Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pajak Penghasilan
2.1.1.1 Definisi Pajak
Definisi pajak berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum Perpajakan, disebutkan bahwa pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Definisi pajak menurut pendapat beberapa ahli yang dikutip dari Herry
Purwono (2010:6), antara lain :
Menurut Rochmat Soemitro (1990)
“Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum”.
Menurut P.J.A Adriani
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh mereka yang wajib membayarnya menurut peraturan, tanpa mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran umum terkait dengan tugas negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan”.
22
Menurut M.J.H Smeets (1951)
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-
norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra-prestasi,
yang dapat ditunjukkan dalam kasus yang bersifat individual, maksudnya
adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.
Dari beragam definisi pajak yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan
bahwa ada beberapa ciri yang melekat pada pajak, yaitu :
a. Iuran atau kontribusi wajib rakyat kepada negara.
b. Dipungut oleh pemerintah berdasarkan undang-undang sehingga bersifat
memaksa.
c. Tanpa jasa timbal atau kontra-prestasi secara langsung yang dapat ditunjuk.
d. Digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan
penyelenggaraan pemerintahan.
e. Secara khusus, undang-undang menambahkan bahwa penggunaan iuran pajak
adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pemerataan
kesejahteraan).
2.1.1.2 Penggolongan Pajak
Menurut Herry Purwono (2010:10) pajak dibagi berdasarkan beberapa
golongan, diantaranya :
1. Berdasarkan Wewenang Pemungutan
a. Pajak Pusat
Yaitu pajak yang wewenang pemungutannya dimiliki oleh Pemerintah
Pusat. Contohnya PPh, PPN dan PPnBM, PBB, serta Bea Meterai.
23
b. Pajak Daerah
Yaitu pajak yang wewenang pemungutannya dimiliki oleh Pemerintah
Daerah. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pajak Daerah terdiri atas :
Pajak Provinsi, seperti Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, serta Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah dan Air Permukaan.
Pajak Kabupaten/Kota, seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C, Pajak Parkir, dan pajak
lainnya.
2. Berdasarkan Administrasi dan Pembebanan
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus ditanggung sendiri oleh wajib
pajak dan pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain.
Contoh : PPh.
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : PPN dan PPnBM.
3. Berdasarkan Sasaran
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak dalam arti memperhatikan keadaan diri
Wajib Pajak seperti Pajak Penghasilan.
24
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang memperhatikan pertama-tama pada
objek (benda, peristiwa, perbuatan, atau keadaan) yang menyebabkan
timbulnya kewajiban membayar pajak, seperti PPN dan PPnBM.
2.1.1.3 PPh Secara Umum
1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)
Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008, pajak penghasilan adalah
pajak yang dikenakan kepada subjek pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam tahun pajak.
2. Subjek dan Objek Pajak
a. Subjek Pajak PPh
Menurut Mardiasmo (2016: 163) yang menjadi Subjek Pajak adalah:
Orang pribadi
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak.
Badan, terdiri dari PT, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
BUMN/BUMD, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif.
Bentuk Usaha Tetap (BUT).
b. Objek Pajak PPh adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
25
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun (Pasal 4 ayat 1
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008).
3. Tarif Pajak
Menurut Mardiasmo (2016: 178) tarif pajak yang dikenakan diantaranya:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
Tabel 2.1 Tarif Pajak WP Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
s/d Rp 50.000.000,00 5%
di atas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00 15%
di atas Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00 25%
di atas Rp 500.000.000,00 30%
Tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat
diturunkan menjadi paling rendah 25% yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap
Tarif pajak yang diterapkan adalah sebesar 25%. Wajib Pajak badan
dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40%
dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa
efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lain-lainnya dapat
memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah daripada tarif yang berlaku.
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp 50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00.
26
2.1.1.4 PPh Pasal 21
1. Pengertian PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
2. Wajib Pajak PPh Pasal 21
Menurut Mardiasmo (2016: 201) penerima penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan:
a. Pegawai.
b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pemberian jasa, contohnya tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, pemberi jasa dan jenis
pekerjaan lainnya.
d. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
e. Mantan pegawai.
f. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.
27
3. Objek PPh Pasal 21
Menurut Mardiasmo (2016: 203) yang menjadi objek PPh Pasal 21 adalah:
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
c. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang
pembayarannya melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai
berhenti bekerja.
d. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang
dibayarkan secara bulanan.
e. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi,
fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan.
f. Imbalan kepada peserta kegiatan, seperti uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan
dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
g. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur
yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan
yang sama.
28
h. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau
imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh
mantan pegawai.
i. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program
pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan.
j. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan
nama dan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh Wajib Pajak yang
dikenakan PPh final dan Wajib Pajak yang dikenakan PPh berdasarkan
norma penghitungan khusus (deemed profit).
4. Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun
Menurut Mardiasmo (2016: 205) Besarnya biaya jabatan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan PPh
bagi pegawai tetap, ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-
tingginya Rp500.000,00 sebulan atau Rp6.000.000,00 setahun.
Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk
penghitungan pemotongan PPh bagi penerima pensiun, ditetapkan sebesar 5%
dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 200.000,00 sebulan atau Rp
2.400.000,00 setahun.
5. Tarif Pajak
Menurut Mardiasmo (2016: 207) tarif pajak yang dikenakan adalah:
a. Tarif pasal 17 UU PPh, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari:
29
Penerima pensiun berkala.
PPh 21 = PKP x tarif Ps 17 UU PPh
= (Penghasilan netto - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh
= (Penghasilan bruto – Biaya pensiun – PTKP) x tarif Ps
17 UU PPh
Pegawai tetap.
PPh 21 = PKP x tarif Ps 17 UU PPh
= (Penghasilan netto - PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh
= (Penghasilan bruto - Biaya jabatan - iuran pensiun dan
iuran THT/JHT yang dibayar sendiri – PTKP) x tarif Ps
17 UU PPh
Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan
atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 bulan
kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00.
PPh 21 = (Penghasilan bruto – PTKP) x tarif Ps 17 UU PPh
Bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat
berkesinambungan.
b. Atas penghasilan yang diterima pegawai tidak tetap atau tenaga kerja
lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan,
dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara
bulanan, tarif lapisan pertama pasal 17 UU PPh (5%) diterapkan atas:
Jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp 300.000,00.
Junlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam
hal jumlah penghasilan kumulatif 1 bulan kalender telah melebihi Rp
30
3.000.000,00. Jika melebihi Rp 8.200.000,00, PPh 21 dihitung
dengan menerapkan tarif pasal 17 UU PPh atas jumlah PKP yang
disetahunkan.
c. Tarif pasal 17 UU PPh, diterapkan atas jumlah kumulatif dari:
PKP, sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP
per bulan, yang diterima atau diperoleh bukan pegawai yang
menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan dengan
memenuhi ketentuan: telah mempunyai NPWP, hanya memperoleh
penghasilan dari hubungan kerja dengan satu pemotong PPh pasal
21, serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
PPh 21 = 50% x (Kumulatif penghasilan bruto – PTKP) x tarif ps
17 UU PPh
Apabila tidak memenuhi ketentuan:
PPh 21= 50% x Kumulatif penghasilan bruto x tarif ps 17 UU PPh
d. Tarif pasal 17 UU PPh, diterapkan atas jumlah kumulatif dari:
Jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan
komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
Jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima
atau diperoleh mantan pegawai.
31
Jumlah penghasilan bruto berupa dana pensiun oleh peserta program
pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan.
Tarif pajaknya dihitung berdasarkan :
PPh 21 = Kumulatif penghasilan bruto x tarif ps 17 UU PPh
e. Tarif PPh pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama
apapun yang menjadi beban APBN atau APBD adalah sebagai berikut:
Sebesar 0% dari penghasilan bruto bagi PNS golongan I dan II,
anggota TNI dan POLRI golongan pangkat perwira pertama, dan
pensiunannya.
Sebesar 5% dari penghasilan bruto bagi PNS golongan III, anggota
TNI dan POLRI golongan pangkat tamtama dan bintara, serta
pensiunannya.
Sebesar 15% dari penghasilan bruto bagi pejabat negara, PNS
golongan IV, anggota TNI dan POLRI golongan pangkat perwira
menengah dan perwira tinggi, serta pensiunannya.
2.1.1.5 PPh Pasal 22
1. Pengertian PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan
pemerintah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara
lain, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-
badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
32
2. Pengenaan atas Kegiatan Impor dan Ekspor
Dasar pengenaan pajak atas kegiatan yang dikenakan PPh Pasal 22 seperti
menurut Mardiasmo (2016: 271) adalah sebagai berikut:
a. Objek dan Tarif Pajak
Atas impor:
Barang yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar
2.5% dari nilai impor.
Barang yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API),
sebesar 7,5% dari nilai impor.
Barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan
Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea
Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
Atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral
bukan logam, sesuai uraian barang dan pos tarif/Harmonized System oleh
eksportir dikenakan sebesar l,5% dari nilai ekspor sebagaimana
tercantum dalam pemberitahuan ekspor barang. Dikecualikan dari
pemungutan PPh Pasal 22 adalah ekspor yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan dan kontrak karya.
b. Pemungut PPh Pasal 22
Bank Devisa dan Direktorat Bea dan Cukai.
33
3. Pengenaan atas Pembelian Barang Oleh Bendaharawan Pemerintah
a. Objek dan Tarif Pajak
Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh:
Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemda, instansi atau
lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya,
Bendahara pengeluaran dengan mekanisme uang persediaan (UP),
KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi
delegasi oleh KPA kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS),
dikenakan PPh sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
b. Pemungut PPh Pasal 22
Bendaharawan, KPA, dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar.
4. Pengenaan atas Pembelian Barang Oleh Badan Usaha Tertentu
a. Objek dan Tarif Pajak
Berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-
bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu, yang
meliputi:
Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau
sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan,
34
BUMN yang dilakukan restrukturisasi oleh pemerintah setelah
berlakunya Peraturan Menteri, dan restrukturisasi tersebut dilakukan
melalui pengalihan saham milik negara kepada BUMN lainnya,
badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN,
dikenakan PPh sebesar l,5% dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
b. Pemungut PPh Pasal 22
BUMN dan badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh
BUMN.
5. Pengenaan atas Penjualan Hasil Produksi Industri Tertentu
a. Objek dan Tarif Pajak
Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh
badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi:
Penjualan semua jenis semen sebesar 0, 25% dari dasar pengenaan
PPN.
Penjualan kertas sebesar 0,1 % dari dasar pengenaan PPN.
Penjualan baja sebesar 0,3% dari dasar pengenaan PPN.
Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih
sebesar 0,45% dari dasar pengenaan PPN.
Penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% dari dasar pengenaan PPN.
b. Pemungut PPh Pasal 22
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi.
35
6. Pengenaan atas Penjualan BBM, Bahan Bakar Gas, dan Pelumas
a. Objek dan Tarif Pajak
Bahan Bakar Minyak sebesar:
0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada
SPBU Pertamina.
0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada
SPBU Pertamina.
0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada
SPBU Pertamina dan SPBU bukan Pertamina.
Bahan bakar gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN.
Pelumas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN.
b. Pemungut PPh Pasal 22
Produsen atau importir BBM, bahan bakar gas, dan pelumas.
7. Pengenaan atas Penjualan Kendaraan Bermotor
a. Objek dan Tarif Pajak
Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal
Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor sebesar 0,45% dari dasar pengenaan PPN.
b. Pemungut PPh Pasal 22
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek
(APM), dan importir umum kendaraan bermotor.
36
8. Pengenaan atas Bahan-Bahan Untuk Keperluan Industri atau Ekspor
a. Objek dan Tarif Pajak
Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh
badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, sebesar
0,25% dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
b. Pemungut PPh Pasal 22
Badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
9. Pengenaan atas Pembelian Komoditas Tambang
a. Objek dan Tarif Pajak
Atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari
badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh
industri atau badan usaha sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak
termasuk PPN.
b. Pemungut PPh Pasal 22
Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas
tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan
atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan.
10. Pengenaan atas Penjualan Emas
a. Objek dan Tarif Pajak
Atas penjualan emas batangan oleh produsen emas batangan, sebesar
0,45% dari harga jual emas batangan.
37
b. Pemungut PPh Pasal 22
Badan usaha yang memproduksi emas batangan, atas penjualan emas
batangan di dalam negeri.
11. Pengenaan atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah
a. Objek dan Tarif Pajak
Dikenakan PPh sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan
PPnBM atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, contohnya
pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari 20 milyar, kapal
pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari 10 milyar, dan barang
yang tergolong sangat mewah lainnya.
b. Pemungut PPh Pasal 22
Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
2.1.1.6 PPh Pasal 23
1. Pengertian PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, dan penyelenggaraan kegiatan selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21. PPh Pasal 23 dibayar atau terutang oleh badan
pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
2. Pemotong PPh Pasal 23
Menurut Mardiasmo (2016: 285) pemotong PPh Pasal 23 adalah pihak-pihak
yang membayarkan penghasilan, yang terdiri atas:
38
a. Badan pemerintah.
b. Subjek Pajak badan dalam negeri.
c. Penyelenggara kegiatan.
d. Bentuk usaha tetap.
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
f. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat
penunjukkan dari Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh
Pasal 23, yang meliputi:
Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat. pengacara, dan
konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan.
3. Subjek dan Objek Pemotongan PPh Pasal 23
Menurut Mardiasmo (2016: 286) objek dan subjek PPh Pasal 23 yaitu:
a. Subjek PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri atau BUT yang
menerima penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang yang telah dipotong PPh Pasal 21.
b. Objek dan tarif pemotongan PPh Pasal 23
Dikenakan tarif pemotongan sebesar 15% dari jumlah bruto,atas:
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi, dan pembagian SHU koperasi.
39
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
Royalti.
Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.
Dikenakan tarif pemotongan sebesar 2% dari jumlah bruto tidak
termasuk PPN, atas:
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong PPh Pasal 21.
2.1.1.7 PPh Pasal 24
1. Pengertian PPh Pasal 24
PPh Pasal 24 merupakan pajak yang dibayar atau terhutang di luar negeri atas
penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri. Jika negara lain tempat Wajib Pajak dalam negeri tersebut
mengenakan pajak penghasilan maka Wajib Pajak tersebut akan membayar
atau terutang pajak atas penghasilan itu di negara yang bersangkutan.
2. Penggabungan Penghasilan yang berasal dari luar negeri
Menurut Mardiasmo (2016: 293) penggabungan penghasilan yang berasal
dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:
40
a. Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak
diperolehnya penghasilan tersebut (accrual basis).
b. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak
diterimanya penghasilan tersebut (cash basis).
c. Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (pasal 18 ayat 2 UU
PPh) dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut
ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
3. Batas Maksimum Kredit Pajak
Menurut Mardiasmo (2016: 294) batas maksimum kredit pajak diambil yang
terendah di antara 3 unsur/perhitungan berikut ini:
a. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri.
b. (Penghasilan luar negeri : Seluruh PKP) x PPh atas seluruh yang
dikenakan tarif pasal 17.
c. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh PKP (dalam hal PKP adalah
lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).
4. Cara Melaksanakan Kredit Pajak Luar Negeri
Menurut Mardiasmo (2016: 300) untuk melaksanakan pengkreditan pajak
yang terutang atau dibayar di luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:
a. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal darl luar negeri.
b. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri.
c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
41
Penyampaian permohonan kredit pajak yang terutang atau dibayar di luar
negeri tersebut dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh.
2.1.1.8 PPh Pasal 25
1. Pengertian PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh yang harus dibayar sendiri oleh WP
untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan sebagaimana dimaksud dalam
UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh. Pembayaran angsuran tersebut
dimaksudkan untuk meringankan beban WP dalam membayar pajak terutang.
2. Cara Menghitung Besarnya PPh Pasal 25
Menurut Mardiasmo (2016: 301) besarnya angsuran pajak dalam tahun
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan
adalah sebesar PPh yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23,
serta PPh yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
b. PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
3. Hal-Hal Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25
Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menyesuaikan besarnya
angsuran Pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun
berjalan, apabila:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.
42
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.
c. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu
yang ditentukan.
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
tahunan PPh.
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT tahunan PPh yang mengakibatkan
angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
f. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
2.1.1.9 PPh Pasal 26
1. Pengertian PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 merupakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari modal
dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap,
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa, dan
penghasilan lain yang sehubungan dengan penggunaan harta, jasa, pekerjaan
dan kegiatan, hadiah dan penghargaan dengan nama dalam bentuk apapun.
2. Wajib Pajak PPh Pasal 26
Menurut Mardiasmo (2016: 313) yang dikenakan pemotongan PPh pasal 26
adalah Wajib Pajak luar negeri (orang pribadi maupun badan) selain Bentuk
Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan.
3. Objek dan Tarif PPh Pasal 26
Menurut Mardiasmo (2016: 314) tarif PPh Pasal 26 yaitu:
a. Tarif sebesar 20% dari jumlah penghasilan bruto dikenakan untuk objek
pajak berupa penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk
43
deviden, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap, imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa, dan
penghasilan lain yang sehubungan dengan penggunaan harta, jasa,
pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan dengan nama dalam
bentuk apapun.
b. Atas penghasilan berupa penghasilan dari penjualan harta di Indonesia,
premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri,
dan penjualan atau pengalihan saham dikenakan tarif sebesar 20% dari
hasil penghasilan bruto dikali perkiraan penghasilan netto. Besarnya
perkiraan penghasilan netto adalah 25% dari harga jual.
c. Atas PKP sesudah dikurangi pajak terutang dari suatu Badan Usaha
Tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan
tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
4. Sifat Pemotongan
Pemotongan PPh pasal 26 bersifat final, kecuali:
a. Pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan,
penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan
yang dijalankan atau dilakukan Badan Usaha Tetap di Indonesia.
b. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara Badan Usaha Tetap dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
44
c. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam
negeri atau Badan Usaha Tetap.
5. Pemotong Pajak
Badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
Badan Usaha Tetap, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan pembeli
yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 26.
2.1.1.10 PPh Final
1. Pengertian PPh Final
Pajak Penghasilan Final merupakan pajak penghasilan yang pengenaannya
sudah final (berakhir) sehingga tidak dapat dikreditkan (dikurangkan) dari
total Pajak Penghasilan terutang pada akhir tahun pajak. Berdasarkan Pasal 4
ayat (2) UU PPh menyebutkan bahwa “atas penghasilan berupa bunga
deposito, dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham
dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa
tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan
pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
2. Tarif PPh Final
a. Bunga deposito dan berbagai jenis tabungan, diskon jasa giro, dan
sertifikat Bank Indonesia akan dikenai tarif 20% dari jumlah bruto
penghasilan bunga deposito.
45
b. Tarif 0% untuk penghasilan dari bunga simpanan sampai dengan Rp
240.000 per bulan atau 10% dari jumlah bruto bunga simpanan untuk
penghasilan dari bunga simpanan lebih dari Rp 240.000 per bulan.
c. Bunga obligasi dikenai tarif 15% jika penerima adalah Wajib Pajak
dalam negeri. Sedangkan untuk Wajib Pajak luar negeri atau yang telah
ditentukan khusus lewat perjanjian pajak, tarif yang dikenakan sebesar
20%.
d. Pemenang hadiah undian dikenai tarif sebesar 25%.
e. Transaksi derivatif akan dikenai tarif sebesar 2,5%.
f. Transaksi penjualan saham pendiri di bursa efek akan dikenai tarif 0,5%
dari nilai saham perusahaan pada saat penawaran umum perdana.
Sedangkan penjualan saham bukan pendiri akan dikenai tarif sebesar
0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham.
g. Jasa kontruksi dikenai tarif sebesar 2% hingga 6% dari pelaksanaan
konstruksi.
h. Sewa atas tanah akan dikenai tarif 10% dari jumlah bruto nilai persewaan
tanah dan atau bangunan.
i. Dividen yang diterima orang pribadi dikenai tarif sebesar 10% dari
jumlah bruto.
j. Tarif 0,5% untuk penghasilan bruto bagi UMKM.
3. Konsekuensi Penggunaan PPh Final
Terdapat sejumlah konsekuensi dari Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final
yaitu:
46
Tidak berlaku tarif progresif pada PPh final.
Pemotongan PPh final tidak berlaku sebagai kredit pajak pada SPT
Tahunan.
Tidak diperhitungkan sebagai pajak terutang.
Wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
4. Batas Setor dan Pelaporan PPh Final
PPh final berbeda dengan jenis pajak lainnya, PPh final langsung dibayar
utuh saat penghasilan diterima. Hal ini bertujuan untuk menyederhanakan
mekanisme perpajakan dan mengurangi beban administrasi Wajib Pajak
terutama Wajib Pajak yang masih berkembang dan belum mampu
menyelenggarakan pembukuan. Pada tanggal 15 setiap bulannya, Wajib Pajak
harus sudah membayar setoran PPh Final ke kas negara. Kemudian untuk
pelaporannya Wajib Pajak cukup menyertakan lampiran laporan PPh Final
0,5% pada pelaporan SPT Tahunan Badan/Pribadi.
2.1.2 Penerimaan PPh
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang paling utama
selain dari minyak dan gas bumi untuk mendanai Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Penerimaan pajak salah satunya yang bersumber dari
Pajak Penghasilan memegang peranan strategis dalam meningkatkan kemandirian
pembiayaan operasional negara.
Menurut Antasari (dalam Sendi Estika Rahma, 2017:31) penerimaan pajak
di Indonesia saat ini banyak mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain :
47
1. Administrasi Perpajakan
Semakin rumit administrasi perpajakan akan menyebabkan keengganan wajib
pajak untuk membayar pajak. Untuk mengatasi kurang efektif dan efeisiennya
pengumpulan dana dari masyarakat, dilakukanlah reformasi perpajakan
dengan tujuan menaikkan penerimaan pajak.
2. Perluasan Subjek dan Objek Pajak
Perluasan subjek dan objek pajak adalah kebijakan dibidang perpajakan yang
ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui penambahan jumlah
subjek pajak dan perluasan objek pajak.
3. Peraturan Perpajakan
Pemungutan pajak merupakan kebijakan yang ditempuh dengan tujuan agar
para wajib pajak membayar sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga
realisasi penerimaaan pajak sesuai dengan potensinya. Melalui kebijakan ini
penerimaaan pajak diharapkan meningkat namun jumlah subjek dan objek
pajak tidak berubah.
2.1.2.1.Penerimaan PPh Sebelum Penerapan Metode E-Billing
(Menggunakan SSP)
2.1.2.1.1 Pengertian Surat Setoran Pajak
Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009
sebagaimana telah diubah dengan PER-06/PJ/2016, Surat Setoran Pajak atau SSP
adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan dengan
menggunakan formulir melalui tempat pembayaran yang telah ditunjuk oleh
Menteri Keuangan.
48
2.1.2.1.2 Fungsi SSP
Fungsi SSP ialah sebagai sarana untuk membayar pajak dan sebagai bukti
laporan pembayaran pajak. Pembayaran pajak dapat dilakukan di bank/kantor pos
persepsi yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan. SSP terbagi menjadi 4
bagian dengan peruntukkan sebagai berikut :
1. Lembar 1 : Untuk arsip Wajib Pajak
2. Lembar 2 : Untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
3. Lembar 3 : Untuk dilaporkan Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak
4. Lembar 4 : Untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran.
Sumber: www.pajak.go.id
Gambar 2.1 Contoh SSP manual
49
2.1.2.1.3 Pembayaran Pajak Melalui SSP
Pembayaran pajak melalui SSP dilakukan melalui beberapa tahap, pertama
Wajib Pajak harus datang ke KPP untuk mengisi formulir SSP, dibelakang
formulir SSP terdapat petunjuk pengisian dan penjelasan mengenai kode akun apa
saja yang ingin disetorkan oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak juga diminta untuk
mengisi SSP sebanyak rangkap 4 sampai 5 lembar sesuai dengan ketentuan,
kemudian Wajib Pajak harus melakukan pembayaran pajak di bank atau lembaga
lain yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak. Setelah itu Wajib Pajak harus
kembali lagi ke KPP untuk melakukan pelaporan pembayaran pajak.
2.1.2.1.4 Kekurangan Dalam SSP
Menurut Alvinda Rizwany (2017: 63) Proses pembayaran pajak melalui
mekanisme SSP memiliki beberapa kekurangan, diantaranya:
1. Proses pembayaran pajak yang menyita waktu dan tenaga.
Kekurangan ini dikarenakan Wajib Pajak terlebih dahulu harus ke kantor
pajak untuk mengisi keterangan data secara manual pada SSP, SSP harus
dibuat rangkap 4 sampai 5 lembar. Kemudian Wajib Pajak pergi ke bank
untuk membayar pajak dengan menunggu giliran bertransaksi sesuai dengan
nomor antrian. Setelah itu Wajib Pajak kembali lagi ke kantor pajak untuk
melakukan Pelaporan pajak. Hal ini tentunya merugikan bagi Wajib Pajak
yang mempunyai kegiatan/pekerjaan lain yang harus dilakukan.
2. Terjadi kesalahan dalam nomor NTPN
Fungsi nomor NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) adalah sebagai
kepastian bagi Wajib Pajak dan Fiskus bahwa Wajib Pajak telah membayar
50
pajak terutang. Kesalahan dapat terjadi apabila pada lembar SSP tersebut
nomor NTPN terlihat samar saat diprint atau salah satu digit nomor NTPN
terhalang kertas atau sebagainya sehingga mengakibatkan nomor NTPN tidak
terlihat dengan jelas. Tentunya hal ini akan mengakibatkan terjadinya
masalah saat Wajib Pajak melakukan pelaporan pajak.
3. Terjadi kesalahan dalam kode akun pajak dan kode jenis setoran pajak
Kode akun pajak dan kode jenis setoran pajak sangat penting untuk
diperhatikan karena kedua kode tersebut akan dicatat dalam administrasi
database. Jika terdapat kesalahan dalam pengisian kedua kode tersebut,
Wajib Pajak bisa dianggap belum melakukan pelaporan atau dianggap belum
melakukan pembayaran pajak terutang yang harus dibayar. Walaupun
kesalahan tersebut dapat diperbaiki, tetap akan merepotkan dan menyita
waktu bagi Wajib Pajak.
2.1.2.2 Penerimaan PPh Sesudah Penerapan Metode E-Billing
2.1.2.2.1 Pengertian E-Billing
E-billing merupakan salah satu bentuk modernisasi administrasi
perpajakan untuk mengoptimalisasikan pelayanan pajak. Berdasarkan Peraturan
Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 e-billing adalah metode
pembayaran elektronik dengan menggunakan kode billing. Kode billing yaitu
kode identifikasi yang diterbitkan melalui sistem billing atas suatu jenis
pembayaran atau setoran yang akan dilakukan Wajib Pajak.
51
2.1.2.2.2 Gambaran E-Billing
Pembayaran pajak menggunakan e-billing baru dilaksanakan seluruh KPP
se-Indonesia pada tahun 2013. Awal kemunculan e-billing berjalan tidak terlalu
sukses karena kenyataan di lapangan Wajib Pajak yang memilih membayar pajak
menggunakan e-billing sangat sedikit. Kebanyakan Wajib Pajak terbiasa dan lebih
memilih melakukan pembayaran secara manual melalui SSP yang jika ditinjau
dari keefisienan sebenarnya kurang. Sejak tanggal 1 Juli 2016 Direktorat Jenderal
Pajak mengambil keputusan bahwa pembayaran pajak menggunakan hardcopy
SSP telah diakhiri dan digantikan dengan e-billing.
Proses pembayaran pajak menggunakan e-billing harus melalui tahap-
tahap sebagai berikut :
1. Pendaftaran akun billing (jika belum punya akun billing) di situs resmi
Direktorat Jenderal Pajak.
2. Pembutan kode billing di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak.
3. Menyetor utang pajak ke Bank/ Pos Persepsi dengan membawa kode billing.
2.1.2.2.3 Cara Membuat Kode Billing
Kode billing merupakan kode identifikasi khusus yang terdiri dari 15 digit
angka yang diterbitkan oleh sistem Direktorat Jenderal Pajak setelah Wajib Pajak
mengisi data informasi mengenai pajak yang akan disetor. Kode billing ini hanya
berlaku selama 48 jam saja setelah diterbitkan dan akan terhapus secara otomatis
apabila melebihi masa kadaluwarsa. Wajib Pajak harus membuat kode billing
kembali apabila dalam kurun waktu 48 jam tersebut belum melakukan penyetoran
pajak ke Bank/ Pos Persepsi. Format kode billing terdiri dari angka awal yang
52
dalam kode billing 0, 1, 2, 3 merupakan untuk sistem Direktorat Jenderal Pajak
dan 14 angka di belakangnya merupakan angka acak/random. Berikut cara
membuat kode billing melalui website http://sse3.pajak.go.id dan DJP Online.
1. Melalui http://sse3.pajak.go.id.
Registrasi melalui server ini tidak memerlukan EFIN dan hanya bisa
membuat kode billing atas nama diri sendiri, sehingga kolom NPWP tidak
dapat diubah.
a. Masuk ke website http://sse3.pajak.go.id, lalu klik login. Apabila belum
memiliki akun, silahkan klik belum punya akun. Isi data registrasi secara
lengkap lalu klik daftar. Cek email yang telah didaftarkan kemudian klik
link aktivasi untuk mengaktivasi akun.
Sumber: http://sse3.pajak.go.id
Gambar 2.2 Tampilan Login SSE
53
b. Setalah akun aktif lalu login kembali di http://sse3.pajak.go.id, kemudian
buat kode billing dengan memilih menu “ISI SSE” dan isi data
pembayarannya.
Sumber: http://sse3.pajak.go.id
Gambar 2.3 Tampilan Form SSE
c. Setelah data pembayaran disimpan, kemudian cetak kode billing.
Sumber: http://sse3.pajak.go.id
Gambar 2.3 Contoh Cetakan Kode Billing
54
2. Melalui DJP Online
Untuk menggunakan layanan DJP online, Wajib Pajak terlebih dahulu harus
mengisi formulir aktivasi EFIN di KPP. Setelah itu proses pembuatan Kode
Billing dilakukan dengan mengakses alamat https://djponline.pajak.go.id.
Berikut langkah-langkahnya :
a. Buka website https://djponline.pajak.go.id untuk registrasi akun.
b. Pilih menu “Daftar “.
c. Masukkan NPWP dan Nomor EFIN, kemudi Pilh menu Verifikasi.
d. Masukkan email dan buat password untuk digunakan login ke DJP online.
Cek email kemudian klik link aktivasi untuk mengkativasi akun.
e. Login ke DJP online menggunkana NPWP dan password yang telah
dibuat ketika proses registrasi akun, kemudian pilih menu e-billing.
f. Jika menu belum aktif maka pilih menu profil terlebih dahulu dan centang
Pilihan Menu e-billing (ulangi langkah ini 2x).
g. Setelah menu e-billing aktif dan memilih menu e-billing maka tampilan
halaman akan diteruskan ke https://sse2.pajak.go.id/.
h. Pilih menu Isi SSE dan isikan data pembayaran lalu pilih simpan.
i. Pastikan data isian sudah benar lalu pilih menu “Kode Billing”.
j. Cetak Kode Billing dan membawanya ke Bank/Kantor Pos Persepsi atau
membayarnya melalui Internet Banking.
55
2.1.2.2.4 Pembayaran Pajak Melalui E-Billing
Seperti pada penjelasan diatas disebutkan Wajib Pajak harus mencetak
kode billing yang telah dibuat untuk melakukan pembayaran pajak. Pembayaran
pajak dapat dilakukan di bank atau kantor pos yang ditunjuk oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Pembayaran juga dapat dilakukan melalui ATM, Internet Banking,
Mobile Banking, dan Electronic Data Chapture.
Setelah melakukan pembayaran pajak maka Wajib Pajak akan
mendapatkan struk Bukti Penerimaan Negara (BPN). BPN menunjukkan jika
Wajib Pajak telah berhasil melakukan penyetoran pajak. Berdasarkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran
Pajak Elektronik, Direktur Jenderal Pajak menyatakan bahwa di dalam BPN yang
diterbitkan oleh Bank/ Pos Persepsi tertera NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan
Negara) dan NTB (Nomor Penerimaan Bank)/ NTP (Nomor Transaksi Kantor
Pos) dimana kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
2.1.2.2.5 Keuntungan Menggunakan E-Billing
Berikut beberapa keuntungan dan manfaat menggunakan e-billing dalam
membayar pajak :
1. Menyederhanakan proses pembayaran pajak.
2. Meminimalisir adanya human error dalam pengisian data pembayaran.
3. Memberikan kenyamanan pada wajib pajak dalam merekam data setoran
secara mandiri (self assessment).
4. Pengisian data pembayaran pajak dapat terjaga kerahasiaanya karena diisi
oleh Wajib Pajak sendiri.
56
5. Mengurangi anggaran negara untuk pencetakan lembar SSP.
6. Hemat waktu, baik itu dalam perekaman data maupun pembayaran pajak.
7. Transaksi real time, data yang telah diisi Wajib Pajak akan langsung terekam
Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak.
8. Fleksibel, pembayaran dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.
2.2 Kerangka Pemikiran
Pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara memiliki peran
penting dalam memenuhi berbagai keperluan belanja negara. Pemerintah telah
melakukan berbagai upaya dalam bidang perpajakan dengan penyempurnaan atas
pelaksanaan sistem perpajakan melalui reformasi perpajakan.
Reformasi pada perpajakan ini diwujudkan melalui penerapan sistem
administrasi perpajakan yang memanfaatkan kemajuan teknologi agar dapat
meningkatkan kualitas pelayanan, penerimaan pajak, dan memudahkan Wajib
Pajak dalam melakukan pembayaran pajak.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kemudian meluncurkan
Sistem Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN-G2) dimana dalam MPN-G2
ini pembayaran pajak dilakukan secara elektronik melalui e-billing. Sebelum
penerapan e-billing, pembayaran pajak masih dilakukan secara manual
menggunakan sistem MPN-G1 melalui Surat Setoran Pajak (SSP).
Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009
sebagaimana telah diubah dengan PER-06/PJ/2016, Surat Setoran Pajak atau SSP
adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan dengan
menggunakan formulir melalui tempat pembayaran yang telah ditunjuk oleh
57
Menteri Keuangan. Adapun fungsi SSP ialah sebagai sarana untuk membayar
pajak dan sebagai bukti laporan pembayaran pajak. Dalam penelitian Alvinda
Rizwany (2017) disebutkan bahwa penggunaan SSP memiliki beberapa
kekurangan diantaranya proses pembayaran pajak yang menyita waktu dan tenaga
karena harus mengisi formulir SSP sebanyak 4 sampai 5 rangkap kemudian
menuju bank untuk melakukan pembayaran pajak lalu kembali lagi ke KPP untuk
melakukan pelaporan pajak, SSP juga dapat menimbulkan potensi terjadinya
kesalahan dalam mendapat Nomor NTPN, hal ini akan mengakibatkan terjadinya
masalah saat Wajib Pajak melakukan pelaporan pajak.
Sesudah penerapan e-billing, Wajib Pajak tinggal mengakses website
www.sse3.pajak.go.id atau melalui https://djponline.pajak.go.id untuk membuat
kode billing terlebih dahulu, kemudian pembayaran pajak dapat dilakukan di bank
atau kantor pos yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak, ATM, Internet
Banking, Mobile Banking, dan Electronic Data Chapture.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 e-
billing adalah metode pembayaran elektronik dengan menggunakan kode billing.
Kode billing yaitu kode identifikasi yang diterbitkan melalui sistem billing atas
suatu jenis pembayaran atau setoran yang akan dilakukan Wajib Pajak.
Hasil penelitian Agus Bandiyono dan Bella Florissa Septiana (2018)
menunjukkan bahwa penerapan e-billing pajak memiliki keunggulan-keunggulan
tersendiri. Terbukti e-billing dapat meminimalisasi human error karena
mengurangi kesalahan entry oleh petugas loket dan menjadi lebih akurat, tidak
memerlukan banyak kertas, pembayaran bisa dengan banyak cara, kapan saja, dan
58
dimana saja, serta lebih cepat tanpa harus antre. Berbeda dengan Elana Era
Yusdita (2017) yang memperoleh hasil bahwa terdapat anggapan wajar akan
ketidakmampuan sistem terelektronisasi memicu keengganan belajar teknologi
baru, seperti e-billing. Pengalaman mengurus pajak yang berbelit-belit secara
manual dan pengalaman masa lalu juga membuat informan tidak mau
mempelajari cara menggunakan e-billing.
Dengan diterapkannya e-billing diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan pajak yang ditargetkan khususnya yang bersumber dari PPh. PPh
memiliki potensi penerimaan pajak yang besar, setiap Wajib Pajak yang telah
mempunyai penghasilan dan memenuhi syarat pengenaan PPh diwajibkan untuk
membayar PPh.
Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008, Pajak Penghasilan adalah pajak yang
dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam
bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir
dalam tahun pajak.
Kota Tasikmalaya memiliki potensi penerimaan pajak yang besar
khususnya yang bersumber dari PPh. Wilayah yang luas namun tidak seluruhnya
terjangkau internet juga kesiapan Wajib Pajak menggunakan teknologi dalam
membayar pajak menjadi tantangan tersendiri bagi KPP Pratama Tasikmalaya.
Pihak KPP harus memastikan pelaksanaan e-billing berjalan sesuai standar untuk
menunjang tercapainya penerimaan pajak yang ditargetkan.
59
Penelitian yang dilakukan Adi (2018) memperoleh hasil bahwa
penggunaan e-billing dapat meningkatkan rata-rata efektivitas penerimaan pajak
sebesar 12,86%. Hasil penelitian Sendi Estika Rahma (2017) juga menunjukkan
bahwa secara simultan pembayaran pajak menggunakan e-billing dan manual
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak. Namun secara parsial hanya
pembayaran pajak menggunakan e-billing saja yang berpengaruh terhadap
penerimaan pajak. Kemudian hasil penelitian Dara Ayu Mentari (2016)
menunjukkan bahwa pada data nominal penerapan e-billing tidak berpengaruh
signifikan terhadap penerimaan pajak, sedangkan penerimaan manual
berpengaruh signifikan. Pada data transaksi penerapan metode e-billing dan
manual berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak. Dalam penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Muh Samnur (2018) didapat hasil bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara tingkat penerimaan Pajak Penghasilan sebelum
dan setelah penerapan e-billing.
Penelitian ini terdiri dari 2 variabel independen, yaitu penerimaan PPh
sebelum penerapan metode e-billing sebagai X1 dan penerimaan PPh sesudah
penerapan metode e-billing sebagai X2. Variabel tersebut diukur dengan indikator
besarnya peningkatan/penurunan penerimaan PPh per periode sebelum dan
sesudah penerapan metode e-billing. Dasar penggunaan indikator ini bertujuan
untuk menghindari bias yang berpotensi muncul sebagai akibat dari peningkatan
jumlah Wajib Pajak dalam periode yang diteliti.
60
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran diatas maka didapatkan paradigma
penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.5 Paradigma Penelitian
2.3 Hipotesis
Berdasarkan pemaparan kerangka pemikiran diatas maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah :
H1 : Terdapat perbedaan signifikan antara penerimaan PPh sebelum dan
sesudah penerapan metode e-billing.
Penerimaan PPh
sebelum penerapan
metode e-billing (X1)
Uji Beda
Penerimaan PPh
sesudah penerapan
metode e-billing (X2)