36
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas Efektif adalah sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik atau memiliki hasil. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa efektifitas adalah hasil tepat guna, hasil guna, atau hasil yang menunjang tujuan yang diharapkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata efektif berarti dapat membuahkan hasil, mulai berlaku, ada pengaruh/akibat/efeknya. Efektifitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan. 1 Menurut Harbani Pasalong efektifitas pada dasrnya berasa l dari kata “efek” dan digunakan istilah ini sebagi hubungan sebab akibat. Efektifitas dapat dipandang sebagai suatu sebab dari variable lain. Efektifitas berarti bahwa tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata lain sasaran tercapai karena adanya suatu kegiatan. 2 Adapun pengertian lain dari efektifitas adalah tingkat tujuan yang diwujudkan suatu organisasi. 3 Apabila kita hendak melihat suatu efektivitas dari segi hukum, Achmad Ali berpendapat, “bahwa ketika kita ingin mengeta hui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka pertama-tama kita harusa dapat mengukur sejauh mana aturan hukum 1 Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Praktis, Populer, dan Kosa Kata Baru, Surabaya: Mekar, 2008, hlm. 132. 2 Harbani Pasalong, Teori Administrasi Publik, Bandung: Alfabeta, 2007, hlm. 4. 3 Richard H. Hall, Implementasi Manajemen Stratejik Kebijakan dan Proses , terjemahan Nganam Maksensius, Yogyakarta: Amara Books, 2006, hlm. 270.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Efektivitas

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Efektivitas

Efektif adalah sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik atau memiliki hasil.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa efektifitas adalah hasil tepat

guna, hasil guna, atau hasil yang menunjang tujuan yang diharapkan. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia, kata efektif berarti dapat membuahkan hasil, mulai berlaku,

ada pengaruh/akibat/efeknya. Efektifitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran

keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan.1

Menurut Harbani Pasalong efektifitas pada dasrnya berasa l dari kata “efek” dan

digunakan istilah ini sebagi hubungan sebab akibat. Efektifitas dapat dipandang

sebagai suatu sebab dari variable lain. Efektifitas berarti bahwa tujuan yang telah

direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata lain sasaran tercapai karena

adanya suatu kegiatan.2 Adapun pengertian lain dari efektifitas adalah tingkat tujuan

yang diwujudkan suatu organisasi.3

Apabila kita hendak melihat suatu efektivitas dari segi hukum, Achmad Ali

berpendapat, “bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari

hukum, maka pertama-tama kita harusa dapat mengukur sejauh mana aturan hukum

1 Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Praktis, Populer, dan Kosa

Kata Baru, Surabaya: Mekar, 2008, hlm. 132. 2 Harbani Pasalong, Teori Administrasi Publik, Bandung: Alfabeta, 2007, hlm. 4.

3 Richard H. Hall, Implementasi Manajemen Stratejik Kebijakan dan Proses , terjemahan

Nganam Maksensius, Yogyakarta: Amara Books, 2006, hlm. 270.

11

itu ditaati atau tidak ditaati.”4 Achmad Ali juga mengemukakan pada umumnya

faktor yang mempengaruhi suatu efektivitas hukum adalah professional dan optimal

pelaksanaan suatu peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum baik dalam

menjalankan tugas yang dibebankan pada mereka maupun dalam usaha penegakkan

suatu peraturan perundang-undangan.

Soerjono Soekanto5 mengemukakan tentang teori efektivitas hukum dapat dilihat

dari 5 (lima) faktor, faktor- faktor tersebebut adalah :

1. Faktor hukumnya (undang-undang)

2. Faktor penegak hukum, faktor yang dimaksud ialah pihak yang memiliki

wewenang dalam membentuk hukum maupun menerapkan hukum

3. Faktor sarana yang merupakan fasilitas yang digunakan dalam penegakan

hukum

4. Faktor masyarakat, merupakan tempat dimana hukum itu berlaku atau

diterapkan

5. Faktor kebudayaan, merupakan suatu hasil karya, cipta rasa yang berdasar

pada karsa tiap manusia di lingkungan dan pergaulannya.

Faktor-faktor itulah yang menjadi esensi dari penegakan hukum, sehingga saling

berkaitan satu dengan yang lainnya. Selain itu, kelima faktor ini merupakan tolak

4 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Jakarta: Kencana, 2010, hlm.

375. 5 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum , Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2008, hlm. 8.

12

ukur dari penegakan hukum. Faktor pertama ini dapat dikatakan berfungsi atau tidak

dapat dilihat dari aturan hukum itu sendiri.

Menurut Soerjono Soekanto6 faktor pertama dapat diukur dari:

1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah

cukup sistematis

2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang tertentu sudah cukup sinkron,

secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan

3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur

bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi

4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai peraturan yuridis

yang ada.

Faktor yang kedua menentukan efektif atau tidaknya peraturan hukum tertulis itu

tergantung pada aparat penegak hukum. Dalam hal ini hendaknya aparat merupakan

seseorang yang handal, meliputi keterampilan professional dan memiliki mental yang

baik agar tugas yang dilaksanakannya juga memberikan hasil yang baik.

Menurut Soerjono Soekanto faktor yang kedua dapat diditinjau dari segi aparat

akan tergantung pada hal berikut:

1. Sampai sejauh mana petugas terikat dengan peraturan-peraturan yang ada

2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan

3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada

masyarakat

6 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983, hlm. 80.

13

4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang

diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada

wewenangnya.

Faktor ketiga berhubungan dengan adanya sarana dan prasarana bagi aparat pelaksana

untuk melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud merupakan suatu

fasilitas yang digunakan sebagai alas untuk mencapai efektivitas hukum. Soer jono

Soekanto7 telah memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari

prasarana, dimana prasarana itu dapat memberikan kejelasan dan kepastian bahwa

merupakan sesuatu yang dapat menunjang kelanccaran aparat-aparat dalam

melaksanakan tugasnya. Adapun faktor yang ketiga adalah sebagai berikut:

1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik

2. Prasarana yang telah ada perlu diadakan dengan memperhitungkan waktu

pengadaannya

3. Prasarana yang kurang perlu dilengkapi

4. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki

5. Prasarana yang macet perlu dilancarkan fungsinya

6. Prasarana yang mengalami kemundurun fungsi perlu ditingkatkan lagi

fungsinya

Ada pula faktor pengukur efektivitas yang berasal dari kondisi masyarakat, yaitu:

1. Faktor yang menyebabkan masyarakat mengabaikan suatu aturan, meskipun

peraturan yang dibuat sudah baik

7 Soerjono Soekkanto, Penegakan Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983, hlm. 82

14

2. Faktor yang menyebabkan masyarakat mengabaikan peraturan meskipun

peraturan itu sangat baik dan aparat-aparatnya berwibawa

3. Faktor yang menyebabkan masyarakat mengabaikan peraturan baik, petugas

berwibawa serta fasilitas mencukupi.

Teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto relevan dengan teori yang

dikemukakan oleh Romli Atmasasmita8 yaitu, “bahwa faktor-faktor yang

menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental

aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga

terletak pada sosialisasi hukum yang sering diabaikan.”

Menurut Soerjono Soekanto9 efektif adalah “taraf sejauh mana suatu kelompok

dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif apabila terdapat dampak

hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing

atau merubah perilaku manusia sehingga menjadi suatu perilaku hukum.”

Efektivitas hukum juga dapat dikaitkan dengan adanya penyelewengan-

penyelewengan yang terjadi di masyarakat. Berlakunya sebuah produk hukum dapat

dilihat dari berbagai perspektif, seperti perspektif yuridis normatif, sosiologis dan

filosofis. Teori Stufenbau dari Hans Kelsen menyebutkan bahwa perspektif yuridis

normatif merupakan ketentuan hukum yang berlaku apabila telah sesuai dengan

8 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Bandung:

Mandar Maju, 2001, hlm. 55 9 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Bandung: CV. Ramadja Karya,

1988, hlm. 80

15

kaedah atau aturan yang lebih tinggi dan terbentuknya sesuai dengan cara-cara yang

telah ditetapkan.

Teori efektivitas menurut Lawrence M. Friedman bahwa efektif dan berhasil atau

tidaknya suatu penegakan hukum atau peraturan hukum tergantung pada 3 (tiga)

unsur sistem hukum, dimana ketiga unsur tersebut adalah struktur hukum, subtansi

hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum berkaitan dengan aparat penegak hukum,

substansi hukum berkaitan dengan substansi hukum yang meliputi perangkat dan

peraturan perundang-undangan dan budaya hukum meliputi hukum yang hidup

(living law) yang dianut dalam kehidupan masyarakat.

Struktur hukum adalah pola yang menunjukkan bagaimana suatu aturan hukum

dilaksanakan dan dijalankan sesuai dengan ketentuan atau aturan formal. Struktur

hukum juga menunjukkan pengadilan, pembuat hukum, badan dan segala bentuk

proses yang berjalan atau dijalankan dalam hukum. Di Indonesia misalnya apabila

kita berbicara tentang struktur atau sistem hukum Indonesia, berarti termasuk struktur

institusi- institusi penegak hukum yang ada didalamnya seperti kepolisian, kejaksaan

dan pengadilan.

Aspek yang lain dari sistem hukum adalah tentang substansi hukumnya. Substansi

yang dimaksud adalah suatu aturan, norma serta pola manusia dalam berperilaku. Jadi

substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

memiliki kekuatan yang mengikat dan dapat menjadi pedoman bagi aparat penegak

hukum.

16

Kultur hukum atau budaya hukum Friedman berpendapat, bahwa budaya hukum

yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya)

terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik-baiknya penataan struktur hukum yang

digunakan untuk menjalankan aturan hukum yang telah ditetapkan dan sebaik-

baiknya kualitas substansi hukum yang telah dibuat tidak akan bisa berjalan efektif

tanpa adanya suatu dukungan budaya hukum oleh orang yang terlibat dalam sistem

dam masyarakat.

Efektivitas hukum menjadi relevan dengan adanya teori aksi (action teori). Max

Weber memperkenalkan sebuah teori yang disebut teori aksi dan dikembangkan oleh

Talcot Parson. Teori aksi dari Max Weber dan Parson, relevan dengan pendapat

Soerjono Soekanto tentang efektivitas hukum, beliau menyatakan ada empat faktor

yang menyebabkan seseorang berprilaku tertentu yaitu :

1. Memperhatikan untung rugi

2. Menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa

3. Sesuai dengan hati nuraninya dan

4. Ada tekanan – tekanan tertentu.10

10

Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung. hlm. 78

17

B. Tinjauan Tentang Peraturan Daerah

Pengertian Peraturan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

ialah11 : Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan

nama lain adalah Perda provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Pengertian lain

berdasarkan Undang-Undang republic Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 ialah12 :

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan Perundang-Undangan yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan

bersama Bupati/Walikota. Yang melaksanakan peraturan Daerah adalah Pemerintah

Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah

pasal 1 ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa13 :

Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah oleh pemerintah

daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asa otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah Daerah ialah kepala daerah sebagai unsurpenyelenggara Pemerintahan

Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah otonom. Pemerintah Daerah memiliki peran dalam pembuatan kebijakan di

daerah yang disebut peraturan daerah.

11

UU RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah 12

UU RI Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 13

UU RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

18

C. Tinjauan Tentang Perizinan

Tidak mudah memberikan definisi apa itu izin. Seperti halnya pendapat dari

Sjachran Basah. 14 pendapat yang dikatakan beliau sepertinya sama dengan yang

berlaku di Belanda, seperti apa yang dikemukakan oleh van der Pot, “Het is uiterst

moelijk voor begrip vergunning een definitie te vinden (sangat sukar membuat

definisi untuk menyatakan pemgertian izin itu).”15

Utrecht memberikan pengertian vergunning sebagai berikut:

Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi

masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan

untuk masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang

memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning)

Izin (vergunning) merupakan suatu kesepakatan atau persetujuan yang diberikan

oleh penguasa dan didasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang

digunakan dalam keadaan tertentu dan menyimpang dari ketentuan larangan

peraturan perundang-undangan. Izin dapat juga diartikan sebagai dispensasi atau

pelepasan/pembebasan dari suatu larangan.

Perizinan adalah salah satu bentuk dilaksanakannya suatu fungsi pengaturan yang

bersifat pengendalian pemerintah dan digunakan untuk pelaksanaan fungsi

pengaturan yang bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap

kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan dapat berbentuk

14

Sjach Basah, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan di Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1995, hlm. 1 -2.

15 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar 1957), hlm. 187.

19

pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan

suatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan

atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau

tindakan.

Hal pokok pada suatu izin, bahwa suatu tindakan dilarang kecuali diperbolehkan

dan tentu dengan tujuan supaya tetap dalam ketentuan yang bersangkutan dilakukan

dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi apabila ada kriteria-kriteria yang

telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi. Misalnya tentang ini adalah, dilarang

mendirikan suatu cafe, kecuali ada izin tertulis dan pejabat yang berwenang dengan

ketentuan mematuhi persyaratan-persyaratan.

Dengan demikian, perizinan adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mengatur

kegiatan yang dapat menimbulkan gangguan bagi kepentingan umum. Mekanisme

perizinan melalui penerapan prosedur yang ketat dan ketentuan yang harus dipenuhi

untuk melakukan suatu pemanfaatan lahan. Perizinan merupakan salah satu bentuk

pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki pemerintah,

merupakan mekanisme pengendalian administratif terhadap kegiatan yang dilakukan

oleh masyarakat.

1. Elemen Pokok Izin

Izin merupakan suatu tindakan atau perbuatan pemerintah yang

bersegi satu berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang

diterapkan dalam peristiwa konkret sesuai dengan prosedur dan persyaratan

20

tertentu. Dari pengertian ini ada bebrapa unsur dalam perizinan, yaitu sebagai

berikut:16

a. Wewenang

Wetmatigheid van bestuur yaitu pemerintahan yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan merupakan salah satu prinsip dalam Negara hukum. Artinya

setiap tindakan hokum pemerintah, baik dalam menjalankan fungsi pengaturan

dan juga fungsi pelayanan, harus berdasar pada wewenang yang telah diberikan

oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Om positief recht ten kunnen

vasstellen en handhaven is een bevoegdheid noozakelijk. Zonder bevoegdheid

kennen geen juridisch concrete besluiten genomen worden,17 (untuk dapat

melaksanakan dan menegakkan ketentuan hukum positif perlu wewenang. Tanpa

wewenang tidak dapat dibuat keputusan yuridis yang bersifat konkret).

b. Izin sebagai Bentuk Ketetapan

Di Negara hukum yang modern ini, tugas dan kewenangan pemerintah yang

ada bukan hanya menjaga ketertiban dan keamanan saja, namun juga melakukan

suatu uapaya bagi kesejahteraan umum (bestuurszorg). Menjaga ketertiban dan

kemanan merupakan tugas pemerintah yang terlalu klasik dan sampai kini masih

tetap dipertahankan. Pemerintah diberikan wewenang dalam bidang pengaturan,

16

Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, ( Jakarta: Rajagrafindo, 2006), hlm. 210-217. 17

F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en Administratief Recht. (Alphen aan den Rijn: Samson H.D. Tjeenk Willink, 1985), hlm. 26.

21

yang berasal dari fungsi pengaturan ini muncul beberapa instrument yuridis yang

digunakan untuk menghadapi peristiwa individual yang konkret dalam bentuk

ketetapan dalam rangka melaksanakan tugasnya. Berdasarkan sifatnya yang

individual dan konkret, ketetapan yangada ini adalah sebagai ujung tombak dari

suatu instrument hukum penyelenggaraan pemerintahan, 18 juga sebagai suatu

norma yang berfungsi sebagai norma penutup dalam rangkaian norma hukum.19

Salah satu wujud dari ketetapan ini adalah izin.

Dari beberapa jenis ketetapan, izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat

konstitutif, yaitu menjadi ketetapan yang menimbulkan hak baru yang

sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam

ketetapan itu, atau beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd

was,20(ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak

dibolehkan). Dengan demikian, izin merupakan instrument yuridis dalam bentuk

ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk

menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Sebagai ketetapan, izin itu dibuat

dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku pada ketetapan pada umumnya,

sebagaimana yang telah disebutkan diatas.21

18

Opcit., Sjahran Basah, hlm. 2. 19

Philipus M. Hadjon et. Al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998, hlm. 125).

20 C.J.N. Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samson H.D. Tjeenk Will ink, Alphen aan

den Rij, 1984, hlm. 69. 21

Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo, 2006), hlm. 211-212.

22

Beberapa aspek dalam regulasi perizinan akan selalu memuat dari berbagai

pendapat pakar, dapat disarikan sebagai berikut: (1) persyaratan, (2) hak dan

kewajiban, (3) tata cara, (4) jangka waktu keberlakuan, (5) waktu pelayanan, (6)

biaya, (7) mekanisme complain dan penyelesaian sengketa, dan (8) sanksi

c. Lembaga Pemerintahan

Lembaga secara teoritis merupakan suatu rule of the game yang berfungsi

untuk mengatur perbuatan dan menentukan apakah organisasi dapat berjalan

dengan baik dan efektif.22

Dengan demikian, tata kelembagaan dapat menjadi pendorong (enabling)

pencapaian keberhasilan dan sekaligus juga bila tidak tepat dalam menata, maka

dapat menjadi penghambat (constraint) tugas-tugas termasuk tugas

menyelenggarakan izin.

Lembaga pemerintah ialah lembaga yang mengururs urusan pemerintahan,

baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah. Menurut Sjachran Basah, dari

berbagai ketentuan penyelenggaraan pemerintahan, dapat diketahui bahwa dari

administrasi negara yang paling tinggi (presiden) sampai administrasi paling

rendah (lurah) memeliki kewenangan untuk memberi izin. Artinya terdapat

banyak ragam dari administrasi negara (termasuk instansinya) yang berhak

22

North, 1990, dalam Lembaga Administrasi Negara, Standar Pelayanan Publik, Cetakan Pertama, Juli 2009, hlm. 49.

23

memberikan izin, dan berdasarkan pada jabatan yang dijabatnya ditingkat pusat

maupun daerah.23

Pemerintah dan masyarakat memiliki suatu hubungan timbal balik, yaitu pada

satu masyarakat memberikan pengaruh pada pemerintah dalam menjalankan

tugasnya, dan disisi lainnya pemerintah memberikan pengaruh tertentu pada

masyarakat melalui tugas mengurus dan mengatur.

Melalui tugas mengurusnya, pemerintah memberikan pengaruh pada

masyarakat dalam bidang kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan juga

pemeliharaan kesehatan secara aktif menyediakan sarana, prasarana, finansial dan

juga personal. Adapaun pengaruh pemerintah terhadap masyarakat melalui tugas

mengatur memiliki makna bahwa pemerintah terlibat dalam penertiban dan

pelaksanaan peraturan perundang-undangan termasuk melahirkan sistem-sistem

perizinan. Melalui instrument pengaturan tersebut, pemerintah melakukan

pengendalian pada masyarakat dalam bentuk peraturan termasuk izin, dimana izin

tersebut mengandung larangan dan kewajiban.

Izin merupakan salah satu instrument yang mengatur paling banyak

digunakan oleh pemerintah dalam melakukan pengendalian pada masyarakat.

Maka, izin sebagai salah satu instrument pemerintahan memiliki fungsi

23

Sjachran Basah, “Sistem Perizinan Sebagai Instrumen Pengendali Lingkungan” . Makalah pada Seminar Hukum Lingkungan, diselenggarakan oleh KLH bekerja sama dengan Legal Mandate Compliance end Enforcement Program dari BAPEDAL 2-3 Mei 1996, Jakarta, hlm. 3.

24

mengendalikan tingkah laku masyarakat agar sesuai dengan tujuan yang

ditetapkan.24

Terlepas dari beragamnya lembaga pemerintahan atau administrasi yang

mengeluarkan izin, yang pasti adalah bahwa izin hanya boleh dikeluarkan oleh

lembaga pemerintahan. Menurut N.M. Spelt dan J.B.M. ten Berge, keputusan

yang memberikan izin harus diambil oleh lembaga yang berwenang, dan hampir

selalu yang terkait adalah lembaga- lembaga pemerintahan atau administrasi

negara. Dalam hal ini lembaga- lembaga pada tingkat penguasa nasional (seorang

menteri) atau tingkat penguasa-penguasa daerah.25

Banyaknya lembaga pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk memberi

izin dapat menimbulkan tujuan dari kegiatan yang membutuhkan suatu izin

tertentu dapat menjasi terhambat, bahkan bisa jadi tidak mencapai sasaran. Ini

berarti bahwa campur tangan pemerintah dalam regulasi perizinan memberikan

kejenuhan bagi pelaku kegiatan yang perlu adanya izin, apalagi bagi kegiatan

usaha yang memerlukan pelayanan yang cepat dan efisien.

Menurut Soehardjo, pada tingkat tertentu regulasi ini menimbulkan kejenuhan

dan timbul gagasan yang mendorong untuk menyederhanakan pengaturan,

prosedur, dan birokrasi. Keputusan pejabat biasanya membutuhkan waktu lama,

misalnya penerbitan izin membutuhkan waktu lebih dari satu bulan, sedangkan

dalam dunia usaha membutuhkan waktu yang cepat, dan terlalu banyaknya mata

24

Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo, 2006), hlm. 213-215. 25

Op. cit., N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge.

25

rantai dalam prosedur perizinan banyak membuang waktu dan biaya. 26 Oleh

karena itu dalam perizinan biasanya dilakukan deregulasi, yang memiliki arti

peniadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang dipandang berlebihan.

Hal ini disebabkan karena peraturan yang berlebihan biasanya berkenaan dengan

adanya campur tangan pemerintah atau negara dalam bermasyarakat tertutama

dalam bidang ekonomi, jadi deregulasi itu ujungnya memiliki makna

debirikratisasi.27 Walau deregulasi dan debirokratisasi ini biasa digunakan dalam

bidang perizinan dan hampir selalu dipraktikkan dalam pemerintahan tapi dalam

suatu negara hukum harus ada batasan atau rambu-rambu yang ditentukan oleh

hukum.

d. Peristiwa Konkret

Izin merupakan instrument yuridis yang memiliki bentuk ketetapan, dimana

pemerintah menggunakannya dalam peristiwa konkret dan individual. Yang

dimaksud dengann peristiwa konkret disini ialah suatu peristiwa yang terjadi pada

suatu waktu tertentu dan terdapat fakta hukum dalam peristiwa tersebut.

Beragamnya peristiwa ini juga sejalan dengan keberagaman yang ada pada

masyarakat, begitu pula dengan izin juga memiliki keberagaman. Izin yang

jenisnya beragam itu dibuat dalam proses yang cara prosedurnya tergantung dan

26

Soehardjo, Hukum Administrasi Negara Pokok-Pokok Pengertian serta Perkembangannya di

Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1991), hlm. 25. 27

Bagir Manan, Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah, majalah Ilmiah Universitas Padjadjaran, No. 3 Volume 14, 1996, hlm. 33.

26

kewenangan pemberi izin, macam izin, dan struktur organisasi instansi yang

menerbitkannya. Banyaknya jenis izin yang dikeluarkann oleh instansi pembei

izin juga dapat berubah dengan adanya perubahan kebijakan peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan izin tersebut. Walaupun begit, izin akan tetap

digunakan dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan. 28

e. Proses dan Prosedur

Proses dan prosedur perizinan dapat meliputi prosedur pelayanan perizinan,

proses penyelesaian perizinan yang merupakan proses internal yang dilakukan

oleh aparat/petugas.dalam setiap tahapan pekerjaan tersebut, masing-masing

pegawai dapat mengetahui peran masing-masing dalam proses penyelesaian

perizinan.

Suatu permohonan izin harus menempuh beberapa prosedur tertentu yang

ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Di samping harus menempuh

prosedur tertentu, pemohon izin juga wajib untuk memenuhi syarat-syarat yang

telah ditentukan oleh pemberi izin. Prosedur dan persyaratan perizinan itu

berbeda-beda tergantung pada jenis izin, tujuan izin, dan instansi pemberi izin.

Dalam hal pelaksanaan perizinan, lack of competencies sangat mudah untuk

dijelaskan. Pertama, dalam proses perizinan dibutuhkan adanya pengetahuan,

bukan hanya sebatas pada aspek legal dari proses perizinan saja, tetapi lebih jauh

dari aspek tersebut. Misalnya, untuk memberikan izin pihak pelaksana juga harus

28

Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo, 2006), hlm. 215-216

27

mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari izin tersebut baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang. Seseorang yang dapat memperkirakan

dampak yang bersifat multidimensi memerlukan pengetahuan yang luas baik dari

segi konsepsional maupun hal-hal teknis. Dalam beberapa kasus, sangat sering

ditemui aparatur pelaksana yang tidak memiliki syarat pengetahuan yang

dimaksud. Alhasil, izin yang diberikan bisa jadi akan menimbulkan dampak yang

buruk dimasa depan.

Kedua, perlunya dukungan keahlian dari aparatur yang bukan hanya dalam

mengikuti tata urutan prosedurnya, tapi hal lain yang juga dapat mendukung

kelancaran proses perizinan. Pengoptimalan penggunaan teknologi informasi,

misalnya dianggap menjadi solusi yang sangat tepat untuk mengefisienkan

prosedur perizinan. Dengan demikian, hampir disemua sector perizinan dituntut

untuk menggunakan sistem komputerisasi dan aparat yang tidak memiliki

keahlian untuk mengoperasikan teknologi tersebut akan menjadi ganjalan. Aparat

yang demikian masih sangat banyak ditemui di lapangan.

Ketiga, proses perizinan tidak terlapas dari interaksi antara pemohon dengan

pemberi izin. Dalam interaksi tersebut terkadang muncul perilaku yang

menyimpang baik yang dilakukan oleh aparatur maupun yang dipicu oleh

kepentingan bisnis pelaku usaha, sehingga aparatur pelaksana perizinan dituntut

untuk memiliki perilaku yang positif dengan tidak memanfaatkan situasi demi

kepntingan pribadi. Masih sangat sering dijumpai praktik-praktik yang tercela

dalam proses perizinan seperti suap dan sebagainya. Di samping itu, masalah

28

perilaku juga menjadi persoalan manakala prinsip good governance dituntut

untuk dilakukan dalam pelayanan perizinan. Sebab masih jarang ditemukan

aparatur pelayanan yang memiliki sikap professionalism dan mengedepankan

prinsip customer relationship manakala berhubungan dengan pihak yang diberi

layanan.

f. Persyaratan

Persyaratan merupakan hal yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk

memperoleh izin yang dimohonkan. Persyaratan perizinan tersebut berupa

dokumen kelengkapan atau surat-surat.

Menurut Soehino, “syarat-syarat dalam izin itu bersifat konstitutif dan

kondisional. Bersifat konstitutif, karena ditentukan suatu perbuatan atau tingkah

laku tertentu yang harus (terlebih dahulu) dipenuhi, artinya dalam hal pemberian

izin itu ditentukan suatu perbuatan konkret, dan bila tidak dipenuhi dapat dikenai

sanksi. Bersifat kondisional, karena penilaian tersebut baru ada dan dapat dilihat

serta dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku yang disyaratkan itu

terjadi.”29Penentuan prosedur dan persyaratan perizinan dilakukan secara sepihak

oleh pemerintah. Namun pemerintah tidak dapat membuat ataupun menentukan

prosedur dan persyaratan menurut kehendaknya sendiri secara arbiter (sewenang-

wenang), tapi juga harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang

telah menjadi dasar dari perizinan itu. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh

29

Soehino, Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hlm. 97.

29

menentukan syarat yang melampaui batas tujuan yang hendak dicapai oleh

peraturan hukum yang menjadi dasar perizinan bersangkutan.30

g. Waktu Penyelesaian Izin

Waktu penyelesaian izin ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Waktu

penyelesaian ditentukan sejak saat permohonan diajukan sampai dengan

penyelesaian pelayanan. Dimensi waktu selalu melekat pada proses perizinan

karena adanya tata cara dan prosedur yang harus ditempuh seseorang dalam

mengurus perizinan tersebut. Dengan demikian regulasi dan deregulasi harus

memenuhi kriteria berikut:

1) Disebutkan dengan jelas

2) Waktu yang ditetapkan sesingkat mungkin

3) Diinformasikan secara luas bersama-sama dengan prosedur dan

persyaratan

h. Biaya Perizinan

Biaya/tariff pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses

pemberian izin. Penetapan besaran biaya pelayanan perizinan perlu

memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Rincian biaya harus jelas dalam tiap perizinan, khususnya yang memerlukan

tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran dan pengajuan

30

Ridwan, H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo, 2006), hlm. 217.

30

2) Ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan atau dan memperhatikan

prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

Pembiayaan menjadi hal mendasar dari pengurusan perizinan. Namun,

perizinan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengatur aktivitas

masyarakat sudah seharusnya memenuhi sifat-sifat sebagai public

goods.31Dengan demikian, meskipun terdapat pembiayaan sesungguhnya bukan

untuk sebagai alat budgetaire negara. Oleh karena itu, harus memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

1) Disebutkan dengan jelas

2) Terdapat (mengikuti) standar nasional

3) Tidak ada pengenaan biaya lebih dari sekali untuk setiap objek (syarat)

tertentu

4) Perhitungan didasarkan pada tingkat real coast (biaya yang sebenarnya)

5) Besarnya biaya diinformasikan secara luas

i. Pengawasan Penyelenggaraan Izin

Saat sekarang kinerja pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh pemerintah

dituntut untuk lebih baik. Dalam banyak hal memang harus diakui bahwa kinerja

pelayanan perizinan pemerintah masih buruk. Hal ini disebabkan oleh: Pertama,

tidak ada sistem isentif untuk melakukan perbaikan. Kedua, buruknya tingkat

pengambilan inisiatif dalam pelayanan perizinan, yang ditandai dengan tingkat

31

Adrian Sutedi, Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 87

31

ketergantungan yang tinggi pada aturan formal (rule driven) dan petunjuk

pimpinan dalam melakukan tugas pelayanan.

Pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah digerakkan

oleh peraturan dan anggaran bukan digerakkan oleh misi. Dampaknya adalah

pelayanan menjadi kaku, tidak kreatif dan tidak inovatif, sehingga tidak dapat

mengakomodasi kepantingan masyarakat yang selalu berkembang. Ketiga, budaya

aparatur yang masih kurang disiplin dan sering melanggar aturan. Keempat,

budaya paternalistic yang tinggi, artinya aparat menempatkan pimpinan sebagai

prioritas utama, bukan kepentingan masyarakat.

Masalah pelayanan masyarakat yang diberikan oleh aparat birokrasi

pemerintah merupakan satu masalah penting bahkan seringkali variable ini

dijadikan alat ukur menilai keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas pokok

pemerintah. Begitu juga halnya di daerah masalah pelayanan peizinan sudah

menjadi program pemerintah yang harus secara terus-menerus ditingkatkan

pelaksanaannya.

Adanya pembuatan metode atau sistem pelayanan perizinan ternyata tidak

otomatis mengatasi masalah yang terjadi, sebab dari hari ke hari keluhan

masyarakat bukannya berkurang bahkan semakin sumbang terdengar. Hal ini

menunjukkan bahwa misi pemerintah, yaitu sebagai public services32masih belum

memenuhi harapan masyarakat. Sudah mulei sekaranglah seharusnya pemerintah

32

Ibid, hlm. 89.

32

memberikan perhatian yang serius dalam uapaya peningkatan dan perbaikan mutu

pelayanan.

Antisipasi terhadap tuntutan pelayanan yang baik membawa suatu konsekuensi

logis bagi pemerintah untuk memberikan perubahan-perubahan terhadap pola

budaya kerja aparatur pemerintah. Sebagai upaya melakukan perubahan tersebut

telah lahir Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik yang

dalam pasal 39 ayat (3) yang berbunyi, masyarakat dapat membentuk lembaga

pengawasan pelayanan publik. Ini berarti bahwa pemerintah mengamanatkan agar

masyarakat dilibatkan dalam pengawasan pelayanan publik. Namun, tata cara

pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik diatur lebih

lanjut dalam peraturan pemerintah, hal ini disebutkan dalam pasal 39 ayat (4) yang

berbunyi, tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan

publik diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Dalam Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik dikemukakan bahwa pengawasan pelayanan

publik dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan

perizinan oleh aparatur pemerintah diberikan arahan mengenai prinsip-prinsip

pelayanan perizinan yaitu antar lain prinsip kesederhanaan, kejelasan, kepastian

waktu, akurasi, keamanan, dan tanggung jawab serta kedisiplinan.

Namun, suatu kebijakan tidak begitu saja dapat diimplementasikan dengan

baik. Di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa tuntutan masyarakat terhadap

kualitas pelayanan perizinan terus meningkat seiring dengan meningkatnya

33

dinamika masyarakat itu sendiri. Apabila tidak diimbangi dengan konsistensi

pelaksanaan kebijakan atau berapa banyak kebijakan yang telah diambil oleh

pemerintah, maka hasilnya tetap saja dirasakan kurang memuaskan.

j. Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa

1) Pengaduan

Setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan perizinan wajib menyelesaikan

setiap pengaduan masyarakat mengenai ketidak puasan dalam pemberian

pelayanan izin sesuai kewenangannya. Untuk menampung pengaduan masyarakat

tersebut, unit pelayanan perizinan harus menyediakan loket/kotak pengaduan dan

berbagai sarana pengaduan lainnya dalam menyelesaikan pengaduan masyarakat.

Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit pemberi izin yang

bersangkutan dan terjadi sengketa, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui

mekanisme penanganan pengaduan oleh instansi atau unit kerja yang memberikan

pelayanan perizinan.

Mekanisme pengaduan merupakan mekanisme yang dapat ditemouh oleh

pemohon izin atau pihak yang dirugikan akibat dikeluarkannya izin. Mekanisme

pengaduan merupakan hal yang sangat penting untuk memperbaiki kualitas

pelayanan terus-menerus.

Untuk dapat menjadikan pengaduan sebagai sumber perbaikan pelayanan

perizinan, meka pengaduan itu sendiri harus dikelola dengan baim dan benar.

Mekanisme penanganan pengaduan yang baik dan benar harus memenuhi unsur-

34

unsur antara lain: 1) penentuan prioritas pengaduan yang masuk ke loket atau

kotak pengaduan dan berbagai sarana pengaduan lainnya, 2) adanya prosedur

penyelesaian pengaduan, 3) adanya pejabat/petugas yang secara khusus

bertanggung jawab atas pengaduan, 4) adanya standar waktu penyelesaian

pengaduan.

2) Sengketa

Apabila penyelesaian pengaduan tersebut oleh pemohon atau pihak yang

dirugikan akibat dikeluarkannya izin, maka dapat menyelesaikan melalui jalur

hukum, yakni melalui mediasi, Obsman, atau ke pengadilan untuk menyelesaikan

sengketa hukum penyelesaian tersebut.

Regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia kedepan yang menjunjung

tinggi good governance, harus diwujudkan dengan adanya mekanisme complain

dan penyelesaian sengketa karena adanya berbagai pihak yang terlibat. Berikut ini

yang harus diperhatikan dalam hal tersebut:

a) Prosedur sederhana dibuka (dapat diakses) secara luas

b) Menjagga kerahasiaan pihak yang melakukan complain

c) Menggunakan berbagai media

d) Dilakukan penyelesaian sesegera mungkin

e) Membuka akses penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan atau

nonpengadilan.

35

k. Sanksi

Sebagai produk kebijakan publik, regulasi dan deregulasi perizinan di

Indonesia kedepan perlu memperhatikan materi sanksi dengan kriteris berikut:

a) Disebutkan secara jelas terkait dengan unsur-unsur yang dapat diberi sanksi

dan sanksi apa yang akan diberikan

b) Jangka waktu pengenaan sanksi disebutkan

c) Mekanisme pengguguran sanksi

l. Hak dan Kewajiban

Hak dan kewajiban antara pemohon dan instansi pemberi izin harus tertuang

dalam regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia. Dalam hal ini juga harus

diperhatikan hal-hal berikut:

1) Tertulis dengan jelas

2) Seimbang antara para pihak

3) Wajib dipenuhi oleh para pihak

Di dalam undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

juga dikemukakan hak dan kewajiban masyarakat (yang memohon izin) dan

instansi pemberi layanan perizinan. Hak-hak masyarakat yaitu:

1) Mendapatkan pelayanan perizinan yang berkualitas sesuai dengan asas dan

tujuan pelayanan

2) Mengetahui sistem, mekanisme, dan prosedur pelayanan

3) Mendapat tanggapan atas keluhan yang diajukan secara layak

36

4) Mendapatkan advokasi, perlindungan, dan pemenuhan pelayanan

Adapun kewajiban masyarakat adalah:

1) Mengawasi dan memberitahukan kepada instansi pemberi layanan perizinan

untuk memperbaiki pelayanannya apabila pelayanan yang diberikan tidak

sesuai dengan standar peelayanan yang berlaku

2) Melaporkan penyimpangan pelaksanaan pelayanan kepada Ombudsman

apabila penyelenggara tidak memperbaiki pelayanan seperti dalam angka 1

diatas

3) Mematuhi dan memenuhi persyaratan, sistem, dan mekanisme prosedur

pelayanan perizinan

4) Menjaga dan turut memelihara berbagai sarana dan prasaranan pelayanan

umum

5) Berpartisipasi aktif dan mematuhi segala keputusan Penyelenggara.

2. Fungsi Izin

Segala ketentuan dalam perizinan mempunyai fungsi yaitu sebagi funfsi

penertib dan pengatur. Sebagai fungsi penertib, diharap setiap izin atau tempat-

tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak

bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dari setiap segi masyarakat dapat

terwujud.

37

Sebagai fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat

dilaksanakan sesuai dengan peruntukkannya sehingga tidak terdapat

penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini

dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah. Dalam hal Izin

Mendirikan Bangunan, fungsi dari izin bangunan dapat dilihat dalam beberapa hal.

a. Segi Teknis Perkotaan

Pemberian izin mendirikan bangunan sangat penting artinya bagi pemerintah

daerah guna mengatur, menetapkan, dan merencanakan pembangunan perumahan

wilayahnya sesuai dengan potensial dan prioritas kota yang dituangkan dalam

Master Plan Kota. Untuk mendapatkan pola pembangunan kota yang terencana

dan terkontrol tersebut, pelaksanaan pembangunan di atas wilayah suatu kota

diwajibkan memeliki izin mendirikan bangunan dan penggunaannya sesuai

dengan yang disetuji oleh Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota

(DP3K).

Dengan adanya pengaturan pembangunan perumahan melalui izin ini,

pemerintah di daerah dapat merencanakan pelaksanaan pembangunan berbagai

sarana serta unsur kota dengan berbagai instansi yang berkepentingan. Hal ini

penting artinya agar wajah perkotaan dapat ditata dengan rapi serta menjamin

keterpaduan pelaksanaan pekerjaan pembangunan perkotaan. Penyesuainan

pemberian izin mendirikan bangunan dengan Master Plan Kota akan

38

memungkinkan adanya koordinasi antara berbagai departemen teknis dalam

melaksanakan pembangunan kota.

b. Segi Kepastian Hukum

Izin Mendirikan Bangunan penting artinya sebagi pengawasan dan

pengendalian. Mendirikan bangunan dapat menjadi acuan atau titik tolak dalam

pengaturan suatu bangunan. Bagi masyarakat, pentinga izin mendirikan bangunan

ini adalah untuk mendapatkan kepastian hukum terdapat hak bangunan yang

dilakukan, sehingga tidak ada gangguan atau hal-hal yang merugikan pihak lain

dan akan merugikan keamanan dan ketentraman dalam melakukan usaha atau

pekerjaan.

Selain itu, izin mendirikan bangunan tersebut bagi pemiliknya dapat berfungsi

antara lain sebagi berikut:

1) Bukti milik bangunan yang sah

2) Kekuatan hukum terhadap tuntutan ganti rugi dalam hal berikut:

a) Terjadinya hak milik untuk keperluan pembangunan yang bersifat untuk

kepentingan hukum

b) Bentuk-bentuk kerugian yang diderita pemilik bangunan lainnya yang

berasal dari kebijaksanaan dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

c) Segi pendapatan daerah, dalam hal ini pendapatan daerah, maka izin

mendirikan bangunan merupakan salah satu sektor pemasukan yang tidak

39

dapat diabaikan begitu saja. Memalui pemberian izin ini dapat dipungut

retribusi izin mendirikan bangunan. Retribusi atas izin mendirikan

bangunan itu ditetapkan berdasarkan presentase dari taksiran biaya

bangunan yang dibedakan menurut fungsi bangunan tersebut. retribusi izin

mendirikan dibebankan kepada setian orang atau badan hukum yang

namanya tercantum dalam surat izin yang dikeluarkan itu.

Hukum perizinan adalah bagian dari Hukum Administrasi Negara.

Adapun yang dimaksud dengan perizinan adalah melakukan perbuatan atau

usaha yang sifatnya sepihak yang berda di bidang Hukum Publik yang

berdasarkan wewenang tertentu yang berupa penetan dari permohonan

seseorang maupun Badan Hukum terhadap masalah yang dimohonkan.

Sebagai suatu instrument, izin berfungsi selaku ujung tombak instrument

hukum sebagai suatu pengarah, perekayasa, dan peranncang masyarakat yang

adil dan makmur. Hal ini berarti lewat izin dapat diketahui bagaimana

gambaran masyarakat adil dan makmur itu terwujud. Ini bararti persyaratan-

persyaratan yang terkandung dalam izin merupakan pengendali dalam

memfungsikan izin itu sendiri.33apabila dikatakan bahwa suatu izin itu dapat

difungsikan sebagai instrument pengendali dan instrument untuk mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimna yang diamantkan dalam alinea

keempat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, penataan dan

33

Opcit., Sjachran Basah, hlm. 2.

40

pengaturan izin sudah semstinya harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Menurut Prajudi Atmosudirdjo,34 berkenaan dengan fungsi- fungsi hukum

modern, izin dapat diletakkan dalam fungsi menertibkan masyarakat.

D. Tinjauan Tentang Pengawasan

1. Pengertian Pengawasan

Pengawasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “awas”

yang artinya melihat atau memperhatikan dengan seksama atau dengan baik-baik.

Pengawasan juga sering disebut dengan control. 35 Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia menjelaskan arti control sendiri adalah pengawasan, pemeriksaan,

mengontrol adalah memeriksa dan mengawasi. Soekarno K mendefinidikan

tentang pengawasan yaitu, suatu proses yang menentukan tentang apa yang harus

dikerjakan, agar apa yang dilaksanakan sejalan dengan rencana”.36 Beberapa ahli

lain memiliki pendapat tentang apa yang dimaksud dengan pengawasan, pendapat

tersebut antara lain :

Prayudi : Pengawasan merupakan suatu proses untuk menetapkan pekerjaan

apa yang dilaksanakan, di jalankan atau diselenggarakan itu dengan apa yang

dikehendaki, direncanakan dan diperhatikan.37

34

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981) hlm. 23. 35

Hadari Nawawi, Pengawasan Melekat Di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Erlangga, Jakarta, 1989, hlm. 4.

36 Sujamto, beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.

17. 37

Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 80.

41

Saiful Anwar : pengawasan atau control terhadap tindakan aparatue

pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat

mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.38

Harold Koonz,dkk yang dikutip oleh John Salinderho : pengawasan adalah

pengukuran dan pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk menjamin

bahwa apa yang terlaksana itu cocok dengan rencana. Sehingga apa yang

dimaksud pengawasan itu merupakan kegiatan mengukur pelaksanaan

dibandingkan dengan cita-cita dan rencana, memperlihatkan dimana ada

penyimpangan yang negative dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk

memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, dan membantu tercapainya suatu

rencana.39

2. Bentuk Pengawasan

Bentuk pengawasan dibagi menjadi 4 (empat) yaitu :

a. Pengawasan ditinjau dari kedudukan organ/badan yang melaksanakan

pengawasan :

Pengawasan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu :

1) Pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah yang ada dalam bidang

pengawasan membantu Presiden sebagai Administrator Pemerintahan yang

tertinggi dalam mengendalikan administrasi negara. Fungsi pengawasan ini

38

Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, 2004, hlm. 127. 39

John Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen, Sinar Grafika, Jakarta, 1998, hlm. 39.

42

dilaksanakan oleh organisasi/badan/unit kerja yang beban kerja dan volume

atau tugas pokok dibidang pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh

organisasi/badan/unit kerja terhadap aparatur pemerintah dalam melaksanakan

tugas-tugas pemerintahan dan tugas pembangunan, disebut sebagai

pengawasan dari luar (ekstern).

2) Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh setiap atasan langsung kepada

bawahannya dalam mewujudkan manajemen yang sehat dan baik

dilingkungan organisasi/badan/unit kerja masing-masing. Pengawasan yang

ini disebut dengan pengawasan atasan langsung sebagai pelaksanaan fungsi

yang melekat (pengawasan intern).40 Pengawasan ini dapat menjadi efektif

untuk mengendalikan pemerintah, jadi akan menciptakan aparatur pemerintah

yang sehat, bersih dan berwibawa.

Pengawasan melekat ini memiliki tiga sifat yaitu bersifat tepat, bersifat cepat

dan bersifat murah. Bersifat tepat, karena aparat pengawas mengetahui benar

lingkup tugas dan kewajiban aparat yang diawasi. Bersifat cepat karena

pengawasan melekat ini tidak perlu adanya procedural. Bersifat murah, karena

pengawasan ini merupakan “built in control”, jadi tidak memerlukan

anggaran biaya sendiri.41

40

Hadari Nawawi, Pengawasan Melekat Di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Erlangga, Jakarta,

1989, hlm. 4. 41

Muchsan, sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm 41.

43

b. Pengawasan dari segi waktu dilaksankannya

1) Pengawasan Preventif

Pengawasan preventif ialah pengawasan yang dilakukannya sebelum

dikeluarkannya suatu keputusan/ketentuan/ketetapan pemerintah. Pengawasan

ini disebut juga dengan pengawasan dalam hal pencegahan atau pengawasan

priori.

2) Pengawasan Represif

Pengawasan represif ialah pengawasan yang dilakukan sesudah

dikeluarkannya suatu keputusan/ketentuan/ketetapan pemerintah. Pengawasan

represif memiliki fungsi sebagai pengoreksi atau pemulihan jika terjadi suatu

tindakan yang dianggap salah.

c. Pengawasan ditinjau dari aspek yang diawasi

1) Pengawasan Segi Hukum

Pengawasan segi hukum yaitu pengawasan yang dimaksudkan untuk menilai

segi-segi hukum saja (rechtmatigheid).

2) Pengawasan Segi Kemanfaatan

Pengawasan segi kemanfaatan yaitu pengawasan yang dilakukan bertujuan

untuk menilai dari sisikemanfaatannya dalam kehidupan bermasyarakat.

d. Pengawasan Lintas Sektoral

Pengawasan lintas setoral ialah pengawasan yang dilakukan secara bersama

oleh dua atau lebih perangkat pengawasan terhadap program-program dan

kegiatan pembangunan yang bersifat multi sektoral yang menjadi

44

tanggungjawab semua lembaga yang terlibat dalam program atau kegiatan

tersebut. contoh dari pengawasan ini adalah program bimas, program impress

bantuan daerah, impress sarana kesehatan, proyek perizinan.

45