glutathione peroxidase (GP), dan glutathione-S-
19
transferase. Selain menargetkan gugus sulfhydryl, Pb juga dapat menggantikan
ion Zn yang berperan sebagai kofaktor bagi enzim antioksidan dan pada akhirnya
akan menginaktivasi enzim tersebut. Enzim antioksidan penting yang diinaktivasi
oleh Pb adalah super oxide dismutase (SOD) dan catalase (CAT). Penurunan
konsentrasi SOD dan CAT mengurangi pembuangan radikal superoksida sehingga
terjadilah stress oksidatif (Flora et al, 2012). Skema terjadinya stres oksidatif
akibat logam berat dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme terjadinya stres oksidatif akibat logam berat (Flora et al, 2012).
Stres dapat mempengaruhi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HHA) dan
melepaskan glukokortikoid dan akan terjadi negative feedback pada reseptornya
untuk menghambat aktivitas aksis HHA jika kadarnya berlebihan. Pada keadaan
stres kronik, negative feedback lemah sehingga sistem tersebut akan tetap aktif
sehingga dapat mengakibatkan efek yang merusak bagi tubuh termasuk
hipokampus (Arjadi et al, 2012). Pada penelitian Mello et al (1998) tikus
diintoksikasi dengan Pb asetat sebanyak 1,0 mM. Pemberian diet yang
mengandung Pb tinggi pada tikus saat menyusui menyebabkan gangguan
pertumbuhan, perubahan hematologis, kerusakan blood-brain barrier, mortalitas
yang meningkat, dan efek yang signifikan pada perkembangan neuromotorik
tikus. Penelitian Manal et al, (2013) menunjukkan bahwa efek neurotoksik sudah
dapat terjadi dengan induksi Pb selama 7 hari.
20
8. Kelor
8.1 Klasifikasi tanaman, menurut Tilong (2011) dalam Hazani (2014)
klasifikasi dari tanaman kelor (Moringa oleifera, Lamk.) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliopsida
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Brassicales
Suku : Moringaceae
Marga : Moringa
Spesies : Moringa oleifera, Lamk.
Di Indonesia, tanaman kelor mempunyai nama lokal yaitu kelor (Jawa,
Sunda, Bali, Lampung), Kerol (Buru), Marangghi (Madura), Mitong (Flores),
Kelo (Gorontalo), Keloro (Bugis), Kawano (Sumba), Ongge (Bima), Hau fo
(Timor). Di daerah pedesaan, tanaman kelor sering ditemukan sebagai tanaman
pagar hidup, pembatas tanah atau penjalar tanaman lain. Penanaman kelor yang
paling umum dilakukan adalah dengan cara stek batang tua atau cukup tua.
Caranya dengan langsung ditancapkan ke dalam tanah. Persemaian biji kelor yang
tua dapat juga dijadikan bibit tanaman, namun jarang digunakan (Tilong, 2011).
Gambar 5. Daun Kelor (Tilong, 2011)
Bagian-bagian tanaman kelor yang bisa dimanfaatkan adalah akar, batang,
daun dan bijinya. Tanaman kelor memiliki ketinggian batang 7-11 meter. Pohon
kelor tidak terlalu besar. Batang kayunya mudah patah dan cabangnya jarang
tetapi mempunyai akar yang kuat. Daunnya berbentuk bulat telur dengan ukuran
kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai. Kelor dapat berkembang biak
dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian tanah 300-500 meter di atas
21
permukaan laut. Bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan tudung
pelepah bunganya berwarna hijau. Bunga kelor keluar sepanjang tahun dengan
aroma bau semerbak. Buah kelor berbentuk segi tiga memanjang yang disebut
klentang (Jawa), sedang getahnya yang telah berubah warna menjadi coklat
disebut blendok (Jawa) (Tilong, 2011).
8.2 Antioksidan dalam daun Kelor, daun kelor adalah sumber yang
kaya akan senyawa antioksidan (Chumark et al, 2008). Daun kelor merupakan
salah satu tanaman yang berpotensi sebagai penangkap radikal bebas (Erika et al,
2014). Kemampuan yang dimiliki oleh polifenol untuk menangkap radikal bebas
serta memiliki aktivitas antioksidan mempunyai peranan yang penting untuk
melindungi sel dan jaringan dari stres oksidatif dan efek biologis lain yang
berhubungan dengan penyakit kronis (Rimbach et al, 2005). Salah satu senyawa
polifenol yang banyak terdapat di sayuran yaitu flavonoid dan asam fenolat
(Apriadi, 2010). Senyawa bioaktif yang terdapat dalam daun kelor terdiri dari
vitamin, karotenoid, polifenol, asam fenolik, flavonoid, alkaloid, glukosinolat,
isotiosianat, tanin, saponin, dan oksalat dan fitat. Senyawa flavonoid yang
terdapat dalam daun kelor dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Senyawa flavonoid dalam daun kelor ((Leone et al, 2015).
Para peneliti menemukan ekstrak daun kelor yang berbeda menghambat
peroksidasi asam linoleat 89,7% - 92,0% dan memiliki scavenging aktivitas pada
radikal superoksida pada dosis (EC50 dalam kisaran 0,08-0,2 mg/mL, kecuali
22
ekstrak air dari daun kelor asal India yang memiliki EC50>0,3 mg/mL). Peneliti
menyimpulkan bahwa pelarut metanol (80%) dan etanol (70%) adalah pelarut
terbaik untuk ekstraksi senyawa antioksidan dari daun kelor (Leone et al, 2015).
Berikut kandungan senyawa flavonoid dan kuersetin dalam daun kelor dapat
dilihat pada tabel 3 dan tabel 4.
Tabel 3. Kandungan Flavonoid dan Kuersetin Dalam Ekstrak Etanol Daun Kelor
Komposisi
zat aktif Daun
Kadar
(literature)
Kadar berat
kering
Metode
pengeringan Metode Ekstrak
Metode
analisis
Flavonoid Kering 25.1 mg/g 25.1 mg/g Oven 600C
selama 24 jam
Maserasi
Etanol 70 %
Kalorim
etri Kering 18,0 mg/g 18,0 mg/g Oven 600C
selama 24 jam
Perkolasi
Etanol 70%
Kalorim
etri
Kering 24,5 mg/g 24,5 mg/g Oven 600C
selama 24 jam
Sokletasi Kalorim
etri
Kuersetin Beku
kering
3,21 mg/g 12,84 mg/g Pengeringan
beku
Maserasi
methanol 70%
HPLC
Beku
kering
15,2 mg/g 15,2 mg/g Pengeringan
beku
Maserasi
methanol 70%
LC/MS
Sumber: (Leone et al, 2015)
Tabel 4. Kandungan Senyawa Flavonoid Daun Kelor (mg/100 Gram Sampel Segar)
Senyawa Flavonoid Konsentrasi (mg/100 gram sampel segar)
Kuersetin 95,84
Kaempferol 20,79
Luteolin 1,32
Sumber: (Apriadi, 2010)
Berbagai antioksidan tersebut berperan dalam mengatasi radikal bebas
melalui beberapa cara. Menurut Hariyatmi (2004), mekanisme kerja antioksidan
seluler yaitu antioksidan akan berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas
atau oksigen tunggal; mencegah pembentukkan jenis oksigen reaktif; mengubah
jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik; mencegah kemampuan oksigen
reaktif; memperbaiki kerusakan yang timbul. Daun kelor juga diketahui dapat
mengobati penyakit hati karena memiliki senyawa kimia quercetin dan silymarin
golongan flavonoid dengan aktivitas antioksidan (Syahrin et al, 2016).
Kemampuan senyawa flavonoid dalam menangkap radikal bebas dapat
dikaitkan dengan adanya gugus hidroksi fenolik yang dapat sebagai donor atom
hidrogen pada radikal tersebut (Heim dkk, 2002). Gambar 6 menunjukkan reaksi
antara kuersetin (suatu senyawa flavonoid) dengan DPPH.
23
Gambar 7. Reaksi Antara Flavonoid Dengan DPPH (Erika Dkk, 2014).
Beberapa penelitian sudah pernah dilakukan misalnya penelitian yang
dilakukan oleh (Unigbe dkk, 2014) daun kelor dapat digunakan sebagai
antioksidan alami dan dikategorikan sebagai antioksidan kuat dengan mencegah
kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas dengan nilai IC50 berkisar 5,72-
42,56 μg/mL. Penelitian juga dilakukan terhadap ekstraksi daun kelor
menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang tinggi dalam proses in vivo dan in
vitro (Chumark et al, 2008).
9. Tes Morris Water Maze (MWM)
Morris water maze banyak digunakan untuk mempelajari memori spasial
dan pembelajaran. Hewan ditempatkan di genangan air yang berwarna buram
dengan susu bubuk tanpa lemak atau cat tempera yang tidak beracun, di mana
mereka harus berenang ke platform pelarian yang tersembunyi. Karena mereka
berada di air yang buram, hewan tidak dapat melihat platform, dan tidak dapat
mengandalkan aroma untuk menemukan rute pelarian. Sebaliknya, mereka harus
bergantung pada isyarat eksternal / labirin ekstra. Ketika hewan menjadi lebih
terbiasa dengan tugas tersebut, sehingga dapat menemukan platform dengan lebih
24
cepat (Nunez, 2008). Morris water maze dikembangkan oleh Morris, perlakuan
pada uji ini sudah diubah dengan berbagai cara untuk menyelidiki memori yang
berfungsi, memori referensi dan strategi penugasan (Brandeis et al, 1989).
Morris water maze berupa kolam berbentuk drum sirkuler berukuran diameter 1,8
m dan tinggi 0,5 m. Kolam tersebut diisi dengan air hingga kedalaman 0,2 m.
Terdapat pula sebuah platform berbentuk sirkuler berwarna putih dengan diameter
13 cm dan tinggi 18 cm ditempatkan 2 cm di bawah permukaan air.
Menurut (Nunez, 2008) sebelum pengujian Morris water maze, dilakukan
pra pengujian atau latihan untuk hewan uji, Setiap hewan akan menjalani tiga
percobaan berturut-turut. Pertama, meletakkan hewan uji di peron selama dua
puluh detik, Morris water maze memiliki 4 posisi awal: utara, selatan, timur, atau
barat. Kedua, hewan uji ditempatkan di salah satu posisi tersebut. Kemudian
ketiga menurunkan hewan uji ke dalam air dengan menyanggainya dengan tangan
dan membawanya perlahan ke ujung ekor air terlebih dahulu. Keempat, hewan uji
berenang untuk mencari platform selama maksimal 60 detik. Pada awalnya,
hewan itu bisa berenang di sekitar tepi kolam mencari jalan keluar. Akhirnya,
hewan itu akan belajar mencari platform dan memanjat. Kelima, setelah hewan uji
mencapai platform, timer dihentikan, dan mencatat waktu. Jika tidak menemukan
platform dalam 60 detik, maka waktu yang dicatat untuk uji coba ini sebagai satu
menit. Melatih hewan uji harus berenang mencapai platform. Jika jatuh atau
melompat, diarahkan dengan lembut kembali. Hal Ini akan melatih hewan uji
harus tetap di platform untuk diselamatkan dari kolam. Keenam ulangi prosedur
yang sama untuk dua percobaan lagi, mulai dari arah yang berbeda untuk setiap
percobaan. Ketujuh, setelah hewan menyelesaikan ketiga percobaan, keringkan
dengan handuk. Ulangi proses pelatihan tiga uji coba untuk semua hewan secara
berurutan. Pertahankan arah yang sama dan mencatat waktu. Kedelapan, setelah
hewan dilatih, mereka siap untuk melakukan pengujian Morris water maze.
Pengujian Morris water maze menurut (Nunez, 2008) setiap hewan uji
akan menjalani 3 percobaan untuk setiap arah awal. Setiap percobaan akan
berlangsung 60 detik. Sebelum memulai, pilih urutan arahan awal, kemudian
memantau hewan uji mencapai mencapai platform, dan catat waktu yang
25
dibutuhkan. Jika hewan uji tidak mencapai platform dalam 60 detik, maka hewan
uji akan dibimbing mencapai platform, seperti dalam pelatihan. Kemudian hewan
uji diistirahatkan selama 10 detik, lalu keringkan dan kembalikan hewan itu ke
kandang. Urutan pengujian harus ada interval antar-percobaan minimal 2 menit.
Setelah semua hewan uji menyelesaikan pengujian, masing-masing akan
melakukan satu percobaan penyelidikan, di mana platform dihapus dari kolam.
Uji probe trial dilakukan untuk memverifikasi pemahaman hewan tentang lokasi
platform, dan mengamati strategi yang diikuti hewan uji ketika menemukan
platform tidak ada. Peneliti akan melepaskan hewan uji mulai dari utara.
Selanjutnya mencatat berapa kali hewan itu melintasi bagian tengah kolam selama
30 detik. Saat semua uji coba selesai, hewan uji dikeringkan dan dikeluarkan dari
kolam. Pengujian Morris water maze ini dapat diubah dengan berbagai cara untuk
menyelidiki memori yang berfungsi, memori referensi dan strategi tugas
(Brandeis R et al, 1989) Prosedur yang dijelaskan di sini berisi dua variabel kritis
yang mewakili penyimpangan dari versi lain dari labirin air: pra-pelatihan, dan
pengujian pada satu hari (Nunez, 2008).
Menurut (Bouet et al, 2010, dan Bromley-Brits et al, 2011) prosedur
Morris water maze dilakukan melalui tiga tahap yaitu (1) latihan (pembelajaran
atau fase akuisisi) adalah proses pelatihan bagi hewan uji untuk membentuk
memori spasial. Hewan uji dilatih untuk menemukan platform tersembunyi di
bawah air. Platform ditempatkan ± 1 cm di bawah permukaan air, di kuadran yang
telah ditentukan. Selanjutnya, hewan uji dinilai untuk kemampuan mereka
melarikan diri (keluar dari air), ditandai dengan keberhasilan hewan uji
menemukan platform yang dihilangkan. Parameter yang dinilai adalah waktu
latensi tikus untuk mencapai platform, (2) tahap retensi (fase retensi / probe trial):
tahap uji fungsi memori spasial jangka panjang dalam uji MWM, tahap ini
dilakukan setidaknya 24 jam setelah latihan terakhir dalam fase akuisisi dan
dilakukan sekali. Platform dihilangkan, dan hewan uji diberi 60 detik untuk
menemukan platform sebelumnya. Parameter yang dinilai termasuk persentase
waktu latensi dalam waktu yang diambil, (3) tes sensorimotoris (pengujian visual)
bertujuan untuk menilai kemampuan sensorimotor pada hewan uji Pada
26
penelitian ini uji coba dilakukan 3 kali dalam 1 hari. Hewan uji diberi 60 detik per
percobaan untuk dapat menemukan platform bertanda (platform terlihat). Waktu
yang diambil dan jarak yang ditempuh hewan uji dicatat (Bouet et al, 2010;
Bromley-brits et al, 2011)
B. Landasan Teori
Demensia merupakan kumpulan gejala karena penyakit otak, bersifat
kronis dan progresif dimana ada banyak gangguan fungsi kortikal yang lebih
tinggi, termasuk memori, berpikir, orientasi, pemahaman, perhitungan, belajar,
kemampuan, bahasa, dan penilaian kesadaran tidak terganggu. Gangguan fungsi
kognitif yang biasanya disertai dan didahului oleh kemerosotan dalam
pengendalian emosi, perilaku sosial, atau motivasi (Durand dan Barlow, 2006).
Salah satu patogenesis penting dalam penyakit demensia adalah kematian sel otak
yang diakibatkan radikal bebas. Radikal bebas menghasilkan kerusakan pada
komponen utama dari sel yaitu inti, DNA mitokondria, membran, dan protein
sitoplasma (Christen, 2000).
Pb dapat menyebabkan pembentukan molekul generasi reactive oxygen
species (ROS). Antioksidan yang terdapat dalam tubuh menjaga supaya
pembentukan ROS seminimal mungkin. Namun apabila peningkatan radikal
bebas tidak diimbangi dengan peningkatan antioksidan maka akan terjadi stres
oksidatif. Pb juga menyebabkan terjadinya stres oksidatif dengan membentuk
ikatan kovalen antara bagian Pb dan gugus sulfhydryl yang ada dalam enzim-
enzim antioksidan dan juga menggantikan ion Zn yang merupakan kofaktor enzim
antioksidan. Ikatan-ikatan ini akan membuat enzim antioksidan tersebut
terinaktivasi. Penurunan konsentrasi enzim-enzim antioksidan mengurangi
pembuangan radikal superoksida sehingga terjadilah stres oksidatif (Flora et al.,
2012). Kondisi stres yang meningkat menyebabkan melemahnya feedback negatif
HHA sehingga dapat menyebabkan jejas yang dapat berlanjut pada kematian sel
(Arjadi et al., 2012). Kerusakan pada jaringan hipokampus dapat menyebabkan
menurunnya memori kerja (Baddeley, 2003). Hipokampus berperan dalam
pembentukan memori spasial (Aswin, 2000).
27
Keterangan :
Hipokampus merupakan bagian dari sistem limbik yang berperan dalam
belajar, mengingat, pengaturan emosi, dan hipotalamus. Sel di hipokampus
berbentuk piramidal dan meliputi regio cornu ammonis (CA) 1, 2, dan 3. Sel-sel
di regio CA1 dan CA2 rentan terhadap hipoksia sedangkan regio CA3 rentan
terhadap stressor fisik dan juga stres kronik. Hal-hal tersebut dapat
mengakibatkan depresi dan menghilangnya neuron di hipokampus dan amigdala
yang selanjutnya dapat menurunkan kemampuan memori dan kognitif seseorang
(Arjadi et al., 2012). Dasar pembentukan memori erat hubungannya dengan long-
term potentiation (LTP). LTP pertama kali ditemukan terjadi di hipokampus
(Holscher, 2001). Bagian hipokampus yang menyokong terjadinya LTP adalah
CA1 dan CA3. Jalur-jalur saraf di hipokampus yang menyokong terjadinya LTP
adalah serabut mossy yang menuju CA3 dan kolateral Schaffer yang menuju CA1
(Lynch, 2004) sehingga jika terjadi kerusakan pada hipokampus, khususnya sel
piramidal area CA1 dan CA3 akan menyebabkan defisit memori spasial.
Kerangka teori ini secara skematik dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Pengaruh Induksi Timbal Asetat Terhadap Memori Kerja (Jannah, 2017)
: Variabel yang diteliti
: Memicu
28
Tanaman yang banyak mengandung antioksidan ditemukan dalam
tumbuhan kelor salah satunya pada bagian daun. Penelitian sebelumnya terhadap
ekstraksi daun kelor menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang tinggi dalam
proses in vivo dan in vitro (Chumark, et al., 2008), selain itu dalam daun kelor
kaya akan phytochemicals, karoten, vitamin, mineral, asam amino, senyawa
flavonoid dan fenolik (Anwar, et al., 2007). Kandungan antioksidan dari kelor
pernah dilaporkan membawa perbaikan dalam mencegah stress oksidatif yang
diakibatkan terapi tuberkulosis. Rachmi (2004) juga menunjukkan bahwa
antioksidan dari tanaman ini memberikan efek scavenging terhadap oksidasi yang
diakibatkan CCl4 terhadap sel-sel hati yang membuktikan bahwa ekstrak daun
kelor mengandung gugus fenol yang mempunyai efek protektif terhadap dari
stress oksidatif. Ditemukannya sejumlah antioksidan quercetin dan kaempferol
pada tumbuhan ini membuka peluang untuk penelitian potensi tumbuhan ini
sebagai agen scavenger untuk menangkap radikal bebas peroksid dan superoksid
(Illiandri et al, 2010). Flavonoid diketahui dapat menghambat radikal oksigen
dengan cara mendonorkan atom hidrogen atau elektron kepada radikal bebas.
Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom
hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkelat logam berat, berada dalam
bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas
yang disebut aglikon (Gordon et al, 2002).
Flavonoid memiliki kemampuan untuk berinteraksi dalam jalur signal
interseluler neuron yang berpengaruh dalam neurodegeneratif dan neuroinflamasi
yang bertanggungjawab dalam proses memori, belajar dan fungsi kognitif.
Flavonoid yang ditemukan dalam makanan dapat meningkatkan aliran darah otak
dan perfusi terutama melalui peningkatan bioavailabilitas nitritoksida dalam sel
endotel (Gordon et al, 2002). Peningkatan signifikan nitrit oksida dalam plasma
terjadi setelah mengkonsumsi flavonoid. Nitrit oksida berfungsi dalam regulasi
transkrip protein/CREB (cAMP response element-binding protein) yang
merupakan faktor penting dalam plastititas sinaps dan neurogenerasi. Flavonoid
29
dapat meningkatkan NO dengan cara peningkatan ekspresi dan sintesis nitrit
oksida dalam endotel. Sintesis NO endotel terlibat dalam regulasi ekspresi BDNF
(Brain Derived Neurotrophic Factor). BDNF berperan dalam mengatur memori
jangka panjang dan memori jangka pendek. Melalui peran permisif dalam
fasilitasi awal potensiasi jangka panjang (LTP) dan peningkatan BDNF
bertanggung jawab untuk memori episodik (Kennedy & David O, 2014).
Verma (2009) meneliti efek pemberian ekstrak daun kelor dosis 50 dan
100 mg/kgbb/hari selama 14 hari terhadap tikus yang telah diinduksi CCl4
mampu mencegah peningkatan kadar oksidasi peroksida lipid (LPO), penurunan
konsentrasi glutathione (GSH), aktivitas superoksida dismutase (SOD) dan enzim
antioksidan katalase (CAT) di hati dan ginjal.
Penelitian berbeda menjelaskan terjadi peningkatan konsentrasi
glutathione pada tikus eritrosit yang diobati dengan ekstrak air daun kelor,
sehingga menghambat peningkatan malondialdehyde (MDA) (Luqman et al,
2012).
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai efek ekstrak etanol
daun kelor dalam memperbaiki memori spasial, menurunkan kadar
malondialdehid, menurunkan jumlah sel piramidal area CA1, CA2-CA3 yang
mengalami kerusakan dan gambaran histopatologi hipokampus pada mencit
model demensia.
C. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori yang dipaparkan di atas, dapat dirangkum menjadi suatu
kerangka teori dan digunakan sebagai dasar melakukan penelitian. Kerangka teori
adalah kemampuan mengaplikasikan pola berpikir dalam menyusun secara
sistematis teori yang mendukung permasalahan penelitian yang dituangkan dalam
latar belakang penelitian (Rakhmat, 2004). Dalam penelitian ini diketahui bahwa
berdasarkan teori ekstrak daun kelor menunjukkan adanya aktivitas antioksidan
yang tinggi dalam proses in vivo dan in vitro (Chumark et al, 2008), selain itu
30
menstabilkan
kaya akan phytochemicals, karoten, vitamin, mineral, asam amino, senyawa
flavonoid dan fenolik (Anwar et al, 2007), sehingga dipertimbangkan mampu
melindungi kerusakan hipokampus akibat pemberian Pb asetat (Gambar 9).
Gambar 9. Kerangka Konsep Penelitian
D. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan landasan teori di atas, dapat dirumuskan
hipotesis bahwa:
1. Pemberian ekstrak etanol daun kelor pada dosis 100, 200 dan 400
mg/KgBB dapat memperbaiki memori spasial pada mencit yang diinduksi
Pb asetat.
Peningkatan produksi ROS
(Reactive Oxygen Species)
Histopatologi
Hipokampus Area
CA1 dan CA2-
CA3
Uji Kadar MDA
Pb asetat
Ekstrak Etanol
Daun Kelor
Flavonoid
Stres Oksidatif ↑
glutation ↓
Superoksida dismutase ↓
Enzim katalase ↓
Mengandung
Sebagai agen
scavenger
Memori spasial
Sebagai agen
scavenger
Terjadi peroksidasi lipid
Perhitungan Jumlah Sel Piramidal yang rusak di Area CA1 dan CA2-CA3
Flavonoid
mengandung
Histopatologi hipokampus
31
2. Pemberian ekstrak etanol daun kelor 100, 200 dan 400 mg/KgBB dapat
menurunkan kadar malondialdehid pada mencit yang diinduksi Pb asetat.
3. Pemberian ekstrak etanol daun kelor pada dosis 100, 200 dan 400
mg/KgBB berpengaruh dalam menurunkan jumlah sel piramidal CA1 dan
CA2-CA3 yang mengalami kerusakan dan gambaran histopatologi sel
hipokampus pada mencit yang diinduksi Pb asetat.