21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Merokok pada Remaja 1. Pengertian Perilaku Merokok pada Remaja Perilaku merokok merupakan segala bentuk kegiatan individu dalam membakar rokok kemudian menghisap dan menghembuskannya keluar sehingga menimbulkan asap yang dapat terhirup oleh orang disekitarnya (Nasution, 2007). Sedangkan menurut Sitepoe (dalam Sanjiwani & Budisetyani, 2014), perilaku merokok adalah suatu perilaku yang melibatkan proses membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan rokok ataupun pipa. Kemudian tokoh lain, Shiffman (dalam Astuti, 2012) menjelaskan bahwa merokok adalah menghirup atau menghisap asap rokok yang dapat diamati atau diukur dengan melihat volume atau frekuensi merokok. Berdasarkan uraian-uraian pengertian perilaku merokok menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok adalah segala bentuk aktivitas individu dalam membakar tembakau yang kemudian dihisap dan dihembuskan kembali asapnya, yang dapat diamati atau diukur dengan melihat volume atau frekuensi merokok. Selanjutnya, remaja atau masa remaja adalah periode transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa awal yang dimulai dari usia 12 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun, dengan perincian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja tengah, dan 18-21 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Merokok …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4219/3/BAB II.pdfperilaku merokok, anak akan menganggap merokok tidak berbahaya bagi kesehatan karena

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Merokok pada Remaja

1. Pengertian Perilaku Merokok pada Remaja

Perilaku merokok merupakan segala bentuk kegiatan individu

dalam membakar rokok kemudian menghisap dan menghembuskannya

keluar sehingga menimbulkan asap yang dapat terhirup oleh orang

disekitarnya (Nasution, 2007). Sedangkan menurut Sitepoe (dalam

Sanjiwani & Budisetyani, 2014), perilaku merokok adalah suatu perilaku

yang melibatkan proses membakar tembakau yang kemudian dihisap

asapnya, baik menggunakan rokok ataupun pipa. Kemudian tokoh lain,

Shiffman (dalam Astuti, 2012) menjelaskan bahwa merokok adalah

menghirup atau menghisap asap rokok yang dapat diamati atau diukur

dengan melihat volume atau frekuensi merokok. Berdasarkan uraian-uraian

pengertian perilaku merokok menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan

bahwa perilaku merokok adalah segala bentuk aktivitas individu dalam

membakar tembakau yang kemudian dihisap dan dihembuskan kembali

asapnya, yang dapat diamati atau diukur dengan melihat volume atau

frekuensi merokok.

Selanjutnya, remaja atau masa remaja adalah periode transisi dari

masa kanak-kanak menuju masa dewasa awal yang dimulai dari usia 12

tahun dan berakhir pada usia 21 tahun, dengan perincian 12-15 tahun adalah

masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja tengah, dan 18-21 tahun

2

adalah masa remaja akhir (Mönks., dkk, 2014). Remaja merupakan pribadi

yang terus berkembang menuju kedewasaan, dan sebagai proses

perkembangan yang berjalan natural, remaja mencoba berbagai perilaku

yang terkadang merupakan perilaku berisiko (Smet dalam Lestary &

Sugiharti, 2011). Adolescence (remaja dalam bahasa latin) diartikan

Hurlock (dalam Nasution, 2007) sebagai tumbuh atau tumbuh menjadi

dewasa. Dari pengertian remaja menurut beberapa tokoh di atas, dapat

disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang sedang tumbuh dan

berkembang menuju kedewasaan atau berada dalam masa transisi dari masa

kanak-kanak menuju masa dewasa.

Berdasarkan pengertian-pengertian dari para ahli, perilaku merokok

pada remaja adalah segala bentuk aktivitas individu dalam membakar

tembakau yang kemudian dihisap dan dihembuskan kembali asapnya, yang

dapat diamati atau diukur dengan melihat volume atau frekuensi merokok

dan dilakukan oleh individu yang berusia antara 12 hingga 21 tahun.

2. Aspek-aspek Perilaku Merokok pada Remaja

Aspek-aspek perilaku merokok menurut Aritonang (dalam Solehah

& Mulyana, 2018) yaitu:

a. Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari

Erickson (dalam Komalasari & Helmi, 2000) menyampaikan bahwa

merokok berkaitan dengan masa pencarian jati diri pada remaja.

Silvans & Tomkins (dalam Mu’tadin, 2002) menyatakan fungsi

3

merokok ditunjukkan dengan perasaan yang dialami perokok, seperti

perasaan positif maupun negatif.

b. Intensitas merokok

Smet (2010) membagi intensitas merokok berdasarkan banyaknya

rokok yang dihisap, yaitu perokok berat (lebih dari 15 batang per hari),

perokok sedang (menghisap 5 – 14 batang per hari), dan perokok

ringan (1 – 4 batang per hari).

c. Tempat merokok

Tempat merokok terdiri dari tempat umum dan tempat yang bersifat

pribadi (Mu’tadin, 2002). Tempat umum terbagi lagi dalam 2

kelompok yaitu kelompok homogen yang terdiri dari orang-orang

yang juga merupakan perokok aktif dan kelompok heterogen yaitu

merokok di kerumunan orang-orang yang terdiri dari perokok dan

bukan perokok. Untuk tempat yang bersifat pribadi, dibagi menjadi

kantor atau kamar tidur pribadi dan toilet.

d. Waktu merokok

Presty (dalam Smet, 2007) dapat dipengaruhi oleh keadaan yang

dialaminya pada saat itu, seperti cuaca dingin, dimarahi orang tua, dan

saat berkumpul dengan teman sebaya.

4

Tomkins (dalam Eysenck, 1995) membedakan empat jenis perilaku

merokok umum dalam teori manajemen afek, yaitu:

a. Perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan positif

Dalam teori ini dikemukakan bahwa individu akan merokok ketika

sedang dalam perasaan positif untuk mendapatkan penambahan

perasaan positif. Green (1997) menambahkan 3 subtipe faktor

psikologis merokok, yaitu:

1) Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk

menambah kenikmatan yang sudah diperoleh, seperti merokok

setelah makan atau minum kopi.

2) Stimulation to pick them up, perilaku merokok hanya

dilakukan untuk menyenangkan perasaan.

3) Pleasure of handling the cigarette, kenikmatan yang diperoleh

saat memegang rokok, sangat spesifik pada perokok pipa.

Perokok pipa akan menghabiskan waktu lebih lama untuk

mengisikan tembakau ke dalam pipa sedangkan untuk

menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja

atau perokok pipa lebih senang berlama-lama memainkan

rokoknya dengan jari-jarinya sebelum api dinyalakan.

b. Perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan negatif

Individu merokok untuk mengurangi perasaan negatif atau tidak

menyenangkan seperti tertekan, marah, takut, malu, terhina, atau

5

kombinasi dari pengaruh ini. Individu merokok ketika perasaan

negatif terjadi agar terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak lagi.

c. Perilaku merokok yang adiktif

Pada tipe ini, perokok akan merokok baik dalam perasaan positif

maupun dalam perasaan negatif, dan cenderung akan menambah dosis

rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang

dihisapnya berkurang. Individu pada tipe ini rela melakukan apapun

untuk menjaga ketersediaan rokoknya.

d. Kebiasaan merokok

Pada tipe ini, perokok menghidupkan rokok tidak lagi terkait dengan

pengaruh perasaan melainkan merokok telah menjadi kebiasaan rutin

sehingga perilaku ini akan muncul secara otomatis, seringkali tanpa

dipikir panjang. Individu akan menghidupkan lagi rokoknya bila

rokok terdahulu telah habis.

Dari pemaparan aspek-aspek perilaku merokok menurut tokoh

Aritonang (dalam Solehah & Mulyana, 2018), dapat disimpulkan bahwa

perilaku merokok dapat dilihat apabila individu memenuhi aspek fungsi

merokok dalam kehidupan sehari-hari, intensitas merokok, tempat merokok,

dan waktu merokok. Tokoh lain, Tomkins (dalam Eysenck, 1995) membagi

perilaku merokok ke dalam empat jenis perilaku merokok umum yang dapat

dilihat melalui perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan positif yang

terdiri dari pleasure relaxation, stimulation to pick them up, pleasure of

6

handling the cigarette, perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan

negatif, perilaku merokok yang adiktif, dan kebiasaan merokok.

Berdasarkan pemaparan aspek-aspek perilaku menurut Aritonang

dan Tomkins, peneliti memilih menggunakan aspek menurut Aritonang

sebagai alat ukur perilaku merokok karena aspek tersebut sudah sering

digunakan sebagai patokan alat ukur dalam penelitian terdahulu serta

memiliki penjelasan lebih lengkap dan jelas sehingga memudahkan peneliti

dalam menyusun skala psikologis.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok pada Remaja

Subanada (2008) menyampaikan 3 faktor yang dapat mempengaruhi

perilaku merokok pada remaja, yaitu:

a. Faktor Psikologis

Perasaan stres, cemas, bosan, ingin tahu, serta tekanan teman

sebaya turut andil mempengaruhi individu untuk mulai merokok.

Merokok menjadi cara bagi individu untuk santai dan bersenang-

senang. Remaja yang mengalami stres memiliki kemungkinan lebih

tinggi untuk merokok. Masa remaja merupakan masa dimana individu

menghadapi masalah untuk pertama kalinya, seperti perubahan fisik,

tekanan sekolah, kebosanan, tekanan dari teman sebaya, masalah

finansial, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut menyebabkan

remaja sangat rentan menghadapi stres (Finkelstein., dkk, 2006).

7

b. Faktor Biologis

Faktor genetik dapat mempengaruhi individu untuk memiliki

ketergantungan terhadap rokok. Selain itu, efek dari nikotin juga dapat

meningkatkan kecanduan nikotin pada individu. Proses yang terjadi

dalam tubuh ketika rokok dihisap yakni nikotin diterima reseptor

asetilkolin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan

jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat

yang memacu sistem dopaminergik, hasilnya perokok merasa lebih

tenang, daya pikir cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar.

Di jalur adrenergik, zat nikotin akan mengaktifkan sistem

adrenergik pada bagian otak lokus seruleus untuk mengeluarkan

serotonin. Sistem adrenenergik berfungsi memproduksi norepinefrin,

epinefrin, atau dopamin yang berperan dalam menghasilkan perasaan

senang (Sundberg., dkk, 2007). Sama seperti norepinefrin, epinefrin,

dan dopamin, serotonin juga berperan dalam menghasilkan perasaan

senang. Meningkatnya serotonin menimbulkan rangsangan rasa senang

sekaligus keinginan mencari rokok lagi (Gayatri, 2012). Hal ini

menyebabkan individu sulit meninggalkan rokok karena sudah

mengalami ketergantungan pada nikotin. Saat individu berhenti

merokok maka rasa nikmat yang diperolehnya berkurang.

c. Faktor Lingkungan

Orang tua, teman sebaya, saudara, iklan pada media televisi, dan

reklame merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh dalam

8

perilaku merokok individu. Orang tua memiliki peranan penting dalam

perilaku merokok, anak akan menganggap merokok tidak berbahaya

bagi kesehatan karena melihat orang tuanya maupun saudaranya

merokok. Paparan iklan rokok pada berbagai media diperkirakan

memiliki pengaruh lebih kuat daripada orang tua dan teman sebaya, hal

ini mungkin karena iklan mempengaruhi persepsi remaja terhadap

penampilan dan manfaat rokok.

Taylor (2012) menguraikan faktor yang mempengaruhi perilaku

merokok pada remaja sebagai berikut:

a. Pengaruh orang tua dan teman sebaya

Orang tua dan teman sebaya perokok meningkatkan peluang pada

remaja untuk mulai merokok. Perilaku merokok yang dilakukan oleh

lingkungan membuat remaja berpersepsi bahwa merokok tidak akan

membahayakan kesehatan dan pada akhirnya mendorong perilaku

merokok pada remaja. Berasal dari kelas sosial menengah ke bawah,

mengalami tekanan sosial, dan juga terdapat pencetus stres dalam

keluarga seperti pertikaian orang tua, ataupun perselisihan dalam

pertemanan juga dapat memicu remaja untuk merokok.

b. Identitas diri

Remaja dengan gambaran citra diri idealnya adalah perokok memiliki

kecenderungan lebih besar untuk menjadi perokok. Kontrol diri rendah,

ketergantungan, perasaan tidak berdaya, dan isolasi sosial juga

meningkatkan kecenderungan untuk meniru perilaku orang lain seperti

9

perilaku merokok. Perasaan dilecehkan, marah, atau sedih, turut

meningkatkan kemungkinan merokok.

c. Kecanduan Nikotin

Pada dasarnya, penyebab pasti kecanduan nikotin belum diketahui.

Orang merokok untuk menjaga kadar nikotin dalam darah dan

mencegah gejala penarikan. Pada dasarnya, merokok mengatur kadar

nikotin dalam tubuh dan ketika tingkat plasma nikotin tidak sesuai

dengan tingkat idealnya, maka muncul perilaku merokok.

Mu’tadin (dalam Nasution, 2007) mengemukakan faktor-faktor

yang mempengaruhi perilaku merokok remaja, antara lain:

a. Pengaruh Orang Tua

Baer & Corrado, remaja perokok adalah anak-anak yang berasal

dari keluarga yang tidak bahagia dimana orang tua tidak begitu

memperhatikan anaknya dibandingkan dengan keluarga yang bahagia.

Remaja yang berasal dari keluarga konservatif akan lebih sulit terlibat

dengan rokok maupun obat-obatan dibandingkan dengan yang berasal

dari keluarga permisif, terutama bila orang tua sendiri yang menjadi

figure perokok berat maka lebih besar kemungkinan bagi anak untuk

mencontohnya.

b. Pengaruh Teman

Semakin banyak teman sebaya yang merokok, semakin besar

peluang individu menjadi perokok. Di antara remaja perokok terdapat

87% mempunyai setidaknya satu orang sahabat yang perokok, begitu

10

pula dengan remaja non perokok. Individu dalam masa remaja lebih

banyak menghabiskan waktu luangnya untuk berinteraksi dengan teman

sebaya daripada dengan orang tua atau orang dewasa lain. Hal ini dapat

menjadikan nilai-nilai atau aturan yang berkembang dalam

kelompoknya turut mempengaruhi perilaku remaja tersebut.

Santrock (dalam Saputro & Soeharto, 2012) menerangkan bahwa

pengaruh teman sebaya bisa membentuk perilaku remaja menjadi nakal

karena remaja mendapat tekanan yang kuat dari teman sebaya untuk

dapat bersikap konform terhadap tingkah laku sosial dalam kelompok.

Adanya keinginan untuk diterima dalam kelompok dan menjadi populer

akan cenderung membuat remaja lebih konform terhadap tekanan

kelompok.

c. Faktor Kepribadian

Individu mencoba merokok berawal dari rasa ingin tahu atau rasa

ingin lepas dari kebosanan/kesakitan seperti stres. Salah satu sifat

kepribadian yang bersifat pada pengguna obat-obatan termasuk rokok

adalah konformitas sosial.

d. Pengaruh Iklan

Iklan yang menampilkan kesan merokok sebagai lambang

kejantanan atau glamour membuat remaja terpicu untuk menjadi seperti

itu.

11

Hansen et al (dalam Wismanto, 2007) menyatakan ada 3 faktor yang

mempengaruhi perilaku merokok, meliputi:

a. Faktor Lingkungan

Faktor ini dapat memberikan pengaruh langsung seperti menawarkan

rokok, membujuk untuk merokok, menantang dan menggoda untuk

merokok serta pengaruh tidak langsung seperti adanya model yang kuat

di dalam lingkungannya seperti guru dan orang tua.

b. Faktor Psikologis

Individu merokok untuk mendapatkan kesenangan, kenyamanan,

merasa lepas dari kegelisahan, dan juga mendapatkan rasa percaya diri.

c. Faktor Biologis

Orang yang pernah merasakan rokok maka akan mengalami kecanduan

merokok sebagai dampak kadar nikotin di dalam darahnya.

d. Faktor Sosio Cultural

Faktor ini meliputi kebiasaan masyarakat, tingkat ekonomi, pendidikan,

dan pekerjaan. Masyarakat pada daerah pegunungan memiliki

kemungkinan lebih tinggi untuk merokok, sebab dengan merokok

masyarakat merasakan tubuh menjadi hangat.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa

perilaku merokok dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis, biologis,

dan lingkungan. Dalam penelitian ini, faktor psikologis khususnya pada

stres diasumsikan memiliki pengaruh kuat dalam mempengaruhi

perilaku merokok pada remaja sebab individu pada masa remaja sedang

12

dalam masa pencarian identitas yang rentan akan risiko stres. Masalah-

masalah seperti perubahan fisik, tekanan sekolah, kebosanan, tekanan

dari teman sebaya, masalah finansial, dan sebagainya merupakan

masalh pertama yang dihadapi remaja dan menyebabkan remaja sangat

rentan menghadapi stres. Di usianya, remaja akan cenderung memilih

cara singkat untuk mengalihkan stresnya seperti merokok, sehingga

diasumsikan stres berkaitan dengan perilaku merokok remaja.

B. Stres

1. Pengertian Stres

Taylor, dkk (2009) mendefinisikan stres sebagai respon individu

terhadap suatu kejadian atau keadaan yang menyakitkan, mengancam dan

menekan yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis, emosi, kemampuan

berpikir dan tingkah laku individu. Hal ini disebabkan oleh naluri tubuh

untuk melindungi diri dari tekanan emosi, tekanan fisik, situasi ekstrim atau

bahaya yang mengancam. Stres juga muncul sebagai reaksi alami tubuh

terhadap ketegangan, tekanan dan perubahan dalam kehidupan.

Lazarus & Folkman (1984) mengartikan stres secara luas sebagai

hubungan antara seseorang dengan lingkungannya yang dinilai melebihi

kemampuan dan mengancam hidupnya. Stres adalah proses transaksional

yang terjadi ketika suatu peristiwa dianggap berhubungan dengan

kesejahteraan individu, memiliki potensi bahaya atau kerugian, dan

13

membutuhkan upaya psikologis, fisiologis, dan/atau perilaku untuk

mengelola keadaan dan hasilnya.

Sarafino & Smith (2014) stres adalah hubungan individu dengan

lingkungannya yang membuat individu melihat adanya kesenjangan antara

tuntutan situasi dengan sumber daya biologis, psikologis, maupun sosial

yang dimiliki. Looker dan Gregson (2005) mendefinisikan stres sebagai

keadaan yang dialami ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan

yang diterima dengan kemampuan untuk mengatasi. Santrock (2003) stres

adalah respon individu terhadap keadaan dan kejadian tertentu, yang dapat

mengancam dan mengganggu kemampuan penguasaan dirinya.

Berdasarkan definisi yang telah dituliskan di atas, dapat disimpulkan

bahwa stres adalah reaksi individu terhadap suatu keadaan yang

menyakitkan, mengancam dan menekan yang dapat mempengaruhi kondisi

psikologis, emosi, kemampuan berpikir dan tingkah laku individu.

2. Penggolongan Stres

Looker & Gregson (2005) menggolongkan stres menjadi dua

golongan yaitu distres dan eustres. Penggolongan ini didasarkan pada

persepsi individu terhadap stres yang dialami:

a. Eustres

Selye (dalam Nasution, 2007) eustres atau stres positif adalah stres yang

bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan.

Eustres terjadi ketika kemampuan untuk mengatasi melebihi tuntutan-

tuntutan yang dirasakan. Eustres dapat meningkatkan kesiagaan mental,

14

kewaspadaan, kognisi, performansi individu, serta dapat meningkatkan

motivasi individu untuk menciptakan sesuatu.

b. Distres

Selye (dalam Nasution, 2007) distres atau stres negatif adalah stres yang

bersifat merusak atau tidak menyenangkan. Distres terjadi saat tuntutan

yang dihadapi individu dirasa lebih berat dari kemampuan yang dimiliki

sehingga muncul penilaian “saya tidak bisa mengatasinya”. Hal ini

membuat individu merasakan cemas, gelisah, ketakutan, atau

kekhawatiran. Individu yang merasakan keadaan psikologis yang

negatif atau menyakitkan akan berusaha untuk menghindari keadaan

tersebut. Trisnolerah (2016) banyak cara yang dapat digunakan untuk

menghilangkan stres, salah satunya yakni merokok yang banyak

digunakan remaja untuk bebas dari stres. Merokok diasumsikan remaja

sebagai cara yang ampuh untuk keluar dari rasa stres yang dihadapi. Hasil

penelitian Komalasari dan Helmi (2000) menunjukkan bahwa perilaku

merokok erat kaitannya dengan kondisi emosi. Kondisi yang paling

banyak menyebabkan perilaku merokok yaitu ketika seorang remaja

berada dalam tekanan (stres).

Berdasarkan pemaparan penggolongan stres di atas, dapat

disimpulkan bahwa stres dapat menjadi baik ketika kemampuan yang

dimiliki individu dirasa mampu untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang

ada, namun stres menjadi berdampak buruk ketika tuntutan-tuntutan yang

ada dirasa lebih berat dari kemampuan yang dimiliki sehingga muncul

penilaian pada individu bahwa individu tidak mampu mengatasi tuntutan

15

yang ada. Ketika stres negatif muncul, maka hal ini cenderung memicu

munculnya perilaku merokok pada remaja.

3. Aspek-aspek Stres

Sarafino dan Smith (2014) membagi aspek-aspek stres menjadi dua, yaitu:

a. Aspek Biologis

Aspek biologis dari stres yaitu berupa gejala fisik seperti detak jantung

dan pernapasan meningkat dan tidak teratur, badan bergetar, gugup,

cemas, gelisah, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan pencernaan,

gangguan makan, dan produksi keringat yang berlebihan.

b. Aspek Psikososial

Aspek psikososial stres yaitu gejala psikis dan tingkah laku, antara lain:

i. Gejala Kognisi (Pikiran)

Kondisi stres dapat mengganggu proses pikir individu. Individu

yang mengalami stres cenderung mengalami gangguan daya

ingat, perhatian, dan konsentrasi.

ii. Gejala Emosi

Kondisi stres dapat mengganggu kestabilan emosi individu.

Individu yang mengalami stres akan menunjukkan gejala mudah

marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu,

merasa sedih, dan depresi.

iii. Gejala Tingkah Laku

Kondisi stres dapat mempengaruhi tingkah laku sehari-hari yang

cenderung negatif sehingga menimbulkan masalah dalam

16

hubungan interpersonal. Gejala tingkah laku yang muncul adalah

sulit bekerja sama, kurang peduli, mudah memusuhi, mudah

tersinggung, mudah curiga terhadap orang lain.

Rahman (2009) membagi gejala-gejala stres menjadi empat bagian

sebagai berikut:

a. Gejala fisik adalah gejala stres yang berkaitan dengan kondisi dan fungsi

tubuh, seperti sakit kepala, sulit tidur, kelelahan.

b. Gejala emosional, berkaitan dengan keadaan psikis atau mental,

misalnya; gelisah, cemas, sedih, merasa suasana hati berubah-ubah,

gugup, dan mudah tersinggung.

c. Gejala intelektual, berkaitan dengan pola pikir seseorang atau fungsi

intelek, misal; susah berkonsentrasi atau kurang fokus, sulit mengambil

keputusan, mudah lupa, pikiran kacau, dan daya ingat menurun.

d. Gejala interpersonal adalah gejala stres yang mempengaruhi hubungan

individu dengan orang lain di dalam maupun di luar rumah, misal;

kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah menyalahkan orang

lain, atau menyerang orang dengan kata-kata.

Dari pemaparan aspek-aspek stres menurut tokoh Sarafino & Smith

(2014) di atas, dapat disimpulkan bahwa stres dapat dilihat apabila individu

memenuhi aspek biologis dan psikosial yang mencakup gejala kognisi,

emosi, dan perilaku. Tokoh lain, Rahman (2009) menyampaikan bahwa

stres dapat dilihat melalui gejala fisik, emosional, intelektual, dan

interpersonal. Berdasarkan pemaparan aspek-aspek stres menurut Sarafino

17

& Smith dan Rahman, peneliti memilih menggunakan aspek menurut

Sarafino & Smith (2014) sebagai alat ukur dalam mengetahui stres yang

terjadi pada individu karena aspek tersebut sudah sering digunakan sebagai

patokan alat ukur dalam penelitian terdahulu serta memiliki penjelasan yang

lebih lengkap sehingga memudahkan peneliti dalam menyusun skala

psikologis.

C. Hubungan antara Stres dengan Perilaku Merokok pada Remaja

Pada masa remaja, individu mengalami berbagai hal baru seperti perubahan

fisik, tekanan dari sekolah terkait ujian dan nilai, berselisih paham dengan teman,

hingga masalah finansial yang dapat menyebabkan stres pada remaja. Booker, dkk

(2004) menemukan bahwa remaja yang tingkat stresnya tinggi lebih mungkin

memiliki tingkat merokok yang tinggi dibandingkan remaja yang tingkat stresnya

rendah. Hasil temuan Komalasari dan Helmi (2000) juga menunjukkan bahwa

kondisi yang paling banyak ditemui perilaku merokok yaitu ketika remaja dalam

tekanan (stres). Merokok dipandang sebagai cara terbaik yang dapat dilakukan

remaja untuk keluar dari stres yang dihadapi.

Stres dapat dilihat melalui aspek biologis dan aspek psikososial (gejala

kognisi, emosi, tingkah laku). Aspek biologis berkaitan dengan perubahan pada

kondisi fisik dan metabolisme tubuh. Individu yang mengalami stres akan

memunculkan detak jantung dan pernapasan meningkat dan tidak teratur, gugup,

cemas, gelisah, sakit kepala, dan gangguan tidur (Sarafino dan Smith, 2014). Saat

stres, hormon kortisol dalam tubuh meningkat yang mempengaruhi tekanan darah

18

individu dan membuat individu menjadi mudah marah dan cemas. Peningkatan

hormon kortisol ini menuntut tubuh untuk menyediakan hormon penyeimbang yang

akan memunculkan perasaan tenang yaitu hormon serotonin, dopamin, dan

noradrenalin (Arora, 2008). Nikotin dalam rokok membantu pelepasan hormon

serotonin, dopamin, dan noradrenalin pada otak, sehingga individu yang sudah

pernah merokok dan merasakan adanya perasaan senang dan rileks pascamerokok,

akan cenderung mengulangi perilaku merokoknya ketika individu stres. Proses ini

dapat dijelaskan melalui kandungan nikotin dan efeknya terhadap metabolisme

tubuh.

Kondisi tubuh manusia, yaitu toleransi jaringan tubuh, dan adaptasi

metabolisme sel menyebabkan individu yang pada awalnya hanya mencoba-coba

rokok menjadi kecanduan. Rokok mengandung bahan kimia yang menyebabkan

keinginan untuk terus melakukan dan bahkan semakin lama meminta dosis atau

takaran yang lebih banyak. Kandungan yang menyebabkan efek kecanduan tersebut

adalah nikotin (Prawitasari, 2012). Kandungan nikotin dalam rokok sebelum

dibakar adalah 8-20 mg. Setelah dibakar, jumlah nikotin yang masuk ke sirkulasi

darah hanya 25% dan akan sampai ke otak dalam waktu 15 detik. Dalam otak,

nikotin diterima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian membaginya ke

jalur imbalan dan jalur adrenergik. Pada jalur imbalan di area mesolimbik otak,

nikotin akan memberikan sensasi nikmat sekaligus mengaktivasi sistem

dopaminergik yang akan merangsang keluarnya dopamin, sehingga perokok akan

merasa tenang, daya pikir meningkat, dan menekan rasa lapar. Sedangkan dijalur

andrenergik dibagian lokus seruleus otak, nikotin akan mengaktivasi sistem

19

adrenergik yang akan melepas serotonin sehingga menimbulkan rasa senang dan

memicu keinginan untuk merokok lagi. Ketika individu berhenti merokok maka

terjadi putus zat nikotin, sehingga rasa nikmat yang biasa diperoleh akan berkurang

yang menimbulkan keinginan untuk kembali merokok. Semakin lama zat kimia

rokok berada dalam tubuh, maka semakin sulit seseorang mengontrol perilakunya.

Proses menimbulkan adiksi nikotin membuat perokok semakin sulit untuk berhenti

merokok (Gayatri, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi biologis individu

dapat mempengaruhi intensitas merokok yang merupakan aspek perilaku merokok.

Nikotin akan mengaktifkan area otak yang terlibat dalam menghasilkan

perasaan senang dan kepuasan yakni dopamin dan endorfin. Dopamin adalah zat

kimia yang memunculkan perasaan senang, menenangkan saraf dalam tubuh, serta

membantu tubuh untuk rileks (Patience, 2006). Efek positif (menghilangkan stres

setelah merokok) yang dirasakan individu karena pelepasan dopamin dan endorfin

dalam tubuh perokok ini membuat individu akan merokok kembali saat stres.

Perilaku ini merujuk pada teori Skinner (dalam Walgito, 2010) mengenai

kondisioning operan yang menyatakan bahwa individu akan cenderung mengulangi

perilaku/perbuatan yang memberikan kepuasan dan akan meningkatkan kecepatan

perilaku untuk memperoleh reward. Dalam penelitian ini, perilaku yang dimaksud

adalah merokok sementara reward adalah efek yang didapat dari merokok. Hal ini

menunjukkan bahwa kondisi biologis individu akan mempengaruhi fungsi merokok

yang merupakan aspek perilaku merokok.

Aspek psikososial terbagi menjadi gejala psikis (kognisi dan emosi) dan

tingkah laku. Gejala psikis berkaitan dengan perasaan sedih, marah, tidak bahagia,

20

dan bosan (Sarafino & Smith, 2014). Ketika individu merasa penat dan bosan

terhadap rutinitas maupun tugas-tugas di lingkungannya, maka individu akan

merokok di toilet (Wulandari, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa aspek psikologis

akan mempengaruhi tempat merokok yang merupakan aspek dari perilaku

merokok.

Hasil penelitian Komalasari dan Helmi (2000) menunjukkan perilaku

merokok paling banyak ditemui ketika individu berada dalam tekanan (stres) yakni

sebesar 40,80%. Ketika individu stres akan meningkatkan intensitas merokok dan

sebaliknya ketika individu dalam stres ringan maka intensitas merokok cenderung

menurun. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi psikis dapat mempengaruhi

intensitas merokok yang merupakan aspek dari perilaku merokok.

Pada saat stres, individu cenderung memunculkan perilaku acuh, gelisah,

memusuhi, dan kurang peduli pada sesama (Cohen & Spacapan dalam Sarafino &

Smith, 2014). Ketika individu merasa gelisah (yang disebabkan oleh keadaan pada

saat itu), individu akan merokok untuk menenangkan diri sehingga rasa gelisah

berkurang (Cahyadi dkk, 2018). Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku individu

dapat mempengaruhi waktu merokok yang merupakan aspek perilaku merokok.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek stres berupa aspek

biologis dan aspek psikososial (gejala kognisi, emosi, dan tingkah laku) dapat

mempengaruhi aspek perilaku merokok yaitu fungsi merokok, intensitas merokok,

waktu merokok, dan tempat merokok. Semakin tinggi tingkat stres pada remaja

maka cenderung semakin tinggi perilaku merokok pada remaja (Booker dalam

Rohman, 2009).

21

D. Hipotesis

Ada hubungan positif antara stres dengan perilaku merokok pada remaja.

Jika stres tinggi, maka kecenderungan individu untuk merokok akan naik yang

ditandai dengan bertambahnya intensitas merokok, begitu pula sebaliknya, jika

stres rendah, maka kecenderungan individu untuk merokok akan rendah yang

ditandai dengan berkurang atau bertahannya intensitas merokok.