Upload
phungdiep
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KONDISI UMUM LOKASI
2.1.1 Keadaan Geografis
Desa Kanekes merupakan salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar,
kabupaten daerah tingkat II Lebak yang berada di Provinsi Banten. Desa ini
terletak pada posisi 6o35‟43”-6
o41‟43” LS dan 106
o12‟49”-106
o16‟1” BT. Desa
Kanekes merupakan desa terluas di Kecamatan Leuwidamar, yaitu mencapai
5.101 Ha. Jenis tanah pada sebagian besar wilayah tersebut merupakan jenis tanah
latosol cokelat. Jenis tanah ini sangat rentan terhadap pembukaan vegetasi
(penutup lahan). Apabila vegetasi tersebut ditebang maka sangat rawan timbulnya
erosi tanah (Solihin 2003, diacu dalam Septiawan 2008).
2.1.2 Iklim
Curah hujan rata-rata tahunan di wilayah Baduy umumnya mencapai 4.000
mm/tahun. Daerah Baduy memiliki curah hujan tertinggi dibandingkan dengan
daerah-daerah lain di Kecamatan Leuwidamar. Sedangkan musim kemarau terjadi
pada bulan Juni-September dan bulan Oktober-Mei terjadi musim hujan. Pada
daerah tersebut juga terdapat bulan-bulan kering dengan curah hujan kurang dari
60 mm dan suhu rata-rata bulanan lebih besar dari 18oC (Purnomohadi 1985,
diacu dalam Septiawan 2008).
2.2 LOKASI PEMUKIMAN BADUY
Pemukiman masyarakat Baduy di Desa Kanekes dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu Baduy Dalam yang terdiri dari Kampung Cibeo, Kampung
Cikertawan, dan Kampung Cikeusik, sedangkan Baduy Luar terdiri dari 59
kampung yang terletak di sekeliling wilayah Baduy Dalam. Sebagian besar
wilayah Baduy merupakan wilayah perbukitan dengan kemiringan lahan yang
cukup curam. Letak pemukiman masyarakat Baduy biasanya berada di daerah
datar di lembah-lembah bukit. Hal ini dimaksudkan supaya terlindung dari angin
ketika terjadi badai. Disamping itu, sebagian besar pemukiman dekat dengan
aliran sungai sehingga memudahkan untuk memenuhi kebutuhan air (Solihin
2003, diacu dalam Septiawan 2008).
Beberapa meter dari wilayah pemukiman biasanya dibangun leuit atau
lumbung padi yang jumlahnya dapat mencapai ratusan buah. Leuit ini merupakan
milik masing-masing pribadi penduduk yang diwariskan secara turun temurun.
Letak leuit agak berjauhan dengan pemukiman dengan maksud apabila terdapat
musibah kebakaran di pemukiman tidak akan sampai menghabiskan leuit
(Septiawan 2008).
2.3 RUMAH DI INDONESIA
Kondisi iklim merupakan salah satu faktor penentu untuk bentuk
bangunan. Masalah utama untuk bangunan di Indonesia adalah pada radiasi
matahari yang berlebih sehingga temperatur di dalam bangunan tinggi. Penentuan
jenis material dan arah orientasi bangunan yang tepat akan dapat mengatasi
masalah tersebut. Orientasi bangunan yang tepat adalah Utara-Selatan
(Surjamanto 2000).
Beberapa daerah di Indonesia memiliki curah hujan dan kelembaban yang
tinggi yang berpengaruh terhadap bangunan. Menurut Surjamanto (2000),
kelembaban yang tinggi biasanya diatasi dengan meninggikan lantai rumah seperti
pada rumah-rumah di Sumatera (makin ke daerah Timur, lantai semakin turun).
Curah hujan yang tinggi diatasi dengan model atap yang curam sehingga air hujan
dapat cepat turun dan tidak sempat meresap. Pada rumah di daerah tropis basah,
dinding perlu memiliki lubang agar udara dapat mengalir dan mengurangi
kelembaban udara dalam ruangan, sehingga mempermudah penguapan.
Pentingnya lubang pada bangunan agar udara dapat mengalir di dalam seluruh
ruangan minimal setinggi badan manusia.
2.4 RUMAH TRADISIONAL DAN MODERN
Rumah tradisional dan Modern walaupun memiliki fungsi yang sama
sebagai naungan namun terdapat beberapa perbedaan dilihat dari segi penggunaan
bentuk, material bangunan, dan penataan denah. Rumah tradisional merupakan
rumah dengan bentuk dan konstruksi yang telah diwariskan secara turun temurun.
Material yang dipergunakan pada rumah tradisional adalah material yang berasal
dari alam dengan konstruksi ringan yang kapasitas panasnya rendah. Pada rumah
Modern material yang digunakan umumnya adalah batu dan semen (Surjamanto
2000).
Tata ruangan untuk rumah tradisional memiliki bentuk menyebar
sedangkan rumah Modern tersusun rapih dengan jarak antar rumah yang saling
berdekatan. Bentuk tatanan rumah yang acak menjamin kecepatan angin pada
rumah di bagian akhir akan tidak mengalami pengurangan. Pada tatanan rumah
Modern yang disusun berbaris akan menghalangi aliran angin (Surjamanto 2000).
Gambar 1. Tata ruang rumah tradisional dengan Modern.
Rumah tradisional memiliki serambi yang lebar sehingga areal vertikal
rumah yang terekspose lebih sedikit. Pada rumah Modern sinar matahari masuk
secara langsung (Surjamanto 2000).
Gambar 2. Bagian yang terkena matahari.
2.5 RUMAH TRADISIONAL JAWA BARAT
Orang Sunda merupakan masyarakat yang umumnya berdomisili di daerah
Jawa Barat. Daerah asal orang Sunda tersebut biasa juga sebut dengan sebutan
Tanah Pasundan. Umumnya pemukiman untuk masyarakat Jawa Barat ada yang
menyebar dan ada pula yang berkelompok. Secara tradisional rumah orang Sunda
berbentuk panggung yang tingginya 0.5-0.8 meter atau 1 meter di atas permukaan
tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang
mencapai 1.8 meter, karena digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang
peliharaan seperti sapi, kuda atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti
cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk menaiki rumah disediakan tangga
yang disebut Golodog terbuat dari kayu atau bambu, biasanya tidak lebih dari tiga
anak tangga. Golodog berfungsi pula untuk membersihkan kaki sebelum naik ke
dalam rumah (Halimah 2007).
Rumah-rumah orang Sunda memiliki nama yang berbeda-beda tergantung
pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama
suhunan jolopong, tagong anjing, badak heuay, perahu kemureb dan jubleg
nangkub dan buka pongpok. Ruangan-ruangan yang ada pada bangunan rumah
tradisional pada umumnya terdiri atas :
1. Tepas (ruang depan)
2. Tengah imah (ruang tengah/ruang keluarga)
3. Pangkeng (kamar tidur)
4. Pawon (dapur)
5. Goah/padaringan (tempat menyimpan beras)
6. Kamar cai (kamar mandi).
2.6 KENYAMANAN TERMAL
Kenyamanan dikategorikan dalam tiga bentuk yaitu kenyamanan termal,
kenyaman visual, dan kenyamanan audio (Surjamanto 2000). Fanger (1972) diacu
dalam Heerwagen (2004) menyatakan bahwa kenyamanan termal adalah suatu
kondisi yang menyatakan kepuasan terhadap lingkungan termal di sekitar. Yaglou
(1968) diacu dalam Heerwagen (2004) menyatakan bahwa kenyamanan termal
adalah kondisi udara yang nyaman dimana seseorang dapat mengatur
keseimbangan yang normal antara produksi dan kehilangan panas (heat loss),
pada suhu tubuh yang normal tanpa mengeluarkan keringat.
Kenyamanan termal erat kaitannya dengan kenyamanan fisiologis
manusia. Menurut Priyono (2001), ketidaknyamanan fisiologis yang dirasakan
setiap orang sangatlah kualitatif dan relatif.
Parameter-parameter yang mempengaruhi kenyamanan termal adalah
faktor lingkungan (suhu, kelembaban, tingkat radiasi, dan angin) dan faktor
pribadi (aktivitas, jenis pakaian, jenis kelamin, bobot badan) (Heerwagen 2004).
Gambar 3. Daerah kenyamanan (Frick 2007).
Standart-standart Internasional yang berhubungan dengan kenyamanan
termal adalah ISO/TC 159 SC5 mengenai Ergonomics of the Physical
Environment: Summary of work. Standart kenyamanan termal utamanya adalah
ISO 7730 yang berdasarkan pada Predicted Mean Vote (PMV) dan Predicted
Percentage of Dissatisfied (PPD). PMV merupakan index yang dikenalkan oleh
Professor Fanger dari University of Denmark yang mengindikasikan sensasi
dingin (cold) dan hangat (warm) yang dirasakan oleh manusia pada skala +3
sampai -3. PMV berhubungan dengan 6 parameter dan merupakan nilai rata-rata
yang menggambarkan bagaimana yang dirasakan oleh orang banyak mengenai
cold dan warm. Perbedaan individual dihubungkan dengan hubungan antara PMV
dan PPD (Predicted Percentage of Dissatisfied) (Anonim 2008).
Tabel 1. Hubungan antara PMV, PPD, dan sensasi
Sumber : Anonim, 2008.
Gambar 4. PMV vs PPD.
Nilai PPD sebesar 0% secara teoritis tidak akan tercapai mengingat adanya variasi
individu dalam kelompok seperti halnya kurus, gemuk, dan sebagainya (Sutanto
2007).
2.7 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KENYAMAN TERMAL
Kenyamanan termal saat ini dikembangan melalui dua pendekatan yaitu
pendekatan statik dan pendekatan adaptif.
2.7.1 Suhu dan Kelembaban (RH)
Suhu udara dibedakan menjadi dua macam yaitu suhu udara biasa (air
temperature) dan suhu radiasi. Kelembaban udara adalah kandungan uap air di
dalam udara. Persentase yang menunjukkan besar kelembaban udara didapat dari
perbandingan antara keadaan kenyataan uap air dan jumlah maksimum uap air
yang dapat dikandung oleh udara pada kondisi ruang dan suhu yang sama (Frick
2007).
Manusia merupakan makhluk berdarah panas yang suhu tubuhnya akan
selalu tetap dalam kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Panas tubuh manusia
harus tetap dijaga pada suhu 37oC (Priyono 2004). Di daerah subtropics menurut
Neufert suhu ruangan yang paling nyaman bagi manusia dalam posisi istirahat
ialah antara 18-20oC dan pada waktu bekerja antara 15-18
oC sesuai dengan
gerakannya. Kelembaban yang nyaman bagi manusia antara 50-60%. Menurut
Frick (2007) kelembaban udara yang nyaman bagi manusia adalah 30%-70%.
Kelembaban udara dalam ruangan yang terlalu tinggi akan menimbulkan
pembentukan air keringat, benih penyakit, jamur, dan pengalihan dingin
pembusukan.
Standart kenyamanan termal di Indonesia yang berpedoman pada standar
Amerika [ANSI/ASHRAE 55-1992] merekomendasikan suhu nyaman 22.5-26oC
pada suhu operasi (To), atau disederhanakan menjadi 24oC + 2
oC To, atau
rentang antara 22oC To hingga 26
oC To (Karyono 2001). Surjamanto (2000)
menyatakan bahwa suhu yang nyaman untuk orang Indonesia ialah antara 25.4-
28.9oC. Berdasarkan penelitian CEP Brookes dikutip oleh Olgyay dalam Karyono
(2001) menyatakan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan tropis mencapai
tingkat nyaman pada suhu udara 23.4oC-29.4
oC, dan pada kelembaban 30-70%.
Suhu udara dalam ruangan yang panas dan lembab menyebabkan keringat
tidak dapat berevaporasi, kulit tubuh tetap basah, dan panas tubuh meningkat.
Kondisi seperti ini dirasakan sebagai bentuk ketidaknyamanan (discomfort).
Tanda-tanda ketidaknyamanan terjadi secara bertahap, antara lain: tubuh akan
merasa gerah karena kulit basah oleh keringat, terjadi stress, tubuh lesu,
penurunan gairah kerja, dan timbulnya perasaan jengkel (Priyono 2004).
2.7.2 Pergerakan Udara
Pergerakan udara merupakan aspek penting untuk kenyamanan termal,
terlebih di daerah panas, seperti di daerah tropis. Di daerah dingin pergerakan
udara tidak terlalu berpengaruh. Pergerakan udara atau angin yang menyapu
permukaan kulit mempercepat pelepasan panas secara konveksi (Frick 2007).
Pergerakan udara di dalam ruangan dapat diakibatkan oleh angin ataupun
oleh perbedaan suhu pada bagian yang terkena matahari dengan bagian yang
ternaungi. Angin dan penyegaran udara silang (cross-ventilation) merupakan
udara bergerak yang menghasilkan penyegaran terbaik. Proses penyegaran
tersebut dapat menurunkan suhu pada kulit manusia (Frick 2007).
Tabel 2. Kecepatan angin
Kecepatan Angin
(m/detik)
Pengaruh Atas Kenyamanan Efek Penyegaran
(Pada Suhu 30oC)
< 0.25 Tidak dapat dirasakan 0oC
0.25 – 0.5 Paling nyaman 0.5 – 0.7oC
0.5 – 1 Masih nyaman, tetapi gerakan udara dapat
dirasakan 1.0 – 1.2
oC
1 – 1.5 Kecepatan maksimal 1.7 – 2.2oC
1.5 – 2 Kurang nyaman, berangin 2.0 – 3.3oC
> 2 Kesehatan penghuni terpengaruhi oleh
kecepatan angin yang tinggi 2.3 – 4.2
oC
Sumber : Frick, 2007.
2.7.3 Laju Metabolisme
Laju metabolisme untuk tiap individu bervariasi tergantung dari jenis
aktivitas yang dilakukannya, jenis kelamin, tinggi dan berat badan. Laju
metabolisme dinyatakan dalam satuan „met‟ (metabolic rate atau laju
metabolisme), yang didefinisikan sebagai laju metabolisme per satuan luas tubuh
manusia dalam keadaan istirahat (duduk dan diam). Nilai 1 met setara dengan
58.15 W/m2 permukaan tubuh dan luas permukaan tubuh untuk orang dewasa
normalnya adalah 1.7 m2 (Heerwagen 2004).
2.7.4 Jenis/Tahanan Panas Pakaian (Clothing Insulation, clo)
Jenis pakaian yang dipakai seseorang akan berpengaruh pada pertukaran
panas pada tubuh dengan lingkungan. Pakaian yang dikenakan akan menghambat
proses pelepasan panas dari tubuh ke lingkungan sekitar.
2.8 VENTILASI ALAMIAH
Ventilasi merupakan salah satu dari beberapa metode yang digunakan
untuk mengontrol lingkungan di dalam bangunan yang mencakup dua fungsi
utama yaitu mengkontrol temperatur dan kelembaban di dalam bangunan.
Ventilasi sangatlah penting untuk mengatur kecukupan oksigen dan untuk
memindahkan gas-gas lain, debu, dan bau (Bengtsson 1986).
Ventilasi alamiah merupakan pergerakan udara melalui lubang bangunan
yang terbuka oleh penggunaan gaya alamiah yang dihasilkan oleh angin dan
perbedaan suhu. Kesederhanaan sistem, biaya awal yang murah dan biaya energi
yang rendah merupakan faktor utama yang membuat tipe ventilasi ini sering
digunakan. Bagaimanapun juga, ventilasi yang tergantung gaya alamiah ini
memiliki sifat yang berbeda-beda dan memiliki banyak keterbatasan. Faktor yang
berpengaruh adalah cuaca, lokasi geografis, daerah, penghalang angin,
persyaratan lingkungan, dan lainnya yang harus diperhatikan dalam perancangan
sistem ventilasi alamiah dan pengaturan-pengaturan selanjutnya (Hellickson
1983). Ventilasi alam seperti bukaan pada dinding sangatlah diperlukan untuk
memperlancar angin dan pengudaraan ruangan.
Ventilasi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan tidak tergantung dari
keadaan cuaca. Hal ini akan dipengaruhi perancangan lubang ventilasi dimana
diperlukan lubang ventilasi yang harus mutlak harus ada untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan, dan lubang ventilasi yang bukaanya dapat diatur sesuai
kondisi diluar ruangan untuk membantu memenuhi kebutuhan kenyamanan
termal. Dalam iklim tropis lembab pada siang hari sering terjadi laju aliran udara
yang melebihi kebutuhan ventilasi untuk kesehatan, tetapi meskipun demikian
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan termal karena terlalu
banyaknya panas yang harus dipindahkan ke luar ruangan (Soegijanto 1999).
Pada hakekatnya ventilasi memliki tiga fungsi yaitu (Sangkertadi 1999):
1) Fungsi kesehatan : untuk memenuhi kebutuhan pergantian udara bersih pada
suatu ruangan (terdapat ketentuan WHO yang mensyaratkan angka pergantian
udara minimal pada setiap tipe ruangan).
2) Fungsi pendinginan ruang : diharapkan bahwa udara segar dan bersuhu lebih
rendah dari pada suhu udara dalam ruang, dapat menghambat naiknya suhu
udara dalam ruang melalui proses konveksi.
3) Fungsi kenyamanan aerotermal : melalui hembusan angin pada kulit manusia,
diharapkan adanya peningkatan kenyamanan melalui proses evaporasi
keringat pada kulit manusia.
2.9 PINDAH PANAS
Pindah panas merupakan proses perpindahan energi ketika dua buah
sistem atau lebih dengan temperatur yang berbeda mengalami kontak. Hal ini
berdasarkan pada hukum pertama termodinamika “energi tidak dapat
diciptakan atau dihancurkan melainkan hanya berubah dari satu bentuk
kebentuk lainnya”. Proses pindah panas dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu
konveksi, konduksi, dan radiasi (Kreith 1976).
2.10 COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD)
Computational Fluid Dynamics (CFD) adalah suatu sistem analisis yang
meliputi aliran fluida, pindah panas dan massa, serta fenomena lain seperti reaksi
kimia dengan menggunakan simulasi berbasis komputer. CFD telah digunakan
sejak tahun 1960 untuk mendesain mesin jet dan aircraft. CFD merupakan
pemanfaatan komputer untuk memprediksi secara kuantitatif apa yang terjadi
pada saat fluida mengalir sehingga prediksi aliran fluida pada berbagai sistem
dapat dilakukan dengan biaya murah dan waktu relatif singkat dibandingkan
dengan metode eksperimen. Program CFD harus dapat menyelesaikan persamaan
yang mengatur aliran fluida untuk memprediksi aliran fluida pada kondisi tertentu
sehingga pemahaman tentang sifat-sifat dasar aliran fluida sangat penting. Metode
CFD menggunakan analisis numerik yang terdiri atas persamaan keseimbangan
massa, momentum dan energi, sehingga penyelesaian persamaan untuk benda dua
atau tiga dimensi lebih cepat dan dapat dilakukan secara simultan/bersamaan.
2.10.1 Komponen Utama CFD
CFD mengandung tiga komponen utama, yaitu: pre-processor, solver, dan
post-processor.
1) Pre-processor
Pre-processing merupakan tahapan awal dalam membangun dan
menganalisa dengan menggunakan teknik CFD. Pada tahapan ini dilakukan
pendefinisian masalah dengan membentuk geometri. Hal-hal yang dilakukan pada
tahap ini meliputi:
a. Mendefinisikan geometri dari daerah yang dianalisis
b. Penentuan jenis aliran (eksternal atau internal)
c. Pemilihan fenomena kimia dan fisik yang diperlukan seperti gravitasi,
kecepatan angin, jenis material, dan sebagainya.
d. Menentukan sifat-sifat fluida (konduktivitas, viskositas, massa jenis,
panas jenis, dan sebagainya)
e. Penentuan mesh
f. Penentuan domain
g. Menentukan kondisi batas yang sesuai
h. Menentukan goal atau keluaran yang ingin dicapai
Pemecahan masalah aliran (kecepatan, tekanan, temperatur, dan lain-lain)
didefinisikan pada titik (nodal) di dalam tiga sel. Ketepatan CFD dibentuk oleh
sejumlah sel dalam grid. Secara umum semakin besar jumlah sel maka ketelitian
hasil pemecahan akan semakin baik. (Tuakia 2008, diacu dalam Ni‟am 2008).
2) Solver
Proses pada solver merupakan proses pemecahan dalam CFD secara
matematika melalui analisis numerik tiga dimensi dengan metode volume melalui
pemisalan variabel-variabel aliran yang belum diketahui ke dalam fungsi-fungsi
sederhana, diskretisasi dengan cara menggantikan pemisalan tadi menjadi
persamaan aliran atur dan menguraikan persamaan matematis tersebut dan
menyelesaikan persamaan matematis tersebut dengan metode iterasi (membuat
sebuah tebakan nilai variabel-variabel dan terus dilakukan sampai selisih antara
ruas kiri dengan ruas kanan persamaan mendekati nol (konvergen)). Solution
adalah tahap penyelesaian masalah berupa proses iterasi hingga mencapai harga
yang diinginkan atau mendekati nol (konvergen).
3) Post-processor
Tahapan terakhir adalah menampilkan dalam post-processing seluruh hasil
dimana dilakukan pada tahapan sebelumnya yang meliputi:
a. Tampilan geometri domain dan grid
b. Plot vektor
c. Plot permukaan 2D dan 3D
d. Tracking partikel
e. Manipulasi pandangan
f. Output berwarna