Upload
trankhue
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Strategi Coping
1. Pengertian
Strategi Coping merupakakan upaya mengelola keadaan dan mendorong
usaha untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan seseorang, dan mencari cara
untuk menguasai dan mengatasi stress (King, 2010). Menurut Lazarus & Folkman
(dalam Sarafino, 1990) coping adalah suatu proses dimana individu mencoba
untuk mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan
dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Taylor
(2006) coping didefenisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk
mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan
Adapun Aldwin dan Revenson (Kertamuda, 2009) menguraikan bahwa
strategi coping merupakan suatu cara atau metode yang dilakukan tiap individu
untuk mengatasi dan mengendalikan situasi atau masalah yang dialami dan
dipandang sebagai hambatan, tantangan yang bersifat menyakitkan, serta
ancaman yang bersifat merugikan. Walten dan Lloyd (dalam Yusuf, 2004)
mengemukakan bahwa strategi coping adalah upaya-upaya yang dilakukan
individu untuk mengatasi, mengurangi dan mentoleransi beban perasaan yang
tercipta karena stress.
13
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka strategi coping adalah segala
usaha individu untuk mengatur tuntutan lingkungan dan konflik yang muncul,
mengurangi ketidaksesuaian/kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang
menekan dengan kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan tersebut.
2. Fungsi & Bentuk Coping
Folkman & Lazarus (dalam Sarafino, 1990) secara umum membedakan
fungsi strategi coping dalam dua klasifikasi, yaitu; Problem Focused Coping dan
Emotional Focused Coping
a. Problem-Focused Coping (PFC)
Problem Focused coping merupakan bentuk coping yang lebih diarahkan
kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan,
artinya coping yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan
mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru.
Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa
tuntutan dari situasi dapat diubah.
Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bentuk strategi coping dari
Problem Focused Coping, yaitu:
1) Confrontive Coping, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang
dianggap menekan dengan cara agresif, tingkat kemarahan yang cukup
tinggi, dan pengambilan resiko,
2) Seeking Sosial Support, yaitu usaha untuk membuat kenyamanan
emosional dan bantuan informasi dari orang lain
14
3) Planfull Problem Solving, individu berusaha menganalisa situasi untuk
memperoleh solusi, kemudianmengambil tindakan langsung untuk
menyelesaikan masalah.
Carver (dalam Hanoem, 2014) menyatakan bahwa problem focused
coping meliputi beberapa bentuk yaitu:
1) Perilaku aktif (active coping), perilaku individu untuk mengatasi
masalah dengan melakukan suatu kegiatan yang aktif, yang
bertujuan memindahkan atau menghilangkan sumber stres serta
mengurangi akibatnya.
2) Perencanaan (planning), individu melakukan strategi perencanaan
guna menelesaikan masalah.
3) Penekanan kegiatan lain, membatasi aktivitas diri yang tidak
berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi.
4) Penundaan perilaku (restraint coping), individu berlatih untuk
mengontrol atau mengendalikan tindakan yang bersifat langsung
sampai menemu kan saat yang tepat untuk mengatasi masalah.
5) Mencari dukungan sosial, berupa bantuan, usaha individu mencari
informasi dengan bertanya pada orang lain yang memiliki
pengalaman serupa dan mendiskusikan masalah dengan seorang
ahli yang berkompeten terhadap persoalan yang dihadapi.
15
b. Emotion Focused Coping (EFC)
Emotional Focused Coping merupakan bentuk coping yang diarahkan
untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan.
Individu dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavioral
dan kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah penggunaan alkohol,
narkoba, mencari dukungan emosional dari teman–teman dan mengikuti
berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat
mengalihkan perhatian individu dari masalahnya.Sementara pendekatan
kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang
menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan redefine terhadap
situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain
yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik di luar
dari masalah. Individu cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika
mereka percaya mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah
kondisi yang menekan.
Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bentuk strategi coping dari
Emotion Focused Coping, yaitu
1) Self-Control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi
situasi yang menekan
2) Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam suatu permasalahan,
seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa
16
atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti
menganggap masalah sebagai lelucon
3) Positif Reappraisal, usaha mencari makna positif dari
permasalahan dengan fokus pada pengembangan diri, biasanya
juga melibatkan hal-hal yang bersifat religious
4) Accepting Responsibility, usaha untuk menyadari tanggung jawab
dari diri sendiri dalam permaalahan yang dihadapinya, dan
mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih
baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran
dan tindakannya sendiri, namun strategi ini menjadi tidak baik bila
individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah
tersebut.
5) Escape/Avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan
lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada
hal lain, seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-
obatan.
Carver (dalam Hanoem, 2014) menjabarkan strategi coping bentuk emotion
focused coping antara lain:
1) Mencari dukungan emosional, individu berbagi perasaan dengan
seseorang yang berarti baginya (keluarga, teman) melalui dukungan
moral, simpati atau pengertian.
17
2) Mencari makna positif, Individu berusaha mencari hikmah atau
makna positif dari setiap kejadian yang dialaminya.
3) Pengingkaran, individu menolak kenyataan sedang mengalami
masalah dan berpura-pura sedang tidak terjadi masalah apapun.
4) Penerimaan (acceptance), individu belajar menerima keadaan dan
pasrah atas apa yang menimpanya.
5) Kembali ke agama (turning to region). Individu memilih untuk
menenangkan batin spiritualnya dengan kembali menekuni agamanya
dan memohon pertolongan dari Tuhan atau sikap individu
menenangkan dan menyelesaikan masalah secara agama.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa strategi coping
terbagi menjadi dua bentuk yaitu: problem focused copingdan Emotional Focused
Coping, kedua bentuk tersebut yang nantinya akan membentuk delapan strategi
coping yang dikemukakan oleh Folkman (dalam Smet, 1994) problem focused
coping meliputi: convrontive coping, seeking sosial support, dan planfull problem
solving, Emotional Focused Coping meliputi: self-control, distancing, positive
reappraisal, accepting responsibility, dan escape/avoidance.
3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping
Taylor (2006) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi
individu dalam melakukan strategi coping. Kedua faktor tersebut terbagi ke dalam
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari
18
dalam diri individu, seperti faktor kepribadian dan metode coping yang
digunakan. Taylor (2006) mengemukakan bahwa kepribadian mempengaruhi
reaksi seseorang terhadap stress dan strategi coping yang digunakan, dan strategi
coping yang digunakan. Seperti kepribadian optimistic yang dapat disosiasikan
dengan kecenderungan penggunaan problem focused coping. seorang yang
optimis akan lebih berantusias untuk mencari pemecahan masalah, karena mereka
yankin bahwa semua masalah pasti ada jalan keluar asalkan mau berpikir dan
berusaha untuk mencoba, bukan malah pasrah karena semua yang terjadi dalam
hidup seorang memang sudah nasib.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri
individu, seperti: waktu, uang, pendidikan, kualitashidup, dukungan keluarga, dan
sosial serta tidak adanya stresor lain. Taylor (2006) strategi coping akan lebih
efektif menghadapi konflik apapun bila mendapat dukungan dari saudara, orang
tua, teman, tenaga professional yang tentu akan lebih mempermudah individu
tersebut melakukan coping yang tepat dalam menghadapi dan memecahkan
masalah.
Menurut Lazaruz dan Folkman (dalam Nasekah, 2013) cara individu
menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya
individu yang meliputi:
a. Kesehatan fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha
mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup
19
besar. Kesehatan mempengaruhi berbagai macam bentuk strategi coping pada
individu, apabila individu dalam keadaan rapuh, sakit, ataupun ataupun lelah
maka tidak mampu melakukan coping dengan baik, sehingga kesehatan fisik
menjadi factor penting dalam melakukan strategi coping pada individu.
b. Keterampilan memecahkan masalah
Kemampuan pemecahan masalah pada individu meliputi kemampuan mencari
informasi, menganalisis situasi yang bertujuan mengidentifikasi masalah
untuk menghasilkan alternatif yang akan digunakan pada individu,
mempertimbangkan alternatif yang akan digunakan, mempertimbangkan
alternatif dengan baik agar dapat mengantisipasi kemungkinan yang terburuk,
memilih dan menerapkan sesuai dengan tujuan pada masing-masing individu,
hal ini merupakan factor yang mempengaruhi strategi coping.
c. Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti
keyakinan akan nasib (eksternallocus of control) yang mengarahkan individu
pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan
kemampuan strategi coping tipe problem-solving focused coping.
d. Keterampilan sosial
Keterampilan sosial merupakan faktor yang penting dalam strategi coping
karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, sehingga individu
membutuhkan untuk bersosialisasi.Keterampilan sosial merupakan cara
untuk menyelesaikan masalah dengan orang lain, juga dengan keterampilan
20
sosial yang baik memungkinkan individu tersebut menjalin hubungan yang
baik dan kerjasama dengan individu lainya, dan secara
umummemberikan kontrol perilaku kepada individu atas interaksi sosialnya
dengan individu lain. Ketrampilan ini meliputi kemampuan untuk
berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan
nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.
e. Dukungan sosial Setiap
individu memiliki teman yang dekat secara emosianal, pengetahuan,
dukungan perhatian yang merupakan factor yang mempengaruhi strategi
coping pada individu dalam mengatasi stress, terapi perilaku, epidemologi
sosial. Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh orangtua, anggota keluarga
lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
f. Sumber Material
Sumber material salah satunya adalah keuangan, keadaan keuangan yang baik
dapat menjadi sumber strategi coping pada individu.Secara umum masalah
keuangan dapat memicu stres individu yang mengakibatkan meningkatnya
pilihan dalam strategi coping untuk bertindak.Salah satu manfaat material
bagi individu mempermudah individu dalam kepentingan hukum, medis,
keuangan dan lain-lain. Hal ini menyebabkan individu yang memiliki materi
dapat mengurangi resiko stress serta memungkinkan coping yang dilakukan
lebih adaptif.
21
Dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi strategi coping
menganut oleh pendapat Taylor (2006) yaitu faktor internal dalam hal ini tiepe
kepribadian dan juga gaya coping, factor ekstrenal yaitu materi, dukungan
sosial, serta stressor lainnya. Dalam hal ini peneliti menggunakan tipe
kepribadian yang digunakan sebagai variabel bebas karenak kepribadian akan
mempengaruhi reaksi seseorang terhadap stress dan strategi coping yang
digunakan, dan strategi coping yang digunakan.
B. Tipe Kepribadian
1. Pengertian Tipe Kepribadian
Tipe (type) dalam psikologi diartikan sebagai segolongan individu yang
mempunyai ciri khas atau pola ciri khas pada umumnya (Sitanggang, 1994).
Sedangkan istilah “kepribadian” (personality) berasal dari kata latin “persona”
yang berarti topeng atau kedok, yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh
pemain-pemain panggungg, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku,
watak, atau pribadi seseorang. Bagi bangsa yunani, “persona” berarti bagaiman
seseorang tanpak pada orang lain. Jadi konsep awal dari pengertian personality
(pada masyarakat awam) adalah tingkah laku yang ditempatkan di lingkungan
sosial. Kesan yang mengenai diri yang diinginkan agar ditangkap oleh
lingkungan sosial (Alwisol, 2004).
Sulvivan (dalam Alwisol, 2004) mendefinisikan kepribadian sebagai pola
yang relatif menetap dari situasi-situasi antar pribadi yang berulang, yang
22
menjadi ciri kehidupan manusia. Hall & Lindzey (1993) memberikan pengertian
kepribadian merupakan istilah untuk menunjukkan hal-hal khusus tentang
individu dan yang membedakaannya dengan orang lain. Penjelasan Eysenck
(dalam Alwisol, 2004) tentang kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku
aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan dari keturunan
dan lingkungan. Pola tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui
fungsional dari empat sektor utama yang mengorganisir tingkah laku yaitu,
sektor kognitif (intelegence), sector konatif (characher), sektor afektif
(temperament), sektor somatic (constitusion).
Para ahli psikologi pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan kepribadian itu bukan hanya mengenai tingkah laku yang diamati saja
tetapi juga termasuk didalamnya apakah sebenarnya individu itu (Purwanto,
dalam Tommy, dkk 2005). Purwanto kemudian menambahkan bahwa
kepribadian itu bersifat dinamis, tidak statis atau tetap saja tanpa adanya suatu
perubahan. Hal tersebut menunjukkan tingkah laku yang terintegrasi dan
merupakan interaksi antara kesanggupan bawaan yang ada pada individu dengan
lingkungannya. Kepribadian juga bersifat psikofisik, yang berarti baik faktor
jasmaniah maupun rohaniah itu bersama-sama memegang peranan dalam
kepribadian (Tommy, dkk 2005).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa tipe kepribadian
merupakan segala golongan bentuk sifat dan tingkah laku yang khas yang dapat
membedakan seorang individu lainnya.
23
2. Tipe Kepribadian
Salah satu tokoh yang melakukan penggolongan terhadap kepribadian
adalah Carl Gustav Jung. Jung mengatakan bahwa jika seseorang lebih
mengarahkan ke dalam pengalaman obyektif, maka orang tersebut tergolong ke
dalam tipe kepribadian ekstrovert. Sebaliknya jika seseorang mempunyai tipe
kepribadian introvert, ia akan lebih mengarahkan pribadinya ke dalam
pengalaman subyektif (Alwisol, 2009).
Carl Gustav Jung dan Hans J.Eysenck membedakan kepribadian kedalam
dua tipe, yaitu introvert dan ekstravert, untuk menyatakan adanya berbedaan
dalam reaksi-reaksi terhadap lingkungan sosial dan dalam tingkah laku sosial.
Eysenck juga mengemukakan bahwa tipe kepribadian introvert dan ekstravert
mengambarkan keunikan individu dalam bertingkah laku terhadap suatu stimulus
sebagai perwujudan karakter, temperamen, fisik dan intelektual individu dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Wallace, dalam Tommy, dkk 2005).
Jung mengatakan bahwa jika seseorang lebih mengarahkan ke dalam
pengalaman obyektif, maka orang tersebut tergolong ke dalam tipe kepribadian
ekstrovert. Sebaliknya jika seseorang mempunyai tipe kepribadian introvert, ia
akan lebih mengarahkan pribadinya ke dalam pengalaman subyektif (Alwisol,
2009). Lebih lanjut Eysenck (dalam Alwisol, 2009) mengatakan bahwa tipe
kepribadian introvert dan tipe kepribadian ekstrovert merupakan dua kutub
dalam satu skala. Kebanyakan individu akan berada di tengah-tengah skala
24
tersebut (tidak bisa digolongkan). Tetapi sangat memungkinkan jika individu
cenderung introvert tetapi juga memiliki ciri ekstrovert atau sebaliknya.
Tiap individu tidak ada yang murni memiliki tipe kepribadian ekstrovert
atau murni memiliki kepribadian introvert. Namun demikian individu dapat
dikelompokkan kedalam salah satu tipe kepribadian tersebut (Jayanti dalam
Satalina, 2014). Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa kepribadian dapat digolongkan menjadi tipe kepribadian ektrovert dan
tipe kepribadian introvert.
3. Kepribadian Ekstrovert dan Introvert
Kepribadian extravert dan introvert merupakan salah satu kepribadian
yang didasarkan atas tipologisnya. Tipe kepribadian ini pertama kali
diperkenalkan oleh Carl Gustav Jung yang menganut aliran Psikoanalisis,
dengan teorinya tentang struktur kesadaran manusia (Suryabrata, 2013). Menurut
Jung struktur kasadaran manusia digolongkan menjadi dua yaitu a) fungsi jiwa
dan b) sikap jiwa. Fungsi jiwa yaitu suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara
teoritis tidak mengalami perubahan dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung
membedakan fungsi jiwa secara rasional yaitu pikiran dan perasaan, dan secara
irasional yaitu pendriaan dan intuisi. Sikap jiwa merupakan arah dari energi
psikis umum atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia
terhadap dunianya. Orientasi jiwa terhadap dunianya dapat mengarah ke luar
maupun ke dalam.Jung (dalam Suryabrata, 2013) mengungkapkan bahwa pada
dasarnya dalam diri individu terdapat dua kecenderungan tipe kepribadian yang
25
berlawanan arah, namun salah satu kecenderungan tampak dominan dan terdapat
pada kesadaran sebaliknya kecenderungan kepribadian yang inferior berada
dalam ketidaksadaran.Artinya, bila dimensi introvert lebih dominan maka
dimensi tersebut terdapat dalam kesadaran manusia, dimensi extravert sifatnya
inferior dan terletak dalam ketidaksadaran.
Menurut Eysenck (dalam Retnowati & Haryanthi, 2001) tipe kepribadian
extravert dan introvert merupakan suatu dimensi yang bergerak dari satu ujung
ke ujung lain pada suatu kontinum. Kecenderungan tipe Perbedaan dasar biologis
pada susunan syaraf yang mempengaruhi keadaan emosi manusia merupakan
salah satu faktor yang membedakan individu yang memiliki tipe kepribadian
extravert dan introvert (Eysenck dalam Retnowati & Haryanthi, 2001). Pusat
emosi atau Visceral Brain terdapat di otak. Individu yang memiliki tipe
kepribadian extravert, pusat emosinya sangat mudah digerakkan sehingga
emosinya cenderung tidak stabil. Kondisi tersebut menyebabkan individu
memiliki respon emosional yang sangat tinggi sehingga cenderung impulsif.
Sebaliknya individu yang memiliki tipe kepribadian introvert, pusat emosinya
sangat sulit digerakkan dan menyebabkan respon emosionalnya rendah sehingga
emosinya cenderung datar dan terkontrol.
Menurut Eysenck dan Wilson (dalam Retnowati & Haryanthi, 2001)
individu yang memiliki tipe kepribadian extravert tipikal adalah memiliki
sosiabilitas yang tinggi yang ditandai dengan mempunyai banyak teman, suka
bergaul, ramah, responsive terhadap lingkungan, membutuhkan orang lain untuk
26
diajak berkomunikasi, dan tidak menyukai aktivitas sendiri. Individu
membutuhkan perangsangan, berani mengambil resiko dan suka melakukan
tindakan berbahaya secara tiba-tiba, impulsif, suka menuruti dorongan kata hati,
mudah berubah, mudah terpengaruh, optimis. Individu aktif bergerak
mengerjakan sesuatu, cenderung agresif, suasana hatinya berubah dengan cepat,
kurang bertanggung jawab dan secara keseluruhan perasaannya tidak berada di
bawah kontrol yang ketat. Individu yang memiliki tipe kepribadian introvert
memiliki sosibilitas yang rendah yang ditandai dengan kurang pandai bergaul,
suka menyendiri, dan menjaga jarak dari orang lain. Individu kurang percaya
pada impuls yang seketika, tidak menyukai perangsangan, perasaannya berada di
bawah kontrol yang ketat, emosinya datar, dapat dipercaya.
Berdasarkan tinjauan teoritis tersebut, maka disimpulkan batasan tipe
kepribadian Eysenck adalah (a) Individu yang memiliki tipe kepribadian
introvert memiliki suatu pandangan yang lebih subyektif, sedangkan individu
yang memiliki tipe kepribadian extravert lebih obyektif, (b) Individu yang
memiliki tipe kepribadian introvert memiliki tingkat aktivitas cerebral yang lebih
tinggi, sedangkan individu yang memiliki tipe kepribadian extravert memiliki
aktivitas behavioral yang lebih tinggi, dan (c) Individu yang memiliki tipe
kepribadian introvert menunjukkan kecenderungan kontrol diri yang ketat,
sedangkan individu yang memiliki tipe kepribadian extravert cenderung
impulsif.
27
4. Faktor-Faktor Dasar Kepribadian Extravert dan Introvert
Eysenck dan Wilson (dalam Retnowati & Haryanthi, 2001)
mengklasifikasikan ciri-ciri tingkah laku yang operasional pada tipe kepribadian
extravert dan introvert, menurut faktor-faktor kepribadian yang mendasarinya
yaitu:.
a. Activity: Pada aspek ini diukur bagamana subyek dalam melakukan
aktivitasnya, apakah energik dan gesit atau sebaliknya lamban dan tidak
bergairah. Bagaimana subyek menikmati setiap pekerjaan yang dilakukan, apa
jenis pekerjaan atau aktivitas yang disukainya.
b. Sociability: Aspek sosiabilitas mengukur bagaimana individu melakukan
kontak sosial. Apakah interaksi sosial individu ditandai dengan banyak teman,
suka bergaul, menyukai kegiatan sosial, mudah beradaptasi dengan
lingkungan baru, perasaan senang dengan situasi ramah tamah. Apakah
sebaliknya individu kurang dalam kontak sosial, perasaan minder dalam
pergaulan, menyukai aktivitas sendiri.
c. Risk Taking: Aspek ini mengukur apakah individu berani mengambil resiko
atas tindakannya dan menyukai tantangan dalam aktivitasnya
d. Impulsiveness: Membedakan kecenderungan extravert dan introvert
berdasarkan cara individu mengambil tindakan. Apakah cenderung impulsif,
tanpa memikirkan secara matang keuntungan maupun kerugiannya atau
sebaliknya mengambil keputusan dengan mempertimbangkan
konsekuensinya.
28
e. Expressiveness: Aspek ini mengukur bagaimana individu mengekspresikan
emosinya baik emosi marah, sedih, senang maupun takut. Apakah cenderung
sentimental, penuh perasaan, mudah berubah pendirian dan demontratif. Atau
sebaliknya mampu mengontrol pikiran dan emosinya, dingin, tenang.
f. Reflectiveness: Aspek ini mengukur bagaimana ketertarikan individu pada
ide, abstrak, pertanyaan filosofis. Apakah individu cenderung suka berpikir
teoritis dari pada bertindak, introspektif.
g. Responsibility: Aspek ini membedakan individu berdasarkan tanggung
jawabnya terhadap tindakan maupun pekerjaannya.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tujuh faktor
yang mempengaruhi tipe kepribadian extravert dan introvert, yaitu
activity,sociability, risk taking, impulsiveness, expressiveness, reflectiveness, dan
responsibility.
C. Strategi Coping Ditinjau Dari Tipe kepribdian Pada Mahasiswa
Masa transisi yang dialami oleh mahasiswa melibatkan pergerakan ke arah
struktur yang lebih besar dan impersonal, interaksi dengan teman dari latar
belakang geografis dan etnis yang lebih beragam, dan meningkatkan fokus
terhadap pencapaian beserta asesmennya (Santrock, 2002). Dalam masa
peralihan ini mahasiswa lebih rentan terhadap stress, hal ini sesuai dengan
pendapat Prayor, et, al (dalam Santrock, 2002) yang menyebutkan bahwa
mahasiswa masa kini mengalami stress yang lebih besar dan merasa lebih
29
depresi dari masa sebelumnya. Penyebab stress yang disebut sebagai stressor
bagi mahasiswa bisa bersumber dari kehidupan akademiknya, terutama dari
tuntutan eksternal dan tuntutan dari harapannya sendiri (Safaria, 2006).
Cara untuk menanggulangi atau mengatasi situasi yang membuat
mahasiswa tertekan ataupun stressor yang dihadapi, mahasiswa dibutuhkan
untuk memiliki cara yang disebut dengan strategi coping. Folkman dan
Lazarus (dalam Sarafino, 1990) menggolongkan dua strategi coping yang
digunakan individu, yaitu problem focused coping dan emotional focused
coping. Strategi coping yang digunakan mahasiswa tidak sama antara satu
dengan yang lainnya, Smet dalam (Musranidur, 2006) mengatakan bahwa
strategi coping dipengaruhi oleh tipe kepribadian seseorang. Pada
kenyataannya coping berhubungan dengan kepribadian, yaitu ada perbedaaan
perilaku coig pada individu ekstrovert dan introvert (Gallaghar, dalam Posella,
2006).
Individu ekstrovert memiliki sosiabilitas yang tinggi, membutuhkan orang
lain, tidak menyukai aktivitas sendiri, ketika menyelesaikan suatu masalah
individu ekstrovert perlu membicarakan masalah tersebut dengan orang lain
(Kaufman, 1994). Sementara itu menurut Taylor (dalam Smet, 1994) salah
satu bentuk strategi coping adalah seeking social support yang berarti usaha
untuk membuat kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
Berdasrkan pendapat Kaufman (1994) dan Taylor (dalam Smet, 1994) maka
individu ekstrovert memungkinkan menggunakan seeking social support.
30
Selain itu individu ekstrovert suka melakukan tindakan bahaya secara tiba-
tiba, berani mengambil resiko, impulsive, cenderung agresif (Eysenk &
Wilson, dalam Retnowati & Haryati 2001). Taylor (dalam Smet, 1994)
menjelaskan bentuk strategi coping lainnya adalah confrontive coping yang
berarti usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara
agresif, tingkat kemarahan yang tinggi, dan pengambilan resiko. Menurut
pendapat Eysenk dan Wilson (dalam Retnowati & Haryati 2001) serta Taylor
(dalam Smet, 1994) maka individu ekstrovert juga memungkinkan
menggunakan confrontive coping.
Kedua bentuk coping tersebut (seeking social support dan confrontive
coping) menurut Taylor (dalam Smet, 1994) termasuk bentuk coping dari
problem focused coping. berdasarkan hal tersebut maka individu ekstrovert
kemungkinan akan cenderung menggunakan problem focused coping dalam
menghadapi permasalahan. Asumsi ini didukung oleh penelitian Purba (2016)
yang menghasilkan bahwa semakin cenderung individu memiliki kepribadian
ekstrovert maka ketika menghadapi suatu masalah individu tersebut akan
cenderung menggunakan problem focus coping. Putra dan Aryani (2015) juga
memaparkan ketika individu ekstrovert memiliki masalah dan membutuhkan
banyak teman untuk diajak komunikasi, mudah bergaul dan rama, maka
individu ekstrovert dalam menghadapi masalah akan lebih fokus ke problem
focus coping untuk menyelesaikannya.
31
Sebaliknya individu introvert menurut Feist & Feist (2010) cenderung
pendiam, pasif, tidak mudah bergaul, teliti, pesimis, tenang dan terkontrol.
Individu introvert tidak meras perlu mengungkapkan permasalahan yang
dialami dan cenderung memendamnya serta lebih memilih menghindari
permasalahan (Kaufman, 1994). Taylor (dalam Smet, 1994) menyebutkan
salah satu bentuk coping adalah avoidance coping yang berarti usaha
mengatasi situasi menekan atau menghindari. Menerut pendapat Kaufman
(1994) dan Taylor (dalam Smet, 1994) maka memungkinkan untuk individu
introvert menggunakan avoidan coping dalam mengatasi situasi yang
menekan. Nata dan Denny (2008) menguraikan bahwa individu introvert
cenderung berfikir panjang, mempertimbangkan tindakan yang akan
dilakukan, dan bisanya hanya memendam masalah yang sedang dialami.
Taylor (dalam Smet, 1994) menyebutkan bentuk lain dari coping adalah self
control yaitu usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang
menekan. Berdasarkan pendapat Nata dan Deni (2008) serta Taylor (dalam
Smet, 1994) maka individu introvert memungkinkan menggunakan self
control dalam menghadaoi situasi yang menekan.
Kedua bentuk coping tersebut, yaitu avoidance coping dan self control
menurut Taylor (dalam Smet, 1994) merupakan bentuk dari emotional focused
coping. berdasarkan paparan tersebut maka kemungkinan individu introvert
dalam menghadapi permasalahannya cenderung menggunakan emosional
focused coping. Asumsi tersebut didukung oleh Parkes (dalam Purbasari &
32
Ranni, 2008) yang menyatakan bahwa individu introvert cenderung
menggunakan emotional focused coping untuk menyelesaikan permasalahan
yang dialminya.
Kepribadian dan cara individu melakukan coping merupakan dua faktor
penting dalam pengembangan tekanan psikologis, dalam penelitian Berkel
(2009) disebutkan bahwa individu dengan kepribadian introvert lebih sering
menghindar apabila mendapati suatu keadaan yang menekan, selalu dikaitkan
dengan coping avoidance/penyangkalan. Jenis coping ini memiliki resiko
lebih besar untuk mengalami tekanan psikologis, karena mereka akan
cenderung melakukan coping maladaptif. Sedangkan individu dengan
kepribadian ekstrover lebih cenderung imajinatif, kreatif, ingin tahu, fleksibel,
cenderung pada kegiatan dan ide-ide baru, sehingga individu dengan
kepribadian ekstrovert memiliki strategi coping yang memerlukan pandangan
baru, restrukturisasi kognitif dan memecahkan masalah. Karena karakter ini
menunjukkan optimisme yang akan selalu berpikir positif.
Berdasarkan paparan diatas, kepribadian seseorang dapat mempengaruhi
pemilihan bentuk strategi coping untuk meringankan bebannya. Kepribadian
introvert lebih cenderung menggunakan Emotional Focused Coping dan
kepribadian ekstrovert lebih cenderung menggunakan Problem Focused
Coping.
33
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah ada perbedaan strategi coping (problem focused coping dan
emotional focused coping) ditinjau dari tipe kepribadian (ekstrovert dan introvert)
pada mahasiswa.