23
20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan pengertian Tindak Pidana Berbicara tentang pengertian dari tindak pidana maka hal demikian tidak akan luput dari istilah yang familiar pada hukum pidana yakni Stafbaarfeit. Menurut Simon, tindak pidana merupakan sebuah tindakan atau perbuatan yang ketika melakukannya maka diancam dengan pidana oleh Undang-undang yang mengatur Hukum Pidana. 1 Lebih lanjut E. Utrecht mengemukakan bahwasannya tindak pidana aialah bentuk peristiwa pidana yang sering disebut delik, hal demikian karena tidakan pidana ialah sebuah perbuatan yang melalaikan maupun akibatnya , yakni sebuah keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan melalaikan tersebut). 2 Jadi dapat diketahui dari beberapa penjelasan para ahli diatas bahwasannya tindak pidana dalah perbuatan yang dilarang dan apabila melakukannya akan dikenakan hukum pidana. A.2 Jenis-jenis Tindak Pidana Tindak pidana sebagaimana yang diketahui terbagi menjadi beberapa jenis, yakni sebagai berikut : 1 Moeljatno. 2005. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, Hal. 20. 2 Ibid, hal, 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

A.1 Konsep dan pengertian Tindak Pidana

Berbicara tentang pengertian dari tindak pidana maka hal demikian tidak akan

luput dari istilah yang familiar pada hukum pidana yakni Stafbaarfeit. Menurut

Simon, tindak pidana merupakan sebuah tindakan atau perbuatan yang ketika

melakukannya maka diancam dengan pidana oleh Undang-undang yang mengatur

Hukum Pidana.1

Lebih lanjut E. Utrecht mengemukakan bahwasannya tindak pidana aialah

bentuk peristiwa pidana yang sering disebut delik, hal demikian karena tidakan

pidana ialah sebuah perbuatan yang melalaikan maupun akibatnya , yakni sebuah

keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan melalaikan tersebut).2

Jadi dapat diketahui dari beberapa penjelasan para ahli diatas bahwasannya

tindak pidana dalah perbuatan yang dilarang dan apabila melakukannya akan

dikenakan hukum pidana.

A.2 Jenis-jenis Tindak Pidana

Tindak pidana sebagaimana yang diketahui terbagi menjadi beberapa jenis,

yakni sebagai berikut :

1 Moeljatno. 2005. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, Hal. 20. 2Ibid, hal, 32

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

21

a. Kejahatan dan pelanggaran

b. Kesengajaan dan kealpaan

c. Perbuatan yang melanggar Undang-undang

d. Delik formil (menitik beratkan pada perbuatan)

e. Delik tunggal (hanya dilakukan sekali dalam perbuatan)

f. Delik biasa (penuntutan bisa dilakukan tanpa adanya aduan).

Dari jenis-jenis tindak pidana diatas, maka dapat dibilang penganiayaan

ringan termasuk dalam jenis tindak pidana poin (b) yaitu kesengajaan dan

kealpaan, penganiayaan tidak mungkin terjadi apabila tidak ada niat yang

disengaja dari tersangka untuk menganiayaan korban.

A.3 Unsur-unsur yang Ada dalam Tindak Pidana

Terkait tentang unsur yang ada dalam tindak pidana, maka sebagaimana yang

dikemukakan oleh E.Y Kanter dan S.R Sianturi yakni tindak pidana setidaknya

memiliki 5 (lima) unsur yaitu :

1. Subjek (yang terkena tindak pidana);

2. Kesalahan;

3. sifatnya melawan hukum dalam sebuah tindakan;

4. Suatu bentuk tindakan yang dilarang ataupun diharuskan oleh Undang-

undang (terhadap pelanggarannya) untuk diancam dengan pidana; dan

5. Waktu, keadaan, dan tempat (unsur objektif lainnya yang bersangkutan).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

22

Jadi perlakukan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila

dari salah satu 5 (lima) unsur diatas terdapat dalam tindakan yang dilakukan

tersangka tindak pidana.

A.4 Tindak Pidana yang dapat diselesaikan dengan Mediasi Penal

Tidak semua tindak pidana dapat terselesaikan dengan Mediasi penal hanya

tindak pidana-tindak pidana tertentu yang memeliki unsur dan karakteristik

sebagai berikut :

1. Perkara- ringan yang kerugiannya kurang dari Rp. 2,5 Juta.

2. Perkara kecelakaan lalu lintas.

3. Perkara pidana namun yang terkait dengan pertimbangan kemanusiaan

dan mengedepankan sisi pembinaan.

Jadi dalam penyelasaian tindak pidana sendiri, maka dapat dilakukan

melalui mekanisme penyelesaiannya diluar pengadilan, dan hal demikian

semakin sering dan maklum untuk dilakukan serta bisa diterima masyarakat

karena manfaatnya yang lebih mampu menjangkau rasa keadilan.

A.4.1 Ruang lingkup Mediasi Penal dalam Tindak Pidana

Ruang lingkup dan tolak ukur dalam perkara yang bisa diselesaikan dengan

Mediasi Penal yakni :

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

23

1. Pelanggaran dengan kategori delik aduan, baik bersifat absolut maupun

bersifat relatif.

2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana

dan pelanggar telah membayar denda tersebut sebgaiamana yang

diterangkan lebih jelas di Pasal 80 KUHP.

3. Pelanggaran termasuk dalam kategori “pelanggaran”, bukan bentuk

“kejahatan”, yang diancam dengan pidana denda.

4. Pelanggaran termasuk dalam tindak pidana dibidang hukum administrasi

yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.

5. Pelanggaran hukum pidana termasuk kategori ringan dan aparat penegak

hukum dapat menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.

6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan/ tidak diproses ke

pengadilan oleh Jaksa Agung.

7. Pelanggaran hukum pidana termasuk kategori pelanggaran pidana adat

yang dapat diselesaikan melalui lembaga adat. 3

Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup mediasi penal dalam tindak pidana

sendiri, memilik karesteristik tertentu, seperti tindak pidana tersebut harus

berkatagorikan tindak pidana riangan ataupun hanya pelanggaran biasa dan

penyelesaian dapat dilakukan tanpa harus berlanjut di pengadilan.

3 Mudzakkir. 2013. Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restoratif Justice dalam

Penyelesaian Tindak Pidana, Jakarta: Universitas Hasanuddin. Hal. 55-56.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

24

B. Mediasi Penal

B.1. Konsep/ Pengertian Mediasi Penal secara Etimologis

Menurut Kamus besar Indonesia Mediasi adalah adalah proses penyelesaian

suatu masalah yang mengikutsertakan pihak ketiga.4Mediasi merupakan sebuah

proses negosiasi/ berunding dalam pemecahan masalah, dimana pihak-pihak yang

tidak memihak bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa untuk mencari

dan menemukan kesepakatan bersama5.

Jadi dalam pencapaian kesepakatan antara orang yang bertikai, dalam mediasi

ini dibantu oleh adanya orang ketiga yaitu mediator, tidak memihak para pihak

yang bertikai, sebagai pihak penengah dan tidak berperan memutuskan atau

memiliki kuasa untuk mengambil keputusan akhir dari hasil mediasi tersebut.

Mediasi Penal dalam berbagai istilah bisa disebut dengan “mediation in

criminal cases yang kalau dalam istilah bahasa Belanda disebut Strafbemiddeling,

dan dalam istilah Jerman disebut dengan Der AuBergerichtliche Tatausgleich,

serta dalam istilah Perancis disebut dengan de mediation penale6

Adapun pengertian mediasi penal maka jika mengutip yang dikemukakan olen

Barda Nawawi, bahwa mediasi penal berfungsi sebagai alternative penyelesaian

perkara diluar pengadilan atau sering disebut dnegaan ADR (Alternstive Dispute

4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2016, Cet. 5, hlm. 569 5 Khotbul Umam.2010. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Yogyakarta: Pustaka

Yustisia. Hal. 10. 6 Lilik Mulyadi, MEDIASI PENAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA:

PENGKAJIAN ASAS, NORMA, TEORI DAN PRAKTIK, Yustisia, Vol.2 No.1 Januari – April 2013,

Hal. 2

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

25

Resolution), dan ada pula yang menyebutnya sebagai Apropriate Dispute

Resolution, jadi Mediasi Penal adalah proses yang dilakukann penagak hukum

diluar peradilan dalam penyelesaian sengketa.7

Jadi menurut penulis Mediasi penal bisa diartikan sebagai bentuk perdamaian

antara para pihak yang terkait dalam kesepakatan untuk tidak menempuh jalur

peradilan di bawah pengawasan penyidik. Dalam berbagai kasus tindak pidana

kasus kecelakaan diselesaikan dengan cara mediasi penal kerap menjadi alternatif

masyarakat Indonesia, tidak hanya dalam kecelakaan ringan dalam kecelakaan

berat hingga menyebabkan matinya orang kerap diselesaikan melalui jalur mediasi

penal yang hal demikian juga bisa di aplikasikan dalam kasus penganiayaan.

B.2 Model-model dalam Mediasi Penal

Berbicara tentang model-model yang dapat digunakan dalm mediasi pena,

maka ada dua macam model mediasi penal yang biasa dilakukan yaitu judicial

model dan Restorative model, dimana dalam pelaksanannya dua model tersebut

memiliki perbedaan-perbedaan yang jelas berbeda, yakni pada model judicial

model biasanya diterapkan dan dilaksankan dalam sistem peradilan yang ditandai

dengan logika peradilan, dimana mediator biasanya ahli hukum yang tidak

memiliki pendidikan khusus dalam bidang mediasi dan pelaku serta korban

dikumpulkan. Catatan kejahatan juga dipergunakan sebagai pedoman untuk

berdiskusi, dimana mediator seperti melakukan investigasi, dengan mencoba untuk

menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah dan akhirnya persetujuan

7Ibid, halaman 2

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

26

diusahakan setelah satu kali persetujuan, dengan mediator mengarahkan dan

menyarankan berbagai solusi.

Pendekatan mediasi ini didasari pada pemecahan masalah yang bersifat logis

dan menempatkan masalah serta pada akhirnya menghasilkan pemecahan masalah,

banyak yang beranggapan bahwa model ini seharusnya di sebut konsiliasi

ketimbang mediasi.

Sedangkaan Restorative model yang lebih respek terhadap etika-etika

mediasi, maka dalam pelaksanaanya Mediator merupakan pekerja atau psikologi

dengan berbagai macam tingkat pelatihan mediasi (yang sudah terlatih), dan

biasanya para pihak ditunjuk sebagai pelaku dan korban oleh jaksa penuntut umum

dan akhirhyya diundang untuk mengetahui siapa moderatornya, dalam model

mediasi ini yang dijadikan pertimbangan adalah apa yang dikatakan oleh para

pihak bukan pada dokumen-dokumen hukum yang ada seperti pada model

sebelumnya. Unsur utama dalam model mediasi ini ialah pada komunikasi,

dimana mediator tidak mengarahkan dan hanya bersifat membantu untuk

merumuskan tujuan sendiri dalam upaya menyelesaikan konflik.8

Berdasarkan dari bentuk umum pelaksanaan dua model mediasi diatas, maka

model mediasi yang kedua lebih kiranya lebih tepat untuk diterapkan dalam

masalah-masalah terkait tentang Kejahatan Seksual. Hal tersbeut karena dalam

masalah Kejahatan Seksual biasanya terjadi pada lingkup yang tertutup dan ranah

8Dalam Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase Proses pelembagaan dan Aspek Hukum,

Jakarta, Ghalia Indonesia, Hal. 63.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

27

yang lebih personal, sehingga untuk mendapatkan bukti-bukti otentik secara

hukum tidaklah mudah, dank arena hal itu Jelas membutuhkan pembicaraan antar

pihak yang terkait, dan dapat menemukan kesempatan untuk mengungkapkan apa

yang sebenarnya dirasakan oleh korban ataupun pelaku. Dalam kasus kejahatan

seksual pengakuan korban adalah privasi jadi mediasi dalam kasus kejahatan

seksual dilakukan dalam ruangan tertutup hanya beberapa pihak yang berwenang

dalam masalah tersebut yang ada dalam ruangan mediasi.

Di samping hal demikian dalam model yang kedua, mediator bersifat tidak

mengarahkan, melainkan membantu para pihak untuk merumuskan tujuan saja

sehingga keinginan pemecahan masalah ataupun bentuk penyelesaiannya benar-

benar murni dari para pihak yang bersangkut, dan pihak ketiga yang dalam hal ini

ialah mediator tidak mendikte atuapun memaksa para pihak untuk memilih bentuk

penyelesaian, dan akhirnya dengan hal tersebut tujuan dari adannya win-win

solution diharapkan akan betul-betul tercapai.

Lebih lanjut, Penting untuk dijadikan pedoman pula dalam bentuk mediasi

ini ialah masih terlibatnya lembaga yang terkait dengan sistem peradilan

pidana. Hal demikian bertujuan agar mediasi penal tetap terintegrasi dengan

sistem peradilan pidana, sehingga apa yang diputuskan dalam mediasi penal

akan mempunyai kekuatan hukum. Demikian pula apabila ternyata para pihak

tidak menemukan kesepakatan ataupu penyelesaian damai dalam pelaksanaan

mediasi maka kasus tersebut tetap dapat diteruskan melalui system peradilan

pidana.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

28

Berdasarkan hal demikian, maka dapat ditarik garis besar bahwasanya ada dua

macam bentuk pelaksanaan mediasi itu sendiri, yakni dengan Judicial model dan

Restorative model, yang dalamlingkup tindakannya biasanya disesuaikan dengan

pelanggaran atau kasus yang akan dimediasi, seperti kasus pelecehan yang lebih

relevan menggunakan Restorative model.

B.3 Prinsip-prinsip umum Mediasi Penal

Recomendation no (99), 19 The Comitee of ministers of The council Of

Europe tentang Mediation in Penal Matters mengemukakan bahwa ada bebetapa

prinsip umum dalam mediasi Penal, yakni sebagai berikut :

a. Adanya persetujuan dari semua pihak untuk melakukan media. Para pihak

juga dapat menarik persetujuan awalnya untuk melakukan mediasi selama

proses mediasi masih berlangsung;

b. Hal yang dibicarakan dalam mediasi penal bersifat rahasia dan tidak

digunakan setelahnya, kecuali dengan persetujuan para pihak yang

bersangkutan.

c. Mediasi penal harus dapat disediakan dalam tahap-tahapan proses peradilan

pidana

d. Pelaksanaan mediasi penal memiliki otonomi yang cukup dalam sistem

peradilan pidana.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

29

Prinsip-prinsip mediasi penal sangat penting dan harus diperhatikan agar tidak

ada kerancuan ataupun kebingungan dalam pelaksanaannya. Proses mediasi ini

mengharapkan agar sebuah permasalahan dapat terselesaikan dengan baik,

tanpa harus menimbulkan permasalahan baru, maka dengan hal itulah prinsip-

prinsip umum dalam melaksanakan mediasi penal patut dipaparkan terlebih

dahulu dam harus terdapat dalam kebijakan formulasi pengaturan mediasi

penal. Memang bukan hal yang mudah mengganti paradigma tentang sistem

peradilan yang ada, namun apabila hal tersebut di formulasikan dalam

undang-undang maka kiranya akan lebih mudah untuk disosialisasikan.

B.4 Proses Mediasi

Terkait tentang proses mediasi, maka Riskin dan Wetstbrok membaginya

dalam lima tahapan yakni :9

a. Sepakat untuk melakukan mediasi

b. Memahami masalah-masalah yang ada

c. Membuat pilihan-pilihan pemecahan masalah

d. Mencapai sebuah kesepakatan

e. Melaksanakan kesepakatan yang telah disepakati

Hal yang paling penting dalam tahapan-tahapan tersebut adanya kesepakatan

dari kedua belah pihak untuk melakukan mediasi, dan seharusnya korban dan

9 Ibid, Hal 63.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

30

terdakwa juga paham atas pokok permasalahan yang terjadi dan mengapa

mereka melakukan mediasi, tanpa hal demikian idak mungkin suatu kesepakatan

akan tercapai. Mediasi yang berhasil pada umumnya akan menghasilkan sebuah

perjanjian penyelesaian, dan setelah ditandatangani, hasil mediasiyang telah

disepakati dapat mengikat dan dipaksakan seperti layaknya sebuah perjanjian.

Namun jika para pihak lebih suka untuk tidak memasuki perjanjian yang

mengikat secara hukum maka mereka punya kebebasan penuh untuk tidak

melakukan hal tersbeut.10

Bentuk alternatif lain yang dapat dilakukan terhadap proses mediasi penal

yang berhasil ialah menjadikannya sebagai bahan pertimbangan bagi hakim untuk

menjatuhkan putusan atau bahkan hakim juga dapat langsung menjatuhkan

putusan. Putusan hakim dalam mediasi penal sangat penting agar mempunyai

kekuatan hukum dan dapat dilaksanakan sesuai dengan yang disepakati. Namun

jika mediasi penal tidak menemukan titik terang maka kasus tersebut akan

diselesaikan melalu peradilan.

Banyaknya negara merasa tidak puas terhadap sistem peradilan pidana

resmi/formal telah menumbuhkan keinginan untuk memperkuat kembali

penggunaan nilai-nilai adat dan praktik peradilan tradisional dalam menanggulangi

tindak pidana, memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat serta

10 Gatot Soemartono.2006. Abitrase dan Mediasi Di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka

Utama, , Hal 143

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

31

masyarakat untuk berperan secara aktif dalam menyelesaikan konflik dengan

segala konsekuensinya. Restorative justice mengutamakan pendekatan dengan

keterlibatan para pihak secara aktif dalam menyelesaikan konflik. Sebgaimana

yang dikemukakan oleh Eva Achjani Zulfa bahwa keadilan bahwa yang di sebut

Restoratif ialah sebuah konsep pemikiran yang memberikan respon untuk

mengembangkan sistem peradilan pidana dengan memfokuskan pada kebutuhan

masyarakat dan korban yang terkadang merasa tersisihkan dengan mekanisme

yang ada pada sistem peradilan pidana saat ini.11

Berdasarkan paparan diatas, maka sudah semestinya prinsip dan tahapan

proses dari mediasi penal sendiri harus dilaksanakan secara keselurahan, dan

diharapkan dapat menjadi sebuah Alternative dalam penyelesaian sebuah kasus

dan terpenuhinya keadilan tertinggi karena terjadi kesepakatan yang tidak

merugikan antara pelaku dan korban.

B.5 Mediasi Penal di Indonesia

Pada awalnya mediasi penal kebanyakan hanya dilakukan dalam tindak

pidana yang melibatkan Anak sebagai pelaku, tetapi kemudian digunakan juga

untuk menangani perkara dewasa, dimana mediasi penal digunakan dan

dilaksanakan dalam rangka untuk menangani tindak pidana pencurian dan tindak

pidana yang tergolong ringan, dan seiring perkembangan jaman serta kebutuhan

11 Eva Achjani Zulfa. 2011. Pergeseran paradigma pemidanaan, Bandung, Lubuk Agung, hal.

65

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

32

korban mediasi penal akhrinya juga bisa digunakan untuk menyelesaikan tindak

pidana berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan pada kasus-kasus tertentu.12

Berangkat dari Hukum positif Indonesia, maka pada prinsipnya tidak

memungkinkan adanya penyelesaian diluar Pengadilan, meskipun dalam hal

tertentu bisa juga diatur mengenai penyelesaian perkara tindak pidana diluar

persidangan seperti dalam Sistem Peradilan tindak Pidana anak (dimana anak

sebagai pelaku pidana) yang mengatur ketentuan diversi dan hal demikian

merupakan pengalihan penyelesaian pidana anak dari dalam persidangan menjadi

diluar persidangan. Perdamaian dalam perkara pidana di luar persidangan hampir

selalu disarankan oleh Hakim pidana yang menangani pidana yang menimbulkan

korban meskipun pada akhirnya perdamaian tersebut hanya dipertimbangkan

Hakim dalam meringankan penjatuhan pidana terhadap pelaku, dan belum dapat

digunakan untuk mengakhiri sengketa pidana tetapi hal tersebut membuktikan

bahwa perdamaian antara pelaku dengan korban telah menjadi perhatian penegak

hukum itu sendiri. Melalui mediasi penal diharapkan dapat terpenuhinya keadilan

tertinggi karena adanya kesepakatan para pihak yang terlibat baik antara antara

pelaku dan juga korban.

Berdasarkan hal demikian, maka jika dilihat dari aspek historis, konsep

mediasi penal sendiri mulai dipraktekkan pada lingkup kasus kejahatan yang

12 Barda Nawawi Arif, Mediasi Penal: penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan

http://bardanawawi.wordpress.com/2009/12/27/mediasi‐penal‐penyelesaian‐perkarapidana‐diluarpenga

dilan/2009, di akses tanggal 05 Oktober 2018.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

33

dilakukan oleh anak, dan akhirnya sampai saat ini juga merambah pada kasus-

kasus penganiayaan ringan yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa harus melalui

proses peradilan.

B.6 Mediasi dalam Perundangan di Indonesia

Sebgaiamaa Peraturan Kapolri dalam No. Pol:B/3022/XII/2009/SDEOPS

yang dikeluarkan pada tanggal 14 Desember 2009 terkait penanganan kasus

melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) danperaturan KAPOLRI Nomor 07

tahun 2008 tentang pedoman dasar strategi serta implementasi pemolisian

Masyarakat dalam penyelenggaraan Tugas Polri, yang telah menentukan langkah-

langkah ataupun prosses dalam penanganan kasus melalui Alternatif Dispute

Resolution yakni sebagai berikut :

a. Mengupayakan penanganan kasus pidana dengan kerugian materi kecil.

b. Penyelesaiannya harus disetujui pihak-pihak yang berperkara.

c. Penyelesaiannya harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan

diketahui masyarakat sekitar dengan menyertakan RT/RW setempat.

d. Penyelesaiannya harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi

asas keadilan.

e. Memberdayakan Polmas dan memerankan FKPM.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

34

f. Kasus yang telah diselesaikan dengan ADR tidak lagi disentuh oleh

tindakan hukum lain yang tidak berkesusainya dengan Polmas dan

kontraproduktif.

Maka berdasarkan peraturan diatas, dapat dilihat bahwa Polri dalam

melakukan penyidikan tindak pidana mempunyai diskresi untuk mengedepankan

musyawarah perdamaian untuk menyelesaikan tindak pidana meskipun masih

dalam lingkup tindak pidana dengan jumlah kerugian yang kecil. Penyelesaian

diluar Pengadilan tersebut secara formal memang tidak mempunyai landasan

hukum formalnya yang mendasar, tetapi secara tidak langsung/ informal banyak

diimplementasikan konsepnya dengan mekanisme/tatacara hukum adat, tetapi

proses secara hukum formal pun masih tetap dilakukan

B.7 Mediasi Penal di Negara lain

Menurut buku Mediasi penal karangan Lilik Mulyadi yang berjudul Dalam

Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Mediasi Penal pada tattaran internasional

sudah lama diketahui dalam berbagai konferensi seperti konferensi PBB yang ke-9

pada tahun 1995 khususnya yang terkait dengan manajemen peradilan pidana

(Dokumen A/CONF 1969/6) dengan menyebutkaan bahwa perlunya semua negara

untuk mempertimbangkan “privatilizing some law enforcement and justice

function” and alternative dispute resolution / ADR) yakni dapat berupa mediasi,

konsiliasi, restitusi maupun kompensasi dalam sistem peradilan pidana.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

35

Pada konferensi Internasional pembaharuan hukum pidana (International

penal reform conference) yang diadakan pada tahun 1999 dikemukakan bahwa

salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (The key

element of new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem

peradilan formal dengan sistem informal dengan mengacu pafa standar-standar

hak asasi manusia yang akhirnya mengidentifikasikan sembilan strategi

pengembangan yakni : restorative justice, alternative dispute resolution, informal

justice, alternatives to custody, alternatives ways of dealing with juvenilles,

dealing with violent crime, reducing the prison population, the proper

management of prisons and the role of civil in penal reform. Pada konggres yang

diadakan oleh PBB ke-10 tahun 2000 (Dokumen A/Conf.187/4/rev.3) juga

dikemukakan bahwa memberikan perlindungan kepada korban kejahatan

hendaknya bisa diintrodusir dengan mekanisme mediasi dan peradilan restorative.

13

Maka dengan hal demikian sejatinya konsep mediasi penal sendiri dalam

dunia internasional sudah lama dikenal dalam beberapa konferensi yang dilakukan

oleh PBB mulai tahun 1995 pada konfrensi ke-9 ataupun pada tahun 2000 pada

konfrensi PBB yang ke- 10.

13,Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung; PT.

ALUMNI, Hal 15

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

36

C. Penganiayaan

C.1 Konsep Penganiayaan

Terkait tentang konsep penganiayaan, maka Penganiayaan sedniri menurut

Abdul Qodir al-Audah merupakan setiap perlakuan yang menyakiti orang lain dan

mengenai badannya (fisik) , namun tidak sampai pada menghilangkan nyawanya.14

Jika mengacu pada yang ada dalam KUHP maka tidak ada penjelasan

mengenai defenisi dari Penganiayaan secara umum, namun tindak pidana terhadap

tubuh disebutkan sebagai penganiayaan, lebih lanjut menurut ilmu pengetahuan,

penganiayaan ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan

menimbulkan rasa sakit, luka atau merusak kesehatan orang lain.15

Tirtaamidjaja sebagaimana yang dikutip oleh Ledeng Marpaun lebih

rinci mengemukakan pengertian “penganiyaan” sebagai berikut :

“Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada

orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau

luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau

perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan”16

Jadi dari berbagai definisi diatas, dapat penulis simpulkan bahwa

penyaniayaan dapat diartikan sebagai sebuah tidak kejahatan yang dilakukan

secara sengaja dan berdampak pada rasa sakit pada fisik atau badan yang hal

demikian berbeda dengan konsep kekerasan dimana diartikan sebagai sebuah

bentuk tindakan yang lebih menjurus pada aspek Fsikis atau Mental dan akhirnya

14 Abdul Qadir Audah.2008. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Terj. Tim Tsalisah, : Bogor

PT.Kharisma Ilmu,, Ilmu, Hal. 204 15 R Soesilo, Tt. KUHP serta komentar lengkap, Bogor,Politea, Hal. 245 16 Ledeng Marpaun.2005. Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh, Edisi I; Cet III; Jakarta:

Sinar Grafika, Hal. 5

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

37

mengakibatkan munculnya tindakan penganiayaan secara fisik, contohnya seperti

adanya kekerasan Verbal dengan mengeluarkan kata-kata kasar yang berujung

pada kontak fisik dengan perkelahian atau pengeroyokan.

C.2 Macam-macam Penganiayaan

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja atau yang disebut

dengan penganiyaan bisa diklasifikasikan menjadi 6 macam, yaitu :

a. Penganiyaan biasa

penganiyaan biasa (gewone misbandleing )yang bisa disebut dengan

penganiyaan bentuk pokok ataupun bentuk standar terhadap ketentuan

pasal 351 KUHP dengan rumusan sebagai berikut :

1) Penganiyaan yang diancam dengan pidana penjara paling lama 2

tahun 8 bulan atau pidana dengan denda paling banyak Rp.

45.000.

2) Jika perbuatan tersebut menimbulkan luka berat, maka pelaku

bisa diancam pidana paling lama 5 tahun.

3) Jika mengakibatkan kematian, maka dapat diancam dengan

pidana penjara paling lama 7 tahun.

4) Penganiyaan yang disamakan dengan sengaja merusak

kesehatan.

5) Percobaan untuk melakukan kejahatan tindak pidana.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

38

b. Penganiyaan ringan.

Kejahatan dengan kualifikasi penganiyaan ringan (lichte misbandeling)

oleh Undang-undang adalah penganiyaan yang termuat pada pasal 352

KUHP dengan rumusan sebagai berikut :

1) Selain yang ada pada pasal 352 dan 356, maka penganiyaan

yang tidak mengikabtkan timbulnya penyakit serta halangan

untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian, maka akan

dipidana sebagai penganiyaan ringan, dengan pidana penjara

paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500,-

2) Percobaan untuk melakukan kejahatan tindak pidana (dengan

senagaja).

c. Penganiyaan berencana

Pasal 353 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenai penganiyaan

berencana dirumuskan sebagai mana yang tertera dibawah ini:

1) Penganiyaan dengan itu mengakibatkan lebih dahulu, dan

diancam penjara paling lama 4 tahun.

2) Jika perbuatan itu menimbulkan luka berat, pelaku dikenakan

penjara paling lama 7 tahun.

3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, pelaku diancam

dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

39

d. Penganiayaan berat.

Penganiyaan berat sebagaimana yang telah dirumuskan pafa pasal 354

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni sebagai berikut :

1) Jika secara sengaja melukai berat orang lain, maka diancam

dengan pidana penjara paling lama 8 tahun

2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, pelaku akan

diancam dengan penjara paling lama 10 tahun.

Agar mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan lengkap,

maka perlu diketahui terkait tentang batasan pengertian dari luka berat,

yang telah ditafsirkan secara autentik dalam pasal 90 KUHP sebagai

berikut, yakni:

Luka berat atau luka parah yang dimaksud antara lain :

1) Penyakit atau luka yang tidak diharapkan daoat sembuh lagi

dengan sempurna atau dapat mendatangkan kematian.

2) Terus menerus tidak bisa melakukan pekerjaan atau

memangku sebuah jabatan.

3) Menimbulkan Tidak berfungsinya pancaindra, seperti

penglihatan ataupun penciuman.

4) Yang menimbulkan cacat secara fisil sehingga membuat

tampilannya kurang baik.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

40

5) Menimbulkan Lumpuh (veriamming).

6) Berubah pikiran lebih dari empat minggu, membuat pikiran

terganggu, jika kurang dari empat bulan, tidak termasuk

dalam pengertian luka berat.

7) Menggugurkan atau membunuh calon anak kandung yang

masih dalam kandungan ibunya.17

e. Penganiayaan berat berencana

Penganiyaan berat berencana dimuat pada pasal 355 KUHP yang

rumusannya yakni sebagai berikut :

1) Penganiyaan berat berencana, diancam dengan pidana penjara

paling lama 12 tahun.

2) Jika mengakibatkan kematian, pelaku diancam dengan pidana

penjara paling lama 15 tahun.

f. Penganiayaan terhadap orang-orang berkualitas tertentu (orang khusus/

penting) atau dengan cara tertentu yang akhirnya memberatkan.

Penganiayaan yang dimaksud dalam hal diatas ialah penganiayaan yang

sebagaimana dimuat dalam pasal 356 KUHP, yang rumusannya adalah

sebagai berikut: Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan

355 dapat ditambah sepertiga:

17 Wacana Intelektual, Kumpulan Kitab Undang-Undang Hukum, KUH Perdata, KUHP dan

KUHAP (Cet II; Jakarta: WI Press, 2016), h. 378.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

41

3) Kejahatan yang ditujukaan pada ibunya (yang melakukan

kejahatan), bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya sendiri.

4) Kejahatan yang dilakukan terhadap seorang pejabat ketika

atau sedang menjalankan tugasnya secara sah.

5) kejahatan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang

berbahaya bagi nyawa ataupun kesehatan untuk dimakan dan

juga diminum. 18

C.2.1 Macam kejahatan tubuh

Terkait tentang macam-macam bentuk kejahatan tubuh, maka

bersadarkan kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh dapat dibedakan menjadi

dua macam yakni :

a. Kejahatannya dilakuan secara sengaja. Kejahatan yang seperti ini

dikualifikasikan sebagai bentuk penganiyaan (misbandeling).

b. Kejahatan pada tubuh yang disebabkan oleh kelalaian, hal demikian

dimuat dalam Pasal 360 bab XXI.19

C.3 Unsur-Unsur Penganiayaan

Berdasarkan pengertian yang telah dijabarkan diatas, maka penganiayaan

memiliki unsur-unsur sebagai berikut, yakni:

18 Adami Chazawi.2010. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,Jakarta; Rajawali Pers, Hal.8 19 Ledeng Marpaun, Op. Cit. hal. 7.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf · 2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana dan pelanggar

42

a. Kesengajaan;

b. Adanya bentuk perbuatan;

c. Adanya akibat dari perbuatan (dituju) yakni:

1) Rasa sakit, tidak enak pada tubuh;

2) Lukanya tubuh;

d. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya.20

20 Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 12.