22
18 BAB II TINJAUAN UMUM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA 2.1 Kasus Pembajakan Kapal Maersk Alabama di Perairan Somalia Berdasarkan Piagam PBB Bab 1 Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa tugas pokok berdirinya PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. pembajakan tergolong sebagai tindakan ilegal berupa kekerasan dan penjarahan terhadap kapal komersial. Kapal pembajak juga menghalangi bantuan kemanusiaan yang masung untuk mengatasi krisis pangan di Somalia. Oleh sebab itu, tindakan tersebut merupakan tindakan yang mengancam keamanan internasional dan kepentingan kemanusiaan secara luas. Salah satu Hukum Internasional yang mengatur mengenai penanganan terhadap pembajak Somalia adalah Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Aturan tersebut berisi kerangka hukum resmi yang menetapkan bahwa negara memiliki kewenangan yuridiksi terhadap penindakan pelanggaran hukum di perairan laut. Pada Pasal 58 ayat 2 mengatur bahwa ketetapan hukum terhadap pembajak dapat diberlakukan di wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan berdasarkan Pasal 100 negara lain harus bekerjasama sepenuhnya dalam penindasan pembajakan di laut lepas di tempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu negara. 1 Seperti yang telah diketahui Pada bulan April 2009 masyarakat internasional dikejutkan dengan pembajakan yang terjadi terhadap kapal Maersk Alabama di perairan Amerika serikat tepatnya di perairan Teluk Aden, Somalia. Selama 2009, tercatat pembajak telah mengantongi uang tebusan US$ 58 juta (Rp 522 miliar) dari 410 pembajakan. Angka itu meningkat pada 2010 menjadi US$ 238 juta (Rp 2,1 triliun) dari 445 1 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982)

BAB II TINJAUAN UMUM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL … II.pdf2.1 Kasus Pembajakan Kapal Maersk Alabama di Perairan Somalia Berdasarkan Piagam PBB Bab 1 Pasal 1 ayat (1) ... Laut Arab dan

Embed Size (px)

Citation preview

  18  

BAB II

TINJAUAN UMUM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA

DI PERAIRAN SOMALIA

2.1 Kasus Pembajakan Kapal Maersk Alabama di Perairan Somalia

Berdasarkan Piagam PBB Bab 1 Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa tugas pokok

berdirinya PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

pembajakan tergolong sebagai tindakan ilegal berupa kekerasan dan penjarahan

terhadap kapal komersial. Kapal pembajak juga menghalangi bantuan kemanusiaan

yang masung untuk mengatasi krisis pangan di Somalia. Oleh sebab itu, tindakan

tersebut merupakan tindakan yang mengancam keamanan internasional dan

kepentingan kemanusiaan secara luas. Salah satu Hukum Internasional yang mengatur

mengenai penanganan terhadap pembajak Somalia adalah Konvensi Hukum Laut

PBB 1982.

Aturan tersebut berisi kerangka hukum resmi yang menetapkan bahwa negara

memiliki kewenangan yuridiksi terhadap penindakan pelanggaran hukum di perairan

laut. Pada Pasal 58 ayat 2 mengatur bahwa ketetapan hukum terhadap pembajak dapat

diberlakukan di wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan berdasarkan Pasal 100

negara lain harus bekerjasama sepenuhnya dalam penindasan pembajakan di laut

lepas di tempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu negara.1 Seperti yang telah

diketahui Pada bulan April 2009 masyarakat internasional dikejutkan dengan

pembajakan yang terjadi terhadap kapal Maersk Alabama di perairan Amerika serikat

tepatnya di perairan Teluk Aden, Somalia. Selama 2009, tercatat pembajak telah

mengantongi uang tebusan US$ 58 juta (Rp 522 miliar) dari 410 pembajakan. Angka

itu meningkat pada 2010 menjadi US$ 238 juta (Rp 2,1 triliun) dari 445

                                                                                                                1 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982)

  19  

pembajakan. Hampir seluruh kejadian pembajakan berlangsung di sekitar Teluk

Aden dan di lepas pantai Somalia. Dari data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa tidak

adanya tindakan yang dapat dilakukan dari pihak Negara Somalia dalam upaya

memberantas pembajakan yang terjadi, terlihat dari Presiden Somalia sendiri meminta

bantuan pada PBB dengan memberikan izin kepada negara mana pun untuk

menumpas bajak laut di wilayahnya.2

Dalam pembajakan kapal Maersk Alabama tersebut telah terjadi penyanderaan

awak kapal beserta kapten kapal yang berkewarganegaraan Amerika Serikat. Kapal

Maersk Alabama berlayar pada perairan Somalia pada tanggal 8 April 2009. Pada

tanggal 8 April 2009 kapal tersebut didatangi beberapa kapal kecil (speed boat)

berpenumpang pembajak. Para pembajak menandai kedatangan mereka dengan suara

tembakan, disaat para awak kapal Alabama sedang beristirahat. Para pembajak

menaiki kapal Alabama melalui haluan kapal dengan tali dan jangkar pengait,

kemudian mereka menembakan senapannya ke udara. Berdasarkan Pasal 101

Konvensi hukum laut PBB 1982, Pembajakan di laut terdiri dari salah satu di antara

tindakan berikut :3

(a) setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan

memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau

penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan :

(i) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang

atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian;

                                                                                                                                           2  Judarwanto. Perompak Somalia, Kriminal Internasional Masalah Dunia. http://mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/04/15/perompak-somalia-kriminal-internasional-menjadi-masalah-dunia/ , diakses tanggal 6 mei 2015                     3 UNCLOS “United Nations Convention on the Law of the Sea” online. Diakses dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf pada tanggal 5 juli 2015  

  20  

(ii) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di

luar yurisdiksi negara manapun;

(b) setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau

pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau

pesawat udara pembajak.

(c) setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang

disebutkan dalam sub-ayat (a) atau (b).

Aktivitas pembajak Somalia telah menjadi ancaman serius bagi dunia pelayaran

Internasional . Kegiatan pembajakan yang telah berlangsung selama ini telah menjadi

suatu ancaman yang menakutkan bagi kapal-kapal dari berbagai negara di belahan

dunia yang melintasi Somalia, sehingga melambungkan nama pembajak Somalia di

mata internasional.

Pembajak Somalia atau bajak laut Somalia merupakan sebutan bagi para bajak

laut yang beroperasi di wilayah perairan Somalia yang meliputi kawasan Samudera

Hindia hingga lepas pantai timur Somalia, Laut Arab dan teluk Aden yang merupakan

jalur utama pelayaran dunia.4 Kejadian pembajakan yang sering terjadi di perariran

Somalia tersebut harus ditangani dengan baik dan juga harus ditegakkannya hukum

serta sanksi yang tegas baik oleh negara pantai sendiri (Somalia) maupun negara lain

yang dalam hal ini Amerika Serikat agar nantinya tidak terjadi lagi pembajakan yang

serupa.

                                                                                                                                           4  Apriadi Tamburaka. 2011. ‘47 Hari dalam Sandera Perompak Somalia, Drama Upaya Pebebasan Kapal dan ABK MV.Sinar Kudus’. Jakarta:PT Bhuana Populer (Kompas Gramedia Group). h. 17

  21  

2.2 Definisi Pembajakan

Pembajakan (piracy) pada awalnya memiliki pengertian yang cukup sempit, yaitu

setiap tindakan kekerasan yang dilarang yang dilakukan sebuah kapal pribadi

terhadap kapal lain di laut lepas dengan tujuan untuk merampok (animo furandi).

Namun Dalam Pasal 15 Convention on the High Seas 1958 dan Pasal 101 Konvensi

Hukum Laut 1982 menjelaskan tentang definisi pembajakan yang berbunyi:

Piracy consists of any of the following acts: (a) any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation, committed

for private ends by the crew or the passengers of a private ship or a private aircraft, and directed:

(i) on the high seas, gaianst another ship or aircraft, or against persons or propert on board such ship or aircraft;

(ii) against a ship, aircraft, persons or property in a place outside the jurisdiction of any State;

(b) any act of voluntary participation in the operation of a ship or of an aircraft with knowledge of facts making it a pirate ship or aircraft;

(c) any act of inciting or of intentionally facilitating an act described in subparagraph (a) or (b).

Seperti yang telah dikatakan Oppenheim Lauterpacht, arti mula-mula dan

sesungguhnya dari pembajakan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh suatu

kapal partikelir (bukan kepunyaan suatu negara) di laut lepas terhadap suatu kapal

lain dengan maksud untuk merampok, yaitu mencuri barang-barang dengan kekerasan

(animus furandi)5 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana

pembajakan di laut lepas adalah sebagai berikut :

1. Adanya tindakan kekerasan, penahanan tidak sah, tindakan memusnahkan, dan

setiap tindakan menyuruhlakukan, turut serta atau membantu tindakan -tindakan

tersebut.

2. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh awak kapal atau penumpang dari suatu

kapal atau pesawat udara swasta.

                                                                                                                5 Wirjono Prodjodikoro, 1960, Hukum Laut Bagi Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, h. 27

  22  

3. Tindakan-tindakan tersebut ditujukan terhadap kapal atau pesawat udara lain atau

terhadap orangnya atau barangnya.

4. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan di laut lepas, atau di suatu tempat di luar

yurisdiksi negara manapun

Pembajakan di laut merupakan tindak pidana internasional dan dianggap

sebagai musuh setiap negara, serta dapat diadili dimanapun pembajak tersebut

ditangkap tanpa memandang kebangsaannya. Pembajakan di laut memang bersifat

“crimes of universal interest”, sehingga setiap negara dapat menahan perbuatan

yang dinyatakan sebagai pembajakan yang terjadi di luar wilayahnya atau wilayah

negara lain yaitu di laut lepas, dan berhak melaksanakan penegakan yurisdiksi dan

ketentuan-ketentuan hukumnya.

Dalam hal ini setiap negara boleh menangkap pembajak di laut lepas, dan

menyeret kepelabuhannya untuk diadili oleh pengadilan negara tersebut, dengan

alasan pembajakan di laut lepas tersebut adalah “hostes humani generis” (musuh

semua umat manusia). Tetapi hak ini hanya berlaku terhadap orang-orang yang

dianggap melakukan pembajakan dilaut berdasarkan kreteria yang ditentukan oleh

hukum internasional. Hal itu disebabkan mungkin terdapat perbuatan yang dianggap

pembajakan oleh undang-undang suatu negara tertentu, tetapi menurut hukum

internasional bukan pembajakan. Misalnya, bahwa dalam hukum pidana Inggris,

bekerja dalam perdagangan budak dianggap sama dengan pembajakan.6

                                                                                                                6 Mochammad Radjab, l963, Hukum Bangsa-Bangsa (terjemahan), Penerbit Bhratara, Jakarta, h.. 226

  23  

2.3 Teori Kedaulatan dan Teori Yurisdiksi Negara

Kedaulatan negara sebagaimana yang teah kita ketahui merupakan kekuasaan

tertinggi dari suatu negara. Hal ini berarti diatas kedaulatan negara tidak ada

kekuasaan yang lebih tinggi lagi. Kedaulatan yang dimiliki suatu negara menunjukan

bahwa suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan negara lain.

Kedaulatan itu pada dasarnya mengandung dua aspek. Pertama, aspek internal

yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi

di dlam batas wilayahnya. Kedua, aspek eksternal yaitu kekuasaan tertinggi untuk

mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional maupun mengatur

segala sesuatu yang berada atau terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang

masih ada kaitannya dengan kepentingan negara itu.7 Berdasarkan kedaulatan tersebut

maka dapat diturunkan hak, kekuasaan maupun kewenangan negara untuk mengatur

masalah intern maupun eksternnya, dengan kata lain, dari kedaulatan tersebut

diturunkan atau lahirlah yurisdiksi suatu negara.

Yurisdiksi negara tidak dapat dipisahkan dari Asas Kedaulatan Negara (State

Souvereignty) yang merupakan ciri hakiki dari setiap negara. Yurisdiksi negara

merupakan konsekuensi logis dari adanya azas kedaulatan ataupun hak-hak tertentu

yang dapat dimiliki negara. Negara memiliki yurisdiksi dalam batas-batas

teritorialnya karena negara memiliki kedaulatan yang menunjukkan adanya kekuasaan

tertinggi dalam bidang apapun di dalam batas-batas teritorial dari negara yang

bersangkutan.8

                                                                                                                7 Parthiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, cetakan II, Mandar Maju, Bandung, h. 347 8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional,Buku I Bina Cipta, Bandung, h.19

 

  24  

Yurisdiksi negara (kewenangan negara) Yaitu suatu hak atau kewenangan atau

kekuasaan atau kompetensi hukum negara di bawah hukum internasional untuk

mengatur individu-individu, peristiwa-peristiwa hukum di bidang pidana maupun

perdata atau benda/kekayaan dengan menggunakan hukum nasionalnya. Dalam

hukum internasional, yurisdiksi negara lahir dari prinsip kedaulatan negara,

persamaan derajat negara, prinsip non intervensi.

Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum

negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi menyebabkan suatu

negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda, peristiwa hukum yang ada dalam

suatu negara ataupun yang ada di luar negara tersebut. Berdasarkan hukum perjanjian

internsional dan menurut kebiasaan internasional, pembajakan (piracy) merupakan

kejahatan murni atau merupakan bentuk tindak pidana transnasional (transnational

crime) atau yang lebih dikenal dengan tindak pidana yang terorganisasi (transnational

organized crime), 9 sehingga setiap negara memiliki yuridiksi untuk menangkap

pembajak dilaut. Pasal 19 Konvensi Jenewa juga senada dengan Pasal 105 Konvensi

Hukum Laut PBB 1982 yang menyatakan di laut lepas, atau disetiap tempat lain di

luar yurisdiksi negara manapun setiap negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat

udara pembajak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh

pembajak dan berada di bawah pengendalian pembajak dan menangkap orang-orang

yang menyita barang yang ada di kapal.

Pengadilan negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat

menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan

yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang,

                                                                                                                9Imam Santoso, 2014, Hukum Pidana Internasional, cetakan I, Pustaka Reka Cipta,Bandung, h.111

  25  

dengan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik.

Berdasarkan Pasal 107 Konvensi Hukum Laut PBB 1982

A seizure on account of piracy may be carried out only by warships or military

aircraft, or other ships or aircraft clearly marked and identifiable as being on

government service and authorized to that effect.

Berarti bahwa kapal negara bendera yang boleh menangkap para pembajak adalah

kapal perang atau kapal lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai

dalam dinas pemerintah dan yang diberi wewenang untuk melakukan hal demikian

dari negara yang bersangkutan. Kemudian pengaturan yuridiksi negara terhadap bajak

laut yang terdapat dalam SUA Convention 1988 , diatur dalam Pasal 6 yang berisi :

1) Setiap negara pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk

menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal 3

ketika kejahatan dilakukan:

a) melawan untuk mengibarkan bendera negara pada waktu kejahatan

dilakukan di atas kapal;

b) dalam wilayah negara yang bersangkutan, termasuk laut teritorial;

c) dilakukan oleh seorang warga negara dari negara tersebut.

2) Setiap negara pihak juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu

pelanggaran jika:

a) tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang berkewarganegaraan dari

negara yang bersangkutan;

b) selama pelaku dari negara tersebut, mengancam untuk membunuh atau

melukai orang lain;

c) tindakan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memaksa negara yang

bersangkutan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.

  26  

3) Setiap negara pihak yang telah metetapkan yurisdiksi sebagaimana yang

disebutkan dalam ayat (2) harus memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal

Organisasi Maritim Internasional;

4) Setiap negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang dianggap penting

untuk menetapkan yurisdiksinya atas tindak pidana sebagaimana yang

ditetapkan dalam Pasal 3 terhadap kasus-kasus di mana tersangka/pelaku

berada dalam wilayahnya dan tidak mengekstradisi pelaku tersebut ke salah

satu negara pihak lainnya;

5) Konvensi ini tidak mengenyampingkan setiap yurisdiksi kejahatan yang

dilakukan sesuai dengan hukum nasional negara pihak.

Pasal 8 konvensi mengatur tentang:

1) pemilik kapal suatu negara bendera dapat menyerahkan setiap orang yang

dicurigai telah melakukan salah satu tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal 3

kepada pihak yang berwenang dari negara pihak lainnya (negara penerima);

2) negara bendera harus memberitahukan kepada pihak yang berwenang dari negara

penerima atas niatnya untuk menyerahkan pelaku tersebut dengan disertai alasan-

alasannya;

3) negara penerima harus menerima penyerahan tersebut, kecuali memiliki alasan

untuk mempertimbangkan bahwa konvensi tidak berlaku untuk itu. Penolakan

tersebut harus disertai dengan pernyataan dan alasan untuk penolakan;

4) negara bendera harus menjamin bahwa pemilik kapal wajib memberikan bukti-

bukti kepada pihak berwenang dari negara penerima atas pelanggaran yang

dituduhkan.

Pembajakan bersenjata atau pembajakan di laut merupakan kejahatan yang tertua

di dunia. Bahkan, tindakan pembajakan di laut atau dikenal dengan istilah piracy

  27  

merupakan satu-satunya tindak kriminal murni yang ditetapkan sebagai kejahatan

internasional. 10 Dalam memerangi pembajakan (piracy) setiap negara memiliki

kedaulatan akan teritorial atau wilayahnya. Kedaulatan teritorial atau kedaulatan

wilayah adalah kedaulatan yang dimiliki negara dalam melaksanakan yurisdiksi

ekslusif di wilayahnya. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi dan bersifat monopoli

atau summa potestas atau superme Power yang hanya dimiliki negara.

Berdasarkan pendapat D.P O’Connell , kedaulatan dan wilayah berkaitan erat

karena pelaksanaan kedaulatan didasarkan pada wilayah. S.T. Bernardez, berpendapat

wilayah adalah prasyarat fisik untuk adanya kedaulatan teritorial. Arbiter Huber,

berpendapat bahwa keaulatan memiliki 2 ciri, yaitu :

1) Kedaulatan merupakan prasyarat hukum untuk adanya suatu negara.

2) Kedaulatan menunjukkan negara tersebut merdeka dan merupakan fungsi negara,

PBB mengadakan Konferensi Hukum Laut di Jenewa 1958. Diikuti 86 negara

menghasilkan 4 konvensi, 1 protocol fakultatif, serta 9 resolusi.

4 konvensi tersebut yaitu :

1. Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan

2. Konvensi tentang Laut Lepas

3. Konvensi tentang Landas Kontinen

4. Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber Kekayaan Hayati Laut

Lepas.

Rumusan kompromi yang ditawarkan konferensi waktu itu adalah 6 mil zona

perikanan. Dalam membahas kedaulatan negara atas wilayah laut ini akan mencakup :

                                                                                                                10 Romli Atmasasmita, op.cit , h. 36.

  28  

1. Perairan Pedalaman

Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat garis pangkal.

Yang dimana dalam perairan pedalaman ini negara memiliki kedaulatan penuh

atasnya.

2. Laut Teritorial

Laut teritorial adalah laut yang terletak di luar sisi luar garis pangkal yang

tidak melebihi lebar 12 mil laut dari garis pangkal.

3. Jalur Tambahan

Jalur tambahan adalah suatu zona tambahan dan berda di luar laut teritorial

dimana suatu negara mempunyai kekuasaan terbatas untuk mencegah pelanggaran

terhadap peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.

4. Landas Kontinen

Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah di bawah

permukaan laut yang terletak diluar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah

wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga jarak 200 mil

laut dari garis pangkal darimana lebar laut tepi kontinen tidak mencapai jarak

tersebut.

5. Zona Ekonomi Ekslusif ( ZEE )

ZEE adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil dari garis pangkal.

Yurisdiksii ZEE meliputi :

- Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan.

- Riset ilmiah kelautan.

- Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

  29  

6. Laut Lepas

Pada dasarnya, laut lepas tidak berlaku kedaulatan, hak berdaulat, yurisdiksi

negara. Laut lepas merupakan ras communis, yaitu laut yang terbuka dan bebas bagi

semua negara. Pembajakan menurut PBB adalah sebuah tindakan pelanggaran

internasional (international infraction) dan tidak bisa ditoleransi lagi karena telah

merusak keseimbangan disuatu negara dan berdampak kenegara lain. Suatu perbuatan

yang dikatakan sebagai pelanggaran internasional adalah kelalaian negara untuk

mencegah atau membuat keadaan sehingga menyebabkan terjadinya tindak pidana

internasional ataupun kelalaian negara untuk melakukan pengusutan, penghukuman,

atau mengekstradisikan pelaku kejahatan (au punier aut judicre).11

Permasalahan utamanya adalah Somalia sebagai negara yang berdaulat dan

mempunyai yurisdiksi dinegaranya tersebut yang tidak bisa dicampuri oleh negara

lain. Menurut J. G. Starke, konsep “kedaulatan teritorial” yang menandakan bahwa

didalam wilayah kekuasaan ini yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap orang-

orang dan harta benda yang menyampingkan negara lain. Kedaulatan teritorial adalah

kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksekutif

diwilayahnya. Dalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan

hukum nasionalnya.

Apabila kedaulatan suatu negara dicampuri oleh negara lain, maka negara yang

bersangkutan dibolehkan untuk memberikan sikap tegas kepada negara yang

mencampuri urusan kedaulatannya, tetapi ketentuan itu tidak berlaku bagi kapal

perang dan kapal pemerintah asing yang menikmati kekebalan. Sebenarnya dalam

hukum internasional terdapat beberapa prinsip yang sering dianut oleh suatu negara.

                                                                                                                11 Oentong Wahjoe, 2010, Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Bandung, h.25

  30  

2.3.1 Prinsip Yurisdiksi Negara

Menurut Jawahie Tantowi dan Pranoto Iskandar prinsip-prinsip tersebut

adalah:

1. Prinsip Teritorial (Territorial Principle)

Yurisdiksi teritorial sebagaimana dikemukakan pengertiannya oleh J. G. Starke

(1984:194) adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara terhadap orang, benda,

peristiwa atau masalah yang terdapat dan atau terjadi di dalam batas-batas

teritorialnya. Siapapun orangnya baik warganegara maupun orang asing yang berada

di dalam wilayah suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi atau kekuasaan hukum

dari negara yang bersangkutan. Setiap benda apapun bentuknya baik bergerak

maupun tidak bergerak yang terdapat di dalam wilayah suatu negara harus tunduk

pada kekuasaan hukum negara tersebut. Demikian pula peristiwa atau masalah apapun

yang berlangsung atau terjadi di dalam batas-batas teritorial suatu negara dapat

diselesaikan berdasarkan peraturan-peraturan hukum dari negara yang bersangkutan.

Menurut prinsip ini setiap negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-

kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-

prinsip lain, prinsip teritorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting

dalam pembahasan yurisdiksi dalam hukum internasional. Menurut Hakim Loed

Macmillan, suatu negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan

perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas- batas teritorialnya sebagai pertanda

Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan

memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:

a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah negara yang ketertiban sosialnya

paling terganggu;

b. Biasanya pelaku ditemukan negara dimana kejahatan dilakukan;

  31  

c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses

persidangan dapat lebih efisien dan efektif;

d. Seorang warga negara asing yang datang ke wilayah suatu negara dianggap

menyerahkan diri pada sistem hukum nasional negara tersebut, sehingga ketika

ia melakukan pelanggaran hukum nasional di negara yang ia datangi maka ia

harus tunduk pada Hukum setempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah

(lawful) menurut sistem hukum nasional negaranya sendiri

2. Prinsip Nasionalitas (Nationality Principle)

Dimana yurisdiksi ditentukan dari kewarganegaraan dari seseorang yang

melakukan pelanggaran atau tindakan. Prinsip nasionalitas memperkenankan suatu

ne-gara untuk mengklaim, dan menyatakan yurisdiksinya, terhadap seseorang yang

bersalah dalam pengertian melaku-kan pelanggaran terhadap peraturan hukum

nasionalnya. Klaim dan pernyataan yurisdiksi seperti ini, dapat dilakukan oleh negara

tersebut apabila pelakunya adalah warganegaranya sendiri. Seorang warganegara di

manapun dia berada, serta ke manapun dia pergi, akan selalu diikuti dengan hukum

nasional dari negerinya sendiri. Berdasarkan praktek hukum internasional dewasa ini,

yurisdiksi nasionalitas terdiri atas:

a) Prinsip Nasionalitas Aktif. Menurut prisip ini negara dapat melaksanakan

yurisdiksi terhadap warganegaranya. Prinsip ini pada umumnya diberikan oleh

hukum internasional kepada semua negara yang hendak memberlakukannya.

Semua prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah bahwa negara tidak wajib

menyerahkan warganegaranya yang telah melakukan suatu tindak pidana di luar

negeri.

b) Prinsip Nasionalitas Pasif. Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan

yurisdiksi apabila seorang warganegaranya menderita kerugian. Hukum

  32  

internasional mengakui prinsip ini tetapi dengan beberapa pembatasan. Dasar

pembenaran prinsip ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi

warganegaranya di luar negeri, dan apabila negara teritorial dimana tindak pidana

itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka

negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu, apabila orang itu

berada di wilayahnya. Jadi pada intinya Prinsip personalitas pasif menegaskan

yurisdiksi negara untuk diterapkan terhadap perbuatan yang dilakukan diluar

teriitorial negara oleh seorang yang bukan warga negara, dimana korban

perbuatan tersebut adalah warga negara dari negara tersebut. Biasanya hal ini

diteterapkan terhadap teroris dan pelaku serangan terorganisai yang lain terhadap

warga negara dengan alasan kewarganegaraannya, tidak jarang digunakan untuk

mengadili individu yang melakukan kejahatan yang diatur hukum nasional yang

dilakukan di luar negeri.12

3. Prinsip Perlindungan (Protective Principle )

Prinsip yurisdiksi atas dasar perlindungan (protective jurisdiction principle)

adalah kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukumnya terhadap

peristiwa pidana yang terjadi di luar wilayah negaranya dan dilakukan oleh atau

korbannya bukan warga negaranya, tetapi peristiwa pidana (internasional) tersebut

membahayakan kepentingan keamanan, politik dan ekonomi negaranya. Alasan-

alasan yurisdiksi berdasarkan prinsip perlindungan ini adalah :13

1) Akibat tindak pidana itu sangat besar bagi negara terhadap mana tindak pidana

itu tertuju;

2) Apabila yurisdiksi tidak dilaksanakan terhadap tindak pidana demikian, maka

pelaku tindak pidana tersebut dapat lolos dari penghukuman karena di negara                                                                                                                 12 I Wayan Parthiana, 2014, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laur Indonesia, Yrama Widya, Bandung, h. 18 13 J.G.Starke, 2010, Pegantar Hukum Internasional, edisi 10, Sinar Grafika, Jakarta , h. 304

  33  

dimana tindak pidana itu dilakukan (lex loci delicti) perbuatan itu tidak

melanggar hukum lokal atau karena ekstradisi akan ditolak dengan alasan

tindak pidana itu bersifat politis.

4. Prinsip Universalitas (Universality Principle)

Dimana yurisdiksi ditentukan berdasarkan beberapa kriteria pelanggaran atau

tindakan yang mengancam kepentingan bersama dari umat manusia. Maksud dari

prinsip ini tidak semata-mata berkaitan dengan atau waktu maupun pelaku dari suatu

peristiwa hukum melainkan berdasarkan corak dan sifat-sifatnya sendiri. Misalnya,

peristiwa itu menyangkut kepentingan semua negara atau semua umat manusia, tanpa

memandang tempat terjadinya peristiwa itu, tanpa memandang kewarganegaraan dari

si pelaku maupun korbannya.14 Karena itu terhadap peristiwa hukum demikian maka

menjadi kewajiban dan tanggung jawab semua negara untuk mencegah dan

memberantasnya. Agar prinsip yurisdiksi ini menjadi benar-benar efektif, maka setiap

negara sepatutnya mengatur dalam hukum nasionalnya.

Kejahatan atau dalam istilah yuridis disebut tindak pidana yang kadangkala tidak

saja menyangkut kepentingan satu negara, tetapi juga menyangkut kepentingan lebih

dari satu negara. Peristiwa itu juga dapat terjadi pada dua negara baik secara serentak

atau secara beruntun. Misalnya, peristiwanya terjadi didalam suatu negara tetapi

menimbulkan akibat di negara lain; pelaku tersebut melarikan diri ke negara lain; dan

lain sebagainya. negara yang dirugikan oleh pembajak Somalia berhak menangkap

dan mencampuri kedaulatan disuatu negara (Prinsip Universal). J.G.Starke

menyatakan bahwa:

                                                                                                                14 I Wayan Parthiana II, Op. cit, h375

  34  

“Perompakan merupakan suatu tindak pidana yang berada di yurisdiksi semua negara dimanapun tindakan itu dilakukan, tindakan pidana itu merupakan bertentangan dengan kepentingan masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebgai delik Jure Gentium dan setiap negara berhak menangkap dan menghukum semua pelakunya”.

Teori yurisdiksi dan Teori kedaulatan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Konsep kedaulatan dapat diartikan kekuasaan memiliki hak atas teritorial dan hak

yang lahir dari penggunaan kekuasaan tadi, dan unsur utama dari konsep kedaulatan

adalah memiliki kekuasaan penuh untuk melaksanakan hak teritorial dari suatu negara

dalam batas-batas wilayah negara yang bersangkutan.15

5. Prinsip Ekstra-teritorial

Prinsip ekstra-teritorial adalah penerapan yurisdiksi suatu negara di wilayah

yang bukan merupakan wilayah negara. Kepentingan suatu negara tidak dalam batas

wilayahnya saja tetapi juga meluas sampai pada daerah yang jauh di luar nya seperti

laut lepas, ruang udara internasional (ruang udara bebas), atau pada wilayah lain

yang status yuridisnya sama seperti laut lepas maupun ruang udara internasional,

seperti Antartika (kutub selatan) dan Artika (kutub utara).

Kepentingan yang dimaksud tersebut misalnya berupa peristiwa hukum yang

melibatkan warga negaranya ataupun kepentingan dari negara itu sendiri contohnya

kapal laut suatu negara yang sedang berlayar di laut yang bukan wilayahnya ternyata

dibajak oleh para pembajak. Terhadap peristiwa ini tentu saja negara yang

bersangkutan sangat berkepentingan untuk mengatur dan menyelesaikannya

berdasarkan hukum nasionalnya sendiri. Dalam hal tersebut tentulah tampak bahwa

negara bendera sangat berkepentingan untuk mengatur peristiwa semacam itu.

                                                                                                                15 Romli Atamasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, op cit, h. 88

  35  

2.4 Teori Yurisdiksi Universal

Penerapan yurisdiksi universal terhadap pelaku kejahatan internasional

merupakan masalah yang unik dan tidak mudah untuk dilaksanakan dalam hukum

internasional. Berbeda dengan model yurisdiksi lainnya. Pada model yurisdiksi

lainnya suatu negara akan dengan mudah menentukan apakah negara tersebut

mempunyai yurisdiksi atas suatu kejahatan atau tidak dengan melihat kepada

hubungan yang muncul dari suatu peristiwa dengan negara tersebut, seperti apakah

korban atau pelakunya mempunyai hubungan dengan negara, atau locus delicti.

Sementara yurisdiksi universal tidak mensyaratkan adanya hubungan demikian

dengan negara dimaksud.

Para sarjana hukum internasional sendiri juga menyatakan keunikan dan

keterbatasan pemberlakuan yurisdiksi universal dalam hukum internasional,

diantaranya menulis bahwa yurisdiksi universal

“… refers to jurisdiction established over a crime without reference to the place of perpetration, the nationality of the suspect or the victim or any other recognized linking point between the crime and the prosecuting State. It is a principle of jurisdiction limited to specific crimes.”

Pelaksanaan yurisdiksi universal menurut Bassiouni melewati batas kedaulatan

negara. Rasionalitas dibalik pelaksanaan yurisdiksi universal adalah tidak ada negara

yang bisa melaksanakan yurisdiksinya (atas pelaku) berdasarkan doktrin tradisional

(yurisdiksi teritorial); tidak ada negara yang mempunyai kepentingan langsung dan

yang ada hanyalah kepentingan masyarakat internasional untuk memaksakan

berlakunya.

Jadi melaksanakan yurisdiksi universal pada dasarnya tidak hanya meklaksanakan

yurisdiksi nasional negara tersebut akan tetapi sebagai wakil dari masyarakat

internasional, dengan kata lain suatu negara melaksanakan yurisdiksi universal sama

dengan melakukan tanggung jawab actio popularis terhadap orang-orang yang

  36  

merupakan musuh umat manusia (hostis humani generis).16 Pendapat yang senada

dengan itu juga dikemukakan oleh amnesty internasional tentang alasan penggunaan

prinsip yurisdiksi universal, yaitu:

1. Kegagalan Negara teritorial untuk melakukan tindakan. Hal ini bisa diisebabkan

oleh ketidakmampuan pengadilan setempat atau karena tidak tersedianya aturan-

aturan yang dapat dijadikan dasar hukum. Ketidakmampuan pengadilan bisa

karena ketidakmampuannya sendiri atau adanya intervensi pemerintah yang justru

tidak menginginkan pelaku dihukum.

2. Tidak adanya pengadilan pidana internasional dan pembatasan atas yurisdiksi

pengadilan tersebut. Pada saat ini, hambatan ini sudah diterobos dengan

pembentukan lnternational Criminal Court (ICC) tahun 1998. Akan tetapi masih

terdapat kendala dalam pelaksanaannya karena keterbatasan kewenangan ICC

dalam menghadapi berbagai tindakan kriminal internasional. Berdasarkan Pasal 4

ayat (2) Rome Statute 1998, ICC hanya daapat melaksanakan kewenangannya di

wilayah negara Para Pihak/State Parties atau di negara non-State parties

sepanjang ada perjanjian khusus. Kenyataannya tidak semua negara yang ada di

dunia ini sudah mengikatkan diri pada perjanjian tersebut di atas.

3. Terjadinya perubahan system peradilan di beberapa negara locus delicti. Dengan

dilaksanakannya prinsip yurisdiksi universal bisa merubah sistem peradilan di

negara tempat kejadian. Bahkan dengan terbukanya investigasi untuk kejahatan

internasional membuka kejahatan-kejahatan lainnya yang tadinya tidak terlihat

ataupun semakin banyak pelaku yang terungkap dengan adanya investigasi

tersebut.

                                                                                                                16 M.C. Bassiouni, 2001, Universal Jurisdiction For International Crimes: Historical Perspectives And Contemporary Practice, Virginia Journal of International Law, h. 96 URL :    https://books.google.co.id/books?id=9MD9CKtulRcC&pg=PA48&lpg=PA48&dq  

  37  

Penggunaan prinsip ini dapat dijadikan sebagai alat untuk mencegah para pelaku

(tersangka) kejahatan internasional untuk bepergian ke luar negeri karena

kemungkinan besar takut untuk ditangkap oleh negara lain. Kejahatan internasional

piracy tunduk pada yurisdiksi universal, tidak hanya berdasarkan kepada hukum

kebiasaan internasional, tapi juga sudah diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB

1982.

Dalam hukum internasional ada kejahatan yang merusak masyarakat internasional

harus dilarang oleh semua umat manusia, kejahatan demikian sering merusak norma-

norma jus cogens yaitu norma yang mempunyai kekuatan mengikat secara universal,

seperti norma tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan genocide. Dalam Pasal 53

disebutkan bahwa jus cogens dipandang sebagai peremptory norm yang kemudian

menimbulkan kewajiban bagi semua bangsa (obligation erga omnes)17, yang dalam

hal ini kewajiban untuk memberi sanksi kepada kejahatan tersebut di atas. Menurut

pendapat JH Marks adanya keterkaitan kepentingan negara secara keseluruhan dalam

penerapan yurisdiksi universal karena itu merupakan common interest rationale,

dalam hal ini suatu kejahatan internasional dalam suatu negara yang mempunyai

potensi untuk mendatangkan ancaman bagi negara lain mempunyai kepentingan untuk

mengadili pelakunya. Adapun kejahatan internasional dimaksud dalam konteks

common interest rationale ini misalnya seperti drug offences, piracy, hijacking,

hostage-taking, dan kejahatan terorisme lainnya.

Alasan common interest rationale tidak begitu mencukupi apabila yurisdiksi

universal diterapkan terhadap kejahatan internasional lainnya, seperti war crimes,

genocide, dan crimes against humanity, karena pelaku kejahatan internasional seperti

ini biasanya hanya melakukan satu kali pada satu peristiwa politik tertentu, sejarah,

                                                                                                                17 Konvensi Wina 1969

  38  

dan pada suatu daerah tertentu, sedangkan kejahatan yang atasnya diberlakukan

yurisdiksi universal berdasarkan common interest rationale, dapat terjadi berulang-

ulang dan mengakibatkan timbulnya akibat yang sangat besar bagi masyarakat

internasional. Yurisdiksi Universal melewati batas kedaulatan negara yang secara

historis memiliki basis yurisdiksi kriminal secara nasional. ada dua keadaan

(position) yang membenarkan hal tersebut yaitu:

1. normative universalist position yang mengakui eksistensi nilai-nilai utama yang

disebarkan oleh masyarakat internasional. Nilai ini dianggap cukup penting untuk

membenarkan menolak batasan teritorial dalam menerapkan yurisdiksi.

2. Keadaan pragmatis yang mengakui bahwa adanya kepentingan internasional yang

mensyaratkan penegakan mekanisme yang tidak terbatas pada kedaulatan nasonal.

Kedua keadan ini memiliki elemen umum, yaitu:

1. keduanya membutuhkan eksistensi nilai-nilai umum dan atau kepentingan yang

disebarkan masyarakat internasional, dan

2. harus ada kebutuhan akan pemrosesan hukum secara kolektif bagi pelanggaran

serius terhadap nilai/kepentingan tersebut.

3. harus ada asumsi bahwa perluasan yurisdiksi akan menentukan dan mencegah

kejahatan dan khususnya meningkatkan ketertiban, keadilan dan perdamaian

dunia.

Kedua keadaan tersebut diatas mempunyai tujuan memberikan yurisdiksi

universal untuk tiap negara atau semua negara berdaulat, termasuk badan

internasional tertentu, Suatu tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi universal

adalah tindak pidana yang berada di bawah yurisdiksi semua negara di mana pun

tindakan itu dilakukan. Karena umumnya diterima, tindakan yang bertentangan

dengan kepentingan masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai

  39  

delik jure gentium dan semua negara berhak untuk menangkap dan menghukum

pelaku-pelakunya. Jelas tujuan pemberian yurisdiksi universal tersebut adalah untuk

menjamin bahwa tidak ada tindak pidana semacam itu yang tidak dihukum.18

 

                                                                                                                18 J.G.Starke, edisi 10,op.cit. h.304