Upload
phunglien
View
230
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Darurat (Emergency) Pada Bangunan Gedung
Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan atau di dalam tanah dan atau air yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus
(Permen PU No. 26/PRT/M/2008). Dengan pengertian bangunan gedung tersebut
maka sistem keamanan pada bangunan gedung sangat penting, karena bangunan
gedung tersebut sslalu digunakan oleh manusia, sehingga sistem keamanan
penting untuk keselamatan para penghuni atau pengguna bangunan gedung
tersebut. Salah satu bentuk sistem keamanan pada bangunan gedung adalah jalan
atau jalur penyelamatan (emergency exit). Ini diperlukan untuk menghadapi
keadaan – keadaan darurat yang dapat mengancam keselamatan gedung, manusia,
maupun perabot di dalamnya.
Keadaan darurat adalah setiap peristiwa atau kejadian pada bangunan dan
lingkungan sekelilingnya yang memaksa dilakukannya suatu tindakan segera.
Dengan perkataan lain, keadaan darurat adalah suatu situasi yang terjadi
mendadak dan tidak dikehendaki yang mengandung ancaman terhadap kehidupan,
aset, dan operasi perusahaan, serta lingkungan, dan oleh karena itu memerlukan
tindakan segera untuk mengatasinya.
Ada beberapa macam keadaan darurat yang terjadi pada suatu bangunan
gedung. Diantara beberapa keadaan darurat itu adalah kebakaran, gempa bumi dan
bencana alam lainnya, perbuatan jahat atau permusuhan terutama yang bersifat
ancaman atau serangan menggunakan bom atau peledak lainnya. Keadaan darurat
juga dapat berupa gangguan terhadap ketertiban umum seperti demonstrasi, huru –
hara dan pembrontakan. Yang tidak kalah pentingnya adalah keadaan darurat yang
berkaitan dengan tidak berfungsinya instalasi seperti lift macet atau listrik padam.
2.2. Klasifikasi Bangunan
Kelas bangunan adalah pembagian bangunan atau bagian bangunan sesuai
dengan jenis penggunaan bangunan. Klasifikasi bangunan ini dibedakan sebagai
berikut (Kepmenneg PU No.10/KPTS/2000):
a. Kelas 1 (Bangunan gedung hunian biasa)
1) Kelas 1a, bangunan gedung hunian tunggal yang berupa :
a) Satu rumah tinggal; atau
b) Satu atau lebih bangunan gedung gandeng, yang masing – masing
bangunan gedungnya dipisahkan dengan satu dinding tahan api,
termasuk rumah deret, rumah taman, unit town house, villa;
atau
2) Kelas 1b, rumah asrama atau kost, rumah tamu, hotel atau sejenisnya
dengan luas total lantai kurang dari 300 m² dan tidak ditinggali lebih dari
12 orang secara tetap, dan tidak terletak di atas atau di bawah bangunan
gedung hunian lain atau bangunan kelas lain selain tempat garasi pribadi.
b. Kelas 2 : Bangunan gedung hunian, terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang
masing – masing merupakan tempat tinggal terpisah.
c. Kelas 3 : Bangunan gedung hunian diluar bangunan gedung kelas 1 atau kelas
2, yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh
sejumlah orang yang tidak berhubungan, termasuk :
1) Rumah asrama, rumah tamu ( guest house ), losmen; atau
2) Bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau
3) Bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau
4) Panti untuk lanjut usia, cacat atau anak – anak; atau
5) Bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan gedung perawatan
kesehatan yang menampung karyawan – karyawannya.
d. Kelas 4 : Bangunan gedung hunian campuran
Tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan gedung kelas 5, 6, 7, 8,
atau 9 dan merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan gedung
tersebut.
e. Kelas 5 : Bangunan gedung kantor
Bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan – tujuan usaha profesional,
pengurusan administrasi, atau usaha komersial di luar bangunan gedung kelas
6, 7, 8 atau 9.
f. Kelas 6 : Bangunan gedung perdagangan
Bangunan gedung toko atau bangunan gedung lain yang dipergunakan untuk
tempat penjualan barang – barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan
langsung kepada masyarakat, termasuk :
1) Ruang makan, kafe, restaurant; atau
2) Ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel
atau motel; atau
3) Tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum; atau
4) Pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.
g. Kelas 7 : Bangunan gedung penyimpanan gudang
Bangunan gedung yang dipergunakan untuk penyimpanan, termasuk :
1) Tempat parkir umum; atau
2) Gudang, atau tempat pamer barang – barang produksi untuk dijual atau
cuci gudang.
h. Kelas 8 : Bangunan gedung Laboratorium/industri/pabrik
Bangunan gedung laboratorium dan bangunan gedung yang dipergunakan
untuk tempat pemrosesan suatu produk, perakitan, perubahan, perbaikan,
pengepakan, finishing, atau penjualan.
i. Kelas 9 : Bangunan gedung umum
Bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat
umum, yaitu :
1) Kelas 9a : bangunan gedung perawatan kesehatan, termasuk bagian –
bagian dari bangunan gedung tersebut yang berupa laboratorium.
2) Kelas 9b : bangunan gedung pertemuan, termasuk bengkel kerja,
laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall,
bangunan gedung peribadatan, bangunan gedung budaya atau sejenis,
tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan gedung yang
merupakan kelas lain.
j. Kelas 10 : Bangunan gedung atau struktur yang bukan hunian
1) Kelas 10a : bangunan gedung bukan hunian yang merupakan garasi
pribadi, carport, atau sejenisnya.
2) Kelas 10b : struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding
penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau
sejenisnya.
k. Bangunan gedung bangunan gedung yang tidak diklasifikasikan khusus.
Bangunan gedung atau bagian dari bangunan gedung yang tidak termasuk
dalam klasifikasi bangunan gedung 1 s.d 10 tersebut, dalam persyaratan teknis
ini, dimaksudkan dengan klasifikasi yang mendekati sesuai peruntukannya.
l. Bangunan gedung yang penggunaannya insidentil
Bagian bangunan gedung yang pengguanaannya insidentil dan sepanjang tidak
mengakibatkan gangguan pada bagian bangunan gedung lainnya, dianggap
memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan gedung utamanya.
m. Klasifikasi Jamak
Bangunan gedung dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari
bangunan gedung harus diklasifikasikan secara terpisah dari :
1) Bila bagian gedung yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10%
dari luas lantai dari suatu tingkat bangunan gedung, dan bukan
laboratorium, klasifikasinya disamakan dengan klasifikasi bangunan
gedung utamanya.
2) Kelas – kelas : 1a, 1b, 9a, 9b, 10a, dan 10b, adalah klasifikasi yang
terpisah;
3) Ruang – ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lift, ruang boiler
(ketel uap ) atau sejenisnya, diklasifikasi sama dengan bagian bangunan
gedung dimana ruang tersebut terletak.
Juwana (2005), membuat klasifikasi bangunan didasarkan pada
kemungkinan bahaya kebakaran, yaitu mudah sulitnya api menjalar pada suatu
bangunan gedung yang itu tergantung pada banyaknya bahan – bahan yang mudah
terbakar pada gedung tersebut, dan kemampuan struktur bangunan untuk dapat
bertahan terhadap api selama waktu yang telah ditentukan. Adapun klasifikasi
bangunan itu adalah:
a. Bahaya Kebakaran Ringan
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah dan apabila
terjadi kebakaran melepaskan panas rendah, dan kecepatan menjalarnya api
lambat.
b. Bahaya Kebakaran Rendah Kelompok I
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah, penimbunan
bahan yang mudah terbakar sedang dengan tinggi tidak lebih dari 2,50 meter
dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, penjalaran api sedang.
Contoh : bangunan yang fungsinya bukan bangunan industri, dan memiliki
ruangan terbesar tidak melebihi 125 m².
c. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok II
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar sedang, penimbunan
bahan yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 4,00 meter dan
apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga penjalaran api
sedang. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan komersial dan
industri yang berisi bahan – bahan yang dapat terbakar.
d. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok III
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar tinggi dan apabila terjadi
kebakaran, melepaskan panas yang tinggi, sehingga menjalarnya api cepat.
e. Bahaya Kebakaran Berat
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan kebakaran tinggi, apabila terjadi
kebakaran akan melepaskan panas yang tinggi dan penjalaran api yang cepat.
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan komersial dan bangunan
industri yang berisi bahan – bahan yang mudah terbakar, seperti karet busa, cat,
spritus dan bahan bakar lainnya.
2.3. Emergency Exit (Jalan Penyelamatan)
Emergency Exit (Jalan Penyelamatan) merupakan salah satu bentuk
penyelamatan untuk suatu gedung bangunan. Jika suatu bangunan atau gedung
mengalami keadaan darurat yang membahayakan para penghuni di dalamnya,
maka para penghuni harus segera dikeluarkan dari bangunan gedung tersebut.
Ada beberapa pengertian tentang emergency exit, atau jalan penyelamatan
atau exit., yaitu (Permenneg PU No. 26/PRT/M/2008):
1. Exit
Adalah bagian dari sebuah sarana jalan ke luar yang dipisahkan dari tempat
lainnya dalam bangunan gedung oleh konstruksi atau peralatan untuk
menyediakan lintasan jalan yang diproteksi menuju eksit pelepasan.
2. Jalan Akses
Adalah jalur pencapaian yang menerus dari perjalanan ke atau di dalam
bangunan gedung yang cocok digunakan untuk atau oleh orang cacat sesuai
dengan standar aksesibilitas.
3. Jalan Penyelamatan atau Evakuasi
Adalah jalur perjalanan yang menerus (termasuk jalan ke luar, koridor/selasar
umum dan sejenis) dari setiap bagian bangunan gedung termasuk di dalam unit
hunian tunggal ke tempat yang aman di bangunan gedung kelas 2, 3 atau
bagian kelas 4.
4. Evakuasi
Pemindahan orang atau penghuni dari satu tempat yang berbahaya ke tempat
yang lebih aman.
5. Jalur lintasan yang dilindungi terhadap kebakaran
Adalah koridor atau selasar atau ruang semacamnya yang terbuat dari
konstruksi tahan api, yang menyediakan jalan penyelamatan ke tangga, ram
yang dilindungi terhadap kebakaran atau ke jalan umum atau ruang terbuka.
2.4. Komponen Emergency Exit
Di dalam jalur evakuasi darurat ini sebaiknya dilengkapi dengan fasilitas-
fasilitas yang mendukung fungsinya. Fasilitas dan sarana yang diperlukan di
dalam suatu jalur darurat itu adalah sebagai berikut:
1. Sumber daya listrik darurat (Emergency Power)
Bangunan-bangunan yang memiliki nilai fungsional yang besar seperti pusat
pembelanjaan, hendaknya memiliki sumber daya listrik darurat. Hal ini
diperlukan untuk mengantisipasi apabila listrik yang bersumber dari PLN
sedang padam, maka listrik dalam gedung dapat tetap menyala dengan
adanya sumber listrik cadangan yang lain.
Sumber tenaga listrik darurat ini adalah batere atau generator. Sumber daya
listrik darurat harus dapat bekerja secara otomatis sehingga dapat segera
berfungsi ketika sumber listrik utama mendadak padam.
2. Pencahayaan darurat (Emergency Light)
Pencahayaan darurat menyala saat terjadi keadaan darurat. Atau jika
keadaan darurat lain seperti gempa yang mengakibatkan lampu dan listrik
utama padam. Pada saat ini, perlu adanya penyelamatan penghuni dari
dalam gedung. Proses evakuasi pastinya memerlukan penerangan atau
pencahayaan. Disinilah pentingnya pencahayaan darurat.
Pencahayaan darurat harus dipasang pada beberapa titik dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Di setiap tangga, ramp, dan jalan terusan yang dilindungi terhadap
kebakaran,
b. Di setiap lantai pada bangunan kelas 5,6,7,8,9, yang luas lantainya lebih
dari 300 m² yakni di :
1) Setiap jalan terusan, koridor, jalan penghubung di ruangan besar (hall)
atau semacamnya yang menjadi bagian dari jalur perjalanan ke exit;
dan
2) Setiap ruangan yang mempunyai luas lantai lebih dari 100 m² yang
tidak membuka ke arah koridor atau ruang yang mempunyai
pencahayaan darurat atau ke jalan umum atau ke ruang terbuka; dan
3) Setiap ruangan yang mempunyai luas lantai lebih dari 300 m².
c. Di setiap jalan terusan, koridor, jalan menuju ke hall atau mempunyai
panjang lebih dari 6 meter dari pintu masuk pada unit hunian tunggal di
bangunan kelas 2, 3, atau bagian kelas 4 ke pintu terdekat yang harus
membuka ke :
1) Tangga, ramp, atau jalan terusan yang dilindungi terhadap api atau
2) Tangga luar yang melayani atau pengganti tangga, ramp atau jalan
terusan yang dilindungi terhadap api.
3) Serambi atau balkon luar yang menuju ke tangga, ramp, atau jalan
terusan yang dilindungi terhadap api; atau
4) Jalan umum atau ruang terbuka ; dan
d. Disetiap tangga yang dilindungi terhadap tepi dan memenuhi persyaratan
sebagai jalur penyelamatan dan
e. Di unit hunian tunggal pada bangunan kelas 5,6 atau 9 bila :
1) Luas lantai unit tersebut lebih dari 300 m², dan
2) Exit dari unit tersebut tidak membuka ke jalan umum atau ruang
terbuka atau ke tangga luar, jalan terusan, balkon, ramp yang lansung
menuju ke jalan umum atau ruang terbuka.
f. Di setiap kamar atau ruang lantai bangunan 6 atau 9b yang dihubungkan
dengan jalan masuk untuk umum, bila :
1) Luas ruang lantai tersebut lebih dari 300 m²; dan
2) Setiap titik di lantai tersebut berjarak lebih dari 20 m dari pintu
terdekat yang membuka langsung ke tangga, ramp, jalan terusan jalan
umum atau ruang terbuka
3) Penyelamatan diri dari lantai tersebut dapat menggunakan kenaikan
vertikal dalam bangunan lebih dari 1,5 m, atau setiap kenaikan vertikal
bila lantai tersebut tidak memiliki pencahayaan yang cukup; atau
4) Lantai tersebut menyediakan suatu jalur dari lantai yang disyaratkan
memiliki pencahayaan darurat berdasarkan a, b, atau c diatas.
g. Di bangunan kelas 9a :
1) Di setiap jalan terusan, koridor, jalan menuju hall atau semacamnya
yang melayani daerah perawatan atau bangsal perawatan; dan
2) Di daerah perawatan pasien yang mempunyai luas lebih 120 m².
h. Disetiap pusat pengendalian kebakaran yang disyaratkan.
3. Pintu darurat (Fire Door)
Dalam emergency exit, peran pintu darurat sangat penting. Ada beberapa
ketentuan yang harus dipenuhi pada pintu darurat. Menurut Juwana (2005)
beberapa syarat yang harus dipenuhi pada pintu darurat adalah:
a. Pintu harus tahan terhadap api sekurang – kurangnya selama dua jam.
b. Pintu harus dilengkapi dengan minimal tiga engsel.
c. Pintu harus dilengkapi dengan alat penutup pintu otomatis (door closer).
d. Pintu dilengkapi dengan tuas atau tangkai pembuka pintu yang berada di
luar ruang tangga (kecuali tangga yang berada di lantai dasar, berada di
dalam ruang tangga dan sebaiknya menggunakan tuas pembuka yang
memudahkan, terutama dalam keadaan panik (panic bar).
e. Pintu dilengkapi tanda peringatan: “TANGGA DARURAT – TUTUP
KEMBALI“
f. Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api dengan luas maksimal 1m²
dan diletakkan di setengah bagian atas dari daun pintu.
g. Pintu harus dicat dengan warna merah.
Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah lokasi pintu keluar dan
jarak dari pintu keluar ke tempat yang aman di luar bangunan,
sebagaimana tertera pada tabel 2.1.
4. Tangga kebakaran (Fire Escape)
Pada saat terjadi keadaan darurat, untuk bangunan bertingkat, tangga darurat
sangat penting untuk penyelamatan jiwa manusia. Untuk itu ada beberapa
syarat aman untuk tangga darurat. Menurut Tanggoro (1999), syarat – syarat
tangga darurat adalah :
Tabel 2.1. Jarak Pintu Keluar
Cat. TP = tidak perlu
a. Tangga terbuat dari konstruksi beton atau baja yang mempunyai
ketahanan kebakaran selama 2 jam.
b. Tangga dipisahkan dari ruangan – ruangan lain dengan dinding beton
yang tebalnya minimum 15 cm atau tebal tembok 30 cm yang mempunyai
ketahanan kebakaran selama 2 jam.
c. Bahan – bahan finishing, seperti lantai dari bahan yang tidak mudah
terbakar dan tidak licin, susunan tangga terbuat dari besi.
d. Lebar minimum 120 cm (untuk lalu lintas 2 orang).
e. Supaya asap kebakaran tidak masuk ke dalam ruangan tangga, maka
diperlukan:
1) Exhaust fan berfungsi menghisap asap yang ada di depan tangga.
2) Pressure fan berfungsi menekan atau memberi tekanan di dalam ruang
tangga yang lebih besar daripada tekanan pada ruangan luar.
f. Di dalam dan di depan tangga diberi alat penerangan sebagai penunjuk
arah ke tangga dengan daya otomatis atau emergency.
5. Sistem kendali asap (smoke vestibule)
Asap yang menimbun pada gedung tentunya akan membuat sesak nafas,
bahkan bisa menyebabkan meninggal. Dengan demikian, perlu adanya
pengendalian asap, yang berguna untuk mengurangi asap pada saat keadaan
darurat terjadi. Salah satu alat untuk pengendalian asap yakni Vent and
Exhaust. Alat ini dipasang pada tempat – tempat khusus seperti tangga
kebakaran.
Menurut Tanggoro (2006), Vent and Exhaust memiliki beberapa peran atau
fungsi diantaranya adalah :
a. Dipasang di depan tangga kebakaran yang akan berfungsi mengisap asap
yang akan masuk pada tangga yang dibuka pintunya.
b. Dipasang di dalam tangga, secara otomatis berfungsi memasukkan udara
untuk memberikan tekanan pada udara di dalam ruangan tangga. Tekanan
tersebut akan mengatur tekanan udara di dalam ruangan lebih besar
daripada udara
6. Komunikasi darurat
Sistem komunikasi darurat, sebaiknya selalu ada pada bangunan gedung.
Hal ini sangat penting dan berperan pada saat terjadi keadaan darurat.
Sistem komunikasi darurat dimaksudkan untuk mempermudah dan
mempercepat proses penyelamatan. Adapun alat – alat yang biasanya
digunakan adalah, microphone, cassete deck, mix amplifer, speaker, speaker
selector switch, volume control, horn speaker (Tanggoro, 2006).
a. Speaker Sound Pressure
Perletakan speaker ini sangat mempengaruhi rencana langit – langit dari
ruangan umum atau ruangan kantor. Oleh karena itu, harus diperhatikan
letak speaker satu terhadap lainnya sehingga suara yang dihasilkan dapat
didengar dengan baik.
b. Horn Speaker
Horn speaker diletakkan di tempat parkir terbuka atau di tempat istirahat
sopir sehingga suara yang dihasilkan dapat didengar oleh sopir yang
berada di dekat mobilnya.
c. Microphone dan Amplifier
Alat – alat ini sebaiknya diletakkan pada suatu tempat yang aman,
strategis, dan gampang dijangkau serta tidak mengganggu ruangan.
Dalam perancangan interior sebaiknya alat – alat ini diletakkan di
reception desk atau diletakkan pada suatu ruangan khusus, di dekat
reception desk yang ditangani oleh operator sebagai pengelola alat – alat
tersebut.
7. Petunjuk arah jalan keluar
Petunjuk arah jalan keluar (EXIT) sangat penting diadakan. Petunjuk ini
dimaksudkan untuk mempermudah penghuni untuk menyelamatkan diri
dengan cepat. Menurut Juwana (2005),“EXIT“ harus dapat dilihat dengan
jelas, diberi lampu yang menyala pada kondisi darurat, dengan kuat cahaya
tidak kurang dari 50 lux dan luas tanda minimum 155 cm² serta ketinggian
huruf tidak kurang dari 15 cm (tebal huruf minimum 2 cm).
8. APAR
Alat pemadam kebakaran ringan (APAR) dapat dimiliki oleh siapa saja dan
mudah untuk didapat, dan mudah penggunaannya. Alat ini juga harus selalu
diperiksa oleh dinas pemadam kebakaran untuk memastikan bahwa tabung
tersebut masih dapat berfungsi dengan baik. APAR harus diletakkan
ditempat yang mudah diketahui dan aman, sehingga akan dapat dijangkau
pada keadaan darurat.
Persyaratan yang harus terpenuhi oleh APAR tabung, adalah sebagai yakni :
a. Tabung harus dalam keadaan baik.
b. Etikel atau label mudah dibaca dengan jelas dan dapat dimengerti
c. Sebelum digunakan, segel harus dalam keadaan baik ( tidak rusak ).
d. Selang harus tahan terhadap tekanan tinggi.
e. Bahan baku pemadam selalu dengan keadaan baik.
f. Isi tabung gas sesuai dengan tekanan yang diisyartakan.
g. Penggunaannya belum kadaluwarsa.
h. Warna tabung harus mudah dilihat (merah, hijau, biru, atau kuning)
APAR memiliki beberapa golongan dan jenis bahan pemadam yang berbeda
– beda. Adapun jenis bahan – bahan yang digunakan untuk digunakan
sebagai pemadam kebakaran adalah: serbuk kimia kering, busa,
karbondioksida (CO2), dan halon. Klasifikasi APAR ditunjukkan pada Tabel
2.2.
9. Sprinkler
Menurut Kepmen Pekerjaan Umum nomor 10/KPTS/2000, bahwa sprinkler
adalah alat pemancar air untuk pemadaman kebakaran yang mempunyai
tudung deflektor pada ujung mulut pancarnya, sehingga air dapat memancar
ke semua arah secara merata.
Dalam pertanian ada juga jenis sprinkler yang digunakan untuk penyiram
tanaman. Sedangkan menurut Poerbo (2007) bahwa sprinkler adalah suatu
alat semacam nozzle (penyemprot) yang dapat memancarkan air secara
pengabutan (fog) dan bekerja otomatis. Bahan pemadamnya adalah air,
maka instalasi sprinkler khusus digunakan untuk pemadam kebakaran kelas
A (kayu, kertas, plastik, dan lain – lain).
Tabel 2.2. Klasifikasi APAR
Golongan Zat atau bahan
pemadam
Memadamkan Tanda
pengenal
A Air bertekanan, zat-zat
kimia larut, asam soda,
busa, monoamonium
fosfat, tekstil, dll
Bahan padat
bukan logam,
kayu, kertas,
plastic, karpet
Huruf ‘A’ pada
dasar berbentuk
segi tiga warna
hijau
B
Zat asam orang (CO2),
zat kimia kering
dengan natrium dan
Bahan cair,
bensin, minyak
tanah, elpiji,
Huruf ‘B’ pada
dasar benbentuk
segi empat
Tabel 2.2 (Lanjutan)
Golongan Zat atau bahan
pemadam
Memadamkan Tanda
Pengenal
kalium bikarbonat,
bromiumtifluoromethan
karbon tetra
kloridabromethan
solar, dll. warna merah
C Zat yang tidak
menghantar listrik, zat
kimia kering dengan
natrium dan kalium
bikarbonat,
bromiumtifluoromethan
karbon tetra
kloridabromethan
Peralatan listrik
bertegangan,
transformator,
instalasi listrik,
dll.
Huruf ‘C’ pada
dasar berbentuk
lingkaran warna
biru
D Bubuk kering, senyawa
mengandung garam
dapur, grafit, fosfor
Bahan logam,
magnesium,
lithium, senyawa
natrium-kalium,
dll
Sumber : Juwana,2005.
Perbedaan fungsi bangunan menyebabkan jenis sprinkler yang digunakan
juga berbeda. Misalnya untuk bangunan seni atau museum yang di
dalamnya tentunya terdapat banyak sekali barang – barang berharga dan
antik, sehingga jika terjadi kebakaran, barang – barang harus tetap
terlindung, jika jenis sprinkler yang digunakan adalah Wet Pipe Sprinkler
System, maka semua barang yang antik – antik dan bernilai langka tersebut
dapat terkena semprotan air dan mungkin bisa menyebabkan kerusakan.
Berdasarkan jenis dan fungsi bangunannya, maka jenis sprinkler dibedakan
menjadi tiga yakni :
a. Wet Pipe Sprinkler System
Pipa utama dan pipa distribusi sampai outlet selalu berisi penuh air
dengan tekanan tertentu, yang siap sewaktu-waktu menyembur bila
terkena reaksi panas. Keuntungan penggunaan sprinkler ini adalah cepat
bereaksi tetapi kerugiannya adalah sering terjadi kebocoran pada pipa
yang menyebabkan kelembaban pada dinding yang akhirnya dinding
tersebut cepat rusak.
b. Dry Pipe Sprinkler System
Pipa-pipa horizontal dalam keadaan berisi udara, apabila nozzle
menerima rangsangan kenaikan suhu, maka switch/klep pada pipa utama
akan membuka dan pipa horizontal akan penuh air dan menyembur
melalui nozzle. Sistem ini cocok untuk daerah yang bermusim dingin.
Keuntungan system ini adalah kemungkinan bocor sangat kecil, tetapi
kelemahannya adalah reaksi penyemburan air mungkin kurang cepat.
c. Special Sprinkler System
Sistem ini terdapat 2 macam, yakni :
1). Sprinkler yang menggunakan kabut air (FOG).
a) Kabut air mengurangi persebaran api.
b) Kabut air mengurangi O2 yang bersenyawa dengan api.
c) Kabut air mengurangi kerusakan interior dibanding dengan
semburan air. Sistem ini cocok untuk ruangan yang berfungsi
untuk menyimpan dokumen – dokumen berupa kertas, plastik dan
lain – lain.
2) Sprinkler yang menggunakan Dry Chemical
Sprinkler ini sangat cocok untuk ruangan sensitif seperti : ruang mesin
dan ruang alat elektronika.
Selain berdasarkan dari jenis bangunan, sprinkler dapat lagi dibedakan
berdasarkan bentuknya. Sprinkler dibedakan menjadi 2, yakni :
sprinkler tabung dan sprinkler segel. Tabel 2.3 dan 2.4 memnunjukkan
jenis-jenis sprinkler tabung dan sprinkler segel.
Tabel 2.3. Warna Cairan Tabung Gelas Sprinkler
No. Warna cairan Suhu pecah tabung
1. Jingga 57 oC
2. Merah 68 oC
3. Kuning 79 oC
4. Hijau 93 oC
5. Biru 141 oC
6. Ungu 182 oC
7. HItam 204 oC / 260 oC
Sumber : Juwana, 2005.
Table 2.4. Warna Segel Sprinkler
No. Warna segel Suhu leleh segel
1 Tak berwarna 68 oC / 74 oC
2. Putih 93 oC
3. Biru 141 oC
4. Kuning 182 oC
5. Merah 227 oc
Sumber : Juwana, 2005
Penggunaan sprinkler harus memperhatikan jenis dan peruntukan
bangunannya. Tabel 2.5 berikut ini menunjukkan klasifikasi bangunan
dan jenis sprinkler yang dibutuhkan.
Tabel 2.5. Klasifikasi Bangunan
Sumber : Juwana, 2005.
10. Hidran
Menurut Tanggoro (2006), hidran kebakaran adalah suatu alat untuk
memadamkan kebakaran yang sudah terjadi dengan menggunakan alat
baku air. Sedang menurut Kepmenneg PU No.10/KPTS/2000, hidran
adalah alat yang dilengkapi dengan slang dan mulut pancar (nozzel) untuk
mengalirkan air bertekanan, yang digunakan bagi keperluan pemadaman
kebakaran.
Berdasarkan lokasi penempatan, maka hidran dibedakan atas (Juwana,
2005):
a. Hidran Bangunan (Box Hydrant – hidran kotak)
No. Klasifikasi bangunan
Tinggi/jumlah lantai Penggunaan sprinkler`
1. A. tidak bertingkat Ketinggian hingga 8 meter atau satu lantai
Tidak diharuskan
2. B. tingkat rendah Ketinggian hingga 8 meter atau dua lantai
Tidak diharuskan
3. C.tingkat rendah Ketinggian hingga 14 meter atau 4 lantai
Tidak diharuskan
4. D. tingkat tinggi Ketinggian hingga 40 meter atau 8 lantai
Diharuskan, mulai dari lantai
1
5. E. Tingkat tinggi Ketinggian lebih dari 40 meter atau di atas 8 lantai
Diharuskan, mulai dari lantai
1
hidran gedung ditempatkan pada jarak 35 meter, ditambah 5 meter jarak
semprotan air. Kemudian pada atap gedung yang tingginya lebih dari 8
lantai, maka diperlukan hidran untuk mencegah menjalarnya api ke
bangunan yang bersebelahan. Hal lain yang perlu diperhatikan pada
pemasangan hidran adalah:
1) Hidran bangunan yang menggunakan pipa tegak (riser) ukuran 6
inchi (15 cm) harus dilengkapi dengan kopling dari barisan atau unit
pemadam kebakaran dan ditempatkan pada tempat yang mudah
dijangkau oleh petugas pemadam kebakaran.
2) Kotak hidran bangunan harus mudah dibuka, dapat terlihat,
terjangkau dan tidak terhalang oleh apapun.
b. Hidran halaman (Pole Hydrant)
Hidran halaman diletakkan di luar bangunan pada lokasi yang aman
dari api. Penyaluran air ke dalam bangunan dilakukan melalui katup
Siamese. Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemasangan hidran
halaman adalah:
1) Hidran halaman harus disambungkan dengan pipa induk yang
berukuran diameter minimum 6 inchi (15 cm) dan mampu
mengalirkan air 1000 liter/menit. Maksimal jarak antar hidran
adalah 200 meter dan penempatan hidran harus mudah dicapai oleh
mobil pemadam kebakaran.
2). Hidran halaman yang mempunyai dua kopling outlet harus
menggunakan katup pembuka dengan diameter 4 inchi (10 cm) dan
yang mempunyai tiga kopling outlet harus menggunakan katup
pembuka dengan diameter 6 inchi (15 cm).
11. Detektor
Alat ini berfungsi untuk mendeteksi adanya sinyal – sinyal bahaya.
Menurut Poerbo (2005) menerangkan, bahwa jenis detektor ada 3 macam,
yaitu:
a. Alat deteksi asap (smoke detector)
Alat ini akan memberikan alarm bila muncul asap di suatu ruangan.
b. Alat deteksi api (Flame Detector)
Alat ini memberikan sinyal jika mendeteksi nyala api yang tidak
terkendali.
c. Alat deteksi panas (Heat Detector)
Alat ini akan mengaktifkan alarm kebakaran apabila ada panas yang
cukup mengaktifkan sensor.
Adanya beberapa persyaratan dari masing – masing jenis detektor di atas.
Persyaratan pemasangan detector ini adalah (Juwana, 2005):
a. Detektor panas (Heat Detector)
1) Dipasang pada posisi 15 mm hingga 100 mm di bawah permukaan
langit – langit.
2) Pada satu kelompok sistem ini tidak boleh dipasang lebih dari 40
buah.
3) Untuk setiap luas lantai 46 m² dengan tinggi langit – langit 3 meter.
4) Jarak antar detektor tidak lebih dari 7 meter untuk ruang aktif, dan
tidak lebih dari 10 meter untuk ruang sirkulasi.
5) Jarak detektor dengan dinding minimum 30 cm.
6) Pada ketinggian berbeda, dipasang satu buah detektor untuk setiap
92 m² luas lantai.
7) Di puncak lekukan atap ruangan tersembunyi, dipasang sebuah
detektor untuk setiap jarak memanjang 9 meter.
b. Detektor Asap (Smoke Detector)
1) Untuk setiap luas lantai 92 m².
2) Jarak antar detektor maksimum 12 meter di dalam ruang aktif dan
18 meter untuk ruang sirkulasi.
3) Jarak detektor dengan dinding minimum 6 meter untuk ruang aktif
dan 12 meter untuk ruang sirkulasi.
4) Setiap kelompok sistem dibatasi maksimum 20 buah detektor untuk
melindungi ruangan seluas 2000 m².
c. Detektor Api (Flame Detector)
1) Setiap kelompok dibatasi maksimum 20 buah detektor.
2) Detektor yang dipasang di ruang luar harus terbuat dari bahan yang
tahan karat, tahan pengaruh angin, dan getaran.
3) Untuk daerah yang sering mengalami sambaran petir, harus
dilindungi sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan tanda
bahaya palsu.
12. Sistem Alarm
Pada saat terjadi bahaya seperti kebakaran, maka alarm ini akan berdering
keras. Penghuni gedung harus sadar bahwa bunyi alarm ini menandakan
ada bahaya yang mengancam. Penghuni harus cepat melakukan proteksi
diri.
13. FSM (Fire System Management)
Keamanan pada bangunan gedung, selain didukung oleh peralatan atau
komponen – komponennya, perlu juga adanya sistem manajemen yang
mengatur secara aktif jalannya semua peralatan dan pengelolaan keamanan
bangunan gedung tersebut. Manajemen ini sering disebut sebagai Fire
System Management (FSM).
Dalam manajemen ini terdapat suatu organisasi khusus, yakni manajemen
untuk menangani masalah keadaan darurat. Dalam organisasi tersebut
terdapat diskripsi pekerjaan atau tugas dan wewenang petugas untuk
keamanan gedung. Manajemen keadaan darurat suatu bangunan gedung
bertugas melakukan pencegahan kebakaran pada bangunan gedung,
melakukan inspeksi uji coba dan pemeliharaan sistem proteksi kebakaran,
pelatihan evakuasi, melakukan pemeliharaan, pemeriksaan, pengujian,
laporan keadaan darurat lain (Permenneg PU No. 26/PRT/M/2008).