30
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran religiusitas dan resiliensi, serta hubungan kedua variabel tersebut pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Oleh karena itu, pada bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai resiliensi, definisi resiliensi dan elemen-elemen apa saja yang ada dalam resiliensi. Setelah itu, penulis akan menjelaskan teori-teori yang terkait dengan definisi religiusitas dan elemen-elemen apa saja yang ada dalam religiusitas. Penulis juga akan menjelaskan pengertian dari anak retardasi mental serta menjelaskan kondisi ibu yang memiliki anak tersebut. Pada bagian akhir peneliti akan menjelaskan bagaimana dinamika antara resiliensi dan religiusitas.. A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert (2005) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Penjelasan mengenai resiliensi semakin mengalami perkembangan, Luthar, Chicceti, dan Becker (2003) menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dan pulih dari tantangan hidup yang mengganggu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah

bagaimana gambaran religiusitas dan resiliensi, serta hubungan kedua

variabel tersebut pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Oleh karena

itu, pada bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai resiliensi, definisi

resiliensi dan elemen-elemen apa saja yang ada dalam resiliensi. Setelah itu,

penulis akan menjelaskan teori-teori yang terkait dengan definisi religiusitas

dan elemen-elemen apa saja yang ada dalam religiusitas. Penulis juga akan

menjelaskan pengertian dari anak retardasi mental serta menjelaskan kondisi

ibu yang memiliki anak tersebut. Pada bagian akhir peneliti akan

menjelaskan bagaimana dinamika antara resiliensi dan religiusitas..

A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk

bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert

(2005) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah

kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada

level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh

tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah

cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan

kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan

kekerasan.

Penjelasan mengenai resiliensi semakin mengalami

perkembangan, Luthar, Chicceti, dan Becker (2003) menjelaskan

bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dan pulih dari

tantangan hidup yang mengganggu.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

12

Lietz (2006) juga menjelaskan konsep resiliensi. Ia

menyatakan resiliensi sebagai suatu konstruk, yaitu resiliensi

mengacu pada situasi dimana orang dapat menghindari konsekuensi

negative biasanya terkait dengan resiko tinggi.

Reivich dan Shatte (2002) juga menjelaskan resiliensi adalah

kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang

berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam

keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

(adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya.

Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan

manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas

kesulitan yang dialaminya. Grotberg mengatakan bahwa resiliensi

bukanlah hal mistis dan tidak hanya ditemui pada orang-orang

tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui.

Lebih jauh Walsh (2006) menjelaskan bahwa setiap individu

pernah mengalami masalah dalam kehidupan. Setiap individu

memiliki keunikan masing-masing dalam merespon masalah tersebut.

Daya tahan individu dalam merespon masalah tersebut pun berbeda-

beda. Ada yang dapat bertahan lama, ada pula yang hanya sementara.

Beberapa individu dapat melalui masalahnya, tapi beberapa dari

mereka tidak dapat bertahan menghadapi masalahnya. Kemampuan

inilah yang disebut dengan resiliensi oleh Walsh.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa

resiliensi merupakan kemampuan individu untuk mencegah

konsekuensi negatif dari peristiwa seperti situasi yang penuh tekanan,

dan menghadapi masa-masa sulit, dan menjadi bangkit kembali

setelah melalui peristiwa tersebut.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

13

Definisi resiliensi ini akan dikaitkan dengan resiliensi pada

ibu yang memiliki anak retardasi mental.

2. Aspek Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh aspek resiliensi, yaitu

sebagai berikut:

a. Emotion Regulation

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di

bawah kondisi yang menekan. Individu yang memiliki

kemampuan regulasi emosi yang baik dapat mengendalikan

dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas,

sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu

masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif,

merupakan hal yang sehat dan konstruktif apabila dilakukan

dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah

satu kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatte

(2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan

regulasi emosi, yaitu ketenangan (calmness) dan fokus (focus).

Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini akan

memiliki kemampuan untuk meredakan emosi yang ada,

memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi

stress yang sedang dialaminya pada saat itu.

b. Impulse Control

Pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan

keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari

dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls

rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang

cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

14

seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah,

impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak

terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa

kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan

dalam hubungan sosial.

c. Optimism

Individu yang resilien adalah individu yang optimis.

Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita

cemerlang bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya

memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang

mungkin terjadi di masa depan.

d. Causal Analysis

Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk

mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan

yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu

mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka

hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang

sama.

Seligman mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang

erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki

individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga

dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak

selalu), dan pervasive (semua-tidak semua). Individu dengan gaya

berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan keyakinan bahwa

penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya), hal

ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah

(Selalu), serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

15

seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang

memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua”

meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh

orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih

memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan

yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya

(Tidak semua).

Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam

konsep resiliensi. Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua”

tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka

hadapi. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya

berpikir “Tidak selalu - Tidak semua” dapat merumuskan solusi

dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan

permasalahan yang ada. Individu yang resilien adalah individu

yang memiliki fleksibelitas kognitif. Mereka mampu

mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan

kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah

satu gaya berpikir explanatory.

Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas

kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka

atau membebaskan mereka dari rasa bersalah.

e. Empathy

Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu

untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis

orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup

mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang

ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

16

suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan

dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang

memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan

sosial yang positif.

Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan

kesulitan dalam hubungan sosial. Individu-individu yang tidak

membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda

nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada

posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan

memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan

individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat

sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun

hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia

untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang

rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu

yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan

emosi orang lain.

f. Self-efficacy

Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang

berhasil. Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan

bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan

mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal yang sangat

penting untuk mencapai resiliensi.

g. Reaching out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi

lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki

kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

17

keterpurukan, namun lebih dari itu faktor yang terakhir dari

resiliensi adalah reaching out. Reaching out adalah kemampuan

individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari

kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.

Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out,

hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk

sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang

memalukan. Mereka adalah individu- individu yang lebih

memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih

kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan

hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan

kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan (overestimate)

dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi

di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan

untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir.

3. Karakteristik individu yang memiliki resiliensi

(Wolin & Wolin 1999) menjelaskan mengenai karakteristik dari

Individu yang memiliki resiliensi

a. Insight

Insight adalah kemampuan untuk memahami dan

memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar,

dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi,

individu yang memiliki insight mampu menanyakan

pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur.

Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri

dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai

situasi.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

18

b. Kemandirian

Kemandirian ialah kemampuan untuk mengambil jarak

secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam

hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk

menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan

peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap

ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat

diperlukan. Ia juga memiliki orientasi yang positif dan

optimistik pada masa depan.

c. Hubungan

Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan

yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan,

ataupun memiliki role model yang sehat. Karakteristik ini

berkembang pada masa kanak-kanak dalam perilaku kontak

(contacting), yaitu mengembangkan ikatan-ikatan kecil

dengan orang lain yang mau terlibat secara emosional.

Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri

(recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan teman sebaya

yang suportif dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan

menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu

ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik

dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima.

d. Inisiatif

Inisiatif adalah keinginan kuat untuk bertanggung jawab

akan hidup. Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan

reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu

berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah,

serta meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

19

hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai

rangkaian tantangan dimana mereka yang mampu

mengatasinya. Anak-anak yang resilien memiliki tujuan yang

mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka

menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di

sekolah.

e. Kreatifitas

Kreatifitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai

pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi

tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam

perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan

konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan

yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang

digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta

membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat

menghadapi kesulitan. individu yang resilien mampu secara

kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan

masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu,

bentuk-bentuk kreativitas juga terlihat dalam minat

kegemaran, kegiatan kreatif dari imajinatif.

f. Humor

Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari

kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan

kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien

menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan

hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor

membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

20

g. Moralitas

Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan

keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu

yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat

keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain.

Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam

membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah

kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani.

4. Faktor yang membentuk Resiliensi

Grotberg (1995) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang

membentuk resiliensi, yaitu :

a. I Have

I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber

dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari

akan siapa individu membutuhkan dukungan eksternal dan

sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan

dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk

mengembangkan resilience.

b. I Am

I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam

diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan

keyakinan di dalam diri individu.

c. I Can

I Can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk

mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi

dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai

seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial)

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

21

dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat

membutuhkannya.

5. Faktor yang Memengaruhi Resiliensi

Everall (2006) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi

resiliensi, yaitu:

a. Faktor individual

Faktor individual meliputi kemampuan kognitif

individu, konsep diri, harga diri, dan kompetensi sosial

yang dimiliki individu. Menurut Holaday (1997, h.350)

keterampilan kognitif berpengaruh penting pada resiliensi

individu. Inteligensi minimal rata-rata dibutuhkan bagi

pertumbuhan resiliensi pada diri individu karena resiliensi

sangat terkait erat dengan kemampuan untuk memahami

dan menyampaikan sesuatu lewat bahasa yang tepat,

kemampuan membaca, dan komunikasi non verbal.

Resiliensi juga dihubungkan dengan kemampuan untuk

melepaskan pikiran dari trauma dengan menggunakan

fantasi dan harapan-harapan yang ditumbuhkan pada diri

individu yang bersangkutan.

b. Faktor keluarga

Faktor keluarga meliputi dukungan yang bersumber

dari orang tua, yaitu bagaimana cara orang tua untuk

memperlakukan dan melayani anak. Selain dukungan dari

orang tua struktur keluarga juga berperan penting bagi

individu.

c. Faktor Komunitas

Faktor komunitas meliputi kemiskinan dan

keterbatasan kesempatan kerja. Delgado (1995) dalam

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

22

LaFramboise et al., (2006, h. 195-196) menambahkan dua

hal terkait dengan faktor individual, yaitu :

1. Gender

Gender memberikan kontribusi bagi resiliensi

individu. Resiko kerentanan terhadap tekanan

emosional, perlindungan terhadap situasi yang

mengandung resiko, dan respon terhadap kesulitan

yang dihadapi dipengaruhi oleh gender.

2. Keterikatan dengan kebudayaan

Keterikatan dengan budaya meliputi

keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas

terkait dengan budaya setempat berikut ketaatan

terhadap nilai-nilai yang diyakini dalam

kebudayaan tersebut. Beuf (1990) dalam Holaday

(1997, h.349) mengungkapkan bahwa resiliensi

dipengaruhi secara kuat oleh kebudayaan, baik

sikap sikap yang diyakini dalam suatu budaya,

nilai-nilai, dan standard kebaikan dalam suatu

masyarakat. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan

resiliensi dipengaruhi oleh faktor - faktor dari

dalam individu (internal) dan faktor-faktor dari luar

individu (eksternal). Faktor internal meliputi,

kemampuan kognitif, konsep diri, harga diri,

kompetensi sosial yang dimiliki individu, gender,

serta keterikatan individu dengan budaya. Faktor

eksternal mencakup faktor dari keluarga dan

komunitas.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

23

B. Religiusitas

1. Definisi Religiusitas

Menurut Hardjana (1993), religiusitas adalah kata kerja yang

berasal dari kata benda religion. Religi itu sendiri berasal dari kata re

dan ligare artinya meghubungkan kembali yang telah putus, yaitu

menghubungkan kembali hubungan antara Tuhan dan manusia yang

telah terputus oleh dosa-dosanya.

Mangunwijaya (Indrastuti, 2005) mengatakan bahwa

religiusitas diartikan sebagai keyakinan seseorang terhadap agama

yang dianutnya dan juga pengalaman dan penghayatan di dalam

membangun hubungan dengan Tuhan yang melibatkan perasaan

pasrah, sukarela, ikhlas, dan juga hormat serta takjub yang pada

akhirnya diteruskan dalam sikap hidup dan perilakunya.

Djarir (2004) mengatakan religiusitas merupakan suatu

kesatuan unsur-unsur yang komprehensif yang menjadikan seseorang

disebut sebagai orang beragama (being religious) dan bukan sekedar

mengaku mempunyai agama (having religion). Religiusitas itu

sendiri meliputi pengetahuan agama, keyakinan agama, pengalaman

ritual agama. Perilaku (moralitas) agama, dan sikap social

keagamaan.

Glock and Stark (1965) mendeskripsikan religiusitas sebagai

suatu simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku

terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan

yang dihayati sebagai yang paling maknawi.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengertian

religiusitas menurut Glock dan Stark (1965) yaitu religiusitas sebagai

simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang

terlembaga, yang semuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

24

dihayati sebagai hal paling maknawi. Dan pengertian ini akan

dikaitkan dengan religiusitas pada ibu yang memiliki anak retardasi

mental.

2. Aspek Religiusitas

Dari pengertian tersebut, penulis menurunkannya menjadi 5

aspek religiusitas menurut Glock dan Stark (1965) yaitu :

a. Ritual Involment

Sering juga disebut aspek praktek agama. Penganut agama

tertentu melaksanakan aktivitas-aktivitas yang diwajibkan dan

dianjurkan oleh agamanya, seperti berdoa, puasa, kebaktian,

korban, sedekah, sholat, haji, misa kudus, dan sebagainya. Aspek

ini dibagi menjadi, yaitu :

1. Ritual Practice

Mengacu pada kumpulan tata cara, aktivitas suci, dan tinjauan

religius dan mengambil perjamuan suci, wudu selama sholat.

2. Devotion Practice

Lebih bersifat informal, spontan, dan cenderung lebih tertutup

dan dilakukan secara pribadi oleh individu.

b. Ideological Involvement.

Adanya pengharapan-pengharapan dimana orang-orang religius

berpegang teguh pada suatu teologis atau ajaran tertentu yang

mengakui kebenaran-kebenaran doktrin-doktrin tersebut,

misalnya apakah seseorang mempercayai adanya setan, malaikat,

surga, neraka, karma, mukjizat dan sebagainya.

c. Intellectual Involvement

Merupakan harapan-harapan di mana orang-orang beragama

paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar-

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

25

dasar keyakinan serta pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan

dilaksanakan.

d. Experiental Involvement

Pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan

dirasakan oleh seseorang yang beragama sebagai suatu keajaiban

yang datang dari Tuhan. Hal-hal ini dapat diwujudkan dengan

perasaan syukur kepada Tuhan, perasaan mendapatkan teguran

dari Tuhan, perasaan bahwa doa-doanya sering terkabul, serta

perasaan bahwa dirinya dekat dengan Tuhan saat berdoa. Aspek

ini dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Confirming Experience

Merupakan bentuk kontak terlihat antara manusia dengan

Tuhan, kesadaran khusus mengenai kehadiran sesuatu yang

bersifat ke-Tuhanan sehingga seseorang dapat merasakan

kehadiran Tuhan didekatnya.

2. Savational Experience

Gambaran dari sesuatu peristiwa selama sesorang merasakan

kehadiran Tuhan yang hendak menyampaikan perintah dan

kebijaksanaan-Nya sehingga orang tersebut merasakan bahwa

Tuhan telah memberinya berkat khusus dan menganugerahkan

kedudukan istimewa.

e. Consequential Involvement

Seberapa tingkatan seseorang dalam berperilaku dan dimotivasi

oleh ajaran-ajaran agamanya. Perilaku ini lebih dalam hal

perilaku didunia yaitu bagaimana seorang individu berelasi

dengan dunianya terutama dengan sesamanya. Misalnya apakah

ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang

kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

26

Sementara itu Jalaludin (2010) mengungkapkan beberapa aspek

religiusitas, diantaranya:

a. Bersifat edukatif yaitu membimbing untuk menjadi lebih baik

dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agamanya masing-

masing.

b. Berfungsi penyelamat, keselamatan yang diberikan oleh agama

kepada penganutnya dalam keselamatan dunia dan akhirat serta

keselamatan ini dicapai melalui keimanan kepada Tuhan.

c. Berfungsi sebagai perdamaian, melalui agama seseorang yang

bersalah, berdosa, dapat mencapai kedamaian batin melalui

tuntutan agama.

d. Berfungsi sebagai control sosial,dianggap sebagai norma sebagai

agama dapat berfungsi sebgai pengawas social baik secara

individu maupun kelompok.

e. Berfungsi transformasi, mengubah kehidupan pribadi seseorang

atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran

agama yang dianutnya.

Untuk mengukur tingkat religiusitas, dalam penelitian ini penulis

menggunakan lima aspek dari Glock dan Stark (1965), yaitu Ritual

Involvement (Praktek Agama), Ideological Involvement (Keyakinan),

Intelectual Involvement (Pengetahuan Beragama), Experential

Involvement (Pengalaman Beragama), dan Consequential

Involvement (Pengamalan). Penelitian ini menggunakan kelima aspek

diatas karena memiliki definisi lebih yang jelas dan lengkap

mencakup berbagai segi kehidupan beragama.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

27

3. Faktor yang Memengaruhi Religiusitas

Thouless (dalam Marsal, 2008) membedakan faktor-faktor yang

mempengaruhi religiusitas menjadi empat macam, yaitu:

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan

sosial.

Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan

keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orangtua, tradisi-tradisi

sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri

dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh

lingkungan itu.

b. Faktor pengalaman

Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk

sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan,

konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan.

c. Faktor kehidupan

Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat,

yaitu:

a. Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan

b. Kebutuhan akan cinta kasih

c. Kebutuhan untuk memperoleh harga diri

d. Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian

d. Faktor intelektual

Berkaitan dengan proses penalaran verbal dan rasionalisasi.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

28

4. Fungsi Religiusitas bagi Manusia

Menurut Hendropuspito (1990) fungsi religiusitas bagi manuia

meliputi :

a. Fungsi Edukatif

Manusia mempercayakan fungsi edukatif pada agama yang

mencangkup tugas mengajar dan membimbing. Keberhasilan

pendidikan terletak pada pendayagunaan nilai-nilai rohani yang

merupakan pokok-pokok kepercayaan agama. Nilai yang

diresapkan antara lain makna dan tujuan hidup, hati nurani, rasa

tanggung jawab dan Tuhan.

b. Fungsi Penyelamatan

Agama dan segala ajarannya memberikan jaminan kepada

manusia keselamatan didunia akhirat.

c. Fungsi Pengawasan Sosial

Agama ikut bertanggung jawab menyeleksi kaidah-kaidah social

yang ada, mengukuhkan yang baikdan meolak kaidah yang buruk

agar selanjutnya ditinggalkan dan dianggap sebagai larangan.

Agama juga memberi sanksi-sanksi yang harus dijatuhkan

kepada orang yang melanggar larangan dan mengadakan

pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.

d. Fungsi Memupuk Persaudaraan

Persamaan keyakinan merupakan salah satu persamaan yang

bisa memupuk persaudaraan yang kuat. Manusia dalam

persaudaraan bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja,

melainkan seluruh pribadinya juga dilibatkan dalam suatu

keintiman yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang

dipercaya bersama.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

29

e. Fungsi Transformative

Agama mampu melakukan perubahan terhadap bentuk kehidupan

baru. Hal ini dapat berarti pula menggantikan nilai-nilai baru.

Transformasi ini dilakukan pada nilai-nilai adat yang kurang

manusiawi. Sebagai contoh dalam ajaran agama Islam pada masa

kaum Qurais pada jaman nabi Muhammad yang memiliki

kebiasaan jahiliyah, karena kedatangan Islam sebagai agama

yang menanamkan nilai-nilai baru sehingga nilai-nilai lama yang

tidak manusiawi dihilangkan.

C. Retardasi Mental

1. Definisi Retardasi Mental

Istilah retardasi mental digunakan dalam masyarakat

Indonesia untuk mendefinisikan suatu keadaan perkembangan jiwa

yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh

terjadinya hendaya ketrampilan selama masa perkembangan,

sehingga berpengaruh pada tingkat perkembangan secara

menyeluruh, misal kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial

(Maslim, 2002).

Retardasi mental menurut Diagnostic and Statical Manual of

Mental Disorder (DSM-IV-TR, 2000) sebagai (1) fungsi intelektual

yang sangat dibawah rata-rata bersama dengan, (2) kurangnya

perilaku adaptif; dan (3) terjadi sebelum usia 18 tahun.

Definisi yang diberikan oleh AAMR (American Association on

Mental Retardation) mengenai retardasi mental adalah sebagai

berikut: “Keterbelakangan mental (retardasi mental) menunjukkan

adanya keterbatasan dalam fungsi intelektual yang dibawah rata-rata,

dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

30

keterampilan adaptif seperti komunikasi, merawat diri sendiri,

keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis,

waktu luang dan lain-lain. Keadaan ini tampak sebelum usia 18

tahun.” (Hallahan dan Kauffman, dalam Mangunsong, 1998).

Kemudian, pada tahun 2002, AAMR mengeluarkan revisi ke-10

mengenai retardasi mental bahwa retardasi mental merupakan bagian

dari disability yang ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik

pada fungsi intelektual dan perilaku adaptif dan terekspresi baik

dalam kemampuan adaptif secara konseptual, sosial dan praktikal.

Terlihat dari ketiga pengertian di atas sama-sama menjelaskan bahwa

retardasi mental merupakan keterbatasan fungsi intelektual dan

perilaku adaptif selama masa perkembangan atau sebelum usia 18

tahun.

2. Kriteria Retardasi Mental

Kriteria Retardasi Mental dalam DSM-IV-TR (2000)

a. Fungsi intelektual yang secara signifikan berada dibawah rata-

rata, IQ kurang dari 70.

b. Kurangnya fungsi sosial adaptif dalam minimal dua bidang

berikut: komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga,

ketrampilan interpersonal, penggunaan sumber daya komunitas,

kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, ketrampilan

akademik fungsional, rekreasi, pekerjaan, kesehatan dan

keamanan.

c. Onset sebelum usia 18 tahun.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

31

3. Klasifikasi

Berikut ini adalah klasifikasi retardasi mental yang ditunjukkan

dengan bagan (Wiguna & Ika, 2005):

a. Retardasi Mental Ringan (IQ 50-55 hingga 70). Sekitar 85 persen

dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70 diklasifikasikan

dalam kelompok retardasi mental ringan. Mereka tidak selalu

dapat dibedakan dari anak-anak normal sebelum mulai

bersekolah. Di usia remaja akhir biasanya mereka dapat

mempelajari ketrampilan akademik yang kurang lebih sama

dengan level kelas 6. Ketika dewasa mereka mampu melakukan

pekerjaan yang tidak memerlukan ketrampilan atau di balai karya

di rumah penampungan, meskipun mereka mungkin

membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan.

Mereka bisa menikah dan mempunyai anak.

b. Retardasi Mental Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55). Sekitar 10

persen dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70

diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental sedang,

memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang

menghambat ketrampilan motorik yang normal, seperti

memegang dan mewarnai didalam garis, dan ketrampilan motorik

kasar, seperti berlari dan memanjat. Mereka mampu, dengan

banyak bimbingan dan latihan, berpergian sendiri di daerah lokal

yang tidak asing bagi mereka. Banyak yang tinggal diisntitusi

penampungan, namun sebagian besar hidup bergantung bersama

keluarga dalam rumah-rumah bersama disupervisi.

c. Retardasi Mental Berat (IQ 20-25 hingga 35-40). Di antara

mereka yang memiliki IQ kurang dari 70, sekitar 3 hingga 4

persen masuk dalam kelompok retardasi mntal parah. Orang-

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

32

orang tersebut umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak lahir

dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Sebagian

besar dimasukan dalam institusi penampungan dan membutuhkan

bantuan dan supervise terus-menerus. Orang dewasa yang

mengalami retardasi mental parah dapat berperilaku ramah,

namun biasanya hanya dapat berkomunikasi secara singkat

dilevel yang sangat konkret. Mereka hanya dapat melakukan

sedikit aktivitas secara mandiri dan sering kali terlihat lesu karena

kerusakan otak mereka yang parah menjadikan mereka relatif

pasif dan kondisi kehidupan mereka hanya memberikan sedikit

stimulasi. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat

sederhana dengan supervisi terus-menerus.

d. Retardasi Mental Sangat Berat (IQ dibawah 20-25). Hanya 1

hingga 2 persen dari mereka yang mengalami retardasi mental

yang masuk dalam kelompok retardasi mental sangat berat yang

membutuhkan supervisi total dan seringkali harus diasuh

sepanjang hidup mereka. Sebagian besar memiliki abnormalitas

fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan

sendiri kemanapun. Tingkat kematian dimasa kanak-kanak pada

orang-orang yang mengalami retardasi mental sangat berat sangat

tinggi.

4. Penyebab Retardasi Mental

a. Faktor Prenatal

Penggunaan berat alkohol pada perempuan hamil dapat

menimbulkan gangguan pada anak yang mereka lahirkan yang

disebut dengan fetal alcohol syndrome. Faktor-faktor prenatal lain

yang memproduksi retardasi mental adalah ibu hamil yang

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

33

menggunakan bahan-bahan kimia, dan nutrisi yang buruk.

(Durand, 2007).

Penyakit ibu yang juga menyebabkan retardasi mental adalah

sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Komplikasi kelahiran,

seperti kekurangan oksigen dan cidera kepala, menempatkan anak

pada resiko lebih besar terhadap gangguan retardasi mental.

Kelahiran prematur juga menimbulkan resiko retardasi mental

dan gangguan perkembangan lainnya. Infeksi otak, seperti

encephalitis dan meningitis juga dapat menyebabkan retardasi

mental. Anak-anak yang terkena racun, seperti cat yang

mengandung timah, juga dapat terkena retardasi mental (Nevid,

2003).

b. Faktor Psikososial

Seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang

tidak memberikan stimulasi intelektual, penelantaran, atau

kekerasan dari orang tua dapat menjadi penyebab atau memberi

kontribusi dalam perkembangan retardasi mental (Nevid, 2002).

Anak-anak dalam keluarga yang miskin mungkin kekurangan

mainan, buku, atau kesempatan untuk berinteraksi dengan orang

dewasa melalui c ara-cara yang menstimulasi secara intelektual

akibatnya mereka gagal mengembangkan keterampilan bahasa

yang tepat atau menjadi tidak termotivasi untuk belajar

keterampilan-keterampilan yang penting dalam masyarakat

kontemporer. Beban-beban ekonomi seperti keharusan memiliki

lebih dari satu pekerjaan dapat menghambat orang tua untuk

meluangkan waktu membacakan buku anak-anak, mengobrol

panjang lebar, dan memperkenalkan mereka pada permainan

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

34

kreatif. Lingkaran kemiskinan dan buruknya perkembangan

intelektual dapat berulang dari generasi ke generasi (Nevid,

2002).

Kasus yang berhubungan dengan aspek psikososial disebut

sebagai retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation).

Pengaruh kebudayaan yang mungkin memberikan kontribusi

terhadap gangguan ini termasuk penganiayaan, penelantaran, dan

deprivasi sosial (Durand, 2007).

c. Faktor Biologis

1. Pengaruh genetik

Kebanyakan peneliti percaya bahwa di samping

pengaruh-pengaruh lingkungan, penderita retardasi mental

mungkin dipengaruhi oleh gangguan gen majemuk.

Salah satu gangguan gen dominan yang disebut

tuberous sclerosis, yang relatif jarang, muncul pada 1 diantara

30.000 kelahiran. Sekitar 60% penderita gangguan ini

memiliki retardasi mental. Phenyltokeltonuria (PKU)

merupakan gangguan genetis yang terjadi pada 1 diantara

10.000 kelahiran. Gangguan ini disebabkan metabolisme

asam amino Phenylalanine yang terdapat pada banyak

makanan. Asam Phenylpyruvic, menumpuk dalam tubuh

menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang

mengakibatkan retardasi mental dan gangguan emosional.

2. Pengaruh kromosomal

Jumlah kromosom dalam sel-sel manusia yang

berjumlah 46 baru diketahui 50 tahun yang lalu. Tiga tahun

berikutnya, para peneliti menemukan bahwa penderita Down

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

35

Syndrome memiliki sebuah kromosom kecil tambahan.

Semenjak itu sejumlah penyimpangan kromosom lain

menimbulkan retardasi mental telah teridentifikasi yaitu

Down syndrome dan Fragile X syndrome.

5. Prevalansi Retardasi Mental

Retardasi mental yang diakibatkan oleh abnormalitas genetis,

menyebabkan retardasi mental pada 1000-1500 pria dan hambatan

mental pada setiap 2000-2500 perempuan. Perempuan biasanya

memiliki dua kromosom X sementara laki-laki hanya satu. Pada

perempuan, memiliki dua kromosom X tampaknya memberikan

perlindungan dari gangguan ini, bila kerusakan terjadi pada salah

satunya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa gangguan ini umumnya

akan berdampak akan lebih parah pada laki-laki dari pada perempuan

(Angier, 1991).

Kira-kira 90% penyandang retardasi mental termasuk kategori

retardasi mental ringan (IQ 50-70), dan mempresentasikan 1%

sampai 3% dari populasi secara umum.

Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi.

Di Indonesia 1-3 % penduduknya menderita kelainan ini. Insidennya

sulit diketahui karena retardasi mental kadang-kadang tidak dikenali

sampai anak-anak usia pertengahan dimana retardasinya masih dalam

taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak

umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih

banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

D. Ibu dengan Anak Retardasi Mental

Kehadiran anak yang menderita retardasi mental biasanya

menimbulkan efek atau reaksi tertentu di lingkungan keluarga.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

36

Menurut Kenney (Hutt, 1976) seorang ibu yang mempunyai anak

yang retardasi mental cenderung kurang dewasa dan perkembangan

egonya berada pada tingkat bawah, hal ini disebabkan karena mereka

tidak mampu menerima kondisi anak mereka yang mengalami

retardasi mental. Kondisi yang seperti ini yang dapat menyebabkan

stres.

Floyd & Zmich (1991) dalam penelitiannya mengatakan ibu-

ibu yang memiliki anak retardasi mental biasanya bersikap negatif

pada diri dan pasangannya. Perasaan yang dirasakan ibu lebih pada

menyalahkan diri sendiri dan pasangan sebagai penyebab kecacatan

anaknya. Selain itu problem yang dihadapi ibu yang memiliki anak

cacat mental adalah stres yang berkaitan dengan pengasuhan anak,

keterbatasan kecerdasan anak dan masa depan anak itu sendiri.

Menurut Smith (1997) ada enam perasaan yang biasanya

dialami ibu-ibu yang memiliki anak dengan gangguan khusus yang

salah satunya adalah anak retardasi mental yaitu :

1. Penyangkalan

Biasanya ibu tidak mampu menghadapi apa yang terjadi pada

anaknya. Seorang ibu selalu berfikir apa yang terbaik buat

anaknya, tetapi kenyataan yang harus dihadapi tidak dapat

dikuasai dengan baik.

2. Takut

Ibu merasa sangat takut dengan kondisi anaknya yang tidak

berkembang seperti anak seusianya. Bagaimana masa depan

anak, penerimaan keluarganya atau kemandirian anak setelah

beberapa tahun yang akan datang. Ketakutan ini terus

berkembang, dan kadang disebabkan sulitnya penanganan anak

dengan kebutuhan khusus.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

37

3. Rasa bersalah

Biasanya ibu diselimuti oleh perasaan bersalah dengan

kehadiran anak tidak sesuai dengan harapan. Sebagian ibu ada

yang merasa bahwa gangguan itu disebabkan oleh kesalahan

dirinya, kekurang hati-hatiannya pada saat kehamilan.

4. Kebingungan

Sebagai orangtua khususnya ibu merasa bahwa tugas yang

dihadapi akan semakin berat dengan lahirnya anak yang tidak

berkembang dengan normal. Pikiran negative yang muncul

menyangkut pengasuhan dan pendidikan anak menjadikan

seorang ibu bingung apa yang harus dikerjakan.

5. Putus asa

Pada saat orangtua mengerti bahwa anak yang lahir tidak

sesuai dengan yang diharapkan, mereka merasa putus asa, putus

harapan atau bahkan tidak dapat berbuat apa-apa.

6. Kekecewaan

Bagi sebagian orangtua kekecewaan yang mendalam dapat

berubah kadang sampai pada taraf keinginan untuk membunuh

anak atau menyingkirkan dari keluarganya. Jadi dapat

disimpulkan bahwa kondisi yang dialami ibu-ibu pada umumnya

ketika mempunyai anak yang mengalami retardasi mental adalah

sedih, kecewa, menyangkal atau menolak mempunyai anak yang

mengalami cacat mental bahkan berputus asa. Kondisi yang

dialami ibu-ibu tersebut merupakan salah satu pemicu timbulnya

stres.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

38

B. Hubungan antara Religiusitas dengan Resiliensi Ibu yang

Mempunyai Anak Retardasi Mental

Beberapa literatur yang membahas mengenai adaptasi ibu yang

memiliki anak dengan kondisi retardasi mental menjelaskan

mengenai pentingnya peranan institusi yang melayani bidang ini,

mengetahui bagaimana tingkat religiusitas dan ketahanannya, baik

secara umum maupun melalui respek bahwa setiap ibu memiliki

entitas yang unik.

Peneliti mencatat pentingnya memahami pandangan seorang ibu

akan kepercayaan religiusitas, memenuhi kebutuhan utama dari hari

ke hari, adanya proses saling berbagi antara anggota keluarga lainya,

merupakan cara untuk mengkonstruksi atau merepresentasikan

sebuah realitas (Walsh, 2003). Kepercayaan ini dapat membuat ibu

beradaptasi terhadap situasi kehidupan, menjalani hidup dengan

bermakna, dan mengkoordinasikan pola interaksi dan rutinitas pada

setiap anggota keluarga.

Religiusitas merefleksikan pandangan ibu mengenai situasi

yang dihadapi atau pandangan mereka mengenai dunia, hal ini

merupakan dasar atau prinsip untuk mengroganisasikan

kehidupannya, dan menunjukan aktivitas peran yang penting bagi

figurnya sebagai seorang ibu.

Begitupun dengan resiliensi yang dimiliki seorang ibu dalam

sebuah kondisi krisis, selalu menyediakan adanya harapan dan

optimisme dalam menghadapi masa-masa sulit dalam kehidupan,

kebutuhan dalam memaknai hidup, dan sebagai motivasi dalam

hidup. Kemampuan ibu dalam memberikan makna yang positif

terhadap suatu peristiwa dapat menjadi faktor yang dapat

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

39

meningkatkan resiliensi dalam keluarga (Patterson dan Blum, dalam

King, dkk, 2009).

Ada fakta yang mengatakan bahwa religiusitas dalam keluarga

menjadi kunci dari proses yang terkait dengan resiliensi. Resiliensi

merupakan kemampuan untuk dapat menentukan prioritas. Prioritas

tersebut terkait dengan kemampuan untuk mengorganisasikan

rutinitas yang harus sesuai dengan kebutuhan.

Penelitian menyatakan bahwa pengalaman ibu yang memiliki

anak dengan kondisi retardasi mental, biasanya memiliki

pengetahuan yang sedikit mengenai bagaimana dia beradaptasi

dengan kondisi tersebut. Selain itu, pengalaman ibu dalam

membesarkan anak dengan kondisi retardasi mental dapat

memberikan insight, yaitu kemampuan untuk memahami dan

memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan

nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi (Virtiara, 2011).

Ibu dapat menyadari setiap religiusitas yang dimiliki dalam dirinya

dan membantu mereka untuk memahami hal-hal yang terjadi pada

anak mereka. Mereka menjadi lebih dapat menerima kehadiran anak

dan memahami kondisi anak, yang kemudian penerimaan diri ini

akan berpengaruh pada tingkat ketahanan (resiliensi) yang dimiliki

ibu dalam mengasuh anaknya dengan kondisi anak yang tidak

normal.

Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa resiliensi sangat terkait

dengan pemahaman religiusitas yang diadopsi. Religiusitas tersebut

membantu untuk menentukan ketahanan seorang ibu dalam

menghadapi masa-masa sulit. Hal ini dikarenakan religiusitas

merupakan sebagai landasan utama bagi individu khususnya ibu pada

anak retardasi mental untuk menemukan ketenangan diri dan batin

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2880/3/T1_802007090_BAB II.pdf · keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan

40

dalam situasi yang sulit, yang kemudian dimana ketenangan diri dan

batin ini dapat memunculkan suatu bentuk ketahanan diri (resiliensi)

dalam diri ibu ditengah keadaannya yang krisis.

C. Hipotesis

Berdasarkan teori yang dikemukan diatas, maka penelitian ini

diajukan hipotesis:

Ada hubungan positif antara religiusitas dengan resiliensi pada

ibu yang memiliki anak retardasi mental. Semakin tinggi religiusitas

maka semakin tinggi resiliensi ibu yang memiliki anak retardasi

mental. Semakin rendah religiusitas maka semakin rendah resiliensi

pada ibu yang memiliki anak retardasi mental.