16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi Erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pengikisan dan pengangkutan tanah tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad 2006). Menurut Hakim et al. (1986), erosi yang terjadi pada kondisi alami, yaitu lahan yang tertutup oleh vegetasi asli tanpa campur tangan manusia, disebut erosi alami (erosi geologi atau erosi normal). Prosesnya berlangsung lambat dan tidak henti-hentinya karena laju pembentukan tanah masih mampu mengimbangi besarnya kehilangan lapisan atas tanah, tetapi ketika vegetasi dibabat dan padang rumput dibakar, erosi menjadi dipercepat. Erosi yang melampaui kecepatan normal, akibat ulah manusia sehingga merusak karena menghilangkan lapisan tanah, prosesnya disebut erosi tanah. Hal ini juga dijelaskan oleh Jacks (1939), proses penggundulan tanah yang dipercepat dikenal sebagai erosi tanah. Erosi tanah hampir tak terelakkan mengurangi batas bawah tertentu kesuburan alami tanah. Erosi tanah yang terjadi merupakan erosi aktual karena sudah ada campur tangan menusia di dalamnya, sedangkan erosi yang terjadi tanpa faktor manusia (penanaman vegetasi dan pengolahan lahan) disebut erosi potensial. Macam-macam erosi berdasarkan bentuknya, dibedakan menjadi (1) erosi percikan, yaitu erosi hasil dari percikan atau benturan air hujan secara langsung pada partikel tanah dalam keadaan basah, (2) erosi lembaran, yaitu erosi akibat terlepasnya tanah dari lereng dengan tebal lapisan yang tipis, (3) erosi alur, yaitu erosi akibat pengikisan tanah oleh aliran air yang membentuk parit atau saluran kecil, (4) erosi parit, proses yang terjadi sama seperti erosi alur, terjadi bila alur- alur menjadi semakin lebar dan dalam yang membentuk parit dengan kedalaman yang mencapai 1 sampai 2,5 meter atau lebih, (5) erosi sungai atau saluran, terjadi akibat terkikisnya permukaan tanggul sungai dan gerusan sedimen di sepanjang dasar saluran (Hardiyatmo 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · kepadatan tutupan tumbuhan dan ukuran partikel tanah. ... dapat mengakibatkan rusak ringan dan agregat gumpalan tanah, dan membentuk

Embed Size (px)

Citation preview

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Erosi

Erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari

suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pengikisan dan pengangkutan tanah

tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad 2006).

Menurut Hakim et al. (1986), erosi yang terjadi pada kondisi alami, yaitu

lahan yang tertutup oleh vegetasi asli tanpa campur tangan manusia, disebut erosi

alami (erosi geologi atau erosi normal). Prosesnya berlangsung lambat dan tidak

henti-hentinya karena laju pembentukan tanah masih mampu mengimbangi

besarnya kehilangan lapisan atas tanah, tetapi ketika vegetasi dibabat dan padang

rumput dibakar, erosi menjadi dipercepat. Erosi yang melampaui kecepatan

normal, akibat ulah manusia sehingga merusak karena menghilangkan lapisan

tanah, prosesnya disebut erosi tanah. Hal ini juga dijelaskan oleh Jacks (1939),

proses penggundulan tanah yang dipercepat dikenal sebagai erosi tanah. Erosi

tanah hampir tak terelakkan mengurangi batas bawah tertentu kesuburan alami

tanah.

Erosi tanah yang terjadi merupakan erosi aktual karena sudah ada campur

tangan menusia di dalamnya, sedangkan erosi yang terjadi tanpa faktor manusia

(penanaman vegetasi dan pengolahan lahan) disebut erosi potensial.

Macam-macam erosi berdasarkan bentuknya, dibedakan menjadi (1) erosi

percikan, yaitu erosi hasil dari percikan atau benturan air hujan secara langsung

pada partikel tanah dalam keadaan basah, (2) erosi lembaran, yaitu erosi akibat

terlepasnya tanah dari lereng dengan tebal lapisan yang tipis, (3) erosi alur, yaitu

erosi akibat pengikisan tanah oleh aliran air yang membentuk parit atau saluran

kecil, (4) erosi parit, proses yang terjadi sama seperti erosi alur, terjadi bila alur-

alur menjadi semakin lebar dan dalam yang membentuk parit dengan kedalaman

yang mencapai 1 sampai 2,5 meter atau lebih, (5) erosi sungai atau saluran, terjadi

akibat terkikisnya permukaan tanggul sungai dan gerusan sedimen di sepanjang

dasar saluran (Hardiyatmo 2006).

4

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi

Erosi sebagai suatu proses alami terjadi akibat faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi, yaitu iklim, kondisi

tanah, topografi, vegetasi, dan aktifitas manusia. Menurut Bennett (1955), iklim

memiliki pengaruh yang besar pada pengembangan dan distribusi tanah. Hal ini

paling mudah dipahami dengan mempertimbangkan cara bagaimana tanah

terbentuk. Melalui proses kimia dan pelapukan fisik, pembekuan, pencairan,

batuan yang retak teroksidasi, terpecah, terpisah, dan larut oleh air hujan,

sehingga membentuk suatu massa dari bahan yang terutama terdiri dari fragmen

batuan. Kondisi klimatis sebagian besar menentukan seberapa cepat dan dengan

cara apa proses pelapukan primer berlangsung. Oleh karena itu, kondisi iklim

dapat mempengaruhi perubahan baik kualitas maupun kuantitas tanah.

Salah satu unsur klimatis yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas

tanah adalah hujan. Hujan akan menimbulkan erosi jika intensitasnya cukup tinggi

dan jatuhnya dalam waktu relatif lama. Ukuran butir hujan juga sangat berperan

dalam menentukan erosi. Hal tersebut disebabkan karena dalam proses erosi,

energi kinetik merupakan penyebab utama dalam penghancuran agregat-agregat

tanah. Besarnya energi kinetik hujan bergantung pada jumlah hujan, intensitas,

dan kecepatan jatuhnya hujan. Kecepatan jatuhnya butir-butir hujan itu sendiri

ditentukan ukuran butir-butir hujan dan angin (Rahim 2006). Menurut Lakitan

(1994), butiran yang berukuran besar akan jatuh dengan kecepatan yang lebih

tinggi dibanding butiran yang lebih kecil, sehingga dalam proses jatuhnya butiran

yang lebih besar ini akan menabrak dan bergabung dengan butiran yang lebih

kecil. Oleh karena itu energi kinetik hujan pun akan semakin besar.

Selain tergantung pada efek pemecahan air hujan, jumlah total tanah yang

terkikis juga tergantung pada tindakan hujan yang menyebabkan erosi dan

kapasitas angkut aliran permukaan. Tanpa limpasan permukaan, jumlah erosi

tanah yang disebabkan oleh curah hujan relatif kecil. Aktifitas yg menyebabkan

erosi akibat air hujan ditentukan oleh energi kinetik air hujan, sedangkan aktifitas

yang menyebabkan erosi akibat pengangkutan kapasitas aliran permukaan

tergantung pada kuantitas, kecepatan, dan tingkat penyatuan atau titik temu aliran

permukaan (Zachar 1982).

5

Kondisi tanah berpengaruh terhadap erosi dengan ketahanannya. Tanah

memiliki kemampuan untuk menahan tumbukan butiran hujan. Ketahanan tanah

tersebut disebut erodibilitas tanah. Penyebab mendasar dari erosi tanah dan

kerusakan berikutnya menurut Eden (1964) adalah rusaknya struktur tanah.

Beberapa tanah yang lebih mudah tererosi daripada yang lain adalah karena lebih

rentan kehilangan struktur remahnya. Satu struktur remah hancur, perkolasi air

terhambat, lapisan permukaan menjadi jenuh, dan partikel menjadi berongga,

basah, licin, sehingga mudah terangkut oleh air yang telah mengalir di atas

permukaan, yang seharusnya masuk sampai kedalaman lebih rendah dan outlet

yang normal.

Menurut Wischmeier dan Smith (1978), perbedaan dalam kerentanan alami

terhadap erosi tanah sulit untuk diukur dari pengamatan lapangan. Bahkan tanah

dengan faktor erodibilitas relatif rendah mungkin menunjukkan tanda-tanda erosi

yang serius bila terjadi pada lereng curam, panjang atau di lokasi dengan hujan

intensitas tinggi. Tanah dengan faktor erodibilitas tinggi alami, di sisi lain, bisa

menunjukkan bukti kecil mengenai erosi aktual dengan curah hujan yang rendah

yang terjadi di lereng pendek dan halus, atau ketika manajemen yang terbaik

dipraktekkan.

Wischmeier dan Smith (1965) menjelaskan bahwa tingkat erosi tanah oleh

air sangat dipengaruhi oleh panjang lereng dan gradien (persentase kemiringan).

Panjang lereng didefinisikan sebagai jarak dari titik asal aliran ke salah satu dari

titik berikut; (1) titik di mana lereng menurun sejauh pengendapan dimulai atau

(2) titik di mana limpasan memasuki saluran yang jelas yang mungkin menjadi

bagian dari jaringan drainase atau saluran yang dibentuk seperti teras atau

pengalihan aliran air. Hubungan kehilangan tanah untuk gradien dipengaruhi oleh

kepadatan tutupan tumbuhan dan ukuran partikel tanah.

Tanaman penutup tanah mengendalikan erosi percikan dengan mencegat

tetesan air hujan dan menyerap energi kinetiknya. Tanaman penutup ini juga

melindungi kapasitas infiltrasi tanah. Pada lahan kosong, proses pemukulan air

hujan selama terjadinya hujan, dapat mengakibatkan rusak ringan dan agregat

gumpalan tanah, dan membentuk lapisan padat di permukaan. Hal ini jelas

mengurangi kapasitas infiltrasi tanah dan limpasan akan meningkat. Tanaman

6

penutup mencegah pembentukan lapisan permukaan ini padat (Stallings 1957).

Tanaman penutup tanah juga dapat memecah aliran air, selain oleh batu dan

jalanan batu, serta rumput dan semak kecil (Morgan 2005). Dalam hutan yang

tidak terganggu, tingkat infiltrasi dan kandungan bahan organik tanah tinggi, dan

sebagian besar atau seluruh permukaan biasanya ditutupi oleh lapisan padat

sampah hutan atau serasah yang membusuk beberapa inci tebalnya. Semacam

lapisan pelindung, sampah tanah mengurangi dampak dari kekuatan erosi dan

limpasan dan sangat efektif terhadap erosi tanah (Wischmeier dan Smith 1978).

Sedangkan menurut Ristic dan Macan (1997), pembentukan tegakan hutan yang

stabil (pada lahan gundul dan bukan hutan rusak atau padang rumput) harus

dilihat sebagai kunci bagi tindakan yg tidak erosif untuk melindungi reservoir dari

sedimentasi. Umumnya, vegetasi hutan meningkatkan transpirasi dan intersepsi

tetapi mengurangi kehilangan air oleh penguapan. Hal ini juga mempengaruhi

perkembangan tanah, dan terutama kapasitas infiltrasi. Kehilangan air secara

khusus lebih rendah namun menyebabkan durasi limpasan yang lebih lama.

Pengaruh aktivitas manusia terhadap kehilangan tanah dijelaskan oleh

Kartasapoetra et al. (2005). Faktor kegiatan manusia selain dapat mempercepat

terjadinya erosi karena perlakuan-perlakuannya yang negatif, dapat pula

memegang peranan yang penting dalam usaha pencegahan erosi yaitu dengan

perlakuan-perlakuan yang positif. Perlakuan negatif dan positif tersebut

bergantung terhadap penerapan kaidah konservasi dalam pengolahan tanahnya..

Menurut Wild (1993), beberapa metode telah dirancang untuk melindungi

tanah terhadap erosi, (1) metode biologi dengan melakukan berbagai cara

mempertahankan penutup vegetasi selama periode resiko erosi tinggi (pengelolaan

tanaman yang baik, penggunaan rotasi, penutup tanaman untuk menstabilkan

lereng, penanaman strip, mulsa dengan tunggul jerami dan gulma, tingkat stok

yang tepat pada padang rumput), (2) budidaya melalui penggunaan pertanian yang

biasa diimplementasikan dalam menyiapkan lahan untuk tanaman pertanian

(membajak dalam kontur, pengunaan terhadap alur yang menanjak, persiapan

lahan minimum), (3) perlindungan mekanis dengan berbagai bentuk teras yang

semi permanen (saluran yang menanjak, teras penyerapan, teras bangku, teras

irigasi).

7

2.3 Metode Pengukuran Erosi

Besarnya erosi dapat diketahui secara tepat dengan melakukan pengukuran

langsung di lapangan. Arsyad (2006) mengemukakan beberapa metode dalam

mengukur erosi, yaitu:

1. Kotak penampung tanah tererosi, digunakan untuk menampung erosi pada

setiap kejadian hujan.

2. Petak percobaan di lapangan, berukuran satu meter persegi yang digunakan

untuk mendapatkan hubungan antara besarnya erosi dengan sifat-sifat fisik

tanah atau penutup tanah untuk suatu tipe tanah dengan tanaman penutup

tertentu.

3. Pengukuran kandungan sedimen sungai, yaitu dengan mengukur banyaknya

sedimen tersuspensi yang terbawa oleh air sungai pada suatu DAS.

4. Survei sedimentasi reservoir, ditentukan dengan memperkirakan tebalnya

endapan di berbagai tempat dalam reservoir. Endapan pada reservoir berasal

dari sedimen yang terbawa oleh air sungai.

5. Tongkat pengukur, digunakan untuk mengukur besarnya erosi yang terjadi

untuk suatu massa tertentu. Pengukuran ini bersifat kasar (kurang akurat)

dalam pembacaan skala.

6. Survei tanah, ditentukan berdasarkan tebalnya horizon tanah A atau lapisan

atas tanah yang hilang.

2.4 Metode Pendugaan Erosi

Wischmeier dan Smith (1978) menjelaskan suatu metode untuk menduga

erosi di suatu lahan. Model tersebut merupakan model parametrik yang dapat

digunakan untuk menduga erosi dalam suatu DAS, yaitu persamaan Universal

Soil Loss Equation (USLE), dengan rumus sebagai berikut:

.................................................................................... (1)

Sedangkan, erosi potensial dihitung dengan persamaan berikut:

............................................................................................... (2)

keterangan:

A : Erosi aktual (ton/ha/tahun) Ap : Erosi potensial (ton/ha/tahun) R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)

8

K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah) LS : Indeks panjang dan kemiringan lereng C : Indeks penutup oleh tanaman (vegetasi) P : Indeks tindakan pencegahan erosi (konservasi)

2.4.1 Indeks Erosivitas Hujan

Persamaan yang digunakan untuk menghitung indeks erosivitas hujan

beragam, antara lain menurut Bols (1978) diacu dalam Hardiyatmo (2006) khusus

untuk Kepulauan Jawa dan Madura dihitung dengan persamaan berikut:

6,119 , 0,47 , ........................................... (3)

Perbandingan nilai erosivitas yang dihitung tanpa data hujan harian maksimum

dan jumlah hari hujan dijelaskan oleh Lenvain (1989) diacu dalam Asdak (2007)

dengan persamaan berikut:

2,21 , ........................................................................................... (4)

∑ ................................................................................................... (5)

keterangan:

Rm : indeks erosivitas hujan bulanan Pm : hujan bulanan (cm) HH : jumlah hari hujan dalam satu bulan Pmax : hujan harian maksimum pada bulan yang bersangkutan (cm) R : indeks erosivitas hujan tahunan i : bulan ke-

Wischmeier dan Smith (1965) menyatakan bahwa kehilangan tanah oleh

percikan air hujan berhubungan dengan erosivitas air hujan dan intensitas hujan

maksimum dalam 30 menit, sedangkan menurut Hudson erosi hampir seluruhnya

disebabkan oleh hujan dengan intensitas lebih besar dari 25 mm/jam (Morgan

2005).

Wischmeier dan Smith (1965) menjelaskan indeks erosivitas dalam

persamaan berikut:

210 89 ........................................................................................ (6)

∑ .......................................................................................... (7)

∑ ................................................................................................. (8)

keterangan:

E : energi kinetik air hujan (ton-meter/ha/cm) I : intensitas hujan (cm/jam)

9

EI30 : indeks interaksi energi kinetik hujan dengan intensitas hujan maksimum 30 menit

I30 : intensitas hujan maksimum dalam 30 menit (cm/jam) R : indeks erosivitas hujan tahunan

Sedangkan menurut Hudson (1965) dalam Morgan (2005), untuk menghitung

indeks erosivitas di daerah hujan tropis menggunakan persamaan berikut:

0,298 1 , ...................................................................................... (9)

keterangan:

Ek : energi kinetik air hujan (MJ/ha/mm) I : intensitas hujan (mm/jam)

2.4.2 Indeks Erodibilitas Tanah

Erodibilitas adalah kemampuan tanah untuk menahan energi kinetik air

hujan. Indeks erodibilitas menyatakan laju erosi per indeks erosivitas hujan.

Indeks erodibilitas tanah dihitung dengan persamaan Wischmeier dan Smith

(1978) berikut:

K , , , , , ........................ (10)

keterangan:

K : indeks erodibilitas tanah M : (% debu + % pasir sangat halus) x (100 - % lempung) a : persentase bahan organik (% C-organik x 1,724) (Tabel 2.1) b : kode struktur tanah (Tabel 2.2) c : kelas permeabilitas profil tanah (Tabel 2.3)

Tabel 2.1 Nilai bahan organik Pisahan Organik (%) Kelas Nilai C-Organik Bahan Organik

< 1 < 1,724 Sangat rendah 0 1,0 - 2,0 1,724 – 3,650 Rendah 1 2,1 – 3,0 4,024 – 5,574 Sedang 2 3,1 – 5,0 5,766 – 11,444 Tinggi 3

> 5 > 11,444 Sangat tinggi 4 Sumber: Purwowidodo (2002)

Tabel 2.2 Kode struktur tanah Kelas Struktur Tanah Kode

Granuler sangat halus (<1 mm) 1 Granuler halus (1 sampai 2 mm) 2 Granuler sedang sampai kasar (2 sampai 10 mm) 3 Berbentuk blok, blocky, plat, massif 4

Sumber: Arsyad (2006)

10

Tabel 2.3 Kode permeabilitas profil tanah Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode

Sangat lambat < 0,5 6 Lambat 0,5 sampai 2,0 5 Lambat sampai sedang 2,0 sampai 6,3 4 Sedang 6,3 sampai 12,7 3 Sedang sampai cepat 12,7 sampai 25,4 2 Cepat > 25,4 1

Sumber: Arsyad (2006)

Nilai K dapat diklasifikasikan ke dalam enam kelas, yang dijelaskan pada

Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Klasifikasi indeks K tanah Kelas Nilai K Harkat

1 0,00 – 0,10 Sangat Rendah 2 0,11 – 0,21 Rendah 3 0,22 – 0,32 Sedang 4 0,33 – 0,44 Agak Tinggi 5 0,45 – 0,55 Tinggi 6 0,56 – 0,64 Sangat Tinggi

Sumber: Dangler dan El Swaify (1976) diacu dalam Arsyad (2006)

2.4.3 Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng

Indeks panjang dan kemiringan lereng dihitung dengan persamaan

Wischmeier dan Smith (1978) berikut:

LS 65,41 4,56 0,065 .......................................... (11)

keterangan:

LS : indeks panjang dan kemiringan lereng λ : panjang lereng (m)

; ; d adalah jarak datar Beda tinggi (ΔT) = ∑ garis kontur x IC; Interval Kontur (IC) = 1/2000 x faktor skala m : konstanta m = 0,5 jika s ≥ 5 % m = 0,4 jika 3,5 ≥ s ≥ 4,5 % m = 0,3 jika 3 ≥ s ≥ 1 % m = 0,2 jika s ≤ 1 %

: kemiringan lereng (0)

Foster dan Wischmeier (1973) diacu dalam Asdak (2007), memberikan

persamaan lain untuk pengukuran panjang dan kemiringan lereng pada lahan

berlereng terjal, sebagai berikut:

11

/22 α , 0,5 α , α , ................................. (12)

keterangan:

LS : indeks panjang dan kemiringan lereng m : 0,5 untuk lereng 5 % atau lebih 0,4 untuk lereng 3,5 - 4,9 % 0,3 untuk lereng 3,5% C : 34,71 α : sudut lereng l : panjang lereng (m)

Persamaan lain yang digunakan untuk mengukur panjang dan kemiringan

lereng terutama dalam aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG), yaitu

persamaan Moore et al. (1993) diacu dalam Gitas et al. (2009) berikut:

1,4 / 22,13 , / 0.0896 , ................................................. (13)

keterangan:

LS : indeks panjang dan kemiringan lereng As : akumulasi aliran (m2/m) β : kemiringan lereng (0)

2.4.4 Indeks Penutupan Tanah oleh Tanaman

Penutupan tanah oleh tanaman berpengaruh terhadap erosi aktual. Menurut

USDA (1978) yang diacu dalam Asdak (2007), faktor penutupan tanah (nilai C)

dapat ditentukan berdasarkan persentase penutupan tajuk, kondisi penutupan

tumbuhan bawah, dan tinggi jatuh air hujan dari tajuk pohon ke permukaan tanah.

Faktor penutupan tanah (nilai C) dijelaskan dalam Tabel 2.5 dan Tabel 2.6.

Tabel 2.5 Faktor VM (C) untuk daerah berhutan yang tidak terganggu

Tajuk Efektif* (%) Serasah Hutan** (%) Nilai VM***

100 – 75 100 – 90 0,0001 – 0,001

75 – 40 85 – 75 0,002 – 0,004

35 - 20 70 - 40 0,003 – 0,009 Keterangan: * = Bila luas tajuk efektif kurang dari 20 % daerah tersebut dapat dianggap sebagai

padang rumput atau tanah kosong/tidak produktif ** = Serasah hutan diasumsikan mempunyai ketebalan 2,5 cm pada daerah naungan.

*** = Nilai VM berkaitan dengan daerah naungan . Tajuk yang rendah efektif dalam mengurangi dampak negatif air hujan terhadap permukaan tanah dengan menurunkan nilai VM. Tajuk yang tinggi, lebih dari 13 meter, kurang efektif dalam mengurangi dampak negatif air hujan, dan dengan demikian tidak berpengaruh terhadap besarnya nilai VM.

Sumber: Asdak (2007)

13

2.4.5 Indeks Tindakan Konservasi Tanah

Faktor tindakan konservasi tanah (nilai P) merupakan nisbah antara

besarnya erosi dari tanah dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap

besarnya erosi yang diolah menurut arah lereng. Nilai tindakan konservasi tanah

disajikan dalam Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi tanah khusus Tindakan khusus konservasi tanah Nilai P

Teras Bangku*

Konstruksi baik 0,04 Konstruksi sedang 0,15 Konstruksi kurang baik 0,35 Teras tradisional 0,40

Strip tanaman rumput Bahia 0,40

Pengolahan tanah dan penanaman menurut garis kontur

Kemiringan 0 – 8% 0,50

Kemiringan 9 – 20% 0,75

Kemiringan lebih dari 20% 0,90 Tanpa tindakan konservasi 1,00

Keterangan: * = Konstruksi teras bangku dinilai dari kerataan dasar teras dan keadaan talud

teras

Sumber: Arsyad (2006)

2.5 Tingkat Bahaya Erosi

Departemen Kehutanan (1986) diacu dalam Hardjowigeno (2007)

menggunakan pendekatan tebal solum tanah dan besarnya erosi sebagai dasar

untuk menentukan tingkat bahaya erosi (TBE). Semakin dangkal solum tanah,

maka semakin sedikit tanah yang boleh tererosi. Penentuan tingkat bahaya erosi

disajikan dalam Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Tingkat bahaya erosi tanah

Tebal Solum (cm) Kelas Bahaya Erosi I II III IV V

Laju Erosi Tanah (ton/ha/tahun) < 15 15-60 60-180 180–480 > 480

Tebal (> 90) Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat

Berat

Sedang (60-90) Ringan Sedang Berat Sangat Berat

Sangat Berat

Tipis (30-60) Sedang Berat Sangat Berat

Sangat Berat

Sangat Berat

Sangat tipis (< 30) Berat Sangat Berat

Sangat Berat

Sangat Berat

Sangat Berat

Sumber: Departemen Kehutanan (1986) diacu dalam Hadjowigeno (2007)

14

Bahaya erosi menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) adalah

perkiraan jumlah tanah yang hilang maksimum yang akan terjadi pada suatu lahan

bila pengelolaan tanah tidak mengalami perubahan, sedangkan tingkat bahaya

erosi (TBE) ditentukan berdasarkan atas perbandingan antara jumlah tanah yang

tererosi dengan kedalaman (efektif) tanah tanpa memperhatikan jangka waktu

kelestarian yang diharapkan, jumlah erosi yang diperbolehkan maupun kecepatan

proses pembentukan tanah (Hardjowigeno 2007).

2.6 Penentuan Erosi yang Dibolehkan

Penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau

ditoleransikan adalah perlu oleh karena tidaklah mungkin menekan laju erosi

menjadi nol dari tanah-tanah yang berlereng. Akan tetapi suatu kedalaman tanah

tertentu harus dipelihara agar terdapat suatu volume tanah yang cukup dan baik

bagi tempat berjangkarnya akar tanaman dan untuk tempat menyimpan air serta

unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, sehingga tanaman atau tumbuhan dapat

tumbuh dengan baik (Arsyad 2006).

Menurut Kartasapoetra et al. (2005), karena adanya pengaruh iklim (hujan

dan angin) dan pergeseran-pergeseran dalam tanah (tektonis) serta perbuatan-

perbuatan manusia yang tidak memperhatikan ketentuan pengawetan tanah dan

air, maka dapat ditentukan bahwa sangat sulit untuk meniadakan dan atau

mencegah terjadinya erosi sama sekali. Penetapan nilai erosi yang diperbolehkan

dapat menggunakan deskripsi dalam Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Pedoman penetapan nilai erosi yang dibolehkan (T)

Sifat Tanah Nilai T (ton/ha/th)

1. Tanah dangkal di atas batuan 1,12 2. Tanah dalam, di atas batuan 2,24 3. Tanah dengan lapisan bawah (subsoil) padat, di atas substrata

yang tidak berkonsolidasi (telah mengalami pelapukan) 4,48

4. Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas lambat, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi 8,96

Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi 11,21

6. Tanah dengan lapisan bawahnya permeable (agak cepat), di atas bahan yang tidak terkonsolidasi 13,45

Sumber: Thompson (1957) dalam Arsyad (2006)

15

Menurut Utomo (1989) diacu dalam Hardjowigeno (2007), nilai erosi yang

diperbolehkan (T) yang dikemukakan oleh Thompson (1957) adalah terlalu

rendah dan mungkin tidak akan pernah dapat tercapai melalui pengelolaan tanah

di Indonesia. Oleh karena itu Arsyad (1989) menyatakan bahwa T maksimum

dapat mencapai sekitar 25 ton/ha/tahun (Tabel 2.10).

Tabel 2.10 Pedoman penetapan nilai erosi yang dibolehkan (T) di Ifndonesia

Sifat Tanah Nilai T (ton/ha/th)

1. Tanah sangat dangkal di atas batuan melapuk (tidak terkonsolidasi) 4,0

2. Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk 8,0 3. Tanah dengan kedalaman sedang di atas batuan telah melapuk 12,0 4. Tanah dalam dengan lapisan bawah kedap air di atas substrata

yang telah melapuk 14,0

5. Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas lambat, di atas substrata telah melapuk 16,0

6. Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas substrata telah melapuk 20,0

7. Tanah dengan lapisan bawahnya permeable (agak cepat), di atas substrata telah melapuk 25,0

Sumber: Arsyad (1989) diacu dalam Hardjowigeno (2007)

2.7 Indeks Bahaya Erosi

Nilai indeks bahaya erosi (IBE) berguna untuk mengetahui seberapa besar

laju erosi yang terjadi akan membahayakan kelestarian keproduktifan tanah yang

bersangkutan (Purwowidodo 2002). Nilai IBE dihitung merupakan perbandingan

antara erosi potensial dengan erosi yang diperbolehkan. Erosi potensial

merupakan erosi yang dihitung dengan persamaan USLE tanpa memperhitungkan

faktor vegetasi dan tindakan konservasi tanah. Manfaat dari indeks bahaya erosi

adalah untuk mengetahui erosi maksimum yang dapat terjadi dengan

memperhatikan kelestarian tanah.

Indeks bahaya erosi dihitung dengan persamaan Hammer (1981) diacu

dalam Arsyad (2006) sebagai berikut:

......................................................................................................... (14)

keterangan:

IBE : indeks bahaya erosi Ap : erosi potensial (ton/ha/tahun) T : erosi yang diperbolehkan (ton/ha/tahun)

12

Tabel 2.6 Faktor Penutupan tanah oleh tanaman (Nilai C)

Tipe dan tinggi tajuk

Penutup tajuk (%)

Jenis

penutup tumbuhan bawah*

Nilai C untuk tipe tajuk tertentu dan kondisi tumbuhan bawah tanah penutup permukaan tanah

Persentase tumbuhan bawah dan serasah 0 20 40 60 80 95-100

Tak ada tajuk yang

berarti - G 0.45 0.20 0.10 0.042 0.013 0.003

W 0.45 0.24 0.15 0.090 0.043 0.011

Tajuk rumput

liar tinggi atau

semak pendek (tinggi

jatuh 0.5)

25 G 0.36 0.17 0.09 0.038 0.012 0.003

W 0.36 0.20 0.13 0.082 0.041 0.011

50 G 0.26 0.13 0.07 0.035 0.012 0.003

W 0.26 0.16 0.11 0.075 0.039 0.011

75 G 0.17 0.10 0.06 0.031 0.011 0.003

W 0.17 0.12 0.09 0.067 0.038 0.011

Banyak semak-semak (tinggi

jatuh 2 m)

25 G 0.40 0.18 0.09 0.040 0.013 0.003

W 0.40 0.22 0.14 0.085 0.042 0.011

50 G 0.34 0.16 0.09 0.38 0.012 0.003

W 0.34 0.19 0.13 0.81 0.041 0.011

75 G 0.28 0.14 0.08 0.036 0.012 0.003

W 0.28 0.17 0.12 0.077 0.040 0.011

Pohon-pohonan

tapi sedikit semak (tinggi

jatuh 4 m)

25 G 0.42 0.19 0.10 0.041 0.013 0.003

W 0.42 0.23 0.14 0.087 0.042 0.011

50 G 0.39 0.18 0.09 0.040 0.013 0.003

W 0.39 0.21 0.14 0.087 0.042 0.011

75 G 0.36 0.17 0.09 0.039 0.012 0.003

W 0.36 0.20 0.13 0.083 0.14 0.011 Keterangan: *G = penutup permukaan adalah rumput, hancuran tuff dipadatkan, atau sampah

kedalaman minimum 5 cm *W = penutup permukaan seperti rumput dengan sedikit akar lateral di dekat

permukaan, dan/atau residu tidak membusuk Sumber: USDA (1978) dalam Hardiyatmo (2006)

Persentase penutupan tajuk dapat diperoleh beberapa cara, antara lain

pengukuran langsung di lapangan, analisis Normalized Difference Vegetation

Index atau NDVI dari citra Landsat TM (Hazarika dan Honda 1999 diacu dalam

Arsyad 2006) dan dengan analisis terhadap foto hemisphirical image penutupan

tajuk menggunakan perangkat lunak HemiView.

16

Tabel 2.11 Kelas-kelas indeks bahaya erosi Indeks Bahaya Erosi Kelas

0,00 – 1,00 Rendah 1,01 – 4,00 Sedang 4,01 – 10,00 Tinggi ≥ 10,00 Sangat Tinggi

Sumber: Hammer (1981) diacu dalam Arsyad (2006)

2.8 Pendugaan Erosi dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis

Beberapa Alasan penggunaan SIG menurut Prahasta (2002), antara lain:

1. SIG menggunakan data spasial dan atribut secara terintegrasi sehingga

sistemnya dapat menjawab baik pertanyaan spasial (berikut pemodelannya)

maupun non-spasial – memiliki kemampuan analisis spasial dan non-

spasial.

2. SIG dapat memisahkan dengan tegas antara bentuk presentasi dengan data-

datanya (basisdata) sehingga memiliki kemampuan untuk merubah

presentasi dalam berbagai bentuk.

3. SIG memiliki kemampuan-kemampuan untuk menguraikan unsur-unsur

yang terdapat di permukaan bumi ke dalam bentuk beberapa layer atau

coverage data spasial. Dengan layers ini permukaan bumi dapat

“direkonstruksi” kembali atau dimodelkan dalam bentuk nyata (real world

tiga dimensi) dengan menggunakan data ketinggian berikut layers tematik

yang diperlukan.

Hasil evaluasi ancaman erosi dan pengukuran erosi dapat dipetakan,

sehingga peta erosi dapat berupa peta ancaman erosi (erosion risk atau erosion

hazard map) dan peta erosi yang telah terjadi. Peta ancaman erosi menunjukkan

penyebaran tingkat ancaman atau besarnya erosi yang dapat terjadi, termasuk

bahaya longsor pada suatu wilayah, sedangkan peta erosi yang telah terjadi

menunjukkan penyebaran besarnya atau tingkat erosi yang telah terjadi pada suatu

wilayah (Arsyad 2006).

Perbedaan indikator erosi tanah telah diidentifikasi dan telah menjadi opini

umum bahwa suatu area yang tererosi secara aktual merupakan indikator terbaik

dalam erosi tanah. Hal yang menarik adalah dapat mengetahui tingkat bahaya

erosi yang terjadi di suatu areal pada masa yang akan datang. Tingkat bahaya

erosi tersebut dapat diduga dengan model pendugaan erosi yang tepat. Model

17

yang efektif akan memberikan informasi mengenai erosi yang terjadi sekarang,

kecenderungannya, serta analisis skenario yang dibolehkan. Penggabungan antara

model erosi yang sudah ada, data lapangan, dan data hasil teknologi remote

sensing, melalui penggunaan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG), akan

menjadi nilai penting untuk pemanfaatan selanjutnya (Gitas 2009).

2.9 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah lahan total dan permukaan air yang

dibatasi oleh topografi dan yang dengan salah satu cara memberikan sumbangan

terhadap debit suatu sungai pada suatu irisan melintang tertentu (Seyhan 1990).

Menurut Lee (1986), suatu tangkapan air (catchment) atau daerah aliran

sungai (watershed) diberi batasan dalam hubungannya dengan suatu titik tertentu,

yaitu stasiun penakar (gaging station), sepanjang suatu sungai dimana debit air

permukaan diukur sebagai aliran permukaan. Daerah tangkapan meliputi semua

titik yang terletak diatas elevasi (ketinggian tempat) stasiun penakar dan di dalam

bats topografi atau igir (topographic divine) yang memisahkan daerah-aerah aliran

sungai di dekatnya. Batas tofografi atau perimeter DAS, mengikuti garis gigir

gunung (ridge line) antara satuan-satuan hidrologi, sebagai garis melintang

tertutup yang tidak beraturan dan selalu tegak lurus terhadap garis kontur.

Asdak (2007) menjelaskan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem dengan

unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, vegetasi) dan

sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. Karakteristik biofisik

DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh di wilayah DAS tersebut dapat

memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi,

perkolasi, air larian, aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai.

DAS terdiri dari bagian hulu, tengah dan hilir.

Kondisi biofisik DAS pada bagian hulu memiliki keterkaitan dengan

dampak yang terjadi terhadap DAS di bagian hilir. Dalam hal ini, aktivitas

bercocok tanam yang tidak atau kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi

tanah dan air di hulu DAS telah mengakibatkan proses sedimentasi yang serius

pada waktu dan /atau sungai di bagian hilir DAS yang bersangkutan.

18

Besarnya proses sedimentasi yang berlangsung di dalam waduk/sungai,

tidak hanya mempengaruhi kualitas dan umur pakai waduk, tetapi juga

mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada saluran-saluran irigasi yang

mendapatkan aliran air dari waduk atau sungai tersebut (Asdak 2007).

2.10 Sediment Delivery Ratio (SDR)

Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit,

atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah

kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan waduk. Produksi

sedimen umumnya mengacu kepada besarnya laju sedimen yang mengalir

melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Tidak semua

tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik

pengamatan. Sebagian tanah tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan-

cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk-bentuk penampungan

sedimen lainnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengukuran sedimen, untuk

mengetahui berapa besar sedimen yang terendapkan di sungai (Asdak 2007).

Nisbah antara jumlah sedimen yang terangkut ke dalam sungai terhadap

erosi yang terjadi di dalam DAS disebut Sediment Delivery Ratio (SDR). Nilai

SDR dihitung berdasarkan persamaan Auerswald (2002) diacu dalam Arsyad

(2006) berikut:

0,02 0,385 , ........................................................................... (15)

Besarnya erosi aktual yang terjadi dapat dihitung dari nilai SDR yang diketahui

dengan menggunakan persamaan menurut Asdak (2007) berikut:

............................................................................................................. (16)

keterangan:

SDR : Sediment Delivery Ratio A : Luas DAS (Ha) E : Erosi total (ton/ha/tahun) Y : Hasil sedimen di outlet (ton/ha/tahun)