44
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi 1. Pengertian Asuransi Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda ”Verzekering atau Assurantie”. Oleh R Sukardono diterjemahkan dengan pertanggungan, dalam bahasa Inggris disebut Insurance”. Istilah asuransi dan pertanggungan mempunyai persamaan pengertian, istilah pertanggungan ini umum dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan tinggi hukum di Indonesia, sedangkan istilah asuransi banyak dipakai dalam praktik dunia usaha. Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam perundang- undangan dan perusahaan perasuransian.Istilah perasuransian berasal dari kata “asuransi” diberi imbuhan per-an, maka muncullah istilah hukum “perasuransian” yang berarti segala usaha yang berkenaan dengan asuransi. Usaha yang berkenaan dengan asuransi ada 2 (dua) jenis, yaitu 13 : a. Asuransi dibidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi (insurance business). Perusahaan yang menjalankan usaha asuransi disebut Perusahaan Asuransi (insurance company). 13 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 5.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Asuransi

1. Pengertian Asuransi

Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda ”Verzekering atau

Assurantie”. Oleh R Sukardono diterjemahkan dengan pertanggungan,

dalam bahasa Inggris disebut ”Insurance”. Istilah asuransi dan

pertanggungan mempunyai persamaan pengertian, istilah pertanggungan

ini umum dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan tinggi

hukum di Indonesia, sedangkan istilah asuransi banyak dipakai dalam

praktik dunia usaha.

Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai

dalam perundang- undangan dan perusahaan perasuransian.Istilah

perasuransian berasal dari kata “asuransi” diberi imbuhan per-an, maka

muncullah istilah hukum “perasuransian” yang berarti segala usaha yang

berkenaan dengan asuransi. Usaha yang berkenaan dengan asuransi ada 2

(dua) jenis, yaitu

13 :

a. Asuransi dibidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi

(insurance business). Perusahaan yang menjalankan usaha

asuransi disebut Perusahaan Asuransi (insurance company).

13 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2006, hlm 5.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

16

b. Usaha dibidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut

usaha penunjang usaha asuransi. Perusahaan yang menjalankan

usaha penunjang usaha asuransi disebut Perusahaan Penunjang

Asuransi.

Menurut ketentuan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang (KUHD) pertanggungan atau asuransi adalah suatu perjanjian

dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang

tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan suatu

penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau

kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya

karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Menurut Abdulkadir

Muhammad14, berdasarkan definisi tersebut dapat di uraikan unsur-unsur

asuransi atau pertanggungan sebagai berikut:

1) Unsur pihak-pihak Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam

asuransi, yaitu penanggung dan tertanggung yang mengadakan

perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung memiliki hak dan

kewajiban.Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan

kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi. Sedangkan

tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh

perlindungan dan ganti rugi atas harta miliknya.

2) Unsur status Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan

hukum, dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan

14 Abdulkadir Muhammad, Ibid, hlm. 8

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

17

Perseroan (Persero) atau Koprasi. Tertanggung berstatus sebagai

perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang sebagai pemilik

atau pihak berkepentingan atas harta benda yang diasuransikan.

3) Unsur objek Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau

kepentingan yang melekat pada benda dan sejumlah uang yang

disebut sebagai premi.

4) Unsur peristiwa Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum berupa

persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan

tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti

(evenemen) yang mengancam benda asuransi dan syarat-syarat yang

berlaku dalam asuransi.

5) Unsur hubungan asuransi Hubungan asuransi yang terjadi antara

penanggung dan tertanggung adalah keterikatan (legally bound) yang

timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan

tersebut berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan

tertanggung untuk memenuhi kewajiban dan hak masing-masing

terhadap satu sama lain, yang artinya sejak tercapainya kesepakatan

asuransi tertanggung terikat dan wajib membayar premi asuransi

kepada penanggung dan sejak itu pula penanggung menerima

pengalihan risiko.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UUUP)

“asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak

atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

18

kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk

memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,

kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau

tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan

di derita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang

tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang

didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang

dipertanggungkan”.

Dari pengertian di atas, di dalam bukunya Djoko Prakoso dan I

Ketut Murtika,15 Emmy Pangaribuan berpendapat sebagai berikut:

“Pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana penanggung

dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinya terhadap

tertanggung untuk membebaskan diri dari kerugian karena

kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang

diharapkan yang akan dapat diderita olehnya karena suatu

kejadian yang belum pasti”.

Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-

kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi)

kerugian-kerugian yang belum pasti.16

Asuransi adalah upaya yang dapat dimanfaatkan untuk

mengatasi kemungkinan timbul kerugian akibat terjadi peristiwa yang

tidak pasti dan tidak diinginkan. Melalui perjanjian asuransi

kemungkinan peristiwa yang menimbulkan kerugian yang mengancam

kepentingan tertanggung itu dialihkan kepada Perusahaan Asuransi

selaku penanggung dan sebagai imbalannya tertanggung bersedia untuk

membayar sejumlah premi yang telah disepakati. Dalam hal ini,

tertanggung yang berkepentingan akan merasa aman dari ancaman

15Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,

1992, hlm. 22 16 H. Abbas Salim, Asuransi dan Managemen Resiko, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

1998, hlm. 1

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

19

kerugian, sebab jika kerugian itu betul-betul terjadi penanggunglah yang

akan menggantinya.17

Pengertian asuransi menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang berbunyi :

“Asuransi adalah perjanjian antara 2 pihak, yaitu perusahaan

asuransi dan pemegang polis yang menjadi dasar bagi penerimaan

premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk :

a. Memberikan pergantian kepada tertanggung atau pemegang

polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,

kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada

pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau

pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak

pasti; atau

b. Memberikan pembayaran yang di dasarkan pada

meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang

didasarakan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang

besarnya telah ditetapkan dan/atau di dasarkan pada hasil

pengelolaan dana

Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan NOMOR 23/POJK.05/2015

Tingkat Premi atau Kontribusi dinilai mencukupi, apabila:

1. tidak terlalu rendah sehingga sebanding dengan manfaat yang

diperjanjikan dalam Polis Asuransi yang bersangkutan;

17 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit hlm. 162

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

20

2. penerapan tingkat Premi atau Kontribusi secara berkelanjutan tidak

akan membahayakan tingkat solvabilitas Perusahaan; dan

3. penerapan tingkat Premi atau Kontribusi secara berkelanjutan tidak

akan merusak iklim kompetisi yang sehat.

Tingkat Premi atau Kontribusi dinilai berlebihan apabila sedemikian

tinggi sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang

diperjanjikan dalam Polis Asuransi yang bersangkutan. Penerapan tingkat

Premi atau Kontribusi dinilai bersifat diskriminatif apabila tertanggung

dengan luas penutupan yang sama serta dengan jenis dan tingkat risiko

yang sama dikenakan tingkat Premi atau Kontribusi yang berbeda.18

2. Jenis Asuransi

Asuransi pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitu:

Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa.

a. Asuransi Kerugian terdiri dari:

1) Asuransi Kebakaran;

2) Asuransi Kehilangan dan Kerusakan;

3) Asuransi laut;

4) Asuransi Pengangkutan;

5) Asuransi Kredit.

b. Asuransi Jiwa terdiri dari

1) Asuransi Kecelakaan;

18Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan NOMOR 23/POJK.05/2015 Tentang

Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi Pasal 3huruf a

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

21

2) Asuransi Kesehatan;

3) Asuransi Jiwa Kredit.

Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik diantara penutup

(pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup

(pengambil) asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan

membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung

sebagai akibat langsung meninggalnya orang yang jiwanya

dipertanggungkan atau telah lampau jangka waktu yang diperjanjikan,

mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang

yang ditunjuk oleh penutup (pengambil asuransi sebagai penikmatnya)19.

Risiko kehidupan yang tidak tentu yang akan dialami oleh setiap

manusia sebagai ciptaan Tuhan adalah kematian, “Risiko pribadi berkaitan

dengan kerugian yang menimpa manusia pribadi, misalnya, karena

meninggal dunia, kecelakaan, usia tua, dan sebagainya”20.

Dalam menghindari risiko dari peristiwa terhadap jiwa seseorang,

dapat dilakukan dengan mengalihkan suatu risiko tersebut dengan suatu

pertanggungan pada perusahaan asuransi jiwa, Dessy Danarti mengatakan,

“Perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam

penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya

seseorang yang dipertanggungkan”21.

19 Abdulkadir Muhammad, 2002. Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,, hlm.

195-196. 20 Man Suparman Sastrawidjaja, 2012. Aspek-Aspek Hukum Asuransi, dan Surat Berharga,

Alumni, Bandung, hlm. 6. 21 Dessy Danarti, 2011. Jurus Pintar Asuransi – Agar Anda Tenang, Aman, dan Nyaman,

Gmedia, Yogyakarta, hlm. 48.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

22

Perjanjian asuransi jiwa disamping memberikan media perlindungan

juga menjadi media investasi. Apabila terjadi peristiwa (evenement)

meninggalnya tertanggung, maka penanggung wajib membayarkan uang

santunan berupa dana pertanggungan, namun apabila sampai berakhirnya

jangka waktu asuransi tidak terjadi suatu evenement atau peristiwa

meninggalnya tertanggung, maka penanggung wajib membayarkan

sejumlah uang pengembalian kepada tertanggung22.

Asuransi jiwa berakhir bukan berakhir pada saat tertanggung

meninggal dunia, melainkan setelah penanggung membayarkan uang

santunan kepada penerima manfaat/ahli waris. Pasal 1234 Kitab Undang-

undang Hukum Perdata menentukan, “tiap-tiap perikatan adalah untuk

memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

sesuatu”. Dalam konteks perjanjian asuransi, subjeknya adalah perjanjian

untuk berbuat sesuatu. “Bagi penanggung yaitu janji penanggung untuk

memberikan penggantian atas kerugian atau kehilangan atau tanggung

jawab yang timbul atau manfaat asuransi yang sah”. Asuransi jiwa

berakhir sejak penanggung melunasi uang santunan sebagai akibat dari

meninggalnya tertanggung. “Dengan kata lain, asuransi jiwa berakhir sejak

terjadinya evenement yang diikuti dengan pelunasan klaim”23.

Pada masa asuransi jiwa berakhir tanpa terjadi evenemen, pemegang

polis atau tertunjuk berhak mendapatkan pengembalian sejumlah uang

tertentu dari penanggung sesuai dengan perjanjian dalam polis. Ketentuan

22 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hlm. 198 23 Abdulkadir Muhammad, Loc.Cit.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

23

tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 40 Tahun 2014 yang

menyatakan: “……memberikan pembayaran yang didasarkan pada

hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan

atau didasarkan atass hasil pengelolaan dana”.

Kewajiban-kewajiban dari pemegang polis atau pengambil asuransi

antara lain24:

1) Kewajiban membayar premi kepada penanggung. Ketentuan

mengenai kewajiban membayar premi bagi pemegang polis

asuransi kepada penanggunng diatur dalam Pasal 246 KUHD

dan Pasal 1 ayat (1) UU Perasuransian. Premi merupakan

kewajiban pemegang polis untuk membayarnya kepada

penanggung sebagai kontra prestasi dari ganti kerugian atau

uang santunan yang akan penanggung berikan padanya, premi

merupakan syarat esensial dalam perjanjian asuransi.

2) Kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan yang

diperlukan oleh penanggung dengan itikad baik. Adanya

ketentuan yang mewajibkan kepada pemegang polis supaya

memberitahukan tentang keadaan objek yang akan

diasuransikannya dengan dilandasi iktikad baik.

24 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Cet. 2,

Alumni, Bandung, 2003, hlm. 32

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

24

3. Dasar Hukum Asuransi

Adapun dasar hukum asuransi adalah sebagai berikut :

a. Kitab Undang-Undang KUHPerdata diantaranya Pasal 1138, 1320

b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 246, 255, 256, 257,

258

c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha

Perasuransian

d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

e. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan NOMOR 23/POJK.05/2015

Undang-Undang yang mengatur tentang asuransi yang pailit :

Dalam lampiran Undang-Undang No.4 tahun 1998 pasal 1 ayat (1)

mendefinisikan agak berbeda dalam ketentuan yang baru yang artinya

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih debitur dan tidak membayar

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan

pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud

dalam pasal (2) baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan

seorang atau lebih krediturnya. Pengertian mengenai kepailitan ini banyak

ditafsirkan dari berbagai perspektif namun pengertian itu tidak lepas dari

esensi yang mengartikan bahwa seperti apa yang sudah tercantum dalam

Undang-Undang Kepailitan No 37 tahun 2004 adalah:sita umum atas

semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya

dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (1).

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

25

Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan

tentang diaturnya hukum kepailitan, tetapi dasar mengapa dapat dilakukan

penyitaan terhadap harta benda atau harta kekayaan Debitor pailit, Adapun

yang dimaksud dengan dasar atau sumber yang mendasari dari hukum

kepailitan di Indonesia antara lain mengacu pada:

1) Pasal 1131 KUH perdata yang berbunyi: Segala kebendaan si

berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang

sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi

tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Dari ketentuan

tersebut dapat diketahui bahwa debitor bertanggung jawab terhadap

utang-utangnya, tanggung jawab tersebut di jamin dengan harta yang

ada dan yang akan ada di kemudian hari, baik harta ynag bergerak

maupun harta ynag tidak bergerak. Ketentuan ini merupakn tanggung

jawab atas utang debitor. Asas ini untuk melindungi kreditor, supaya

seimbang dengan hak yang sudah diberikan kepada debitor.

2) Pasal 1132 KUH Perdata yang berbunyi

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-ssama bagi semua

orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-

benda itu di bagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar

kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para

berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk di dahulukan. Pasal di

atas meerupakan alasan untuk menentukan beberapa hal dalam

hubungan dengan utang piutang yaitu:

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

26

a) Jaminan kebendaan berlaku bagi semua kreditor;

b) Apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya kebendaan

tersebut akan di jual.

c) Hasil penjualan di bagikan kepada kreditor berdasarkan besar

kecilnya piutang (Asas keseimbangan atau pondspondsgewijs);

d) Terdapat kreditor yang didahulukan dalam memperoleh

bagiannya (Kreditor Preferent dan Kreditor separatis)

3) Het Herziene Indonesche Reglement (HIR)

4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

penundaan kewajiban pembayaran.

4. Polis Asuransi

Dalam uraian bab terdahulu telah dikemukakan Pasal 255

KUHDagang menyebutkah bahwa suatu perjanjian asuransi harus dibuat

secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Kesimpulan

minimal dari pasal tersebut adalah bahwa polis merupakan syarat mutlak

pada perjanjian asuransi. Akan tetapi kesimpulan tersebut belum

maksimal setelah dilakukan penafsiran secara sistematis dengan

memperhatikan Pasal 257 dan Pasal 258 KUHDagang, sebagaimana telah

diutarakan pada bab di muka, Berdasarkan kedua pasal dimaksud

diperoleh kesimpulan maksimal bahwa polis dalam perjanjian asuransi

tidak merupakan syarat mutlak, tetapi hanya merupakan alat bukti saja.

Meskipun demikian sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

27

tersimpul dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata diperkenankan saja

apabila para pihak memperjanjikan bahwa perjanjian asuransi baru

berlangsung setelah polis selesai atau setelah diserahkan kepada

tertanggung. Dalam hal yang demikian berarti polis dijadikan sebagai

syarat mutlak pada perjanjian asuransi yang bersangkutan. 25

a. Fungsi Polis

Memuat kesepakatan, syarat-syarat khusus dan janji-janji

khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban para

pihak (penanggung dan tertanggung) dalam mencapai tujuan

asuransi. Dengan demikian, polis merupakan alat bukti tertulis

tentang telah terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan

penanggung.

Mengingat fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para

pihak (khususnya Tertanggung) wajib memperhatikan kejelasan isi

polis dimana sebaiknya tidak mengandung kata-kata atau kalimat

yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga dapat

menimbulkan perselisihan (dispute).

b. Isi Polis

Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali

mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut

ini:

25Dr. Man Suparman Sastrawidjaja, S.H., S.U & Endang S.H, 1997, Hukum Asuransi

Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha Perasuranisan, Bandung,Penerbit Alumni.,

hlm. 144.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

28

1) Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;

2) Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga;

3) Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;

4) Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan);

5) Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung;

6) Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi

tanggungan penanggung;

7) Premi asuransi;

8) Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh

penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan antara

para pihak, antara lain mencantumkan BANKER’S CLAUSE,

jika terjadi peristiwa (evenemen) yang menimbulkan kerugian

penanggung dapat berhadapan dengan siapa pemilik atau

pemegang hak.

Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan

bahwa di dalam polisnya harus pula menyebutkan:

1. Letak barang tetap serta batas-batasnya;

2. Pemakaiannya;

3. Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang

berpengaruh terhadap obyek pertanggungan;

4. Harga barang-barang yang dipertanggungkan;

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

29

5. Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat

dimana barang-barang bergerak yang dipertanggungkan itu

berada.

4. Batalnya Asuransi

Suatu pertanggungan atau asuransi karena pada hakekatnya

adalah merupakan suatu perjanjian maka ia dapat pula diancam dengan

resiko batal atau dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat syahnya

perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Selain itu KUHD mengatur tentang ancaman batal apabila dalam

perjanjian asuransi:

1. Memuat keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila

tertanggung tidak memberitahukan hal-hal yang diketahuinya

sehingga apabila hal itu disampaikan kepada penanggung akan

berakibat tidak ditutupnya perjanjian asuransi tersebut (Pasal 251

KUHD);

2. Memuat suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi

ditandatangani (Pasal 269 KUHD);

3. memuat ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan

melalui pengadilan membebaskan si penanggung dari segala

kewajibannya yang akan datang (Pasal 272 KUHD);

4. Terdapat suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si

tertanggung (Pasal 282 KUHD);

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

30

5. Apabila obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-

undangan tidak boleh diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik

kapal Indonesia atau kapal asing yang digunakan untuk mengangkut

obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak

boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).

Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan

Tetanggung dapat dikenakan sanksi berupa: Sanksi Administratif,

(berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada

tertanggung); dan Sanksi Pidana.

Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan

dalam Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober

1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”)

serta peraturan pelaksanaannya yang berkenaan dengan:

1. Perizinan usaha;

2. Kesehatan keuangan;

3. Penyelenggaraan usaha;

4. Penyampaian laporan;

5. Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang

pemeriksaan langsung;

dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan

sanksi pencabutan izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).

Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap:

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

31

1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak

menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional

tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba

rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan

denda administratif Rp. 1.000.000 (satu juta Rupiah) untuk setiap

hari keterlambatan;

2. Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi

yang tidak menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai

dengan jangka waktu yang ditetapkan dikenakan denda

administratif Rp. 500.000 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap

hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).26

B. Tinjauan Umum tentang Kepailitan

1. Pengertian Kepailitan

Pengertian atau definisi kepailitan yang terdapat dalam Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU-

KPKPU) adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah

pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang ini.

26Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

32

Kepailitan juga diartikan sebagai suatu proses dimana27:

1. Seorang Debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk

membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal

ini Pengadilan Niaga dikarenakan Debitor tersebut tidak dapat

membayar utangnya.

2. Harta Debitor dapat dibagikan kepada para Kreditor sesuai dengan

peraturan kepailitan.

Kepailitan adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan usaha global

seperti sekarang ini tidak mungkinterisolir dari masalah-masalah lain.

Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai

imbas dan pengaruh buruk bukan hanya perusahaan itu saja melainkan

berakibat global. Sebagai contoh, ketika Dirut Yamaichi Securities pada

tanggal 1 Desember 1995 mengumumkan kebangkrutan perusahaannya

pada suatu konferensi pers di Tokyo, Jepang laksana diguncang bom

atom lagi. Bahkan dampaknya bersifat mengglobal. Dari kasus ini dapat

dilihat banyak yang akan jadi korban bila perusahaan itu dinyatakan

pailit.

Secara terminologi kepailitan bukanlah sesuatu hal yang baru untuk

dunia pelaku usaha, hanya saja yang menjadi problematika sering kali

kepailitan dimaknai secara umum dan tidak tepat yakni bubarnya atau

dilikuidasinya suatu badan usaha oleh kalangan umum. Bambang

Kesowo mengemukakan bahwa ada berbagai pihak salah memahami

27 Rudi A. Lontoh, et al., 2001. Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, hlm. 23

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

33

bahwa kepailitan sama artinya dengan likuidasi dan pembubaran. Bahkan

sebagian dari masyarakat umum beranggapan kepailitan sebagai vonis

yang berbau tindakan kriminal yang merupakan suatu cacat hukum atas

subjek hukumnya28.

Menurut Hartini bahwa kata pailit berasal dari bahasa Perancis

“failite” yang berarti kemacetan pembayaran. dalam bahasa Belanda

dipergunakan istilah dan dalam hukum Anglo America, undang-

undangnya dikenal dengan Bankcruptcy29.

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para

kreditor. Keadaan demikian pada dasarnya disebabkan oleh kesulitan

kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang mengalami

kemunduran30.

Kata pailit berasal dari bahasa perancis “failite” yang berarti

kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah

“failliet”. Sedang dalam hukum Anglo America, undang-undangnya

dikenal dengan Bancruptcy Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan

lama yaitu pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan atau Faillisement

Verordening S. 1905-217 jo 1906. 348 menyatakan31:

“setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti

membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan

28 Dr. M. Hadi Shubhan, 2008. Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di

Peradilan), Cet. I, Penerbit Kencana Prenada media Group, Jakart, hlm. 2 29 Rahayu Hartini, 2012, Hukum Kepailitan Cet. Ketiga, Malang; UMM Pers, hlm. 4. 30 Dr. M. Subhan, 2009. Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan) Cet.

II, Penerbit Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 1. 31 Prof. Dr. Rahayu Hartini, 2012. Hukum Kepaitan, UMM Press , hlm 4

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

34

seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan hakim

dinyatakan dalam keadaan pailit”.

Ini agak berbeda pengertiannya dengan ketentuan yang baru yaitu

dalam lampiran UU No. 4 Th. 1998 pasal 1 ayat (1), yang

menyebutkan32:

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak

membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang

berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas

permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih

krediturnya”.

Pengertian Kepailitan menurut UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004

adalah: sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan

dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim

Pengawas sebahaimana diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 ayat

(1)).

Lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di

dalam aktivitas bisnis karenaadanya status pailit merupakan salah satu

sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak

mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar.

Di dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailtan itu berperan.33

Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima,

bila dikemas di dalam peraturan hukum maka peraturan itu secara tepat

kepentingan yang dilihat dari sudut pandang ekonomis namun hal seperti

32Ibid 33 Sudargo Gautama,1998. Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia,

Bandung:Citra Aditya Bakti,, hlm 205

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

35

ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti sekarang ini. Menurut

Peter, aturan main bentuk perangkat hukum di dalam kegiatan bisnis

meliputi 3 hal yaitu:

1. Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan

lembaga-lembaga yang mewadahi bisnis dalam arena pasar

(substantive legal rules).

2. Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis

dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis,

3. Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar. Kata

pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” berarti kemacetan

pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failite”.

Sedang dalam hukum Anglo America, undang-undangnya dikenal

dengan Bankcrupty Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan lama

yaitu pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening

S. 1990-217 jo 1905-348 menyatakan : “Setiap berutang (debitor)

yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan

sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang

(kreditor), dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan

pailit”.34

Ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No.4 Th.1998

pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan : “Debitor yang mempunyai dua

atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah

34 Sri Rejeki Hartono, 2000. Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern,

Jakarta: Majalah Hukum Nasional, hlm 81

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

36

jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik

atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih

kreditor.35

Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan

dipengadilan setelah memenuhi pesyaratan di dalam pengajuan

permohonan. Keterbatasan pengetahuan perihal ilmu hukum khususnya

hukum kepailitan yang berasal dari hukum asing, juga istilah pailit yang

jarang sekali dikenal oleh masyarakat kalangan bawah maupun

pedesaan yang lebih akrab dengan hukum adatnya, istilah bangkrut

lebih kenal. Masyarakat desa tidak berpikir untuk memohon ke

pengadilan agar dirinya dinyatakan pailit. Para pedagang kecil jika ia

sudah tidak dapat berdagang lagi, karena modalnya habis dan ia tidak

dapat membayar utangutangnya, laluia mengatakan bahwa dirinya

sudah bangkrut. Tidak demikian halnya bagi perusahaan/pedagang

besar, pengertian istilah kebangkrutan maupun pailit telah mereka

ketahui.

Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut

diatas maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai

sita umum atas harta kekayaan debitor baik yang pada waktu

pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung

untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu kreditor dinyatakan

35 Sri Sumantri Hartono, 1981. Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,

Yogyakarta:Liberty,, hlm 42.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

37

pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak

yang berwajib.36

Pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah ada sejak

berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van

Koophandel) Buku III tentang Ketidakmampuan Pedagang yang hanya

berlaku bagi pedagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Perdata (Reglement op de Rechtsvordering Staatblads 1847-52 jo.

1849-63) Buku III Bab VII tentang Keadaan Nyata-Nyata Tidak

Mampu yang berlaku bagi orang-orang bukan pedagang. Dua aturan

kepailitan tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-

Undang tentang Kepailitan (Faillissements Verordening Staatblads

1905 Nomor 217 jo. Staatblads 1906 Nomor 348) yang berlaku bagi

semua orang, baik pedagang maupun bukan pedagang, baik

perseorangan maupun badan hukum.

2. Sejarah Hukum Kepailitan

Lembaga hukum Kepailitan, bukan merupakan lembaga yang baru

dalam sistem hukum Indonesia. Menurut sejarah berlakunya Peraturan

mengenai Kepailitan di Indonesia, Sri Redjeki Hartono memilahnya

menjadi 3 (tiga) masa yakni masa sebelum Faillisement Verordening

36 Khairandy, 2002. Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan, Jakarta:Jurnal

Hukum Bisnis, hlm 94.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

38

berlaku, masa berlakunya Faillisements Verordening itu sendiri dan masa

berlakunya UU Kepailitan yang sekarang ini37.

a. Sebelum berlakunya Faillisements Verordening

Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu Hukum

Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam:

1) Wet Book Van Koophandel atau WVK buku ketiga yang

berjudul “Van de Voorzieningen in geval van Onvormogen van

kooplieden” atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang.

Peraturan ini adalah peraturan Kepailitan bagi pedagang.

2) Reglement op de Rechtsvoordering (RV). S. 1847-52 bsd 1849-

63, Buku ketiga bab ketujuh dengan judul “Van den staat Von

Kenneljk Onvermogen atau tentang Keadaan nyata-nyata tidak

mampu.

b. Masa Berlakunya Faillisements Verordening

Mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening

(S.1905-271 bsd S.1906-348). Peraturan Kepailitan ini sebenarnya

hanya berlaku bagi golongan Eropa, golongan Cina dan golongan

Timur Asing (S. 1924-556). Bagi golongan Indonesia asli (pribumi)

dapat saja menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara

melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk kepailitan

berlaku Faillisementes Verordening 1905-217 yang berlaku bagi

semua orang, baik bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik

37 Sri Rejeki Hartono, 2012. Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, hlm. 8

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

39

perseorangan maupun badan hukum. Sejarah peraturan kepailitan di

Indonesia sejalan dengan apa yang terjadi di Belanda melalui asas

konkordansi (Pasal 131 IS), yakni dimulai dengan berlakunya “Code

de Commerce” (tahun 1811-1838) kemudian pada tahun 1893

diganti dengan Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1

September 1896.

c. Masa Berlakunya Undang- Undang Kepailitan Produk Hukum

Nasional

Setelah berlakunya Fv. S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348,

Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan

meskipun masih tambal sulam sifatnya, yakni sudah ada 3 (tiga)

peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional

dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (PERPU) No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-undang tentang Kepailitan yang kemudian ditingkatkan

menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan terakhir pada

tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi dengan Undang-

Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban pembayaran Utang.

3. Dasar Hukum Kepailitan

Pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah ada sejak

berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

40

Koophandel) Buku III tentang Ketidakmampuan Pedagang yang hanya

berlaku bagi pedagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

(Reglement op de Rechtsvordering Staatblads 1847-52 jo. 1849-63) Buku

III Bab VII tentang Keadaan Nyata-Nyata Tidak Mampu yang berlaku

bagi orang-orang bukan pedagang38.

Adapun dasar hukum bagi suatu kepailitan adalah sebagai

berikut39:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diantaranya Pasal 1139,

1149, 1134;

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diantaranya Pasal 396, 397,

399, 400, 520;

c. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

d. Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;

e. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;

f. Perundang-Undangan Di Bidang Pasar Modal, Perbankan, BUMN,

dan lain-lain.

4. Tujuan Hukum Kepailitan

Adapun tujuan dari hukum kepailitan itu sendiri adalah sebagai

berikut40:

38 Rahayu Hartini, 2012, Hukum Kepailitan Cet. Ketiga, Malang; UMM Pers, hlm. 8 39 Munir Fuady, 2010. Hukum Kepailitan Dalam Teori Dan Praktek, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, hlm. 10.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

41

a. Melindungi para Kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka

sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa semua harta

Debitor baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada

maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan bagi

perikatan Debitor yaitu yang memberikan fasilitas dan prosedur

untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap Debitor.

Menurut hukum indonesia asas jaminan tersebut di jamin dalam

Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan saling

rebut di antara Kreditornya terhadap harta Debitor berkenaan dengan

asas jaminan tersebut. tanpa adanya Undang-Undang kepailitan,

akan terjadi Kreditor yang lebih kuat akan mendapat bagian yang

lebih banyak dari Kreditor yang lemah.

b. Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitor di antara para

Kreditornya sesuai dengan asas pari passi membagi secara

proposional harta kekayaan Debitor kepada para Kreditor Konkuren

berdasarkan pertimbangan besarnya tagihan masing-masing Kreditor

tersebut. didalam hukum indonesia asas pari passu di jamin dalam

Pasal 1332 KUH Perdata.

c. Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang

dapat merugikan kepentingan para Kreditor. Dengan dinyatakan

seorang Debitor pailit, Debitor menjadi tidak lagi memiliki

kewenangan untuk mengurus dan memindah tangguhkan harta

40 Sutan Remy Sjadeini. 2009. ” Memahami Undang-Undang No.34 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan.Cet Ke III. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. hlm. 38.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

42

kekayaan yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta

kekayaan Debitor menjadi harta pailit.

5. Syarat-syarat Pernyataan Pailit

Untuk dapat dinyatakan pailit, seseorang debitur harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur

b. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih

c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau

lebih krediturnya.

Dalam UUK No. 37 Tahun 2004, ketentuan mengenai pihak yang

dapat mengajukan permohonan pailit ada 6 (enam) pihak selain ke lima

pihak yang telah disebut di atas masih ditambah satu pihak lagi yaitu

Menteri Keuangan.

Selengkapnya mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan

permohonan pailit ke pengadilan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (1)-(5)

UUKepailitan No. 37 Tahun 2004 berikut ini41:

Ayat (1) : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak

membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan

baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan

seorang atau lebih krediturnya.

41 Rahayu Hartini, Op Cit, hal 31

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

43

Ayat (2) : Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat juga

diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.

Ayat (3) : Dalam hal debitur adalah baank, permohonan pernyataan

pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

Ayat (4) : Dalam hal debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek,

Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan

dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat

diajukan pleh Badan Pengawas Pasar Modal.

Ayat (5) : Dalam hal debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan

Reasuransi, dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara

yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan

pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri

Keuangan.

Syarat-syarat agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah

sebagai berikut 42:

a. Adanya hutang;

b. Minimal satu dari hutang sudah jatuh tempo;

c. Minimal satu dari hutang dapat ditagih;

d. Adanya debitur;

e. Adanya kreditur;

f. Kreditur lebih dari satu;

42 Munir Fuady, Op.cit., hlm. 9

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

44

g. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut

dengan Pengadilan Niaga;

h. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh yang berwenang yaitu :

1) Pihak debitur;

2) Satu atau lebih kreditur;

3) Jaksa untuk kepentingan umum;

4) Bank Indonesia, apabila debiturnya bank;

5) Bapepam, apabila debiturnya perusahaan efek.

i. Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

6. Asuransi dalam Kaitannya dengan Asas Kepailitan

Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam

perundang-undangan dan Perusahaan Perasuransian. Istilah perasuransian

berasal dari kata “asuransi” yang berarti pertanggungan atau

perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan

kerugian. Apabila kata “asuransi” diberi imbuhan per-an, maka muncul

istilah hukum “perasuransian”, yang berarti segala usaha yang berkenaan

dengan asuransi43.

Usaha asuransi juga didefinisikan dalam Undang-Undang No. 2

Tahun 1992 Pasal 2 huruf (a) tentang usaha perasuransian yaitu usaha

jasa keuangan yang menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan

43 Abdulkadir Muhammad, 2006. Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,

hlm. 5.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

45

premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat

pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena

suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau matinya

seseorang44.

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma

adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen

dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus

dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang

deliberative. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat

umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam

bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun

dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan

bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap

individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersbut menimbulkan

kepastian hukum45.

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai

identitas, yaitu sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum (rechmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut

yuridis.

2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut

filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang

di depan pengadilan.

44 Abdulkadir Muhammad, 2011, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya

Bakti, hlm. 6. 45 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 58

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

46

3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau

utility.

1. Asas Kepastian Hukum

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah Sistem Norma. Norma

adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das

sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang

harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia

yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang

bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku

dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu

maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu

menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan

tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan

aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum46.

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga)

nilai identitas, yaitu sebagai berikut47:

1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), Asas ini

meninjau dari sudut yuridis.

2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau

dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak

untuk semua orang di depan pengadilan.

3. Asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau

doelmatigheid atau utility)

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian

hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih

46 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 158 47 Dwika, “Keadilan Dari Dimensi Sistem Hukum”, http://hukum.kompasiana.com.

(02/04/2011)

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

47

menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis

Mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat

dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex,

summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai,

kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian

kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya

akantetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan48.

2. Asas Keadilan

Sesungguhnya konsep keadilan sangat sulit mencari tolak

ukurnya karena adil bagi satu pihak belum tentu dirasakan oleh

pihak lainnya. Kata keadilan berasal dari kata adil, yang berarti dapat

diterima secara obyektif49.

Menurut L.J Van Apeldoorn mengatakan bahwa,”keadilan tidak

boleh dipandang sama arti dengan persamarataan, keadilan bukan

berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama50.”

Maksudnya keadilan menuntut tiap-tiap perkara harus ditimbang

tersendiri, artinya adil bagi seseorang belum tentu adil bagi yang

lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara

damai jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan dimana

terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang

48 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: memahami dan memahami hukum, Laksbang

Pressindo, Yogyakarta, 2010, hal 59 49 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 19. 50 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya

Paramita, 1993), hlm. 11.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

48

dilindungi, dan setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang

menjadi bagiannya.

Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan

persamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang

memperoleh bagian yang sama....Jika hukum semata-mata

menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan

memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak

dapat membentuk peraturan-peraturan umum....Tertib hukum yang

tak mempunyai peraturan umum, bertulis atau tidak bertulis adalah

tidak mungkin. Tak adanya peraturan umum, berarti ketidaktentuan

yang sungguh-sungguh, mengenai apa yang disebut adil atau tidak

adil. Ketidaktentuan itu akan menyebabkan perselisihan. Jadi hukum

harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan.

Keadilan melarang menyamaratakan; keadilan menuntut supaya tiap-

tiap perkara harus ditimbang tersendiri....makin banyak hukum

memenuhi syarat, peraturan yang tetap, yang sebanyak mungkin

meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan

hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti summum ius,

summa iniuria, keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang

tertinggi51.

Untuk mengukur sebuah keadilan, menurut Fence M. Wantu

mengatakan, “adil pada hakekatnya menempatkan sesuatu pada

51 Ibid

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

49

tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi

haknya, yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama

kedudukannya di muka hukum (equality before the law)52.” Oleh

karena itu penekanan yang lebih cenderung kepada asas keadilan

dapat berarti harus mempertimbangkan hukum yang hidup di

masyarakat, yang terdiri dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang

tidak tertulis. Hakim dalam alasan dan pertimbangan hukumnya

harus mampu mengakomodir segala ketentuan yang hidup dalam

masyarakat berupa kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak

tertulis, manakala memilih asas keadilan sebagai dasar memutus

perkara yang dihadapi.

3. Asas Kemanfaatan

Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa

untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi

Hans Kelsen sebagaimana dikutip Mohamad Aunurrohim

mengatakan bahwa, “...hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu

keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk

rasional. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan

hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau

kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya

52 Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam

Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, (Gorontalo) Vol. 12 Nomor 3,

September 2012, hlm. 484

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

50

dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam

masyarakat itu sendiri53.

Putusan hakim akan mencerminkan kemanfaatan, manakalah

hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan

hanya mengejar keadilan semata, akan tetapi juga mengarahkan pada

kemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan

kepentingan masyarakat pada umumnya. Artinya, hakim dalam

menerapkan hukum, hendaklah mempertimbangkan hasil akhirnya

nanti, apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau

kegunaan bagi semua pihak54.

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum

dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada

kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan

kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summon

ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum

yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya,

dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum

satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantive adalah

keadilan55.

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,

yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut

53 Sudikno Mertokususmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,

2005), hlm. 160. 54 Ibid 55 Dosminikus Rato, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, PT Presindo,

Yogyakarta, 2010, hlm. 59

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

51

harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional

seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan

kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut.

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya

dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada

kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku

dan akan menimbulkan rasa tidak adil.

Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan

terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang

terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak

hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu

kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian

hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak

mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang

oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penoramaan

yang baik dan jelas dalam suatu Undang-Undang dan akan jelas pula

penerapannya.

7. Akibat Hukum Putusan Kepailitan

Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit

kehilangan segala hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 24 (1)

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU terhitung sejak saat keputusan

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

52

pernyataan pailit diucapkan. Hal ini juga berlaku bagi suami atau isteri

dari debitur pailit yang kawin dalam persatuan harta kekayaan56.

Putusan kepailitan adalah bersifat serta merta dan konstitutif yaitu

meniadakan keadaan dan menciptakan keadaan hukum baru57. Dengan

pailitnya pihak debitur, banyak akibat yuridis yang diberlakukan

kepadanya oleh undang-undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku

kepada debitur dengan 2 (dua) model pemberlakuan, yaitu58:

a. Berlaku Demi Hukum

Beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation

of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah

pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah

berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, pengadilan niaga, hakim

pengawas, kurator, kreditur, dan pihak lain yang terlibat dalam

proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung

untuk terjadinya akibat yuridis tersebut.

b. Berlaku Secara Rule Of Season

Maksud dari pemberlakuan model ini adalah bahwa akibat hukum

tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan

oleh pihak-pihak tertentu setelah mempunyai alasan yang wajar

untuk diberlakukan

56 Gunawan Widjaja, 2009. Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, Cetakan pertama,

Penerbit Forum Sahabat, Jakarta, hlm 46. 57 Rahayu Hartini, 2007. Hukum Kepailitan Edisi Revisi, UMM Press, Malang, hlm. 103 58 Munir Fuady, Op.cit., hlm.61

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

53

Beberapa akibat hukum terhadap perbuatan hukum yang dilakukan

oleh debitur :

a. Akibat kepailitan terhadap debitur pailit dan hartanya

Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur, dimana

debitur tidaklah berada dibawah pengampuan. Debitur tidaklah

kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum

menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum tersebut

menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah

ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya,

debitur tetap dapat melakukan perbuatan hukum menerima harta

benda yang akan diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari

harta pailitnya59. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu untuk

diucapkan, debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai

dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit.

b. Akibat hukum terhadap seluruh perikatan yang dibuat oleh debitur

pailit

Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan

pailit, tidak lagi dapat membayar dari harta pailit, kecuali perikatan

tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 25 Undang-Undang

Kepailitan dan PKPU). Tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang

menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau kurator. Dalam hal

tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur

59 Sultan Remi Syahdeini, Op.Cit., hlm. 257.

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

54

pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu

penghukuman terhadap debitur pailit, penghukuman tersebut tidak

mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26 Undang-

Undang Kepailitan dan PKPU).

Selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh

pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap

debitur pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk

dicocokkan (Pasal 27 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).

8. Jenis-jenis Kreditur

Pada dasarnya, kedudukan para kreditur sama (paritas

creditorum) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas

hasil eksekusi budelnya pailit sesuai dengan besarnya tagihan

mereka masing-masing (pari passu pro rata parte). Namun asas

tersebut dapat dikecualikan yakni untuk golongan kreditur yang

memenang hak anggunan atas kebendaan dan golongan kreditur

yang haknya didahulukan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan

dan PKPU dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh

karenanya, kreditur dapat dikelompokkan sebagai berikut60:

1) Kreditur separatis

Merupakan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang

dapat bertindak sendiri yang tidak terkena akibat putusan

pernyataan pailit debitur, sehingga hak-hak eksekusi kreditur

60 Imran Nating, 2005. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 43-52.

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

55

separatis ini tetap dapatdijalankan seperti tidak ada kepailitan

debitur. Kreditur separatis dapat menjual sendiri barang-barang

yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan. Debitur

mengambil hasil penjualan ini sebesar piutangnya, sedangkan

jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator. Jika hasil penjualan

tersebut tidak mencukupi, maka kreditur separatis itu, untuk

tagihan yang belum dibayar dapat memasukkan kekurangannya

sebagai kurator bersaing.

2) Kreditur preferen/istimewa

Merupakan kreditur yang piutangnya mempunyai kedudukan

istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan

terlebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditur ini berada di

bawah pemegang hak tanggungan dan gadai. Menurut Pasal

1133 KUHPerdata, hak istimewa adalah suatu hak yang oleh

undang- undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga

tingkatnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.

3) Kreditur Konkuren

Kreditur konkuren/bersaing memiliki kedudukan yang sama dan

berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik

yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah

sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang

kepada para kreditur pemegang hak jaminan dan para kreditur

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

56

dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan

besarnya piutang masing-masing kreditur.

Akibat hukum terhadap eksekusi atas harta kekayaan debitur pailit

Menurut Pasal 31 UU Kepailitan dan PKPU, putusan pernyataan

pailit mempunyai akibat bahwa segala putusan hakim menyangkut

setiap bagian harta kekayaan debitur yang telah diadakan sebelum

diputuskannya pernyataan pailit harus segera dihentikan dan sejak

saat yang sama pula tidak satu putusan pun mengenai hukuman

paksaan badan dapat dilaksanakan. Segala putusan mengenai

penyitaan, baik yang sudah maupun yang belum dilaksanakan,

dibatalkan demi hukum, bila dianggap perlu, hakim pengawas dapat

menegaskan hal itu dengan memerintahkan pencoretan.

Jika dilihat, dalam pasal tersebut bahwa setelah ada pernyataan

pailit, semua putusan hakim mengenai suatu bagian kekayaan debitur

apakah penyitaan atau penjualan, menjadi terhenti. Semua sita

jaminan maupun sita eksekutorial menjadi gugur, bahkan sekalipun

pelaksanaan putusan hakim sudah dimulai, maka pelaksanaan itu

harus dihentikan.

Menurut Pasal 33 UU Kepailitan dan PKPU, apabila hari

pelelangan untuk memenuhi putusan hakim sudah ditetapkan,

kurator atas kuasa hakim pengawas dapat melanjutkan pelelangan

barang tersebut dan hasilnya masuk dalam harta pailit.

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

57

Akibat kepailitan teradap pasangan debitur pailit Debitur pailit

yang pada saat dinyatakan pailit sudah terikat dalam suatu

perkawinan dan adanya persatuan harta, kepailitan juga dapat

memberikan akibat hukum terhadap pasangannya (suami/istrinya).

Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit, istri atau suaminya

berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak

bergerak yang merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan

harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.

Jika benda milik istri atau suami telah dijual suami/istri dan

harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur

dalam harta pailit, maka istri atas suami berhak mengambil kembali

uang hasil penjualan tersebut.

Pada prinsipnya, sebagai konsekuensi dan PKPU, seperti diuraikan

di atas maka setiap dan seluruh perbuatan hukum, termasuk

perikatan antara debitur yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga

yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat

dibayar dari harta pailit, kecuali apabila perikatan-perikatan tersebut

mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu.

9. Pihak yang mengajukan pailit perusahaan asuransi

Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah

lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,

yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Asuransi ...eprints.umm.ac.id/52619/36/BAB II.pdf · Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan tentang diaturnya

58

pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana

dimaksud dalam Undang Undang ini.

Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 (Pasal 55) :

Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang

pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar

Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan

Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.

Peraturan OJK Nomor 28/ POJK.05/2015 Tentang

pembubaran,likuidasi, dan kepailitan perusahaan asuransi, perusahaan

asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi

syariah, Dalam Pasal 2 ayat 1 Perusahaan wajib menghentikan kegiatan

usaha serta menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan Pembubaran

dan membentuk Tim likuidasi sejak pencabutan izin usaha perusahaan.