Upload
doancong
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah
bagaimana gambaran religiusitas dan resiliensi, serta hubungan kedua
variabel tersebut pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Oleh karena
itu, pada bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai resiliensi, definisi
resiliensi dan elemen-elemen apa saja yang ada dalam resiliensi. Setelah itu,
penulis akan menjelaskan teori-teori yang terkait dengan definisi religiusitas
dan elemen-elemen apa saja yang ada dalam religiusitas. Penulis juga akan
menjelaskan pengertian dari anak retardasi mental serta menjelaskan kondisi
ibu yang memiliki anak tersebut. Pada bagian akhir peneliti akan
menjelaskan bagaimana dinamika antara resiliensi dan religiusitas..
A. Resiliensi
1. Definisi Resiliensi
Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk
bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert
(2005) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah
kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada
level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh
tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah
cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan
kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan
kekerasan.
Penjelasan mengenai resiliensi semakin mengalami
perkembangan, Luthar, Chicceti, dan Becker (2003) menjelaskan
bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dan pulih dari
tantangan hidup yang mengganggu.
12
Lietz (2006) juga menjelaskan konsep resiliensi. Ia
menyatakan resiliensi sebagai suatu konstruk, yaitu resiliensi
mengacu pada situasi dimana orang dapat menghindari konsekuensi
negative biasanya terkait dengan resiko tinggi.
Reivich dan Shatte (2002) juga menjelaskan resiliensi adalah
kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang
berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam
keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan
(adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya.
Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan
manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas
kesulitan yang dialaminya. Grotberg mengatakan bahwa resiliensi
bukanlah hal mistis dan tidak hanya ditemui pada orang-orang
tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui.
Lebih jauh Walsh (2006) menjelaskan bahwa setiap individu
pernah mengalami masalah dalam kehidupan. Setiap individu
memiliki keunikan masing-masing dalam merespon masalah tersebut.
Daya tahan individu dalam merespon masalah tersebut pun berbeda-
beda. Ada yang dapat bertahan lama, ada pula yang hanya sementara.
Beberapa individu dapat melalui masalahnya, tapi beberapa dari
mereka tidak dapat bertahan menghadapi masalahnya. Kemampuan
inilah yang disebut dengan resiliensi oleh Walsh.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
resiliensi merupakan kemampuan individu untuk mencegah
konsekuensi negatif dari peristiwa seperti situasi yang penuh tekanan,
dan menghadapi masa-masa sulit, dan menjadi bangkit kembali
setelah melalui peristiwa tersebut.
13
Definisi resiliensi ini akan dikaitkan dengan resiliensi pada
ibu yang memiliki anak retardasi mental.
2. Aspek Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh aspek resiliensi, yaitu
sebagai berikut:
a. Emotion Regulation
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di
bawah kondisi yang menekan. Individu yang memiliki
kemampuan regulasi emosi yang baik dapat mengendalikan
dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas,
sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu
masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif,
merupakan hal yang sehat dan konstruktif apabila dilakukan
dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah
satu kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatte
(2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan
regulasi emosi, yaitu ketenangan (calmness) dan fokus (focus).
Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini akan
memiliki kemampuan untuk meredakan emosi yang ada,
memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi
stress yang sedang dialaminya pada saat itu.
b. Impulse Control
Pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari
dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls
rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang
cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu
14
seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah,
impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak
terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa
kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan
dalam hubungan sosial.
c. Optimism
Individu yang resilien adalah individu yang optimis.
Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita
cemerlang bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya
memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang
mungkin terjadi di masa depan.
d. Causal Analysis
Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan
yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu
mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka
hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang
sama.
Seligman mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang
erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki
individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga
dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak
selalu), dan pervasive (semua-tidak semua). Individu dengan gaya
berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan keyakinan bahwa
penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya), hal
ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah
(Selalu), serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi
15
seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang
memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua”
meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh
orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih
memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan
yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya
(Tidak semua).
Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam
konsep resiliensi. Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua”
tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka
hadapi. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya
berpikir “Tidak selalu - Tidak semua” dapat merumuskan solusi
dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada. Individu yang resilien adalah individu
yang memiliki fleksibelitas kognitif. Mereka mampu
mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan
kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah
satu gaya berpikir explanatory.
Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas
kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka
atau membebaskan mereka dari rasa bersalah.
e. Empathy
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu
untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis
orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup
mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang
ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi
16
suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan
dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang
memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan
sosial yang positif.
Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan
kesulitan dalam hubungan sosial. Individu-individu yang tidak
membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda
nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada
posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan
memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan
individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat
sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun
hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia
untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang
rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu
yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan
emosi orang lain.
f. Self-efficacy
Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang
berhasil. Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan
bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan
mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal yang sangat
penting untuk mencapai resiliensi.
g. Reaching out
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi
lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki
kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari
17
keterpurukan, namun lebih dari itu faktor yang terakhir dari
resiliensi adalah reaching out. Reaching out adalah kemampuan
individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari
kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.
Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out,
hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk
sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang
memalukan. Mereka adalah individu- individu yang lebih
memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih
kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan
hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan
kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan (overestimate)
dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi
di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan
untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir.
3. Karakteristik individu yang memiliki resiliensi
(Wolin & Wolin 1999) menjelaskan mengenai karakteristik dari
Individu yang memiliki resiliensi
a. Insight
Insight adalah kemampuan untuk memahami dan
memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar,
dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi,
individu yang memiliki insight mampu menanyakan
pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur.
Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri
dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai
situasi.
18
b. Kemandirian
Kemandirian ialah kemampuan untuk mengambil jarak
secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam
hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk
menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan
peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap
ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat
diperlukan. Ia juga memiliki orientasi yang positif dan
optimistik pada masa depan.
c. Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan
yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan,
ataupun memiliki role model yang sehat. Karakteristik ini
berkembang pada masa kanak-kanak dalam perilaku kontak
(contacting), yaitu mengembangkan ikatan-ikatan kecil
dengan orang lain yang mau terlibat secara emosional.
Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri
(recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan teman sebaya
yang suportif dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan
menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu
ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik
dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima.
d. Inisiatif
Inisiatif adalah keinginan kuat untuk bertanggung jawab
akan hidup. Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan
reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu
berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah,
serta meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi
19
hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai
rangkaian tantangan dimana mereka yang mampu
mengatasinya. Anak-anak yang resilien memiliki tujuan yang
mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka
menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di
sekolah.
e. Kreatifitas
Kreatifitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai
pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi
tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam
perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan
konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan
yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang
digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta
membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat
menghadapi kesulitan. individu yang resilien mampu secara
kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan
masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu,
bentuk-bentuk kreativitas juga terlihat dalam minat
kegemaran, kegiatan kreatif dari imajinatif.
f. Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari
kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan
kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien
menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan
hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor
membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.
20
g. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan
keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu
yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat
keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain.
Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam
membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah
kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani.
4. Faktor yang membentuk Resiliensi
Grotberg (1995) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang
membentuk resiliensi, yaitu :
a. I Have
I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber
dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari
akan siapa individu membutuhkan dukungan eksternal dan
sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan
dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk
mengembangkan resilience.
b. I Am
I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam
diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan
keyakinan di dalam diri individu.
c. I Can
I Can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk
mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi
dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai
seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial)
21
dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat
membutuhkannya.
5. Faktor yang Memengaruhi Resiliensi
Everall (2006) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi
resiliensi, yaitu:
a. Faktor individual
Faktor individual meliputi kemampuan kognitif
individu, konsep diri, harga diri, dan kompetensi sosial
yang dimiliki individu. Menurut Holaday (1997, h.350)
keterampilan kognitif berpengaruh penting pada resiliensi
individu. Inteligensi minimal rata-rata dibutuhkan bagi
pertumbuhan resiliensi pada diri individu karena resiliensi
sangat terkait erat dengan kemampuan untuk memahami
dan menyampaikan sesuatu lewat bahasa yang tepat,
kemampuan membaca, dan komunikasi non verbal.
Resiliensi juga dihubungkan dengan kemampuan untuk
melepaskan pikiran dari trauma dengan menggunakan
fantasi dan harapan-harapan yang ditumbuhkan pada diri
individu yang bersangkutan.
b. Faktor keluarga
Faktor keluarga meliputi dukungan yang bersumber
dari orang tua, yaitu bagaimana cara orang tua untuk
memperlakukan dan melayani anak. Selain dukungan dari
orang tua struktur keluarga juga berperan penting bagi
individu.
c. Faktor Komunitas
Faktor komunitas meliputi kemiskinan dan
keterbatasan kesempatan kerja. Delgado (1995) dalam
22
LaFramboise et al., (2006, h. 195-196) menambahkan dua
hal terkait dengan faktor individual, yaitu :
1. Gender
Gender memberikan kontribusi bagi resiliensi
individu. Resiko kerentanan terhadap tekanan
emosional, perlindungan terhadap situasi yang
mengandung resiko, dan respon terhadap kesulitan
yang dihadapi dipengaruhi oleh gender.
2. Keterikatan dengan kebudayaan
Keterikatan dengan budaya meliputi
keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas
terkait dengan budaya setempat berikut ketaatan
terhadap nilai-nilai yang diyakini dalam
kebudayaan tersebut. Beuf (1990) dalam Holaday
(1997, h.349) mengungkapkan bahwa resiliensi
dipengaruhi secara kuat oleh kebudayaan, baik
sikap sikap yang diyakini dalam suatu budaya,
nilai-nilai, dan standard kebaikan dalam suatu
masyarakat. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan
resiliensi dipengaruhi oleh faktor - faktor dari
dalam individu (internal) dan faktor-faktor dari luar
individu (eksternal). Faktor internal meliputi,
kemampuan kognitif, konsep diri, harga diri,
kompetensi sosial yang dimiliki individu, gender,
serta keterikatan individu dengan budaya. Faktor
eksternal mencakup faktor dari keluarga dan
komunitas.
23
B. Religiusitas
1. Definisi Religiusitas
Menurut Hardjana (1993), religiusitas adalah kata kerja yang
berasal dari kata benda religion. Religi itu sendiri berasal dari kata re
dan ligare artinya meghubungkan kembali yang telah putus, yaitu
menghubungkan kembali hubungan antara Tuhan dan manusia yang
telah terputus oleh dosa-dosanya.
Mangunwijaya (Indrastuti, 2005) mengatakan bahwa
religiusitas diartikan sebagai keyakinan seseorang terhadap agama
yang dianutnya dan juga pengalaman dan penghayatan di dalam
membangun hubungan dengan Tuhan yang melibatkan perasaan
pasrah, sukarela, ikhlas, dan juga hormat serta takjub yang pada
akhirnya diteruskan dalam sikap hidup dan perilakunya.
Djarir (2004) mengatakan religiusitas merupakan suatu
kesatuan unsur-unsur yang komprehensif yang menjadikan seseorang
disebut sebagai orang beragama (being religious) dan bukan sekedar
mengaku mempunyai agama (having religion). Religiusitas itu
sendiri meliputi pengetahuan agama, keyakinan agama, pengalaman
ritual agama. Perilaku (moralitas) agama, dan sikap social
keagamaan.
Glock and Stark (1965) mendeskripsikan religiusitas sebagai
suatu simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku
terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan
yang dihayati sebagai yang paling maknawi.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengertian
religiusitas menurut Glock dan Stark (1965) yaitu religiusitas sebagai
simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang
terlembaga, yang semuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang
24
dihayati sebagai hal paling maknawi. Dan pengertian ini akan
dikaitkan dengan religiusitas pada ibu yang memiliki anak retardasi
mental.
2. Aspek Religiusitas
Dari pengertian tersebut, penulis menurunkannya menjadi 5
aspek religiusitas menurut Glock dan Stark (1965) yaitu :
a. Ritual Involment
Sering juga disebut aspek praktek agama. Penganut agama
tertentu melaksanakan aktivitas-aktivitas yang diwajibkan dan
dianjurkan oleh agamanya, seperti berdoa, puasa, kebaktian,
korban, sedekah, sholat, haji, misa kudus, dan sebagainya. Aspek
ini dibagi menjadi, yaitu :
1. Ritual Practice
Mengacu pada kumpulan tata cara, aktivitas suci, dan tinjauan
religius dan mengambil perjamuan suci, wudu selama sholat.
2. Devotion Practice
Lebih bersifat informal, spontan, dan cenderung lebih tertutup
dan dilakukan secara pribadi oleh individu.
b. Ideological Involvement.
Adanya pengharapan-pengharapan dimana orang-orang religius
berpegang teguh pada suatu teologis atau ajaran tertentu yang
mengakui kebenaran-kebenaran doktrin-doktrin tersebut,
misalnya apakah seseorang mempercayai adanya setan, malaikat,
surga, neraka, karma, mukjizat dan sebagainya.
c. Intellectual Involvement
Merupakan harapan-harapan di mana orang-orang beragama
paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar-
25
dasar keyakinan serta pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan
dilaksanakan.
d. Experiental Involvement
Pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan
dirasakan oleh seseorang yang beragama sebagai suatu keajaiban
yang datang dari Tuhan. Hal-hal ini dapat diwujudkan dengan
perasaan syukur kepada Tuhan, perasaan mendapatkan teguran
dari Tuhan, perasaan bahwa doa-doanya sering terkabul, serta
perasaan bahwa dirinya dekat dengan Tuhan saat berdoa. Aspek
ini dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Confirming Experience
Merupakan bentuk kontak terlihat antara manusia dengan
Tuhan, kesadaran khusus mengenai kehadiran sesuatu yang
bersifat ke-Tuhanan sehingga seseorang dapat merasakan
kehadiran Tuhan didekatnya.
2. Savational Experience
Gambaran dari sesuatu peristiwa selama sesorang merasakan
kehadiran Tuhan yang hendak menyampaikan perintah dan
kebijaksanaan-Nya sehingga orang tersebut merasakan bahwa
Tuhan telah memberinya berkat khusus dan menganugerahkan
kedudukan istimewa.
e. Consequential Involvement
Seberapa tingkatan seseorang dalam berperilaku dan dimotivasi
oleh ajaran-ajaran agamanya. Perilaku ini lebih dalam hal
perilaku didunia yaitu bagaimana seorang individu berelasi
dengan dunianya terutama dengan sesamanya. Misalnya apakah
ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang
kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya.
26
Sementara itu Jalaludin (2010) mengungkapkan beberapa aspek
religiusitas, diantaranya:
a. Bersifat edukatif yaitu membimbing untuk menjadi lebih baik
dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agamanya masing-
masing.
b. Berfungsi penyelamat, keselamatan yang diberikan oleh agama
kepada penganutnya dalam keselamatan dunia dan akhirat serta
keselamatan ini dicapai melalui keimanan kepada Tuhan.
c. Berfungsi sebagai perdamaian, melalui agama seseorang yang
bersalah, berdosa, dapat mencapai kedamaian batin melalui
tuntutan agama.
d. Berfungsi sebagai control sosial,dianggap sebagai norma sebagai
agama dapat berfungsi sebgai pengawas social baik secara
individu maupun kelompok.
e. Berfungsi transformasi, mengubah kehidupan pribadi seseorang
atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya.
Untuk mengukur tingkat religiusitas, dalam penelitian ini penulis
menggunakan lima aspek dari Glock dan Stark (1965), yaitu Ritual
Involvement (Praktek Agama), Ideological Involvement (Keyakinan),
Intelectual Involvement (Pengetahuan Beragama), Experential
Involvement (Pengalaman Beragama), dan Consequential
Involvement (Pengamalan). Penelitian ini menggunakan kelima aspek
diatas karena memiliki definisi lebih yang jelas dan lengkap
mencakup berbagai segi kehidupan beragama.
27
3. Faktor yang Memengaruhi Religiusitas
Thouless (dalam Marsal, 2008) membedakan faktor-faktor yang
mempengaruhi religiusitas menjadi empat macam, yaitu:
a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan
sosial.
Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan
keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orangtua, tradisi-tradisi
sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri
dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh
lingkungan itu.
b. Faktor pengalaman
Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk
sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan,
konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan.
c. Faktor kehidupan
Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat,
yaitu:
a. Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan
b. Kebutuhan akan cinta kasih
c. Kebutuhan untuk memperoleh harga diri
d. Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian
d. Faktor intelektual
Berkaitan dengan proses penalaran verbal dan rasionalisasi.
28
4. Fungsi Religiusitas bagi Manusia
Menurut Hendropuspito (1990) fungsi religiusitas bagi manuia
meliputi :
a. Fungsi Edukatif
Manusia mempercayakan fungsi edukatif pada agama yang
mencangkup tugas mengajar dan membimbing. Keberhasilan
pendidikan terletak pada pendayagunaan nilai-nilai rohani yang
merupakan pokok-pokok kepercayaan agama. Nilai yang
diresapkan antara lain makna dan tujuan hidup, hati nurani, rasa
tanggung jawab dan Tuhan.
b. Fungsi Penyelamatan
Agama dan segala ajarannya memberikan jaminan kepada
manusia keselamatan didunia akhirat.
c. Fungsi Pengawasan Sosial
Agama ikut bertanggung jawab menyeleksi kaidah-kaidah social
yang ada, mengukuhkan yang baikdan meolak kaidah yang buruk
agar selanjutnya ditinggalkan dan dianggap sebagai larangan.
Agama juga memberi sanksi-sanksi yang harus dijatuhkan
kepada orang yang melanggar larangan dan mengadakan
pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.
d. Fungsi Memupuk Persaudaraan
Persamaan keyakinan merupakan salah satu persamaan yang
bisa memupuk persaudaraan yang kuat. Manusia dalam
persaudaraan bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja,
melainkan seluruh pribadinya juga dilibatkan dalam suatu
keintiman yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang
dipercaya bersama.
29
e. Fungsi Transformative
Agama mampu melakukan perubahan terhadap bentuk kehidupan
baru. Hal ini dapat berarti pula menggantikan nilai-nilai baru.
Transformasi ini dilakukan pada nilai-nilai adat yang kurang
manusiawi. Sebagai contoh dalam ajaran agama Islam pada masa
kaum Qurais pada jaman nabi Muhammad yang memiliki
kebiasaan jahiliyah, karena kedatangan Islam sebagai agama
yang menanamkan nilai-nilai baru sehingga nilai-nilai lama yang
tidak manusiawi dihilangkan.
C. Retardasi Mental
1. Definisi Retardasi Mental
Istilah retardasi mental digunakan dalam masyarakat
Indonesia untuk mendefinisikan suatu keadaan perkembangan jiwa
yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh
terjadinya hendaya ketrampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat perkembangan secara
menyeluruh, misal kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial
(Maslim, 2002).
Retardasi mental menurut Diagnostic and Statical Manual of
Mental Disorder (DSM-IV-TR, 2000) sebagai (1) fungsi intelektual
yang sangat dibawah rata-rata bersama dengan, (2) kurangnya
perilaku adaptif; dan (3) terjadi sebelum usia 18 tahun.
Definisi yang diberikan oleh AAMR (American Association on
Mental Retardation) mengenai retardasi mental adalah sebagai
berikut: “Keterbelakangan mental (retardasi mental) menunjukkan
adanya keterbatasan dalam fungsi intelektual yang dibawah rata-rata,
dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari
30
keterampilan adaptif seperti komunikasi, merawat diri sendiri,
keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis,
waktu luang dan lain-lain. Keadaan ini tampak sebelum usia 18
tahun.” (Hallahan dan Kauffman, dalam Mangunsong, 1998).
Kemudian, pada tahun 2002, AAMR mengeluarkan revisi ke-10
mengenai retardasi mental bahwa retardasi mental merupakan bagian
dari disability yang ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik
pada fungsi intelektual dan perilaku adaptif dan terekspresi baik
dalam kemampuan adaptif secara konseptual, sosial dan praktikal.
Terlihat dari ketiga pengertian di atas sama-sama menjelaskan bahwa
retardasi mental merupakan keterbatasan fungsi intelektual dan
perilaku adaptif selama masa perkembangan atau sebelum usia 18
tahun.
2. Kriteria Retardasi Mental
Kriteria Retardasi Mental dalam DSM-IV-TR (2000)
a. Fungsi intelektual yang secara signifikan berada dibawah rata-
rata, IQ kurang dari 70.
b. Kurangnya fungsi sosial adaptif dalam minimal dua bidang
berikut: komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga,
ketrampilan interpersonal, penggunaan sumber daya komunitas,
kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, ketrampilan
akademik fungsional, rekreasi, pekerjaan, kesehatan dan
keamanan.
c. Onset sebelum usia 18 tahun.
31
3. Klasifikasi
Berikut ini adalah klasifikasi retardasi mental yang ditunjukkan
dengan bagan (Wiguna & Ika, 2005):
a. Retardasi Mental Ringan (IQ 50-55 hingga 70). Sekitar 85 persen
dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70 diklasifikasikan
dalam kelompok retardasi mental ringan. Mereka tidak selalu
dapat dibedakan dari anak-anak normal sebelum mulai
bersekolah. Di usia remaja akhir biasanya mereka dapat
mempelajari ketrampilan akademik yang kurang lebih sama
dengan level kelas 6. Ketika dewasa mereka mampu melakukan
pekerjaan yang tidak memerlukan ketrampilan atau di balai karya
di rumah penampungan, meskipun mereka mungkin
membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan.
Mereka bisa menikah dan mempunyai anak.
b. Retardasi Mental Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55). Sekitar 10
persen dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70
diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental sedang,
memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang
menghambat ketrampilan motorik yang normal, seperti
memegang dan mewarnai didalam garis, dan ketrampilan motorik
kasar, seperti berlari dan memanjat. Mereka mampu, dengan
banyak bimbingan dan latihan, berpergian sendiri di daerah lokal
yang tidak asing bagi mereka. Banyak yang tinggal diisntitusi
penampungan, namun sebagian besar hidup bergantung bersama
keluarga dalam rumah-rumah bersama disupervisi.
c. Retardasi Mental Berat (IQ 20-25 hingga 35-40). Di antara
mereka yang memiliki IQ kurang dari 70, sekitar 3 hingga 4
persen masuk dalam kelompok retardasi mntal parah. Orang-
32
orang tersebut umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak lahir
dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Sebagian
besar dimasukan dalam institusi penampungan dan membutuhkan
bantuan dan supervise terus-menerus. Orang dewasa yang
mengalami retardasi mental parah dapat berperilaku ramah,
namun biasanya hanya dapat berkomunikasi secara singkat
dilevel yang sangat konkret. Mereka hanya dapat melakukan
sedikit aktivitas secara mandiri dan sering kali terlihat lesu karena
kerusakan otak mereka yang parah menjadikan mereka relatif
pasif dan kondisi kehidupan mereka hanya memberikan sedikit
stimulasi. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat
sederhana dengan supervisi terus-menerus.
d. Retardasi Mental Sangat Berat (IQ dibawah 20-25). Hanya 1
hingga 2 persen dari mereka yang mengalami retardasi mental
yang masuk dalam kelompok retardasi mental sangat berat yang
membutuhkan supervisi total dan seringkali harus diasuh
sepanjang hidup mereka. Sebagian besar memiliki abnormalitas
fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan
sendiri kemanapun. Tingkat kematian dimasa kanak-kanak pada
orang-orang yang mengalami retardasi mental sangat berat sangat
tinggi.
4. Penyebab Retardasi Mental
a. Faktor Prenatal
Penggunaan berat alkohol pada perempuan hamil dapat
menimbulkan gangguan pada anak yang mereka lahirkan yang
disebut dengan fetal alcohol syndrome. Faktor-faktor prenatal lain
yang memproduksi retardasi mental adalah ibu hamil yang
33
menggunakan bahan-bahan kimia, dan nutrisi yang buruk.
(Durand, 2007).
Penyakit ibu yang juga menyebabkan retardasi mental adalah
sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Komplikasi kelahiran,
seperti kekurangan oksigen dan cidera kepala, menempatkan anak
pada resiko lebih besar terhadap gangguan retardasi mental.
Kelahiran prematur juga menimbulkan resiko retardasi mental
dan gangguan perkembangan lainnya. Infeksi otak, seperti
encephalitis dan meningitis juga dapat menyebabkan retardasi
mental. Anak-anak yang terkena racun, seperti cat yang
mengandung timah, juga dapat terkena retardasi mental (Nevid,
2003).
b. Faktor Psikososial
Seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang
tidak memberikan stimulasi intelektual, penelantaran, atau
kekerasan dari orang tua dapat menjadi penyebab atau memberi
kontribusi dalam perkembangan retardasi mental (Nevid, 2002).
Anak-anak dalam keluarga yang miskin mungkin kekurangan
mainan, buku, atau kesempatan untuk berinteraksi dengan orang
dewasa melalui c ara-cara yang menstimulasi secara intelektual
akibatnya mereka gagal mengembangkan keterampilan bahasa
yang tepat atau menjadi tidak termotivasi untuk belajar
keterampilan-keterampilan yang penting dalam masyarakat
kontemporer. Beban-beban ekonomi seperti keharusan memiliki
lebih dari satu pekerjaan dapat menghambat orang tua untuk
meluangkan waktu membacakan buku anak-anak, mengobrol
panjang lebar, dan memperkenalkan mereka pada permainan
34
kreatif. Lingkaran kemiskinan dan buruknya perkembangan
intelektual dapat berulang dari generasi ke generasi (Nevid,
2002).
Kasus yang berhubungan dengan aspek psikososial disebut
sebagai retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation).
Pengaruh kebudayaan yang mungkin memberikan kontribusi
terhadap gangguan ini termasuk penganiayaan, penelantaran, dan
deprivasi sosial (Durand, 2007).
c. Faktor Biologis
1. Pengaruh genetik
Kebanyakan peneliti percaya bahwa di samping
pengaruh-pengaruh lingkungan, penderita retardasi mental
mungkin dipengaruhi oleh gangguan gen majemuk.
Salah satu gangguan gen dominan yang disebut
tuberous sclerosis, yang relatif jarang, muncul pada 1 diantara
30.000 kelahiran. Sekitar 60% penderita gangguan ini
memiliki retardasi mental. Phenyltokeltonuria (PKU)
merupakan gangguan genetis yang terjadi pada 1 diantara
10.000 kelahiran. Gangguan ini disebabkan metabolisme
asam amino Phenylalanine yang terdapat pada banyak
makanan. Asam Phenylpyruvic, menumpuk dalam tubuh
menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang
mengakibatkan retardasi mental dan gangguan emosional.
2. Pengaruh kromosomal
Jumlah kromosom dalam sel-sel manusia yang
berjumlah 46 baru diketahui 50 tahun yang lalu. Tiga tahun
berikutnya, para peneliti menemukan bahwa penderita Down
35
Syndrome memiliki sebuah kromosom kecil tambahan.
Semenjak itu sejumlah penyimpangan kromosom lain
menimbulkan retardasi mental telah teridentifikasi yaitu
Down syndrome dan Fragile X syndrome.
5. Prevalansi Retardasi Mental
Retardasi mental yang diakibatkan oleh abnormalitas genetis,
menyebabkan retardasi mental pada 1000-1500 pria dan hambatan
mental pada setiap 2000-2500 perempuan. Perempuan biasanya
memiliki dua kromosom X sementara laki-laki hanya satu. Pada
perempuan, memiliki dua kromosom X tampaknya memberikan
perlindungan dari gangguan ini, bila kerusakan terjadi pada salah
satunya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa gangguan ini umumnya
akan berdampak akan lebih parah pada laki-laki dari pada perempuan
(Angier, 1991).
Kira-kira 90% penyandang retardasi mental termasuk kategori
retardasi mental ringan (IQ 50-70), dan mempresentasikan 1%
sampai 3% dari populasi secara umum.
Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi.
Di Indonesia 1-3 % penduduknya menderita kelainan ini. Insidennya
sulit diketahui karena retardasi mental kadang-kadang tidak dikenali
sampai anak-anak usia pertengahan dimana retardasinya masih dalam
taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak
umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih
banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
D. Ibu dengan Anak Retardasi Mental
Kehadiran anak yang menderita retardasi mental biasanya
menimbulkan efek atau reaksi tertentu di lingkungan keluarga.
36
Menurut Kenney (Hutt, 1976) seorang ibu yang mempunyai anak
yang retardasi mental cenderung kurang dewasa dan perkembangan
egonya berada pada tingkat bawah, hal ini disebabkan karena mereka
tidak mampu menerima kondisi anak mereka yang mengalami
retardasi mental. Kondisi yang seperti ini yang dapat menyebabkan
stres.
Floyd & Zmich (1991) dalam penelitiannya mengatakan ibu-
ibu yang memiliki anak retardasi mental biasanya bersikap negatif
pada diri dan pasangannya. Perasaan yang dirasakan ibu lebih pada
menyalahkan diri sendiri dan pasangan sebagai penyebab kecacatan
anaknya. Selain itu problem yang dihadapi ibu yang memiliki anak
cacat mental adalah stres yang berkaitan dengan pengasuhan anak,
keterbatasan kecerdasan anak dan masa depan anak itu sendiri.
Menurut Smith (1997) ada enam perasaan yang biasanya
dialami ibu-ibu yang memiliki anak dengan gangguan khusus yang
salah satunya adalah anak retardasi mental yaitu :
1. Penyangkalan
Biasanya ibu tidak mampu menghadapi apa yang terjadi pada
anaknya. Seorang ibu selalu berfikir apa yang terbaik buat
anaknya, tetapi kenyataan yang harus dihadapi tidak dapat
dikuasai dengan baik.
2. Takut
Ibu merasa sangat takut dengan kondisi anaknya yang tidak
berkembang seperti anak seusianya. Bagaimana masa depan
anak, penerimaan keluarganya atau kemandirian anak setelah
beberapa tahun yang akan datang. Ketakutan ini terus
berkembang, dan kadang disebabkan sulitnya penanganan anak
dengan kebutuhan khusus.
37
3. Rasa bersalah
Biasanya ibu diselimuti oleh perasaan bersalah dengan
kehadiran anak tidak sesuai dengan harapan. Sebagian ibu ada
yang merasa bahwa gangguan itu disebabkan oleh kesalahan
dirinya, kekurang hati-hatiannya pada saat kehamilan.
4. Kebingungan
Sebagai orangtua khususnya ibu merasa bahwa tugas yang
dihadapi akan semakin berat dengan lahirnya anak yang tidak
berkembang dengan normal. Pikiran negative yang muncul
menyangkut pengasuhan dan pendidikan anak menjadikan
seorang ibu bingung apa yang harus dikerjakan.
5. Putus asa
Pada saat orangtua mengerti bahwa anak yang lahir tidak
sesuai dengan yang diharapkan, mereka merasa putus asa, putus
harapan atau bahkan tidak dapat berbuat apa-apa.
6. Kekecewaan
Bagi sebagian orangtua kekecewaan yang mendalam dapat
berubah kadang sampai pada taraf keinginan untuk membunuh
anak atau menyingkirkan dari keluarganya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa kondisi yang dialami ibu-ibu pada umumnya
ketika mempunyai anak yang mengalami retardasi mental adalah
sedih, kecewa, menyangkal atau menolak mempunyai anak yang
mengalami cacat mental bahkan berputus asa. Kondisi yang
dialami ibu-ibu tersebut merupakan salah satu pemicu timbulnya
stres.
38
B. Hubungan antara Religiusitas dengan Resiliensi Ibu yang
Mempunyai Anak Retardasi Mental
Beberapa literatur yang membahas mengenai adaptasi ibu yang
memiliki anak dengan kondisi retardasi mental menjelaskan
mengenai pentingnya peranan institusi yang melayani bidang ini,
mengetahui bagaimana tingkat religiusitas dan ketahanannya, baik
secara umum maupun melalui respek bahwa setiap ibu memiliki
entitas yang unik.
Peneliti mencatat pentingnya memahami pandangan seorang ibu
akan kepercayaan religiusitas, memenuhi kebutuhan utama dari hari
ke hari, adanya proses saling berbagi antara anggota keluarga lainya,
merupakan cara untuk mengkonstruksi atau merepresentasikan
sebuah realitas (Walsh, 2003). Kepercayaan ini dapat membuat ibu
beradaptasi terhadap situasi kehidupan, menjalani hidup dengan
bermakna, dan mengkoordinasikan pola interaksi dan rutinitas pada
setiap anggota keluarga.
Religiusitas merefleksikan pandangan ibu mengenai situasi
yang dihadapi atau pandangan mereka mengenai dunia, hal ini
merupakan dasar atau prinsip untuk mengroganisasikan
kehidupannya, dan menunjukan aktivitas peran yang penting bagi
figurnya sebagai seorang ibu.
Begitupun dengan resiliensi yang dimiliki seorang ibu dalam
sebuah kondisi krisis, selalu menyediakan adanya harapan dan
optimisme dalam menghadapi masa-masa sulit dalam kehidupan,
kebutuhan dalam memaknai hidup, dan sebagai motivasi dalam
hidup. Kemampuan ibu dalam memberikan makna yang positif
terhadap suatu peristiwa dapat menjadi faktor yang dapat
39
meningkatkan resiliensi dalam keluarga (Patterson dan Blum, dalam
King, dkk, 2009).
Ada fakta yang mengatakan bahwa religiusitas dalam keluarga
menjadi kunci dari proses yang terkait dengan resiliensi. Resiliensi
merupakan kemampuan untuk dapat menentukan prioritas. Prioritas
tersebut terkait dengan kemampuan untuk mengorganisasikan
rutinitas yang harus sesuai dengan kebutuhan.
Penelitian menyatakan bahwa pengalaman ibu yang memiliki
anak dengan kondisi retardasi mental, biasanya memiliki
pengetahuan yang sedikit mengenai bagaimana dia beradaptasi
dengan kondisi tersebut. Selain itu, pengalaman ibu dalam
membesarkan anak dengan kondisi retardasi mental dapat
memberikan insight, yaitu kemampuan untuk memahami dan
memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan
nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi (Virtiara, 2011).
Ibu dapat menyadari setiap religiusitas yang dimiliki dalam dirinya
dan membantu mereka untuk memahami hal-hal yang terjadi pada
anak mereka. Mereka menjadi lebih dapat menerima kehadiran anak
dan memahami kondisi anak, yang kemudian penerimaan diri ini
akan berpengaruh pada tingkat ketahanan (resiliensi) yang dimiliki
ibu dalam mengasuh anaknya dengan kondisi anak yang tidak
normal.
Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa resiliensi sangat terkait
dengan pemahaman religiusitas yang diadopsi. Religiusitas tersebut
membantu untuk menentukan ketahanan seorang ibu dalam
menghadapi masa-masa sulit. Hal ini dikarenakan religiusitas
merupakan sebagai landasan utama bagi individu khususnya ibu pada
anak retardasi mental untuk menemukan ketenangan diri dan batin
40
dalam situasi yang sulit, yang kemudian dimana ketenangan diri dan
batin ini dapat memunculkan suatu bentuk ketahanan diri (resiliensi)
dalam diri ibu ditengah keadaannya yang krisis.
C. Hipotesis
Berdasarkan teori yang dikemukan diatas, maka penelitian ini
diajukan hipotesis:
Ada hubungan positif antara religiusitas dengan resiliensi pada
ibu yang memiliki anak retardasi mental. Semakin tinggi religiusitas
maka semakin tinggi resiliensi ibu yang memiliki anak retardasi
mental. Semakin rendah religiusitas maka semakin rendah resiliensi
pada ibu yang memiliki anak retardasi mental.