22
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada setiap penelitian, selalu diperlukan kerangka teori yang digunakan untuk mendukung pernyataan dan menjadi dasar dilakukannya sebuah penelitian. Teori ialah serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar- konsep (Singarimbun dan Effendi, 1984). Oleh karena itu, pada bab ini peneliti akan memaparkan sejumlah teori yang terkait dengan penelitian ini. A. RELIGIUSITAS 1. Pengertian Religiusitas Ditinjau dari perbendaharaan kata, ada tiga istilah serupa yang masing-masing memiliki perbedaan arti yakni religi, religius, dan religiusitas. Slim (dalam Rasmanah, 2003) mendefinisikan istilah tersebut dari Bahasa Inggris. Religi berasal dari kata religionsebagai bentuk dari kata benda yang berarti agama atau kepercayaan akan adanya sesuatu kekuatan kodrati di atas manusia. Religius berasal dari religiousyang berkenaan dengan religi atau sifat religi (keagamaan) yang melekat pada diri seseorang. Sedangkan, religiusitas berasal dari kata religiosityyang berarti pengabdian yang besar pada agama. Religiusitas dan agama merupakan dua hal yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Miller dan Thoresen (2003) dalam Paloutzian (2005) mendefinisikan agama sebagai sebuah institusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

  • Upload
    doandan

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada setiap penelitian, selalu diperlukan kerangka teori yang

digunakan untuk mendukung pernyataan dan menjadi dasar

dilakukannya sebuah penelitian. Teori ialah serangkaian asumsi,

konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena

sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar-

konsep (Singarimbun dan Effendi, 1984). Oleh karena itu, pada bab ini

peneliti akan memaparkan sejumlah teori yang terkait dengan penelitian

ini.

A. RELIGIUSITAS

1. Pengertian Religiusitas

Ditinjau dari perbendaharaan kata, ada tiga istilah serupa

yang masing-masing memiliki perbedaan arti yakni religi, religius,

dan religiusitas. Slim (dalam Rasmanah, 2003) mendefinisikan

istilah tersebut dari Bahasa Inggris. Religi berasal dari kata

‟religion’ sebagai bentuk dari kata benda yang berarti agama atau

kepercayaan akan adanya sesuatu kekuatan kodrati di atas manusia.

Religius berasal dari ‟religious’ yang berkenaan dengan religi atau

sifat religi (keagamaan) yang melekat pada diri seseorang.

Sedangkan, religiusitas berasal dari kata ‟religiosity’ yang berarti

pengabdian yang besar pada agama.

Religiusitas dan agama merupakan dua hal yang berkaitan

satu dengan yang lainnya. Miller dan Thoresen (2003) dalam

Paloutzian (2005) mendefinisikan agama sebagai sebuah institusi

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

16

yang didalamnya mencakup berbagai fenomena religius beserta ritual

keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

dalam membangun hubungan dengan Tuhan. Di samping itu,

religiusitas menurut James (2001) dalam Paloutzian dan Park (2005)

merujuk kepada perasaan, tindakan, dan refleksi akan pengalaman

individual dalam usaha menghayati hubungan dengan sesuatu yang

diyakininya.Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa

agama merupakan Kemudian, religiusitas

Lebih lanjut, Kaye dan Raghavan (2000) mendefinisikan

religiusitas sebagai ekspresi spiritual seorang individu yang

berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku dan

ritual. Religiusitas merupakan aspek yang telah dihayati oleh

individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap personal

(Mangunwija, 1986). Hal serupa juga diungkapkan oleh Stark dan

Glock (1968) dalam Dister (1988) mengenai religiusitas yaitu sikap

keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi agama ke

dalam diri seseorang. Jadi, dapat dikatakan bahwa religiusitas lebih

mengarah pada keyakinan dan kepercayaan seorang individu kepada

Tuhan yang bersifat internal.

2. Dimensi Religiusitas

Menurut Glock dan Stark (1968), ada lima dimensi dalam

religiusitas yaitu:

a) Dimensi Intelektual

Dimensi intelektual mengacu pada ekspektasi sosial

yang menyatakan bahwa individu yang religius memiliki

pengetahuan tentang agama yang dianutnya dan dapat

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

17

menjelaskan pandangan mereka mengenai hubungan

transenden, agama, dan religiusitas. Pada sistem konstruksi

religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan dalam

ketertarikan pada tema keagamaan, kemampuan

menerjemahkan, gaya berpikir dan interpretasi individu.

Indikator dalam dimensi intelektual ini adalah frekuensi

individu dalam memikirkan isu-isu religius. Hal tersebut

mengindikasikan seberapa sering konten religius diperbaharui

dan mendapat internalisasi ke dalam diri individu melalui

dimensi intelektual.

b) Dimensi Ideologi

Dimensi ideologi mengacu pada ekspektasi sosial yang

menyatakan bahwa individu yang religius memiliki keyakinan

akan kehadiran dan esensi dari kenyataan transenden serta

hubungan antara transenden dengan manusia. Pada sistem

konstruksi religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan

dalam bentuk kepercayaan, keyakinan yang tidak diragukan

lagi, dan pola yang masuk akal. Indikator dalam dimensi ini

hanya difokuskan pada pola logis (masuk akal) mengenai esensi

dari kehadiran sesuatu yang bersifat transenden.

c) Dimensi Praktek Publik

Dimensi praktek publik mengacu pada ekspektasi sosial

yang menyatakan bahwa individu yang religius akan mengikuti

atau terlibat dalam komunitas religius yang dimanifestasikan

dalam bentuk keikutsertaan individu dalam ritual keagamaan

kelompok atau kegiatan komunitas. Pada sistem konstruksi

religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan dengan

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

18

adanya rasa memiliki dan menjadi bagian dari komunitas

religius yang menghargai hubungan transenden. Intensitas

umum yang muncul pada dimensi ini dapat diukur dengan

menanyakan lebih dalam tentang frekuensi individu mengambil

bagian dalam pelayanan religius. Dalam penelitian antar-agama,

disarankan untuk membedakan label pada pelayanan religius

tergantung dari alifiasi religius yang dimiliki partisipan. Sebagai

contohnya ialah kehadiran di Gereja pada umat Kristiani dan

shalat Jumat pada umat Muslim.

d) Dimensi Praktek Pribadi

Dimensi praktek pribadi mengacu pada ekspektasi sosial

yang menyatakan bahwa individu yang religius akan

mencurahkan dirinya pada relasi transenden dalam bentuk

aktivitas yang bersifat pribadi. Pada sistem konstruksi

religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan dalam aksi

dan gaya personal individu dalam mencurahkan dirinya.

Intensitas berdoa dan meditasi merupakan contoh perilaku yang

dapat diukur dalam dimensi ini karena pada saat berdoa,

individu mengirimkan pesan kepada sesuatu yang dianggapnya

mempunyai kuasa lebih tinggi darinya sehingga individu

melakukan dialog saat berdoa.

e) Dimensi Pengalaman Religius

Dimensi pengalaman religius ini mengacu pada

ekspektasi sosial yang menyatakan bahwa individu yang

religius memiliki semacam kontak langsung tentang kehidupan

kekal setelah kematian yang memberikan pengaruh terhadap

afeksi individu. Pada sistem konstruksi religiusitas personal,

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

19

dimensi ini direpresentasikan dalam bentuk persepsi,

pengalaman serta perasaan yang dirasakan individu. Analogi

yang digunakan dalam mengukur intensitas pengalaman ini

dapat dilihat dengan dua cara yakni “one-to-one experience”

(dialog dua arah) dan “experiences of being at one” (dialog satu

arah).

.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Religiusitas seorang individu dipengaruhi oleh beberapa

faktor. Secara umum, para ahli menggambarkan dua faktor yang

dapat mempengaruhi religiusitas seorang individu, yakni faktor

perkembangan yang berkenaan dengan perkembangan psikis

seorang individu dan faktor lingkungan (eksternal) yang

mempengaruhi kehidupan religiusitas seorang individu seperti

keluarga, sekolah, masyarakat (Darajdat, 1998).

Lebih spesifik, Jalaludin (2002) menyebutkan faktor internal

yang dapat mempengaruhi religiusitas mencakup faktor hereditas,

usia, dan kepribadian individu. Di samping itu, Thouless (2000)

juga mengemukakan tiga faktor yang dapat mempengaruhi

religiusitas seorang individu, yakni faktor sosial, faktor alami,

moral dan afeksi, faktor kebutuhan, dan faktor intelektual. Berikut

ini adalah penjelasan dari masing-masing faktor tersebut:

a) Faktor sosial; mencakup seluruh pengaruh sosial yang diperoleh

individu melalui pengajaran orangtua, pengajaran yang

diperoleh dari lembaga pendidikan, tradisi, dan tekanan-tekanan

sosial yang dialami oleh individu.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

20

b) Faktor alami, moral, dan afeksi; mencakup berbagai

pengalaman mengenai keindahan, keselaran, dan kebaikan yang

ada di dunia lain. Kemudian, faktor moral mencakup setiap

konflik moral yang terjadi pada kehidupan personal individu.

Selain itu, faktor afeksi meliputi pengalaman keagamaan yang

menyangkut afeksi atau perasaan individu.

c) Faktor kebutuhan; mencakup setiap kebutuhan yang seluruhnya

atau sebagian timbul dari berbagai kebutuhan yang tidak

terpenuhi, terutama kebutuhan-kebutuhan akan keamanan,

kebutuhan akan cinta kasih, kebutuhan akan pemenuhan harga

diri, dan ancaman kematian.

B. KELEKATAN DAN PERILAKU SECURE-BASE

1. Pengertian Kelekatan

Istilah „kelekatan‟ (attachment) untuk pertama kalinya

dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958

bernama John Bowlby. Kelekatan merupakan suatu ikatan

emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya

dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya,

biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Konsep yang

lebih lengkap mengenai kelekatan diungkapkan oleh Ainsworth

(1969) yang menyatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional

yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat

spesifik, mengikat mereka dalan suatu kedekatan yang bersifat

kekal sepanjang waktu.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

21

Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall (dalam Fraley dan

Spieker, 2003; Cummings, 2003, Sroufe, 2003; Cassidy, 2003;

Waters dan Beauchaine, 2003) membuat sebuah eksperimen untuk

melihat tingkah laku lekat dengan metode „situasi terpisah‟. Pada

eksperimen ini, anak ditempatkan dalam ruangan yang dirancang

dengan lingkungan fisik yang tidak familiar, adanya perpisahan

dengan pengasuh, dan adanya kontak dengan orang asing. Kombinasi

dari ketiga aspek tersebut dengan sengaja diciptakan untuk melihat

reaksi anak.

Berdasarkan eksperimen tersebut diperoleh tiga respon, yaitu:

1) Insecure-avoidance atau Tipe A, yakni terjadi penolakan terhadap

kehadiran ibu, menampakkan permusuhan, kurang tertarik dengan

kehadiran ibu, mengacuhkan dan kurang mengekspresikan emosi

negatif.

2) Secure-attached atau Tipe B, yakni ibu digunakan sebagai dasar

eksplorasi, anak berada dekat ibu untuk beberapa saat kemudian

melakukan eksplorasi, anak kembali pada ibu ketika ada orang

asing, tapi memberikan senyuman apabila ada ibu didekatnya

(Cicchetti dan Toth, 1995). Anak merasa terganggu ketika ibu pergi

dan menunjukkan kebahagiaan ketika ibu kembali.

3) Insecure-ambivalance atau Tipe C, yakni adanya keengganan untuk

mengeksplorasi lingkungan. Tampak impulsive, helpless dan kurang

kontrol (Cicchetti dan Toth, 1995). Beberapa tampak selalu

menempel pada ibu dan bersembunyi dari orang asing. Anak

tampak sedih ketika ditinggal ibu dan sulit untuk tenang kembali

meskipun ibu telah kembali. Mampu mengekspresikan emosi

negatif namun dengan reaksi yang berlebihan.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

22

Berdasarkan eksperimen tersebut, kelekatan dikelompokkan

menjadi dua, yakni kelekatan yang aman (secure attachment) yaitu

Tipe B dan kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) yaitu

Tipe A dan Tipe C. Ainsworth (dalam Ervika, 2000; Belsky, 1988)

menemukan bahwa anak yang memiliki kelekatan yang tidak aman

mengalami masalah dalam hubungan dengan figur lekat, sebaliknya

anak yang memiliki kelekatan aman memiliki pola hubungan

dengan kualitas yang sangat baik dengan figur lekat. Bowlby (1988)

menyatakan bahwa kelekatan yang aman antara ibu dan anak dapat

diamati melalui perilaku secure-base yang dimunculkan oleh anak

terhadap ibu, begitupun sebaliknya.

2. Perilaku Secure-Base

a) Pengertian

Perilaku secure-base ialah salah satu indikasi terjalinnya

relasi yang lekat antara anak dan orangtua. Bowlby (1988) dalam

Santrock (2002) menyatakan bahwa konsep kelekatan mengacu

pada suatu relasi antara dua orang, yakni bayi dan orangtua (infant-

parent) yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan

melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi tersebut.

Kelekatan anak terhadap orangtua sebagai figur lekat yang terjalin

selama masa kanak-kanak akan terus aktif sepanjang rentang

kehidupan anak (Bowlby 1988, dalam Holmes 1993).

Pada masa kanak-kanak, kelekatan yang muncul antara anak

dan figur lekat dapat diamati melalui perilaku anak dalam ‟situasi

terpisah‟ dari figur lekatnya. Situasi terpisah dianggap sebagai

ancaman bagi anak sehingga anak menangis, memberontak, dan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

23

mencari figur lekat (Ainsworth, 1982). Sedangkan pada masa

remaja, kelekatan yang muncul dengan orangtua akan mengaktifkan

kembali ingatan remaja pada pola kelekatan yang terjalin selama

masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja dihadapkan pada

kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam (Bowlby 1988,

dalam Holmes, 1993).

Perilaku secure-base merupakan prinsip utama dalam teori

kelekatan karena letak keamanan yang menjadi poin penting dalam

konsep kelekatan dapat diamati melalui perilaku secure-base

tersebut (Bowlby, 1973, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, &

Cassidy, 1985). Esensi dari prinsip dasar secure-base ialah

peningkatan kemampuan eksplorasi dan pemenuhan rasa ingin tahu

anak tanpa rasa khawatir karena figur lekat dianggap dapat diakses,

melindungi dan menolong saat dibutuhkan. Ketika bahaya datang

mengancam, anak dapat mencari figur lekat dan ketika ancaman

telah terlewati, figur lekat tetap memberinya kesempatan untuk

kembali mengeksplorasi dunianya dan yakin bahwa figur lekat tetap

dapat diakses apabila ancaman datang kembali (Ainsworth, 1982).

Secara spesifik, perilaku secure-base dapat dilihat melalui

munculnya perilaku secure-base use dan secure-base support.

Secure-base use adalah perilaku anak yang menunjukkan rasa aman

terhadap figur lekat karena menganggap figur lekat dapat diakses

saat dibutuhkan, sedangkan secure-base support adalah perilaku

orangtua yang menunjukkan pemberian rasa aman terhadap anak

dengan menjadi figur yang dapat diakses ketika dibutuhkan.

(Ainsworth, 1982).

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

24

Perilaku secure-base use dan secure-base support ini juga

mengalami transisi seiring dengan perubahan bentuk kelekatan

yang terjalin di masa remaja. Allen dan Land (1999) menyatakan

bahwa masa remaja merupakan masa transisi utama dalam proses

perkembangan kelekatan karena selama masa ini berlangsung,

remaja memulai fase dimana ia menginginkan otonomi lebih dari

figur lekatnya (orangtua). Dykas (2003) juga mengemukakan

bahwa para ahli yang menggeluti bidang ini juga mengemukakan

bahwa pada masa remaja, struktur dari representasi kelekatan

mengalami perubahan sehingga perilaku secure-base use anak dan

secure-base support orangtua mengalami perubahan bentuk di masa

remaja.

Penelitian yang dilakukan Allen dan Land (1999) serta

beberapa penelitian lain tentang representasi perilaku secure-base

yang muncul di masa remaja turut diteliti oleh Ziv, Feeney, dan

Cassidy (2001) dalam Dykas (2003). Melalui penelitian tersebut,

ditemukan bahwa perubahan struktur kelekatan yang terjadi di masa

remaja direpresentasikan melalui perilaku secure-base use remaja

dan secure-base support orangtua yang termasuk dalam enam

komponen, yakni mencakup penghargaan relasi dengan orangtua,

penghargaan relasi dengan remaja, diskusi yang terbuka tentang

masa depan remaja, rasa aman secara menyeluruh, dukungan

terhadap otonomi remaja, dan kepekaan terhadap pemberian

perhatian kepada remaja.

Esensi dari prinsip dasar secure-base yang dikemukakan

oleh Ainsworth (1982) sebelumnya menjadi landasan bagi Ziv,

Cassidy, dan Feeney (2001) dalam mengembangkan sebuah alat

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

25

ukur yang dapat mengukur perilaku secure-base use remaja dan

secure-base support orangtua.

b) Komponen dalam Perilaku Secure-Base

Ziv, Feeney, & Cassidy (2001) mengemukakan bahwa ada

enam komponen yang dapat digunakan untuk melihat perilaku

secure-base yang terjalin antara remaja dan orangtua. Komponen

tersebut dibagi menjadi dua, yakni secure-base use remaja dan

secure-base support dari orangtua. Berikut ini adalah tiga

komponen yang ada dalam perilaku secure-base use remaja:

1) Diskusi yang Terbuka tentang Masa Depan (Open discussion to

the Future)

Komponen ini mengacu pada perilaku remaja yang

terbuka dalam mendiskusikan masa depan mereka dengan

orangtua. Skala ini mengukur otonomi remaja dalam eksplorasi

dan keterbukaan remaja dalam mendiskusikan target atau tujuan

dan rencana untuk masa depan. Skala ini juga digunakan untuk

melihat keterbukaan remaja dalam mengemukakan pikiran,

perasaan, mengelaborasi isu yang diangkat oleh orangtua.

2) Penghargaan terhadap Relasi dengan Orangtua (Valuing of

Relationship

Komponen ini digunakan untuk mengukur perilaku

remaja dalam hal menghargai hubungan dengan orangtua,

mengakui dan menerima pentingnya hubungan dengan

orangtua, serta menyatakan keinginan untuk melanjutkan

hubungan tersebut di masa depan. Skala ini juga melihat

seberapa jauh remaja menginginkan keberadaan orangtua dan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

26

merasa bahwa hubungannya dengan mereka akan meningkatkan

perkembangan selama masa dewasa.

3) Keamanan Menyeluruh (Global security)

Komponen ini mengukur sejauh mana remaja merasa

aman dengan kehadiran orangtua mereka. Hal ini berkaitan

dengan perilaku remaja yang menjadi rileks dan tidak merasa

terganggu dengan kehadiran orangtuanya (Ainsworth, Blehar,

Waters dan Wall (1978). Skala ini ditetapkan untuk melihat

sejauh mana remaja dapat mengekplorasi masa depan dengan

percaya diri dan merasa didukung, didorong, dan dimengerti

oleh orangtua. Skala ini juga dianggap dapat melihat seberapa

jauh remaja dapat menjadi tenang, apa adanya, dan terhubung

dalam interaksi dengan orangtua.

Selain tiga komponen secure-base use di atas, Ziv, Feeney,

dan Cassidy pada tahun 2001 (dalam Dykas, 2003) juga

mengemukakan tiga komponen secure-base support. Berikut ini

adalah tiga komponen tersebut:

1) Dukungan terhadap Otonomi Remaja (Support for teen’s

autonomy)

Komponen ini mengukur perilaku orangtua dalam

memberikan dukungan terhadap otonomi remaja dan percaya

bahwa remaja mempunyai kemampuan untuk mengatasi masa

transisi menuju kedewasaan. Skala ini juga melihat sejauh mana

orangtua menyampaikan kepercayaannya dan tertarik dengan

target atau tujuan, rencana remaja di masa depan serta

menawarkan dukungan atau bantuan kapanpun remaja

membutuhkan.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

27

2) Penghargaan terhadap Relasi dengan Remaja (Parent’s valuing

of the relationship)

Komponen ini digunakan untuk mengukur sejauh mana

orangtua memberikan dukungan secara emosional dan secara

terbuka menyampaikan sikap menghargai hubungan yang

terjalin antara orangtua dan remaja, mengakui dan menerima

pentingnya relasi antar mereka, mendorong adanya diskusi yang

bersangkutan dengan isu dalam relasi mereka, serta

mengungkapkan keinginan untuk melanjutkan relasi tersebut ke

depannya.

3) Sensitif terhadap Pemberian Perhatian (Sensitive caregiving)

Komponen ini mengukur sejauh mana orangtua peka

dan responsif terhadap remaja. Dalam artian, orangtua dapat

secara aktif menerima dan menunjukkan perhatian terhadap

pikiran, perasaan, dan kekhawatiran yang diungkapkan remaja.

Selain itu, skala ini juga mengukur sejauh mana orangtua

mengumpulkan informasi mengenai remaja dan berupaya untuk

menolong apa yang dikerjakan remaja dengan penuh perhatian,

pengertian, serta dukungan emosional.

C. REMAJA AKHIR

1. Batasan Usia Remaja Akhir

Remaja akhir merupakan rangkaian terakhir dalam masa

perkembangan remaja. Papalia (2009) mengemukakan bahwa masa

remaja (adolescence) merupakan peralihan masa perkembangan

yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun, bahkan lebih awal

sampai masa remaja akhir di awal usia dua puluhan. Santrock

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

28

(2003) mengemukakan bahwa di Amerika dan kebudayaan lainnya,

rentang usia masa remaja akhir berkisar antara usia 18-22 tahun.

Di samping itu, WHO (World Health Organization) juga

turut mengkategorikan batasan usia remaja akhir (late adolescence)

yang berkisar antara usia 18-21 tahun (Sarwono, 2006). Hal ini

sejalan dengan pendapat Steinberg (1993) yang menyatakan bahwa

masa remaja akhir dimulai pada usia 18 tahun dan berakhir pada

usia 21 tahun. Maka, dapat disimpulkan bahwa masa remaja akhir

merupakan suatu fase akhir dari rangkaian perkembangan masa

remaja dan merupakan masa konsolidasi atau peneguhan menuju

periode dewasa yang dimulai pada usia 18 tahun dan berakhir pada

usia 21 tahun.

2. Religiusitas pada Remaja Akhir

Masa remaja merupakan tahap yang penting dalam

perkembangan religiusitas (Crapps, 1994). Stanley Hall (dalam

Nelson, 2009) juga mengakui bahwa masa kanak-kanak hingga

remaja merupakan periode penting dalam perkembangan religius

seorang individu karena masa ini dilihat sebagai prediksi akan

kehidupan masa dewasa yang akan datang.

Dilihat dari perkembangan kognitif yang dikemukakan

Piaget, pada masa remaja terjadi suatu gerak peralihan dari cara

berpikir kongkrit menuju cara berpikir yang lebih proporsional.

Goldman (1964) telah menerapkan pemikiran Piaget tersebut dalam

bidang agama dengan menguraikan kemampuan yang makin

berkembang dalam membentuk konsep-konsep religius. Pada usia

6-11 tahun, cara berpikir anak terbatas pada situasi, perbuatan dan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

29

data konkret. Tetapi setelah usia 11 atau 12 tahun, cara berpikir

logis dalam lambang dan gagasan abstrak mulai nampak dan

berfungsi. Namun penggunaannya yang efektif baru berkembang

pada usia 17-18 tahun, itupun tidak sama efektif bagi remaja dalam

rentang usia yang sama.

Penelitian Goldman mengenai „abstraksi pemikiran religius‟

turut menunjukkan bahwa tahap demi tahap, anak semakin

mencapai efisiensi dalam menggali penafsiran hipotesis dan dapat

melihat relevansi kebenaran abstrak bagi pengalaman mereka. Hal

tersebut sejalan dengan pendapat Elkind (1970) yang

mengungkapkan bahwa kapasitas mental pada masa remaja

memampukan remaja untuk membangun teori dan mencari

pemahaman. Perkembangan kognitif yang bertahap tersebut

memungkinkan terjadinya transisi atau perpindahan dari “agama

lahiriah ke agama batiniah” (Loomba dalam Crapps, 1994).

3. Kelekatan Orangtua dan Anak di Masa Remaja

Allen dan Land (1999) menyatakan bahwa masa remaja

merupakan masa transisi utama dalam proses perkembangan

kelekatan karena selama masa ini berlangsung, remaja memulai

fase dimana ia menginginkan otonomi lebih dari figur lekatnya

(orangtua).

Kelekatan yang terjalin antara anak dan orangtua mengalami

perubahan bentuk di masa remaja. Pada masa kanak-kanak, anak

menangis dan memberontak ketika berada dalam situasi terpisah

dari orangtua sebagai figur lekat. Perilaku tersebut dimunculkan

untuk mencari dan mendekatkan diri dengan orangtua (Ainsworth,

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

30

1982). Namun demikian, remaja tidak menunjukkan perilaku-

perilaku tersebut dalam relasinya yang lekat dengan orangtua.

Kelekatan yang terjalin antara orangtua dan remaja akan

mengaktifkan kembali ingatan remaja pada pola kelekatan yang

terjalin selama masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja

dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam

(Bowlby 1988, dalam Holmes, 1993).

D. PERNIKAHAN BEDA AGAMA (ISLAM-KRISTIANI)

1. Pengertian Pernikahan Beda Agama (Islam-Kristiani)

Pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda

agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami

istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (Mandra &

Artadi dalam Eoh, 1996). Pengertian tersebut mengandung

substansi bahwa dalam pernikahan beda agama, suami - istri tetap

mempertahankan agamanya ketika menikah dan berkeluarga.

Agama sendiri merujuk pada suatu sistem perilaku, kebiasaan,

ritual, upacara, dan kepercayaan yang berisi rangkaian nilai-nilai

dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok dalam

membangun hubungan dengan Tuhan (English & English, 1958).

Jadi, dapat dilihat bahwa dalam pernikahan beda agama

terdapat perbedaan mendasar yang dialami orangtua dalam hal

menjalankan kewajiban agamanya. Perbedaan tersebut mencakup

nilai-nilai yang dianut, pemaknaan konsep Tuhan, dan ritual

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

31

keagamaan yang dianut. Pada penelitian ini, peneliti memberi

batasan tersendiri mengenai agama yang dianut oleh pasangan yang

menikah beda agama, yakni Islam dan Kristiani. Berikut ini adalah

gambaran mengenai keyakinan dalam dua agama tersebut:

a) Agama Islam

Kata Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Islam atau

Aslama yang artinya menerima, menyerah, tunduk, atau

berserah diri kepada Tuhan. Islam adalah nama yang diberikan

oleh Allah SWT yang dikehendaki Tuhan atas segala

ciptaannya. Ajaran agama Islam disebarkan oleh nabi

Muhammad. Nabi Muhammad ialah Rasul terakhir yang dipilih

Allah SWT, yang diberikan wahyu atau petunjuk ayat Al

Qur‟an ketika ia sedang berada di Gua Hira, Arab Saudi. Ajaran

Islam meyakini satu Tuhan, yakni Allah Yang Maha Esa dan

pemeluknya disebut dengan Muslim (Utoma,1994).

At-Tuwajiri (2003) mengemukakan bahwa rukun Islam

merupakan ajaran yang harus dilaksanakan oleh umat Muslim,

terdiri dari:

1. Shahadad, yaitu La illaha illa‟I-lah Muhammad rasul Allah.

Artinya, tiada Tuhan selain Allah atau hanya Allah satu-

satunya Tuhan, dan Muhammad adalah rasul utusan Allah.

Setiap umat muslim harus bisa mengucapkan kalimat

shahadad.

2. Shalat, yaitu sembahyang di dalam ibadah. Waktu shalat

ada 5 waktu, yaitu 1) Shalat al-zuhr atau shalat waktu johor

yakni pada waktu matahari condong ke arah Barat kira-kira

jam 12.15 sampai jam 15.00, 2) Shalat al-„asr, mulai waktu

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

32

lohor sampai matahari terbenam, jam 15.30 sampai 18.00, 3)

Shalat al-magrib, waktu tenggelamnya matahari sampai

terbenamnya matahari, 18.15 sampai 19.00, 4) Shalat al-isya

pada waktu 19.45 sampai 04.00, 5) Shalat al-subuh pada

waktu jam 4 pagi sampai 5.30

3. Zakat; yakni bea atau pajak yang harus dibayar oleh umat

muslim, biasanya dilakukan pada bulan puasa, artinya

adalah tumbuh. Secara konkrit, diterapkan untuk mengatur

sumbangan atau pemberian setiap orang muslim baik laki-

laki maupun perempuan.

4. Sawm atau puasa di bulan Romadhon, yakni beistirahat,

menahan seperti menahan tidur, menahan bicara, menahan

makan, dan lain sebagainya.

5. Haji atau pergi mengunjungi rumah Allah untuk melakukan

ibadah yang harus dilakukan yaitu untuk beribadah dan

melakukan upacara-upacara agama di dalam Bait Allah atau

Ka‟bah.

b) Agama Kristiani

Agama Kristiani adalah agama yang penganutnya

mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat,

sesuai dengan penyataan Allah yang tertulis dalam Alkitab.

Tempat ibadah agama Kristen ialah Gereja dan pada umumnya

umat Kristen beribadah pada hari Minggu. Kata Gereja berasal

dari kata “igreya” dari bahasa Portugis yang berarti kawanan

domba, yang dikumpulkan oleh seorang gembala. Dalam bahasa

Yunani dipakai kata kuriake yang artinya milik kurios (Kristus).

Jadi, gereja adalah persekutuan orang-orang yang menjadi milik

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

33

Tuhan Yesus Kristus. Secara berabad-abad, beberapa aspek

kepercayaan Kristen yang menonjol telah muncul, di antaranya

(Keene, 2006):

1. Trinitas, merupakan satu Allah tiga pribadi yaitu Allah

Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Kepercayaan

dalam Trinitas memperkuat Iman Kristen yang secara

implisit terdapat dalam Kredo Para Rasul dan Kredo Nicea.

2. Penjelmaan merujuk pada Allah yang lahir menjadi daging

dalam diri Yesus dan menekankan bahwa Yesus benar-

benar Allah dan manusia.

3. Penebusan dosa merupakan rekonsiliasi antara Allah dengan

manusia yang didapatkan melalui kematian dan kebangkitan

Yesus. Yesus adalah teladan paling agung bagi dunia

tentang pengorbanan diri serta persembahan kepada Allah

dengan mengorbankan jiwa supaya dosa dunia dapat

diampuni. Segala sesuatu yang disempurnakan oleh

kematian Yesus, dimateraikan oleh kebangkitan-Nya.

4. Roh Kudus adalah salah satu pribadi dari Trinitas dan kuasa

Allah yang ada di dunia sekarang ini. Roh Kudus menolong

manusia untuk berdoa dan memberikan semangat kepada

mereka untuk membangun kerajaan Allah di dunia.

5. Alkitab adalah wahyu tanpa cacat yang mempunyai

kewenangan dalam segala hal tentang iman dan tingkah laku

manusia dan juga sebagai Firman Allah.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

34

2. Dampak yang Muncul dalam Pernikahan Beda Agama

Ada beberapa dampak yang muncul sebagai konsekuensi

dari pernikahan beda agama, yakni:

a) Penentuan agama anak

Bossard & Boll (1957) menyebutkan bahwa ketika anak lahir,

penentuan anak akan dibesarkan dalam agama apa dapat

menjadi masalah. Selain itu, keluarga besar dari masing-masing

pasangan umumnya terlibat dalam memperebutkan agama anak.

b) Kebingungan identitas

Beranjak usia, anak yang telah menjadi remaja dapat mengalami

kebingungan dalam menentukan agamanya. Apabila kedua

orang tua adalah figur yang sama baik di mata anak, anak akan

merasa bersalah bila harus memilih salah satu dari agama yang

dianut orang tuanya (Viemilawati, 2002).

c) Kurangnya pembinaan agama dari orangtua

Thomas (dalam Blood, 1969) melaporkan bahwa kebanyakan

anak dari pernikahan beda agama hanya sedikit yang

mendapatkan ajaran keagamaan dari orangtua atau bahkan tidak

mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama dari kedua

orang tuanya.

D. HUBUNGAN ANTARA PERILAKU SECURE-BASE REMAJA-

ORANGTUA DENGAN RELIGIUSITAS REMAJA AKHIR DARI

PERNIKAHAN BEDA AGAMA (ISLAM-KRISTIANI)

Perilaku secure-base merupakan prinsip utama dalam teori

kelekatan. Remaja yang merasa aman belajar bahwa figur lekatnya

adalah sosok yang mudah diakses, dapat melindungi dan responsif

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

35

ketika dibutuhkan. Remaja yang secure dapat mengembangkan

representasi mental mereka dengan menjadikan orangtua sebagai

sumber dukungan yang membuat individu merasa aman untuk

mengeksplorasi dunianya.

Rasa aman tersebut kemudian diteliti oleh Kirkpatrick

(1992) dalam Nelson (2009) dengan melihat keterkaitan antara

berbagai pola kelekatan di masa kanak-kanak dengan

perkembangan religiusitas individu di masa remaja. Bowlby

(1988) menyatakan bahwa kelekatan yang terjalin di masa kanak-

kanak akan tetap direpresentasikan di masa remaja bahkan dewasa,

meskipun dengan perubahan struktur perilaku secure-base yang

dimunculkan.

Pada masa remaja, kelekatan yang dapat diamati melalui

perilaku secure-base terlihat lebih menonjol ketika remaja sedang

dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam

(Bowlby 1988, dalam Holmes, 1993). Ketersediaan orangtua

sebagai figur yang mudah diakses dan melindungi di saat kesulitan

dapat mengembangkan religiusitas remaja. Hal ini dapat dijelaskan

melalui pernyataan Kirkpatrick (1992) yang meyakini bahwa

konsep Tuhan yang diyakini dalam setiap agama dianggap sebagai

figur lekat yang responsif. Figur tersebut dianggap dapat memenuhi

kebutuhannya, memberikan rasa aman dan dapat dipercaya

sehingga individu berdoa kepada figur tersebut.

Berkenaan dengan hal tersebut, sosok orangtua yang

mencintai dan melindungi ternyata memberikan kontribusi akan

terbentuknya figur Tuhan yang mencintai dan dapat dipercayai.

Hal ini sejalan dengan prinsip secure attachment yang

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/2/T1_802008001_BAB II.pdf · keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok

36

dikemukakan oleh Kirkpatrick dan Shaver (1990). Penelitian yang

dilakukan oleh Granqvist dan Hagekull (2000) juga menemukan

bahwa motivasi dalam mengembangkan insting religius di masa

dewasa memiliki hubungan positif dengan rasa aman yang

diterima individu.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pada

kasus anak dari pernikahan beda agama (Islam-Kristiani), ada

hubungan positif antara perilaku secure-base (baik secure-base use

remaja maupun secure-base support orangtua) dengan religiusitas

anak di masa remaja akhir.

F. HIPOTESIS PENELITIAN

Pada kasus pernikahan beda agama (Islam-Kristiani),

penelitian ini memiliki dua hipotesa, dengan hipotesa pertama ialah:

H1 : Adanya hubungan positif antara perilaku secure-base use

remaja dan religiusitas remaja.

H0 : Tidak adanya hubungan positif antara perilaku secure-base use

remaja dan religiusitas remaja.

Sedangkan, hipotesa kedua pada penelitian ini ialah sebagai berikut:

H2 : Adanya hubungan positif antara perilaku secure-base support

orangtua dan religiusitas remaja.

H0 : Tidak adanya hubungan positif antara perilaku secure-base

support orangtua dan religiusitas remaja.