23
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Pustaka Ada beberapa penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut: Penelitian yang dilakukan oleh Toni, A.B. Tangdililing dan Asmadi (2013) dalam Jurnal Tesis PMIS-Universitas Tarumanegara-PSIS yang berjudul Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Barat: Suatau Studi tentang Penyusunan Raperda ”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pelaksanaan fungsi legislasi DPRD Provinsi Kalimantan Barat masa periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 jika disimak dengan cermat belum dapat melaksanakan fungsinya secara optimal, terutama dalam menyusun Raperda yang memuat daftar urut dan prioritas Raperda. Kondisi ini dibuktikan dengan data empiris mengenai rekapitulasi Raperda Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 20102012 bahwa persentase rasio pembahasan/legislasi (output) masih rendah sangat rendah bila dibandingkan dengan target ( input) yang ada. Pelaksanaan Legislasi DPRD Provinsi Kalimantan Barat dalam penyusunan Raperda, pada kenyataannya belum sesuai dengan harapan. Dalam pelaksanaan kegiatan legislasi, terlihat Raperda yang dihasilkan DPRD Provinsi Kalimantan Barat periode 2009-2014 relatif masih rendah, yakni banyak Peraturan Daerah selama kurun waktu 2010-2012 tidak mencapai target bahkan terjadi penurunan dari tahun ke tahun. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi legislasi DPRD Provinsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota

  • Upload
    hakhanh

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Kajian Pustaka

Ada beberapa penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini,

diantaranya adalah sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Toni, A.B. Tangdililing dan Asmadi (2013)

dalam Jurnal Tesis PMIS-Universitas Tarumanegara-PSIS yang berjudul

“Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi

Kalimantan Barat: Suatau Studi tentang Penyusunan Raperda ”. Penelitian ini

dilatarbelakangi oleh pelaksanaan fungsi legislasi DPRD Provinsi Kalimantan Barat

masa periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 jika disimak dengan cermat

belum dapat melaksanakan fungsinya secara optimal, terutama dalam menyusun

Raperda yang memuat daftar urut dan prioritas Raperda. Kondisi ini dibuktikan

dengan data empiris mengenai rekapitulasi Raperda Provinsi Kalimantan Barat dari

tahun 2010–2012 bahwa persentase rasio pembahasan/legislasi (output) masih

rendah sangat rendah bila dibandingkan dengan target (input) yang ada.

Pelaksanaan Legislasi DPRD Provinsi Kalimantan Barat dalam penyusunan

Raperda, pada kenyataannya belum sesuai dengan harapan. Dalam pelaksanaan

kegiatan legislasi, terlihat Raperda yang dihasilkan DPRD Provinsi Kalimantan Barat

periode 2009-2014 relatif masih rendah, yakni banyak Peraturan Daerah selama

kurun waktu 2010-2012 tidak mencapai target bahkan terjadi penurunan dari tahun

ke tahun. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi legislasi DPRD Provinsi

10

Kalimantan Barat dalam penyusunan Raperda Provinsi Kalimantan Barat, meliputi

faktor kemampuan, pengalaman dan penguasaan data.

Aludin (2009) dalam tugas akhir program magister Universitas Terbuka yang

berjudul “Hubungan Legislatif dengan Eksekutif dalam Pembentukan Peraturan

Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Wakatobi” membahas

mengenai hubungan lembaga legislatif dan eksekutif di Kabupaten Wakatobi dalam

pembentukan peraturan daerah diatur dalam Peraturan Daerah tentang pemeilihan

kepala desa yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No.

72 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pemerintahan Desa yang menyatakan

pemeilihan kepala desa dapat ditetapkan melaui peraturan daerah.

Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa hubungan antara lembaga

legislatif dan eksekutif dalam pembahasan Perda Pemilihan Kepala Desa di Kab.

Wakatobi telah berjalan sesuai dengan kesetaraan dan kemitraan yang diamanatkan

dalam UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini tercermin dari pelibatan yang seimbang antara

unsur legislatif dan eksekutif pada pembahasan raperda melalui sidang paripurna

DPRD.

Eduart Hartono (2009) dalam tugas akhir program magister Universitas

Terbuka yang berjudul “Hubungan anatar Aspek-Aspek Pendidikan dan Pelatihan

Anggota DPRD dengan Unsur Kinerja Anggota DPRD: Studi pada Anggota DPRD

Kabupaten Lampung Tengah” menyatakan bahwa tugas sebagai anggota DPRD

merupakan suatu pekerjaan yang unik karena anggota DPRD direkrut dari berbagai

latar belakang termasuk latar belakang pendidikan yang beragam. Dengan latar

belakang yang beragam tersebut anggota DPRD dituntut untuk mampu menganalisis

11

permasalahan dalam bobot tanggung jawab yang sama. Program pendidikan dan

pelatihan untuk anggota DPRD dimaksudkan anatara lain untuk mengurangi

kesenjangan pengetahuan yang dimiliki, sekaligus untuk menyatukan fokus dan

cakrawala berfikir anggota DPRD demi peningkatan kinerja bersama.

Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa secara umum aspek-aspek

pendidikan dan pelatiahn memiliki hubungan yang signifikan dengan unsur kinerja

anggota DPRD. Hal ini berarti bahwa peningkatan kinerja anggota DPRD salah

satunya ditentukan oleh pendidikan pelatihan yang ditempuh oleh anggota DPRD.

Penelitian yang dilakukan oleh Tedi, Amanda dan Pascarani (2014) dalam

laporan akhir penelitian dosen muda yang berjudul “Analisis Dinamika Hubungan

DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyususunan Produk Legislasi Daerah di

Kabupaten Karangasem Tahun 2012-2013” dilatar belakangi oleh Relasi Kepala

Daerah dengan DPRD bervariasi antar daerah. Kondisinya tergantung pada faktor

kapasitas figur kepala daerah, asal partai, besaran jumlah dukungan masyarakat

(popular vote), serta konfigurasi kekuatan politik di DPRD (Marijan, 2010). Kepala

daerah yang dipilih mayoritas mutlak dan memperoleh dukungan koalisi partai-partai

yang memiliki suara mayoritas di DPRD cenderung berpola executive heavy. Kepala

daerah berkarakteristik seperti ini memiliki legitimasi kuat karena popular vote

pilihan rakyat. Kepala daerah yang memiliki dukungan besar dari partai-partai yang

mengendalikan kekuasaan di DPRD, maka secara politik anggota DPRD cenderung

bertanggung jawab pada dukungannya tersebut, sehingga dalam menjalankan

fungsinya, DPRD cenderung memberikan dukungan kebijakan pemerintah daerah

daripada melakukan perlawanan.

12

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa Dinamika hubungan Kepala

Daerah dan DPRD di Kabupaten Karangasem cenderung mengarah pada executive

heavy. Kepala Daerah banyak mengambil peran sepihak tanpa melibatkan DPRD

sebagai mitra penganggaran dan pengawasan. Muara koreksi fraksi pada aktifitas

rapat paripurna berkisar pada pemetaan problem besar, seperti kinerja pengelolaan

keuangan daerah, tranparansi dan prioritas pembangunan, serta trend sisa lebih pagu

anggaran (SiLPA) yang senantiasa naik setiap akhir tahun anggaran. Saran kedepan

agar relasi Kepala Daerah dan DPRD lebih menunjukan pola balanced power. DPRD

memiliki kemampuan yang professional dalam menghasilkan produk legislasi.

Ketersediaan tim ahli yang kompeten menjadi pendukung yang baik bagi berdayanya

anggota legislatif dalam menghasilkan insiatif legislasi.

Dari keempat penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dapat dilihat

bahwa penelitian mengenai “Kinerja Legislasi DPRD Kabupaten Tolitoli” belum

pernah dilakukan. Akan tetapi terdapat sedikit persamaan antara keempat penelitian

diatas dengan penelitian yang akan penulis teliti. Persamaan penelitian oleh Toni

Kurniadi dkk dan Aludin ini yaitu sama-sama membahas fungsi legislasi DPRD.

Kemudian penelitian dari Eduart Hartono dan Tedi Dan kawan-kawan juga memiliki

persamaan dalam membuat produk legislasi hanya perbedaannya terletak pada fokus

penelitian yang dilakukan oleh Eduart adalah aspek pendidikan dan pelatihan untuk

meningkatkan kualitas produk legislasi, sedangkan penelitian yang akan penulis teliti

ini akan memfokuskan pada permasalahan produk melalui kinerja legislasi DRPD

Kabupaten Tolitoli, secara khusus inovasi produk legislasi yang dapat memecahkan

atau meningkatkan pertumbuhan lokalistik daerah.

13

2.2.Kerangka Konseptual

2.2.1. Gambaran Umum dan Indikator Kinerja

a. Gambaran Umum Kinerja

Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat

keberhasilan individu maupun kelompok. Kinerja (performance) adalah gambaran

mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam

mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic

planning suatu organisasi (M. Mahsun,2009). Mahsun juga menyatakan bahwa

kinerja dapat diketahui hanya jika individu atau kelompok individu tersebut

mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini

berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa tujuan

atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak dapat diketahui karena tidak ada

tolak ukurnya.

b. Indikator Kinerja

Indikator kinerja (performance indicators) sering disamakan dengan

pengukuran kinerja (performance measure). Namun sebenarnya, meskipun keduanya

merupakan kriteria pengukuran kinerja, terdapat perbedaan makna. Indikator kinerja

mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya

hanya merupakan indikasi-indikasi kinerja, sehingga bentuknya cenderung kualitatif

(Mahsun, 2009). Hal ini menegaskan bahwa indikator kinerja dapat dianalisa secara

kualitatif tanpa menghilangkan setiap faktor yang mempengaruhinya.

14

Pemerintah daerah dapat melakukan sejumlah perbandingan dalam upaya

melakukan analisis kinerja di organisasinya. Menurut Mahsun (2009) menyatakan

beberapa perbandingan yang bisa dilakukan anatara lain:

a) Membandingkan kinerja tahun ini denga kinerja tahun lalu

b) Membandingkan kinerja tahun ini dengan berbagai standar peraturan yang

diturunkan dari pemerintah pusat atau dari daerah sendiri

c) Membandingkan kinerja unit atau seksi yang ada pada sebuah departemen

dengan unit atau departemen lain yang menyediakan jasa layanan yang sama

d) Membandingkan dengan berbagai ketetuan pada sektor swasta

e) Membandingkan semua bidang dan fungsi yang menjadi tangggungjawab

pemerintah daerah dengan bidang dan fungsi yang sama pada pemerintah

daerah lain.

Indikator kinerja sebagai pembanding kinerja legislasi disini akan lebih

menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku baik dari pusat

maupun produk legislasi lokal.

2.2.2. Pemerintah Daerah dalam Menjalankan Desentralisasi

a. Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah

daerah pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah daerah adalah

penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya

dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

15

Definisi diatas memberikan penjelasan bahwa pemerintah daerah sebagai

penyelenggara daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas

desentralisasi dimana unsur penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur,

Bupati atau Walikota dan perangkat daerah. Hal ini menegaskan bahwa kepala

daerah dan DPRD memiliki hubungan kemitraan yang sejajar atau patnership.

b. Asas-Asas Pemerintah Daerah

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, khususnya pemerintahan

daerah, sangat bertalian erat dengan beberapa asas dalam pemerintahan suatu negara,

yaitu asas sentralisasi, asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas

pembantuan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004.

Asas sentralisasi adalah sistem pemerintahan dimana segala kekuasaan

dipusatkan di pemerintah pusat. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang

pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

urusan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas dekonsentrasi

adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur

sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal wilayah tertentu. Sedangkan asas

tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa;

dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau desa; serta dari

pemerintah kebupaten/kota kepada desa untuk tugas tertentu. Dengan demikian, dari

sekian banyaknya asas-asas pemerintahan daerah, desentrasi merupakan asas yang

menyatukan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau

dari pemerintah daerah yang lebih tingggi kepada pemerintah daerah yang lebih

rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga sendiri daerah itu. Oleh karena itu,

16

prakarsa, wewennag dan tanggungjawab mengenai urusan-urusan diserahkan

sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah itu.

c. Otonomi Daerah

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Guna merealisasikan amanat UUD tersebut, maka melalui Undang-Undang No. 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah beberapa kali direvisi,

pemerintah memberlakukan kebijakan otonomi daerah. Otonomi daerah berarti hak,

wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(Dwidjoyanto,2000)

Hakekat otonomi daerah merupakan kemandirian daerah itu sendiri, sehingga

daerah yang otonom dapat disebut daerah yang mandiri baik dalam membuat

maupun melaksanakan keputusan yang terbaik bagi masyarakat. Tujuan adanya

otonomi daerah yaitu untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melaui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah

adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.Penerapan model demokrasi lokal ini

mengandung arti bahwa penyelengggaraan desentralisasi dan otonomi daerah

menuntut adanya partisipasi dan kemandirian masyarakat lokal tanpa mengabaikan

17

prinsip persatuan bangsa dan negara. Partisipasi dan kemandirian disini adalah

berkaitan dengan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan atas

prakarsa sendiri yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Smith

dalam Khairul, 2009:63)

Smith juga memiliki pandangan bahwa otonomi daerah merupakan

wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalistik menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, dengan demikian

desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk

memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi

kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. (Smith dalam Khairul, 2009:63)

2.2.3. Tujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

a. Pengertian DPRD Kabupaten

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten yang disingkat DPRD

Kabupaten adalah bentuk lembaga perwakilan rakyat daerah di Indonesia yang

berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah di Kabupaten.

(Saldi Isra, 2013:249)

DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi

mitra dari pemerintah daerah. Sejajar dan menjadi mitra memiliki arti bahwa DPRD

dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan

pemerintahan daerah yang efisien, efektif dan transparan dalam rangka memberikan

pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat demi terjaminnya produktivitas dan

kesejahteraan masyarakat di daerah. (Dedi S.B & Dadang S., 2002:232)

18

b. Hak, Tugas dan Wewenang DPRD Kabupaten

DPRD memiliki hak yang melekat dari setiap anggota DPRD sesuai dengan

UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD. Pertama, hak

interplasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai

kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, hak angket adalah hak

DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu peraturan daerah

dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan

berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang

diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga, hak menyatakan

pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah

atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia

internasional, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket, atau dugaan

perbuatan tercela, dan/atau Bupati dan/atau Wakil Bupati adalah tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Bupati dan/atau Wakil Bupati

Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD

juga mengatur tentang tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota, antara lain

membentuk peraturan daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; membahas

dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran

pendapatan dan belanja daerah Kabupaten/Kota yang diajukan oleh Bupati/Walikota;

melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran

pendapatan dan belanja daerah Kabupaten/Kota; mengusulkan pengangkatan dan

pemberhentian Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota kepada

19

Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk mendapatkan pengesahan

pengangkatan dan/atau pemberhentian; memilih Wakil Bupati/Wakil Walikota dalam

hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota; memberikan pendapat

dan pertimbangan kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota terhadap rencana

perjanjian internasional di daerah; memberikan persetujuan terhadap rencana kerja

sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota;

meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Bupati/Walikota dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota; memberikan persetujuan

terhadap rencana kerjasama dengan daerah pihak lain atau dengan pihak ketiga yang

membebani masyarakat dan daerah; mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan melaksanakan

wewenang dan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan.

2.2.4. Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

a. Kedudukan dan Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai

Pemegang Fungsi Legislasi

Berdasarkan ketentuan pasal 363 dan 364 UU Republik Indonesia No. 17

Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, DPRD

Kabupaten/Kota terdiri atas anggota partai politik peserta pernilihan umum yang

dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Kedudukan DPRD Kabupaten/Kota

adalah sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota. Berdasarkan pasal 148 ayat (1)

20

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengemukakan bahwa DPRD

Kabupaten/Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah Kabupaten/Kota yang

berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.

DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tiga fungsi, yaitu legislasi, anggaran, dan

pengawasan. Fungsi legislasi DPRD yakni menyusun perundang-undangan dalam

bentuk Peraturan Daerah. Fungsi anggaran DPRD yakni memberikan persetujuan

terhadap rencana anggaran daerah yang mencakup rencana anggaran pendapatan,

belanja, dan pembiayaan. Fungsi pengawasan DPRD adalah memastikan berjalannya

perundang-undangan yang ada dan optimalnya kinerja eksekutif (Yunita, 2004).

Ketentuan UU Republik Indonesia No. 22 Tahun 2003 pasal 77,

mendefinisikan fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi

DPRD Kabupaten/Kota untuk membentuk peraturan daerah Kabupaten/Kota

bersama Bupati/Walikota, dan membuat ketentuan yang menyangkut internal DPRD

Kabupaten/Kota.

Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk

melaksanakan fungsi legislasi Anggota DPRD, para anggota DPRD diberi hak

prakarsa mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), hak amandemen

(mengubah Raperda baik secara subtansial maupun redaksional), dan hak anggaran

termasuk mengajukan RAPBD, mengajukan bentuk dan arah kebijakan anggaran

pendapatan dan belanja daerah , menentukan alokasi anggaran menurut program dan

lokasi sesuai Pasal 19 ayat (1) huruf d sampai g. Proses fungsi legislasi dapat dilihat

pada bagan di bawah ini.

21

Gambar 2.1. Proses Fungsi Legislasi

Sumber: Legal Drafting Pembentukan Perda Tahun 2007

Merujuk pada UU No. 12 Tahun 2011 pasa1 7 ayat (1), Perda merupakan

bentuk hukum terendah dari hierarki bentuk peraturan perundangan di Indonesia.

Secara keseluruhan, jenis peraturan dan hierarki peraturan perundang-undangan

adalah sebagai berikut: (1) UUD Republik Indonesia Tahun 1945; (2) UU/Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan

Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. Tata urutan hukum di Indonesia , dapat dilihat

dari gambar dan tabel dibawah ini.

Gambar 2.2. Tata Urutan Hukum di Indonesia

Sumber: Legal Drafting Pembentukan Perda Tahun 2007

b. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan khususnya pasal 5 dan pasal 6 yang merumuskan bahwa dalam

22

membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi; kejelasan tujuan,

kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi

muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan,

dan keterbukaan.

Peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya adalah peraturan

daerah juga harus memiliki asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan

berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011. Hal ini dimaksudkan agar setiap perda yang

terbentuk dapat dijalankan dengan efektif, efisien dan tidak bertentangan dengan

peraturan lainnya.

c. Tahapan Pembentukan Peraturan Daerah

UU No. 12 Tahun 2011 pasal 26 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan menyebutkan bahwa Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Gubernur, atau Bupati/Walikota, masing-

masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Secara

umum, terdapat tujuh langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Perda baru.

Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh

langkah ini perlu dilalui.

Langkah 1 : Identifikasi isu dan masalah.

Langkah 2 : Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana

peraturan daerah (Perda) baru dapat memecahkan masalah.

Langkah 3 : Penyusunan Naskah Akademik.

Langkah 4 : Penulisan Rancangan Perda.

23

Langkah 5 : Penyelenggaraan konsultasi publik: Revisi rancangan perda.

Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan.

Langkah 6 : Pembahasan di DPRD.

Langkah 7 : Pengesahan Perda.

Alur proses penyusunan Perda dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.3. Tahapan Penyusunan Perda

Sumber: Legal Drafting Pembentukan Perda Tahun 2007

Berdasarkan ketentuan pasal 140 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 32 Tahun

2004, jika dalam waktu yang bersamaan (Satu masa sidang) kepala daerah

(Bupati/Walikota) dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang

sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD,

sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai

bahan untuk dipersandingkan.

Ketentuan ini menegaskan penguatan terhadap DPRD sebagai representatif

rakyat dalam menjalankan fungsi legislasi daerah dalam arti DPRD memiliki peluang

24

dan kewenangan yang luas dalam pembentukan Perda. Peraturan Pemerintah No. 25

Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah pasal 95 ayat (1) secara tegas dinyatakan juga bahwa DPRD

memegang kekuasaan dalam membentuk Perda. Penguatan DPRD dalam proses

legislasi di daerah merupakan konsekuensi logis dari lembaga tersebut sebagai

lembaga perwakilan. Oleh karena itu DPRD dengan kedudukan sebagai lembaga

perwakilan rakyat daerah yang salah satu tugas dan wewenangnya membentuk Perda

yang dibahas bersama kepala daerah harus memiliki kepekaan dalam merespon dan

menampung aspirasi yang berkembang di masyarakat dalam proses pembahasan dan

pengesahan Perda.

Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi,

dan/atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi

berdasarkan pasal 141 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 28 ayat (1) UU No.

10 Tahun 2004. Berdasarkan atas ketentuan tersebut gagasan untuk membentuk

sebuah Perda dapat diusulkan oleh setiap anggota DPRD.

Tahapan pembahasan rancangan perda baik rancangan yang berasal dari

DPRD maupun dari Kepala daerah dibagi dalam 4 tahap atau tingkatan yang

dilakukan DPRD bersama kepala daerah. Pembicaraan tingkat pertama, meliputi

penjelasan kepala daerah dalam Rapat Paripurna tentang penyampaian Raperda yang

berasal dari kepala daerah, atau penjelasan dalam rapat paripurna oleh pimpinan

komisi/gabungan komisi atau pimpinan panitia khusus terhadap Raperda dan/atau

perubahan Perda atas usul prakarsa DPRD.

25

Pembicaraan tingkat kedua meliputi; Raperda yang berasal dari Kepala

Daerah: (a) Pandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari

kepala daerah, (b) Jawaban kepala daerah terhadap pandangan umum fraksi-fraksi.

Raperda atas usul DPRD: (a) Pendapat kepala daerah terhadap Raperda atas usul

DPRD, (b) Jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat kepala daerah.

Pembicaraan tingkat ketiga, meliputi pembahasan dalam rapat

komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus dilakukan bersama-sama dengan

kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk. Pembicaraaan tingkat keempat meliputi:

(1) Pengambilan keputusan dalam rapat paripuma yang didahului dengan (a) Laporan

hasil pembicaraan tahap ketiga; (b) Pendapat akhir fraksi; (c) Pengambilan

keputusan. (2) Penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan

keputusan terhadap Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala

Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan

menjadi Peraturan Daerah (Ropi'i, 2007).

d. Bentuk Produk Legislasi Daerah

Menurut Mardiasmo (2004), produk legislasi yang dibuat oleh eksekutif dan

legislatif dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu kelompok rutin seperti

pengesahan APBD, perubahan APBD, dan pengesahan perhitungan APBD,

sedangkan yang kedua adalah kelompok insidentil, yaitu meliputi semua peraturan

kepala daerah yang hanya dibuat sekali atau sesuai dengan kebutuhan. Menurut UU

No. 12 Tahun 2011, terdapat tiga jenis peraturan yang dapat dibuat oleh Daerah

sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yaitu:

a. Peraturan Daerah;

26

b. Peraturan Kepala Daerah;

c. Keputusan Kepala Daerah; dan

d. Peraturan Bersama Kepala Daerah ( Permendagri No. 15/2006).

Ranah DPRD adalah peraturan daerah, sedangkan peraturan kepala daerah

dan keputusan kepala daerah adalah ranah kepala daerah sebagai penjabaran dari

Perda. Sebagai daerah otonom berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009, secara subtantif

Perda seharusnya mencerminkan prinsip-prinsip keotonomian suatu daerah yang

berbasis pada kondisi dan kebutuhan nyata yang ada pada masyarakat dan

pemerintahannya (Noordiansyah, 2009). Hal inilah yang membuat fungsi legislasi

dapat menghasilan produk berupa Perda menjadi kunci utama dalam melaksanakan

asas desentralisasi. Lembaga yang memiliki kewenangan tersebut adalah DPRD.

e. Indikator Kinerja Legislasi DPRD

Pada penelitian ini, penulis perlu menguraikan teori-teori dan konsep yang

berkaitan dengan indikator kinerja menurut Robbins (2006) yang akan

mempengaruhi kinerja legislasi DPRD dalam kaitan studi analisis kinerja DPRD

Kabupaten Tolitoli. Berikut ini merupakan beberapa konsep yang berkaitan dengan

objek penelitian, antara lain:

a) Kualitas

Kualitas kinerja diukur dari persepsi pelaku organisasi terhadap kualitas

pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan

kemampuan pelaku organisasi (Robbins, 2006). Pelaku organisasi dalam penelitian

ini adalah anggota DPRD Kabupaten Tolitoli dalam rangka mencapai kesempurnaan

27

menjalankan fungsi legislasi dari keterampilan dan kemampuan anggota DPRD

Kabupaten Tolitoli.

Salah satu alat ukur keteramilan dan kemampuan anggota DPRD tersebut

adalah melalui analisis pendidikan anggota DPRD Kabupaten Tolitoli. Pendidikan

adalah suatu cara yang berkaitan dengan suatu perubahan didalam bertingkah laku

karena pengalaman dan keterampilan serta pengetahuan yang diperolehnya.

Perubahan yang terjadi didalam diri seseorang karena adanya proses belajar, dapat

berupa pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Perubahan ini merupakan suatu

proses dimana seseorang menerima gagasan baru atau keterampilan yang dapat

memuaskan diri. Jika seseorang telah memiliki keinginan yang kuat untuk memenuhi

kebutuhan dasarnya, maka ia akan mempunyai semangat dan mendorong untuk

belajar.

Pendidikan merupakan faktor individu yang sangat mempengaruhi kinerja

organisasi karena dianggap sangat kompleks sebab pendidikan akan menentukan

kemapuan seseorang dalam menjalankan manajerial, kedisiplinan, komitmen, dan

kreativitas.

b) Kuantitas

Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan atau dinyatakan dalam istilah

seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan (Robbins, 2006).

Kuantitas penelitian ini akan diukur melalui jumlah Perda yang dihasilkan oleh

DPRD Kabupaten Tolitoli selama periode Tahun 2009-2014 dari jumlah Raperda

yang dijadikan prioritas pembahasan dalam Program Legislasi Daerah DPRD

Kabupaten Tolitoli. Kuantitas akan menentukan kinerja DPRD Kabupaten Tolitoli

28

dalam menjalankan fungsi legislasi atau membuat peraturan perudang-undangan di

tingkat daerah.

c) Ketepatan Waktu

Ketepatan waktu merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu

yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta

memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain (Robbins, 2006). Ketepatan

waktu DPRD Kabupaten Tolitoli dalam menyelesaikan Raperda menjadi Perda

dalam setiap pembahasan Raperda pada masa sidang merupakan salah satu indikator

yang dapat dianalisa untuk mengetahui kinerja legislasi DPRD Kabupaten Tolitoli.

d) Efektivitas

Efektivitas merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga,

uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasul dari

setiap unit dalam penggunaan sumber daya (Robbins, 2006). Sumber daya DPRD

Kabupaten Tolitoli dalam menjalankan fungsi legislasi telah diatur berdasarkan UU

No. 12 Tahun 2011 pasal 26 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

serta UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD juga mengatur

tentang tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan struktur yang

dibentuk berdasarkan Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Robbins (1996) membuat

perincian mengenai segi-segi struktur organisasi. Perspektif perubahan organisasinya

nampak dari faktor-faktor determinan (penentu) struktur organisasi. Dimensi-dimensi

struktur organisasi adalah: (1) Kompleksitas; (2) Formalisasi; dan (3) Sentralisasi.

Dimensi-dimensi ini telah mencakup unsur-unsur struktural.

29

Pengambilan keputusan tergantung dari struktur organisasi. Sentralisasi

mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan keputusan yang dapat

berada di puncak organisasi, didelegasikan ke level bawah, atau diberikan kepada

suatu tim yang bersifat sementara (ad hoc). Keputusan sebuah organisasi

menerapkan sentralisasi ataupun desentraslisasi didasarkan pada kebutuhan dan

tujuannya. Sentralisasi-desentralisasi dianggap penting karena organisasi adalah

sistem pengambilan keputusan dan pengolahan informasi melalui sekumpulan orang.

Organisasi membantu pencapaian tujuan melalui koordinasi dari usaha

kelompok, pengambilan keputusan dan pengolahan informasi adalah yang utama

agar koordinasi dapat terlaksana. Organisasi harus menanggapi dengan cepat

perubahan kondisi yang terdapat pada titik dimana perubahan itu teljadi.

Desentralisasi mendorong tindakan yang cepat karena menghindari kebutuhan untuk

memproses informasi melalui hirarki vertikal (Robbins, 1996).

e) Kemandirian

Kemandirian merupakan tingkat seseorang pelaku organiasi yang nantinya

akan menjalankan fungsi kerjanya, serta komiten kerja yaitu suatu tingkat dimana

pelaku organisasi mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggungjawab

pelaku organisasi terhadap kantor/institusi (Robbins, 2006). Pola yang terbentuk atau

kebiasaan cara kerja DPRD Kabupaten Tolitoli dalam menjalankan fungsi legislasi

akan mempengaruhi kinerja DPRD Kabupaten Tolitoli sehingga dapat membentuk

sebuah budaya organisasi atau kultur organisasi.

Selain dipengaruhi oleh variabel-variabel pendidikan dan struktural, kinerja

suatu organisasi juga akan dipengaruhi oleh kultur atau budaya organisasi itu sendiri.

30

Kultur atau budaya organisasi adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh

organisasi, dan asumsi serta kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota

organisasi. Kultur yang kuat dicirikan oleh nilai inti organisasi yang dianut dengan

kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama secara luas serta menjadi sebuah

kebiasaan.

f) Lingkungan

Dalam bukunya yang berjudul Teori Organisasi, Struktur, Desain dan

Aplikasi (1996), Robbins menyatakan bahwa dalam setiap proses dan analisis, faktor

lingkungan selalu memberi pengaruh dan dampak yang cukup signifikan

dibandingkan dengan faktor-faktor yang lainnya. Oleh karena itu, faktor lingkungan

penting dalam analisis mengenai kinerja lembaga DPRD, karena setiap

lembaga/organisasi beroperasi di bawah pengaruh lingkungan. Tidak ada

lembaga/organisasi yang beroperasi dalam kevakuman. Organisasi selalu berinteraksi

dengan lingkungannya (Robbins, 1996).

Robbins juga mengemukakan bahwa lingkungan organisasi adalah segala

sesuatu yang berada di luar organisasi yang selanjutnya dibedakan menjadi dua

kategori lingkungan organisasi, yaitu lingkungan umum dan lingkungan khusus.

Lingkungan umum mencakup kondisi yang mungkin mempunyai dampak terhadap

organisasi tetapi relevansinya tidak begitu jelas. Termasuk keadaan politik,

lingkungan sosial, hukum, dan lain-lain. Lingkungan khusus adalah bagian dari

lingkungan yang secara langsung relevan bagi organisasi dalam mencapai tujuannya.

Lingkungan khusus antara lain mencakup klien atau pelanggan, pemasok, para

pesaing, lembaga pemerintah, dan kelompok penekan.

31

2.3.Kerangka Pemikiran

Permasalahan

Rumusan Masalah

Tujuan

Analisis

Analisis Kinerja Legislasi Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) Periode Tahun 2009-2014

Kinerja Legislasi DPRD (Perda)

tidak sesuai aturan dan harapan

Minimnya

produk legislasi

yang bersumber

dari usulan

DPRD

Mayoritas

usulan Perda

dari eksekutif

Inovasi daerah

dalam membuat

produk Perda

untuk

memecahkan

persoalan

lokalistik masih

kurang

Bagaimana kinerja legislasi DPRD Kabupaten

Tolitoli periode tahun 2009-2014?

Untuk mengetahui kinerja legislasi DPRD

Kabupaten Tolitoli periode tahun 2009-2014.

Menganalisis kinerja

legislasi DPRD

Kabupaten Tolitoli

periode tahun 2009-

2014

Indikator kinerja

(Robbins, 2006):

1. Kualitas

2. Kuantitas

3. Ketepatan Waktu

4. Efektivitas

5. Kemandirian

6. Lingkungan

lingkungan