Upload
duongdiep
View
236
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Terapi Intravena
1. Standar prosedur operasional (SPO) pemasangan infus
a. Pengertian SPO
Suatu standar atau pedoman tertulis yang di pergunakan untuk
mendorong dan menggerakan suatu kelompok untuk mencapai tujuan
organisasi. Standar prosedur operasional merupakan tatacara atau tahapan
yang di bakukan dan yang harus di lalui untuk menyelesaikan suatu proses
kerja tertentu (perry and potter, 2005)
SPO pemasangan infus langkah-langkah prosedur untuk
memasukan cairan secara parenteral dengan menggunakan intravenous
kateter melalui intravena.
b. Tujuan SPO
1) Petugas atau pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas
atau pegawai atau tim dalam organisasi atau unit kerja.
2) Mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam
organisasi
3) Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas
atau pegai terkait
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
9
4) Melindungi organisasi atau unit kerja dan pegawai atau petugas dari
malpraktik atau kesalahan administrasi lainya.
5) Untuk menghindari kegagalan atau kesalahan, keraguan, duplikasi, dan
inefisiensi.
c. Fungsi SPO
1) Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja
2) Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan
3) Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatanya dan mudah dilacak
4) Mengarahkan petugas atau pegawai untuk sama-sama disiplin dalam
bekerja
d. Kapan SPO diperlukan
1) SPO harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan
2) SPO digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah
dilakukan dengan baik atau tidak
3) Uji SPO sebelum dijalankan, lakukan revisi jika ada langkah kerja yang
dapat mempengaruhi lingkungan kerja.
e. Keuntungan adanya SPO
1) SPO yang baik akan menjadi pedoman bagi pelaksana, menjadi alat
komunikasi, pengawasan, dan menjadikan pekerjaan diselesaikan
secara konsisten
2) Para pegawai akan lebih percaya diri daam bekerja dan tahu apa yang
harus di capai dalam setiap pekerjaan
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
10
3) SPO juga di pergunakan sebagai salah satu alat training dan bisa
dipergunakan untuk mengukur kinerja pegawai.
2. Pengertian pemasangan terapi intravena
Menurut Edward (2011) pemasangan terapi intravena merupakan
tindakan memasukan jarum (abocath) melalui transkutan yang kemudian
disambungkan dengan selang infus. Terapi cairan intravena merupakan terapi
pemberian cairan untuk penggantian cairan, pemberian obat, dan penyedianaan
nutrien jika tidak ada pemberian dengan cara lain (Smeltzer & Bare, 2001).
Terapi intravena adalah terapi yang bertujuan untuk mensuplai cairan
melalui vena ketika pasien tidak mampu mendapatkan makanan, cairan
elektrolit lewat mulut, untuk menyediakan kebutuhan garam untuk menjaga
kebutuhan cairan, untuk menyediakan kebutuhan gula(glukose/dekstrosa)
sebagai bahan bakar untuk metabolisme, dan untuk menyediakan beberapa
jenis vitamin yang mudah larut melalui intravena serta untuk memberikan
medium untuk pemberian obat secara intravena.(Aryani, et. Al. 2009).
3. Tujuan
Umumnya cairan intravena di berikan untuk mencapai satu atau lebih
tujuan berikut ini:
a. Mempertahankan dan memngganti cairan tubuh yang mengandung
air,elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat di
pertahankan melalui oral
b. Mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
11
c. Memperbaiki keseimbangan asam basa
d. Memberikan transfusi darah
e. Menyediakan medium untuk pemberian obat melalui intravena
4. Jenis-jenis Larutan Intravena
Larutan elektrolit dianggap isotonik jika elektrolit totalnya (anonim
ditambah katinon) kira-kira 310 mEq/L. Larutan di anggap hipotonik jika
kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250 mEq/L. Larutan di anggap
hipertonik jika kandungan elektrolit totalnya kurang dari 375 mEq/L. Perawat
juga harus mempertimbangkan osmolalitas suatu larutan, bahwa osmolalitas
plasma adalah kira-kira 300 mOsm/L.
a. Cairan isotonis: Cairan yang di klasifikasikan isotonik mempunyai
osmolalitas total yang mendekati cairan ekstraseluler dan tidak
menyebabkan seldarah merah mengkerut atau membengkak. Contohnya:
1) Saline normal (0,9% natrium klorida)
2) Ringer laktat
3) Komponen-komponen darah (albumin 5%, plasma)
4) Dextrose 5% dalam air (D5W)
b. Cairan hipotonik: Tujuanya adalah untuk mengganti cairan seluler, karena
larutan ini bersifat hipotonis di bandingkan dengan plasma serta untuk
menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pada saat-saat
tertentu, larutan natrium hipotonik di gunakan untuk mengatasihi
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
12
pernatremia dan kondisi hiper osmolar yang lain. Contohnya:
1) Salin berkekuatan menengah (Nacl 0,45%)
2) Dextrose 2,5% dalam Nacl 0,45%
3) Nacl 0,2%
c. Cairan hipertonik: Larutan-larutan ini menarik air dari kompartemen intra
seluler dan menyebabkan sel-sel mengkerut jika diberikan dengan cepat dan
dalam jumlah besar, dapat menyebabkan kelebihan volum ekstraseluler dan
mencetuskan kelebihan cairan sirkulatori dan dehidrasi. Contohnya:
1) Dekstrosa 5% dalam Nacl 0,9%
2) Dextrose 5% dalam Nacl 0,45%
3) Dextrose 10% dalam air
4) Dextrose 20% dalam air
5) Nacl 3% dan 5%
6) Larutan hiperalimentasi
7) Dextrose 5% dalam ringer laktat
8) Albumin 25 (Maria & Karunia, 2012).
5. Pemilihan Ukuran kateter
Pemilihan ukuran kateter, sebaiknya dipilih sesuai dengan anatomi vena
pasien. Kateter terdiri dari ukuran 16-24 dengan variasi panjang dari 25 sampai
45 mm. Pada umumnya, pemilihan kateter dengan ukuran yang kecil
seharusnya menjadi pilihan utama pada terapi pemasangan intravena untuk
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
13
mencegah kerusakan pada vena intima dan memastikan darah mengalir
disekitar kateter dengan adekuat untuk menurunkan resiko kejadian flebitis
(Dougherty, 2008).
Gambar 2.1 Rekomendasi dalam pemelihan kateter (Infusion Nurse Society :
standard of practice, 2006)
6. Pemilihan Lokasi Insersi Kateter Intravena
Lokasi insersi kateter intravena adalah tempat pemasangan kateter
intravena berdasarkan anatomi ekstremitas yaitu vena perifer yang menjadi
tempat pemasangan infus yaitu: vena metacarpal, dan vena sefalilika. Secara
anatomis vena sefalika terdiri dari ukuran lumen dindingnya besar, elastisitas,
lapisan venanya terbentuk dari sel endhothelium yang di perkuat oleh jaringan
fibrus dan di batasi oleh selapis tunggal sel epitel gepeng. Sedangkan vena
metacarpal secara anatomis terdiri dari ukuran lumen dindingnya kecil,
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
14
elastisitas lapisan venanya lebih tipis, kurang kuat dan kurag elastis.
Kedua lokasi ini dapat memberikan dapat memberikan kemudahan bagi
perawat dalam melakukan pemasangan terapi intravena tetapi sebaliknya
apabila terjadi kesalahan dalam pemasangan kateter intravena akan
menyebabkan kerusakan endomethelium vena sehingga jaringan vena akan
terinflamasi. (Wiranata, 2012)
Menurut Gayatri, Handayani, dan Amelia (2009) menyebutkan bahwa
dari hasil penelitiannya, di temukan angka ideal untuk lokasi pemasangan
kateter intravena yakni 3-7cm dari persendian tangan.
7. Lama Pemasangan Terapi Intravena
Menurut brooker & Gould (2003) lamanya penggunaan jarum intravena
(abocath) harus di ganti paling sedikit setiap 24 jam, ganti lokasi vena yang di
tusuk jarum intravena setiap 48 jam. Penelitian yang di lakukan oleh masiayati
(2000) dengan judul “Waktu Yang Efektif Untuk Pemasangan Infus Agar Tidak
Flebitis”, didapatkan angka paling besar dalam waktu pemasangan terapi
intravena selama 96-120 jam sebesar 60%.
Menurut Tietjen, dkk (2004) mengatakan ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam perawatan terapi intravena:
a. Rotasi rutin tempat kanula harus dilakukan setiap 72-96 jam dapt
mengurangi flebitis dan infeksi lokal ( teflon atau polikateter lebih baik dari
pada jarum logam karena tidak menembus vena saat rotasi).
b. Pada pemakaian jangka pendek(<48 jam), jarum lurus atau batterfly kurang
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
15
mengakibatkan iritasi karena terbuat dari plastik dan juga infeksi lebih
rendah.
c. Pada perawatan tempat pemasangan, penutupan dapat di pertahankan 72
jam asal kering (jika basah, lembab, atau lepas segera di lakukan
penggantian)
d. Lokasi insersi kateter harus di periksa setiap 24 jam untuk mengetahui
apakah ada rasa nyeri yang timbul
e. Ganti botol cairan infus sebelum habis
f. Set infus harus di ganti jika terjadi kerusakan atau secara rutin setiap 3X24
jam (apabila saluran baru disambungkan, udap pusat jarum atau kateter
plastik cairan infus dengan alkohol 60-90% dan sambungkan kembali
dengan infus set)
g. Saluran tubing yang di gunakan untuk memberikan darah, produk darah
atau emulsi lemak harus di ganti setiap 24 jam.
8. Standar Prosedur Operasional (SPO) pemasangan terapi intravena
1. Cuci tangan.
2. Dekatkan alat
3. Jelaskan pada klien tentang prosedur dan sensasi yang akan dirasakan
selama pemasangan infus
4. Atur posisi pasien
5. Siapkan cairan dengan menyambung botol cairan dengan selang infus dan
gantungkan pada standar infus
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
16
6. Menentukan area vena yang akan di tusuk
7. Pasang alas
8. Pasang torniquet pembendung ±15 cm di atas vena yang akan di tusuk
9. Pakai sarung tangan
10. Disinfeksi area yang ditusk dengan diameter 5-10 cm
11. Tusukan IV kateter ke vena dengan jarum menghadap kejantung
12. Pastikan jarum IV masuk kevena
13. Sambungan jarum IV dengan selang infus
14. Lakukan fiksasi ujung jarum IV di tempati insersi
15. Tutup area insersi dengan kasa kering kemudian plester
16. Atur tetesan infus sesuai progam medis
17. Lepas sarung tangan
18. Pasang label pemasangan tidakan yang berisi: nama pelaksana, tanggal dan
jam pelaksana
19. Bereskan alat
20. Cuci tangan
21. Observasi dan evaluasi respon pasien, catat pada dokumentasi keperawatan.
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
17
9. Komplikasi
Berikut adalah komplikasi dari pemasangan terapi intravena yang dapat
terjadi antara lain:
a. Komplikasi sistemik: kelebihan beban cairan, emboli udara, dan
septikemia.
b. Komplikasi lokal: infiltrasi, flebitis, trombo flebitis dan hematoma.
10. Teori Caring
Teori caring menurut Watson menyebutkan bahwa asuhan keperawatan
yang diberikan berdasarkan human science and human care yang artinya bahwa
fokus utama dalam keperawatan adalah pada carative factors yang bermula dari
perspektif humanistik yang dikombinasikan dengan dasar pengetahuan ilmiah.
Konsep carative factors kemudian dikembangkan lagi oleh Watson menjadi
clinical caritas processes. Clinical caritas processes menawarkan pandangan
yang lebih terbuka antara lain adalah menciptakan lingkungan healing pada
seluruh tingkatan, baik fisik maupun non fisik, lingkungan yang kompleks dari
energi dan kesadaran, yang memiliki keholistikan, keindahan, kenyamanan,
martabat, dan kedamaian serta membantu terpenuhinya kebutuhan dasar,
dengan kesadaran caring yang penuh, memberikan “human care essentials”,
yang memunculkan penyesuaian jiwa, raga dan pikiran, keholistikan, dan
kesatuan diri dalam seluruh aspek care (Muhlisin & Ichsan, 2008).
Watson (2008) menjelaskan ada 4 kebutuhan yang harus dikaji oleh
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
18
perawat yaitu pertama adalah biophysical needs, kebutuhan untuk tetap hidup
meliputi kebutuhan nutrisi, cairan, eliminasi, dan oksigenisasi. Kedua adalah
psychophysical needs yaitu kebutuhan untuk berfungsi, meliputi kebutuhan
aktifitas, aman, nyaman, seksualitas. Ketiga adalah psychosocial needs yaitu
kebutuhan integritas yang meliputi kebutuhan akan penghargaan dan
beraffiliasi. Dan keempat adalah intrapersonal interpersonal needs, yaitu
kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Model Watson dibentuk melingkupi proses asuhan keperawatan,
pemberian bantuan kepada klien dalam mencapai atau mempertahankan
kesehatan. Tindakan keperawatan mengacu langsung pada pemahaman
hubungan antara sehat, sakit dan perilaku manusia. Keperawatan
memperhatikan peningkatan dan mengembalikan kesehatan serta mencegah
terjadinya penyakit. Terapi intravena merupakan bentuk perawatan (caring)
yang diberikan oleh perawat terhadap pasien untuk memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan kesehatan pasien serta mencegah terjadinya penyakit yang
mungkin akan timbul, dalam hal ini adalah flebitis.
Kaitannya penelitian ini dengan penjelasan diatas yaitu tugas perawat
adalah membantu pemenuhan kebutuhan dasar biophysical needs yang berupa
pemenuhan kebutuhan cairan dalam hal ini adalah terapi intravena. Disamping
untuk memenuhi kebutuhan biophysical, perawat juga harus memperhatikan
faktor lain, misalnya menciptakan lingkungan healing (sembuh), lingkungan
yang nyaman baik fisik ataupun yang non fisik. Terapi intravena membutuhkan
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
19
lingkungan yang nyaman secara fisik ataupun non fisik agar tidak terjadi
komplikasi yang sering terjadi yakni flebitis, karena salah satu faktor penyebab
flebitis berasal dari lingkungan. Selain dari itu semua, perawat harus memiliki
ilmu dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Dengan begitu
perawat bisa menerapkan konsep caring kepada pasien agar pasien
mendapatkan kebutuhannya yang sesuai dan terhindar dari komplikasi-
komplikasi yang mungkin akan muncul selama terapi intravena.
B. Flebitis
1. Pengertian
Flebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh
mikroorganisme yang di alami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di
rumah sakit di ikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-
kurangnya 3X24 jam. (Darmadi, 2008)
Flebitis merupakan peradangan pada dinding vena yang disebabkan
karena iritasi kimia, bakteri maupun mekanik yang di tandai dengan nyeri,
kemerahan, dan bahkan kadang sampai timbul bengkak lokal sekitar area
penusukan.
Secara sederhana flebitis di definisikan sebagai peradangan vena,
flebitis berat hampir selalu diikuti bekuan darah atau trombus pada vena yang
sakit. (darmawan, 2008).
2. Klasifikasi Flebitis
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
20
Pengklasifikasian flebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada
empat kategori penyebab terjadinya flebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi,
dan post infus (Infusion Nursing Society, 2006)
a. Flebitis kimia
Kejadian flebitis ini sering di hubungkan dengan bentuk respon
yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang
menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat
dari jenis cairan yang diberikan karena cairan intravena yang di berikan
terlalu asam atau terlalu basa (pH kurang dari 5 atau lebih dari 9) dan
disebabkan oleh cairan yang hypertonis.
PH darah normal terletak anatara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa.
PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti
netral ada kalanya suatu larutan di perlukan konsentrasi yang lebih asam
untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi
autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid
yang biasa di gunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik.
b. Flebitis mekanik
Flebitis mekanik sering dihubungkan dengan pemasangan atau
lokasi pemasangan kateter intravena. Lokasi pemasangan kateter pada area
fleksi lebih sering meimbulkan kejadian flebitis oleh karena pada saat
ekstremitas di gerakan kateter yang terpasang ikut bergerak dan
menyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran kateter yang
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
21
besar pada dinding vena yang kecil juga dapat mengakibatkan terjadinya
iritasi pada dinding vena.
c. Flebitis bakterial
Flebitis bakterial disebabkan oleh adanya kontaminasi kateter
selama pemasangan serta prosedur antiseptis kulit yang buruk. (rosenthal,
2006).
d. Post infus flebitis
Flebitis post infus juga sering diakibatkan kejadianya sebagai akibat
dari pemasangan infus. Flebitis post infus adalah peradangan pada vena
yang didapatkan 48 – 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang berperan
dengan kejadian flebitis post infus, antara lain:
1) Teknik pemasangan kateter yang tidak baik
2) Pada pasien dengan retardasi mental
3) Kondisi vena yang baik
4) Pemberian cairan hipertonik yang terlalu asam
5) Ukuran kateter yang terlalu besar di bandingikan dengan dinding vena
yang kecil.
3. Diagnosa dan Pengenalan Tanda Flebitis
Flebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang
dilakukan oleh perawat, berikut merupakan skor visual flebitis untuk mendapat
diagnosa flebitis :
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
22
Gambar 2.2 Visual Infusion Phlebitis Score
(Infusion Nursing Society, 2006)
4. Mencegah dan Mengatasi Flebitis
a. Mencegah flebitis bakterial
Pedoman ini menekankan pada kebersihan tangan, teknik aseptik,
perawatan daerah infus serta antiseptis kulit. Walaupun lebih disukai
sediaan chlorhexidine-2%, tinctura yodium, iodofor atau alkohol 70% juga
bisa digunakan.
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
23
b. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik
Stopcock sekalipun ( yang digunakan untuk penyuntikan obat atau
pemberian infus IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan
masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim
dijumpai dan terjadi kira-kira 45 - 50% dalam serangkaian besar kajian.
c. Rotasi kanul
Darmawan (2008) melaporkan hasil 4 teknik pemberian nutrisi parenteral
perifer (PPN), dimana mengganti (merotasi) tempat kanula ke lengan
kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun
dalam uji kontrol acak yang di publikasikan oleh webster dkk (1996)
disimpulkan bahwa kateter bisa di biarkan aman di tempatnya lebih dari 72
jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and
Preventation menganjurkan penggantian kateter setiap 72 jam untuk
membatasi potensi infeksi.
d. Aseptic dressing
Di anjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis, kasa steril di ganti
setiap 24 jam.
e. Titratable acidity
Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah di pertimbangkan
dalam kejadian flebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang di
butuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi flebitis dari larutan
infus tidak bisa di taksir hanya berdasarkan pH atau titratable acidity
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
24
sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan
perubahan karena titratable acidity-nya sangat rendah (0.16 mEq/L).
Dengan demikian makin rendah titratable acidity larutan infus makin
rendah resiko flebitisnya.
f. Heparin & hidrokortison
Heparin sodium, bila ditambahkan kecairan infus sampai kadar akhir 1
unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Resiko
flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium
klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat di kurangi dengan
pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan
pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi
kekerapan flebitis pada vena yang di infus lidokain, kalium klorida atau anti
mikrobial. Pada uji acak lain heparin sendiri atau di kombinasi dengan
hidrokortison telah mengurangikekerapan flebitis. Tetapi penggunaan
heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai sengan
pembentukan endapan kalsium.
g. In-line filter
In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang
mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat
intravaskular dan sistem infus (Darmawan, 2008).
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
25
C. Kerangka Teori
Bagan kerangka teori caring
Gambar 2.3 (Watson, 2008; Roshenthal, 2006; Gayatri, Handiyani & Amelia, 2007).
(INS, 2006; CDC, 2002)
Keperawatan
Human sciene and
human care
Lingkungan
Manusia
Stresor
Flebitis
Sehat
Flebitis Mekanik
1. Ukuran kateter
2. Lokasi insersi
1. Umur pasien
2. Kondisi penyakit
pasien
3. Adaptasi pasien
4. Teknik aseptik yang
buruk pada perawat
5. Jarak pemasangan
intravena yang
terlalu jauh dari
persendian tangan
6. Pelaksanaan standar
prosedur operasional
(SPO) pemasangan
infus
Flebitis Kimia
1. Jenis cairan
Flebitis Bakteri
1. Lama pemasangan kateter
Pemenuhan
biophysical needs
Terapi intravena
Teori Caring
Biophysical needs
Psychophysical needs
Psychosocial needs
Intrapersonal
interpersonal needs
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016
26
D. Kerangka Konsep
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
E. Variabel Penelitian
Variabel independen : Jenis cairan, Ukuran Kateter, Lokasi Insersi, dan Lama
pemasangan kateter infus, pelaksanaan SPO pemasangan infus.
Variabel dependen : Kejadian flebitis
F. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitan ini adalah ada hubungan yang segnifikan antara Jenis
cairan, ukuran kateter, lokasi insersi, lama pemasangan infus, dan pelaksanaan SPO
pemasangan infus dengan kejadian flebitis.
Jenis cairan
Ukuran kateter.
Lokasi insersi.
Lama pemasangan
kateter infus
Flebitis
Kimia
Mekanik
Bakteri
Pelaksanaan SPO
pemasangan infus
Manusia
Analisis Faktor Resiko..., Cahyo Nugroho, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016