Upload
erny-khomariyah
View
29
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Cairan Amnion
Cairan amnion merupakan cairan yang dianggap tersusun
dari urine fetus dan membentuk suatu lingkungan di sekitar bayi
dengan fungsi nutrisi dan protektif yang penting. Cairan amnion
normalnya berwarna putih , agak keruh serta mempunyai bau
yang khas agak amis dan manis. Cairan ini berwarna putih
karena adanya campuran partikel solid yang terkandung di
dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material
sebasea. Cairan amnion mempunyai pH 7,2. Cairan ini
mempunyai berat jenis 1,008 yang seiring dengan tuanya
kehamilan akan menurun dari 1,025 menjadi 1,010.7,8
Sejak awal kehamilan cairan amnion telah dibentuk.
Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk
proteksi sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolaritas, kadar
natrium, ureum, kreatinin tidak berbeda dengan kadar serum
ibu, artinya kadar di cairan amnion merupakan hasil difusi dari
ibunya. Cairan amnion mengandung banyak sel janin ( lanugo,
verniks kaseosa). Fungsi cairan amnion yang juga penting ialah
menghambat bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan
seng.9
4
Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar
800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal.
Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan
kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada
kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi
dibandingkan dengan janin sendiri.7
Cairan amnion mengandung banyak albumin dan berbagai
jenis asam amino juga terdiri atas karbohidrat, lemak, elektrolit
dan hormon. Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu,
dan keduanya memiliki peran tersendiri pada setiap usia
kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian besar
diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion. Dengan
bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion
didominasi oleh kulit janin dengan cara difusi membran. Pada
kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan
permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran tersebut dalam
memproduksi cairan amnion.7
Perubahan volume cairan amnion ditentukan oleh perbedaan
cairan yang masuk dan keluar ke dalam cairan amnion. Pada
kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di
5
sekresikan dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea.
Pada penelitian dengan menggunakan radioisotop, terjadi
pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma ibu dan cairan
amnion.7,11
Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan
bervariasi, secara umum volume bertambah 10 ml per minggu
pada minggu ke-8 usia kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml
per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang kemudian
akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap
setelah usia kehamilan 33 minggu. Cairan amnion akan
meningkat 30-40 ml per hari pada trisemester terakhir. Normal
volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada saat usia
kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi
dan 1000 – 1500 ml pada saat aterm. Pada kehamilan posterm
jumlah cairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau kurang.7,11
6
Gambar 2.1. Grafik yang menunjukkan perubahan volume cairan amnion. Cairan amnion sesuai dengan penambahan usia gestasi. Semakin tua usia kehamilan maka volume cairan amnion makin bertambah (Gilbert, 2006).
Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin,
seperti agenesis ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion dan
jika terdapat gangguan menelan pada janin, seperti atresia
esophagus, atau anensefali, akan menyebabkan polihidramnion.7
Sirkulasi cairan amnion meliputi lima jalur utama yakni :
urine fetus, pernafasan fetus, penelanan fetus, sebuah
membrane intramembranosus yang melintasi plasenta dan
permukaan tali pusat dan transport cairan melalui kulit fetus
yang sangat permiabel.7
Urine fetus merupakan sumber utama cairan amnion.
Cairan urine mulai memasuki ruang amnion sejak usia kehamilan
memasuki 8-11 minggu. Ginjal janin mulai memproduksi urin
7
sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai
kehamilan aterm. Wladimirof dan Campbell mengukur volume
produksi urin janin secara 3 dimensi setiap 15 menit sekali, dan
melaporkan bahwa produksi urin janin adalah sekitar 230 ml /hari
sampai usia kehamilan 36 minggu, yang akan meningkat sampai
655 ml/hari pada kehamilan aterm.11,13,14
Gambar 2.2 Distribusi cairan amnion pada kehamilan. Urine fetus merupakan penyusun terbanyak dari cairan ketuban sedangkan cairan paru hanya member kontribusi sedikit bagi volume cairan amnion (Gilbert, 2006).
Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam
pembentukan cairan amnion. Pada penelitian dengan
menggunakan domba, didapatkan bahwa paru-paru janin
memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50%
dari produksi tersebut ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan
melalui mulut. Meskipun pengukuran secara langsung ke
8
manusia tidak pernah dilakukan, namun data ini memiliki nilai
yang representratif bagi manusia. Pada kehamilan normal, janin
bernafas dengan gerakan inspirasi dan ekspirasi, atau gerakan
masuk dan keluar melalui trakea, paru-paru dan mulut. Jadi jelas
bahwa paru-paru janin juga berperan dalam pembentukan cairan
amnion.7,10
Fetus mulai menelan bersamaan dengan urine pertama
yang memasuki rongga amnion, kurang lebih saat usia
kehamilan 8-12 mg kira-kra volume cairan amnion yang ditelan
oleh fetus 210-760 ml per hari dan proses ini biasanya terjadi
saat fetus bernafas.10
Cairan amnion dapat berasal dari transport cairan melewati
kulit fetus yang sangat permiabel selama hampir separuh dari
masa kehamilan pertama hingga akhirnya terjadi keratinisasi
kulit sekitar 22-25 minggu.10
II. 2 Fungsi Cairan Amnion
Cairan amnion mempunyai peranan penting dalam
menunjang proses kehamilan dan persalinan. Di sepanjang
kehamilan normal, kompartemen dari cairan amnion
menyediakan ruang bagi janin untuk tumbuh bergerak dan
berkembang. Tanpa cairan amnion, uterus akan mengerut dan
menekan janin, pada kasus – kasus dimana tejadi kebocoran 9
cairan amnion pada awal trimester pertama, janin dapat
mengalami kelainan struktur termasuk distrorsi muka, reduksi
tungkai dan cacat dinding perut akibat kompresi uterus.7
Menjelang pertengahan kehamilan cairan amnion menjadi
semakin penting untuk perkembangan dan pertumbuhan janin,
antara lain perkembangan paru-parunya, bila jumlah cairan
amnion tidak memadai selama pertengahan kehamilan, janin
akan sering disertai hipoplasia paru dan berlanjut pada
kematian. Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif
pada janin. Cairan ini mengandung agen-agen anti bakteria dan
bekerja menghambat pertumbuhan bakteri yang memiliki
potensi patogen.15
Terdapat sekitar 38 komponen biokimia dalam cairan
amnion, di antaranya adalah protein total, albumin, globulin,
alkalin aminotransferase, aspartat aminotransferase, alkalin
fosfatase, γ-transpeptidase, kolinesterase, kreatinin kinase,
isoenzim keratin kinase, dehidrogenase laktat, dehidrogenase
hidroksibutirat, amilase, glukosa, kolesterol, trigliserida, High
Density Lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein (LDL), very-
low-density lipoprotein (VLDL), apoprotein A1 dan B, lipoprotein,
bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, sodium, potassium,
10
klorid, kalsium, fosfat, magnesium, bikarbonat, urea, kreatinin,
anion gap , urea, dan osmolalitas.7
Faktor pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor,
EGF) dan faktor pertumbuhan mirip EGF, misalnya transforming
growth factor-α, terdapat di cairan amnion. Ingesti cairan amnion
ke dalam paru dan saluran cerna mungkin meningkatkan
pertumbuhan dan diferensiasi jaringan-jaringan ini melalui
gerakan inspirasi dan menelan cairan amnion.7
Beberapa penanda tumor (tumor marker) juga terdapat di
cairan amnion termasuk α-fetoprotein (AFP), antigen
karsinoembrionik (CEA), feritin, antigen kanker 125 (CA-125), dan
199 (CA-199).7
1. Alfa feto protein (AFP)
Merupakan suatu glikoprotein yang disintesa yolk sac dan
liver janin pada awal kehamilan. Konsentrasinya dalam cairan
amnion meningkat sampai kehamilan 13 minggu dan kemudian
akan berkurang. Jika kadar AFP ini meningkat dan diiringi dengan
peningkatan kadar asetil kolin esterase menunjukan adanya
kelainan jaringan syaraf seperti neural tube defect atau defek
janin lainnya. 7
Jika peningkatan kadar AFP tidak diiringi dengan
peningkatan kadar asetilkolinesterase menunjukan adanya
11
kemungkinan etiologi lain atau adanya kontaminasi dari darah
janin.7
2. Lesitin – sfingomielin
Lesitin ( dipalmitoyl phosphatidycholine) merupakan suatu
unsur yang penting dalam formasi dan stabilisasi dari lapisan
surfaktan yang mempertahankan alveolar dari kolaps dan
respiratori distress, sebelum minggu ke 34 kadar lesitin dan
sfingomielin dalam cairan amnion sama konsentrasinya. Setelah
minggu ke 34 konsentrasi lesitin terhadap sfingomielin relatif
meningkat .7
Jika konsentrasi lesitin dalam cairan amnion lebih dari dua
kali kadar sfingomielin ( L/S Ratio ), menunjukan resiko terjadinya
gawat nafas pada janin sangat rendah. Tetapi jika perbandingan
kadar lesitin sfingomielin kecil dari dua resiko terjadinya gawat
nafas pada janin meningkat. Karena lesitin dan sfingomielin juga
ditemukan pada darah dan mekonium, kontaminasi oleh kedua
substansi tersebut dapat membiaskan hasil. Selama kehamilan
sejumlah agen bioaktif bertumpuk di cairan amnion,
kompartemen cairan amnion merupakan suatu tempat
penyimpanan yang luar biasa yang khususnya bermanfaat dalam
kehamilan dan persalinan. 7
Banyaknya agen bioaktif yang terakumulasi dalam cairan
amnion selama kehamilan merupakan suatu hal yang tipikal dari 12
inflamasi jaringan. Suatu hal yang unik dari agen agen bioaktif ini
adalah bersifat uterotonik seperti PGE2 , PGF2 , PAF dan
endothelin-1, produk-produk ini dapat dilihat pada vagina dan
cairan amnion setelah proses persalinan dimulai. Agen-agen
inflamasi ini penting peranannya dalam proses dilatasi serviks. 7
3. Sitokin
Makrofag terdapat dalam cairan amnion dalam jumlah
yang kecil sebelum proses persalinan, sebenarnya leukosit tidak
dapat melakukan penetrasi normal melalui membran janin baik
secara in vivo atau in vitro, tetapi dengan adanya inflamasi dari
desidua pada partus preterm, leukosit ibu akan diambil menuju
cairan amnion, fenomena juga pada partus yang aterm, aktivasi
leukosit diakselerasi oleh inflamasi dan memungkinkan melewati
membran janin. 7
4. Interleukin -1β
Interleukin -1β merupakan sitokin primer, yang diproduksi
secara cepat sebagai respon dari infeksi dan perubahan
imunologi dan Interleukin -1β akan merangsang sitokin lain dan
mediator inflamasi lainnya.7
Interleukin -1β secara normal tidak terdeteksi sebelum
proses persalinan, Interleukin -1β baru akan muncul pada cairan
amnion pada persalinan yang preterm atau sebagai reaksi dari
infeksi pada cairan amnion.7
13
Pada kehamilan aterm, seperti prostaglandin, Interleukin -1β
diproduksi pada desidua setelah induksi persalinan atau dilatasi
servik, yang kemudian akan didistribusikan pada cairan amnion
dan vagina. Sitokin lainnya yang terdapat dalam cairan amnion
adalah Interleukin -6 atau Interleukin – 8.7
5. Prostaglandin
Prostaglandin terutama PGE2 juga PGF2α di dapatkan pada
cairan amnion pada semua tahap persalinan. Sebelum proses
persalinan dimulai prostanoid dalam cairan amnion dihasilkan
dari ekskresi urine janin dan mungkin juga oleh kulit, paru-paru
dan tali pusat. Seiring dengan pertumbuhan janin, kadar
prostaglandin dalam cairan amnion meningkat secara bertahap.7
Walaupun demikian tidak ada pertambahan kadar
prostaglandin yang dapat dihubungkan atau diinterprestasikan
sebagai pertanda pre partus. Faktanya jumlah total kadar
prostaglandin dalam cairan amnion pada saat kehamilan cukup
bulan sebelum persalinan dimulai sangat kecil (sekitar 1µg),
karena waktu paruh prostaglandin dalam cairan amnion sangat
lama yaitu 6 – 12 jam jumlah dari prostaglandin yang memasuki
cairan amnion sangat kecil. Hubungan antara peningkatan kadar
prostaglandin dalam cairan amnion dan inisiasi dari persalinan
menjadi suatu tanda tanya selama lebih 30 tahun terakhir. 7
14
Selama proses persalinan dan kelahiran cairan amnion
terus bertindak sebagai medium protektif pada janin untuk
membantu dilatasi serviks. Selain itu cairan amnion juga
berperan sebagai sarana penghubung antara janin dan ibu.
Kematangan dan kesiapan janin untuk lahir dapat diketahui dari
hormon urine janin yang diekskresikan ke dalam cairan amnion.
Cairan amnion juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik
untuk melihat adanya kelainan-kelainan pada proses
pertumbuhan dan perkembangan janin dengan melakukan kultur
sel atau melakukan spectrometer. Jadi cairan amnion memegang
peranan yang cukup penting dalam proses kehamilan dan
persalinan.7
Secara ringkasnya cairan amnion mempunyai fungsi sebagai berikut16:
1. Melindungi janin dari trauma
2. Tempat perkembangan musculoskeletal janin
3. Menjaga suhu tubuh janin
4. Meratakan tekanan uterus pada partus
5. Membersihkan jalan lahir sehingga bayi kurang mengalami
infeksi
6. Menjaga perkembangan dan pertumbuhan normal dari paru-
paru dan traktus gastrointestinalis
15
II. 3 Patologi Cairan Amnion
Pada keadaan normal, volume cairan amnion meningkat
menjadi 1 liter atau lebih sedikit pada gestasi 36 minggu, tapi
kemudian berkurang. Secara kasar, cairan amnion yang lebih
dari 2000 ml dianggap berlebihan dan disebut hidramnion, dan
kadang-kadang disebut polihidramnion. Pada kasus-kasus yang
jarang, volume air ketuban dapat turun di bawah batas normal
dan kadang-kadang menyusut hingga hanya beberapa ml cairan
kental. Penyebab keadaan ini belum sepenuhnya dipahami.
Secara umum, oligohidramnion yang timbul pada awal kehamilan
jarang dijumpai dan sering memiliki prognosis buruk. 7
II.3,1 Oligohidramnion
Oligohidramnion didefinisikan sebagai berkurangnya cairan
amnion yang diukur dengan indeks cairan amnion (ICA) kurang
dari 5th persentile karena volume cairan amnion normal berubah-
ubah tergantung masa kehamilan. Selama bertahun-tahun
oligohidramnion digambarkan sebagai berikut17:
Berkurangnya cairan amnion
Volume cairan amnion pada usia kehamilan 32-36 minggu
kurang dari 500 ml.
Maximum vertical pocket (MVP) kurang dari2 cm.
16
AFI kurang dari 5 cm, atau kurang dari 5th percentil
Marks dan Divon (1992) menemukan oligohidramnion pada
12% dari 511 kehamilan usia 41 minggu atau lebih pada 121
wanita yang diteliti secara longitudinal terjadi penurunan rata-
rata ICA sebesar 25% perminggu setelah 41 minggu. Akibat
berkurangnya cairan, risiko kompresi tali pusat, dan pada
gilirannya gawat janin, meningkat pada semua persalinan,
terutama pada persalinan posterm.7
Oligohidramnion yang terjadi di awal masa kehamilan
jarang terjadi dan biasanya akan menyebabkan gambaran fetus
yang buruk. Hal ini disebabkan karena penurunan cairan amnion
yang berlangsung lama akan menimbulkan terjadinya kompresi
seperti hipoplasia pulmonal, hipotrofi muskuler, dan
penyempitan sendi. Oligohidramnion onset dini disebabkan
preterm premature rupture of membranes (pPROM) atau
berkurangnya sekresi cairan amnion.18
Tabel 2. 1 Penyebab oligohidramnion onset awal dan onset lambat. Kelaianan pada onset awal lebih kearah faktor kehamilan sedangkan yang onset lambat cenderung disebabkan oleh faktor plasenta dan membran yang ruptur (Hsu,2007)
17
Ketuban pecah dini merupakan penyebab tersering dari
oligohidramnion. Diagnosis biasanya dapat langsung segera
ditegakkan saat pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan dengan
menggunakan spekulum nampak adanya rembesan dari cairan
amnion.18
Oligohidramnion onset lambat berkaitan dengan resiko
tinggi fetus dengan kondisi yang kurang baik seperti
meningkatnya insidensi air ketuban yang bercampur dengan
mekonium, skor Apgar yang rendah, berat badan lahir rendah
(BBLR), perawatan ke NICU, asfiksia pada BBL, dan seksio
sesarea untuk fetal distress.15
Penyebab paling sering dari oligohidramnion adalah
rupturnya membran amnion. Bagaimanapun juga urine fetus
merupakan penyusun utama dari cairan amnion pada hampir
separuh usia kehamilan, maka adanya penurunan atau absensi
dari produksi urine atau adanya blokade pada saluran urinarius
18
fetus akan menyebabkan terjadinya oligohidramnion. Adanya
proses penelanan pada fetus juga akan mengurangi jumlah
cairan.15
Tabel 2.2 Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan
oligohidramnion (Gilbert, 2006)
Faktor Janin Faktor Ibu- Agenesis ginjal- Uropati obstruksi- Pecah selaput ketuban- Kehamilan lewat waktu
- Penyakit hipertensi- Insufisiensi utero-
plasenta- Sindrom antifosfolipid- Dehidrasi-hipovolemi
II.4 Asfiksia
II.4.1 Definisi
Asfiksia pada BBL adalah kegagalan bayi untuk menangis
atau untuk mempertahankan pernafasan yang adekuat selama 1
menit setelah lahir. Asfiksia adalah suatu keadaan hipoksia
progresif, terakumulasinya karbondioksida dengan kondisi
asidosis. Asfiksia merupakan hasil dari adanya
ketidakseimbangan pengangkutan oksigen ke jaringan dan
biasanya berakibat pada kombinasi hipoksemia (penurunan
konsentrasi oksigen dalam darah) dan iskemia (penurunan
perfusi jaringan). Hipoksemia murni berakibat pada penurunan
konsentrasi oksigen dalam darah dengan aliran sirkulasi darah
yang tetap baik, sehingga memungkinkan organ-organ untuk
berespon meningkatkan efisiensi kerjanya pengangkutan oksigen
19
dari sirkulasi. Lebih lanjut nantinya, iskemia akan berakibat pada
metabolisme anaerob, meningkatkan konsentrasi laktat dan
asidosis intraseluler. 15,19
II.4.2 Epidemiologi
Kebanyakan BBL tidak mengalami kesulitan untuk mulai
bernafas secara spontan. Asfiksia pada BBL menjadi penyebab
kematian 19% dari 5 juta kematian BBL setiap tahun. Di
Indonesia angka kejadian asfiksia di rumah sakit provinsi Jawa
Barat adalah 25,2% dan angka kematian karena asfiksia di
rumah sakit rujukan provinsi di Indonesia adalah sekitar 41,94%.
Sebagian besar bayi yaitu sekitar 90%, tidak membutuhkan atau
hanya sedikit memerlukan bantuan untuk memantapkan
pernafasannya setelah lahir dan akan melalui masa transisi dari
kehidupan intrauterine ke ekstrauterine tanpa masalah.15,20
II.4.3 Etiologi
Asfiksia pada BBL dapat disebabkan oleh kejadian saat
antepartum, intrapartum, saat postpartum maupun kombinasi
diantaranya. Menurut penelitian terbaru, umumnya asfiksia
antepartum terjadi dalam 50% kasus, intrapartum pada 40%
20
kasus, dan postpartum sebanyak 10% kasus. Pada negara
berkembang dimana komplikasi intrapartum jarang terjadi,
penyebab tersering asfiksia pada BBL adalah berhubungan
dengan kejadian antepartum. Asfiksia yang disebabkan pada
kejadian intrapartum berhubungan dengan penanganan yang
tidak tepat selama proses persalinan.21
Asfiksia pada BBL dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi
yang terjadi sebelum (antepartum), selama (intrapartum)
ataupun segera setelah lahir (postpartum), diantaranya adalah
sebagai berikut 22:
- Sebelum lahir (antepartum) : preeklamsia, eklamsia,
infeksi, perdarahan.
- Selama lahir (intrapartum) : prematur, persalinan yang
lama, malpresentasi (posisi fetus yang abnormal),
anestesia selama seksio sesaria, perdarahan.
- Segera setelah lahir (postpartum) : prematur, infeksi
II.4.4 Patofisiologi Asfiksia pada BBL
BBL mempunyai karakteristik yang unik. Transisi dari
kehidupan janin intrauterine ke kehidupan bayi ekstrauterin,
menunjukan adanya perubahan. Alveoli paru janin dalam uterus
berisi cairan paru yang terus menerus disekresi. Cairan ini
berbeda dengan cairan amnion dan plasma. Pada saat lahir, bayi 21
mengambil nafas pertama, udara memasuki alveoli paru dan
cairan paru diabsorpsi oleh jaringan paru. Pada nafas kedua dan
berikutnya, udara yang masuk ke alveoli bertambah banyak dan
cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh alveoli berisi
udara yang mengandung oksigen.20,23
Gambar2.3. Cairan dalam alveoli dan pembuluh darah yang vasokonstriksi sebelum lahir dan pada saat lahir maka cairan dalam alveoli diserap oleh jaringan paru dan alveoli akan terisi dengan udara (Perinasia, 2007)
Berkurangnya cairan pada alveoli menyebabkan aliran
darah paru meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan
ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan
tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru dan
peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya menyebabkan
penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran darah
paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai
22
beralih arah dan kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus.
Ekspansi paru yang inadekuat akan menyebabkan gagal nafas.20
Tanda awal asfiksia ditandai dengan periode pernafasaan
cepat, bunyi jantung dan tekanan darah yang tinggi kemudian
diikuti oleh apnue primer. Asfiksia akan menyebabkan retribusi
aliran darah ke jantung, otak, dan adrenal agar kebutuhan
oksigen dan substrat organ-organ vital terpenuhi.25
Gambar2. 4. Efek asfiksia terhadap pola pernafasan. Pada awal dari pernafasan akan terjadi respirasi gasping ireguler yang kemudian menjadi teratur. Jika proses asfiksia berlanjut maka akan terjadi apnue primer kemudian nafas akan menjadi tidak teratur dan lemah dan dapat menyebabkan kematian (Joseph, 1990).
II.5 Skor Apgar
Apgar skor yang ditemukan oleh Virginia Apgar pada tahun
1952 merupakan alat penilai yang cepat digunakan untuk
menilai lima tanda adaptasi fisiologis untuk menilai status klinis
23
dari neonatus. Skor Apgar digunakan dalam menentukan status
fisik neonatus pada waktu 1 menit pertama.27
Skor ini membuat standarisasi penilaian terhadap BBL.
Skor Apgar menilai 5 komponen seperti denyut jantung, usaha
nafas, tonus otot, refleks, dan warna kulit yang masing-masing
kriteria diberi nilai 0,1,atau 2. Skor ini dinilai pada menit 1 dan
menit ke 5 setelah bayi lahir. Skor Apgar berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan untuk menentukan
prognosis. Skor Apgar tidak boleh digunakan untuk memulai
resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila
bayi tidak menangis. Jika nilai skor Apgar kurang dari 7 pada lima
menit pertama maka program resusitasi neonatal harus diulang
tiap 5 menit hingga 20 menit.27
Tabel 2.3 Kriteria Penilaian Skor Apgar. Skor Apgar 0-3 menunjukan Asfiksia berat, nilai 4-6 menunjukan asfiksia sedang dan nilai 7-10 menunjukan normal (Haider, 2006).
24
II.6 Program Resusitasi dengan panduan nilai skor
Apgar
Nilai Apgar 8-10 pada infant yang sehat, berwarna
kemerahan, aktif, menangis kuat dengan denyut jantung yang
cepat. Penanganan yang dilakukan adalah suction pada mulut
dan hidung dengan tekanan rendah dan dalam waktu yang
singkat. Keringkan bayi dengan handuk kering yang steril.
Letakan bayi dalam infant warmer.26
Nilai Apgar 6-7(asfiksia ringan): bayi sedikit sianosis, tonus
otot berkurang, pernafasan lemah dan periodik disertai denyut
jantung >100 kali permenit. Penangangan yang dilakukan
suction dan keringkan bayi jaga suhunya agar tetap hangat.
25
Memberikan stimulus dengan memukul-mukul telapak kaki bayi
secara lembut dan menggosok punggung bayi. Memberikan
oksigen masker. Jika kondisi bayi membaik maka lakukan
pemberian oksigen sampai warna kulit bayi berubah menjadi
kemerahan kemudian lepaskan oksigen. Pantau kondisi bayi
dengan skor Apgar. Jika kondisi bayi tidak membaik maka harus
diberi perawatan seperti asfiksia sedang.26
Nilai Apgar 3-5 (asfiksia sedang): bayi sianosis, tonus otot
lemah, denyut jantung kurang dari 100 kali per menit.
Penangangan yang dilakukan suction dan keringkan bayi jaga
suhunya agar tetap hangat. Diberikan oksigen 100% melalui
masker, cek dengan mengamati gerakan dada dan auskultasi.
Jika keadaan bayi membaik, upaya ini dilanjutkan hingga nafas
menjadi teratur dan dada bergerak naik turun. jika kondisi bayi
tidak membaik maka harus diberi perawatan seperti asfiksia
berat.26
Nilai Apgar 0-2 (asfiksia berat): bayi sangat sianosis, tonus
otot lemah, bayi apnue. Penangangan yang dilakukan suction
dan keringkan bayi jaga suhunya agar tetap hangat. Lakukan
laringoskopi, aspirasi trakea, intubasi dan ventilasi dengan
oksigen 100%. Lakukan pijat jantung jika denyut jantung kurang
dari 60 kali permenit. Kebanyakan bayi dalam 1-2 menit pertama
26
akan mengalami perbaikan . jika tidak terjadi perbaikan lakukan
endotracheal tube, intubasi pada bronkus utama kanan.26
Tabel 2.4 Diagram alur resusitasi neonatus. Yang harus diperhatikan adalah jalan nafas (kotak A), pernafasan (kotak B), sirkulasi (kotak C) dan obat-obatan (kotak D) (Queensland Government, 2009).
Langkah-langkah resusitasi terdiri dari beberapa tindakan
berurutan yakni memberikan kehangatan dengan
27
mempertahankan suhu normal bayi yakni 36,5-37,5ºC,
memposisikan bayi dengan meletakan bayi telentang dengan
kepala sedikit ekstensi dan membersihkan jalan nafas
menggunakan kateter pennghisap yang mempunyai lubang
besar, jika cairan amnion bercampur mekonium dan bayi
mengalami depresi nafas maka pengisapan mekonium dari mulut
dan faring harus dilakukan segera dengan laringoskopi.
Kemudian keringkan sambil merangsang taktil dengan
menggosok perut dan punggung atau menepuk telapak kaki.
Posisikan bayi kembali dan lakukan penilaian terhadap bayi. Jika
bayi masih apnue maka lakukan ventilasi tekanan positif. Bila
pernafasan dan frekuensi jantung memadai tapi bayi tetap
sianosis maka berikan oksigen aliran bebas menggunakan
sungkup oksigen ataupun sungkup balon.20
28