Upload
haphuc
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
43
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Perbuatan Melawan Hukum
UUJN mengatur bahwa ketika notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau
dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan notaris.
Praktiknya, ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atas pelanggaran
yang dilakukan notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau perdata
atau kode etik jabatan notaris, tetapi kemudian dikualifikasikan sebagai suatu
tindak pidana.81
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. M.A.
Moegni Djojodiharjo berpendapat bahwa Pasal 1365 KUHPerdata, tidaklah
memberikan perumusan, melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang
mengalami kerugian karena perbuatan hukum, yang dilakukan oleh orang lain
terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan
Negeri dengan sukses.82
M.A. Moegni Djojodiharjo, merumuskan bahwa perbuatan melawan
hukum diartikan suatu perbuatan kesengajaan atau kealpaan (kelalaian),
81
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat Habib Adjie II), Refika Aditama,
Bandung, hal. 25. 82
M.A. Moegni Djojodiharjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Pradya Paramita,
Jakarta, hal.26.
44
bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku atau bertentangan baik dengan kesusilaan maupun dengan keharusan yang
harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang
barang siapa karena salahnya sebagai akibat perbuatannya itu telah mendatangkan
kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.83
Di dalam sistem Common Law/Anglo Saxon, perbuatan melawan hukum
disebut dengan istilah Tort yang dipandang sebagai pranata untuk melindungi
seseorang dari kebebasan individu, maksudnya kebebasan individu yang dapat
menimbulkan kerugian bagi orang lain harus dibatasi, dimana istilah tort ini
diartikan sebagai kesalahan perdata yang dilakukan oleh seseorang yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain dengan melanggar hak dan kewajiban
yang telah ditentukan oleh hukum bukan timbul dari wanprestasi kontrak atau
trust, yang dapat dimintakan ganti rugi terhadap kerugian yang diakibatkannya.84
Mollengraaff mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya
melanggar undang-undang, akan tetapi juga melanggar kaedah kesusilaan dan
kepatutan.85
Menurut Munir Fuady perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum
Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada
perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang
bersifat privat. Sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan
perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin
83
Ibid. 84
Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer (selanjutnya
disebut Munir Fuady II), Cet.2, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung, hal. 33-37. 85
Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas
Indonesia, Jakarta, hal. 37.
45
juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum dalam
sifat Hukum Perdata maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.86
Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup
salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut:
1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat yang baik.87
Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain adalah melanggar hak-
hak seseorang yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak yaitu
hak-hak pribadi (persoonlijkheidsrechten), hak kekayaan (vermosgensrecht), hak
atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan nama baik. Perbuatan yang
bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan
masyarakat yang baik atau yang disebut dengan istilah zorgvuldigheid juga
dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi, jika seseorang
melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal-
pasal dari hukum yang tertulis mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan
melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-
hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. Keharusan dalam pergaulan
86
Munir Fuady II, Op.Cit, hal. 22. 87
Munir Fuady II, Op.Cit, hal. 6.
46
masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang
bersangkutan.88
Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri adalah
bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Sedangkan perbuatan yang
bertentangan dengan kesusilaan merupakan tindakan yang oleh masyarakat telah
diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan
hukum, ketika tindakan melanggar kesusilaan tersebut menyebabkan terjadinya
kerugian bagi pihak lain maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat
meminta ganti kerugian berdasarkan atas perbutan melawan hukum (Pasal 1365
KUHPerdata). Perbuatan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau
keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik atau yang disebut dengan istilah
zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi, jika
seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar
pasal-pasal dari hukum yang tertulis mungkin masih dapat dijerat dengan
perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan
prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. Keharusan
dalam pergaulan masyarakat tersebut tentuanya tidak tertulis, tetapi diakui oleh
masyarakat yang bersangkutan.89
Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan
hukum adalah sebagai berikut:
88
Munir Fuady II, Op.Cit, hal. 8 89
Munir Fuady II, Op.Cit, hal. 22.
47
1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari
kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan
hak untuk meminta ganti rugi.
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya
kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum
yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu
perbuatan biasa maupun bisa juga perbuatan yang merupakan suatu
kecelakaan.
3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum,
kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan
dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu
ganti rugi.
4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian
dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau
wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap
kewajiban equity lainnya.
5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak
atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak
orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan
kontraktual.
6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan
dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan
karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia bukan
suatu fisika atau matematika.90
Perbuatan melawan hukum lebih diartikan sebagai sebuah perbuatan
melukai (injury) daripada pelanggaran terhadap kontrak (breach of contract).
Apalagi perbuatan melawan hukum umumnya tidak didasari dengan adanya
hubungan hukum kontraktual. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang
dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan
kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari
perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatan melawan hukum karena kesengajaan,
90
Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus (selanjutnya disebut Munir Fuady III), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. hal. 4.
48
perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian) dan perbuatan melawan hukum karena kelalaian.91
Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat
dijumpai baik dalam ranah Hukum Pidana (public) maupun dalam ranah Hukum
Perdata (private). Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana
begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka
kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan
perbedaan.92
Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk
dikatakan sifat melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum
yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua sifat melawan hukum
tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum.
Perbedaan pokok antara kedua sifat melawan hukum tersebut, apabila sifat
melawan Hukum Pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan
umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan.
Sedangkan sifat melawan Hukum Perdata lebih memberikan perlindungan kepada
private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian
(remedies). Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai
perbuatan melawan hukum diperlukan syarat yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain,
bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan
kehati-hatian.93
91
Ibid, hal. 3. 92
Rosa Agustina, Op.Cit, hal 14. 93
Rosa Agustina, Op.Cit, hal. 117.
49
Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan
hukum dikenal dalam dimensi Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Dari aspek
etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa
Belanda dikenal dengan terminologi Wederrechtelijk dalam ranah Hukum Pidana
dan terminologi onrechtmatige daad dalam ranah Hukum Perdata. Perbuatan
Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks Hukum Perdata diatur
dalam Pasal 1365KUHPerdata, pada bagian tentang perikatan-perikatan yang
dilahirkan demi Undang-Undang, yaitu: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”94
Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan
sanksi dalam hukum pidana.95
Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum
pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan
hakekatnya. Menurut Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat
delik itu”.96
Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit,
namun demikian belum ada konsep yang secara utuh menjelaskan definisi
strafbaarfeit. Oleh karenanya masing-masing para ahli hukum memberikan arti
terhadap istilah strafbaarfeit menurut persepsi dan sudut pandang mereka masing-
masing. Strafbaarfeit, terdiri dari tiga suku kata yakni, straf yang diterjemahkan
94
Rosa Agustina, Op.Cit, hal. 13. 95
Romli Atmasasmita, 1982, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks
Penegakan Hukum Di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 23. 96
Roeslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hal. 9.
50
sebagai pidana dan hukum, kata baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh
sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran
dan perbuatan.97
Moeljatno menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana,
yakni sebuah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai
dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar
larangan tersebut.98
Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan dapat dihukum.99
Simons juga merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
a. Diancam dengan pidana oleh hukum;
b. Bertentangan dengan hukum;
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;
d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.100
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai
berikut:
a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara
lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat
dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan
97
Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 69. 98
Moeljatno, Op.Cit, hal. 54. 99
Leden Marpaung, 1991, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 4. 100
Andi Hamzah, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan Andi
Hamzah II), PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 88.
51
“pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP
kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar
bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara
keseluruhan.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil
(formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak
pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang
dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362
KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya
adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang
menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan
dan dipidana.
c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana
sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).
Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP
antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan
sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang
dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga
dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang
menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam
Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan
aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk
mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang
berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378
KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan
tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan
secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya
berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224, 304 dan 552
KUHP. Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada
dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak
aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan
dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak
menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.101
Untuk dapat dikatakan adanya perbuatan pidana menurut Moeljatno harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
101
Andi Hamzah I, Op.Cit, hal. 25-27.
52
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).102
Menurut R. Tresna, merumuskan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana
harus memuat hal-hal seperti di bawah ini:
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan manusia;
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. Diadakan tindakan hukuman.103
Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat
perngertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti
dengan penghukuman (pemidanaan), hal ini berbeda dengan apa yang
disampaikan oleh Moeljatno yang menyebutkan bahwa setiap perbuatan pidana itu
tidak selalu harus dijatuhi pidana.104
Berbicara tentang tindak pidana tidak akan terlepas dari hukum pidana
yang menjadi titik perhatian, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut
meliputi masalah tindak pidana, kesalahan dan sanksi pidana serta korban. Hukum
pidana adalah keseluruhan aturan-aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-
perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.105
Yang menjadi masalah
pokok dalam hukum pidana adalah:
1. Perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi);
2. Pertanggungjawaban pidana (kesalahan);
102
Moeljatno, Op.Cit, hal. 57. 103
R. Tresna, 1990, Azas-azas Hukum Pidana, Cet. Ke-3, PT. Tiara, Jakarta, hal. 20. 104
Ibid. 105
Martin Prodjohamidjojo, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 15.
53
3. Sanksi yang diancam, baik pidana atau tindakan.106
Adapun identifikasi dari tujuan utama dari pidana dan pemidanaan yakni
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Tujuan pidana adalah penanggulangan kejahatan. Perumusan tujuan
pidana demikian ini dilatarbelakangi perlunya perlindungan masyarakat
terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan
masyarakat. Tujuan ini sering digunakan dengan berbagai istilah seperti
penindasan kejahatan (repression of crime), pengurangan kejahatan
(reduction of crime), pencegahan kejahatan (prevention of crime) ataupun
pengendalian kejahatan (control of crime).
b. Tujuan pidana adalah untuk memperbaiki si pelaku. Tujuan ini dilatar
belakangi perlunya perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahayanya
orang (si pelaku). Istilah-istilah lain yang digunakan untuk merefleksikan
tujuan ini adalah rehabilitasi, reformasi, treatment of offenders (pelayanan
terhadap orang-orang yang melanggar), reduksi, readaptasi sosial,
resosialisasi pemasyarakatan maupun pembebasan.
c. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap
penyalahgunaan kekuasaan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi
terhadap pelanggar pidana, maka tujuan pidana sering dirumuskan untuk
mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa atau warga masyarakat
pada umumnya.
106
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, hal. 50.
54
d. Tujuan pidana adalah untuk memulihkan keseimbangan masyarakat.
Tujuan ini dilatarbelakangi perlunya perlindungan masyarakat dengan
mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan
dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan.107
2.2 Urgensi Sanksi Pidana
Norma sering disebut dengan istilah anggapan-anggapan yang dapat
menjadi petunjuk bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak berbuat. Norma
selalu diikuti oleh nilai (value) yang merupakan dasar bagi norma. Nilai juga
merupakan ukuran yang baik disadari maupun tidak disadari oleh suatu
masyarakat guna menentukan apa yang benar dan yang salah. Agar norma yang
mengandung nilai suatu masyarakat dapat dipatuhi maka diperlukan sanksi.108
Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukum, juga untuk menaati
ketetapan yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan
sebagai alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian.109
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum, dan tiap
aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir aturan
hukum tersebut. Aturan hukum yang tidak memiliki sanksi yang tegas, tidak akan
dapat berfungsi dengan baik, karena hukum tersebut tidak dapat ditegakkan atau
tidak akan dipatuhi jika pada bagian akhir tidak mencantumkan sanksi. Dengan
demikian pada hakikatnya sanksi merupakan instrumen yuridis yang biasanya
107
Roeslan Saleh, Op.Cit, hal. 49. 108
Soedarto, 1986, Hukum Dan Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan Soedarto I),
Alumni, Bandung, hal.19-21. 109
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 89.
55
diberikan atau dijatuhkan apabila kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan
yang ada dalam ketentuan hukum telah dilanggar. 110
Istilah sanksi dalam khasanah ilmu hukum tidak bisa dipisahkan dengan
hukum pidana atau dengan kata lain istilah sanksi selalu melekat dalam hukum
pidana. Sebagaimana yang disampaikan oleh Jan Remmelink yang menyatakan
hukum pidana adalah hukum (tentang penjatuhan) sanksi, ihwal penegakan
norma-norma (aturan-aturan) oleh alat-alat kekuasaan (negara) yang ditujukan
untuk melawan dan memberantas perilaku yang mengancam keberlakuan norma
tersebut lebih tampak disini dibandingkan dengan bidang-bidang hukum lainnya,
semisal hukum sipil.111
Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari
hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan
atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Soedarto
memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.112
Lebih lanjut Jan Remmelink, menyatakan umumnya sanksi itu muncul
dalam bentuk pemidanaan, pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh
instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar aturan
hukum. Jan Remmelink mengemukakan juga, bahwa instansi kekuasaan yang
berwenang, hakim pidana, tidak sekadar menjatuhkan sanksi, namun juga
110
Philipus M. Hadjon I, Op.Cit, hal. 245. 111
Jan Remmelink, Op.Cit, hal. 6. 112
Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan Soedarto
II), Alumni, Bandung, hal.109-110.
56
menjatuhkan tindakan (maatregel) untuk pelanggaran norma yang dilakukan
karena salah dan kadangkala juga karena kelalaian.113
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang di larang oleh suatu aturan
hukum. Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Tentu pidana dalam hal ini adalah
perbuatan pidana yang dilakukan notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat
umum yang berwenang membuat akta dan tidak dalam konteks individu sebagai
warga negara pada umumnya. Unsur-unsur dalam pebuatan pidana meliputi:
a. Perbuatan (manusia)
Perbuatan adalah tindakan dan kejadian yang di timbulkan oleh perbuatan
tersebut. Menurut Moeljatno, di dalam hukum pidana perbuatan ada yang
bersifat positif maupun negatif. Positif berarti terdakwa berbuat sesuatu
sedangkan negatif berarti seseorang tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan
atasnya. Adapun yang dimaksud dengan kelakuan (perbuatan) adalah suatu
sikap jasmani, sebab tidak berbuat sesuatu tidak dapat dimasukan dalam
pengertian tersebut dan yang termasuk dalam kelakuan tersebut terbatas
hanya pada sikap jasmani yang disadari saja.
b. Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan
Agar suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana harus memenuhi
rumusan undang-undang artinya berlaku asas legalitas. Asas legalitas
menyatakan bahwa nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali
yang memiliki makna bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan di
113
Ibid, hal. 7.
57
ancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam
suatu aturan undang-undang. Arti penting adanya asas legalitas adalah
untuk menjamin adanya kepastian hukum dan demi keadilan. Memenuhi
peraturan perundang-undangan sebagai syarat dari tindak pidana adalah
merupakan syarat formil.
c. Bersifat melawan hukum
Adanya sifat melawan hukum dalam tindak pidana merupakan syarat
mutlak dan juga merupakan syarat materiil. Setidaknya ada dua pendapat
mengenai arti dari unsur sifat melawan hukum yang merupakan
terjemahan dari bahasa wederrechtelijk. Pendapat tersebut adalah ajaran
mengenai wederrechtelijk dalam arti formil dan dalam arti materiil.114
Adanya perkembangan problematika penjatuhan sanksi dalam hukum
pidana muncullah pertanyaan untuk apa diadakan pemidanaan, dari aliran klasik
ke aliran modern, lahirlah ide individualisasi pidana yang menurut Barda Nawawi
Arif memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
a. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal);
b. Pidana yang diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas; tiada
pidana tanpa kesalahan);
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini
berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih
sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada
114
Abdul Ghofur, Op.Cit, hal. 38-40.
58
kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam
pelaksanaannya.115
Seorang pakar hukum kenotariatan Pieter E. Latumeten memberikan
pendapat berkaitan dengan kasus-kasus pidana yang menimpa para notaris sebagai
berikut:
“Saat ini cukup banyak perkara-perkara pidana yang terjadi dikarenakan
perilaku unprofessional Notaris/PPAT dan bermuara pada timbulnya masalah
hukum pada akta-akta yang dibuatnya. Akibat semuanya ini ada beberapa
Notaris/PPAT yang telah diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa, bahkan
ada yang dikenakan penahanan”.116
Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat reparatoir atau korektif,
artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh yang
bersangkutan ataupun oleh Notaris yang lain. Regresif berarti segala sesuatu
dikembalikan kepada suatu keadaan-ketika sebelum terjadinya pelanggaran.
Dalam aturan hukum tertentu, di samping dijatuhi sanksi administratif, juga dapat
dijatuhi sanksi pidana (secara kumulatif) yang bersifat condenmnatoir (punitif)
atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk
Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris
tunduk kepada tindak pidana umum.117
Kaitannya terhadap tindak pidana umum
terdapat dalam asas lex specialis derogat legi generali yang artinya peraturan
yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum, akan
tetapi dalam permasalahan pada bab I asas tersebut dapat ditafsirkan secara a
115
M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 27. 116
Pieter E. Latumeten, 2006, Perlindungan Jaminan Hukum Bagi Profesi Notaris, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 64. 117
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 121.
59
contrario (berlawanan), maka apabila suatu aturan tidak diatur secara khusus
mengenai pidana maka akan berlaku ketentuan pidana secara umum.
Sanksi pidana di dalam ilmu hukum yang berhubungan dengan adanya
hukum yang bertujuan untuk menegakkan tertib hukum dan melindungi
masyarakat hukum yang terdapat hubungan erat antara negara dan masyarakat.
Dalam konteks itulah di samping sanksi pidana menurut Jan Remmelink, masih
terdapat sanksi perdata, sanksi disipliner (tuchtsanctie) yang terdapat dalam
hukum disipliner (tuchtrecht), dan sanksi administratif yang lebih dikenal dengan
istilah hukum pidana tata usaha negara (Bestuursstrafrecht) memiliki kekhasan
yang bersumber dari hubungan pemerintah-warga.118
Menurut Ricard D. Schwartz dan Jerome H. Sholnick yang dikutip oleh
Barda Nawawi Arif sanksi pidana dimaksudkan untuk:
a. Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism).
b. Mencegah orang melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan
si terpidana (to deterother from the perforcemance of simillar act).
c. Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam
(to provide a channel for the expression of retaliotary motives).119
Sanksi merupakan ketentuan bagian penutup yang penting dalam hukum,
dan tiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir
aturan hukum tersebut. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum
tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan
hukum. Seakan-akan aturan hukum yang bersangkutan tidak bergigi atau tidak
118
Jan Remmelink, Op.Cit, hal. 15. 119
Barda Nawawi Arief 2002, Bunga Rampai Kebiiakan Hukum Pidana (selanjutnya
disebut Barda Nawawi Arief III), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 20.
60
dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika pada bagian akhir tidak
mencantumkan sanksi.120
Hal ini diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada bagian
lampiran rancangan peraturan perundang-undangan bab V mengenai jangkauan,
arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan undang-undang, peraturan
daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota yang pada dasarnya ruang
lingkup materinya mencakup ketentuan umum, materi yang akan diatur, ketentuan
sanksi, dan pearaturan peralihan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan mengenai ketentuan sanksi berkaitan dengan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam Pasal 5, yaitu:
“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.”
Selain asas-asas tersebut, dalam sebuah materi muatan perundang-
undangan harus pula tercermin asas-asas berikut yang terdapat dalam Pasal 6 ayat
(1) dan (2), sebagai berikut:
(1) “Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
120
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 48-49.
61
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.”
(2) “Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.”
Asas lain yang dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, antara lain:
a. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain,
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Terbentuknya suatu undang-undang ataupun peraturan perundang-
undangan lainnya harus memperhatikan berbagai asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, termasuk pula dalam merumuskan ketentuan
mengenai sanksi. Namun, ada undang-undang yang tidak mengatur mengenai
sanksi atau ketentuan sanksi tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit, sehingga
diperlukannya suatu formulasi pembentukan ketentuan sanksi, terutama sanksi
pidana dalam peraturan perundang-undangan yang belum mengatur hal tersebut.
2.3 Tinjauan Umum Notaris
2.3.1 Sejarah Tentang Notaris
Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad
ke-11 atau ke 12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman
62
itu di Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang
dinamakan “Latijnse Notariaat” dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri
notaris yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum
dan menerima uang jasanya honorarium dari masyarakat umum pula. Namun
untuk mengetahui asal dari lembaga notariat, para sarjana Italia telah mencoba
mengadakan penelitian sumbernya secara mendalam, namun mereka belum juga
mencapai kesatuan pendapat mengenai hal itu.121
Notaris seperti yang dikenal di zaman Belanda sebagai Republik der
Verenigde Nederlanden mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17
dengan beradanya Oost Ind. Compagnie di Indonesia.122
Jan Pieterszoon Coen
pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal di Jacatra (sekarang Jakarta) antara
tahun 1617 sampai tahun 1629, untuk keperluan para penduduk dan para
pedagang di Jacatra menganggap perlu mengangkat seorang Notaris, yang disebut
Notarium Publicum.123
Cara pengangkatan Notaris pada waktu itu sangat menarik perhatian, oleh
karena berbeda dengan pengangkatan para Notaris saat ini, di dalam akta
pengangkatan Melchior Kerchem sebagai Notaris sekaligus secara singkat dimuat
suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yakni
untuk menjalankan tugas jabatannya di Kota Jacatra untuk kepentingan publik.
Kepadanya ditugaskan untuk menjalankan pekerjaan itu sesuai dengan sumpah
setia yang diucapkan waktu pengangkatannya di hadapan Baljuw di Kasteel
121
G. H. S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement),
Erlangga, Jakarta, hal. 3-4. 122
Ibid, hal. 15. 123
Ibid.
63
Batavia (yang sekarang dikenal gedung Departemen Keuangan Lapangan
Banteng), dengan kewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang
dibuatnya. Melchior Kerchem merupakan Sekretaris dari “College van
Schepenen” (Urusan Perkapalan Kota) di Jacatra, diangkat sebagai Notaris
pertama di Indonesia. Tugas Melchior Kerchem sebagai Notaris dalam surat
pengangkatannya, yaitu melayani dan melakukan semua surat libel
(Smaadschrift), surat wasiat di bawah tangan (codicil), persiapan penerangan, akta
perjanjian perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat (testament), dan akta-akta
lainnya dan ketentuan-ketentuan lainnya di Kotapraja.124
Lima tahun kemudian, yakni pada tahun 1625, setelah jabatan “notaris
public” dipisahkan dari jabatan “Secretarius van den gerechte” dengan Surat
Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 12 November 1960, maka dikeluarkanlah
instruksi pertama untuk para Notaris di Indonesia, pada tanggal 16 Juni 1925 yang
hanya berisikan 10 (sepuluh) pasal, diantaranya ketentuan bahwa para Notaris
terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya dan Notaris wajib merahasiakan
segala sesuatu dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada
orang yang tidak berkepentingan.125
2.3.2 Notaris Sebagai Pejabat Publik
Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter
yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat
yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan
tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris
124
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 1. 125
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 1.
64
hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh
kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik
yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti
otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan
tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.126
Pengertian tentang notaris sebagaimana yang di maksud pada Pasal 1
Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia,
Staatsblad 1860 Nomor 3) memberikan ketentuan tentang definisi Notaris, yaitu:
De Notarissen zijn openbare ambtenaren, ulsluitend bevoeq om authentieke
akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en
beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening geschrift blijken zal,
daarvan de dagtekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en
daarvan grossen, afschriften en uittreksels uit te geven; alles voor zzover het
opmaken dier akten ene algemene verordening niet ook aan andere
ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is.127
Artinya:
“Notaris adalah pejabat-pejabat umum, khususnya berwenang untuk
membuat akta-akta otentik mengenai semua perbuatan, persetujuan dan
ketetapan-ketetapan, yang untuk itu diperintahkan oleh suatu undang-undang
umum atau yang dikehendaki oleh orang-orang yang berkepentingan, yang
akan terbukti dengan tulisan otentik,menjamin hari dan tanggalnya,
menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grosse-grosse, salinan-salinan dan
kutipan-kutipannya; semuanya itu sejauh pembuatan akta-akta tersebut oleh
suatu undang-undang umum tidak juga ditugaskan atau diserahkan kepada
pejabat-pejabat atau orang-orang lain.”
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 juncto Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa:
126
G. H. S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 41. 127
Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de
Republiek Indonesie, 1998, Ichtiar Baru-Van Voeve, Jakarta, hal. 882.
65
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaiamana dimaksud dalam
undang-undang lainnya.”
Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan
jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan
tidak memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai
panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia
demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat
manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.128
Notaris adalah seorang pejabat Negara atau pejabat umum yang dapat
diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan
hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat
pembuat akta autentik dalam hal keperdataan. Yang dimaksud dengan pejabat
umum disini adalah orang yang diangkat untuk menduduki jabatan umum oleh
penguasa umum untuk melakukan tugas negara atau Pemerintah sebagaimana
pendapat dari F.MJ. “Hij die door het openbaar gezag is aangesteld tot een
openbare betrekking om te verrichten een del van de taak van de staat of zijn
organen, is te beschouwen als openbaar ambtenaar”.129
Notary Public dalam Black’s Law Dictionary menyebutkan bahwa “A
person authorized by a state to administer oaths, certify documents, attest to the
128
Herlien Budiono, 2007, Notaris dan Kode Etiknya (selanjutnya disebut Herlien
Budiono I), Upgrading dan Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, hal. 3. 129
F.M.J. Jansen, 1987, Executie-en Beslagrecht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, hal.28.
66
authenticity of signatures, and perform official acts in commercial matters”,130
dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa notaris adalah seseorang yang ditunjuk
oleh negara untuk mengambil sumpah, menetapkan dengan resmi dokumen-
dokumen, membuktikan keaslian tanda tangan dan menjalankan pekerjaan resmi
dalam hal komersil.
G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian Notaris yaitu Notaris
adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan
dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya
dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan
akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.131
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,
semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.132
Menurut Habib Adjie:
”Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam pengertian mempunyai wewenang
dengan pengecualian. Dengan rnengkategorikan Notaris sebagai Pejabat
130
Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, West Publishing & Co, St.
Paul, Minnesota, hal. 1085. 131
G. H. S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 31. 132
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 13.
67
Publik. Dalam hal ini Publik yang bermakna hukum, bukan Publik sebagai
khalayak umum. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti sama dengan
Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-
masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk
akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata
terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final.
Serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan
hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak
(wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat di
hadapan atau oleh Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa di
pengadilan umum (negeri). Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan
produknya yaitu Surat Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam
ketentuan Hukum Administrasi Negara yang memenuhi syarat sebagai
penetapan tertulis yang bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, dan Sengketa dalam
Hukum Administrasi diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai Pejabat Publik yang
bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara”.133
Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan:
”Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum
dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang
membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan,
peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang
diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani
masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa
dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan
honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika
masyarakat tidak membutuhkannya.”134
Karakteristik Notaris adalah mempunyai kewenangan tertentu, artinya
setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya
sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan
dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat
133
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 31-32. 134
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 42.
68
(Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, maka
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris
hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UU perubahan atas
UUJN.135
Notaris tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya.
Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak
menerima gaji maupun uang pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima
honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan
pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.136
Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi
yang memiliki unsur-unsur yaitu perilaku Notaris harus memiliki integritas moral
yang mantap, harus jujur bersikap terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan
batas-batas kewenangannya dan tidak bertindak semata-mata berdasarkan
pertimbangan uang.137
Profesi notaris disebut juga sebagai salah satu penegak
hukum karena notaris membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan
pembuktian. Para ahli hukum berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima
dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun
demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi,
yang dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh notaris dalam aktanya
adalah tidak benar.138
135
Habib Adjie I, Loc.Cit. 136
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 35-36. 137
Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum (selanjutnya disebut
dengan Liliana Tedjosaputro II), Aneka Ilmu, Semarang, hal. 93. 138
Liliana Tedjosaputro, 1991, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana(selanjutnya disebut
dengan Liliana Tedjosaputro III), CV. Agung, Semarang, hal 4
69
Seorang Notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak.
Kejujuran merupakan hal yang penting karena jika seorang Notaris bertindak
dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan klien bahkan
akan menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap Notaris tersebut.139
Notaris dikualifikasikan sebagai pejabat umum, yang merupakan orang
menjalankan sebagian fungsi publik dari Negara, khususnya dibidang Hukum
Perdata. Hal inilah yang membedakan Notaris dengan profesi lainnya, oleh karena
itu, jabatan Notaris memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Sebagai Jabatan
UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris,
artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang
mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan
Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN.Jabatan Notaris
merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara, menempatkan
notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang
sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu
serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.
b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan
hukumnya. Sebagai batasan agar jabatannya dapat berjalan dengan baik,
dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Apabila
seseorang pejabat (notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang
yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar
wewenang. Wewenang notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat
(1), (2) dan (3) UUJN.
c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah
Pasal 2 UUJN menyatakan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan
oleh menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang diberi tugas dan
tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan (Pasal 1 angka 14
UUJN). Meskipun notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan
oleh pemerintah, tidak berarti notaris menjadi subordinasi (bawahan) yang
mengangkatnya. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:
1. Bersifat mandiri (autonomous),
2. Tidak memihak siapapun (impartial),
139
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta,
hal. 41.
70
3. Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti dalam
menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang
mengangkatnya atau pihak lain.
d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tetapi tidak
menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima
honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya
(Pasal 36 ayat (1) UUJN). Notaris juga wajib memberikan jasa hukum di
bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu
(Pasal 37 UUJN).
Jabatan notaris bukan suatu jabatan yang digaji, notaris tidak
menerima gajinya dari pemerintah sebagaimana halnya pegawai negeri,
akan tetapi dari mereka yang meminta jasanya. Notaris adalah pegawai
pemerintah tanpa gaji pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah
tanpa mendapat pensiun dari pe merintah.140
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat
Kehadiran notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memerlukan akta otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris
mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, masyarakat dapat
menggugat secara perdata notaris, dan menuntut biaya, ganti rugi dan
bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk
akuntabilitas notaris kepada masyarakat.141
Peraturan yang ditujukan kepada Notaris sebagai pejabat umum
dimaksudkan, agar ada kepastian hukum di dalam perbuatan atau tugas tertentu
yang dibebankan kepada Notaris tersebut. Paulus Efendi Lotulung berpendapat
bahwa:142
“Pada dasarnya salah satu tugas yang terpenting bagi pemerintah sebagai
penguasa (overheid) adalah azas memberikan dan menjamin adanya rasa
kepastian hukum bagi para warga anggota masyarakat. Dalam bidang tertentu
tugas itu oleh penguasa melalui Undang-Undang diberikan dan dipercayakan
kepada Notaris, dan sebaliknya masyarakat juga harus percaya bahwa akta
Notaris yang dibuat itu memberikan kepastian hukum bagi para warganya.”
Notaris dalam tugasnya sehari-hari menetapkan hukum dalam aktanya
sebagai akta autentik yang merupakan alat bukti yang kuat sehingga memberikan
140
G. H. S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 36. 141
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 15-16. 142
Paulus Efendi Lotulung, edisi Januari 2000, Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku
Pejabat Umum Dalam Menjalankan Tugasnya, Media Notariat (Menor) , hal. 43.
71
pembuktian lengkap kepada para pihak yang membuatnya. Alat bukti merupakan
keseluruhan bahan yang digunakan sebagai pembuktian dalam perkara yang
disidangkan di pengadilan.143
Bukti tertulis dalam perkara perdata merupakan
bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan biasanya dengan sengaja
seseorang menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila terjadi suatu
perselisihan, dan bukti tadi lazimnya berupa tulisan.144
Sebagai pejabat umum, notaris diangkat oleh negara dan bekerja juga
untuk kepentingan negara. Namun demikian notaris bukanlah pegawai negeri,
sebab notaris tidak menerima gaji dari negara, melainkan hanya menerima
honorarium atau fee dari klien. Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai
pemerintah yang tidak menerima gaji dari pemerintah, akan tetapi notaris
dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari
pemerintah. Oleh karena itu, bukan saja notaris yang harus dilindungi tetapi juga
para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa notaris.145
2.3.3 Notaris Sebagai Profesi
Menurut Abdulkadir Muhammad, agar suatu pekerjaan dapat disebut suatu
profesi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Adanya spesialisasi pekerjaan;
2. Berdasarkan keahlian dan keterampilan;
3. Bersifat tetap dan terus menerus;
4. Lebih mendahulukan pelayanan daripada imbalan;
143
Bachtiar Effendie, Masdari Tasmin dan A.Chodari, 1991, Surat Gugat dan Hukum
Pembuktian dalam Perkara Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 49. 144
Darwan Prinst, 1998, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 157. 145
Suhrawardi K. Lubis, Op.Cit, hal 34.
72
5. Mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi;
6. Terkelompok dalam suatu organisasi profesi.146
Menurut C.S.T. Kansil, menjelaskan kaidah-kaidah pokok yang berlaku
bagi suatu profesi adalah sebagai berikut:
1. Profesi merupakan pelayan, karena itu mereka harus bekerja tanpa pamrih,
terutama bagi klien atau pasiennya yang tidak mampu;
2. Pelaksanaan pelayanan jasa profesional mengacu pada nilai-nilai luhur;
3. Pelaksana profesi berorientasi kepada masyarakat secara keseluruhan;
4. Pola persaingan dalam 1 (satu) profesi haruslah sehat.147
Sedangkan menurut E. Y. Kanter menyatakan bahwa sebuah profesi terdiri
dari kelompok terbatas orang-orang yang memiliki keahlian khusus dan dengan
keahlian itu mereka dapat berfungsi di dalam masyarakat dengan lebih baik
dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumnya atau dalam
pengertian yang lain, sebuah profesi adalah sebutan atau jabatan dimana orang
yang menyandangnya memiliki pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui
training atau pengalaman orang lain dalam bidangnya sendiri.148
Daryl Koehn melihat seorang profesional sebagai orang yang
mengucapkan janji di hadapan publik dengan suatu komitmen moral,
mengemukakan kriteria seorang professional sebagai berikut:
1. Orang yang mendapat izin dari negara untuk melakukan suatu tindakan
tertentu;
146
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 58. 147
C.S.T. Kansil, 2003, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum (selanjutnya disebut dengan
C.S.T. Kansil III), Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 5. 148
E. Y. Kanter, 2001, Etika Profesi Hukum; Sebuah Pendekatan Religius, Storia Grafika,
Jakarta, hal. 63.
73
2. Menjadi anggota organisasi pelaku-pelaku yang sama-sama mempunyai
hak suara yang menyebarluaskan standar dan/atau cita-cita perilaku dan
yang saling mendisiplinkan karena melanggar standar itu;
3. Memiliki pengetahuan atau kecakapan yang hanya diketahui dan dipahami
oleh orang-orang tertentu saja serta tidak dimiliki oleh anggota-anggota
masyarakat lain;
4. Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya dan pekerjaannya itu
tidak amat dimengerti oleh masyarakat yang lebih luas;
5. Secara publik di muka umum mengucapkan janji (sumpah) untuk memberi
bantuan kepada mereka yang membutuhkan bantuan.149
Salah satu perilaku seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya adalah
senantiasa bersikap profesional. Menyandang jabatan selaku Notaris harus jujur
terhadap diri sendiri yang berlandaskan pada spiritual, moral, mental dan akhlak
baik dan benar. Selain mempunyai tingkat intelektual tinggi serta yang
mempunyai sifat netral/tidak memihak, independen, mandiri, tidak mengejar
materi, menjunjung harkat dan martabat Notaris yang profesional.150
Perilaku sehari-hari dalam menjalankan jabatannya harus professional
yang mengandung arti:
a. Sesuai dengan undang-undang, kode etik, anggaran dasar, anggaran rumah
tangga;
b. Sesuai dan menguasai teknik pembuatan akta;
c. Teliti, jeli dan sikap kehati-hatian harus diperhatikan;
d. Tidak terpengaruh dan tidak memihak;
e. Merelatir atau membuat sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya;
f. Tidak menghalalkan segala cara atau memaksakan kehendak;
g. Dalam waktu yang cepat dan tepat.151
2.3.4 Kode Etik Profesi Notaris
Setiap organisasi profesi memiliki kode etik yang diperlukan untuk
pedoman anggotanya dalam berprilaku. Etik berasal dari kata etika atau “Ethos”
149
Daryl Koehn, 2000, Landasan Etika Profesi, Kanisius, Yogyakarta, hal. 75. 150
Andi Prajitno, 2010, Apa dan Siapa Notaris di Indonesia?, Cetakan Pertama, Putra
Media Nusantara, Surabaya, hal. 92. 151
Ibid.
74
dalam bahasa Yunani yang berarti memiiiki watak kesusilaan atau beradat.152
Etika adalah refleksi kritis, metodis, dan sistematis tentang tingkah laku manusia
sejauh berkaitan dengan norma-norma atau tentang tingkah laku manusia dari
sudut baik dan buruk.153
E.Y. Kanter memberikan tiga arti yang cukup lengkap
terhadap etika, yaitu;
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak).
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh satu golongan atau
masyarakat umum.154
K. Bartens memberikan pengertian etika, yaitu:
1. Nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipegang oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya.
2. Etika juga berarti kumpulan asas atau nilai moral.
3. Etika bisa pula dipahami sebagai ilmu tentang yang baik dan yang
buruk.155
Kata “etika” yang secara etimologis berasal dari kata Yunani “ethos”. Di
dalam pengertian harafiah “etika” dimaknai sebagai “adat kebiasaan, “watak,”
atau “kelakuan manusia”. Tentu saja sebagai suatu istilah yang cukup banyak
152
Ignatius Ridwan Widyadharma, 1996, Etika Profesi Hukum, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 7. 153
E.Y. Kanter, Op.Cit, hal. 11. 154
E.Y. Kanter, Op.Cit, hal 12. 155
K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 5-6.
75
dipakai sehari-hari, kata "etika" tersebut memiliki arti yang lebih Iuas dari hanya
sekedar arti etimologis harafiah.156
Pemakaian sehari-hari sekurang-kurangnya dapat dibedakan tiga arti kata
“etika”, yaitu: Pertama, sebagai “sistem nilai”, berarti nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pedoman perilaku manusia, kedua, etika adalah “Kode Etik”,
maksudnya, kumpulan norma dan nilai moral yang wajib diperhatikan oleh pemegang
profesi tertentu, ketiga, etika adalah ilmu yang melakukan refleksi kritis dan
sistematis tentang moralitas. Etika dalam arti ini sama dengan filsafat moral.157
Etika profesi menurut Liliana Tedjosaputra adalah:
Keseluruhan tuntutan moral yang terkena pada pelaksanaan suatu profesi,
sehingga etika profesi memperhatikan masalah ideal dan praktek-praktek
yang berkembang karena adanya tanggung jawab dan hak-hak istimewa yang
melekat pada profesi tersebut, yang merupakan ekspresi dari usaha untuk
menjelaskan keadaan yang belum jelas dan masih samar-samar dan
merupakan penerapan nilai-nilai moral yang umum dalambidang khusus yang
lebih dikonkretkan lagi dalam Kode Etik.158
Kode Etik dijelaskan bahwa:
Yang dimaksud dengan Kode Etik adalah suatu tuntunan, bimbingan atau
pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu atau merupakan
daftar kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para
anggota profesi itu sendiri dan mengikat mereka dalam
mempraktekkannya.159
Kode Etik Notaris adalah tuntunan, bimbingan, atau pedoman moral atau
kesusilaan Notaris baik selaku pribadi maupun pejabat umum yang diangkat
pemerintah dalam rangka pemberian pelayanan umum, khususnya dalam bidang
pembuatan akta. Dalam hal ini dapat mencakup baik Kode Etik Notaris yang
156
Refik Isa Beekum, 2004, Etika Bisnis Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 3. 157
Ibid. 158
Liliana Tedjosaputro I, Op.Cit, hal. 9. 159
Liliana Tedjosaputro I, Op.Cit, hal. 9.
76
berlaku dalam organisasi (I.N.I), maupun Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia
yang berasal dari Reglement op het Notaris.160
Notaris dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk selalu mengikuti etika
yang sudah disepakati bersama dalam bentuk kode etik. Kode etik merupakan
norma atau peraturan yang praktis mengenai suatu profesi, baik tertulis maupun
tidak tertulis. Kode etik memuat etika yang berkaitan dengan sikap yang
didasarkan pada nilai dan standar perilaku orang yang dinilai baik atau buruk
dalam menjalankan profesinya. Hal-hal tersebut kemudian secara mandiri
dirumuskan, ditetapkan, dan ditegakkan oleh organisasi profesi.161
Kalangan notaris membutuhkan adanya pedoman objektif yang konkret
pada perilaku profesionalnya. Oleh sebab itu diperlukan kaidah perilaku sebagai
pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi notaris yang muncul dari
dalam lingkungan para notaris itu sendiri. Pada dasarnya kode etik notaris
bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan dan juga untuk
melindungi klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian atau otoritas
professional di lain pihak.162
Standar etik notaris telah dijabarkan dalam Kode
Etik Notaris yang wajib dipatuhi oleh segenap notaris. Kode Etik Notaris memuat
kewajiban serta larangan bagi notaris yang sifatnya praktis. Terhadap pelanggaran
kode etik terdapat sanksi-sanksi organisasi dan tanggung jawab secara moril
160
Liliana Tedjosaputro I, Op.Cit, hal. 10. 161
Herlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan
(selanjutnya disebut Herlien Budiono II), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 164 162
Ibid, hal. 170.
77
terhadap citra notaris, baik sekarang maupun keberadaan lembaga notariat pada
masa yang akan datang.163
Kedudukan kode etik bagi Notaris sangatlah penting, bukan hanya karena
Notaris merupakan suatu profesi sehingga perlu diatur dalam kode etik, melainkan
juga karena sifat dan hakikat dari pekerjaan Notaris yang sangat berorientasi pada
legalisasi, sehingga dapat menjadi fundamen hukum utama tentang status harta
benda, hak, dan kewajiban seorang klien yang menggunakan jasa Notaris
tersebut.164
Jabatan yang diemban Notaris adalah suatu jabatan kepercayaan yang
diamanatkan oleh Undang-Undang dan masyarakat, untuk itulah seorang Notaris
bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan yang diberikan kepadanya
dengan selalu menjunjung tinggi etika hukum dan martabat serta keluhuran
jabatannya, sebab apabila haI tersebut diabaikan oleh seorang Notaris maka akan
berbahaya bagi masyarakat umum yang dilayaninya. Dalam menjalankan
jabatannya Notaris harus mematuhi seluruh kaedah moral yang telah hidup dan
berkembang di masyarakat. Selain dari adanya tanggung jawab dari etika profesi,
adanya integritas dan moral yang baik merupakan persyaratan penting yang harus
dimiliki oleh seorang Notaris.165
Pasal 1 ayat 2 Kode Etik Notaris (Ikatan Notaris Indonesia), menyatakan
bahwa kode etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan
lkatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut "Perkumpulan"
berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan
163
Herlien Budiono II, Loc.Cit. 164
Munir Fuady III, Op.Cit, hal. 133. 165
K. Bertens, Op.Cit, hal. 282-283.
78
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan
yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan
dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk
didalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris
Pengganti Khusus.
Kode etik Notaris juga mengatur mengenai kewajiban, larangan serta
sanksi. Permasalahan yang dialami oleh Notaris pastilah hal tersebut merupakan
akibat dari pelanggaran kewajiban yang harus ditaati Notaris. Kewajiban dalam
Kode Etik Notaris diatur dalam Pasal 3, sebagai berikut:
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris
wajib:
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris.
3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab,
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan
Notaris.
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada
ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara.
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk
masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam
melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan/di lingkungan kantornya
dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200
cm x 80 cm, yang memuat:
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor surat keputusan pengangkatan yang terakhir
sebagai Notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna
putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama
harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut
tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.
79
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh perkumpulan, menghormati, mematuhi,
melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan.
11. Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib.
12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang
meninggal dunia.
13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium
ditetapkan perkumpulan.
14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan
penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-
alasan yang sah.
15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling
memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling
menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi
dan tali silaturahim.
16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengari baik, tidak membedakan
status ekonomi dan/atau status sosialnya.
17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai
kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas
pada ketentuan yang tercantum dalam : a. UU Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris; c. Isi Sumpah Jabatan Notaris; d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris
Indonesia;
Larangan dan sanksi dalam kode etik Notaris diatur dalam Pasal 4 dan 6,
sebagai berikut;
Pasal 4
Notaris dilarang:
1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun
kantor perwakilan.
2. Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/
Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor.
3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara
bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya,
menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk:
a. Iklan;
b. Ucapan selamat;
c. Ucapan belasungkawa;
d. Ucapan terima kasih;
e. Kegiatan pemasaran;
f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun
olahraga;
80
4. Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada
hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau
mendapatkan klien.
5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah
dipersiapkan oleh pihak lain.
6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditanda tangani.
7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang
berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan
langsung kepadaklien yang bersangkutan maupun melalui perantara
orang lain.
8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-
dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan
psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta
padanya.
9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang
menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan
sesama rekan Notaris.
10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah
yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan
kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang
bersangkutan.
12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang
dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau
menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata
didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau
membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan
kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang
dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk
mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang
bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat ekslusif
dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau
lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk
berpartisipasi.
14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan
peraturan perundangundangan yang berlaku.
15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut
sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun
tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap:
a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang JabatanNotaris;
b. Penjelasan pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
c. Isi sumpah jabatan Notaris;
81
d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang telah
ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh
dilakukan oleh anggota.
Pasal 6
1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran
Kode Etik dapat berupa:
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
Perkumpulan.
2. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai diatas terhadap anggota
yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas
pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.
Dalam menjalankan tugasnya seorang notaris harus berpegang teguh
kepada kode etik jabatan notaris. Dalam kode etik Notaris Indonesia telah
ditetapkan beberapa kaidah yang harus dipegang teguh oleh notaris (selain
memegang teguh kepada peraturan jabatan notaris).
2.4 Kewenangan, Kewajiban dan Larangan
Pasal 1 UUJN menyebutkan mengenai kewenangan Notaris, kewenangan
Notaris sendiri sudah diatur dalam Pasal 15 UUJN sebagai berikut:
(1) Notaris berwenang membuat Akta Autentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan
grosse, salinan dan kutioan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris
berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
82
b. Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
Akta;
f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana disebut dalam
Pasal 15 UUJN, maka ada 2 kesimpulan, yaitu:166
1. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan atau tindakan
para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum
yang berlaku.
2. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian
sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti
lainnya. Jika ada pihak yang menilai bahwa akta tersebut tidak benar,
maka pihak yang menilai itu wajib membuktikan penilaiannya atau
pernyataanya sesuai aturan hukum yang berlaku.
Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan kewenangan Notaris yang ditentukan
kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang. Wewenang Notaris
yang ditentukan kemudian merupakan wewenang yang akan ditentukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan ditentukan dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan adalah:
166
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 35.
83
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan terrtulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.167
Wewenang utama Notaris adalah membuat akta otentik, tetapi tidak semua
pembutan akta otentik menjadi wewenang Notaris. Akta yang dibuat oleh pejabat
lain, bukan merupakan wewenang Notaris, seperti akta kelahiran, akta pernikahan
dan akta perceraian dibuat oleh pejabat selain Notaris. Akta yang dibuat Notaris
hanya akan menjadi otentik, apabila Notaris mempunyai wewenang yang meliputi
4 hal, yaitu:
a. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu;
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat;
c. Notaris harus berwenang sepanjang tempat, dimana akta itu dibuat;
d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta
itu.168
Hal-hal yang mengatur mengenai kewajiban dan larangan Notaris diatur
dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UUJN, sebagai berikut:
Pasal 16:
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
Minuta Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
167
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 82 168
G. H. S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 49.
84
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan
lain;
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku
yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika
jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut
dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah
Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap
buku;
h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i
atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar
wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada
minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan;
l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan
nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi
khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan
Notaris; dan
n. menerima magang calon Notaris.
(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in
originali.
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Akta penawaran pembayaran tunai;
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga;
d. Akta kuasa;
e. Akta keterangan kepemilikan; dan
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat
lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi
85
yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata
“BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK
SEMUA".
(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima
kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak
wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak
dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan
memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan
dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf
oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap
pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara
singkat dan jelas, serta penutup Akta.
(9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan
ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku
untuk pembuatan Akta wasiat.
(11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
(12) Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11),
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi
alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
(13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.”
Pasal 17:
(1) Notaris dilarang:
a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alas an yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau
Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
86
h. Menjadi Notaris pengganti; atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan
dan martabat Notaris.
(2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dikenai sanksi berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian dengan hormat;
d. Pemberhentian dengan tidak hormat.
Dalam menjalankan tugasnya, Notaris harus menyadari kewajibannya,
bekerja mandiri, jujur, tidak memihak dan penuh rasa tanggung jawab serta
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan
sebaik-baiknya. Profesi Notaris termasuk ke dalam jenis profesi yang dinamakan
profesi luhur untuk membantu memberikan kepastian terhadap hubungan hukum
yang dibangun para pihak dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat,
sehingga penghasilan atas jasanya seharusnya bukan dijadikan motivasi utamanya.
Dalam kaitan itu, yang menjadi motivasi utamanya adalah kesediaan yang
bersangkutan untuk melayani sesamanya.169
Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi terdapat pada Pasal 84 dan Pasal
85 UUJN, sebagai berikut:
Pasal 84:
“tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1)
huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal
52 yang mengakibatkan suatu hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat
menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.”
169
C.S.T Kansil III, Op.Cit, hal. 5.
87
Pasal 85:
“Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat
(1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat
(1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat
(1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat
(1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32,
Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63 dapat dikenai sanksi
berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pemberhentian sementara;
d. Pemberhentian dengan hormat; atau
e. Pemberhentian dengan tidak hormat.”
Secara prinsip, notaris bersifat pasif melayani para pihak yang menghadap
kepadanya. Notaris hanya bertugas mencatat atau menuliskan dalam akta apa-apa
yang diterangkan para pihak, tidak berhak mengubah, mengurangi atau menambah
apa yang diterangkan para penghadap.170
Menurut Yahya Harahap, sikap yang
demikian dianggap terlampau kaku, oleh karena itu pada masa sekarang muncul
pendapat bahwa notaris memiliki kewenangan untuk mengkonstantir atau
menentukan apa yang terjadi di hadapan matanya, oleh karena itu dia berhak
mengkonstantir atau menentukan fakta yang diperolehnya guna meluruskan isi
akta yang lebih layak.171
170
Subekti, 1987, Hukum Pembuktian (selanjutnya disebut dengan Subekti I), Pradnya
Paramita, Jakarta, hal 27. 171
Yahya Harahap, 2010, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (selanjutnya disebut Yahya Harahap I), Cetakan Kesepuluh,
Sinar Grafika, Jakarta, hal 573.