Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad asal katanya adalah jahada, secara bahasa artinya
“pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai
urusan”. Perkataan tersebut menunjukkan pekerjaan yang cukup sulit
dilakukan atau lebih dari seperti biasanya. Ringkasnya, ijtihad berarti
bersungguh‐sungguh atau kerja keras untuk mencapai sesuatu.28
Ijtihad memiliki makna khusus di dalam Islam, yaitu pencurahan semua
kemampuan secara maksimal agar memperoleh suatu hukum syara’ yang
amali melalui penggunaan sumber syara’ yang diakui dalam Islam.29
Sedangkan dalam definisi yang lain disebutkan, menurut Muhammad
Khudari Bik, “ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang
ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum‐
hukum syara’”.30 Seorang filosof yakni Fazlur Rahman berpendapat bahwa,
“ijtihad mengacu pada seluruh kemampuan para ahli hukum sampai pada
titik akhir untuk memperoleh prinsip dan aturan hukum dari sumber hukum
Islam”.31
28 Muhammad Musa Towana. al-Ijtihad: Madha Hajatina Ilaihi fi Hadha al-‘Asr. Dar al‐Kutub al‐Hadithah. Kairo. 1972. Hal. 97. 29 Al‐Amidi. al‐Ihkam fi Usul al‐Ahkam. Muassasah al‐Halabi. Kairo. 1967. Hal. 204, juz 3. 30 Muhammad Khudari Bik. Usul al‐Fiqh. Dar al‐Fikr. Beirut. 1981. Hal. 367. 31 Fazlur Rahman. Post Formative Developments in Islam. Islamic Studies. Karachi. 1963. Hal. 12.
22
Salah satu tujuan fundamental hukum Islam yakni mencapai dan
terwujudnya maslahah untuk seluruh insan. Hukum Islam yang berasal dari
al-Qur’an ajaran Allah subhana wa ta’ala menghendaki suatu keadilan dan
kebaikan umat manusia, oleh karena itu menuntut pemeliharaan hingga
kapanpun. Hal tersebut menjadi konsekuensi yang masuk akal dari prinsip
Islam yang umum, lalu dimengerti sebagai nilai ajaran yang meliputi
seluruh aspek kehidupan.32
Dalam berkembangnya Islam, pun juga hukum Islam turut serta
mengalami sanggahan-sanggahan seperti peralihan dan keanekaragaman
kemasyarakatan. Sehingga melindungi kebaikan dan terlindunginya tujuan
hukum Islam pada pelaksanaan kedepannya dilakukan para pakar hukum
dengan jalan berijtihad yang dapat menanggapi dinamika dan peralihan
kemasyarakatan tersebut. Oleh karena itu peralihan kemasyarakatan
tersebut yang mengakibatkan hukum Islam yang bersifat responsif (peka),
adaptis (fleksibel), dan dinamis (bergerak).33
Menganalisa suatu fatwa mengarah pada pembahasan tentang ijtihad
pada seluruh perangkatnya, karena fatwa yang dihasilkan terhadap
masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah ditetapkan.
Dalam menganalisa suatu permasalahan agar memutuskan suatu fatwa, ada
beberapa cara ijtihad yang bisa digunakan yakni ijma’, qiyas, istihsan,
maslahah mursalah, istislab, ‘urf, sad az-zari’ah dan lain-lain. Sebagai
32 Muhammad Muslehuddin. Philoshopy of Islamic Law and The Orientalist: A Comparative Study
of Islamic Legal Syistem. Tiara Wacana. Yogyakarta. 1991. Hal. 97. 33 Fathurahman Jamil. Filsafat Hukum Islam. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. 1999. Hal. 49-50.
23
metodologi istinbath hukum dengan tetap berpegang teguh ajaran bahwa
target yang ingin dicapai dalam hukum Islam yakni menghasilkan kebaikan
(maslahat) dan menghilangkan keburukan (mafsadat).34
Teori kebaikan (maslahat) salah satu cara istinbath hukum Islam yang
sering digunakan untuk menanggapi problematika kontemporer ketika tidak
didapatkan jawabannya di dalam nash. Cara istinbath hukum Islam yang
menegaskan kebaikan (maslahat) yang dibagi menjadi 3 poin yaitu:
1) Maslahat Mu’tabarah adalah kebaikan yang dibantu oleh dalil untuk
menjaganya. Kebaikan macam ini memiliki tiga kedudukan yakni
masālaih daruriyyah, hajjiyah dan tahsiniyah.
2) Maslahat Mulghat adalah kebaikan yang dilepaskan dengan target
adanya kebaikan yang diakui lebih kuat daripada kebaikan sebelumnya
yang diakui lebih lemah, oleh karena itu kebaikan tersebut dilepaskan.
3) Maslahat Mursalah adalah suatu yang tidak didasarkan pada ayat nash
tertentu, baik yang berprinsip umum ataupun khusus.35
Semua hukum yang diraih melalui ijtihad ulama bersifat dinamais
(bergerak) dan fleksibel, karena beralih sesuai dengan peralihan tempat dan
waktu. Selain itu, karena kebaikan seluruh insan itu merupakan suatu target
yang ingin dicapai oleh hukum Islam, maka sudah sepatutnya jika terjadi
peralihan hukum dikarenakan oleh beralihnya periode dan kondisi serta
konsekuensi dari fenomena-fenomena kemasyarakatan pada suatu tempat,
34 Ibid. 35 Ibid.
24
oleh karena itu pada implementasi hukum Islam terhadap kondisi yang
berbagai macam dibutuhkan kelenturan hukum Islam itu sendiri. Ibnul
Qoyyim pada teorinya mengemukakan bahwa ada lima faktor yang merubah
hukum Islam yakni: (1) waktu; (2) lokasi; (3) kondisi; (4) sasaran; dan (5)
budaya.36
Sehingga bisa dimengerti bahwa hasil hukum Islam yang dihasilkan
dari ijtihad itu bisa berbeda dan beralih mengikuti perkembangan strata
kemajuan yang akan selalu menghadapi peralihan, serta akan selalu
dinamisnya waktu, periode juga beralihnya keadaan.37
2. Dasar Hukum Ijtihad
2.1.Al-Qur-an
An-Nahl [16]:43
كر إن كنتم ال تعلمون إليهم فاسألووما أرسلنا من قبلك إال رجاال نوحي ا أهل الذ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),
kecuali orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.”38
Al-Anbiya [21]:7
كر إن كنتم ال تعلمون اوما أرسلنا قبلك إالا رجاالا نوحي إليهم فاسألوا أهل لذ
Artinya: “Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum enagkau
(Muhammad), kecuali beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu
36 Ibnul Qoyyim al-Jauziyah. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin. Dar al- Jail. Beirut. 1991.
Hal. 3. 37 Amiur Nuruddin. Ijtihad Umar ibn al-Khattab. Rajawali Press. Jakarta. 1991. Hal. 168. 38 Q.S. An-Nahl [16]:43.
25
kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu,
jika kamu tiada mengetahui.”39
3. Pengertian dan Syarat Mujtahid
Mujtahid (bahasa Arab: المجتهد) adalah orang yang mampu berijtihad
dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap mampu mendalami dan
menyimpulkan hukum-hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-
Sunnah.40
Adapun yang menjadi syarat-syarat mujtahid adalah sebagai berikut:
1. Mampu berbahasa Arab dengan baik dan benar;
2. Mengetahui isi dan sistem hukum pada al-Qur’an berserta semua ilmu
untuk memahaminya;
3. Mengetahui hadist-hadist hukum dan ilmu hadist yang berkaitan dengan
pembentukan hukum;
4. Menguasai semua sumber hukum Islam dan metode untuk menarik garis-
garis hukum yang berasal dari sumber hukum Islam;
5. Mengetahui dan menguasai qawa’id al fiqhiyyah;
6. Mengetahui dan memahami rahasia dan semua tujuan hukum Islam;
7. Jujur dan ikhlas semata-mata untuk Allah;
8. Menguasai ilmu-ilmu sosial;
9. Dilakukan dengan kolektif bersama para ahli disiplin ilmu lainnya.41
Syarat nomor 1 sampai dengan 7 dibutuhkan untuk seorang mujtahid
mutlak di masa yang akan datang, akan tetapi sekarang untuk melakukan
ijtihad yang tingkatannya lebih rendah dari mujtahid mutlak syarat-syarat
yang disebutkan di atas bisa diringankan. Selain syarat nomor 1 sampai
dengan 7, seorang mujtahid sudah sewajarnya menguasai dan memenuhi
syarat pada nomor 8 dan 9.42
39 Q.S. Al-Anbiya [21]:7. 40 Alhassanain. Definisi Mujtahid. www.alhassanain.com. Akses 18 Nopember 2018. 41 Muhammad Daud Ali. Hukum Islam. Rajawali Press. Jakarta. 2015. Hal. 118. 42 Ibid.
26
B. Tinjauan Umum Fatwa
1. Pengertian Fatwa
Fatwa dalam arti menurut bahasa adalah jawaban atas suatu
peristiwa. Sedangkan berdasarkan syara’ yakni menjelaskan hukum syara’
pada permasalahan sebagai tanggapan dari suatu pertanyaan, meskipun
penanya itu jelas data dirinya ataupun tidak diketahui, baik sendiri ataupun
bersama-sama.43
Imam Zamahsyari pada bukunya “al-kasyaf” definisi fatwa yakni
“suatu jalan yang lapang/lurus”. Adapun secara lughawi (bahasa) فتوى, al-
fatwa; mufrodnya fatâwa artinya “petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan
yang bertalian dengan hukum Islam”. Berdasarkan ilmu Ushul Fiqh, fatwa
yakni opini yang dicurahkan oleh mujtahid atau mufti menjadi tanggapan
atas permintaan yang diajukan oleh orang yang memohon fatwa (mustafti)
pada problematika yang sifatnya tidak mengikat, artinya ialah mustafti
tersebut bisa individu atau lembaga atau kelompok atau masyarakat, tidak
harus mengamalkan fatwa tersebut, karena fatwa tersebut tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat.44
Akan halnya definisi fatwa berdasarkan hukum Islam yakni
interpretasi hukum syar’iyah dalam menanggapi suatu problematika yang
ditanyakan oleh individu yang bertanya, baik interpretasi itu jelas atau tidak
43 Yusuf Qardhawi. Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan. Jakarta. Gema Insani Press. 1997.
Hal. 5. 44 M. Erfan Riadi. Op.cit.
27
jelas (ragu-ragu) dan interpretasi itu menargetkan pada dua keperluan yakni
keperluan pribadi dan keperluan masyarakat luas.45
Menurut Drs. Rohadi Abdul Fatah, fatwa adalah “kumpulan nasehat
atau wejangan yang berharga untuk kemaslahatan umat”. Sedangkan
menurut Amir Syarifudin fatwa adalah “usaha memberikan penjelasan
tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya”.46
Pembelajaran fatwa-fatwa ulama di Indonesia dapat dilakukan
terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, Muhammadiyah, NU, fatwa
Dewan Fatwa Perhimpunan al-Irsyad atau lembaga lain. Pembelajaran
terhadap fatwa ulama yang ada di Indonesia lebih banyak mengarah
terhadap fikih yang terjadi di Indonesia sesuai dengan problematika yang
ada karena fatwa adalah putusan hukum yang menanggapi problematika
secara praktis dan aktual.47
Aktivitas manusia akan terus tumbuh sejalan dengan
berkembangnya pola pikir dan tradisi manusia. Fatwa ialah penetapan
hukum atas problematika yang dilaksanakan oleh individu atau sekelompok
ulama yang mumpuni dalam aspek ilmu atau kehati-hatiannya. Fatwa sangat
dibutuhkan sejalan dengan polemik masyarakat yang semakin hari semakin
bertambah dan kompleks daripada problematika yang terjadi pada masa
45 Ibid. 46 Rohadi Abdul Fatah. Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 1991.
Hal. 39. 47 Muhammad Atho’ Mudzhar. Fatwa-Fatwa MUI (Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia 1975-1988). Jakarta. INIS. 1993. Hal. 6.
28
Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص serta shahabat radhiallahu ‘anhuma ‘ajmain pada era itu.
Permasalahan yang dialami Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص dan para shahabat nabi tidak
sesulit yang dihadapi sekarang, disisi lain Allah subhana wa ta’ala telah
mencukupkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang disampaikan Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص
untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada.48
Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص sebagai rasul yang paling akhir membawa dampak
bahwa semua hukum dan hadits yang telah dicukupkan sewaktu Rasulullah
wafat bisa dipakai untuk mengatasi problematika kontemporer. Dampak ملسو هيلع هللا ىلص
ini menjadi beban tanggung jawab yang cukup berat diemban oleh
masyarakat Islam, terkhususkan kepada para Alim Ulama. Mujtahid atau
mufti mempunyai pekerjaan untuk merinci ayat-ayat yang ada pada al-
Qur’an dan hadits tidak hanya secara latar belakang ataupun asbab al wurud
ataupun juga asbab al nuzul, akan tetapi mereka wajib bisa melatar
belakangi al-Qur’an dan hadits tersebut dengan keadaan kontemporer
sebagai pengejawantahan hadits al-islam shalih li kulli zaman wa makan
yang artinya al-Qur’an dan hadits sebagai kitab suci masyarakat yang
beragama Islam yang dipercayai akan selalu sesuai pada setiap zaman dan
waktu.49
Orang yang berilmu (Ulama) mempunyai beban tugas untuk
menginterpretasikan tanggapan atas problematika yang terjadi pada
masyarakat yang dahulunya tugas ini dipikul oleh Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص, namun
48 Ridwan Nudin. Kedudukan Fatwa MUI Dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di Indonesia.
Makalah. Tim Penelitian. 2011. 49 Ibid.
29
ketika Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص telah wafat, tugas tersebut berpindah kepada para
orang-orang yang berilmu, mereka dapat disebut juga sebagai pewaris
Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص, dalam menyampaikan tanggapan atas problematika yang
diberikan oleh seluruh masyarakat terkait problematika yang mereka sedang
alami. Ulama yakni insan yang memiliki ilmu dan sikap sebagaimana sifat
yang melekat pada Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص. Fungsi ulama berada pada bermacam-
macam profesi seperti peradilan, maka hakim di peradilan tersebut adalah
ulama yang berprofesi sebagai Qadhi (hakim) atau ulama yang
menyampaikan fatwa dapat disebut sebagai Mufti.50
Berkenaan dengan fatwa, ada tiga hal yang menonjol, yaitu:
a. Para pihak yang memiliki kepentingan seperti individu, umat,
pemerintah dan yang lain atas fatwa;
b. Problematika yang memerlukan istinbath hukum;
c. Orang-orang berilmu yang memahami hukum Islam, memiliki yuridiksi
menghasilkan fatwa.51
2. Dasar Hukum Fatwa
Fatwa menjadi suatu usaha ulama untuk menanggapi problematika
yang dialami umat yang membutuhkan penetapan hukum. Kecondongan
intelek yang dilakukan oleh ulama-ulama untuk bisa menanggapi suatu
problematika bersangkutan kuat terhadap ijtihad.
50 Ibid. 51 Ibid.
30
Seperti firman Allah subhana wa ta’ala dalam al-Quran surat An-
Nahl [16]:43
كر إن كنتم ال تعلمون ا أهل وما أرسلنا من قبلك إال رجاال نوحي إليهم فاسألو الذ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),
kecuali orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.”52
Ayat tersebut di atas adalah dasar hukum berkaitan terhadap
bagaimana seorang diinstruksikan untuk bertanya apabila tidak mengetahui
atau membutuhkan kepastian hukum kepada orang yang berilmu.53
3. Para Pihak Pemberi Fatwa
Terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi agar dapat ditetapkan
sebagai mufti (pemberi fatwa). Imam an-Nawawi mengemukakan bahwa
syarat-syarat tersebut yakni sebagai berikut:
a. Mukallaf;
b. Beragama Islam;
c. Memiliki pribadi yang kuat;
d. Dipercayai;
e. Bersih dari sifat yang tercela;
f. Memiliki jiwa yang kuat;
g. Otaknya cerdas;
52 Q.S. Al-Nahl [16]:43. 53 Ahyar A. Gahyo. Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Kedudukan Fatwa MUI Dalam
Upaya Mendorong Pelaksanaan Ekonomi Syariah. Jakarta. Laporan Penelitian. Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI. 2011. Hal. 24.
31
h. Memiliki pikiran yang tajam;
i. Dapat melakukan penetapan hukum (istinbath hukum);
j. Jasmani dan rohani yang sehat.54
Imam an-Nawawi membubuhkan bahwa agar dapat ditetapkan
menjadi mufti tidak cukup didominasi oleh orang-orang yang jenis
kelaminya pria saja, tetapi wanita pun juga bisa menjadi seorang mufti,
begitu juga orang yang memiliki kekurangan fisik, tetapi orang-orang
tersebut mengerti tulisan atau isyarat yang diberikan kepadanya dalam
tatanannya sebagai mufti.55
Jalaluddin al-Mahalli mengemukakan bahwa menjadi syarat seorang
mufti yakni mengerti semua pendapat dan semua kaidah dalam ushul fiqh
dan fiqh, memiliki kesempurnaan untuk melakukan ijtihad, mengerti ilmu-
ilmu yang diperlukan untuk mengatur suatu hukum (istinbath al-hukm),
seperti ilmu tentang Nahwu, bahasa, mushthalah al-hadits, tafsir al-Qur’an
dan hadistyang berkaitan dengan hukum. Adapun As-Syaukani
mengemukakan tiga syarat yakni mampu berijtihad, al-adl dan terhindar
dari bermudah-mudahan dalam hukum.56
Mufti bisa menghasilkan sebuah fatwa jika memenuhi empat syarat
wajib, yakni (1) mufti tersebut wajib menguasai bahasa arab dengan
keseluruhan dari segala aspeknya; (2) Mufti tersebut memahami ilmu al-
Qur`an dengan keseluruhan dari segala aspeknya yang bersangkutan tentang
54 Ibid. 55 Ibid. 56 Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta. Elsas. 2008. Hal. 36.
32
hukum-hukum yang disebutkan di dalam al-Qur`an dan mengusai secara
akurat berbagai cara istinbath al-hukm dari ayat-ayat tersebut.57
Fatwa menjadi hasil ijtihad dari mujtahid dan mufti yang dapat
dihasilkan dengan bentuk ucapan ataupun tulisan. Oleh sebab itu, korelasi
antara ijtihad dengan fatwa sangat kuat, karena ijtihad itu menjadi satu
usaha yang maksimum oleh mujtahid untuk menetapkan hukum-hukum
tertentu, sedangkan fatwa berasal dari ijtihad tersebut. Jika tertutup pintu
ijtihad maka tidak ada fatwa.58
Fatwa mampu mengangkat problematika dampak dari orang yang
butuh dasar jawaban menjadi landasan hukum satu amalan yang sifatnya
berkaitan dengan keagamaan atau yang bukan dari keagamaan.59
Dengan terbukanya pintu fatwa dan ijtihad maka secara nyata
ajaran-ajaran Islam akan tumbuh dengan cepat ke seluruh daerah, serta
Islam akan menjadi kuat dan memasyarakat di bumi ini.60
Pada hukum Islam, metode istinbath hukum diformulasikan dalam
satu pembahasan keilmuan khusus. Seperti yang diketahui ilmu hukum
Islam yang sering dikatakan ilmu Ushul Fiqh. Menurut pengertian yang
global adalah penjelasan terkait kaidah-kaidah yang digunakan menjadi
media untuk mengkaji hukum-hukum fiqh, atau dapat didefinisikan juga
57 Ibid. 58 Ibid. 59 Ibid. 60 Ridwan Nudin. Op.cit. Hal. 26.
33
dengan kaidah-kaidah yang memahamkan terkait metode pengkajian
hukum-hukum yang bersangkutan dengan amalan insan dari nash.61
Objek pengkajian Ushul Fiqh yakni semua yang memiiki hubungan
dengan cara yang dipraktikkan oleh ahli fikih di dalam kajian hukum syara`
sampai-sampai ia tetap pada jalur yang tepat, serta kajian tentang: ihtihsan,
hukum-hukum syara` beserta targtetnya, pembagiannya, keringanan,
`azimah dan lain sebagainya.62
Ilmu Ushul Fiqh kerap merujuk dalil-dalil hukum syara` kepada
Allah subhana wa ta’ala meskipun dalil-dalil yang ada sekedar berfungsi
sebagai media guna memafhumi hukum-hukum Allah. Al-Qur`an-lah yang
menunjukan hukum-hukum Allah atas insan, adapun hadits berperan untuk
merinci al-Qur`an, sebab Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص tidak mengatakan suat hal menurut
keinginan hawa nafsunya. Adapun dalil lainnya adalah mewujudkan cabang
yang merujuk pada al-Qur’an dn as-Sunnah.63
Pada prinsip dasar hukum yang digunakan pada ilmu Ushul Fiqh
berdasarkan urutannya yakni sebagai berikut:
1. al-Qur`an;
2. al-Sunnah;
3. Ijma’ yakni suatu dalil syara` yang mempunyai kedudukan kekuatan
berhujjah satu tingkatan yang ada di bawah al-Qur`an dan as-Sunnah;
4. Qiyas (analogi) yakni menjelasakan hukum yang tidak ada dalam al-Qur`an
dan as-Sunnah dengan metode komparasi pada sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash dengan adanya persamaan sebab (‘illat);
5. Istihsan yakni penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap satu
problematika yang tidak searah dari ketetapan hukum yang diaplikasikan
pada problematika-problematika yang sama, hal ini dikarenkan ada sebab
yang berkekuatan lebih untuk menuntut melakukan penyimpangan itu;
61 Ibid. Hal. 27. 62 Ibid. 63 Ibid.
34
6. `Urf yakni pola-pola mu`amalah yang sudah mewujudkan budaya dan
sudah dilakukan terus-menerus dalam lingkup masyarakat;
7. Maslahah Mursalah yakni peninjauan kepentingan hukum yang tabiatnya
mencakup lima jaminan dasar, yakni: (a) keamanan aqidah; (b) keamanan
jiwa; (c) keselamatan al-aql; (d) keselamatan kerabat serta keturunan; (e)
keselamatan harta benda;
8. Istihsab yakni hukum sebelumnya akan tetap berlaku, selama tidak ada
dalil yang menggantikan;
9. Syari`at salaful ummah adalah penggunaan hukum syari`at salaful ummah
selama belum ada dalil yang menghapuskan hukum tersebut, punjuga
syari`at itu tidak bisa digunakan menjadi sumber hukum yang
fundamental.64
4. Bentuk-Bentuk Fatwa
Profesi untuk menetapkan fatwa (al-ifta) yakni serupa dengan
ijtihad. Sepakatnya ahli ilmu (ulama) bahwa al-ifta bisa diwujudkan oleh
perindividu (ijtihad fadiy) atau kolektif (ijtihad jama’i). Ijtihad fadiy adalah
individu yang mewujudkan ijtihad terhadap problematika tertentu yang
globalnya bersangkutan dengan kepentingan antar manusia. Adapun ijtihad
jama’i yakni sekelompok para pakar yang melakukan ijtihad terhadap
problematika tertentu yang globalnya bersangkutan dengan kepentingan
umum.65
Cara ijtihad yang dilakukan dengan kolektif ini mendapatkan
justifikasi dari al-Quran, selain itu pernah dilakukan sunnah Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص
serta generasi emas pada 3 abad pertama Hijriah. Sewaktu zaman Rasulullah
dan dimintai pandangannya ملسو هيلع هللا ىلص kerapkali dikumpulkan oleh Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص
terkait suatu masalah. Budaya dalam ijtihad kolektif ini juga dilanggengkan
oleh generasi emas setelah Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص wafat. Di era kontemporer, ijtihad
64 Ibid. Hal. 27-28. 65 Ma’ruf Amin. Op.cit. Hal. 36.
35
kolektif diwujudkan dengan majelis yang khusus dilangsungkan oleh
organisasi masyarakat di bidang keagamaan, baik tingkat dunia maupun
lokal Indonesia. Pada tingkat dunia diketahui majma’ al-buhuts al-
Islamiyah, majma’ al-fiqh al-Islami, dan lainnya. Adapun pada tingkat lokal
Indonesia dikenal komisi fatwa MUI, bahtsul matsail Nahdlatul Ulama,
majelis tarjih Muhammadiyah, lembaga hisbah Persis, dan Dewan Fatwa
Perhimpunan al-Irsyad. Yang menjadi sebab lebih memilih dilakukannya
ijtihad jama’i daripada ijtihad fadiy antara lain:
a. Terus berkembangnya pembaharuan dalam segala aspek kehidupan.
Problematika kontemporer ini tidak mumpuni apabila diatasi dengan
ijtihad fadiy, oleh sebab itu dibutuhkan adanya satu majelis yang saling
bertukar pendapat dan musyawarah antara ahli ilmu yang memiliki latar
belakang disiplin ilmu beda-beda;
b. Terus berkembangnya pengkhususan ilmu pengetahuan. Dalam
bermacam-macam latar belakang disiplin ilmu khususnya
mengakibatkan ahli ilmu tidak bisa menanggulangi ilmu pengetahuan
yang kompleks seperti apa yang dilakukan ulama salaf. Untuk
mengatasi satu problematika, kerapkali dibutuhkan banyak masukan
dari banyak ahli ilmu yang latar belakangnya bersangkutan dengan
problematika itu.66
5. Kaidah-Kaidah Fatwa Kontemporer
66 Ibid.
36
Ada beberapa kaidah-kaidah penting untuk berfatwa pada masa
kontemporer ini, yakni sebagai berikut:
1. Kewajiban berfatwa dengan bersandarkan pada ilmu syar’i
Kewajiban berfatwa dengan bersandarkan pada ilmu syar’i termasuk
kaidah yang telah ditetapkan (oleh para ulama). Diharamkan berfatwa
tanpa ilmu syar’i. Adapun yang menjadi dalil-dalil dalam kaidah ini
adalah sebagai berikut:
Al-Isra’ [17]:36
ئك كان عنه مسئوالا وال تقف ما ليس لك به علم إنا السامع والبصر و الفؤاد كل أول
“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”67
Q.S. Al-A’raf [7]:33
م رب ي الفواحش ما ظهر منها وما بط ن قل إناما حرا ثم والبغي ب وأن تشركوا وال غير الحق
ل به سلطاناا وأن تقولوا على للاا ما لم ينز ما ال تعلمون باللا
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan berkata
tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui".”68
67 Q.S. Al-Isra’ [17]:36. 68 Q.S. Al-A’raf [7]:33.
37
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
“Aku mendengar Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص bersabda:
د، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء إنا هللا ال يقبض العلم انتزاعاا ينتزعه من العبا ى إذا لم حتـا
ا اتاخذ النااس رءوساا جها وا بغير علم فضلوا وأضلوااالا فسئلوا، فأفت يبق عالما .
‘Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba,
akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama,
sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan
menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya,
kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka
sesat lagi menyesatkan orang lain.”69
Ilmu yang dimaksud pada kaidah ini ada dua macam:
Pertama, ilmu syar’i yang dibangun atas al-Qur’an dan as-Sunnah
yang shahih sesuai pemahaman yang selamat yang berdasarkan cara
berdalil dan macam-macam bentuknya yang telah disebutkan oleh para
ulama ushulul-fqh dan berdasarkan pemahaman salafush-shalih (kaum
yang terdahulu yang shalih).70
Kedua, gambaran yang benar atas permasalahan yang terjadi dan hal
yang ditanyakan. Gambaran yang melingkupi semua sisi-sisinya dan
menyikap hal-hal yang mengelabuinya serta paham benar dengan zhahir
dan batinnya. Oleh karena itu, para ulama mengemukakan,
69 Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh. Kaidah-Kaidah Fatwa Kontemporer. Jakarta. Darus Sunnah
Press. 2010. Hal. 13. 70 Ibid. Hal. 21-23.
38
“menghukumi suatu hal tertentu merupakan bagian dari (bagaimana
memahami) gambarannya”.71
Ibnul Qoyyim berpendapat, “seorang mufti dan hakim tidak akan
bisa berfatwa dengan benar kecuali mempunyai dua jenis pemahaman.
Salah satunya adalah pemahaman tentang perkara yang terjadi (waqi’)
dan fikih pada hal tersebut, dan pemahaman tentang hakekat (peristiwa)
yang terjadi dengan dalil-dalil, ciri-ciri, dan tanda-tandanya sampai
memiliki ilmu (yang pasti tentangnya).72
Yang merupakan jaminan terkuat yang menunjukkan benarnya
fatwa dan juga kesesuaiannya dengan syari’at Islam adalah dua hal yang
telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Karena dengan dua
hal tersebut, seorang ulama dapat membedakan yang benar dan yang
salah, yang hak dan yang bathil, yang sesuai dengan petunjuk dan yang
sesat. Tidak ada yang bisa menjadi seperti itu kecuali orang yang baik
niatnya, yang mencari kebenaran dan yang bertakwa kepada Allah di
saat sendiri maupun bersama orang lain.73
2. Kewajiban memastikan kebenaran, tidak tergesa-gesa, dan
bermusyawarah
Ketika mengeluarkan fatwa terhadap permasalahan-permasalahan
baru dan terkini diwajibkan untuk memastikan kebenaran (tatsabbut),
71 Ibid. 72 Ibid. 73 Ibid.
39
tidak tergesa-gesa, bermusyawarah dan memperhatikan beberapa sisi
pandang serta tidak terburu-buru dalam berfatwa.74
Syaikh Muhammad Habibullah bin Maaya’ba Asy-Syinqithi berkata
di dalam syairnya yang diberi nama Dalil As-Salik ‘Ala Muwaththa’ Al-
Imam Malik, “Sebagian orang mengira bahwa cepat adalah bagus dan
mahir di dalam syari’at dan yang lambat ketika ditanya tentang
jawabannya, (dianggap) bodoh terhadap ilmu, karena lambat untuk
kebenaran lebih baik dari cepat ketika menjawab. Terkadang dia sesat
dan menyesatkan sang penanya. Itulah akibat dari orang yang bodoh,
begitu pula dengan mufti yang tidak meninjau ulang, yang tidak
memeriksa dengan teliti dan tidak banyak membaca”.75
3. Bersemangat dalam menjaga kewaraan dalam berfatwa sebisa mungkin
Yang termasuk kaidah-kaidah penting di dalam berfatwa adalah
bersemangat dalam menjaga kewaraan sebisa mungkin. Karena
berfatwa adalah perkara yang sangat agung dan bahayanya sangat
besar.76
C. Tinjauan Umum Riba
1. Pengertian Riba
Ibrahim Anis berpendapat pada buku yang judulnya al- Mu’jam al-
Wasith, Riba secara bahasa berasal dari kata “raba” yang disamakan
dengan “nama wa zadda” artinya tumbuh dan tambah.77
74 Ibid. Hal. 25. 75 Ibid. Hal. 35. 76 Ibid. Hal. 37. 77 Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalah. Jakarta. Amzah. 2010. Hal. 257.
40
Menurut Syafi’i dalam kitab Nihâyah Al-Muhtâj seperti yang dikutip
oleh Ahmad Wardi Muslich, bahwa Berdasarkan syara’ Riba yakni
perjanjian atas pertukaran tertentu yang tidak diketahui serupanya dalam
patokan syara’ sewaktu akad (perjanjian) atau dengan mengakhirkan kedua
pertukaran tersebut atau salah satunya.78
Berdasarkan lughawi riba berarti ziyâdah atau bertambah, sebab
salah satu praktik Riba yakni meminta tambahan dari hal yang dihutangkan.
Sedangkan berdasarkan istilah adalah “Akad yang terjadi menurut
penukaran barang tertentu yang tidak diketahui pertimbangannya menurut
ukuran syara‟, pada waktu melakukan akad atau dengan menunda tukaran
kedua pihak atau salah satu dari keduanya”.79
Sebagaimana penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya maka
bisa dimengerti sesungguhnya Riba yakni satu bentuk tukar menukar jual
beli barang yang serupa ataupun tidak serupa yang di mana bersama dengan
tambahan yang tercantum dalam akad. Apabila tambahan tersebut tidak di
cantumkan pada akad maka tidak termasuk Riba, bisa dianggap suatu hadiah
semata atau bentuk pemberian saja.
2. Bentuk Riba
Adapun riba ada tiga macam:
1. Riba fadhl, yakni riba yang dilakukan pada barang yang serupa karena
adanya tambahan. Contoh: Barter emas 25 karat dengan emas 19 karat
78 Ibid. Hal. 258. 79 Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. Jakarta. Rajawali Pers. 2010. Hal. 58.
41
dengan salah satu ditambahkan dalam hal timbangan. Atau barter uang
Rp 11.000,- dengan uang seribu rupiah tetapi hanya 10 lembar;
2. Riba nasi-ah, yakni riba yang dilakukan pada barang yang serupa atau
tidak serupa tetapi masih dalam satu sebab (‘illat) dan ada tambahan
dalam timbangan disebabkan waktu pemberian yang diakhirkan.
Contoh: Membeli emas yakni barter uang dengan emas, tetapi uangnya
diakhirkan atau diketahui membeli dengan cara kredit;
3. Riba qordh, yakni riba pada hutang-piutang dan dengan syarat adanya
profit atau timbal balik berupa pemanfaatan. Seperti, berhutang tetapi
dengan syarat pemanfaatan rumah dari muqtaridh. Contoh: Si B
memberikan pinjaman uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu Si B
meminta pengembalian uangnya sejumlah Rp 1,2 juta rupiah, atau Si B
mensyaratkan selama hutang masih berjalan, rumah si A dimanfaatkan
oleh si B (muqridh). Praktik tersebut terkena riba qordh sebab ‘ijma
ulama, “Setiap hutang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”.80
3. Dasar Hukum Riba
Riba telah diharamkan dengan dasar al-Qur`an dan Sunnah, bahkan
ia termasuk dosa besar yang membinasakan.
a. Allâh Azza wa Jalla mengumandangkan perang dan mengizinkan
perang atas seorang dari pelaku pemakan riba dalam firman-Nya Al-
Baqarah [2]:275-279:
80 Muhammad Abduh Tuasikal. Bentuk Jual Beli yang Terlarang (2). www.rumaysho.com. Akses
13 Nopember 2018.
42
الا لك بأبا ال يقومون إالا كما يقوم الاذي يتخباطه الشايطان من المس ذ ناهم قالوا إناما ذين يأكلون الر
با فمن جاءه موعظة م م الر البيع وحرا با وأحلا للاا ن رب ه فانتهى فله ما البيع مثل الر
ئك أصحاب الناار هم فيها خالدون﴿ ومن عاد فأول با ٢٧٥سلف وأمره إلى للاا الر ﴾يمحق للاا
ال يحب كلا كفاار أثيم﴿ دقات وللاا الحات وأقاموا ﴾إنا الاذين ٢٧٦ويربي الصا آمنوا وعملوا الصا
كاة لهم أجرهم عند رب هم وال خوف عليهم وال هم يحزنون﴿ لة وآتوا الزا ﴾يا أيها ٢٧٧الصا
با إن كنت وذروا ما بقي من الر ﴾فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب ٢٧٨م مؤمنين﴿الاذين آمنوا اتاقوا للاا
ورسوله وإن تبتم فلكم رءوس أموالكم ال تظلمون وال تظلمون من للاا
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allâh telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allâh. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya. Allâh memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. dan Allâh tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang
43
yang beriman, bertakwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allâh dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”81
b. Q.S. Ali-‘Imran [3]:130
با أضعافاا مضاع فةا يا أيها الاذين آمنوا ال تأكلوا الر
لعلاكم تفلحون واتاقوا للاا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.”82
c. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص bersabda,
ة والبر بالبر والشا ة بالفضا ح مثلا بالشاعير والتامر بالتامر والملح بالمل عير الذاهب بالذاهب والفضا
لمعطى فيه سواءبمثل يداا بيد فمن زاد أو استزاد فقد أربى اآلخذ وا
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum
dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan
sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam,
maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan
(tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah
81 Al-Baqarah [2]:275-279. 82 Q.S. Ali-‘Imran [3]:130.
44
berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang
memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim No. 1584).
d. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص bersabda,
بع الموبقات » ، وما هنا قال » . اجتنبوا السا حر ، وقتل » قالوا يا رسول للاا ، والس رك باللا الش
با ، وأكل مال اليتيم ، والتاول ى يوم ال ، وأكل الر إالا بالحق م للاا حف ، وقذف النافس الاتى حرا زا
المحصنات المؤمنات الغافلت
“Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam
neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa
tersebut?” Beliau mengatakan, “(1) Menyekutukan Allah, (2) sihir, (3)
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan
yang dibenarkan, (4) memakan harta anak yatim, (5) memakan riba, (6)
melarikan diri dari medan peperangan, (7) menuduh wanita yang
menjaga kehormatannya (bahwa ia dituduh berzina)” (HR. Bukhari No.
2766 dan Muslim No. 89).
e. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
با وموكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء -صلى هللا عليه وسلم-لعن رسول للاا آكل الر
“Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang
menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang
saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (dalam
melakukan yang haram)” (HR. Muslim No. 1598).
f. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
ار قال: حداثنا إسماعيل بن عيااش قال: حداثني عتبة ب ، عن حداثنا هشام بن عما ب ي ن حميد الضا
جل مناا يقرض أخاه المال ، قال: سألت أنس بن مالك: الرا يحيى بن أبي إسحاق الهنائي
45
صلاى هللا عليه وسلام: ا، فأهدى له، أو إذا أقرض أحدك »فيهدي له؟ قال: قال رسول للاا م قرضا
»حمله على الدااباة، فل يركبها وال يقبله، إالا أن يكون جرى بينه وبينه قبل ذلك
“Hisyam bin Ammar menuturkan kepada kami, Ismail bin Ayyasy
menuturkan kepada kami, Utbah bin Humaid Adh Dhibbi menuturkan
kepada kami, dari Yahya bin Abi Ishaq Al Huna-i, ia berkata: Aku
bertanya kepada Anas bin Malik: Bolehkah seseorang di antara kami
yang berhutang kepada saudaranya lalu ia memberikan hadiah
kepadanya? Maka Anas bin Malik mengatakan: Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص bersabda:
“Jika seseorang di antara kalian memberikan hutang, lalu si penghutang
memberikan hadiah kepadanya, atau memboncengnya dengan hewan
tunggangan, maka jangan mau dibonceng dan jangan terima hadiahnya.
Kecuali jika hal itu memang sudah biasa terjadi di antara mereka”.” (HR.
Ibnu Majah No. 2432)
D. Tinjauan Umum Perjanjian
1. Pengertian dan Syarat-Syarat Perjanjian Menurut Hukum Positif
Terminologi perjanjian asalnya dari bahasa Belanda overeenkomst
dan verbintenis. Perjanjian merupakan suatu terjemahan dari Toestemming
yang dapat disebut juga sebagai wilsovereenstemming (persesuaian
kehendak/kata sepakat). Definisi perjanjian ini termaktub unsur perbuatan,
satu orang atau juga lebih terhadap satu orang lain atau lebih dan
mengikatkan dirinya.83
83 Abdul Hakim Siagian. Hukum Perjanjian. Medan. Jabal Rahmat. 2006. Hal. 1
46
Pengertian Perjanjian termaktub di dalam Pasal 1313 KUH Perdata.
Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa "suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih". Definisi perjanjian yang terkandung di
dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut dirasa belum lengkap, oleh karena
itu beberapa pakar hukum merumuskan definisi perjanjian yang lebih
sempurna, sebagai berikut:
Menurut Subekti, perjanjian yakni satu perbuatan hukum antara dua
insan atau dua pihak yang lain, dan pihak yang lain memiliki kewajiban
untuk melaksanakan kewajiban itu. Selain itu merupakan suatu peristiwa
hukum di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.84
Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum di
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.85
Perjanjian ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia
usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual
beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang,
pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga
kerja.86
84 Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta. Intermasa. 1987. Hal. 29. 85 R. Setiawan. Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya. Bandung. Bina Cipta. 1987. Hal. 49. 86 Abdulkadir Muhammad. Hukum Perjanjian. Jakarta. Citra Aditya Bakti. 1986. Hal. 93.
47
Syarat-syarat sah perjanjian menurut hukum positif di Indonesia
termaktub dalam Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah sah
jikalau memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Kesepakatan
Kesepakatan adalah sepakatnya kedua pihak yang mengikatkan diri,
artinya kedua belah pihak pada suatu perjanjian harus memiliki
kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri, dan kemauan itu wajib
dinyatakan dengan tegas atau secara diam. Oleh karena itu, suatu
perjanjian itu tidak sah jikalau dibuat atau berdasarkan kepada
paksaan, penipuan atau kekhilafan.87
b. Kecakapan
Kecakapan ialah memiliki kecakapan untuk melakukan suatu
perjanjian. Berdasarkan hukum, kecakapan menjadi bagian
kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum pada umumnya,
dan berdasarkan hukum setiap orang ialah cakap untuk melakukan
perjanjian kecuali orang-orang yang berdasarkan UU dikatakan tidak
cakap. Adapun semua orang yang tidak cakap melakukan perjanjian
yakni semua orang yang belum dewasa dan orang yang dalam
pengampuan.88
87 R. Soeroso. Perjanjian di Bawah Tangan (Pedoman Pembuatan dan Aplikasi Hukum). Bandung.
Alumni Bandung. 1999. Hal. 12. 88 Ibid.
48
c. Suatu Hal Tertentu
Menurut KUH Perdata hal tertentu adalah:89
1. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan pada suatu perjanjian ialah
harus suatu hal atau barang yang cukup jelas atau tertentu yakni
mnimal ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata);
2. Hanya semua barang yang bisa diperdagangkan saja yang bisa
menjadi pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUH Perdata);
Contohnya seorang pedagang mangga, pedagang alat bangunan
harus jelas barang tersebut ada di dalam gudang, jual beli tanah
harus jelas ukuran luas tanah dan letak di mana tempatnya.
d. Suatu Sebab yang Halal
Meskipun semua orang dapat melakukan perjanjian apa saja, akan
tetapi ada pengecualiannya yakni suatu perjanjian itu tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketentuan
umum, moral dan kesusilaan (Pasal 1335 KUH Perdata).90
Syarat-syarat tersebut di atas harus dipenuhi semuanya sehingga
dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah.
2. Pengertian dan Syarat-Syarat Perjanjian Menurut Hukum Islam
Perjanjian dipandang secara etimologis dalam bahasa Arab disebut
dengan المعاهدة (Janji), االت فاق (Kesepakatan) dan العقد (Ikatan). Secara
terminologi dalam Islam, perjanjian adalah suatu kesepakatan yang dibuat
89 Ibid. 90 Ibid. Hal. 16.
49
antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa
orang lainnya, untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang tidak
melanggar syari’at.91
Menurut Abdul Aziz Muhammad kata “akad” di dalam istilah
bahasa bermakna ikatan dan tali pengikat. Dari hal tersebut kemudian
makna akad diartikan secara lughawi bahwa “menghubungkan antara dua
perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah
menguatkan niat berjanji untuk melaksanakannya isi sumpah atau
meninggalkannya. Demikan juga dengan janji halnya merupakan sebagai
pengikat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan
menguatkannya”.92
Dengan demikian jika melihat dari definisi hukum positif dan
hukum Islam ada persamaan di mana titik temunya adalah kesepakatan
untuk mengikatkan diri dengan seorang lainnya.
Syarat-syarat perjanjian termasuk juga di dalamnya rukun-rukun
perjanjian dalam Islam memiliki tiga unsur, yaitu:
1. Dua Pihak atau Lebih yang Melakukan Akad
Dua orang atau lebih yang melakukan akad ini ialah dua orang atau
lebih yang secara langsung mengikat dalam akad. Kedua belah pihak
dipersyaratkan harus mempunyai kelayakan untuk melakukan akad
sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. Kelayakan
91 Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta. Sinar
Grafika. 2004. Hal. 1. 92 Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam. Jakarta.
Amzah. 2010. Hal. 15.
50
terwujud dengan beberapa hal berikut pertama, kemampuan
membedakan yang baik dan yang buruk. Apabila para pihak tersebut
sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang
yang tercekal disebabkan dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah
melakukan akad. Kedua, bebas memilih. Tidak sah akad yang
dilakukan orang di bawah pada paksaan, apabila paksaan itu terbukti.
Ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila tidak
mempunyai pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti
sebagai berikut khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan),
khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya.93
2. Objek Akad
Objek akad adalah barang yang dijual dalam akad jual beli, atau
sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal
itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah,
yakni pertama, barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis,
bisa dibersihkan. Oleh karena itu, akad usaha ini tidak bisa
diberlakukan pada benda najis secara dzati, seperti bangkai atau benda
yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan najisnya, seperti
cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun kalau
mungkin dibersihkan boleh-boleh saja. Kedua, barang tersebut harus
bisa digunakan dengan cara yang disyari’atkan. Sebab fungsi legal dari
93 Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Mushlih. Fikih Ekonomi Islam. Jakarta. Darul Haq. 2001. Hal.
27.
51
satu komoditi menjadi landasan nilai dan harga komoditi tersebut.
Ketiga, komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual
barang yang tidak ada, atau ada tetapi tidak bisa diserahterimakan.
Karena yang demikian itu termasuk gharar, dan itu dilarang. Keempat,
barang tersebut merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan
penjualan. Kelima, harus diketahui wujudnya oleh orang yang
melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual
langsung. Dan harus diketahui ukuran, jenis, dan kriterianya apabila
barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada
dilokasi transaksi.94
3. Lafazh (Shigat) Akad
Yang dimaksudkan dengan pengucapan akad itu adalah ungkapan
yang dilontarkan oleh orang yang melakukan akad untuk menunjukkan
keinginannya yang mengesankan bahwa akad itu sudah berlangsung.
Tentu saja ucapan itu wajib mengandung serah terima (ijab-qabul).95
94 Ibid. Hal. 27-28. 95 Ibid. Hal. 29.