Upload
trandang
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Harta Perkawinan
1. Pengertian Harta Perkawinan
Harta perkawinan menurut hukum adalah semua harta yang
dikuasai, suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan,
baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perorangan yang
berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta
pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.28
2. Macam-Macam Harta Perkawinan
a. Harta Bawaan
Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri
sebelumj perkawinan. Macam-macam harta bawaan adalah :
1) Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang
dibawah oleh suami atau istri kedalam pernikahan yang berasal
dari peninggalan orang taua untuk diteruskan penguasaan dan
pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris
bersama, di kerenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi
kepada setiap ahli waris.
28Hilman Hadiksuma, 2003. Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara
Adatnya .Bandung : PT. Citra Aditnya Bakti. Hal 11
20
2) Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawah
oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari
harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara
perseorangan guna memelihara kehidupan berumah tangga.
3) Harta wasiat adalah harta atau barang-barang yang dibawah
oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari
hibah atau wasiat anggota kerabat.
4) Harta pemberian atau hadiah adalah harta atau barang-barang
yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang
berasal dari pemberian atau hadiah para anggota kerabat dan
mungkin juga orang lain karena hubungan baik.
b. Harta Penghasilan
1. Harta Pencaharian
Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami
atau istri bersama-sama selama perkawinan tanpa
mempersoalkan apakah dalam mencari harta kekayaan itu
suami aktif bekerja sedangkan istri mengurus rumah tangga
dan anak-anak, kesemua harta kekayaan yang didapat
suami istri itu adalah hasil pencarian mereka yang
berbentuk harta bersama suami istri.
2. Hadiah Perkawinan
Adalah harta yang diperoleh suami istri bersama ketiaka
upacara perkawinan sebagai hadiah. Hadiah perkawinan yang
21
diterima mempelai pria sebelum upacara perkawinan
dimasukkan dalam harta bawaan suami sedangkan yang
diterima mempelai wanita sebelum upacara perkawinan masuk
dalam harta bawaan istri dan semua hadiah yang disampaikan
ketika kedua mempelai duduk bersanding dan menerima
ucapan selamat dari para hadirin adalah harta bersama kedua
suami istri terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat atau hanya
dibawah pengaruh orang tua yang melaksanakan upacara
perkawinan itu yang kedudukan hartanya diperuntukkan kedua
mempelai bersangkutan.29
Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 25 menyatakan bahwa harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menajdi harta bersama,
sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adlah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain,
dan apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut
hukumnya masing-masing.
B. Tinjauan Tentang Pewarisan Janda dan Anak Angkat dalam Hukum
Waris Islam
1. Pewarisan Janda dalam Hukum Waris Islam
29 Ali Afandi, 2000. Hukum Waris, hukum Keluarga, Dan Hukum Pembuktian. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
22
Istilah hukum kewarisan Islam yang digunakan dalam tulisan ini
adalah mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut
KHI) yaitu:30
“Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing”. Sedangkan yang dimaksud dengan ahli
waris adalah “Orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Hukum waris Islam mengelompokkan ahli waris menjadi dua
macam: pertama, ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan
kewarisannya didasarkan karena adanya hubungan darah
(kekerabatan). Kelompok ini dibedakan menjadi dua yaitu dari pihak
laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek. Dari pihak perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek. Kedua, ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang
hubungan kewarisannya karena suatu sebab, yaitu sebab perkawinan
dan memerdekakan budak (memerdekan budak saat ini sudah tidak
dijumpai lagi). Perkawinan yang dimaksud disini adalah perkawinan
yang sah, hubungan perkawinan masih ada, termasuk dalam kategori
30 Pasal 171 huruf a dan c KHI, H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan
Islam, cet. ke-1 (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 3.
23
ini adalah perkawinan yang telah diputuskan dengan talak raj’i yang
masa iddah bagi istri belum selesai.31
Dilihat dari bagian yang akan diterima, atau berhak dan tidaknya
seseorang menerima warisan, ahli waris dibedakan menjadi tiga macam:32
a. Ahli waris ashab al-furud yaitu ahli waris yang telah ditentukan
bagian- bagiannya, seperti ½, 1/3, dan lain-lain.
b. Ahli waris ashab al-‘usubah yaitu ahli waris yang ketentuan
bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada ashab al-
furud, seperti anak laki-laki, ayah, paman, dan lain sebagainya.
c. Ahli waris zawi al-arham yaitu orang yang sebenarnya mempunyai
hubungan darah dengan sipewaris, namun karena dalam ketentuan
nas tidak diberi bagian, maka mereka tidak berhak menerima
bagian kecuali apabila ahli waris ashab al-furud dan ashab al-usubah
tidak ada.
Dari uraian tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa kedudukan
janda dalam hukum waris Islam, baik dari segi sebab adanya hak
kewarisan maupun dari segi bagian yang diterima, janda termasuk ahli
waris yang utama yang tidak dapat dihalangi haknya oleh ahli waris
yang lain.
31 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997),
hlm. 383. Lihat juga H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, hlm.
43-47.
32 Ibid hlm. 384
24
2. Pewarisan Anak Angkat dalam Hukum Waris Islam
Dalam KHI terdapat pengaturan tentang pengelompokkan
ahli waris yang diatur padaPasal 174 KHI, yaitu:33
1) Kelompok ahli waris terdiri dari :
a . Menurut hubungan darah :
a) Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki,
saudara laki-laki, paman, dan kakek.
b) Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak
perempuan, saudara perempuan, dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.34
2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Kedudukan anak angkat menurut KHI adalah tetap sebagai anak
yang sah berdasarkan putusan pengadilan dengan tidak memutuskan
hubungan nasab atau darah dengan orang tua kandungnya,
dikarenakan prinsip pengangkatan anak menurut KHI adalah
merupakan manifestasi keimanan yang terwujud dalam bentuk
memelihara anak orang lain sebagai anak dalam bentuk
33 Linda Fri Filia, 2011, Status Anak Angkat Dalam Kewarisan Menurut Kompilasi Hukum Islam,
skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Diakses tanggal 21 Januari 2017 34 Ibid
25
pengasuha35n anak dengan memelihara segala keperluan dan
kebutuhan hidupnya.
Hak waris anak angkat yang dilaksanakan melalui wasiat wajibah
harus terlebih dahulu dilaksanakan dibandingkan pembagian warisan
terhadap anak kandung atau ahli waris. Aturan yang mnejadi landasan
hukumnya terdapat di dalam Pasal 175 KHI, tentang kewajiban ahli
waris terhadap pewaris, dimana pada salah satu kewajibannya
tersebut terdapat kewajiban untuk menunaikan segala wasiat dari
pewaris.36
Wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaanya tidak
dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kehendak orang yang
meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan, atau
dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi
pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat
tersebut diucapkan, dituliskan atau dikehendaki, tetapi
pelaksanaannya didasarkan pada alasan-alasan hukum yang
membenarkan bahwa wasiat terebut dilaksanakan.37
Didalam KHI, pengaturan mengenai wasiat wajibah disebutkan
dalam Pasal 209 ayat 1 dan 2 , yang berbunyi sebagai berikut:
35 Ibid 36 Ibid 37 Suparno Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta,
hlm. 163
26
a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal-Pasal
176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang
tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat
wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
b. terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah, sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.
Peraturan pemberian wasiat terhadap anak angkat melalui wasiat
wajibah ini sesungguhnya dianggap baru apabila dikaitkan dengan
fiqh tradisional, bahkan peraturan perundang-undangan mengenai
kewarisan yang berlaku diberbagai dunia.
Adapun pemberian wasiat wajibah harus memenuhi dua (2) syarat yaitu:38
Pertama :Yang wajib menerima wasiat, bukan ahli waris. Jika dia
berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat
untuknya.
Kedua :Orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum
memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang
diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya. Dan
jika dia telah memberikan kurang daripada jumlah wasiat wajibah,
maka wajiblah disempurnakan wasiat itu.
38Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy ,2011, Fiqh Mawaris, Pustaka Rizki Putra,
Semarang, hlm.
27
Landasan yang bisa digunakan untuk menjadikan aturan mengenai
wasiat wajibah terhadap anak angkat sebagaimana diatur dalam Pasal
209 KHI ini sebagai bagian dari fiqh hanyalah melalui metode
ijtihad istishlah, ‘urf, dan istihsan. Sama halnya seperti wasiat wajibah
terhadap cucu yatim. Maksudnya, dengan pertimbangan kemaslahatan dan
adat sebagian masyarakat Indonesia (misalnya keengganan melakukan
poligami walaupun telah bertahun-tahun tidak dikaruniai keturunan maka
wasiat wajibah untuk orang yang dianggap sebagai anak angkat itu
boleh diberikan.39
C. Pewarisan Janda dan Anak Angkat dalam Sistem Kekerabatan
Bilateral
Di Indonesia, hukum adat memiliki sistemnya sendiri terutama
berkenaan dengan kewarisan. Hukum adat waris memiliki 3 (tiga) sistem
kewarisan yaitu:40
1. Sistem kewarisan individual memiliki ciri-ciri yaitu harta
peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-bagikan diantara para
ahli waris seperti yang terjadi dalam masyarakat bilateral (parental)
Jawa. Di Jawa setiap anak dapat memperoleh secara individual harta
peninggalan dari ayah, ibu atau kakek neneknya. Sistem pewarisan
individual yang memberikan hak mewaris secara individual atau
39 Ahmad Junaidi,2013, Wasiat Wajibah : Pergumulan Hukum Adat dan Hukum Islam di
Indonesia, Cetakan Pertama, PustakaPelajar dan STAIN Jember Press, Jember, hlm.92
40 Suriyaman Mustari Pide, 2014 , Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang.Jakarta: Kencana,
h. 51
28
perorangan kepada ahli waris seperti di Jawa, Madura, Toraja, Aceh,
dan Lombok.
2. Sistem kewarisan kolektif memiliki ciri-ciri bahwa semua harta
peninggalan terutama harta asal atau harta pusaka diwariskan kepada
sekelompok ahli waris yang berasal dari satu ibu asal berdasarkan
garis silsilah keibuan seperti di Minangkabau atau masyarakat woe-
woe Ngadubhaga di Kabupaten Ngada-Flores.
3. Sistem kewarisan mayorat memiliki ciri-ciri bahwa harta
peninggalan yaitu harta warisan terutama harta pusaka seluruh atau
sebagian besar diwariskan hanya kepada satu anak saja. Seperti di
Bali hanya di wariskan kepada anak laki-laki tertua atau di Tanah
Semendo di Sumatera Selatan hanya diwariskan kepada anak
perempuan tertua saja.41
a) Sistem pewarisan mayorat;
a. Mayorat pria : anak/keturunan laki-laki tertua/sulung pada
saat pewaris meninggal merupakan ahli waris tunggal
(Lampung, Bali, Irian Jaya)
b. Mayorat wanita : anak perempuan tertua pada waktu
pemilik harta warisan meninggal, adalah waris tunggal
(Tanah Semendo, Sumatera Selatan.)
c. Mayorat wanita bungsu : anak perempuan terkecil/bgsu
menjadi ahli waris ketika si pewaris meninggal (Kerinci).
41 Ibid hal. 52
29
Ketiga sistem kewarisan ini masing-masing tidak langsung
menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu dimana sistem
kewarisan itu berlaku, sebab suatu sistem itu dapat ditemukan juga dalam
berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam suatu bentuk susunan
masyarakat dimana dapat dijumpai lebih dari satu sistem kewarisan
dimaksud.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem hukum warisan
Adat di Indonesia tidak terlepas dari pada sistem keluarga atau sistem
kekerabatan yang telah penulis jelaskan di atas. Hukum warisan adat
mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional
dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunan patrilineal, matrilineal,
parental atau bilateral. Dengan demikian, hukum warisan adat di Indonesia
terdapat tiga sistem hukum warisan, yaitu: pertama sistem hukum warisan
patrilineal, kedua sistem hukum warisan matrilineal, dan yang ketiga
sistem hukum warisan parental atau bilateral.
a. Pada Pewarisan Janda dalam Sstem Kekerabatan Parental/Bilateral
Dalam sistem ini, anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak
yang sama atas harta peninggalan orang tuanya. Ahli waris dalam
sistem ini terdiri dari ahli waris sedarah dan ahli waris tidak sedarah.
Ahli waris sedarah, yaitu anak kandung, orang tua, saudara, dan cucu.
Ahli waris tidak sedarah, yaitu duda/janda, dan anak angkat. Harta
warisan dalam sistem ini terdiri dari harta asal (kekayaan yang dimiliki
30
oleh seseorang yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan
dengan cara pewarisan, hibah atau hadiah), dan harta bersama (harta
hasil usaha bersama suami istri di dalam perkawinan).42
Sistem ini juga mengenal istilah ahli waris pengganti, yaitu
apabila seorang ahli waris meninggal terlebih dahulu dari si pewaris.
Ahli waris pengganti adalah anak dari ahli waris atau cucu si pewaris.
Seorang ahli waris dapat kehilangan hak untuk mewarisi jika ia
membunuh pewaris, atau ia berbeda agama dengan si pewaris.
Pelaksanaan pembagian harta warisan dalam sistem ini dapat
dilakukan dengan cara musyawarah antara sesama ahli waris dengan
atau tanpa disaksikan oleh sesepuh desa.
Pada masyarakat parental, kapan suatu harta diperoleh (asal
usulnya) sangat penting menentukan pada kedudukan harta
perkawinan. Asal usul harta tersebut sangatlah berkait dengan ketika
perkawinan harus berakhir dengan perceraian, maka tidak jarang suami
isteri akan memilah-milah mana harta yang termasuk dalam harta asal
dan harta bersama. Harta asal akan merupakan hak dari yang
bersangkutan, sedangkan harta bersama akan dibagi dua antara suami
isteri dengan bagian masing-masing setengah. Demikian juga jika
salah satu dari suami isteri meninggal terlebih dahulu, maka harta
bersama akan dibagi dua, sedangkan harta asal masih belum terdapat
42 Eka Susylawati, Kedudukan Janda Pada Masyarakat Parental, Journal : (Dosen Tetap Jurusan
Syari’ah STAIN Pamekasan dan peserta Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya, email:
[email protected]) Vol.8.8
31
kesamaan pendapat, apakah suami/isteri tersebut mewaris dari
pasangannya. Jika yang meninggal terlebih dahulu adalah isteri,
biasanya tidak akan terlalu membuat masalah terhadap duda. Hal ini
disebabkan walaupun duda tidak mewaris dari harta asal isterinya,
namun pada umumnya seorang duda akan tetap dapat melangsungkan
hidup secara layak. Namun jika yang meninggal terlebih dahulu adalah
suami, hidup janda akan dapat terlantar, sehingga sudah selayaknyalah
jika harta peninggalan almarhum suaminya tidak banyak, maka janda
dapat menguasai harta tersebut selama janda hidup atau kawin lagi.
Atau juga dapat mengkategorikan janda sebagai ahli waris dari
almarhum suaminya.43
Di dalam keluarga atau lebih tepat dalam suatu rumah tangga,
seorang isteri jika suaminya telah meninggal dunia, mempunyai
kedudukan yang istimewa. Hal ini disebabkan jika anak-anaknya telah
mencar semua, isteri sebagai janda tinggal sendiri di dalam rumah
tangga yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya dan berhak tetap
tinggal di rumah tangga itu dengan hak memegang harta benda yang
ditinggalkan, jika janda tersebut memerlukannya dan selama
memerlukan untuk kehidupannya. Jika syarat untuk adanya waris
mendasarkan pada tali kekeluargaan atau karena keturunan, maka
seorang janda bukanlah merupakan ahli waris dari almarhum
43 Ibid
32
suaminya.44 Hal ini nampak dari hukum adat yang berlaku. Tetapi pada
kenyataannya, suami isteri yang terikat dalam suatu perkawinan
memiliki hubungan baik lahir ataupun batin yang sedemikian eratnya
sehingga melebihi hubungan suami dengan saudara sekandungnya.
Jika kita bandingkan pada masyarakat patrilineal atau
matrilineal, tidak banyak mengandung permasalahan waris, termasuk
pada keluarga-keluarga yang tunduk pada hukum waris Islam, maka
dalam sistem parental yang mayoritas dianut oleh sebagian besar
masyarakat di Indonesia, masalah waris menumbulkan masalah.
Antara lain masalah kedudukan janda, terutama apakah janda mewarisi
dari suaminya yang meninggal dunia atau hanya sebatas menguasai
atau menikmati warisan. Hal ini dapat diketahui dari yurisprudensi
atau hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap keluarga-keluarga
di pulau Jawa.45
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum adat
mempunyai sifat yang dinamis. Dan kedinamisan tersebut juga terjadi
dalam kedudukan janda dalam mewaris atau tidak dari almarhum
suaminya.Pada awalnya pada masyarakat parental, seorang janda
bukanlah ahli waris dari almarhum suaminya. Akibatnya ketika
seorang suami meninggal dunia, seringkali janda akan pulang
kerumahnya sendiri, dengan tanpa membawa apapun dari harta
44 Ibid 45 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, hal. 97
33
peninggalan suaminya. Hal ini dibuktikan dengan putusan landraad
Purworejo tanggal 25 Agustus 1937 yang isinya antara lain
menyatakan bahwa “barang pencaharian dan barang gono-gini jatuh
kepada janda dan anak angkat sednagkan barang asal kembali kepada
saudara yang meninggalkan warisan, jika yang meninggal tidak
mempunyai anak keturunannya sendiri”.46Dasar hukum yang
melandasi hal tersebut karena secara prinsip harta asal akan kembali ke
asalnya, sehingga yang lebih berhak terhadap harta peninggalan suami
pada waktu itu adalah kerabat suami terutama saudarasaudara suami.
Tidak mewarisnya seorang janda terhadap harta peninggalan tersebut
menunjukan bahwa perlindungan terhadap kelangsungan hidup janda
setelah ditinggal almarhum suaminya, dalam kenyataannya tidak ada
sama sekali.
b. Pewarisan Anak Angkat Dalam Sistem Kekerabatan Parental
Mengenai anak angkat, dia mendapatkan waris dengan sistem
ngangsubsumur loro, artinya mempunyai dua sumber warisan yaitu
dari orang tua kandungnya sendiri dan orang tua angkatnya. Meskipun
begitu, seorang anak angkat dalam memperoleh wasiat tidak boleh
melebihi dari anak kandung jika masih ada.
Di Jawa dengan sistem kekerabatan parental terutama di Jawa
Tengah ada istilah yang mengatakan seorang anak angkat ngangsu
sumur loro yang artinya ia mendapat warisan (dapat mewaris) dari
46 Ibid hal. 98
34
kedua orang tuannya, baik dari orang tua kandung maupun dari oang
tua angkatnya. Tentang hal ini Banyumas memberitakan, hubungan
anak angkat dengan orang tua kandungnya tetap ada, akan tetapi orang
tua kandung itu tidak boleh ikut campur tangan dalam hal urusan
perawatan, pemeliharaan, pendidikan si anak angkat. Semua tanggung
jawab atas diri anak angkat ada pada orang tua angkat.47
Akan tetapi dari Cilacap diketahui, hubungan antara anak
angkat dengan orang tuanya pada umumnya terputus, kecuali di daerah
Kroya, dimana ayah kandung anak angkat tetap menjadi wali anak
angkat. Seorang anak angkat diterima pula sebagai anggota keluarga
oleh keluarga orang tua angkat, di Semarang mengatakan diterima
sebagai saudara kandung. Akan tetapi anak angkat tidak menjadi ahli
warisnya, kecuali di daerah Temanggung dan Cilacap yang
mengatakan anak angkat dapat mewarisi keluarga ibu-bapak angkat.
Yang umum ialah anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkatnya
sejauh mengenai harta gono-gini. Sejauh itu ia mempunyai hak yang
sama dengan anak kandung. Ia tidak berhak mewarisi barang asal
orang tua angkatnya, kecuali kalau ada pemberian sukarela seperti
yang diberitakan oleh Cilacap. Putusan Mahkamah Agung tanggal 4
Juli 1961 no.384 K/Sip/1961 menegaskannya dengan mengatakan,
47
35
menurut hukum adat di Jawa Tangah seorang anak angkat tidak berhak
atas barang tinggalan orang tua angkatnya yang bukan gono-gini.48
Pewarisan adalah bukan pemberian hadiah belaka dan harta
peninggalan atau warisan bukan hanya terdiri dari barang-barang yang
masih ada di tangan pewaris (erflater) pada waktu ia meninggal dunia.
Apa yang diwariskan kepada anak-anak semasa bapaknya masih hidup,
diperhitungkan juga dalam melakukan prinsip persamaan hak antara
segala anak.
Pewarisan pada dasarnya adalah berpidahnya barang-barang
harta benda (harta peningggalan) dari seorang pewaris kepada
keturunannya. Pewarisan kepada anak-anak si pewaris menurut
kenyataannya biasanya telah dimulai atau telah terjadi sewaktu orang
tuanya masih hidup.
Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, di
mana, berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya
di dalam bidang kebendaan diatur, yaitu : akibat dari beralihnya harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal kepada ahli waris, baik di
48 B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibatnya dikemudian
Hari, Jakarta, Rajawali, hlm 74.
36
dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak
ketiga. 49
Proses pewarisan dikala pewaris masih hidup dapat berjalan
dengan cara penerusan atau pengalihan (Jawa, Lintiran), penunjukan
(Jawa,cungan); Lampung, dijengken) dan atau dengan cara berpesan,
berwasiat, beramanat (Jawa, weling; Lampung tanggeh). Ketika
pewaris telah wafat berlaku cara penguasaan dilakukan oleh anak
tertentu, oleh anggota keluarga atau kepala kerabat, sedangkan cara
pembagian dapat berlaku pembagian ditangguhkan (Jawa, gantungan),
pembagian dilakukan berimbang, berbanding atau menurut hukum
Islam.
D. Tinjauan Tentang Hukum Waris Adat Osing
Data penelitian ini terdiri dari temuan hasil wawancara dengan
informan secara langsung yang bersangkutan, diantaranya yaitu: ketua
adat, sesepuh sebagai mediator adatnya, aparat desa dan orang yang sudah
pernah bercerai mati dan cerai hidup serta keluarga yang mengangkat anak
. Dalam penelitian ini peneliti hanya memerlukan waktu 3 mingguan saja,
karena pada saat itu tidak ada kasus perceraian atau pewarisan sama sekali,
sehingga peneliti hanya melakukan penelitian dengan hasil- hasil yang
49 Ali Afandi, 1986, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta, Bina Aksara,
hlm 7.
37
telah terjadi di desa Kemiren tetapi tidak bisa melakukan observasi secara
langsung terkait dengan proses mediasi adat yang dilakukan di desa
Kemiren.
Dalam masyarakat hukum adat Osing, bahwa hukum tetinggi
mereka terletak pada hukum adatnya. Apabila terjadi beberapa
permasalahan hukum maka harus di selesaikan secara hukum adat terlebih
dahulu, akan tetapi, bila permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan
secara hukum adat maka dapat dilakukan secara hukum yang berlaku.
Dalam hal penanganan permasalahan tersebut, kepala desa memiliki
peranan yang sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Selain kepala desa, peranan orang tua sangat dibutuhkan dalam
penyelesaian permasalahan-permasalahan tersebut terutama dalam
permasalahan warisan.
Pada faktanya permasalahan yang sering terjadi di desa Kemiren
adalah permasalahan pewarisannya terhadap janda dan anak angkat yang
mana kedudukan merekan sangatlah penting untuk diketahui supaya hak –
hak mereka dapat dimiliki. Contohnya pada seorang janda. Salah satu
Janda pada masyarakat Osing yang dinamanakan rondo kembang yaitu
usia perkawinan relatif singkat, dalam kurun waktu kurang lebih 1 sampai
7 hari tetapi tidak terjadi hubungan antara suami dan istri kedudukannya
terhadap harta peninggalan suaminya.
38
Adapun kriteria janda yang tidak mendapatkan harta waris dari
suaminya disebabkan oleh:
1. Hubungan Suami Istri
Menurut masyarakat Osing bahwa jika belum melakukan
hubungan suami istri (Jima’) dan suaminya meninggal maka janda
tersebut tidak mendapatkan harta waris, hal ini karena anggapan
masyarakat Osing bahwa utuhnya perkawinan ditentukan salah
satunya dengan hubungan suami istri.50
2. Keturunan
Menurut anggapan masyarakat Osing bahwa perkawinan yang
telah berlangsung secara sah dan telah melakukan hubungan suami
istri (Jima’), baik telah dikaruniai keturunan atau belum janda
tersebut tidak mendapatkan harta waris dari suaminya. Hanya saja
jika suaminya meninggal dunia dan tidak mempunyai keturunan
maka janda tersebut tidak mendapat warisan dari suaminya, dan
hanya diberi bagian yang jumlahnya tergantung pada keputusan
keluarga suami. Sedangkan jika suaminya meninggalkan
keturunan, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik
50 Eko Budianto, Hukum Waris Adat Osing Banyuwangi, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jember, diakses tanggal 22 Januari 2017
39
keturunannya, dan jandanya bahkan tidak mendapatkan sedikitpun
dari harta peninggalan suaminya tersebut.51
3. Usia Perkawinan
Yang dimaksud di sini ialah jika suami meninggal dunia dan usia
perkawinannya masih relatif singkat maka hal itu dianggap
keluarga yang kurang utuh walaupun sudah melakukan hubungan
suami istri (Jima’) dan janda tidak mendapatkan warisan dari
suaminya.52
A. Sistem Pembagian Waris Hukum Adat Osing
1. Sistem Pewarisan Pada Saat Pewaris Masih Hidup
a. Diweni Langsung
Sistem pewarisan penerusan atau pengalihan (diweni
langsung) ini mengatur tentang harta waris rumah dan isinya
(perabotan rumah tangga), biasanya pewarisan ini dilakukan
pada saat anak pewaris akan menikah.53
Kebiasaan yang dilakukan pada masyarakat osing
ketika peawaris masih hidup, anak perempuan mewarisi
perabotan rumah tangga dan anak laki-laki mewarisi rumah
51 Ibid 52 Ibid 53 Ibid
40
sebagai barang bawaan. Hal ini diungkapkan oleh ketua adat
masayarakat osing yang menyatakan bahwa “Kadung bapake
durung matai, anak wadon biasahe olih perkakas, hang lanang
diwehi umah kanggo barang gawan” (jika bapaknya (pewaris)
belum meninggal dunia, anak perempuan biasanya mendapat
perkakas/perabotan rumah tangga, sedangkan untuk anak laki-
laki mendapat rumah sebagai barang bawaan).54
b. Ditunjuk
Sistem pewarisan penunjukan merupakan pewarisan
yang dilakukan oleh pewaris kepada ahli waris pada saat masih
hidup atas hak terhadap harta tertentu yang pelaksanaanya
ditangguhkan setelah pewaris meninggal dunia. Didalam
masyarakat osing tradisi yang demikian ini disebut dengan
“Dum-Dum Waris” (bagi-bagi harta warisan).55
Seperti yang dijelaskan oleh ketua adat masyarakat
osing “nang adat osing, warisan biso didum sedurunge hang
duwe barang waris ninggal, gediku iku diarani dum-dum
waris” (dalam adat osing, warisan dapat dibagi sebelum yang
memiliki harta waris (pewaris) meninggal dunia, hal yang
demikian ini disebut dengan bagi-bagi harta waris).
c. Dipeseni
54 Ibid 55 Ibid
41
Sistem pewarisan ini hanya dapat dilakukan ketika
pewaris memberikan atau mengucapkan amanat ketika pewaris
masih hidup. Amanat tersebut biasanya disampaikan kepada
istri, anak-anak dari pewaris atau keluarga pewaris.
Hak atas harta waris dengan pewarisan sistem amanat
pelaksanaanya bisa dilakukan pada saat pewaris masih hidup
atau ketika pewaris sudah meninggal dunia, tergantung
bagaimana pewaris memberikan amanat kepada ahli waris.56
Hal ini biasanya terjadi ketika kondisi ahli waris yang
tidak memungkinkan bisa mengurus atau melakukan
pembagian harta waris, misalnya dalam kondisi sakit parah
atau hilang ingatan.
2. Sistem Pembagian Waris Setelah Meninggal Dunia
a. Pewarisan Dilakukan Oleh Anak-Anak Ahli Waris
Pewarisan yang dilakukan oleh anak-anak ahli waris
apabila sampai meninggal dunia pewaris belum melakukan
pembagian harta waris. Dengan catatan anak dari pewaris
sudah dewasa, jika belum dewasa maka harta waris
ditangguhkan sampai anak dari pewaris itu dewasa.57
b. Pewarisan Dilakukan Oleh Keluarganya
56 Ibid 57 Ibid
42
Pembagian harta waris yang dilakukan oleh keluarga
apabila pewaris tidak meninggalkan atau mempunyai anak,
sedangkan pada saat hidupnya pewaris tidak melakukan
pewarisan. Keluarga yang berhak untuk melakukan pembagian
waris dalam kasus ini adalah dari pihak pertalian keluarga
pancer (pihak keluarga suami).58
c. Pewarisan Dilakukan Oleh Kepala Desa
Pembagian harta waris yang dilakukan oleh kepala desa
biasanya terjadi apabila timbul sengketa waris yang disebabkan
adanya rasa tidak puas dari para ahli waris atas pembagian
waris yang dilakukan oleh keluarga pancer.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa peralihan
harta waris kepada ahli waris tergantung atas kehendak pewaris atau ahli
waris. 59
B. Harta Waris Suku Osing
Harta kekayaan keluarga dalam masyarakat osing desa kemiren
terdiri dari:
a. Harta Asal Suami Atau Istri
Dalam masyarakat osing yang dimaksud dengan harta
asal suami atau istri adalah harta yang diperoleh sebelum atau
setelah perkawinan yang berasal dari pemberian, warisan atau
58 Ibid 59 Ibid
43
hibah. Harta asal menurut masyarakat osing disebut dengan
barang bawaan yaitu harta yang diperoleh sebelum perkawinan,
harta yang seperti ini tetap menjadi milik suami atau istri karena
menjadi barang pribadi60.
Apabila suami meninggal dunia dan tidak mempunyai
keturunan atau anak, maka harta asal akan kembali kepada
keluarga asal (suami). Dalam hal ini biasanya istri (janda) diberi
bagian dari harta asal tersebut dengan istilah waris mayyit yang
jumlah pembagiannya ditentukan oleh keluarga pancer suami.
Akan tetapi bisa saja janda tidak mendapatkan harta asal
(bawaan) suami jika pihak keluarga pancer tidak berkehendak.
Jika suami atau istri meninggal dunia dan memiliki
keturunan maka harta asal baik dari suami atau istri semuanya
menjadi hak dari anak. Dan kebiasaan lain yang dilakukan oleh
masyarakat osing adalah menyisakan harta waris yang dikelola
untuk tujuan memenuhi kebutuhan suami istri sehari-hari. Harta
sisa ini dapat dibagi setelah pewaris (suami/istri) telah
meninggal dunia.
b. Harta Gono Gini
Pada masyarakat osing istilah harta gono gini merupakan
harta yang diperoleh bersama-sama antara suami dan istri
selama perkawinan mereka. Harta ini yang nantinya akan dibagi
60 Hasil wawancara dengan Bapak Serat selaku masyarakat Osing Desa Kemiren Kabupaten
Banyuwangi pada tanggal 21 Agustus 2017
44
dua sama rata antara suami atau istri ketika terjadi perceraian
baik cerai mati atau cerai hidup.61
Ketika cerai mati dan pewaris tidak memiliki anak, maka
hasil pembagian dari harta gono-gini akan kembali kepada pihak
keluarga jalur pancer atau jalur kembang dilihat dari siapa yang
meninggal terlebih dahulu antara suami atau istri, apabila terjadi
cerai hidup maka harta gono gini akan dibagi dua sama rata
antar suami dan istri.62
c. Harta Sisa
Harta sisa yang dimaksud pada masyarakat osing ini
harta yang disisakan oleh suami dan istri untuk harta
kelangsungan hidupnya dari salah satu mereka yang hidup
lebih lama. Biasanya mereka menyisihkan sebagian harta
mereka yang dikhususkan bukan sebagai harta waris.63
C. Ahli Waris Suku Osing
Di dalam hukum adat Osing, anak-anak dari pewaris
merupakan kelompok ahli waris yang utama. Karena mereka adalah
satu-satunya golongan ahli waris yang menggugurkan anggota
keluarga lain menjadi ahli waris apabila pewaris meninggalkan anak-
anak. 64
61 Ibid 62 Ibid 63 Ibid 64 Hasil wawancara dengan Bapak Suhaimi selaku Tetuah adat di Desa Kemiren Kecamatan
Glagah Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 17 Januari 2018
45
Garis kedua adalah garis vertikal keatas dari keluarga pewaris
maupun keluarga pancer dan keluarga kembang. Semua harta waris
akan beralih tangan kepada keluarga tersebut apabila pewaris tidak
memilik anak. setelah itu apabila garis keatas juga tidak ada, maka
setelahnya adalah garis horizontal dari keluarga pancer maupun
kembang. 65
D. Pewarisan Janda dan Anak Angkat Pada Masyarakat Osing
Pada masyarakat Osing terdapat empat macam kriteria janda, yaitu
:
a. Rondo Kembang (Janda Kembang)
Pengertian rondo kembang yaitu seorang perempuan
yang sudah menikah secara sah dan dalam waktu yang relatif
singkat berpisah baik cerai hidup maupun cerai mati dalam
keadaan belum melakukan hubungan suami istri.66
Jika suami meninggal dunia maka harta asal kembali
kepada masing-masing pihak jalur pancer dan jalur kembang.
Dan janda tersebut tidak mendapatkan sedikitpun dari harta
asal suami.
b. Rondo Lanjar (Janda Lanjar)
65 Ibid 66 Hasil wawancara dengan Bapak Suhaimi selaku Tetuah adat Osing Desa Kemiren Kabupaten
Banyuwangi tanggal 24 September 2017
46
Rondo Lanjar adalah seorang perempuan yang sudah
menikah secara sah dan pada waktu tertentu berpisah dengan
suaminya dalam keadaan belum mempunyai keturunan. 67
Dalam kasus ini kedudukan janda terhadap harta peninggalan
suami dapat dijelaskan sebagi berikut:
1. Jika usia perkawinan relatif singkat dan telah terjadi
hubungan suami istri lalu suami meninggal dunia, maka
keadaannya sama dengan rondo kembang. Jika usia
perkawinannya berlangsung lama, maka apabila suami
meninggal dunia janda diberi bagian dari harta asal
peninggalan suami, adapun besarnya bagian tergantung
kebijaksanaan keluarga dari jalur pancer (pihak suami),
pemberian yang demikian ini disebut dengan waris mayyit.
Akan tetapi seperti yang dijelaskan diatas hal ini tetap
menjadi kesepakatan keluarga suami yang kemungkinannya
janda tidak akan mendapat bagian dari harta asal suami.68
c. Rondo Kumpeni (Janda Kumpeni)
Rondo kumpeni hanya merupakan istilah saja dalam
masyarakat adat osing, yang sebenarnya janda kumpeni
bukanlah seorang janda karena perempuan tersebut belum
dicerai secara resmi. Hal ini disebabkan karena suami pergi
67 Ibid 68 Ibid
47
tanpa memberikan nafkah dan tidak diketahui kabar beritanya
apakah suami tersebut masih hidup atau sudah meninggal
dunia.69
Maka dalam keadaan yang demikian perempuan
tersebut mempunyai hak untuk menguasai harta asal kekayaan
suaminya untuk keperluan menghidupi diri dan anak-anaknya
(jika sudah memiliki keturunan).70
d. Rondo Teles (Janda Teles)
Janda Teles adalah seorang perempuan yang sudah
menikah secara sah kemudian berpisah dengan suaminya dalam
keadaan banyak memiliki harta benda pribadi (bawaan).71
Jika seorang janda memiliki keturunan dengan suami
yang telah meninggal dunia maka janda tidak mendapatkan hak
waris dari harta peninggalan suami, akan tetapi biaya hidup
dari janda tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab anak-
anaknya.72
Pada anak angkatnya, masyarakat Osing memiliki dan menggunakan
sistem yang harus dilakukan sebelum pewarisan itu terjadi yaitu sistem pewarisan
sebelum pewaris wafat yang telah disebutkan pada sistem pembagian waris dalam
masyarakat osing desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi.
69 Ibid 70 Ibid 71 Ibid 72 Ibid