26
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN PENGANGKUT 2.1 Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional Tanggung jawab negara (state responsibility) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin para ahli hukum internasional. Tanggung jawab negara timbul bila terdapat pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan perjanjian internasional maupun berdasarkan pada kebiasaan internasional. 1 Di samping itu tanggung jawab negara (state responsibility) muncul sebagai akibat dari adanya prinsip persamaan dan kedaulatan negara (equality and sovereignty of state) yang terdapat dalam hukum internasional. 2 Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut suatu hak yaitu berupa perbaikan (reparation). 3 Meskipun suatu negara mempunyai kedaulatan atas dirinya, tidak lantas negara tersebut dapat menggunakan kedaulatannya tanpa menghormati kedaulatan negara-negara lain.Didalam hukum internasional telah diatur bahwa kedaulatan tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan itu sendiri, karena apabila suatu negara 1 Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo Gramedia WidiasaranaIndonesia, h. 28. 2 Hingorani, 1984, Modern International Law, Second Edition, Oceana Publications, h. 241. 3 Ibid.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN ... II.pdf · TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN PENGANGKUT 2.1 Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN

PENGANGKUT

2.1 Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional

Tanggung jawab negara (state responsibility) merupakan prinsip fundamental

dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin para ahli hukum

internasional. Tanggung jawab negara timbul bila terdapat pelanggaran atas suatu

kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan

perjanjian internasional maupun berdasarkan pada kebiasaan internasional.1

Di samping itu tanggung jawab negara (state responsibility) muncul sebagai

akibat dari adanya prinsip persamaan dan kedaulatan negara (equality and

sovereignty of state) yang terdapat dalam hukum internasional.2 Prinsip ini kemudian

memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut

suatu hak yaitu berupa perbaikan (reparation).3 Meskipun suatu negara mempunyai

kedaulatan atas dirinya, tidak lantas negara tersebut dapat menggunakan

kedaulatannya tanpa menghormati kedaulatan negara-negara lain.Didalam hukum

internasional telah diatur bahwa kedaulatan tersebut berkaitan dengan kewajiban

untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan itu sendiri, karena apabila suatu negara

1Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor

Leste dan Lainnya, Grasindo Gramedia WidiasaranaIndonesia, h. 28.

2 Hingorani, 1984, Modern International Law, Second Edition, Oceana Publications, h. 241.

3Ibid.

menyalahgunakan kedaulatannya, maka negara tersebut dapat dimintai suatu

pertanggungjawaban atas tindakan dan kelalaiannya.4

Istilah tanggung jawab negara hingga saat ini masih belum secara tegas

dinyatakan dan masih terus berkembang untuk menemukan konsepnya yang mapan

dan solid. Oleh karena masih dalam tahap perkembangan ini, maka sebagai

konsekuensinya, pembahasan terhadapnya pun dewasa ini masih sangat

membingungkan.5

Hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum internasional yang mapan

tentang tanggung jawab negara. Umumnya yang dapat dikemukakan oleh para ahli

hukum internasional dalam menganalisa tanggung jawab negara hanya baru pada

tahap mengemukakan syarat-syarat atau karakteristik dari pertanggungjawaban suatu

negara. Meskipun demikian para ahli hukum internasional telah banyak mengakui

bahwa tanggung jawab negara ini merupakan suatu prinsip yang fundamental dari

hukum internasional.6

Dalam hukum internasional dikenal 2 (dua) macam aturan yakni:7

4 Huala Adolf, 1991, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, CV Rajawali, Jakarta,

(selanjutnya disingkat Huala Adolf I), h. 174.

5Ibid.

6Ibid.

7 Sefriani,2010, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.

266.

- Primary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan hak dan

kewajiban negara yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan atau

instrumen lainnya; dan

- Secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan bagaimana

dan apa akibat hukum apabila primary rules tersebut dilanggar oleh suatu

negara.

Secondary rules inilah yang disebut sebagai hukum tanggung jawab negara (the

law of state responsibility).8

Pasal 1 Draft Articles International Law Comission 2001 menegaskan bahwa

setiap tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan suatu

tanggung jawab.9 Prinsip dalam rancangan pasal inilah yang dianut dengan teguh oleh

praktek negara dan keputusan-keputusan pengadilan serta telah menjadi doktrin

dalam hukum internasional.10

2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab Negara

Pengertian tanggung jawab negara jika merujuk pada Dictionary of Law adalah:

8 Ibid.

9 Martin Dixon, 2007, Textbook on International Law Sixth Edition, Oxford University Press,

New York, h. 244.

10

Huala Adolf I, op.cit, h. 176.

“Obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply

with a legal obligation under international law.”11

Dari rumusan tersebut tanggung jawab negara dapat diartikan sebagai

kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparation) yang timbul ketika suatu negara

melakukan kesalahan untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum

internasional. Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary hanya terdapat pengertian

tanggung jawab secara sempit yaitu answerability or accountability.12

Sugeng Istanto memberikan pengertian terhadap tanggung jawab negara dengan

menggunakan istilah pertanggungjawaban negara. Menurutnya pertanggungjawaban

negara adalah kewajiban negara memberikan jawaban yang merupakan perhitungan

atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian

yang mungkin ditimbulkan.13

Sebagaimana layaknya dalam sistem hukum nasional, dalam hukum

internasional juga dikenal adanya tanggung jawab sebagai akibat dari tidak

dipenuhinya kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional.14

Ada dua

pengertian dari pertanggungjawaban negara. Pertama yaitu pertanggungjawaban atas

11 ElizabethA.Martin ed., 2002, A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, h.

477.

12

Bryan A. Garner, 2014, Black’s Law Dictionary Edisi Kesepuluh, Claitors Pub Division, New

York, h. 211.

13

F. Sugeng Istanto, op.cit, h. 105.

14

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika

Aditama, Bandung, h. 193.

tindakan negara yang melanggar kewajiban internasionalnya. Kemudian yang kedua

yaitu pertanggungjawaban yang dimiliki oleh negara atas pelanggaran terhadap orang

asing.15

Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional pada dasarnya

dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa tidak ada negara manapun di dunia ini yang

dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap

pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut berkewajiban

untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya menurut hukum internasional.

Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa dalam sistem hukum di dunia,

dimana pelanggaran terhadap kewajiban yang mengikat secara hukum akan

menimbulkan tanggung jawab bagi pelanggarnya.16

Menurut Malcolm N. Shaw ada 3 (tiga) karakter esensial dari suatu

pertanggungjawaban negara, yakni:17

1. The existence of an international legal obligation in force as between two

particular states,

2. There has occured an act or omission which violates that obligation and

which is imputable to the state responsible; dan

3. That loss or damage has resulted from the unlawful act or ommission.

15Ibid.

16

Sefriani, op.cit.

17

Malcolm N. Shaw, 2008, International Law, 6th Edition, Cambridge University Press, New

York, (selanjutnya disingkat Malcolm N. Shaw II), h. 781.

Dari ketiga karakter pertanggungjawaban negara menurut Shaw di atas, terdapat

3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi suatu negara agar dapat dimintai

pertanggungjawabannya. Pertama, yaitu harus terdapat kewajiban internasional yang

mengikat pada negara yang akan dimintakan pertanggungjawabannya. Kedua, adanya

suatu perbuatan atau kelalaian yang mengakibatkan dilanggarnya suatu kewajiban

internasional suatu negara yang kemudian menimbulkan tanggung jawab bagi negara

tersebut. Terakhir adalah adanya kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan karena

perbuatan serta kelalaian yang dilakukan oleh negara tersebut. Jadi secara implisit

Shaw menyatakan bahwa negara yang hendak dimintai pertanggungjawabannya harus

memenuhi ketiga unsur di atas dan apabila salah satu dari unsur pertanggungjawaban

negara tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya.18

1.1.2 Munculnya Tanggung Jawab Negara

Pada hakikatnya, lahirnya tanggung jawab negara didasari oleh 2 (dua) teori,

yaitu teori risiko dan teori kesalahan. Kedua teori ini memiliki alur logika dan

argumentasinya masing-masing.

Teori risiko (risk theory)menentukan bahwa suatu negara mutlak bertanggung

jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan

(harmful effectsof hazardous activities) walaupun kegiatan tersebut merupakan

kegiatan yang mempunyai legalitas hukum. Teori ini kemudian melahirkan prinsip

18 Ibid.

tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab

objektif (objective responsibility).19

Contoh penerapan teori ini dapat dilihat pada

ketentuan Pasal 2 Liability Convention 1972 yang menyatakan bahwa negara

peluncur (launching state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi

untuk kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam

penerbangan yang mana kerugian dan kecelakaan tersebut ditimbulkan oleh benda

angkasa miliknya.

Berbeda dengan teori risiko, teori kesalahan (fault theory)menyatakan bahwa

tanggung jawab negara muncul pada saat perbuatan negara tersebut dapat dibuktikan

mengandung unsur kesalahan.20

Suatu perbuatan dikatakan mengandung kesalahan

apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja beritikad buruk atau dengan

kelalaian yang tidak dapat dibenarkan. Teori dan praktek hukum internasional dewasa

ini tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada perbuatan alat kelengkapan negara

yang bertentangan dengan hukum internasional yang dapat menimbulkan

pertanggungjawaban negara. Dalam hal ini negara menjadi bertanggung jawab tanpa

adanya keharusan bagi pihak yang menuntut pertanggungjawaban untuk

membuktikan adanya kesalahan pada negara tersebut.21

Teori kesalahan ini kemudian

19 Huala Adolf I, op.cit, h. 187.

20

Ibid.

21

F. Sugeng Istanto, op.cit, h. 111.

melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung

jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault).22

2.1.3 Elemen-elemen Tanggung Jawab Negara

Suatu perbuatan negara yang dapat dipersalahkan menurut hukum internasional

(internationally wrongful act of a state) secara otomatis akan melahirkan tanggung

jawab internasional bagi negara tersebut.23

Untuk itu menurut Draft Articles

International Law Comission 200124

(selanjutnya disebut Draft Articles ILC) sebagai

suatu instrumen hukum internasional kebiasaan yang mengatur tentang state

responsibility menentukan kapan perbuatan suatu negara dapat dikatakan salah.

Merujuk Pasal 1 dan 2 Draft Articles ILC perbuatan suatu negara dapat dipersalahkan

menurut hukum internasional apabila pertama ketika perbuatan tersebut dapat

diatribusikan pada negara tersebut (attribution of conduct to a state) dan kedua ketika

perbuatan negara tersebut telah melanggar kewajiban internasionalnya (breach of an

international obligation).25

Namun Draft Articles ILC tidak memberi pembatasan

kapan suatu negara dikatakan melakukan suatu pelanggaran hukum internasional.

Sehingga dalam praktiknya, hal tersebut ditentukan melalui penerapan sumber-

sumber hukum internasional primer lainnya.

22 Huala Adolf I, loc.cit.

23

I Dewa Gede Palguna, loc.cit.

24

Nama Resmi dari draft ini adalah Draft Articles on Responsibility of States for Internationally

Wrongful Acts 2001.

25

Malcolm D. Evans, 2006, International Law, Second Edition, Oxford University Press, New

York, h. 459.

a. Perbuatan yang diatribusikan kepada suatu negara (attribution of conduct to a

state)

Secara umum, ketentuan yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa

hanya perbuatan organ negara, pemerintah dan/atau pejabatnya (orang maupun

entitas yang bertindak berdasarkan perintah/arahan, anjuran, atau pengawasan

organ-organ itu) yang dapat diatribusikan kepada negara. Organ-organ itu

mencakup organ-organ pemerintahan nasional, daerah, maupun lokal dan

orang-orang maupun entitas dalam tingkatan apapun, ataupun setiap orang

maupun entitas yang menyandang status sebagai organ pemerintahan

berdasarkan hukum nasional suatu negara. Di samping itu juga termasuk di

dalamnya orang-orang yang secara nyata bertindak sebagai organ pemerintahan

meskipun mereka tidak diklasifikasikan demikian oleh hukum nasional negara

yang bersangkutan.26

b. Pelanggaran suatu kewajiban internasional(breach of an international

obligation)

Sekalipun suatu perbuatan dapat diatribusikan kepada suatu negara,

untuk melahirkan adanya tanggung jawab negara, perbuatan itu harus

dibuktikan merupakan pelanggaran suatu kewajiban internasional negara yang

bersangkutan. Untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran suatu kewajiban

internasional, Artikel menentukan bahwa hal itu harus ditentukan secara kasus

26 Ibid, h. 460.

demi kasus.27

Sementara itu ditentukan pula bahwa perbuatan suatu negara

tidak dianggap melanggar kewajiban internasional jika perbuatan itu terjadi

sebelum terikatnya negara tersebut oleh suatu kewajiban internasional.28

2.1.4 Jenis-jenis Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional

Secara garis besar tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:29

a. Tanggung jawab karena perbuatan melawan hukum (delictual liability)

Tanggung jawab seperti ini dapat lahir dari setiap kesalahan atau

kelalaian suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayahnya atau

wilayah negara lain. Beberapa hal yang dapat menimbulkan tanggung jawab

negara dalam hal ini adalah:

- Eksplorasi ruang angkasa

Negara peluncur satelit selalu bertanggung jawab terhadap setiap

kerugian yang disebabkan oleh satelit tersebut kepada benda-benda

(obyek) di wilayah negara lain. Pemberlakuan prinsip tanggung jawub

dari perbuatan ini adalah tanggung jawab absolut. Ketentuan hukum yang

mengatur tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan peluncuran satelit

(benda-benda ruang angkasa) ini diatur dalam Liability Convention 1972.

- Eksplorasi nuklir

27 Ibid, h. 466.

28

Ibid.

29

Huala Adolf I, op.cit, h. 180-181.

Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang

disebabkan karena kegiatan-kegiatan dalam bidang eksplorasi nuklir.

Prinsip tanggung jawab dalam kegiatan ini juga menggunakan prinsip

tanggung jawab absolut. Dalam hal ini, tidaklah penting apakah suatu

negara sebelumnya telah melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Sama

halnya dengan kegiatan eksploitasi ruang angkasa, yang menjadi latar

belakang digunakannya prinsip tanggung jawab absolut yaitu karena

kegiatan-kegiatan ini mengandung risiko berbahaya yang sangat tinggi (a

highly hazardous activity).

- Kegiatan-kegiatan lintas batas nasional

Setiap negara berkewajiban mengatur dan mengawasi setiap

kegiatan yang terjadi di dalam wilayahnya baik yang sifatnya publik

maupun perdata, di mana kegiatan-kegiatan tersebut dapat melintasi batas

negaranya dan menimbulkan kerugian terhadap negara lain. Prinsip

tanggung jawab yang berlaku pada kegiatan ini tergantung pada bentuk

kegiatan yang bersangkutan. Jika kerugiannya bersifat bahaya, maka

prinsip tanggung jawab yang digunakan ialah prinsip tanggung jawab

mutlak. Namun apabila kegiatan-kegiatan tersebut bersifat biasa maka

tanggung jawab negara bergantung pada kelalaian atau maksud dari

tindakan tersebut.30

b. Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian (contractual liability)

30 Hingorani, loc.cit.

Suatu negara juga dapat bertanggung jawab atas pelanggaran

perjanjian menurut hukum internasional. Tanggung jawab seperti ini dapat

terjadi terhadap suatu negara manakala negara tersebut melanggar suatu

perjanjian atau kontrak.

Negara yang memiliki tanggung jawab karena melakukan kesalahan menurut

hukum internasional berkewajiban untuk melakukan perbaikan (reparation) secara

penuh atas kerugian material maupun moral yang diakibatkan oleh perbuatannya.

Menurut Pasal 34 Draft Articles ILC, bentuk atau jenis perbaikan (reparation) itu

mencakup restitusi (restitution), kompensasi (compensation), dan pemenuhan

(satisfication).

Artikel telah memberikan pengertian pada masing-masing jenis perbaikan oleh

negara di atas. Pasal 35 Draft Articles ILC menyatakan bahwa restitusi adalah

tindakan untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya pelanggaran

sepanjang hal itu secara material tidak mustahil dilakukan atau sepanjang tidak

merupakan suatu beban yang tidak proporsional. Selanjutnya kompensasi merupakan

tanggung jawab negara untuk memberikan kompensasi atas kerugian yang

disebabkan oleh perbuatannya, yang dipersalahkan menurut hukum internasional

sepanjang hal itu tidak menyangkut hal-hal yang telah dilakukan secara baik melalui

restitusi.31

Sementara itu, menyangkut soal pemenuhan (satisfaction), Artikel

menentukan bahwa hal itu dilakukan sepanjang restitusi atau kompensasi tidak

31 Lihat Pasal 36 Draft Articles ILC.

berlangsung baik atau tidak memuaskan. Pemenuhan dapat berupa pengakuan telah

melakukan pelanggaran, pernyataan menyesal, atau permohonan maaf secara formal

atau sarana-sarana lain yang dipandang tepat.32

2.1.5 Pembebasan Negara dari Kewajiban Bertanggung Jawab dalam Hukum

Internasional

Dalam keadaan-keadaan tertentu, suatu pelanggaran terhadap perjanjian atau

suatu kewajiban internasional tidak mengakibatkan negara tersebut bertanggung

jawab terhadap perbuatannya. Secara umum keadaan-keadaan yang dimaksud adalah:

a. Tindakan tersebut dilakukan dengan persetujuan negara yang dirugikan.

Contoh yang umum tentang hal ini adalah pengiriman tentara ke negara lain

atas permintaannya.33

b. Diterapkannya sanksi-sanksi yang sah menurut Pasal 30 Draft Articles ILC.

Pasal ini menentukan bahwa suatu tindakan pelanggaran dikesampingkan

manakala tindakan itu dilakukan sebagai suatu upaya yang sah menurut

hukum internasional sebagai akibat adanya pelanggaran internasional yang

dilakukan oleh negara lainnya.34

c. Keadaan memaksa (force majeure). Force majeure telah lama diterima

sebagai alasan pembebasan tanggung jawab negara untuk tidak

32 Pasal 37 Draft Articles ILC.

33

Huala Adolf I, op.cit, h. 185.

34

Ibid.

melaksanakan kewajian suatu perjanjian internasional. Pasal 31 Draft

Articles ILC menentukan bahwa kesalahan negara dapat dihindari apabila

tindakan itu disebabkan karena adanya kekuatan yang tak dapat dihindari

atau karena adanya kejadian yang tidak dapat diduga sebelumnya

(unpredictable) atau secara materil tidak mungkin bagi negara yang

bersangkutan untuk memenuhi kewajiban internasional tersebut.35

d. Tindakan yang sangat diperlukan (state of necessity). Pasal 33 Draft Articles

ILC mengatur tentang tindakan yang sangat diperlukan yaitu suatu tindakan

yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan

negara terhadap bahaya yang sangat besar, sepanjang kepentingan negara

lain yang terkait tidak terancam oleh tindakan negara tersebut.36

e. Tindakan membela diri (self defense). Negara dapat juga dibebaskan dari

tanggung jawab atas perbuatan yang tidak sah apabila tindakan tersebut

dilakukan untuk membela diri.37

2.2 Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara

Internasional

2.2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Tanggung Jawab Pengangkut

35 Ibid.

36

Malcolm N. Shaw, 1986, International Law, Second Edition, Buttherworths, h. 419.

37

Ibid.

Secara etimologi pengangkutan berasal dari kata „angkut‟ yang berarti bawa,

angkut, muat dan kirimkan, memuat dan membawa atau mengirimkan. Berarti

pengangkutan mempunyai arti pembawaan, pemuatan dan/atau pengiriman barang

atau orang.38

Menurut Purwosutjipto, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara

pengangkut dan pengirim/penumpang, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat

tujuan dengan selamat, sedangkan pengirim/penumpang mengikatkan diri untuk

membayar sejumlah uang sebagai biaya angkutan.39

Kemudian Hasim Purba

menambahkan bahwa pengangkutan adalah upaya pemindahan orang dan/atau barang

dari suatu tempat ke tempat lain dengan alat angkutan, baik angkutan darat, angkutan

perairan maupun angkutan udara.40

Jadi secara umum yang dimaksud dengan pengangkutan adalah suatu kegiatan

memindahkan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan

menggunakan alat angkutan, dimana terdapat hubungan timbal balik yang

menimbulkan hak serta kewajiban antara pihak pengangkut dan pengirim atau

penumpang. Pihak pengangkut mempunyai kewajiban untuk mengirim barang

dan/atau orang ke tempat dengan selamat dan setelahnya mendapatkan hak berupa

38Abdulkadir Muhammad, 1991, Hukum Pengangkutan Darat Laut dan Udara, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, h. 19.

39

HMN. Purwosutjipto, loc.cit.

40

Hasim Purba, 2005, Hukum Pengangkutan di Laut: Perspektif Teori dan Praktek, Pustaka

Bangsa Press, Medan, h. 5.

biaya angkut. Sedangkan pengirim atau penumpang mempunyai kewajiban untuk

membayar biaya angkut yang selanjutnya mendapatkan hak untuk diangkut dengan

selamat ke tempat tujuan.

Secara umum tanggung jawab pengangkut dapat diartikan sebagai kewajiban

perusahaan angkutan untuk mengganti kerugian yang diderita penumpang atau

pengirim barang serta pihak ketiga.41

Adapun yang menjadi ruang lingkup terkait

tanggung jawab pengangkut, yaitu42

:

1. Pada saat kapan pengangkut bertanggung jawab terhadap barang atau

penumpang. Ketentuan ini berkaitan dengan penentuan dapat atau tidaknya

pengangkut bertanggung jawab bilamana terjadi kecelakaan atau

keterlambatan yang menimbulkan kerugian pada penumpang atau barang.

2. Kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh suatu kecelakaan. Ketentuan

ini membahas mengenai kerugian atau kerusakan yang seperti apa yang

dapat membuat pihak pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap

kecelakaan atau kerusakan yang diderita penumpang atau barang.

3. Batas tanggung jawab pengangkut. Pembatasan tanggung jawab pengangkut

didasari oleh pemikiran yaitu merupakan salah bentuk perlindungan terhadap

perusahaan pengangkut yang masih dalam taraf berkembang atau secara

finansial masih sangat lemah, kesadaran penumpang dan kargo bahwa setiap

41 Ibid, h. 18.

42

Ibid.

setiap kegiatan pengangkutan pasti akan menimbulkan risiko, serta untuk

menghindari proses berperkara di Pengadilan yang berkepanjangan.

2.2.2 Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum

Pengangkutan Udara Internasional

Titik sentral setiap pembahasan mengenai tanggung jawab pengangkut pada

umumnya adalah mengenai prinsip tanggung jawab (liability principle) yang

diterapkan. Penggunaan suatu prinsip tanggung jawab tertentu bergantung pada

keadaan tertentu, baik ditinjau dari perkembangan masyarakat maupun perkembangan

dunia angkutan yang bersangkutan, baik darat, laut atau udara.43

Mengenai teori

tanggung jawab pengangkut, dikenal 3 (tiga) macam prinsip, yakni:

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability

atau liability based on fault principle)

Dilihat dari sejarah perkembangannya, prinsip tanggung jawab

berdasarkan kepada unsur kesalahan (liability based on fault) merupakan reaksi

terhadap prinsip atau teori tanggung jawab mutlak (strict liability) yang berlaku

pada jaman primitif. Namun seiring dengan perkembangan jaman, hukum mulai

menaruh perhatian lebih besar pada hal-hal yang besifat pemberian maaf

(exculpatory considerations) dan sebagai akibat moral philosophy dari ajaran

agama yang cenderung mengarah pada pengakuan kesalahan moral (moral

43 E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 19.

culpability) sebagai dasar yang tepat untuk perbuatan melawan hukum.44

Di

samping ajaran moral ini, faktor lain yang juga penting dalam proses sikap ini

adalah adanya anggapan masyarakat bahwa kerugian sebagai akibat dari suatu

kelalaian (negligence) tidak berarti kurang penting daripada kerugian akibat

dari suatu kesengajaan.45

Adapun yang termasuk dalam pengertian kesalahan

adalah baik perbuatan yang disengaja maupun kelalaian. Kahn Freund yang

pendapatnya dikutip oleh Saefullah Wiradipradja memberikan definisi umum

mengenai kesalahan sebagai berikut:

“Negligence means omission to do something which in the

circumstances a reasonable and careful man would do, or the doing of

something which in the circumstances a reasonable or careful man

would not do.” 46

Menurut sejarahnya, prinsip tanggung jawab yang didasarkan pada unsur

kesalahan mulanya dikenal dalam kebudayaan kuno dari Babylonia yang

kemudian dalam bentuknya yang lebih modern, prinsip ini dikenal dalam tahap

awal dari hukum Romawi termasuk di dalamnya doktrin mengenai „culpa‟.

Prinsip ini kemudian menjadi hukum di negeri Belanda yang dituangkan dalam

Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek (BW) atau Pasal 1365 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata Indonesia yang dikenal dengan sebutan pasal perbuatan

44 Ibid, h. 20-21.

45

Ibid.

46

Ibid h. 23.

melawan hukum atau pasal mengenai tanggung jawab berdasarkan atas

kesalahan.47

J.G. Fleming berpendapat bahwa konsep modern tentang tanggung jawab

keperdataan (civil liability) secara umum menyatakan bahwa unsur kesalahan

pada seseorang yang menyebabkan timbulnya kerugian pada orang lain

merupakan syarat mutlak bagi adanya perbuatan melawan hukum. Prinsip

bahwa tiada tanggung jawab tanpa kesalahan (no liability without fault)

menjadi dogma yang berlaku umum.48

b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of

liability principle)

Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga ini pertama diterapkan

pada Konvensi Warsawa 1929 untuk pengangkutan udara internasional dan

Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 bagi pengangkutan udara domestik.

Perbedaan yang utama antara prinsip tanggung jawab ini dengan prinsip

tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan adalah bahwa pada prinsip

tanggung jawab ini beban pembuktian beralih dari korban (penggugat) kepada

pengangkut (tergugat).49

47 M.A. Moegni Djojodihardjo, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h.

27.

48

E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 24.

49

Ibid, h. 30.

Berdasarkan prinsip presumption of liability yang diterapkan dalam

Konvensi Warsawa dan Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut

adalah prima facie bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban

kecuali ia dapat membuktikan bahwa pihaknya telah mengambil semua

tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian tersebut. Jadi, pihak

penggugat atau korban dapat mengajukan tuntutan untuk memperoleh santunan

tanpa harus membuktikan adanya kesalahan pada pihak pengangkut. Satu-

satunya cara kewajiban yang harus ia (korban/penggugat) lakukan adalah

menunjukkan bahwa kecelakaan atau kejadian yang menyebabkan kerugian

tersebut terjadi di dalam pesawat udara atau selama embarkasi atau

disembarkasi.50

Dengan demikian, yang dimaksud bahwa tanggung jawab

pengangkut berdasarkan pada praduga yaitu tanggung jawab pengangkut

tersebut dapat dihindarkan sepanjang pengangkut dapat membuktikan bahwa

pihaknya tidak bersalah (absence of fault).

c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, absolute/strict liability

principle)

Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability without

fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan istilah absolute liability

atau strict liability. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak dimaksudkan agar

meniadakan keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu

50 Ibid.

perbuatan. Atau dengan kata lain, suatu prinsip tanggung jawab yang

memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk

dipermasalahkan.51

Prinsip tanggung jawab mutlak telah diterapkan dalam ketentuan-

ketentuan hukum pengangkutan udara internasional dewasa ini seperti Roma

Convention 1952 (kemudian diubah dengan Protocol Montreal 1978), Montreal

Agreement 1966, Protocol Guatemala City 1971 dan dalam Protocol Montreal

No. 4 1975. Adapun beberapa alasan untuk memberlakukan prinsip tanggung

jawab mutlak dalam hukum pengangkutan udara antara lain:52

- Ketidaksesuaian protective philosophy bagi pengangkut dan pesatnya

kemajuan teknologi penerbangan yang membuat kemungkinan timbulnya

kecelakaan berkurang dibandingkan 50 – 60 tahun yang lalu;

- Sebagai kompensasi atas penyelenggaraan kegiatan yang sangat berbahaya

dan dapat mengancam keselamatan orang lain;

- Sebagai pertimbangan terhadap nilai-nilai sosial secara luas (a broad social

value-judgement) yang mana apabila seseorang melakukan kegiatan untuk

memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri harus menanggung risiko

akibat dari kegiatan tersebut;

- Menjamin para korban untuk memperoleh santunan dan proses

pembayarannya tidak akan berlarut-larut; dan

51 Ibid, h. 35.

52

Ibid, h. 204.

- Pelaksanaan prinsip tanggung jawab mutlak dengan disertai pembatasan

tanggung jawab yang tidak dapat dilampaui dalam keadaan apapun

(unbreakable limit) serta sistem asuransi wajib, sebenarnya cukup

memberikan perlindungan terhadap pengangkut.

2.2.3 Unsur-unsur Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan

Udara Internasional

Merujuk Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929, untuk menyatakan bahwa

pengangkut mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab haruslah memenuhi 3

(unsur) yaitu:

a. Accident

Agar suatu kejadian dapat dikualifikasikan sebagai accident dalam

pengertian Pasal 17 Konvensi, kejadian dalam pesawat udara yang

menimbulkan kerugian tersebut harus merupakan kejadian yang luar biasa

(unusual) atau tidak dapat diperkirakan sebelumnya (unexpected).53

Lebih

lanjut menurut Mankiewicz, beberapa kejadian yang dapat dikualifikasikan

ke dalam suatu accident menurut ketentuan Pasal 17 tersebut antara lain

penguasaan pesawat secara tidak sah (hijacking) dan sabotase, kerusakan

tekanan udara pesawat, keadaan cuaca buruk dan badai, suatu serangan oleh

pesawat udara militer, kegaduhan, kepanikan dan kekacauan

53 Otto Kahn Freund, loc.cit.

(pandemonium) akibat dari suatu pendaratan darurat, serta pendaratan

pesawat terlalu cepat yang disertai kegagalan menjaga keseimbangan

tekanan udara di dalam kabin.54

b. On board the aircraft

Konvensi Warsawa 1929 tidak memberikan definisi tentang apa yang

dimaksud dengan „on board the aircraft‟, sehingga dalam upaya mencari

definisinya dalam perkara yang telah ada menimbulkan berbagai macam

pengertian. Menurut Saefullah Wiradipradja, dari segi yuridis pengertian di

dalam pesawat udara tidaklah semata-mata saat penumpang secara fisik

berada di dalam penumpang tapi termasuk pada saat penumpang berada

(secara fisik) di luar pesawat yang disebabkan karena keadaan pesawat yang

tidak normal. Artinya keberadaan penumpang di luar pesawat tersebut bukan

karena berakhirnya perjalanan sebagaimana yang disebut dalam perjanjian

angkutan. Sehingga apabila penumpang tersebut menderita kerugian atau

kecelakaan selama di luar pesawat yang disebabkan oleh suatu keadaan yang

tidak normal dari pesawat, maka pengangkut tetap harus bertanggung

jawab.55

c. Embarking or disembarking

54 E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 59.

55

Ibid, h.62-65.

Sama seperti 2 (dua) syarat sebelumnya, Konvensi Warsawa tidak

memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan embarkasi („naik

ke‟) atau disembarkasi („turun dari‟). Lureau berpendapat bahwa yang

dimaksud dengan embarkasi dimulai sejak penumpang meninggalkan

gedung pelabuhan udara dalam rangka menuju landasan pacu (run way) dan

embarkasi berakhir pada waktu penumpang memasuki gedung pelabuhan

udara di tempat tujuan.56

Kemudian menurut Kahn Freund, bahwa pengertian

menuju ke pesawat (operation of embarking) adalah pada saat seseorang

berada di bawah tanggung jawab pengangkut, misalnya ketika ia dipanggil

untuk boarding dan berada di bawah instruksi para pegawai perusahaan

penerbangan dan yang dimaksud dengan meninggalkan pesawat (operation

of disembarking) berakhir ketika penumpang tersebut tiba di ruang tunggu

pelabuhan udara tempat tujuan.57

Selanjutnya Mankiewcz mencatat bahwa

beberapa pengadilan di Amerika Serikat dan di negara-negara lainnya

bahkan melangkah lebih jauh lagi, yaitu menyatakan bahwa proses

embarkasi dimulai sejak check in dan proses disembarkasi berakhir setelah

penumpang mengambil bagasinya (registered luggage).58

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa embarkasi

dan disembarkasi berlangsung pada saat segala kegiatan yang telah

56 Ibid, h. 66.

57

Otto Kahn Freund, op.cit, h. 715-716.

58

E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 69.

ditetapkan oleh pengangkut (berdasarkan instruksi dan di bawah pengawasan

pengangkut) baik sebelum „naik ke‟ atau sesudah „turun dari‟ pesawat

udara.59

2.2.4 Pembebasan Pengangkut dari Kewajiban Bertanggung Jawab dalam

Hukum Pengangkutan Udara Internasional

Berdasarkan Konvensi Warsawa 1929 atau Konvensi Warsawa-Hague

memberikan beberapa kemungkinan kepada pengangkut untuk membebaskan diri

dari tanggung jawabnya.

a. Pertama, Pasal 20 (1) Konvensi menyatakan sebagai berikut:

“The carrier is not liable if he proves that he and his agents have taken

all necessary measures to avoid the damage or that it was impossible for

him or them to take such measures.”

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, pengangkut dapat bebas dari kewajiban

bertanggung jawab apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa pihaknya

telah mengambil semua tindakan yang perlu (all necessary measures) untuk

menghindarkan kerugian.

b. Kedua, Pasal 21 Konvensi menyatakan sebagai berikut:

“If the carrier proves that the damage was caused by or contributedto by

the negligence of the injured person the Court may, in accordance with

59 Ibid, h. 72.

the provisions of its own law, exonerate the carrier wholly or partly from

his liability”

Pasal ini memberikan pembebasan pengangkut untuk bertanggung jawab

baik sebagian atau seluruhnya apabila pihak pengangkut dapat membuktikan

bahwa kerugian yang terjadi disebabkan atau turut disebabkan oleh pihak

korban sendiri (contributory negligence).

c. Ketiga, Pasal 29 Konvensi juga menyatakan bahwa pengangkut dapat

dibebaskan dari kewajiban membayar santunan jika gugatan (claim)

diajukan setelah dua tahun sejak tanggal kedatangan di tempat tujuan atau

sejak tanggal kedatangan di tempat tujuan atau sejak pesawat seharusnya

tiba.