Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Kepatuhan
2.1.1 Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan atau ketaatan (Compliance/adherence) adalah
tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang
disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain (Smet, 1994).
Kepatuhan terhadap pengobatan membutuhkan partisipasi
aktif pasien dalam manejemen perawatan diri dan kerja sama antara
pasien dan petugas kesehatan (Robert, 1999).
Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan
pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama
minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan (Depkes RI, 2000).
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang
individu dengan nasihat medis atau kesehatan dan menggambarkan
penggunaan obat sesuai dengan petunjuk pada resep serta
mencakup penggunaannnya pada waktu yang benar (Siregar, 2006)
2.1.2 Jenis-Jenis Kepatuhan
Menurut Cramer (n.d). Jenis-jenis kepatuhan, yaitu
1. Kepatuhan penuh (Total complience)
13
14
Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur
sesuai batas waktu yang di tetapkan melainkan juga patuh
memakai obat secara teratur sesuai petunjuk.
2. Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non complience)
Yaitu penderita yang putus obat atau tidak menggunakan obat
sama sekali.
2.1.3. Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat
kepatuhan menurut Brunner & Suddarth (2002), adalah :
1. Variabel demografi, seperti usia, jenis kelamin, status
sosio ekonomi dan pendidikan
2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan
hilangnya gejala akibat terapi
3. Variabel program teraupetik seperti kompleksitas
program dan efek samping yang tidak menyenangkan
4. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap
tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan
terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya, dan
biaya finansial dan lainnya yang termasuk dalam
mengikuti regimen hal tersebut di atas juga di temukan
oleh Bart Smet (1994) dalam psikologi kesehatan.
15
Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kepatuhan, yaitu
1. Komunikasi
Berbagai aspek komunikasi antara pasien dan dokter
mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan
pengawasan yang kurang, ketidakpuasaan terhadap aspek
hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasaan terhadap
obat yang di berikan.
2. Pengetahuan
Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan
eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian antibiotic
untuk mencegah timbulnya penyakit infeksi. Karena sering kali
pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang di
rasakan hilang bukan saat obat itu habis.
3. Fasilitas kesehatan
Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting di mana dalam
memberikan penyuluhan terhadap penderita, di harapkan
penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang
meliputi jumlah tenaga kesehatan, gedung serbaguna untuk
penyuluhan dan lain-lain.
Sementara itu menurut Niven (2002) bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi kepatuhan, adalah
1. Penderita atau individu
16
a) Sikap atau motivasi pasien ingin sembuh
Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri
individu sendiri. Motivasi individu ingin tetap
mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh
terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
penderita dalam kontrol penyakitnya.
b) Keyakinan
Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat
menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh
terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang tabah
dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima
keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik.
Kemauan untuk melakukan kontrol penyakitnya dapat di
pengaruhi oleh keyakinan penderita, di mana penderita
memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap
anjuran dan larangan kalau tahu akibatnya.
2. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang
paling dekat dan tidak dapat di pisahkan. Penderita akan merasa
senang dan tentram apabila mendapat perhatian dan dukungan
dari keluarganya. Karena dengan dukungan tersebut akan
menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi dan
mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau
17
menuruti saran-saran yang di berikan oleh keluarga untuk
menunjang pengelolahan penyakitnya.
3. Dukungan sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari
anggota keluarga lain merupakan faktor-faktor penting dalam
kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat
mengurangi ansietas yang di sebabkan oleh penyakit tertentu
dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.
4. Dukungan petugas kesehatan
Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat
mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama
berguna pada pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang
baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat
mempengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan
antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien yang
telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.
Peneliti tertarik untuk mengambil teori faktor-faktor yang
mempangaruhi kepatuhan pasien menurut (Niven, 2002), karena
menurut peneliti dapat di lakukan penelitian pada pasien rawat
jalan yang ada di RSJD Dr. Amino Gondohutomo semarang,
karena dapat mengetahui bentuk dukungan yang pasien
dapatkan selama kontrol dan semua kebenaran data dapat diuji
18
kambali pada keluarga, masyarakat/sosial dan petugas
kesehatan, melalui variabel yang dikemukakan oleh Niven.
2.2 Skizofrenia
2.2.1 Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia dulu dikenal dengan istilah “dementia praecox”
yang berarti kemunduran (dementia) yang terjadi pada masa remaja
(praecox), karena gejala tersebut paling banyak muncul pada usia
remaja atau dewasa awal. Istilah ini dikenalkan oleh seorang dokter
perancis bernama Benedict Morel (1809-1873). Eugene Bleurer
(1911), seorang psikiater kebangsaan Swiss, mengenalkan
skizofrenia untuk mengganti istilah dementia praecox, karena di
dapati gejala-gejala yang sama bisa juga terjadi pada anak-anak dan
orang tua. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti “jiwa
yang terbelah”. Jadi skizofrenia adalah ketidakmampuan untuk
melihat realita, kebingungan dalam membedakan mana yang realita
dan mana yang bukan realita. Skizofrenia merupakan penyakit jiwa
yang paling banyak terjadi di bandingkan dengan penyakit jiwa
lainnya. Penyakit ini menyebabkan kemunduran kepribadian pada
umumnya, yang biasanya mulai tampak pada masa puber, dan yang
paling banyak menderita adalah orang berumur antara 15-30 tahun
(Siswanto, 2007)
19
2.2.2 Prevalensi Skizofrenia
Pasien skizofrenia pada umumnya merupakan pasien
terbanyak penghuni rumah sakit jiwa hampir 95%. Data statistik
menunjukan gangguan skizofrenia merupakan salah satu bentuk
gangguan yang cukup umum. Satu dari 100 orang (1% populasi) di
duga mengalami gangguan ini. Prevalensi diantara pria dan wanita
tergolong seimbang. Namun tampaknya perkembangan gangguan
ini lebih awal di alami pria di bandingkan wanita yaitu mulai muncul
sekitar awal 20-an tahun pada pria dan akhir usia 20-an tahun pada
wanita (society for Neuroscience, 2002).
2.2.3 Karakteristik Skizofrenia
Gangguan ini dicirikan dengan gangguan dalam proses
berpikir dimana terjadi distorsi yang berat terhadap
kenyataan/realita. misalnya penderita seolah-olah melihat atau
mendengar sesuatu padahal dalam kenyataannya tidak ada
(mengalami halusinasi). Ini yang menyebabkan penderitanya seolah-
olah berbicara, marah-marah, atau tertawa-tawa sendiri padahal
tidak ada yang lain di sekitarnya. Pasien juga sering tidak bisa di
ajak berkomunikasi karena kata-katanya menjadi kacau dan tidak
sesuai dengan isi pembicaraan selain itu muncul pikiran-pikiran
aneh, seperti merasa di kejar-kejar oleh orang lain, atau seolah-olah
mendapatkan wahyu (mengalami delusi).
20
Ciri lain dari penderita skizofrenia yaitu kehilangan kontrol
dan integrasi terhadap perilakunya sendiri, sehingga bila dia
memukul orang lain, misalnya dia mungkin merasa bahwa
tangannya tidak bisa di kuasai dan tangan tersebut memukul orang
lain dengan sendirinya. Pada penderita skizofrenia ini ada
disintegrasi pribadi dan kepecahan pribadi. Tingkah laku emosional
dan intelektualnya jadi ambigious (majemuk), serta mengalami
gangguan serius, juga mengalami regresi atau dimensia total.
Pasien selalu melarikan diri dari kenyataan hidup dan berdiam
dalam dunia fantasinya. Tampaknya pasien tidak memahami
lingkungannya, reaksinya selalu maniakal atau kegila-gilaan,
pikirannya melompat- lompat tanpa arah, karena ia menderita
gangguan intelektual yang berat. Juga perasaannya senantiasa tidak
cocok dengan realitas yang nyata (Kartono, 2002)
Laki-laki cenderung memiliki resiko yang sedikit lebih tinggi
untuk mengalami Skizofrenia (American Psychiatric Association,
2000). Perempuan cenderung mengalami gangguan pada usia yang
lebih lanjut daripada laki-laki, dengan usia awal kemunculan simtom
terjadi paling banyak antara usia 25 sampai pertengahan 30 tahun
untuk perempuan dan antara 15 sampai 25 tahun pada laki-laki
(American Psychiatric Association, 2000). Perempuan juga
cenderung mencapai tingkatan fungsi yang lebih tinggi sebelum
munculnya gangguan dan memiliki perjalanan penyakit yang kurang
21
parah daripada laki-laki (Hafner, dkk.,1999). Laki-laki penderita
skizofrenia tampak berbeda dari perempuan yang mengalami
gangguan ini dalam beberapa hal. Mereka cenderung mengalami
onset atau timbulnya gejala pada usia yang lebih muda, memiliki
tingkat penyesuaian diri yang lebih buruk sebelum menunjukan
tanda-tanda gangguan dan memiliki lebih banyak kendala kognitif,
defisit tingkah laku, dan reaksi lebih buruk terhadap terapi obat di
bandingkan perempuan yang mengalami skizofrenia (Ragland dkk.,
1999).
2.2.4 Penyebab Skizofrenia
Menurut (Durand & Barlow, 2007) untuk mengungkap penyebab
gangguan ini, yaitu: gen-gen yang mungkin terlibat dalam
skizofrenia, cara kerja kimiawi obat-obatan yang mungkin dapat
membantu banyak orang mengalami gangguan ini, dan
abnormalitas cara kerja otak pada penderita skizofrenia.
Menurut Kartono (2002) ada beberapa penyebab Skizofrenia,
yaitu :
1. Lebih dari separuh jumlah penderita skizofrenia mempunyai
keluarga psikotis atau sakit mental
2. Tipe kepribadian yang schizothyme (Schizotyme: Kepecahan
pribadi dengan jiwa yang kacau balau )
22
Asthenis (Tidak berdaya/bertenaga) dengan jiwa yang
cenderung menjadi schizofern dan bentuk jasmaniah
asthenis (tidak berdaya/ bertenaga), mempunyai
kecenderungan kuat menjadi schizofren.
3. Sebab-sebab organis: ada perubahan atau kerusakan pada
sistem syaraf sentral. Juga terdapat gangguan-gangguan
pada sistem kelenjar-kelenjar adrenal dan pituitary (kelenjar
di bawah otak). Kadangkala kelenjar thyroid dan kelenjar
adrenal mengalami atrofi berat. Dapat juga di sebabkan oleh
proses klimaterik dan gangguan-gangguan menstruasi.
Semua gangguan tadi menyebabkan degenerasi pada energi
fisik dan energi mentalnya.
4. Sebab-sebab psikologis: ada kebiasaan-kebiasaan infantil
yang buruk dan salah, sehingga pesien hampir selalu
melakukan maladjustment (salah-suai) terhadap
lingkungannya. Ada konflik diantara super-ego dan id
(Freud). Integrasi kepribadaiannya sangat miskin dan ada
kompleks- inferior yang berat.
2.2.5 Gejala Gangguan Skizofrenia
Menurut (Arumwardhani, 2011), ada beberapa gejala
Skizofrenia, Yaitu :
1. Tidak mampu menyaring (filtering) secara perseptual
23
a. Kesulitan untuk memusatkan perhatian
b. Sering mengeluh adanya ledakan (suara yang
menggelegar) pada rangsangan indera
c. Pikiran tidak mampu menampung semua informasi
d. Tidak mampu berkonsentrasi
2. Pemikirannya tidak terorganisir sama sekali
a. Kesulitan dalam memadukan beberapa pikiran
menjadi satu pemikiran logis
b. Pembicaraan yang sering melenceng dari pokok
persoalan, dan terjebak dengan persoalan yang ingin
dikatakannya
3. Distorsi emosi
a. Cenderung menunjukan masalah yang berkaitan
dengan emosi
b. Termasuk kecenderungan akan kesulitan dan
ketidakmampuan menikmati apapun yang
diperolehnya, bersikap apatis (masa bodoh), cemas,
ambivalen (suatu pertentangan perasaan yang terjadi
secara menyolok mengenai suatu pokok masalah),
dan menunjukan respon emosional yang tidak sesuai
dengan rangsang yang diterima.contoh: jika seorang
skizofrenia sedang berdiskusi serius dengan
seseorang, tiba-tiba dibenaknya terlintas pikiran yang
24
lucu maka ia bisa tertawa terbahak-bahak tanpa
mempedulikan rasa kebingungan orang berada
dihadapannya
4. Delusi dan halusinasi
Gangguan akan cara berpikir, merasa dan menangkap
suatu rangsang dan informasi (lihat ilusi dan halusinasi)
5. Menarik diri dari kenyataan
a. Penderita seringkali merasa dirinya tidak perperasaan
dan apatis terhadap dunia nyata
b. Terlalu memikirkan khayalan yang ada dalam dirinya,
lamunan dan pengalaman pribadinya
c. Tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk
berinteraksi dengan lingkungan
d. Merasa nyaman dengan dunia ciptaannya sendiri
e. Menganggap bahwa orang lain tidak mengerti akan
dirinya dan tidak sewaras dirinya
6. Perilaku kacau dan pembicaraan terganggu
a. Pada umumnya perilakunya sangat khusus
b. Pola pembicaraannya tidak jelas dalam susunan bahasa
dan logika
Penderita skizofrenia dapat muncul sejak masih
kanak-kanak, tetapi yang paling sering terjadi adalah
pada pertama kali muncul gejalanya ketika individu
25
tersebut memasuki usia remaja, atau saat masa awal
dewasa. Jika kondisi ini berkembang secara bertahap
dan bertahun-tahun, maka kondisi ini disebut proses
skizofrenia.
Proses ini cenderung menunjukan perilaku tertentu
pada masa kecil, seperti sering sakit, menarik diri dari
pergaulan dan kemampuan penyesuaian diri yang
kurang baik.
2.2.6 Ciri-ciri Utama Skizofrenia
Skizofrenia adalah penyakit pervasif yang
mempengaruhi lingkup yang luas dari proses psikologis,
mencakup kognisi, afek dan perilaku. (Arango,dkk 2000 dalam
Nevid 2005). Orang-orang dengan skizofrenia menunjukan
kemunduran yang jelas dalam fungsi pekerjaan sosial. Mereka
mungkin memiliki kesulitan dalam mempertahankan
pembicaraan, membentuk pertemanan, mempertahankan
pekerjaan, atau memperhatikan kebersihan pribadi mereka.
Namun demikian tidak ada satu pola perilaku yang unik pada
skizofrenia, demikian pula tidak ada satu pola perilaku yang
selalu muncul pada penderita skizofrenia. Penderita skizofrenia
mungkin menunjukan waham, masalah dalam berpikir asosiatif,
dan halusinasi, pada satu atau lain waktu, namun tidak selalu
26
semua tampil pada saat kebersamaan. Juga terdapat
perbedaan ragam atau jenis skizofrenia, dicirikan oleh pola-pola
perilaku yang berbeda.
2.2.7 Tipe- Tipe Skizofrenia
Menurut Kartono (2002), ada 3 tipe Skizofrenia, yaitu:
1. Skizofrenia Hebefrenik
2. Skizofrenia Katatonik
3. Skizofrenia Paranoid
1. Skizofrenia Hebefrenik
Hebefrenik adalah mental atau jiwa menjadi tumpul.
Kesadarannya masih jernih, akan tetapi kesadaran Akunya
sangat terganggu. Berlangsungnya disintergrasi total, tanpa
memiliki identitas, dan tidak bisa membedakan diri sendiri
dengan lingkungannya. Orang yang mengalami derealisasi
dan depersonalisasi berat akan dihinggapi macam-macam
ilusi dan delusi, sebab pikirannya selalu melantur. Halusinasi
dan delusi biasanya aneh-aneh, pendek-pendek dan cepat
berganti-ganti. Pikirannya kacau melantur, banyak tersenyum
dengan muka yang perat-perot tanpa ada perangasang
sedikitpun.
27
Pasien dengan skizofrenia hebefrenik biasanya terjadi
regresi total dalam tingkah-lakunya dan pasien menjadi
kekanak-kanakan. Kehidupan perasaan yang tampaknya
menumpul itu bisa di sertai dengan kepekaan yang berlebih-
lebihan (over sensivitas). Pasien juga menjadi jorok dan kotor
sekali, selalu ingin ngeloyor kemana-mana dan tidak
mengenal sopan-santun lagi, kadang suka memperlihatkan
alat kelaminnya dan melakukan onani di hadapan orang lain.
Reaksi tingkah lakunya menjadi kegila-gilaan, suka tertawa-
tawa dan kadang menangis tersedu-sedu. Perasaan dari
skizofrenia hebefrenik mudah tersinggung, sering di hinggapi
sarkasme (sindiran tajam) dan kerapkali menjadi eksplosif
meledak marah-marah tanpa suatu sebab pun. Pasien juga
makan secara berlebihan dan berceceran, buang air besar
atau air kecil sembarang dan bahkan melakukannya di
celana dan berpakaian seperti bayi.
2. Skizofrenia Katatonik (catatonic)
Penderita seperti menjadi kaku (Catatonic= kaku).
Dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a) Urat-uratnya menjadi kaku dan mengalami
choreaflexibility (waxy flexibility), yaitu badan jadi
kaku beku. Pasien sering menderita catalepsy
yaitu keadaan tidak sadar, seluruh badannya
28
menjadi kaku, tidak pejal dan tidak bisa
dibengkokan. Jika pasien telah mengambil posisi
tertentu, misalnya berdiri, berjongkok, kaki di atas
dan kepala di bawah, miring dan lain-lain maka ia
akan bertingkah laku sedemikain untuk berjam-jam
atau berhari-hari, dirinya seperti dalam keadaan
tidur yang hypnotik (kena sihir).
b) Ada pola tingkah laku yang stereotypis, aneh-aneh
atau gerak-gerak otomatis yang tidak terkendalikan
oleh kemauan
c) Ada gejala stupor, yaitu bisa merasa, seperti
terbius. Sikapnya negatif dan pasif sekali di sertai
delusi-delusi kematian, mau ingin mati rasanya
d) Kadang-kadang di sertai catatonic excitement yaitu
jadi meledak-ledak dan ribut hiruk-pikuk, tanpa
sebab dan tanpa tujuan apa pun.
e) Mengalami regresi total.
3. Skizofrenia Paranoid
Penderita diliputi macam-macam delusi dan
halusinasi yang terus berganti-ganti coraknya dan tidak
teratur, serta kacau balau. Sering merasa iri hati, cemburu
dan curiga. Pada umumnya emosinya beku dan sangat
apatis. Pasien tampaknya lebih “waras” dan tidak sangat
29
ganjil dan aneh jika di bandingkan dengan penderita
skizofrenia jenis lainnya. Akan tetapi pada umumnya pasien
bersikap sangat bermusuh terhadap siapa pun juga, merasa
dirinya penting, sering sangat fanatik religius secara
berlebihan dan kadang kala bersifat hipokondris.
Orang yang telah didiagnosa mengalami skizofrenia
biasanya sulit di pulihkan. Jika bisa sembuh, itu pun
memakan waktu yang sangat lama (bertahun-tahun) dan
tidak bisa seperti semula lagi. Bila tidak berhati-hati dan
mengalami stres yang berlebihan, besar kemungkinan akan
kambuh lagi dan menjadi lebih para.
2.3 Kontrol
2.3.1 Pengertian Kontrol
Kontrol didefinisikan dalam hal pencapaian outcomes
atau rencana yang diinginkan, (Hyland 1987 dalam Walker,
2001)
Kontrol adalah cara untuk memeriksa, menyelidiki
serta mengawasi (Bakir, 2009)
Kontrol mengacu pada kemampuan dari anggota
kelompok kultural tertentu untuk merencanakan aktivitas
30
yang mengontrol sifat dan faktor lingkungan. (Giger, dkk
1995 dalam Perry & Potter, 2005)
2.3.2 Beberapa Pandangan Tentang Kontrol
1) Kontrol (kata kerja) mengacu pada tindakan yang diambil
oleh diri sendiri dan/atau orang lain untuk mencapai hasil
yang di inginkan.
2) Kontrol (kata benda) mengacu pada pencapaian hasil
yang diinginkan melalui tindakan yang diambil oleh diri
sendiri dan juga orang lain.
2.3.3 Teori Kontrol
Kontrol adalah kunci dalam konsep psikologi kesehatan.
Kontrol memiliki aplikasi penting dalam menangani stres, koping,
adaptasi dan dapat menjalankan promosi kesehatan, pendidikan
kesehatan, rehabilitasi, dapat melakukan perawatan terhadap
penyakit akut maupun kronis. Kontrol pun memiliki implikasi
penting untuk pengelolaan hubungan antara pasien atau klien
dengan para professional kesehatan dalam pengaturan
perawatan kesehatan. (Walker, 2001 )
Pengendalian kontrol juga digunakan terutama untuk
mengacu pada pencapaian hasil yang diinginkan atau, dengan
menggunakan bahasa teori sistem yaitu tujuan sistem, kriteria
atau hasil yang diinginkan sehingga menjamin kelangsungan
31
hidup individu dan spesies, melindungi kesehatan individu dan
kesejahteraan, dan memenuhi tuntutan budaya, ideologi, sosial
dan material. Kata kontrol umumnya digunakan untuk merujuk
kepada kedua proses pencapaian dan hasil. (Hyland, 1987 dalam
Walker 2001 )
2.3.4 Kontrol dari Segi Psikologi Kesehatan
Meskipun kontrol sering digunakan untuk merujuk kepada
kontrol pribadi, namun penulis menegaskan/ menggambarkan
bahwa kontrol juga dilakukan atas dukungan orang lain, atau bahkan
keyakinan akan kekuatan ekternal orang lain didalam konteks
kesehatan didalamnya termasuk keluarga, kerabat, teman, dokter
dan professional kesehatan lainnya. Dalam segi psikologis
kesehatan, kontrol biasanya dikaitkan dengan hasil positif dan
adaptasi, namun kontrol mungkin dalam beberapa keadaan
dikaitkan dengan menyimpang atau maladaptif mungkin tergantung
pada perspektif yang berbeda dari aktor dan pengamat. (Hyland,
1987 dalam Walker 2001 )
2.3.5 Kontrol Pribadi
Kontrol mencerminkan keyakinan individu tentang ketersediaan
yang aktual atau potensial dari kontrol yang dicapai oleh diri sendiri
dan orang lain dalam berbagai jenis situasi. Peneliti ketika mengacu
pada kontrol menyiratkan bahwa keberhasilan dari kontrol pribadi
32
dapat dicapai dengan bantuan orang lain. Sebagian besar penelitian
mendukung bahwa kontrol pribadi pada umumnya menguntungkan
dalam kaitannya dengan hasil kesehatan fisik dan psikologis.
Namun, ketergantungan total pada kontrol pribadi mungkin akan
maladaptif dalam situasi tak terkendali. Oleh sebab itu
keseimbangan kontrol pribadi dan dukungan sosial harus seimbang
sehingga dapat mencapai hasil diinginkan pada saat seseorang ada
dalam kesulitan, sakit atau cacat. (Walker, 2001)
2.4 Kesehatan Jiwa
2.4.1 Pengertian Kesehatan Jiwa
Organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan
kesehatan sebagai “ keadaan sehat fisik, mental, dan sosial bukan
semata-mata bukan keadaan tanpa penyakit atau kelemahan”
definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan sejahtera
yang positif, bukan keadaan sekedar tanpa penyakit. Orang yang
memiliki kesejahteraan emosional, fisik dan sosial dapat memenuhi
tanggung jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam
kehidupan sehari-hari, dan puas dengan hubungan interpersonal,
dan diri mereka sendiri. Tidak ada satupun definisi universal
kesehatan jiwa, tetapi kita dapat menyimpulkan kesehatan jiwa
seseorang dari perilakunya. Karena perilaku seseorang dapat di lihat
33
atau di tafsirkan berbeda oleh orang lain, yang bergantung kepada
nilai dan keyakinan, maka penentuan kesehatan jiwa menjadi sulit
(Videbeck, 2008)
Kesehatan jiwa menurut Undang-undang No 3 tahun 1966,
adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,
intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan
perkembangan itu selaras dengan keadaan orang lain (Riyadi, dkk
2009).
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional,
psikolois dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang
memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang
positif dan kestabilan emosi. Kesehatan jiwa memiliki banyak
komponem dan dipengaruhi oleh berbagai faktor (Johnson,1997):
1. Otonomi dan kemandirian : Individu dapat melihat ke dalam
dirinya untuk menemukan nilai dan tujuan hidup. Opini dan
harapan orang lain di pertimbangkan, tetapi tidak mengatur
keputusan dan perilaku individu tersebut. Individu yang
otonom dan mandiri dapat bekerja secara interdependen
atau kooperatif dengan orang lain tanpa kehilangan
otonominya.
34
2. Memaksimalkan potensi diri: Individu memiliki orientasi pada
pertumbuhan dan aktualisasi diri. Ia tidak puas dengan status
quo dan secara kontinu berusaha tumbuh sebagai individu
3. Menoleransi ketidakpastian hidup: Individu dapat
menghadapi tantangan hidup sehari-hari dengan harapan
dan pandangan positif walaupun tidak mengetahui apa yang
terjadi di masa depan
4. Harga diri: Individu memiliki kesadaran yang realistis akan
kemampuan dan keterbatasannya.
5. Menguasai lingkungan : Individu dapat menghadapi dan
mempengaruhi lingkungan dengan cara yang kreatif,
kompoten, dan sesuai kemampuan
6. Orientasi realistis: Individu dapat membedakan dunia nyata
dari dunia impian, fakta dari khayalan, dan bertindak secara
tepat.
7. Manajemen stres: Individu dapat menoleransi stres
kehidupan, merasa cemas atau berduka sesuai keadaaan,
dan mengalami kegagalan tanpa rasa hancur. Ia
menggunakan dukungan dari keluarga dan teman untuk
mengatasi krisis karena mengetahui bahwa stres tidak akan
berlangsung selamanya.
Ada suatu interaksi konstan diantara faktor tersebut, dengan
demikian, kesehatan jiwa seseorang merupakan suatu keadaan
35
yang dinamik atau selalu berubah. Faktor yang mempengaruhi
kesehatan jiwa seseorang dapat di kategorikan sebagai faktor
individual meliputi struktur biologis, memiliki keharmonisan hidup,
vitalitas, menemukan arti hidup, kegembiraan atau daya tahan
emosional, spiritualitas dan memiliki identitas yang positif (Seaward,
1997). Faktor interpersonal meliputi komunikasi yang efektif,
membantu orang lain, keintiman dan mempertahankan
keseimbangan antara perbedaan dan kesamaan. Faktor
sosial/budaya meliputi keinginan untuk bermasyarakat, memiliki
penghasilan yang cukup, tidak menoleransi kekerasan, dan
mendukung keragaman individu.
2.4.2 Ciri-Ciri Orang Yang Sehat Jiwa
Menggambarkan ciri-ciri tingkah laku yang normal atau sehat
biasanya relatif agak sulit dibanding dengan tingkah laku yang tidak
normal. Ini di sebabkan karena tingkahlaku yang normal seringkali
kurang mendapatkan perhatian karena tingkahlaku tersebut di
anggap wajar, sedangkan tingkahlaku abnormal biasanya lebih
mendapatkan perhatian karena biasanya tidak wajar dan aneh
(Siswanto, 2007)
Ciri-ciri individu yang sehat atau normal menurut Warga
dalam Siswanto, (2007) pada umumnya sebagai berikut:
1. Bertingkahlaku menurut norma-norma sosial yang di akui
36
2. Mampu mengelola emosi
3. Mampu mengaktualkan potensi-potensi yang dimiliki
4. Dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan sosial
5. Dapat mengenali resiko dari setiap perbuatan dan kemampuan
tersebut di gunakan untuk menuntun tingkahlakunya
6. Mampu menunda keinginan sesaat untuk mencapai tujuan jangka
panjang
7. Mampu belajar dari pengalaman
8. Biasanya gembira
Menurut Killander dalam (Sutardjo,dkk 2004) yaitu ciri-ciri
individu yang memiliki sehat jiwa atau mental tampaknya sederhana
tetapi seringkali sukar terlihat dalam kenyataannya sehari-hari.
Untuk itu, perlu di kemukakan rincian pengertian ciri-ciri tersebut
sesuai dengan maksudnya, sebagai berikut:
1. Kematangan emosional
Terdapat tiga dasar emosi, yaitu cinta takut dan marah. Kita
mencintai hal yang membuat kita senang, takut kalau ada hal yang
mengancam rasa aman kita, dan marah kalau ada yang
mengganggu atau jalan dan usaha untuk mencapai apa yang kita
inginkan. Ketiga dasar emosi ini diturunkan dan bersifat universal.
2. Kemampuan menerima realitas
37
Adanya perbedaan antara dorongan, keinginan, dan ambisi disatu
pihak, serta peluang dan kemampuan dipihak lain, adalah hal yang
biasa terjadi. Orang yang memiliki kemampuan untuk menerima
realitas antara lain memperlihatkan perilaku mampu memecahkan
masalah dengan segera dan menerima tanggung jawab. Bahkan
kalau memungkinkan, ia mampu mengendalikan lingkunagn dan
kalau tidak mungkin tidak sukar untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan, terbuka untuk pengalaman dan gagasan baru, membuat
tujuan-tujuan yang realistis, serta melakukan yang terbaik sampai
merasa puas atas hasil usahanya tersebut.
3. Hidup bersama dan bekerja sama dengan orang lain
Hal ini menyangkut hakekat dirinya sebagai makhluk sosial
(homosocius), yang tidak sekedar mau dan bersedia serta mampu
bekerja sama untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi daripada
dikerjakan sendiri, melainkan juga karena tidak dapat bertahan hidup
sendiri. Manusia adalah makhluk solider. Ciri normal secara sosial ini
antara lain terlihat pada adanya kemampuan dan kemauan untuk
mempertimbangkan minat dan keinginan orang lain dalam tindakan-
tindakan sosialnya. Mampu menemukan dan memanfaatkan
perbedaan pandangan dengan orang lain, dan mempunyai tanggung
jawab sosial serta merasa bertanggung jawab terhadap nasib orang
lain.
4. Memiliki filsafat atau pandangan hidup
38
Yang dimaksud dengan memiliki filsafat adalah memiliki pegangan
hidup yang dapat senantiasa membimbingnya untuk berada dalam
jalan yang benar, terutama saat menghadapi atau berada dalam
situasi yang mengganggu atau membebani. Filsafat hidup ini memiliki
dua muatan utama, yaitu makna hidup dan pola hidup. Jadi orang
yang sehat mental senantiasa dibimbing oleh makna dan nilai hidup
yang menjadi pegangannya. Ia tidak akan terbawa begitu saja oleh
arus situasi yang berkembang dilingkungannya maupun perasaan
dan suasana hatinya sendiri yang bersifat sesaat.
2.4.3 Kriteria Sehat Jiwa
Menurut WHO, sehat diartikan sebagai suatu keadaan
sempurna baik fisik, mental dan sosial serta bukan saja keadaan
terhindar dari sakit maupun kecacatan.
Kriteria sehat jiwa menurut (Riyani & Purwanto, 2009) meliputi:
1. Sikap positif terhadap diri sendiri
Individu dapat menerima dirinya secara utuh, menyadari adanya
kelebihan dan kekurangan dalam diri dan menyikapi kekurangan
atau kelemahan tersebut dengan baik.
2. Tumbuh kembang dan beraktualisasi diri
Individu mengalami perubahan kearah yang normal sesuai dengan
tingkat pertumbuhan dan perkembangan serta dapat
mengekspresikan potensi dirinya
39
3. Integrasi
Individu menyadari bahwa semua aspek yang dimilikinya adalah
satu kesatuan yang utuh dan mampu bertahan terhadap stres dan
dapat mengatasi kecemasannya
4. Persepsi sesuai dengan kenyataan
Pemahaman individu terhadap stimulus ekternal sesuai dengan
kenyataan yang ada. Persepsi individu dapat berubah jika ada
informasi baru, dan memiliki empati terhadap perasaan dan sikap
orang lain.
5. Otonomi
Individu dapat mengambil keputusan secara bertanggung jawab
dan dapat mengatur kebutuhan yang menyangkut dirinya tanpa
bergantung pada orang lain.