Upload
others
View
83
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Jamur
Jamur adalah mikroorganisme yang masuk golongan eukariotik dan tidak
termasuk golongan tumbuhan. Jamur berbentuk sel atau benang bercabang
dan mempuyai dinding sel yang sebagian besar terdiri atas kitin dan glukan,
dan sebagian kecil dari selulosa atau kitosan. Gambaran tersebut yang
membedakan jamur dengan sel hewan dan sel tumbuhan. Sel hewan tidak
mempunyai dinding sel, sedangkan sel tumbuhan sebagian besar adalah
selulosa. Jamur mempunyai protoplasma yang mengandung satu atau lebih
inti, tidak mempunyai klorofil dan berkembang biak secara aseksual, seksual,
dan keduanya (Sutanto, 2008).
Sifat umum jamur (heterotropik) yaitu organisme yang tidak mempunyai
klorofil sehingga tidak dapat membuat makannya sendiri melalui proses
fotosintesis seperti tanaman. Untuk hidupnya jamur memerlukan zat organik
yang berasal dari hewan, tumbuh-tumbuhan, serangga dan lain-lain,
kemudian dengan menggunakan enzim zat organik tersebut diubah dan
dicerna menjadi zat anorganik yang kemudian diserap oleh jamur sebagai
makanannya. Sifat inilah yang menyebabkan keruskan benda dan makanan
(Sutanto, 2008).
Pada umumnya, jamur tumbuh dengan baik di tempat yang lembab.
Jamur juga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga jamur
dapat ditemukan di semua tempat di seluruh dunia termasuk gurun pasir yang
panas. Di alam bebas terdapat lebih dari 100.000 spesies jamur dan kurang
dari 500 spesies diduga dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan
hewan. Dari sekian banyak jamur tersebut diperkirakan 100 spesies bersifat
patogen pada manusia dan sekitar 100 spesies hidup komensal pada manusia
(bersifat saprofit), tetapi dapat menimbulkan kelainan pada manusia bila
keadaan menguntungkan untuk pertumbuhan jamur tersebut. Perubahan sifat
7
jamur dari komensal menjadi patogen dikelompokan sebagai jamur oportunis
(Sutanto, 2008).
Morfologi jamur mencakup khamir dan kapang. Khamir adalah sel-sel
yang berbentuk bulat (uniseluler) dan dapat bersifat dimorfistik, lonjong atau
memanjang yang berkembang biak dengan membentuk tunas dan membentuk
koloni yang basah atau berlendir. Sedangkan kapang terdiri atas sel-sel
memanjang dan bercabang yang disebut hifa, anyaman hifa yang disebut
miselium (Sutanto, 2008).
2. Kapang
Kapang adalah jamur yang tersusun dari hifa-hifa. Hifa tersebut dapat
bersekat sehingga terbagi menjadi banyak sel, atau tidak bersekat disebut hifa
senositik (coenocytic). Anyaman hifa baik yang multiseluler atau senositik
disebut miselium. Kapang membentuk koloni yang menyerupai kapas
(cottony, woolly) atau padat (velvety, powdery, granular) (Sutanto, 2008).
Sumber: Tim Bakteriologi, 2014
Gambar 2.1 Koloni kapang Aspergillus sp.
a. Morfologi Kapang
Bentuk kapang atau khamir tidak mutlak karena terdapat jamur yang
dapat membentuk kedua sifat tersebut dalam keadaan yang berbeda dan
disebut sebagai jamur dimorfik. Di samping itu terdapat khamir yang
membentuk tunas yang memanjang dan bertunas lagi pada ujungnya secara
terus menerus, sehingga terbentuk hifa dengan penyempitan pada sekat-sekat
dan disebut hifa semu.
8
Hifa dapat bersifat sebagai:
1) Hifa vegetatif, yaitu berfungsi mengambil makanan untuk pertumbuhan.
2) Hifa reproduktif, yaitu membentuk spora.
3) Hifa udara (aerial hypha), yaitu yang berfungsi mengambil oksigen.
Hifa dapat berwarna atau tidak berwarna dan jernih (Sutanto, 2008).
Sumber: Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2013
Gambar 2.2 Rhizopus stolonifer pada proses pembentukan spora.
Menurut Pelczar (2013) terdapat tiga macam morfologi hifa, yaitu:
1) Aseptat atau senosit. Hifa seperti ini tidak mempunyai dinding sekat atau
septum.
2) Septat hifa (hifa bersekat) dengan sel-sel uninukleat. Sekat membagi hifa
menjadi ruang-ruang atau sel-sel berisi nucleus tunggal, dan pada tiap sekat
terdapat pori-pori yang memungkinkan perpindahan inti dan sitoplasma dari
satu ruang ke ruang lainnya.
3) Septa dengan sel-sel multinukleat. Septum membagi hifa menjadi sel-sel
dengan lebih dari 1 nukleus dalam setiap ruang.
Sumber: Pelczar, 2013
Gambar 2.3 Tiga tipe hifa : (A) Aseptat; (B) Septat; (C) bersekat dan inti banyak.
Menurut Carlile & Watkinson (1994) dalam Gandjar (2006) hifa kapang
merupakan bagian tubuh fungi yang menyolok adalah miselium yang
terbentuk dari kumpulan hifa yang bercabang-cabang membentuk suatu jala
9
yang umumnya berwarna putih. Hifa berisi protoplasma yang dikelilingi oleh
suatu dinding yang kuat. Pertumbuhan hifa berlangsung terus-menerus di
bagian apical, sehingga panjangnya tidak dapat ditentukan secara pasti.
Diameter hifa umumnya tetap, yaitu berkisar 3-30 µm. Spesies-spesies yang
berbeda memiliki diameter yang berbeda dan ukuran diameter tersebut dapat
juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.
Beberapa kapang penting dalam mikotoksikosis menurut Makfoeld (1993)
yaitu:
1) Aspergillus
Spesies dari genus Aspergillus diketahui terdapat dimana-mana dan
hampir dapat tumbuh pada semua substrat. Fungi ini dapat tumbuh pada buah
busuk, sayuran, biji-bijian, roti dan bahan pangan lainnya. Beberapa spesies
termasuk fungi patogen, misalnya ada yang menyebabkan penyakit paru-paru
dan lainnya, penyakit yang disebabkan oleh Aspergillus sp disebut
Aspergilosis. Aspergillus dicirikan hifa bersekat dengan inti yang banyak,
sehingga termasuk kelas Ascomycetes. Hifa bersekat dan bercabang yang
membedakannya dengan Rhizopus. Bebrapa spesies dari Aspergillus antara
lain Aspergillus oryzae, Aspergillus wentii, Aspergillus niger, Aspergillus
flavus, Aspergillus fumigatus, Aspergillus clavatus dan lain-lain.
Sumber: Pelczar, 2013
Gambar 2.4 Aspergillus sp
2) Penicillium
Penicillium mempunyai hubungan erat dengan Aspergilllus. Genus fungi
ini tersebar di alam. Penicilium umumnya berwarna hijau biru, terdapat pada
buah jeruk atau buah lain, sayuran, biji-bijian, bahan organik, keju dan bahan
10
pakan ternak serta lainnya. Penicillium dikatakan tidak mempunyai vesikel
dan konidiofor tunggal, sehingga bagian yang fungsinya mirip konidiofor
dengan cabang-cabangnya disebut penisilus (sapu). Beberapa spesies fungi ini
dianggap sebagai perusak dan pengganggu dan sebagian lain sangat
menguntungkan. P. notatum dan P. chrysogenum diketahui sebagai penghasil
penisilin yang produktif. P. roqueforti dan P. camemberti mengadakan
perubahan flavor dikehendaki pada pembuatan keju dan lainnya.
Sumber: Pelczar, 2013
Gambar 2.5 Penicillium sp
3) Cladosporium / Hormodendrum
Merupakan fungi yang tersebar dimana-mana karena bersifat saprofit,
dapat ditemukan pada kain pakaian, karet, dan bahan pangan, pada tanah di
sisa-sisa daun, jerami dan lain-lain. Cladosporium termasuk dalam family
Dematiaceae. Fungi ini relatif kecil, koloni berwarna hijau kotor atau hijau
kecoklat-coklatan dengan tekstur halus, permukaan seperti beludru.
Sumber: Pelczar, 2013:209
Gambar 2.6 Hormodendrum
11
4) Alternaria
Alternaria merupakan golongan fungi yang sefamili dengan
Cladosporium. Terdapat pada sisa-sisa makanan bahan organik. Warna hijau
gelap atau hijau kecoklat-coklatan. Miselium beraseptat berbentuk besar,
mengembang dengan konidiofor berwarna coklat kehijau-hijauan sampai
coklat gelap.
Sumber: Makfoeld, 1993
Gambar 2.7 Alternaria sp
5) Helminthosporium
Helminthosporium termasuk fungi familia Dematiaceae, fungi ini dikenal
parasit pada serealia. Konidia bersel banyak, tersusun bertumpuk rapi dengan
bentuk bulat memanjang. Fungi tersebut mampu menghasilkan mikotoksin
sitokalasin A, B, dan F yang berpengaruh pada sel mamalia.
Sumber: Makfoeld, 1993
Gambar 2.8 Helminthosporium sp
12
6) Fusarium
Fusarium merupakan salah satu anggota family Tuberculariaceae yang
potensial sebagai penghasil mikotoksin yang banyak dijumpai pada bahan
pangan, maupun pakan. Fungi ini bersifat saprofit dan juga dapat bersifat
parasit. Fusarium menghasilkan makrokonidia berbentuk panjang
melengkung di kedua ujung sempit seperti bulan sabit dan mikrokonidia yang
kecil bulat atau pendek-pendek lurus.
Sumber: Makfoeld, 1993
Gambar 2.9 Fusarium sp
7) Trichoderma
Konidia dari Trichoderma sp, merupakan massa kompak pada ujung
konidiofor yang berkembang, bercabang seperti pohon atau semak. Warnanya
adalah hijau cerah. Banyak terdapat di tanah. Berciri membentuk amoniak,
dan memberikan bau sebagai amoniak.
Sumber: Makfoeld, 1993
Gambar 2.10 Trichoderma sp
13
b. Reproduksi Kapang
Spora dapat dibentuk aseksual atau seksual. Spora aseksual disebut
talospora (thallospora), yaitu spora yang langsung dibentuk dari hifa
reproduktif (Sutanto, 2008). Spora aseksual dibentuk oleh hifa dari suatu
individu fungi. Bila spora aseksual bergerminasi, spora tersebut akan menjadi
fungi yang secara genetik identik dengan induknya (Pratiwi, 2008).
Menurut Sutanto (2008) spora yang termasuk spora aseksual (talospora)
ialah Blastospora, Artrospora, Klamidospora, Aleuriospora, Sporangiospora
dan Konidia.
Sumber: Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2013
Gambar 2.11 Jenis-jenis spora aseksual
Spora seksual dihasilkan dari dua fusi inti dengan tipe seks yang
berlawanan dari satu spesies fungi yang sama. Fungi yang tumbuh dari spora
seksual akan memiliki karakteristik genetik kedua induknya. Spora seksual
dihasilkan dari reproduksi seksual, yaitu peleburan dua nucleus. Spora ini
lebih jarang terbentuk, lebih belakangan, hanya terbentuk dalam kondisi
tertentu, dan dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingakan spora aseksual.
Proses pembentukan spora seksual terdiri dari tiga tahap, yaitu plasmogami,
saat inti sel haploid dari sel donor (+) mempenetrasi sitoplasma sel resipien;
karyogami, saat inti (+) dan inti negative (-) berfusi, menghasilkan inti zigot
diploid; serta meiosis, saat inti diploid membelah menjadi banyak inti haploid
14
(spora seksual) (Pratiwi, 2008). Termasuk golongan spora seksual ialah
Zigospora, Oospora, Askospora dan Basidiospora.
Sumber: Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2013
Gambar 2.12 Spora seksual (A) Askospora dan (B) Basidiospora
c. Fisiologi Kapang
Kapang dapat tumbuh dalam suatu substrat atau medium berisikan
konsentrasi gula yang dapat menghambat pertumbuhan kebanyakan bakteri.
Demikian pula kapang umumnya dapat bertahan terhadap keadaan yang lebih
asam dari pada kebanyakan mikroba yang lain. Kapang adalah
mikroorganisme aerob sejati dan dapat tumbuh dalam kisaran suhu dari 22ºC
sampai 30ºC, spesies patogenik mempunyai suhu optimum lebih tinggi,
biasanya 30 sampai 37ºC. Beberapa kapang akan tumbuh pada atau
mendekati 0ºC dan dengan demikian dapat menyebabkan kerusakan pada
daging atau sayur-sayuran dalam penyimpanan dingin (Pelczar, 2013).
Sifat Fisiologis kapang:
1) Kebutuhan air
Kebanyakan kapang membutuhkan air minimal untuk pertumbuhannya
dibandingkan dengan khamir atau bakteri (Waluyo, 2004). Air merupakan
pelarut esensial yang dibutuhkan bagi semua reaksi biokimiawi dalam system
hidup dan sekitar 90% menyusun berat basah sel (Ali, 2005).
2) Substrat
Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi nutrien baru dapat
dimanfaatkan sesudah fungi mengekresi enzim-enzim ekstraseluler yang
dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi
senyawa yang lebih sederhana misalnya apabila substratnya nasi maka fungi
tersebut mampu mengekresikan enzim amilase utuk mengubah amilum
menjadi glukosa. Fungi yang tidak dapat menghasilkan enzim sesuai
15
komposisi substrat dengan sendirinya tidak dapat di manfaatkan nutrient-
nutrient dalam substrat tersebut (Gandjar, 2006).
3) Suhu Pertumbuhan
Kebanyakan kapang bersifat mesofilik, yaitu mampu tumbuh baik pada
suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah
sekitar 25-30°C, tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 35-37°C atau lebih.
Beberapa kapang bersifat psikotrofik yakni dapat tumbuh baik pada suhu
lemari es dan beberapa bahkan masih dapat tumbuh lambat pada suhu di
bawah suhu permukaan.
4) Kebutuhan oksigen dan pH
Semua kapang bersifat aerobik, yakni membutuhkan oksigen dalam
pertumbuhannya. Kebanyakan kapang dapat tumbuh baik pada pH yang luas,
yakni 2,0-8,5 tetapi biasanya pertumbuhannya akan baik bila pada kondisi
asam atau pH rendah (Waluyo, 2004).
5) Kelembaban
Faktor ini sangat penting bagi pertumbuhan fungi seperti Rhizopus
memerlukan lingkungan dengan kelembapan 90% sedangkan untuk
Aspergillus, Penicillium dan lainnya yaitu 80% fungi yang tergolong xerofilik
atau tahan hidup pada kelembapan 70% misalnya Aspergillus glaucus,
Tamari dan Aspergillus flavus dengan mengetahui sifat fungi ini
penyimpanan bahan pangan dan materi lainnya dapat dicegah keruskannya
(Gandjar, 2006).
6) Nutrien
Waluyo (2004) menyatakan nutrisi sangat dibutuhkan kapang untuk
kehidupan dan pertumbuhannya, yakni sebagai sumber karbon, sumber
nitrogen, sumber energi, dan faktor pertumbuhan (mineral dan vitamin).
Nutrien tersebut dibutuhkan untuk membentuk energi dan menyusun
komponen-komponen sel. Kapang dapat menggunakan berbagai komponen
sumber makanan, dari materi yang sederhana sehingga meteri yang kompleks.
Kapang mampu memproduksi enzim hidrolitik, seperti amilase, pektinase,
proteinase dan lipase. Maka dari itu kapang mampu tumbuh pada bahan yang
mengandung pati, pektin, protein atau lipid.
16
7) Komponen penghambat
Beberapa kapang mengeluarkan komponen yang dapat menghambat
pertumbuhan organisme lainnya. Komponen ini disebut antibiotik, misalnya
penisilin yang diproduksi oleh Penicillium chrysogenum, dan clavasin yang
diproduksi oleh Aspergillus clavatus. Sebaliknya, beberapa komponen lain
bersifat mikostatik atau fungistatik, yaitu menghambat pertumbuhan kapang,
misalnya asam sorbet, propionate dan asetat, atau fungisidal yaitu membunuh
kapang (Fardiaz, 1992)
3. Mikotoksin
Mikotoksin dapat didefinisikan sebagai senyawa organik beracun yang
berasal dari sumber hayati berupa hasil metabolisme sekunder dari kapang.
Pengaruh mikotoksin pada manusia dan binatang berbeda-beda. Beberapa
diantaranya dapat menyebabkan terjadinya kanker, sedangkan jenis lain dapat
bersifat teratogenik karena menyebabkan kelainan pada fetus (janin) dan ada
juga yang menyebabkan imunosupresif dan nephratoksik (Syarief, 2003:32).
Secara umum, metabolisme primer dari suatu jasad renik merupakan
berbagai reaksi kimia dengan katalisator enzim (sintesis, degradasi) untuk
mempentukan energy dan berbagai senyawa intermediet bagi makromolekul
utama (protein, asam nukleat). Sedangkan metabolisme sekunder tidak
berperan dalam penyediaan kebutuhan hidup dari jasad renik tersebut
(Syarief, 2003).
Kondisi yang mempengaruhi metabolisme sekunder dari kapang untuk
memproduksi mikotoksin dapat dibedakan faktor intrinsik dan ektrinsik
(Syarief, 2003:34). Faktor intrinsik yaitu sifat kapang toksigenik yang
mempengaruhi sintesis toksin yang dihasilkannya. Sebagai contoh, tidak
semua Aspergillus flavus dapat memproduksi aflatoksin atau tidak semua
Penicillium islandium mensintesis inslanditoksin. Toksigenik dari kapang
juga sangat tergantung pada substrat dimana kapang tersebut tumbuh.
Demikian juga lokasi tempat penanaman serealia (biji-bijian) menentukan
sifat toksigenik (Syarief, 2003).
Faktor ekstrinsik yaitu factor lingkungan dan tempat hidup yang sangat
berperan dalam aktivitas kapang untuk memproduksi toksin. Faktor hidratasi
17
terutama aktivitas air, suhu, komposisi atmosfir, dan komposisi kimia substrat
yang sangat berpengaruh terhadap biosintesis mikotoksin. Kondisi suhu
sangat berpengaruh terhadap produksi mikotoksin. Contohnya suhu optimum
untuk memproduksi aflatoksin adalah sekitar 25-35°C dan produksi aflatoksin
akan terhenti pada suhu 45°C, dibawah suhu 12°C tidak terjadi metabolisme
yang menghasilkan aflatoksin (Syarief, 2003).
Aflatoksin merupakan salah satu mikotoksin yang terpenting di Indonesia
dengan kondisi iklim tropis yang sangat sesuai dengan pertumbuhan jamur
khususmya Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yaitu dua jenis
kapang yang dapat memproduksi berbagai jenis aflatoksin. Aflatoksin dapat
mengakibatkan kerusakan hati, organ tubuh yang sangat penting dan juga
berperan dalam detoksifikasi aflatoksin itu sendiri, apabila aflatoksin
dikonsumsi dalam jumlah yang kecil tetap saja dapat menyebabkan kanker
hati. Hasil penelitian pang et al (1974) terhadap 71 penderita kanker hati di
jakarta terungkap sekitar 94% dari penderita ditemukan berasal dari bahan
pangan yang di konsumsi sehari-hari oleh penderita (Syarief, 2003).
Aflatoksin bersifat tahan panas, pada suhu 60 dan 80°C jumlah aflatoksin
yang rusak tidak berarti, dan hanya sedikit yang rusak pada suhu 100°C
(Syarief, 2003). Proses ekstrasi menggunakan ekstruder dapat menurunkan
kadar aflatoksin pada bahan pangan dengan suhu yang digunakan bisa
mencapai 200°C akan tetapi sifat aflatoksin yang termotoleran suhu ekstrasi
belum mampu menghilangkan aflatoksin sama sekali (Syarief, 2003).
4. Gula Merah
Menurut Standar Nasional Indonesia (01-3743:1995), gula merah
merupakan salah satu bahan pangan yang dibuat dari pengolahan nira palma
yaitu aren (Arenga piñata Merr), kelapa (Cocos nucifera), nipah
(Nypafruticans), siwalan (Borassus flabellifer L). Gula merah biasanya dijual
dalam bentuk setengah elips yang dicetak menggunakan tempurung kelapa,
ataupun berbentuk silindris yang dicetak menggunakan bambu
(Kristianingrum, 2009). Untuk gula merah cetak dari nira aren memiliki
aroma khas aren, warna coklat muda, rasa lebih manis dan bersih. Gula merah
cetak dari nira kelapa memiliki warna coklat yang lebih gelap, aroma khas
18
kelapa, manis dan sedikit kotor sehingga perlu disaring bila akan digunakan
dalam bentuk cair (Kristianingrum, 2009).
Komposisi senyawa yang terkandung pada nira yaitu terdiri dari air (80-
90%), sukrosa (8-12%), gula reduksi (0,5-1%) dan bahan lainnya (1,5-7%)
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti
bakteri, jamur (kapang) dan ragi yang ada di sekitarnya (Wibowo, 2006).
Kandungan air di dalam suatu bahan sangatlah penting karena berpengaruh
terhadap daya tahan suatu produk selama masa penyimpanan. Kadar air yang
cukup tinggi pada suatu produk akan mengakibatkan aktifitas air yang ada
sangat cocok sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Winarno
(1980) sebagai water activity (Aw), yaitu jumlah air bebas yang dapat
digunakan oleh mikrooganisme untuk pertumbuhannya. Menurut Imanda
(2007) hasil analisa kadar air untuk masing-masing gula cetak menunjukkan
kadar air gula cetak berkisar 8,3-10,3%. Dari gula cetak yang dianalisa, gula
palma aren melebihi kadar air yang disyaratkan didalam SNI tentang gula
palma cetak yaitu maksimum 10% (bb). Kadar air yang tinggi ini
menandakan bahwa telah terjadi penyerapan uap air dari lingkungan, pada
dasarnya produk gula palma cetak merupakan produk yang higroskopis
(mudah menyerap air dari lingkungan). Kondisi penyimpanan dan
penanganan yang tidak sesuai selama penyimpanan dapat berpengaruh
terhadap perubahan kadar air.
Cara pengolahan gula merah cukup sederhana dimulai dari penyadapan
nira sebagai bahan baku pembuatan gula merah. Nira merupakan cairan
bening yang terdapat di dalam mayang atau manggar dari tumbuhan jenis
palma yang masih tertutup. Dari mayang atau manggar rata-rata dapat
diperoleh 0,5–1 Liter nira/ hari. Setelah bahan baku diperoleh kemudian
dilakukan penyaringan selanjutnya nira dimasak dengan suhu pemanasan
110–120°C hingga nira mengental dan berwarna kecoklatan, kemudian
dicetak dan didinginkan hingga mengeras (Balai Penelitian Tanaman Palma,
2010).
Menurut Muchaymien et al (2014) proses produksi gula merah di
pengrajin gula merah memiliki kondisi yang beragam disetiap tahap proses
19
produksinya. Berikut adalah kondisi optimal tiap tahapan proses produksi
gula merah.
a. Pengambilan Nira
Penderes mememarkan mayang dengan memukul dengan batang kayu
secara perlahan selama 5-8 menit mulai dari pangkal sampai keujung sebelum
nira disadap. Pengrajin menggunakan bahan pengawet berupa bubur kapur
sebanyak ½ sendok dalam 1 jerigen bervolume 5 L.
b. Penyaringan
Pengrajin gula merah menggunakan saringan 100 mesh untuk
membersihkan nira dari kotoran saat penyadapan dan dilakukan satu kali.
Berdasarkan pengamatan kotoran yang terdapat pada nira berupa semut,
bahan pengawet, dan bunga.
c. Pemasakan dan Pendinginan I
Nira hasil penyaringan kemudian dimasak dengan menggunakan wajan
selama 3-6 jam sambil dilakukan pengadukan. Pengrajin ada yang
menambahkan sulfit (setengah sendok) pada saat pemasakan nira. Suhu
pemasakan yang digunakan pengrajin pada umumnya tidak stabil. Suhu
pemasakan nira yang sesuai menurut Issoesetyo (2000) mencapai 110°C.
Pemasakan dihentikan apabila nira telah kental (pekat) dan meletup-letup.
Kondisi optimal nira pekat kemudian diturunkan dari kompor/tungku
pemasakan dan tetap dilakukan pengadukan hingga nira menjadi lebih pekat
dan suhunya turun menjadi 70°C.
d. Pencetakan dan Pendinginan II
Cetakan yang umum digunakan adalah cetakan bambu dan tempurung
kelapa. Cetakan harus direndam terlebih dahulu sebelum diguakan agar
pelepasan gula mudah dilakukan. Waktu yang diperlukan pada tahap ini 30
menit-60 menit. Gula merah kemudian diangin-anginkan agar mencapai suhu
kamar (25-30°C).
e. Pengemasan
Pengemasan gula merah menggunakan kotak kayu yang didalamnya
dilapisi plastik Polypropylene. Suhu optimal gula merah untuk di kemas
adalah 25-30°C.