30
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Darurat (Emergency) Pada Bangunan Gedung Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan atau air yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus (Permen PU No. 26/PRT/M/2008). Dengan pengertian bangunan gedung tersebut maka sistem keamanan pada bangunan gedung sangat penting, karena bangunan gedung tersebut sslalu digunakan oleh manusia, sehingga sistem keamanan penting untuk keselamatan para penghuni atau pengguna bangunan gedung tersebut. Salah satu bentuk sistem keamanan pada bangunan gedung adalah jalan atau jalur penyelamatan (emergency exit). Ini diperlukan untuk menghadapi keadaan – keadaan darurat yang dapat mengancam keselamatan gedung, manusia, maupun perabot di dalamnya. Keadaan darurat adalah setiap peristiwa atau kejadian pada bangunan dan lingkungan sekelilingnya yang memaksa dilakukannya suatu tindakan segera. Dengan perkataan lain, keadaan darurat adalah suatu situasi yang terjadi mendadak dan tidak dikehendaki yang mengandung ancaman terhadap kehidupan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Emergency) Pada Bangunan Gedunge-journal.uajy.ac.id/68/3/2TS12990.pdf · maka sistem keamanan pada bangunan gedung sangat penting, karena bangunan ... Proses

Embed Size (px)

Citation preview

  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Darurat (Emergency) Pada Bangunan Gedung

Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang

menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas

dan atau di dalam tanah dan atau air yang berfungsi sebagai tempat manusia

melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan

keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus

(Permen PU No. 26/PRT/M/2008). Dengan pengertian bangunan gedung tersebut

maka sistem keamanan pada bangunan gedung sangat penting, karena bangunan

gedung tersebut sslalu digunakan oleh manusia, sehingga sistem keamanan

penting untuk keselamatan para penghuni atau pengguna bangunan gedung

tersebut. Salah satu bentuk sistem keamanan pada bangunan gedung adalah jalan

atau jalur penyelamatan (emergency exit). Ini diperlukan untuk menghadapi

keadaan – keadaan darurat yang dapat mengancam keselamatan gedung, manusia,

maupun perabot di dalamnya.

Keadaan darurat adalah setiap peristiwa atau kejadian pada bangunan dan

lingkungan sekelilingnya yang memaksa dilakukannya suatu tindakan segera.

Dengan perkataan lain, keadaan darurat adalah suatu situasi yang terjadi

mendadak dan tidak dikehendaki yang mengandung ancaman terhadap kehidupan,

  

aset, dan operasi perusahaan, serta lingkungan, dan oleh karena itu memerlukan

tindakan segera untuk mengatasinya.

Ada beberapa macam keadaan darurat yang terjadi pada suatu bangunan

gedung. Diantara beberapa keadaan darurat itu adalah kebakaran, gempa bumi dan

bencana alam lainnya, perbuatan jahat atau permusuhan terutama yang bersifat

ancaman atau serangan menggunakan bom atau peledak lainnya. Keadaan darurat

juga dapat berupa gangguan terhadap ketertiban umum seperti demonstrasi, huru –

hara dan pembrontakan. Yang tidak kalah pentingnya adalah keadaan darurat yang

berkaitan dengan tidak berfungsinya instalasi seperti lift macet atau listrik padam.

2.2. Klasifikasi Bangunan

Kelas bangunan adalah pembagian bangunan atau bagian bangunan sesuai

dengan jenis penggunaan bangunan. Klasifikasi bangunan ini dibedakan sebagai

berikut (Kepmenneg PU No.10/KPTS/2000):

a. Kelas 1 (Bangunan gedung hunian biasa)

1) Kelas 1a, bangunan gedung hunian tunggal yang berupa :

a) Satu rumah tinggal; atau

b) Satu atau lebih bangunan gedung gandeng, yang masing – masing

bangunan gedungnya dipisahkan dengan satu dinding tahan api,

termasuk rumah deret, rumah taman, unit town house, villa;

  

atau

2) Kelas 1b, rumah asrama atau kost, rumah tamu, hotel atau sejenisnya

dengan luas total lantai kurang dari 300 m² dan tidak ditinggali lebih dari

12 orang secara tetap, dan tidak terletak di atas atau di bawah bangunan

gedung hunian lain atau bangunan kelas lain selain tempat garasi pribadi.

b. Kelas 2 : Bangunan gedung hunian, terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang

masing – masing merupakan tempat tinggal terpisah.

c. Kelas 3 : Bangunan gedung hunian diluar bangunan gedung kelas 1 atau kelas

2, yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh

sejumlah orang yang tidak berhubungan, termasuk :

1) Rumah asrama, rumah tamu ( guest house ), losmen; atau

2) Bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau

3) Bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau

4) Panti untuk lanjut usia, cacat atau anak – anak; atau

5) Bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan gedung perawatan

kesehatan yang menampung karyawan – karyawannya.

d. Kelas 4 : Bangunan gedung hunian campuran

Tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan gedung kelas 5, 6, 7, 8,

atau 9 dan merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan gedung

tersebut.

  

e. Kelas 5 : Bangunan gedung kantor

Bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan – tujuan usaha profesional,

pengurusan administrasi, atau usaha komersial di luar bangunan gedung kelas

6, 7, 8 atau 9.

f. Kelas 6 : Bangunan gedung perdagangan

Bangunan gedung toko atau bangunan gedung lain yang dipergunakan untuk

tempat penjualan barang – barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan

langsung kepada masyarakat, termasuk :

1) Ruang makan, kafe, restaurant; atau

2) Ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel

atau motel; atau

3) Tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum; atau

4) Pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.

g. Kelas 7 : Bangunan gedung penyimpanan gudang

Bangunan gedung yang dipergunakan untuk penyimpanan, termasuk :

1) Tempat parkir umum; atau

2) Gudang, atau tempat pamer barang – barang produksi untuk dijual atau

cuci gudang.

h. Kelas 8 : Bangunan gedung Laboratorium/industri/pabrik

  

Bangunan gedung laboratorium dan bangunan gedung yang dipergunakan

untuk tempat pemrosesan suatu produk, perakitan, perubahan, perbaikan,

pengepakan, finishing, atau penjualan.

i. Kelas 9 : Bangunan gedung umum

Bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat

umum, yaitu :

1) Kelas 9a : bangunan gedung perawatan kesehatan, termasuk bagian –

bagian dari bangunan gedung tersebut yang berupa laboratorium.

2) Kelas 9b : bangunan gedung pertemuan, termasuk bengkel kerja,

laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall,

bangunan gedung peribadatan, bangunan gedung budaya atau sejenis,

tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan gedung yang

merupakan kelas lain.

j. Kelas 10 : Bangunan gedung atau struktur yang bukan hunian

1) Kelas 10a : bangunan gedung bukan hunian yang merupakan garasi

pribadi, carport, atau sejenisnya.

2) Kelas 10b : struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding

penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau

sejenisnya.

k. Bangunan gedung bangunan gedung yang tidak diklasifikasikan khusus.

  

Bangunan gedung atau bagian dari bangunan gedung yang tidak termasuk

dalam klasifikasi bangunan gedung 1 s.d 10 tersebut, dalam persyaratan teknis

ini, dimaksudkan dengan klasifikasi yang mendekati sesuai peruntukannya.

l. Bangunan gedung yang penggunaannya insidentil

Bagian bangunan gedung yang pengguanaannya insidentil dan sepanjang tidak

mengakibatkan gangguan pada bagian bangunan gedung lainnya, dianggap

memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan gedung utamanya.

m. Klasifikasi Jamak

Bangunan gedung dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari

bangunan gedung harus diklasifikasikan secara terpisah dari :

1) Bila bagian gedung yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10%

dari luas lantai dari suatu tingkat bangunan gedung, dan bukan

laboratorium, klasifikasinya disamakan dengan klasifikasi bangunan

gedung utamanya.

2) Kelas – kelas : 1a, 1b, 9a, 9b, 10a, dan 10b, adalah klasifikasi yang

terpisah;

3) Ruang – ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lift, ruang boiler

(ketel uap ) atau sejenisnya, diklasifikasi sama dengan bagian bangunan

gedung dimana ruang tersebut terletak.

  

Juwana (2005), membuat klasifikasi bangunan didasarkan pada

kemungkinan bahaya kebakaran, yaitu mudah sulitnya api menjalar pada suatu

bangunan gedung yang itu tergantung pada banyaknya bahan – bahan yang mudah

terbakar pada gedung tersebut, dan kemampuan struktur bangunan untuk dapat

bertahan terhadap api selama waktu yang telah ditentukan. Adapun klasifikasi

bangunan itu adalah:

a. Bahaya Kebakaran Ringan

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah dan apabila

terjadi kebakaran melepaskan panas rendah, dan kecepatan menjalarnya api

lambat.

b. Bahaya Kebakaran Rendah Kelompok I

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah, penimbunan

bahan yang mudah terbakar sedang dengan tinggi tidak lebih dari 2,50 meter

dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, penjalaran api sedang.

Contoh : bangunan yang fungsinya bukan bangunan industri, dan memiliki

ruangan terbesar tidak melebihi 125 m².

c. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok II

  

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar sedang, penimbunan

bahan yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 4,00 meter dan

apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga penjalaran api

sedang. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan komersial dan

industri yang berisi bahan – bahan yang dapat terbakar.

d. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok III

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar tinggi dan apabila terjadi

kebakaran, melepaskan panas yang tinggi, sehingga menjalarnya api cepat.

e. Bahaya Kebakaran Berat

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan kebakaran tinggi, apabila terjadi

kebakaran akan melepaskan panas yang tinggi dan penjalaran api yang cepat.

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan komersial dan bangunan

industri yang berisi bahan – bahan yang mudah terbakar, seperti karet busa, cat,

spritus dan bahan bakar lainnya.

2.3. Emergency Exit (Jalan Penyelamatan)

Emergency Exit (Jalan Penyelamatan) merupakan salah satu bentuk

penyelamatan untuk suatu gedung bangunan. Jika suatu bangunan atau gedung

mengalami keadaan darurat yang membahayakan para penghuni di dalamnya,

maka para penghuni harus segera dikeluarkan dari bangunan gedung tersebut.

  

Ada beberapa pengertian tentang emergency exit, atau jalan penyelamatan

atau exit., yaitu (Permenneg PU No. 26/PRT/M/2008):

1. Exit

Adalah bagian dari sebuah sarana jalan ke luar yang dipisahkan dari tempat

lainnya dalam bangunan gedung oleh konstruksi atau peralatan untuk

menyediakan lintasan jalan yang diproteksi menuju eksit pelepasan.

2. Jalan Akses

Adalah jalur pencapaian yang menerus dari perjalanan ke atau di dalam

bangunan gedung yang cocok digunakan untuk atau oleh orang cacat sesuai

dengan standar aksesibilitas.

3. Jalan Penyelamatan atau Evakuasi

Adalah jalur perjalanan yang menerus (termasuk jalan ke luar, koridor/selasar

umum dan sejenis) dari setiap bagian bangunan gedung termasuk di dalam unit

hunian tunggal ke tempat yang aman di bangunan gedung kelas 2, 3 atau

bagian kelas 4.

4. Evakuasi

Pemindahan orang atau penghuni dari satu tempat yang berbahaya ke tempat

yang lebih aman.

5. Jalur lintasan yang dilindungi terhadap kebakaran

  

Adalah koridor atau selasar atau ruang semacamnya yang terbuat dari

konstruksi tahan api, yang menyediakan jalan penyelamatan ke tangga, ram

yang dilindungi terhadap kebakaran atau ke jalan umum atau ruang terbuka.

2.4. Komponen Emergency Exit

Di dalam jalur evakuasi darurat ini sebaiknya dilengkapi dengan fasilitas-

fasilitas yang mendukung fungsinya. Fasilitas dan sarana yang diperlukan di

dalam suatu jalur darurat itu adalah sebagai berikut:

1. Sumber daya listrik darurat (Emergency Power)

Bangunan-bangunan yang memiliki nilai fungsional yang besar seperti pusat

pembelanjaan, hendaknya memiliki sumber daya listrik darurat. Hal ini

diperlukan untuk mengantisipasi apabila listrik yang bersumber dari PLN

sedang padam, maka listrik dalam gedung dapat tetap menyala dengan

adanya sumber listrik cadangan yang lain.

Sumber tenaga listrik darurat ini adalah batere atau generator. Sumber daya

listrik darurat harus dapat bekerja secara otomatis sehingga dapat segera

berfungsi ketika sumber listrik utama mendadak padam.

2. Pencahayaan darurat (Emergency Light)

Pencahayaan darurat menyala saat terjadi keadaan darurat. Atau jika

keadaan darurat lain seperti gempa yang mengakibatkan lampu dan listrik

utama padam. Pada saat ini, perlu adanya penyelamatan penghuni dari

  

dalam gedung. Proses evakuasi pastinya memerlukan penerangan atau

pencahayaan. Disinilah pentingnya pencahayaan darurat.

Pencahayaan darurat harus dipasang pada beberapa titik dengan ketentuan

sebagai berikut:

a. Di setiap tangga, ramp, dan jalan terusan yang dilindungi terhadap

kebakaran,

b. Di setiap lantai pada bangunan kelas 5,6,7,8,9, yang luas lantainya lebih

dari 300 m² yakni di :

1) Setiap jalan terusan, koridor, jalan penghubung di ruangan besar (hall)

atau semacamnya yang menjadi bagian dari jalur perjalanan ke exit;

dan

2) Setiap ruangan yang mempunyai luas lantai lebih dari 100 m² yang

tidak membuka ke arah koridor atau ruang yang mempunyai

pencahayaan darurat atau ke jalan umum atau ke ruang terbuka; dan

3) Setiap ruangan yang mempunyai luas lantai lebih dari 300 m².

c. Di setiap jalan terusan, koridor, jalan menuju ke hall atau mempunyai

panjang lebih dari 6 meter dari pintu masuk pada unit hunian tunggal di

bangunan kelas 2, 3, atau bagian kelas 4 ke pintu terdekat yang harus

membuka ke :

1) Tangga, ramp, atau jalan terusan yang dilindungi terhadap api atau

  

2) Tangga luar yang melayani atau pengganti tangga, ramp atau jalan

terusan yang dilindungi terhadap api.

3) Serambi atau balkon luar yang menuju ke tangga, ramp, atau jalan

terusan yang dilindungi terhadap api; atau

4) Jalan umum atau ruang terbuka ; dan

d. Disetiap tangga yang dilindungi terhadap tepi dan memenuhi persyaratan

sebagai jalur penyelamatan dan

e. Di unit hunian tunggal pada bangunan kelas 5,6 atau 9 bila :

1) Luas lantai unit tersebut lebih dari 300 m², dan

2) Exit dari unit tersebut tidak membuka ke jalan umum atau ruang

terbuka atau ke tangga luar, jalan terusan, balkon, ramp yang lansung

menuju ke jalan umum atau ruang terbuka.

f. Di setiap kamar atau ruang lantai bangunan 6 atau 9b yang dihubungkan

dengan jalan masuk untuk umum, bila :

1) Luas ruang lantai tersebut lebih dari 300 m²; dan

2) Setiap titik di lantai tersebut berjarak lebih dari 20 m dari pintu

terdekat yang membuka langsung ke tangga, ramp, jalan terusan jalan

umum atau ruang terbuka

  

3) Penyelamatan diri dari lantai tersebut dapat menggunakan kenaikan

vertikal dalam bangunan lebih dari 1,5 m, atau setiap kenaikan vertikal

bila lantai tersebut tidak memiliki pencahayaan yang cukup; atau

4) Lantai tersebut menyediakan suatu jalur dari lantai yang disyaratkan

memiliki pencahayaan darurat berdasarkan a, b, atau c diatas.

g. Di bangunan kelas 9a :

1) Di setiap jalan terusan, koridor, jalan menuju hall atau semacamnya

yang melayani daerah perawatan atau bangsal perawatan; dan

2) Di daerah perawatan pasien yang mempunyai luas lebih 120 m².

h. Disetiap pusat pengendalian kebakaran yang disyaratkan.

3. Pintu darurat (Fire Door)

Dalam emergency exit, peran pintu darurat sangat penting. Ada beberapa

ketentuan yang harus dipenuhi pada pintu darurat. Menurut Juwana (2005)

beberapa syarat yang harus dipenuhi pada pintu darurat adalah:

a. Pintu harus tahan terhadap api sekurang – kurangnya selama dua jam.

b. Pintu harus dilengkapi dengan minimal tiga engsel.

c. Pintu harus dilengkapi dengan alat penutup pintu otomatis (door closer).

d. Pintu dilengkapi dengan tuas atau tangkai pembuka pintu yang berada di

luar ruang tangga (kecuali tangga yang berada di lantai dasar, berada di

  

dalam ruang tangga dan sebaiknya menggunakan tuas pembuka yang

memudahkan, terutama dalam keadaan panik (panic bar).

e. Pintu dilengkapi tanda peringatan: “TANGGA DARURAT – TUTUP

KEMBALI“

f. Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api dengan luas maksimal 1m²

dan diletakkan di setengah bagian atas dari daun pintu.

g. Pintu harus dicat dengan warna merah.

Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah lokasi pintu keluar dan

jarak dari pintu keluar ke tempat yang aman di luar bangunan,

sebagaimana tertera pada tabel 2.1.

4. Tangga kebakaran (Fire Escape)

Pada saat terjadi keadaan darurat, untuk bangunan bertingkat, tangga darurat

sangat penting untuk penyelamatan jiwa manusia. Untuk itu ada beberapa

syarat aman untuk tangga darurat. Menurut Tanggoro (1999), syarat – syarat

tangga darurat adalah :

  

Tabel 2.1. Jarak Pintu Keluar 

 

Cat. TP = tidak perlu

a. Tangga terbuat dari konstruksi beton atau baja yang mempunyai

ketahanan kebakaran selama 2 jam.

b. Tangga dipisahkan dari ruangan – ruangan lain dengan dinding beton

yang tebalnya minimum 15 cm atau tebal tembok 30 cm yang mempunyai

ketahanan kebakaran selama 2 jam.

c. Bahan – bahan finishing, seperti lantai dari bahan yang tidak mudah

terbakar dan tidak licin, susunan tangga terbuat dari besi.

d. Lebar minimum 120 cm (untuk lalu lintas 2 orang).

  

e. Supaya asap kebakaran tidak masuk ke dalam ruangan tangga, maka

diperlukan:

1) Exhaust fan berfungsi menghisap asap yang ada di depan tangga.

2) Pressure fan berfungsi menekan atau memberi tekanan di dalam ruang

tangga yang lebih besar daripada tekanan pada ruangan luar.

f. Di dalam dan di depan tangga diberi alat penerangan sebagai penunjuk

arah ke tangga dengan daya otomatis atau emergency.

5. Sistem kendali asap (smoke vestibule)

Asap yang menimbun pada gedung tentunya akan membuat sesak nafas,

bahkan bisa menyebabkan meninggal. Dengan demikian, perlu adanya

pengendalian asap, yang berguna untuk mengurangi asap pada saat keadaan

darurat terjadi. Salah satu alat untuk pengendalian asap yakni Vent and

Exhaust. Alat ini dipasang pada tempat – tempat khusus seperti tangga

kebakaran.

Menurut Tanggoro (2006), Vent and Exhaust memiliki beberapa peran atau

fungsi diantaranya adalah :

a. Dipasang di depan tangga kebakaran yang akan berfungsi mengisap asap

yang akan masuk pada tangga yang dibuka pintunya.

b. Dipasang di dalam tangga, secara otomatis berfungsi memasukkan udara

untuk memberikan tekanan pada udara di dalam ruangan tangga. Tekanan

  

tersebut akan mengatur tekanan udara di dalam ruangan lebih besar

daripada udara

6. Komunikasi darurat

Sistem komunikasi darurat, sebaiknya selalu ada pada bangunan gedung.

Hal ini sangat penting dan berperan pada saat terjadi keadaan darurat.

Sistem komunikasi darurat dimaksudkan untuk mempermudah dan

mempercepat proses penyelamatan. Adapun alat – alat yang biasanya

digunakan adalah, microphone, cassete deck, mix amplifer, speaker, speaker

selector switch, volume control, horn speaker (Tanggoro, 2006).

a. Speaker Sound Pressure

Perletakan speaker ini sangat mempengaruhi rencana langit – langit dari

ruangan umum atau ruangan kantor. Oleh karena itu, harus diperhatikan

letak speaker satu terhadap lainnya sehingga suara yang dihasilkan dapat

didengar dengan baik.

b. Horn Speaker

Horn speaker diletakkan di tempat parkir terbuka atau di tempat istirahat

sopir sehingga suara yang dihasilkan dapat didengar oleh sopir yang

berada di dekat mobilnya.

c. Microphone dan Amplifier

  

Alat – alat ini sebaiknya diletakkan pada suatu tempat yang aman,

strategis, dan gampang dijangkau serta tidak mengganggu ruangan.

Dalam perancangan interior sebaiknya alat – alat ini diletakkan di

reception desk atau diletakkan pada suatu ruangan khusus, di dekat

reception desk yang ditangani oleh operator sebagai pengelola alat – alat

tersebut.

7. Petunjuk arah jalan keluar

Petunjuk arah jalan keluar (EXIT) sangat penting diadakan. Petunjuk ini

dimaksudkan untuk mempermudah penghuni untuk menyelamatkan diri

dengan cepat. Menurut Juwana (2005),“EXIT“ harus dapat dilihat dengan

jelas, diberi lampu yang menyala pada kondisi darurat, dengan kuat cahaya

tidak kurang dari 50 lux dan luas tanda minimum 155 cm² serta ketinggian

huruf tidak kurang dari 15 cm (tebal huruf minimum 2 cm).

8. APAR

Alat pemadam kebakaran ringan (APAR) dapat dimiliki oleh siapa saja dan

mudah untuk didapat, dan mudah penggunaannya. Alat ini juga harus selalu

diperiksa oleh dinas pemadam kebakaran untuk memastikan bahwa tabung

tersebut masih dapat berfungsi dengan baik. APAR harus diletakkan

ditempat yang mudah diketahui dan aman, sehingga akan dapat dijangkau

pada keadaan darurat.

Persyaratan yang harus terpenuhi oleh APAR tabung, adalah sebagai yakni :

  

a. Tabung harus dalam keadaan baik.

b. Etikel atau label mudah dibaca dengan jelas dan dapat dimengerti

c. Sebelum digunakan, segel harus dalam keadaan baik ( tidak rusak ).

d. Selang harus tahan terhadap tekanan tinggi.

e. Bahan baku pemadam selalu dengan keadaan baik.

f. Isi tabung gas sesuai dengan tekanan yang diisyartakan.

g. Penggunaannya belum kadaluwarsa.

h. Warna tabung harus mudah dilihat (merah, hijau, biru, atau kuning)

APAR memiliki beberapa golongan dan jenis bahan pemadam yang berbeda

– beda. Adapun jenis bahan – bahan yang digunakan untuk digunakan

sebagai pemadam kebakaran adalah: serbuk kimia kering, busa,

karbondioksida (CO2), dan halon. Klasifikasi APAR ditunjukkan pada Tabel

2.2.

9. Sprinkler

Menurut Kepmen Pekerjaan Umum nomor 10/KPTS/2000, bahwa sprinkler

adalah alat pemancar air untuk pemadaman kebakaran yang mempunyai

tudung deflektor pada ujung mulut pancarnya, sehingga air dapat memancar

ke semua arah secara merata.

  

Dalam pertanian ada juga jenis sprinkler yang digunakan untuk penyiram

tanaman. Sedangkan menurut Poerbo (2007) bahwa sprinkler adalah suatu

alat semacam nozzle (penyemprot) yang dapat memancarkan air secara

pengabutan (fog) dan bekerja otomatis. Bahan pemadamnya adalah air,

maka instalasi sprinkler khusus digunakan untuk pemadam kebakaran kelas

A (kayu, kertas, plastik, dan lain – lain).

Tabel 2.2. Klasifikasi APAR

Golongan Zat atau bahan

pemadam

Memadamkan Tanda

pengenal

A Air bertekanan, zat-zat

kimia larut, asam soda,

busa, monoamonium

fosfat, tekstil, dll

Bahan padat

bukan logam,

kayu, kertas,

plastic, karpet

Huruf ‘A’ pada

dasar berbentuk

segi tiga warna

hijau

B

Zat asam orang (CO2),

zat kimia kering

dengan natrium dan

Bahan cair,

bensin, minyak

tanah, elpiji,

Huruf ‘B’ pada

dasar benbentuk

segi empat

  

Tabel 2.2 (Lanjutan)

Golongan Zat atau bahan

pemadam

Memadamkan Tanda

Pengenal

kalium bikarbonat,

bromiumtifluoromethan

karbon tetra

kloridabromethan

solar, dll. warna merah

C Zat yang tidak

menghantar listrik, zat

kimia kering dengan

natrium dan kalium

bikarbonat,

bromiumtifluoromethan

karbon tetra

kloridabromethan

Peralatan listrik

bertegangan,

transformator,

instalasi listrik,

dll.

Huruf ‘C’ pada

dasar berbentuk

lingkaran warna

biru

D Bubuk kering, senyawa

mengandung garam

dapur, grafit, fosfor

Bahan logam,

magnesium,

lithium, senyawa

natrium-kalium,

dll

Sumber : Juwana,2005.

 

  

Perbedaan fungsi bangunan menyebabkan jenis sprinkler yang digunakan

juga berbeda. Misalnya untuk bangunan seni atau museum yang di

dalamnya tentunya terdapat banyak sekali barang – barang berharga dan

antik, sehingga jika terjadi kebakaran, barang – barang harus tetap

terlindung, jika jenis sprinkler yang digunakan adalah Wet Pipe Sprinkler

System, maka semua barang yang antik – antik dan bernilai langka tersebut

dapat terkena semprotan air dan mungkin bisa menyebabkan kerusakan.

Berdasarkan jenis dan fungsi bangunannya, maka jenis sprinkler dibedakan

menjadi tiga yakni :

a. Wet Pipe Sprinkler System

Pipa utama dan pipa distribusi sampai outlet selalu berisi penuh air

dengan tekanan tertentu, yang siap sewaktu-waktu menyembur bila

terkena reaksi panas. Keuntungan penggunaan sprinkler ini adalah cepat

bereaksi tetapi kerugiannya adalah sering terjadi kebocoran pada pipa

yang menyebabkan kelembaban pada dinding yang akhirnya dinding

tersebut cepat rusak.

b. Dry Pipe Sprinkler System

Pipa-pipa horizontal dalam keadaan berisi udara, apabila nozzle

menerima rangsangan kenaikan suhu, maka switch/klep pada pipa utama

akan membuka dan pipa horizontal akan penuh air dan menyembur

melalui nozzle. Sistem ini cocok untuk daerah yang bermusim dingin.

  

Keuntungan system ini adalah kemungkinan bocor sangat kecil, tetapi

kelemahannya adalah reaksi penyemburan air mungkin kurang cepat.

c. Special Sprinkler System

Sistem ini terdapat 2 macam, yakni :

1). Sprinkler yang menggunakan kabut air (FOG).

a) Kabut air mengurangi persebaran api.

b) Kabut air mengurangi O2 yang bersenyawa dengan api.

c) Kabut air mengurangi kerusakan interior dibanding dengan

semburan air. Sistem ini cocok untuk ruangan yang berfungsi

untuk menyimpan dokumen – dokumen berupa kertas, plastik dan

lain – lain.

2) Sprinkler yang menggunakan Dry Chemical

Sprinkler ini sangat cocok untuk ruangan sensitif seperti : ruang mesin

dan ruang alat elektronika.

Selain berdasarkan dari jenis bangunan, sprinkler dapat lagi dibedakan

berdasarkan bentuknya. Sprinkler dibedakan menjadi 2, yakni :

sprinkler tabung dan sprinkler segel. Tabel 2.3 dan 2.4 memnunjukkan

jenis-jenis sprinkler tabung dan sprinkler segel.

  

Tabel 2.3. Warna Cairan Tabung Gelas Sprinkler

No. Warna cairan Suhu pecah tabung

1. Jingga 57 oC

2. Merah 68 oC

3. Kuning 79 oC

4. Hijau 93 oC

5. Biru 141 oC

6. Ungu 182 oC

7. HItam 204 oC / 260 oC

Sumber : Juwana, 2005.

Table 2.4. Warna Segel Sprinkler

No. Warna segel Suhu leleh segel

1 Tak berwarna 68 oC / 74 oC

2. Putih 93 oC

3. Biru 141 oC

4. Kuning 182 oC

5. Merah 227 oc

Sumber : Juwana, 2005

Penggunaan sprinkler harus memperhatikan jenis dan peruntukan

bangunannya. Tabel 2.5 berikut ini menunjukkan klasifikasi bangunan

dan jenis sprinkler yang dibutuhkan.

  

Tabel 2.5. Klasifikasi Bangunan

Sumber : Juwana, 2005.

10. Hidran

Menurut Tanggoro (2006), hidran kebakaran adalah suatu alat untuk

memadamkan kebakaran yang sudah terjadi dengan menggunakan alat

baku air. Sedang menurut Kepmenneg PU No.10/KPTS/2000, hidran

adalah alat yang dilengkapi dengan slang dan mulut pancar (nozzel) untuk

mengalirkan air bertekanan, yang digunakan bagi keperluan pemadaman

kebakaran.

Berdasarkan lokasi penempatan, maka hidran dibedakan atas (Juwana,

2005):

a. Hidran Bangunan (Box Hydrant – hidran kotak)

No. Klasifikasi bangunan

Tinggi/jumlah lantai Penggunaan sprinkler`

1. A. tidak bertingkat Ketinggian hingga 8 meter atau satu lantai

Tidak diharuskan

2. B. tingkat rendah Ketinggian hingga 8 meter atau dua lantai

Tidak diharuskan

3. C.tingkat rendah Ketinggian hingga 14 meter atau 4 lantai

Tidak diharuskan

4. D. tingkat tinggi Ketinggian hingga 40 meter atau 8 lantai

Diharuskan, mulai dari lantai

1

5. E. Tingkat tinggi Ketinggian lebih dari 40 meter atau di atas 8 lantai

Diharuskan, mulai dari lantai

1

  

hidran gedung ditempatkan pada jarak 35 meter, ditambah 5 meter jarak

semprotan air. Kemudian pada atap gedung yang tingginya lebih dari 8

lantai, maka diperlukan hidran untuk mencegah menjalarnya api ke

bangunan yang bersebelahan. Hal lain yang perlu diperhatikan pada

pemasangan hidran adalah:

1) Hidran bangunan yang menggunakan pipa tegak (riser) ukuran 6

inchi (15 cm) harus dilengkapi dengan kopling dari barisan atau unit

pemadam kebakaran dan ditempatkan pada tempat yang mudah

dijangkau oleh petugas pemadam kebakaran.

2) Kotak hidran bangunan harus mudah dibuka, dapat terlihat,

terjangkau dan tidak terhalang oleh apapun.

b. Hidran halaman (Pole Hydrant)

Hidran halaman diletakkan di luar bangunan pada lokasi yang aman

dari api. Penyaluran air ke dalam bangunan dilakukan melalui katup

Siamese. Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemasangan hidran

halaman adalah:

1) Hidran halaman harus disambungkan dengan pipa induk yang

berukuran diameter minimum 6 inchi (15 cm) dan mampu

mengalirkan air 1000 liter/menit. Maksimal jarak antar hidran

adalah 200 meter dan penempatan hidran harus mudah dicapai oleh

mobil pemadam kebakaran.

  

2). Hidran halaman yang mempunyai dua kopling outlet harus

menggunakan katup pembuka dengan diameter 4 inchi (10 cm) dan

yang mempunyai tiga kopling outlet harus menggunakan katup

pembuka dengan diameter 6 inchi (15 cm).

11. Detektor

Alat ini berfungsi untuk mendeteksi adanya sinyal – sinyal bahaya.

Menurut Poerbo (2005) menerangkan, bahwa jenis detektor ada 3 macam,

yaitu:

a. Alat deteksi asap (smoke detector)

Alat ini akan memberikan alarm bila muncul asap di suatu ruangan.

b. Alat deteksi api (Flame Detector)

Alat ini memberikan sinyal jika mendeteksi nyala api yang tidak

terkendali.

c. Alat deteksi panas (Heat Detector)

Alat ini akan mengaktifkan alarm kebakaran apabila ada panas yang

cukup mengaktifkan sensor.

Adanya beberapa persyaratan dari masing – masing jenis detektor di atas.

Persyaratan pemasangan detector ini adalah (Juwana, 2005):

a. Detektor panas (Heat Detector)

  

1) Dipasang pada posisi 15 mm hingga 100 mm di bawah permukaan

langit – langit.

2) Pada satu kelompok sistem ini tidak boleh dipasang lebih dari 40

buah.

3) Untuk setiap luas lantai 46 m² dengan tinggi langit – langit 3 meter.

4) Jarak antar detektor tidak lebih dari 7 meter untuk ruang aktif, dan

tidak lebih dari 10 meter untuk ruang sirkulasi.

5) Jarak detektor dengan dinding minimum 30 cm.

6) Pada ketinggian berbeda, dipasang satu buah detektor untuk setiap

92 m² luas lantai.

7) Di puncak lekukan atap ruangan tersembunyi, dipasang sebuah

detektor untuk setiap jarak memanjang 9 meter.

b. Detektor Asap (Smoke Detector)

1) Untuk setiap luas lantai 92 m².

2) Jarak antar detektor maksimum 12 meter di dalam ruang aktif dan

18 meter untuk ruang sirkulasi.

3) Jarak detektor dengan dinding minimum 6 meter untuk ruang aktif

dan 12 meter untuk ruang sirkulasi.

  

4) Setiap kelompok sistem dibatasi maksimum 20 buah detektor untuk

melindungi ruangan seluas 2000 m².

c. Detektor Api (Flame Detector)

1) Setiap kelompok dibatasi maksimum 20 buah detektor.

2) Detektor yang dipasang di ruang luar harus terbuat dari bahan yang

tahan karat, tahan pengaruh angin, dan getaran.

3) Untuk daerah yang sering mengalami sambaran petir, harus

dilindungi sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan tanda

bahaya palsu.

12. Sistem Alarm

Pada saat terjadi bahaya seperti kebakaran, maka alarm ini akan berdering

keras. Penghuni gedung harus sadar bahwa bunyi alarm ini menandakan

ada bahaya yang mengancam. Penghuni harus cepat melakukan proteksi

diri.

13. FSM (Fire System Management)

Keamanan pada bangunan gedung, selain didukung oleh peralatan atau

komponen – komponennya, perlu juga adanya sistem manajemen yang

mengatur secara aktif jalannya semua peralatan dan pengelolaan keamanan

bangunan gedung tersebut. Manajemen ini sering disebut sebagai Fire

System Management (FSM).

  

Dalam manajemen ini terdapat suatu organisasi khusus, yakni manajemen

untuk menangani masalah keadaan darurat. Dalam organisasi tersebut

terdapat diskripsi pekerjaan atau tugas dan wewenang petugas untuk

keamanan gedung. Manajemen keadaan darurat suatu bangunan gedung

bertugas melakukan pencegahan kebakaran pada bangunan gedung,

melakukan inspeksi uji coba dan pemeliharaan sistem proteksi kebakaran,

pelatihan evakuasi, melakukan pemeliharaan, pemeriksaan, pengujian,

laporan keadaan darurat lain (Permenneg PU No. 26/PRT/M/2008).