Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan beberapa permasalahan yang akan dikaji, ada beberapa teori
dan konsep yang akan dijadikan sebagai acuan dasar dalam menganalisis hasil
pembahasan. Teori dan konsep tersebut akan di paparkan dalam bab ini, adapun
teori yang digunakan dalam menganalisis Implementasi Kebijakan yang akan
diteliti adalah teori collaborative governance
A. Kebijakan Publik
Sebelum meneliti tentang implementasi kebijakan Publik, terlebih dulu kita
membahas pengertian dari Kebijakan Publik. Tujuannya agar kita mengetahui
lebih dalam mengenai apa yang di maksud dengan kebijakan publik pada
pembahasan berikutnya. Pada Penelitian ini, Peneliti memahami Kebijakan Publik
sebagai Bentuk keputusan Pemerintah yang di tujukan untuk masyarakat. Seperti
yang dijabarkan oleh Brikland yang mendefinisikan Kebijakan Publik sebagai
keputusan Negara sebagai sespon pemerintah untuk penyelesaian sebuah
permasalahan atau mewujudkan tujuan kehidupan bersama bisa berwujud
pernyataan pemerintah, regulasi, atau keputusan hukum .
Kebijakan Menurut Birlan29 adalah:
“Policy is statement by Government at whatever level of what is intends
to to about a public problem, such statatements can be found in the
constitution, statues, regulation, case law (that is court decision),
agency or leadership decisions.”
29 Thomas A Birkland, 2011,An Introduction to the Policy Process theories, concepts, and models
of public policy, London and New Yord: Routledge
24
Sejalan dengan Brikland yang menyebutkan bahwa kebijakan merupakan
keputusan pemerintah dengan tujuan pemecahan masalah, Carl Friendrich juga
berpendapat kebijakan public merupakan aktifitas berupa usulan seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang ditujukan untuk
memecahkan masalah-masalah publik dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.30
Secara umum dari kedua pendapat diatas secara sederhana dapat dikatakan
kebijakan mengandung suatu strategi untuk menyelesaikan sebuah masalah yang
diusulkan sesorang, kelompok atau pemerintah yang dipilih oleh pemerintah
dengan tujuan Membawa perubahan dari suatu kondisi masyarakat kedalam
keadaan yang lebih baik. Dari pengertian diatas dapat difahami bahwa pemerintah
sebagai aktor utama dalam memujuskan sebuah kebijakan public.
Penulis sendiri menggunakan teori Collaborative Governance dalam
menganalisis kebijakan, dimana kebijakan public pada teori collaborative ini
dipahami sebagai kebijakan pemerintah yang melibatkan keterpaduan antara
beberapa unsur sepeti masyarakat yang dilibatkan dalam pelaksanaan maupun
pengambilan kebijakan. Begitu juga dengan kebijakan program Jalin Matra PK2
yang merupakan program kebijakan inisiatif pemerintah Povinsi untuk masyarakat
miskin pedesaan, dan dalam pelaksaannya melibatkan masyarakat sebagai sasaran
kebijakan, program ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan kerentanan
kemiskinan di ruang lingkup pedesaan dan mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
30 Winarno Budi, 2014, Kebijakan Publik, Yogyakarta, Caps Hal: 20-21
25
B. Collaborative Governance dalam pelaksanaan Kebijakan
Pada dasarnya, Implementasi merupakan bagian paling penting dalam
kebijakan Publik, implementasi sendiri dalam segi Bahasa bermakna pelaksanaan
atau penerapan, yang berasal dari Bahasa Inggris Implementation. Setiap Kebijakan
Publik harus diimplementasikan agar tercapainya tujuan yang sudah dirumuskan
dalam Kebijakan Publik tersebut.
Kebijakan yang telah di rumuskan dan ditetapkan akan diterapkan utuk
menyelesaikan permasalahan publik, sehingga tahap imlementasi memiliki
pengaruh besar terhadap sebuah keberhasilan kebijakan publik. Implementasi
Kebijakan juga disebut dengan Policy Delivery System (sistem penerusan kebijkan
Publik) yang biasanya terdiri dari strategi tertentu untuk menuju tercapainya tujuan-
tujuan yang dikehendaki. Implemenentasi kebijakan merupakah tahapan yang
sangat penting agar kebijakan publik dapat diwujudkan sesuai dengan tujuannya.
Karna kebijakan public yang tidak diimplementasikan akan menjadi rencana yang
dia-sia. Sama hal nya dengan rumusan kebijakan Program Jalin Matra yang sudah
di rencanakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dapat di implementasikan di
Desa Ngroto pada tahun 2016.
Dalam setiap implementasi kebijakan yang telah ditetapkan memiliki model
peksanaan yang berbeda-beda tentunya pilihan model pelaksanaan tersebut
dianggap sebagai model yang ideal dalam pelaksaan kebijakan. Mengingat
kebijakan Jalin Matra tersebut sebagai kebijakan Pro Poor atau kebijakan yang
difokuskan untuk kepentingan masyarakat miskin maka, dalam kebijakan Jalin
Matra PK2 ini menyesuaikan dengan tujuan kebijakan yaitu masyarakat rentan
26
miskin pedesaan sebagai target kebijakan. Sehingga perlu adanya kerjasama
antara pemerintah dengan masyarakat objek kebijakan yaitu masyarakat rentan
miskin Desa Ngroto.
Istilah kerjasama dalam implementasi yang melibatkan pemangku
kepentingan non pemerintah dapat diartikan sebagai Collaborative Governance.
Kolaborasi diartikan sebagai kerjasama, intraksi, kompromi beberapa unsur terkait
baik individu, mapun lemaga kelompok yang juga menerima manfaat dari kebijkan
tersebut baik penerimaan secara langsung mapun tidak langsung tentunya mereka
memiliki tujuan yang sama mengenai apa yang ingin mereka capai dalam
kolaborasi.31 Tidakhanya itu, kelompok kepentingan yang berarti masyarakat juga
diartikan sebagai masyarakat juga memiliki tanggung jawab atas pencapaian
kebijakan, meskipun pada dasarnya kebijakan tersebut merupakan inisiatfi
pemerintah. Ada enam kreteria yang ditekankan dalam kebijakan kolabirasi ini
yaitu32:
1. Merupakan inisiatif pemerintah.
2. Melibatkan aktor bukan pemerintah.
3. Peserta kelompok kepentingan terlibat langsung dalam pengambilan
keputusan.
4. Musyawarah tersebut diselenggarakan secara formal dan kolektif.
5. Musyawarah tersbut bertujuan untuk membuat keputusan berdasarkan
consensus (walaupun consensus tersebut tidak tercapai dalam praktik).
6. Fokus kolaborasi ada pada kebijakan publik atau manajemen publik.
31 Chris Ansell and Alison Gash,2007, Collaborative Governance in Theory and Practice, Journal
of Public Administration Research and Theory University of California 32 Ibid hlm. 544
27
7. Chris Ansell dan Alisson menggambarkan Colaborative Governance
sebagai usaha bersama dalam pemecahan masalah yang terwujud dalam
kebijakan publik yang melibatkan Instansi Pemerintah atau beberapa
warga masyarakat, keterlibatan tersebut berlangsung secara partipasi
dengan kelompok-kelompok yang terorganisir atau aktor lain yang
memiliki kepentingan33. Begitu juga dengan Program Jalin Matra K2
yang dalam pelaksanaannya di kelola oleh BUMDesa Ageng bersama
Kelompok masyarakat sebagai pemecahan permasalahan Kerentanan
Kemiskinan.
8. Model kebijakan kolaboratif tersebut dimulai dari kondisi isu lokal,
kemudian kolaborasi tersebut bertujuan untuk mengatasi isu yang
berkembang dimasyarakat. Sehingga perlu adanya kerjasama untuk
mengatasinya, sehingga diperlukan komunikasi yang baik antar unsur
dan mencegah terjadinya rasa ketidak percayaan, tidak hormat, ketidak
seimbangan antar kelompok kepentingan, intensif yang sesuai, serta
tidak adanya sejarah konflik antar unsur. Selain kondisi isu lokal
kebijakan kolaboratif juga menganalisis variabel desain kelembagaan,
kepemimpinan, yang mempengaruhi proses kolaborasi, lebih lanjut
model kolaborasi tersebut akan dijabarkan dalam gambar berikut:
33 Lilik Kristianto, 2010.Sinergi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan berbasis pemberdayaan
masyarakat di Kota Surakarta. Universitas Sebelas Maret : Thesis Administrasi Publik Hal.106
28
Bagan 2. 1 model Collaborative Governance
Start Condition, merupakan kondisi awal pemicu pelaksanaan kolaborasi
dalam kebijakan. Dalam hal ini bisa di latar belakangi oleh visi yang sama terhadap
apa yang ingin di capaia atau manfaat yang akan di dapatkan dari kolaborasi.
Facilitative Leadership, kepemimpinan merupakan fasilitator untuk membawa
unsur terlibat dalam kolaborasi, Vangen dan Huxham berpendapat bahwa
kepemimpinan penting untuk merangkul, memberdayakan, dan melibatkan semua
unsur yang terlibat agar proses kolaborasi terus berjalan. Peran Facilitative
Leadership sangat penting untuk memberdayakan unsur terlibat yang lemah agar
seimbang34.
Institutional Design, mengacu pada penyusunan dasar dan peraturan dasar
untuk kolaborasi. Variabel ini sangat penting untuk mendesain prosedur proses
kolaborasi. Adapun acuan dasar yang digunakan dalam pelaksnaan program Jalin
34 Chris Ansell and Alison Gash,2007, Collaborative Governance in Theory and Practice, Journal
of Public Administration Research and Theory University of California Hal.554
29
Matra PK2 adalan Peraturan Gubernur nomer 13 tahun 2016 tentang
pedoman pelaksanaan program Jalin matra. Dalam hal ini lebih ditekankan pada
peraruran yang jelas, proses yang terbuka,
Proses kolaborasi menggambarkan suatu tahapan kebijakan publik. Gray
mendefinisikan proses kolaborasi kedalam 3 (tiga) tahapan yaitu pengaturan
masalah, pengaturan arah, dan implementasi. Sedangkan pada pembahasan
penulisan ini lebih menekankan pada proses implementasi. Dimana pada proses
implementasi tersebut ada beberapa variabel yang saling berkaitan. Face to face
dialogue, tatakelola kolaboratif dibangun atas dasar komunikasi secara langsung
antar pihak terkait dengan komunikasi ketsebut diharapkan tidak ada pihak yang
merasa dirugikan. Dengan komunikasi secara langsung juga dapat membangun
kepercayaan, rasa menghormati dan membagi pemahaman. Trust building, dengan
dibangunnya kepercayaan antar pihak terkait maka kebiajakan yang
impelemtasikan dengan baik.
Comitment to the process, tingkat komitmen pada pihak terhadap kolaborasi
merupakan variabel yang sangat penting dalam menjelaskan kegagalan atau
keberhasilan kebijakan (Alexander, Comfort, and Weiner 1998). Commitmen ini
mencakup rasa saling ketergantungan, saling terlibat dalam proses, dan adanya
keterbukaan untuk keuntungan bersama. Shared understanding, pada proses
kolaborasi antar pihak terkait harus membangun pemahaman bersama mengenai
tujuan bersama dengan jelas dan strategis, variabel ini mencakup misi yang jelas,
pendefinisian masalah, dan mengedintifikasi nilai-nilai yang berlaku. Dan yeng
terakhir dalam menganalisis kebijakan Jalin Matra PK2, penulis melihat bagaimana
Outcomes atau hasil dari kebijakan publik, sehingga akan ditemukan
30
dimana masalah kebijakan tersebut muncul, yang akan menjawab rumusan masalah
point kedua mengenai apa permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan.
C. Kemiskinan dan Masyarakat Rentan Miskin
Pada umumnya kemiskinan didefinisikan dari segi ekonomi, baik dalam
bentuk uang pendapatan maupun pendapatan tambahan non-material yang diterima
oleh masyarakat. Sedangkan secara luas, kemiskinan sering diartikan sebagai
keadaan yang di tandai oleh kekurangan, kekurangan kualitas pendidikan,
kekurangan kualitas kesehatan, dan kekurangan masyarakat terhadap akses
transportasi.
BPS dan Depsos juga menggunakan pendekatan dasar dalam
mendefiniskina kemiskinan. Kemiskinan merupakan ketidak mampuan seseorang
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya untuk mewujudkan hidup yang layak atau
mereka yang memiliki sumber mata pencaharian namun tidak seimbang dengan
jumlah kebutuhan nya sehingga jauh dari kata layak.35
Seotomo dalam pendapatnya menyatakan bahwa kemiskinan yang dialami
oleh seseorang atau masyarakat dalam kurun waktu yang lama dapat mempengaruhi
perkembangan dan keadaannya untuk masa depan.36 Kondisi yang serba
kekurangan dapat menggambarkan kondisi yang miskin pula di waktu yang akan
datang. Tentu hal itu dapat mempengaruhi kualitas kehidupan suatu masyarakat
pada waktu yang akan datang. Dan lambat laun akan menjadi kemiskinan yang
35 Erwan Agus Purwanto, 2007,Mengkaji Potensi Usaha Kecil Menengah untuk pembuatan
kebijakan anti kemiskinan di Indonesia, Journal Ilmu sosial dan ilmu politik Vol.10 No. 3 Maret
2007. 36 Soetomo,2012, Membangun masyarakat merangksi sebuah kerangka,Yogyakarta: Pustaka
pelajar Hal. 110
31
mengakar dan dapat mempengaruhi prilaku masyarakat. Jika suatu masyarakat
sudah terjebak
dengan kondisi kemiskinan maka sangat memiliki potensi besar untuk
kekurangan di bidang pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya.
Dalam pengertian yang lebih luas lagi, David Cox membagi kemiskinan
kedalam beberapa dimensi37:
1. Kemiskinan yang disebabkan oleh Globalisasi. Globalisasi dapat
menghasilkan dua kemungkinan. Yaiutu menang atau kalah. dan warga
di Negara miskin terpuruk kedalam kemiskinan yang lebih parah.
2. Pembangunan. Kemiskinan Subsisten (akibat rendahnya
pembangunan), kemiskinan pedesaan (diakibatkan oleh kurangnya
perhatian dipedesaan akibat pembangunan), kemiskinan perkotaan
(kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan
pembangunan).
3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan (biasanya
dialami oleh perempuan sebagai kepala rumah tangga), anak-anak dan
kelompok minoritas.
4. Kemiskinan Konsekuesonal. Kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal diluar kondisi miskin seperti konflik, bencana alam,
kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.
Menurut soeharto Ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat
perhatian dalam kajian kemiskinan yaitu Destitute, Poor, Vulnerable Group.
37 Soetomo,2012, Membangun masyarakat merangksi sebuah kerangka,Yogyakarta: Pustaka
pelajar Hal. 132-133
32
1. Masyarakat yang paling Miskin (Destitute) atau yang sering disebut juga
dengan fakir miskin. Secara absolut kelompok ini pendapatannya berada di
bawah garis kemikinan. Bahkan, pada umumnya kelompok ini tidak
memliki sumber pendapatan samasekali. Dan pada umumnya tidak
memiliki akses terhadap pelayanan publik seperti pelayanan pendidikan.
Masyarakat dalam golongan paling miskin ini saat ini sering disebut dengan
istilah RTSM (Rumah Tangga Sangat Miskin).
2. Masyarakat miskin (Poor) masyarakat dalam kelompok ini memiliki
pendapatan dibawah garis kemiskinan, namun yang membedakan dengan
kelompok Destitute diatas adalah kelompok ini secara relative masih
memiliki akses terhadap pelayanan dasar seperti masih memiliki sumber
pendapatan, memiliki pendidikan dasar dan tidak buta huruf.
3. Masyarakat rentan (Vulnerable)38 masyarakat dalam golongan ini dapat
dikatakan bebas dari kemiskinan, pendapatannya berada sedikit diatas garis
kemiskinan dengan demikian kelompok ini dapat dikatakan kelompok
masyarakat ini memiliki kelayakan hidup yang reltif lebih baik dari pada
kelompok destitute maupun poor. Tetapi kelompok ini sebenarnya sangat
dekat dengan kemiskinan “near poor”. Dalam kategori ini masyarakat
rentan di anggap sangat mudah sekali berpindah status atatu keadaan dari
rentan menjadi miskin dan bahkan sangat miskin (destitute). Olehkarna itu
kelompok rentan ini membutuhkan solusi dalam menguatkan perekonomian
dan ketubutuhan dasarnya.
38 Edi Suharto,2014, membangun masyarakat memberdayakan rakyat, Bandung: Refika Aditama
Hal. 148-149
33
Chambers juga menyimpulkan bahwa inti dari permasalahan kemiskinan
terletak pada kondisi kekurangan atau di sebut juga dengan jebakan kekurangan
(Deprovation Trap) yang terdiri dari lima ketidakberuntungan yaiutu: kemiskinan
itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan.
Diantara lima point tersebut saling berkaitan satusama lain, namun dari kelima
penyebab diatas ada dua sebab yang dapat menjadikan keluarga miskin menjadi
lebih miskin, yaitu kerentanan dan ketidakberdayaan.39
Keluarga rentan miskin menurut Robert Chambers dikatakan:40
"Keluarga rentan miskin dapat dilihat dari ketidak mampuan untuk
menyediakan sesuatu dalam rangka menghadapi situasi darurat seperti
datangnya bencana alam atau penyatit yang tiba-tiba menimpa keluarga
tersebut, menyebabkan keluarga rentan menjual harta benda berharga
sehingga keluarga menjadi lebih miskin”.
Karakter rumah tangga rentan sendiri sangat membutuhkan perlindungan
sosial, karna akan mudah terkena resiko-resiko sosial yang dengan mudah
menjadikan rumah tangga rentan menjadi rumah tangga miskin. Untuk itu
berdasarkan pertimbangan diatas, perlu adanya sebuah pembangunan yang
mengandung unsur perubahan yang terencana berupa kebijakan bertujuan
menanggulangi terjadinya kemiskinan yang lebih parah lagi, maka Program Jalin
Matra PK2 ini dilaksanakan sebagai program perlindungan sosial yang diharapakan
mampu menjadikan masyarakat rentan lebih berkembang mandiri secara ekonomi.
39 Strategi penanggulangan kemiskinan Kota malang hal.28 40 Ibid, Hal.30
34
D. Jalin Matra PK2
Program Jalin Matra Pk2 yang merupakan singkatan dari Program
Penanggulangan Kerentanan Kemiskinan atau merupakan program yang ditujukan
utuk masyarakat rentan miskin. Seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya masyarakat rentan miskin ini diartikan sebagai masyarakat yang sangat
dekat dengan kemiskinan. Saat ini jumlah masyarakat rentan miskin yang menjadi
rumah tangga sasaran kebijakan Program Jalin Matra PK2 desa ngroto berjumlah
477 rumah tangga sasaran yang kemudian di klasifikasi ulang dengan
memperhitungkan aspek produktifitas, dan usia produktif .
Jalin Matra PK2 sudah menjadi fokus utama penanggulangan kemiskinan
di jawa timur sejak tahun 2015. Dalam peraturan Gubernur nomor 13 tahun 2016
tentang jalan lain menuju mandiri dan sejahtera. Dalam Peratutan Gubernur tersebut
diseebutkan bahwa terdapat 2 tujuan dari program jalin matra ini yaiutu tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya adalah untuk mencegah atau
menanggulangi terjadinya kemiskinan yang dapar di alami oleh masyarakat rentan
miskin pada waktu yang akan datang.
Sedangkan tujuan khusunya terdapat tiga point, yang pertama, membantu
masyarakat rentan miskin agar mampu berinisiatif mengatasi kerentanannya
dengan cara memanfaatkan potensi yang ada. Kedua, membantu agar masyarakat
rentan dapat lebih produktif dan meningkatkan perekonomiannya berdasarkan
pemanfaatan potensi sosial ekonomi yang ada didesanya. Ketiga, mendorong agar
BUMdesa mampu tumbuh dan berkembang sebagai bagian yang mampu
memberdayarakn masyarakat, penanggulangan kemiskinan dan penguatan
ekonomi desa.
35
Sedangkan Indikator keberhasilannya dilihat dari empat aspek yaitu
pertama, Tepat sasaran, dalam artian Rumah Tangga yang mendapatkan Pinjaman
Murah Jalin Matra P2 merupakan Rumah Tangga hampir miskin berdasarkan Data
Program perlindungan Sosial (PPLS) 2011. Kedua, Tingkat pengembalian
Pinjaman, tingkat ketepatan pengembalian pinjaman merupakan unsur yang sangat
penting dalam indikator keberhasilan program Jalin Matra PK2, karena dana
pinjaman tersebut dapat digulirkan kembali kepada Pokmas yang sama atau
Pokmas lain. Ketiga, RTS yang sudah mendapatkan program Jalin Matra
mengalami peningkatan pendapatan. Dengan indikator ini diharapkan pinjaman
murah yang digulirkan kepada RTS dapat digunakan sebagai modal usaha untuk
meningkatkan pendapatannya. Keempat, Pelaksanaan Jalin Matra diharapkan dapat
mendorong terbentuknya BUMDesa sebagai lembaga penguat ekonomi Desa.
Untuk mencapai semua tujuan tersebut ada lima Prinsip dasar dalam
pelaksanaan Program Jalin Matra yaitu, membantu dengan hati, melibatkan
partisipasi RTS (Participatory Poverty Assesment), Transparan dan Akuntabel,
keterpaduan, dan keberlanjutan. Tentu dari lima prinsip dasar tersebut memiliki
keterkaitan dalam rangka mewujudkan tujuan kebijakan.
Adapaun dalam Pelaksanaannya, Program Jalin Matra PK2 Desa Ngroto
ditangani oleh Badan Usaha Milik Desa Ngroto yaitu Bumdes AGENG sesuai
dengan amanat Peraturan Gubernur, tujuannya untuk memperkuat kelembagaan
milik Desa. Dan sampai sejauh ini, terdapat 90 rumah tangga yang tergabung dalam
Pokmas (kelompok masyarakat) sudah mendapatkan Bantuan tersebut. Dan dana
tersebut secara bergulir dan berkelanjutan diberikan sebagai modal usaha.
36
Modal tersebut mulanya berasal dari Pemerintan Provinsi Jawa Timur
berjumlah Rp.100.000.000, (seratus Juta Rupiah) dan yang digunakan sebagai
penyertaan modal kepada BUMDesa senilai Rp.90.000.000 (Sembilan puluh juta)
sebagai pinjaman murah. Sedangkan yang Rp.10.000.000 (sepuluh juta) sebagai
dana operasional BUMDesa.41
Adapun pelaksanaanya setiap Desa diberi kewenangan hak otonom sesuai
dengan sumber daya dan kearifan lokal masing-masing Desa. Adapun di Desa
Ngroto peminjaman Modal Murahnya sesuai dengan modal yang dibuthkan
berkisar antar Rp.1.500.000 (satu juta limaratus ribu rupiah) sampai
Rp.2.000.000,(Dua juta rupiah) melalui penyeleksian yang dilakukan oleh pengurus
BUMDesa. Penyeleksian merupakan tahap Verifikasi RTS dan penilaian kelayakan
usaha yang dilaksanakan Oleh pengurus BUMDesa sebagai pengelola anggaran
Program Jalin Matra.
Dengan demikian pemerintah desa dapat memperhitungkan komitmen
masyarakat untuk keberhasilan program tersebut serta dapat mengawasi
perkembangan usaha produktif yang dimiliki masyarakat. Jika dirasa usaha tersbut
masih dinilai belum mampu bersaing dan layak, maka akan dilakukan bimbingan,
sehingga program Jalin Matra PK2 ini tidak hanya peminjaman modal udaha berupa
uang tetapi penyertaan modal Life Skill agar mampu bersaing dan produktif.
41 Peraturan Gubernur Jawa Timur, Pedoman Pelaksanaan Program Jalin Matra 2016, lampiran III