12
5 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih: Identitas Nasional Setiap makhluk hidup di dunia ini pasti memiliki identitas atau ciri khas. Selain berfungsi sebagai penjelas dari kepribadian seseorang, identitas atau jati diri juga berfungsi sebagai pembeda antara satu dan yang lain. Begitu pula negara membutuhkan identitas nasional agar dapat dibedakan dengan negara lainnya. Jadi identitas nasional adalah ungkapan nilai-nilai budaya suatu bangsa yang bersifat khas dan membedakannya dengan bangsa lain. Karena itu perlu dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warganya, sebab tidak semata-mata dibentuk, melainkan memiliki unsur-unsur seperti kesamaan sejarah, kebudayaan masyarakat yang tidak dimiliki bangsa lain, agama, dan bahasa. Karakter bangsa menyangkut perilaku yang mengandung core values dan nilai-nilai yang berakar pada filosofi Pancasila, dan simbol-simbol keindonesiaan seperti: Sang Saka Merah Putih, semboyan Bhineka Tunggal Ika, lambang Garuda Pancasila, dan Lagu Indonesia Raya (Ubaedillah, 2013). Bendera Merah Putih merupakan salah satu (dari sekian) identitas nasional yang berfungsi memberi “ingatan” bagi setiap orang, bahkan setiap suku bangsa yang mendiami bentangan kepulauan dari Sabang sampai Merauke bahwa mereka adalah Indonesia (Pasal 35 UUD 1945), sekalipun mereka tidak saling mengenal. Berdasarkan pasal 35 UUD 1945 ini, dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun 2009, identitas nasional tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1958. Dalam pasal 4 UU No. 24/2009 mengatakan bahwa ukuran bendera negara boleh berbeda-beda tergantung dimana bendera itu ditempatkan, konsekuensinya adalah kita dapat mengamati ukuran bendera yang berbeda-beda tergantung tempat dan kegiatan yang dilakukan. Namun “pesan” yang diberikan oleh bendera Merah Putih hanya bermuara pada “ingatan” bahwa kita adalah Indonesia. Selain ukuran, pasal 9 Ayat 1 UU No. 24 secara khusus mengatur tentang tempat bendera negara wajib dikibarkan, diantaranya seperti istana Presiden dan Wakil Presiden, kantor atau gedung lembaga pemerintah, rumah pejabat negara, pos perbatasan dan pulau- pulau terluar Indonesia, lingkungan TNI dan Kepolisian, dan makam pahlawan nasional. Di

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

5

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Bendera Merah Putih: Identitas Nasional

Setiap makhluk hidup di dunia ini pasti memiliki identitas atau ciri khas. Selain

berfungsi sebagai penjelas dari kepribadian seseorang, identitas atau jati diri juga berfungsi

sebagai pembeda antara satu dan yang lain. Begitu pula negara membutuhkan identitas

nasional agar dapat dibedakan dengan negara lainnya. Jadi identitas nasional adalah ungkapan

nilai-nilai budaya suatu bangsa yang bersifat khas dan membedakannya dengan bangsa lain.

Karena itu perlu dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warganya, sebab tidak semata-mata

dibentuk, melainkan memiliki unsur-unsur seperti kesamaan sejarah, kebudayaan masyarakat

yang tidak dimiliki bangsa lain, agama, dan bahasa. Karakter bangsa menyangkut perilaku

yang mengandung core values dan nilai-nilai yang berakar pada filosofi Pancasila, dan

simbol-simbol keindonesiaan seperti: Sang Saka Merah Putih, semboyan Bhineka Tunggal

Ika, lambang Garuda Pancasila, dan Lagu Indonesia Raya (Ubaedillah, 2013).

Bendera Merah Putih merupakan salah satu (dari sekian) identitas nasional yang

berfungsi memberi “ingatan” bagi setiap orang, bahkan setiap suku bangsa yang mendiami

bentangan kepulauan dari Sabang sampai Merauke bahwa mereka adalah Indonesia (Pasal 35

UUD 1945), sekalipun mereka tidak saling mengenal. Berdasarkan pasal 35 UUD 1945 ini,

dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta

Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun 2009, identitas nasional tersebut diatur dalam

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1958. Dalam pasal 4 UU No. 24/2009 mengatakan bahwa

ukuran bendera negara boleh berbeda-beda tergantung dimana bendera itu ditempatkan,

konsekuensinya adalah kita dapat mengamati ukuran bendera yang berbeda-beda tergantung

tempat dan kegiatan yang dilakukan. Namun “pesan” yang diberikan oleh bendera Merah

Putih hanya bermuara pada “ingatan” bahwa kita adalah Indonesia.

Selain ukuran, pasal 9 Ayat 1 UU No. 24 secara khusus mengatur tentang tempat

bendera negara wajib dikibarkan, diantaranya seperti istana Presiden dan Wakil Presiden,

kantor atau gedung lembaga pemerintah, rumah pejabat negara, pos perbatasan dan pulau-

pulau terluar Indonesia, lingkungan TNI dan Kepolisian, dan makam pahlawan nasional. Di

Page 2: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

6

Pasal 12 UU No. 24/2009 tertulis bendera negara dapat digunakan sebagai tanda perdamaian,

tanda berkabung, dan penutup peti jenazah Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden

atau mantan Wakil Presiden, anggota lembaga negara, menteri, kepala daerah, anggota

DPRD, kepala perwakilan diplomatik, anggota TNI, dan anggota Kepolisian RI.

Melihat makna dan konteks bendera Merah Putih seperti terurai di atas, pertanyaannya

adalah apa relevansinya dengan penggunaan bendera Merah Putih dalam upacara penyerahan

maskawin (ararem) pada suku Biak Numfor di Papua? Perlu disadari bahwa Papua memiliki

sejarah yang berbeda jika dibandingkan dengan suku bangsa lain di Indonesia. Ketika

Indonesia merdeka tahun 1945, Papua (Barat) belum termasuk dalam kemerdekaan Indonesia

itu, “dia” masih merupakan wilayah yang dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda

berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, lewat Komisi PBB untuk

urusan Indonesia akhirnya menyepakati Piagam Penyerahan Kedaulatan (Siregar, 2004: 35)

yang isinya:

a. Pasal 1: Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada RIS tanpa

syarat sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat penuh. Kedaulatan tersebut

akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 desember 1949.

b. Pasal 2: Belanda tidak menyerahkan Keresidenan Papua (Niuew Guinea) kepada

Indonesia tetapi masih di bawah kekuasaan kerajaan Belanda sampai akan

dibicarakan kembali setahun kemudian pada tahun berikutnya.

Akibat ketegangan yang berlangsung sangat cepat antara pemerintah Belanda dengan

Indonesia maka Gubernur Belanda di Papua merasa perlu membentuk suatu Komite Nasional

yang beranggotakan 21 orang, komite ini kemudian dilengkapi 70 putra Papua yang

berpendidikan dan berhasil melahirkan manifesto (Siregar, 2004: 35) :

1. Menentukan nama negara: Papua Barat

2. Menentukan lagu kebangsaan: Hai Tanahku Papua

3. Menentukan bendera: Bintang Kejora

4. Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora dikibarkan pada tanggal 1

November 19611.

Dengan demikian, Papua Barat telah memiliki identitas nasionalnya sejak tahun 1961

itu, namun upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk membawa kembali Papua Barat

1 Namun tanggal 1 November tersebut Bendera Bintang Kejora tidak dikibarkan karena masih menunggu persetujuan pemerintah Bendanda di Belanda. Setelah persetujuan diberikan maka bendera Bintang Kejora dikibarkan Tanggal 1 Desember 1961 di Jayapura sekaligus Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat.

Page 3: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

7

ke pangkuan Ibu Pertiwi ternyata tidak berhenti di Konferensi Meja Bundar itu. Upaya politik

terus dilakukan dan akhirnya melahirkan beberapa perjanjian, seperti: New York Agreement

tanggal 15 Agustus 1962, dan juga Roma Agreement 30 September 1962, prosesnya terus

berlanjut sampai pada Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 di Papua Barat. Baik

dalam catatan Latifah Anum Siregar (2004) maupun Socrates Sofyan Yoman (2015)

menggambarkan bahwa selama proses penyelesaian sengketa atas Papua Barat tersebut rakyat

Papua berada dalam posisi yang pasif dan tidak dilibatkan.2 Hal itu senada dengan komentar

wakil ketua Presidium Dewan Papua Tom Beanal: “Kami ini ibarat binatang yang

dipindahkan dari satu kandang ke kandang yang lain…”.

Proses masuknya Papua Barat (yang kemudian berganti nama menjadi Irian Jaya) ke

Indonesia lewat PEPERA 1969 sampai dengan saat ini masih merupakan perdebatan karena

dilakukan dengan tidak mengindahkan perjanjian New York, yakni bahwa semua laki-laki

dan perempuan dewasa memiliki hak suara (one man one vote) berubah menjadi sekitar 1.026

suara saja (one delegation one vote) yang merupakan anggota DMP (Dewan Musyawarah

Pepera). Karena itu, proses ini diduga sebagai rekayasa politik oleh militer Indonesia.

Atas dasar gambaran tersebut, pertanyaan yang mengemuka adalah apakah

penggunaan Bendera Merah Putih dalam upacara penyerahan maskawin di Biak (Ambroben)

itu merupakan sebuah bentuk kesadaran nasionalisme Indonesia oleh orang Irian Jaya

(Papua)? atau merupakan bentuk kritik atas ketidakadilan yang terjadi dalam sejarah masa

lalu dan realitas ketidak-adilan (ekonomi-pembangunan) kekinian?, atau bahkan merupakan

ekspresi ketakutan dan pertanahan akibat trauma masa lalu terhadap kebringasan militer

Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dalam bagian analisis pada bab

selanjutnya.

2.2. Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial

dinamis manusia. Bagi perspektif ini individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan,

menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak pandangan,

2 Perjanjian New York diterima dan didukung Amerika dengan alasan perhitungan ekonomi-politik, karena jika terjadi perang terbuka di kawasan sengketa maka pihak Belanda dan Blok Barat akan kalah dan yang akan memetik keuntungan adalah Blok Timur (Komunis). Alasan itu jelas tidak memperhitungkan kepentingan orang Papua yang merdeka dan berdaulat.

Page 4: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

8

bahwa individu adalah pasif dan ditentukan oleh kekuatan atau struktur dari luar dirinya. Oleh

karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi

interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan prilaku manusia bukan struktur

masyarakat. Sturuktur sosial berubah karena proses interaksi sosial (Mulyana, 2004: 61).

Interaksionisme simbolik merupakan sebuah teori yang lahir dari persemaian sistem

filsafat Pragmatisme Amerika, yang nampaknya sejalan dengan fenomenologi Eropa.

Sekalipun demikian, perdebatan tentang “akar pikir” aliran ini sengaja tidak diketengahkan.

Kepentingan peneliti adalah hanya mencoba mendudukan teori interaksionis sombolik sebagai

“kaca mata” guna menemukan makna di balik simbol yang dimaksudkan dalam penelitian ini,

yakni penggunaan bendera Merah Putih dalam upacara penyerahan mas kawin (ararem) di

Biak, Papua.

2.2.1. Makna di Balik Simbol

Dalam siklus penelitian interaksionisme simbolik, etnografi, atau fenomenologi–

interpretif, fakta penelitian tidak kembali ke aras grand teori tetapi kembali kepada fakta itu

sendiri. Artinya, interpretasi atas realitas temporer dan kontekstual tidak mungkin menjadi

alat generalisasi, sehingga hasil riset interpretif hanya dapat dipakai untuk konteks yang sama.

Menurut Bogdan dan Taylor (1975) teori interaksionisme simbolik dan etnometodologi

adalah cabang dari tradisi fenomenologi, yang telah menjadi kekuatan dominan dalam

sosiologi. Bahkan akhir-akhir ini para ahli interaksionisme simbolik dan etnometodologi itu

merupakan pendukung metodologi kualitatif yang paling gigih. Kaum fenomenologi

memandang perilaku manusia–yaitu apa yang dikatakan dan dilakukan orang–sebagai produk

dari cara orang tersebut menafsirkan dunianya (Bogdan & Taylor, 1975: 35).

Interaksionis simbolis, mengikuti Mead, cenderung setuju pada signifikansi kausal

intrekasi sosial, jadi, makna tidak tumbuh dari proses mental soliter namun dari interaksi

(Ritzer dan Goodman, 2009:394-395). Fokus ini berangkat dari pemahaman pragmatisme

Mead, sebab menusatkan perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses

mental orang yang terisolasi. Dengan demikian, bukan bagaimana orang secara mental

menciptakan makna dan simbol, namun makna dan simbol hanya akan tampak selama

interaksi pada umumnya dan khususnya selama sosialisasi. Jadi, simbol dan makna dipelajari

sekaligus dalam interaksi sosial.

Page 5: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

9

Berdasarkan itu, dapat dikatakan bahwa simbol adalah objek sosial yang digunakan

untuk merepresentasikan (atau ‘menggantikan,’ ‘mengambil tempat’) sesuatu yang memang

disepakati bisa direpresentasikan oleh simbol tersebut. Dalam kaitan dengan penelitian ini,

simbol yang dimaksud adalah bendera Merah Putih yang digunakan oleh masyarakat Biak

dalam upacara perkawinan mereka. Pertanyaannya adalah hal apa yang hendak

direpresentasikan oleh bendera Merah Putih itu?.

Dalam Mind, Self, and Society (Mead, 1934), Mead mendeskripsikan bagaimana

pikiran individu dan diri muncul keluar dalam proses sosial. Bahkan dia menjelaskan

pengalaman manusia dalam artian psikologi individu, Mead melakukan analisis pengalaman

dari sudut pandang komunikasi sebagai bagian esensi dari tata sosial. Psikologi individu, bagi

Mead hanyalah sebatas artian dalam proses sosial. Perkembangan diri individu dan kesadaran

individu yang termasuk dalam pengalaman semata bersifat sosial. Bagi Mead proses sosial

muncul lebih dahulu dari pada struktur dan proses pengalaman individu. Pikiran bagi Mead,

muncul dalam proses sosial dari komunikasi dan tidak bisa dipahami di luar konteks itu.

Proses komunikasi sendiri terdiri dari dua fase: (1) percakapan gestur; dan (2) bahasa, atau

percakapan gestur yang signifikan. Kedua fase itu mengisyaratkan konteks sosial dari

interkasi dua atau lebih individu (Mead, 1934: 14-18).

Dalam level komunikasi manusia, gestur signifikan muncul dalam permainan. Gestur

signifikan memiliki dasar pada simbol linguistik pembawa isi yang lebih atau kurang sama

untuk setiap individu dan memiliki makna yang sama dalam diri setiap orang. Binatang tidak

menempatkan diri mereka pada posisi mengikuti prediksi yang lain, atau dengan kata lain, dia

akan bertindak melalui cara tertentu dan saya akan bertindak dalam cara ini. Manusia mulai

berfikir ketika ada simbol, gestur vokal, yang mana muncul sebagai respon individu ketika dia

memanggil yang lain, dan berdasarkan respon itu dia akan mampu menempatkan dirinya

(Cronk, 2005).

Gestur signifikan termasuk didalamnya mengunakan simbol yang selalu

mengisyaratkan kemampuan setiap partisipan dalam proses komunikasi untuk mengambarkan

kemampuan diri dari sudut pandang orang lain. Dalam interaksi nonsimbolis manusia, sama

dengan binatang, yakni memberi respon langsung kepada yang lain. Dalam interaksi simbolik,

Page 6: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

10

dimana mereka menggunakan gestur signifikan, mereka menterjemahkan sikap yang lain dan

bertindak berdasarkan pemaknaan yang diperoleh dari interpretasi tersebut (Mead, 1934: 47).

Dengan demikian, sejalan dengan pragmatisme, Mead menekankan bahwa proses

berpikir selalu dimulai oleh munculnya suatu masalah, atau lebih khusus lagi, suatu hambatan

yang menghalangi tindakan individu. Hal ini merangsang untuk mencari jalan keluar yang

bersifat tentatif terhadap masalah itu dalam hatinya. Orang tidak selalu rasional dalam

berpikir dengan pemecahan alternatif atau dalam memilih alternatif yang paling efisien atau

paling efektif. Beberapa faktor yang mengurangi rasionalitas; salah satunya dapat berupa

tekanan untuk membuat atau memecahkan masalah dengan segera, sehingga mengurangi

proses reflektif–atau kesempatan untuk mengidentifikasi dan menilai alternatif yang lebih

baik, dan cenderung untuk memilih cara yang tradisional (Johnson, 1990: 15).

Berkaitan dengan penggunaan simbol negara (bendera Merah Putih) dalam upacara

perkawinan masyarakat Biak, diduga bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah tindakan

alternatif yang diambil dalam konteks yang lebih luas, yakni munculnya wacana tentang

keinginan Papua merdeka. Dalam konteks seperti ini, tafsiran atas simbol negara tersebut bisa

saja menjadi komplek (multi tafsir), karena itu, penelitian ini menjadi relevan ketika

diperhadapkan pada konteks nasionalisme Indonesia dan keinginan sebagai masyarakat Papau

untuk merdeka.

2.2.2. Makna Tindakan (Action)

Konsep Mead tentang prilaku sosial sangat relevan, tidak saja karena teorinya tentang

pikiran, tetapi semua fase dari filsafat sosialnya–pikiran muncul atau keluar dalam perilaku

sosial komunikasi. Mead mengemukakan dua model prilaku dalam filsafat, yakni : (1) model

the act-as-such, contonya aktivitas organik secara umum, dan (2) model the social act,

sebagai aktivitas sosial, dimana persoalan khusus dari aktivitas organik dan hal ini adalah

bagian relevan dalam interpretasi terhadap prilaku manusia. Hubungan antara proses sosial

dari prilaku dan lingkungan sosial adalah analogis dan relasi antara organisme individu dan

lingkungan fisik-biologis” (Mead, 1934: 130).

Analisisnya terhadap the act-as-such (aktivitas organik), ia berbicara tentang prilaku

sebagai terpengaruhi dari relasi antara individu dan lingkungan. Menurut Mead, realitas,

adalah bagian dari situasi. Situasi ini secara fundamental terkarakter oleh relasi antara

Page 7: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

11

individu organik dengan lingkungan atau dunianya, menjadi satu (Mead, 1938: 215). Hal ini

berarti prilaku menjadikan hubungan antara individu dan dunianya terdefinsi dan terbangun.

Berdasarkan pemikiran seperti itu, Mead menjelaskan bahwa prilaku berkembang dalam

empat tahap (Mead, 1938: 3-25):

(1) Tahap impulse, di mana individu organik merespon kepada situasi problematik

dalam pengalamannya (semisal, gangguan dari musuh terhadap eksistensi

pribadinya);

(2) Tahapan perseption, dimana individu mendefiniskan dan menganalisis masalah

(semisal, tujuan musuh untuk menyerang telah diketahui, dan mengendalikan

tindakan lawan dipilih sebagai jalan keluar);

(3) Tahapan manipulation, dimana tindakan diambil dengan referensi persepsi -

penilaian individu terhadap situasi persoalan (semisal, seseorang melarikan diri

dari kejaran musuh); dan

(4) Tahapan consummation, dimana menemukan pemecahan dari kesulitan dan

melanjutkan eksistensi organisme terbangun kembali (semisal, seseorang keluar

dari musuhnya dan kembali kepada kondisi semula).

Sekalipun demikian, jika hanya mendasarkan diri pada tindakan analog perilaku alami

sebagai model “perilaku biologis individu”, tidak akan tepat untuk menganalisis perilaku

sosial (social act). Hal ini dikarenakan, organisme sosial bukanlah individu organis, tetapi

“sebuah kumpulan sosial dari organisme individu” (Mead, 1934: 130). Individu manusia,

adalah anggota dari organisme sosial, dan tindakannya harus dilihat dalam konteks prilaku

sosial yang mencakup individu-individu yang lain. Masyarakat bukanlah sekumpulan

preexisting atomic individuals–dari diri independen yang belum pernah ada, tetapi sebagai

sebuah kesatuan proses dimana individu mendefinisikan dirinya melalui partisipasi dalam

prilaku sosial.

Dengan memahami yang demikian, maka prilaku social, diartikan Mead, sebagai

obyek sosial. Prilaku sosial adalah prilaku kolektif yang tercakup dalam partisipasi dua atau

lebih individu; dan obyek sosial adalah obyek kolektif yang memiliki makna umum bagi

setiap partisipan prilaku–komunikasi. Ada banyak bentuk prilaku sosial, dari yang paling

sederhana, hingga yang kompleks. Derajatnya mulai dari interaksi yang relatif sederhana dari

Page 8: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

12

dua individu (semisal, dalam menari, bercinta, permainan bola tangan), hingga prilaku yang

kompleks dan melibatkan lebih dari dua individu (semisal, pertandingan, ritual agama,

ekspedisi berburu), sehingga prilaku sosial yang sangat kompleks yang berbentuk organisasi

atau institusi (semisal, penegakan hukum, pendidikan, pertukaran ekonomi). Kehidupan sosial

masyarakat merupakan agregat dari prilaku sosial semacam itu (Cronk, 2005).

Hanya dengan prilaku sosial orang dalam masyarakat membentuk realitas. Obyek

dalam dunia sosial (obyek umum seperti pakaian, furnitur) adalah apa adanya mereka sebagai

hasil yang telah didefinisikan dan dihasilkan dalam matrik prilaku sosial. Komunikasi melalui

simbol signifikan telah membalut organisasi kecerdasan dari prilaku sosial dimungkinkan.

Komunikasi signifikan, meliputi makna konferhensif, seperti mengambil arah bagi orang lain

melalui gesture diri. Komunikasi signifikan di antara individu membentuk dunia makna

(simbolik) dimana prilaku sosial terealisir. Prilaku sosial orang, dengan kata lain, berakar

dalam prilaku komunikasi signifikan, dalam kenyataanya, diatur oleh percakapan simbol

signifikan, seperti yang dikatakan Mead:

“The significant symbol functions here to indicate "some object or other within

the field of social behavior, an object of common interest to all the individuals

involved in the given social act thus directed toward or upon that object"

(Mind, Self and Society. Mead, 1934: 46).

Simbol signifikan dalam hal ini, yang dimaksud adalah penggunaan bendera Merah

Putih dalam upacara perkawinan itu. Pertanyaannya adalah apa yang hendak dikomunikasikan

lewat simbol dan makna bendera itu bagi masyarakat Papua secara khusus dan secara umum

masyarakat Indonesia? Itu lah yang hendak dikaji dalam penelitian ini.

2.3. Makna Perkawinan

2.3.1. Mendefinisikan Perkawinan

Istilah perkawinan yang dikenal dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (yang bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Ikatan lahir

merupakan ikatan yang nampak, ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada.

Ikatan formal ini adalah nyata baik yang mengikat dirinya, yakni suami dan istri, maupun bagi

orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak

Page 9: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

13

secara langsung, dan merupakan ikatan psikologis, seperti: saling mencintai satu dengan yang

lain, saling mengasihi, saling menyayangi, sehingga perkawinan dilakukan tidak atas dasar

paksaan tetapi atas dasar cinta. Kedua ikatan tersebut, baik ikatan lahir dan batin seharusnya

ada dalam perkawinan. Bila salah satunya tidak ada maka akan menimbulkan persoalan dalam

kehidupan pasangan tersebut (Walgito, 2002:11-12).

Dengan demikian, perkawinan berarti pula “menyatukan” dua pribadi menjadi satu

kesatuan yang diikat oleh komitmen pernikahan untuk hidup bersama sepanjang masa. Makna

pernikahan adalah terciptanya kesatuan fisik, jiwa dan sosial yang diikat dalam komitmen

seumur hidup melibatkan totalitas dan bersifat eksklusif. Terdapat tiga makna pernikahan

terkait dengan kata “menyatukan” yakni: pertama, kesatuan fisik. Pernikahan merupakan

landasan yang sah bagi terselenggaranya kesatuan fisik antara suami dan istri; kedua, kesatuan

jiwa. Pernikahan menyatukan seluruh keberadaan seseorang mencakup tubuh, jiwa, dan roh

yang diekspresikan dalam bentuk pikiran, perasaan, emosi, keinginan, kemauan, semangat,

gagasan dan juga kehendak; dan ketiga, kesatuan sosial. Kesatuan sosial bermakna bahwa

penyatuan dua individu ke dalam satu kesatuan yang diikat dalam pernikahan akan

menciptakan masyarakat baru (Surbakti, 2008:59-61).

Selain itu, dalam pandangan David H. Olson dan John Defrain tentang perkawinan,

dikatakan bahwa perkawinan adalah “marriage as the emotional and legal comitment of two

people to share emotionall and physical intimacy, various tasks, and economic resources”.

Dengan demikian, pernikahan merupakan sebuah komitmen yang sah antara dua (orang)

dalam berbagi keintiman secara fisik dan emosional, pelbagai tugas serta berbagi dalam

sumber penghasilan ekonomi (Olson dan Defrain 2006:3). Dalam konteks seperti ini, maka

pernikahan atau perkawinan tidak saja dimaknai sebagai ikatan lahir batin atas dasar cinta dan

kasih sayang, namun juga mencakup pemenuhan kebutuhan ekonomi baik suami, istri

maupun anak-anak, juga membangun relasi sosial antar mereka.

Perkawinan merupakan ikatan yang sah antar pasangan dan juga sah dimata negara.

Argumentasi ini dalam konteks Indonesia dimaknai bahwa perkawinan perlu dicatatkan dalam

Catatan Sipil yang mengkonfirmasikan bahwa perkawinan kedua insan sah secara negara.

Dalam kaitan dengan penelitian ini, bendera Merah Putih yang digunakan sebagai simbol

dalam perkawinan itu, tidak secara langsung mengkonfirmasikan bahwa perkawinan yang

Page 10: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

14

dilakukan di masyarakat Biak, khusunya masyarakat desa Ambroben telah sah secara negara.

Sebab proses pencatatan sipil akan tetap dilakukan, sehingga pertanyaan tentang apa makna

bendera Merah Putih dalam upacara itu, menjadi relevan untuk diteliti.

2.3.2. Tujuan Perkawinan

Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, disebutkan dengan jelas bahwa tujuan dari

perkawinan ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya tujuan perkawinan selain untuk membina keluarga

dengan harapan hadirnya “makhluk baru” yakni anak-anak yang akan memeriahkan

kehidupan keluarga itu, juga secara tersirat perkawinan bertujuan sebagai pernyataan

kemulian Tuhan di bumi. Dengan demikian, maka esensi perkawinan adalah membentuk

keluarga yang bahagia, dan bersifat kekal. Hal ini berarti perkawinan berlangsung seumur

hidup dan untuk selama-lamanya. Satu hal yang mendapat penekanan bahwa tujuan itu adalah

milik bersama, dan akan dicapai secara bersama-sama oleh suami istri.

Berdasarkan tujuan seperti itu, maka secara rinci dapat diformulasikan bahwa tujuan

perkawinan adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan: fisiologis, psikologis, sosial,

ekonomi, dan religi (Walgito, 2002:15-22). Khusus untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi

ditambahkan oleh peneliti, mengingat Walgito tidak membicarakan pemenuhan kebutuhan ini

sebagai tujuan perkawinan. Penambahan ini didasarkan peneliti pada argumentasi David H.

Olson dan John Defrain (2006) tentang karakteristik perkawinan dan defenisi perkawinan

yang mereka kemukakan.

Dalam konteks penelitian ini, terutama berkaitan dengan penggunaan bendera Merah

Putih dalam upacara perkawinan khusunya upacara penyerahan maskawin, maka dapat diduga

bahwa salah satu tujuan perkawinan masyarakat Biak adalah meningkatkan rasa nasionalisme

(Indonesia) dengan memperkuat integrasi pada NKRI. Dugaan ini masih bersifat sementara

karena itu perlu dibuktikan, apakah benar penggunaan bendesa Merah Putih itu sebagai

bentuk pengakuan atas kedaulatan NKRI atau merupakan bentuk kritik masyarakat Papau

khusunya masyarakat Biak?.

Page 11: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

15

2.4. Kerangka Pikir Penelitian

Upacara perkawinan merupakan acara mempersatukan seorang perempuan dengan

sorang laki laki yang saling mencintai guna membina rumah tangga, dan ritual ini merupakan

sebuah rirual adat yang jika ditelisik lebih jauh tidak memiliki keterkaitan dengan simbol-

simbol negara atau dengan kata lain, upacara perkawinan bukan merupakan bagian dari

upacara kenegaraan yang menuntut “hadirnya” simbol negara. Perkawinan merupakan proses

menyatunya dua individu yang diikat oleh komitmen untuk hidup bersama sepanjang masa.

Perkawinan bukan sebuah sumpah untuk menduduki jabatan tertentu dalam negara Indonesia,

sehingga mengharuskan adanya simbol negara seperti bendera Merah Putih. Namun hal itu

terjadi di Biak, Papua dan secara khusus menjadi fokus penelitian ini adalah desa Ambroben,

Biak Kota.

Dengan demikian, maka kerangka pikir penelirian ini adalah:

Bagan 1.

Kerangka Pikir Penelitian

Bahwa proses integrasi Papua Barat ke Indonesia adalah sebuah realitas yang sampai

saat ini masih diperdebatkan kejujuran dan keadilannya. Walaupun demikian, Bendera Merah

Putih telah berkibar dengan gagahnya di bumi Cendrawasih menggantikan Bendera Bintang

Kejora adalah juga realitas yang belum mampu terbantahkan. Praktek budaya, dalam hal ini

perkawinan, merupakan perjanjian dua orang individu untuk hidup bersama membina

keluarga, praktek ini tidak ada kaitannya dengan janji menduduki jabatan tertentu dalam

Identitas

Orang Papua

Bendera

Merah Pitih

sebagai Simbol

Upacara Perkawinan

(Ararem-Maskawin)

Integrasi ke

Indonesia

Interaksi Simbolik

Page 12: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih ... · dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun

16

negara yang menuntut hadirnya identitas nasional (bendera Merah Putih). Namun di Papua,

upacara perkawinan penyerahan maskawin (ararem), menuntut adanya Bendera Merah Putih

sebagai salah satu simbol pengikat perkawinan. Maka pertanyaanya adalah apakah ekspresi

identitas nasional itu merepresentasi kesadaran berIndonesia atau bentuk kritik terhadap

ketidakadilan dan ketidak-jujuran dalam PEPERA 1969? Atau bahkan merupakan ekspresi

ketakutan dan pertahanan diri dari mereka yang trauma pada tindakan militer? Akan dijawab

dalam bab selanjutnya.