22
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS 2.1 Efektivitas Hukum Kesadaran hukum dan ketaatan hukum merupakan dua hal yang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan perundang-undangan atau aturan hukum dalam masyarakat. 1 Menurut Krabbe bahwa kesadaran hukum sebenarnya merupkan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Pernyataan tersebut sudah cukup menjelaskan apa yang dimaskud dengan kesadara hukum, tetapi akan lebih lengkap lagi jika ditambahkan unsur nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. 2 Ketaatan hukum sendiri masih dapat dibedakan kualitasnya dalam tiga jenis, seperti yang dikemukakkan oleh H.C Kelmen, yaitu: 3 1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut sanksi. 1 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009, h.375 2 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, Yarsif watampone, 1998, h.191 3 Ibid, h.193

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS … II.pdf · sehingga dampak positf atau negatif terletak ... Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak ... keadaan di

  • Upload
    lamcong

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN

GELANDANGAN DAN PENGEMIS

2.1 Efektivitas Hukum

Kesadaran hukum dan ketaatan hukum merupakan dua hal yang sangat

menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan perundang-undangan atau aturan

hukum dalam masyarakat.1 Menurut Krabbe bahwa kesadaran hukum sebenarnya

merupkan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang

hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Pernyataan tersebut

sudah cukup menjelaskan apa yang dimaskud dengan kesadara hukum, tetapi

akan lebih lengkap lagi jika ditambahkan unsur nilai-nilai masyarakat tentang

fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat.2

Ketaatan hukum sendiri masih dapat dibedakan kualitasnya dalam tiga

jenis, seperti yang dikemukakkan oleh H.C Kelmen, yaitu:3

1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap

suatu aturan hanya karena takut sanksi.

1 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence),

Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009, h.375

2 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, Yarsif watampone, 1998,

h.191

3 Ibid, h.193

2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang taatterhadap

suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang

menjadi rusak.

3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang taat

terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan itu sesuai

dengn nili-nilai intrisik yang dianutnya

Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan empat kesadaran hukum, yaitu :4

a. Pengetauhuan tentang hukum;

b. Pengetahuan tentang isi hukum;

c. Sikap hukum;

d. Pola Perilaku hukum.

2.1.1 Pengertian Efektivitas Hukum

Efektivitas hukum berarti bahwa orang benar - benar berbuat sesuai

dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa

norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi. Secara etimologi kata

efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti efeknya (akibatnya,

pngaruhnya, kesanya); manjur atau mujarab(tentang obat); dapat membawa

4 Ibid, h.194

hasil; berhasil guna (tentang usaha atau tindakan); hal mulai berlakunya

(tentang undang-undang peraturan).5

Efektivitas adalah perbandingan positif antara hasil yang dicapai

dengan masukan yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan tepat

waktunya untuk mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan.6 Sedangkan

menurut Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa suatau keadaan hukum

tidak berhasil atau gagal mecapai tujuannya biasanya diatur pada pengaruh

keberhasilannya untuk mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu, sehingga

yang mencapai tujuan disebutnya positif, sedangkan yang menjauhi tujuan

dikatakan negatif.7

Adapun kriteria mengenai pencapaian tujuan secara efektif atau tidak

antara lain:8

1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai;

2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan;

3. Kejelasan analisa dan perumusan kebijaksanaan yang mantap;

5Soerjono soekanto, loc.cit, h.9

6Sondang Siagi, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1991, h.71

7Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja Karya, Bandung, 1985,h.7

8Sondang Siagi, Op.Cit,h.77

4. Perencanaan yang mantap;

5. Penyusunan program yang mantap;

6. Tersedianya sarana dan prasarana;

7. Pelaksanaan yang secara efektif dan efisien;

8. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat medidik.

Dalam kamus ilmiah populer, istilah efektivitas diartikan sebagai

ketepatgunaan, hasil guna, menunjang tujuan.9 Ini berarti bahwa kata

efektivitas digunakan untuk menentukan apakah sesuatu yang digunakan

sudah tepat penggunaanya dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Berikut ini merupakan definisi efektivitas menurut beberapa ahli:10

1. Hidayat:

“Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

(kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana semakin besar

presentase target yang dicapa, makin tinggi efektivitasnya”.

2. Schemerhon John R. Jr :

“Efektivitas adalah pnecapaian target output yang diukur dengan cara

membandingkn output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output

realisasi atau sesungguhnya (disebut efektif)”.

9 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arloka, Surabaya, 1994

10

http:// dansite.wordpress.com/pengertan-efektivitas/,diakses pada tanggal 9 September 2015

3. Prasetya Budi Saksono:

“Efektivitas adalah seberapa besar ingkat kelekatan output yang dicapai

dengan output yang diharapkan dari jumlah input”.

Berdasarkan pada pendapat para ahli diatas, bisa disimpulkan bahwa

konsep efektivitas merupakan konsep yang bersifat multidimensional, yang

artinya bahwa dalam mendefenisikan efektivitas berbeda-beda sesuai dengan

dasar ilmu yag dimiliki walaupun tujuan akhir dari efektivitas adalah selalu

sama yaitu pencapaian tujuan.

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi hukum

Pada umumnya, faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu

perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran

wewenang dan fungsi dari penegak hukum, baik didalam menjalankan tugas

yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan

perundang-undangan tersebut. Menurut Soerjono Seokanto bahwa masalah

pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin

mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral

sehingga dampak positf atau negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut,

adalah sebagai berikut:11

11

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta; PT Raja

Grafindo Persada, 2011, h.8-9

1. Faktor hukumnya sendiri, yag didalamnya dibatasi pada undang-

undang saja;

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukm;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

ddasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup;

Kelima faktor tersebut saling berkaitan denga eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok

ukur dari pada efektivitas penegak hukum.

Harus diakui pula bahwa banyak anggota masyarakat yang masih

sering melakukan hal-hal bertentangan dengan ketentuan yang berlaku,

contohnya yaitu mempengaruhi aparatur hukum secara negatif dan

bertentangan dengan ketentuan yang berlaku pada proses penegakan hukum

yang bersangkutan, yang ditujukan kepada diri pribadi, keluarga atau

anak/kelompoknya.12

12

Soerjono Soekanto, Kejahtan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Cipta, 1966, hlm.1

2.2 Gelandangan dan Pengemis

Gelandangan dan pengemis adalah wujud dari wajah kemiskinan di

perkotaan dan juga pedesaan. Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar

miskin diberi arti “tidak berharta benda”.13

Menurut Friedman (1979) kemiskinan

adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Sementara

yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman meliputi: Pertama,

modal produktif atas asset, misalnya tanah perumahan, peralatan, dan kesehatan.

Kedua, sumber keuangan, seperti income dan kredit yang memadai. Ketiga,

organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan

bersama, seperti koperasi. Keempat, network atau jaringan sosial untuk

memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengethuan dan keterampilan yang

memadai. Kelima, informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan.

Dengan melihat banyaknya ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan

seseorang atau sekelompok orang untuk disebut miskin atau tidak miskin, maka

umumnya para ahli akan merasa kesulitan dalam mengklasifikasikan masyarakat

masyarakat menurut garis kemiskinan. Namun, dari berbagai studi yang ada, pada

dasarnya ada beberapa ciri dari kemiskinan, yaitu :14

13 Poerwadarminta, 1996, h.322

14

Bagong Suyanto, op.cit, h.5

1. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan pada umumnya tidak

memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup modal

ataupun keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki umumnya

sedikit, sehingga kemampuan untuk memperoleh pendapatan menjadi

sangat terbatas.

2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk

memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan yang

diperoleh tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun

modal usaha. Sementara mereka pun tidak memiliki syarat untuk

terpenuhinya kredit dan lain-lain, yang mengakibatkan mereka

berpaling ke lintah darat yang biasanya untuk pelunasannya meminta

syarat-syarat berat dan bunga yang amat tinggi.

3. Tingkat pendidikan golongan miskin umumnya rendah, tidak sampai

tamat Sekolah dasar. Waktu mereka umumnya habis tersita untuk

mencari nafkah sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar. Demikian

juga dengan anak-anak mereka, tak dapat menyelesaikan sekolah oleh

karena harus membantu orang tua mencari nafkah tambahan.

4. Banyak diantara mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan tidak

mempunyai tanah garapan, atau kalaupun ada relatif kecil sekali. Pada

umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar

pertanian. Tetapi, karena bekerja di pertanian berdasarkan musiman,

maka kesinambungan pekerjaan mereka menjadi kurang terjamin.

Banyak diantara mereka lalu menjadi pekerja bebas (self employed)

yang berusaha apa saja. Akibat di dalam situasi penawaran tenaga

kerja yang besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga

mengurung mereka selalu hidup dibawah garis kemiskinan. Didorong

oleh kesulitan hidup di desa, maka banyak di antara mereka mencoba

berusaha ke kota (urbanisasi) untuk mengadu nasib.

5. Banyak di antara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan

tidak mempunyai keterampilan atau skill dan pendidikan. Sedangkan

kota sendiri terutama di Negara berkembang tidak siap menampung

gerak urbanisasi penduduk desa tersebut. Apabila di Negara maju

pertumbuhan industri menyertai urbanisasi dan pertumbuhan kota,

maka proses penyerapan tenaga kerja dalam perkembangan industri.

Bahkan sebaliknya, perkembangan teknologi di kota-kota Negara

sedang berkembang justru menampik penyerapan tenaga kerja

sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota terdampar dalam

kantong-kantong kemelaratan (slumps).

Dari kemiskinan tersebut membuat sebagian masyarakat miskin

menjadi terpinggirkan, sehingga ia akan melakukan apa saja untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dengan cara meminta-minta

serta mengharap belas kasihan orang lain. Gelandangan dan pengemis

(gepeng) merupakan fenomena kemiskinan sosial, ekonomi dan budaya

yang dialami oleh sebagian masyarakat kota maupun masyarakat

pedesaan. Dari hal tersebut banyak orang menempatkan mereka pada

lapisan sosial yang paling rendah.

2.2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis

Kemiskinan sesungguhnya adalah masalah sosial yang jauh lebih

kompleks dari sekedar persoalan kekurangan pendapatan atau tidak

dimilikinya aset produksi untuk melangsungkan kehidupan.15

Keberhasilan

percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan

pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa kota yang

antara lain memunculkan gelandangan dan pengemis karena sulitnya

pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan pedesaan.16

Dampak

positif dan negatif tampaknya sulit untuk dihindari dalam pembangunan,

sehingga selalu diperlukan usaha untuk lebih mengembangkan dampak positif

pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya.

Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak negatif

pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan.17

15Bagong Suyanto, loc.cit

16

Faisal, Samapiah, 1999, Format-format penelitian Sosial, Jakarta : PT. Radja Grafindo Perkasa,

h.32.

17

Anak Jalanan Perempuan, Jurnal Perempuan 55, h.40

Menurut Departemen Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orang-

orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan

yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal

dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat

umum. “Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari

meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan

belas kasihan dari orang.18

Selain itu dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980

menyebutkan bahwa gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam

keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat

setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap

serta hidup mengembara ditempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-

orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum

denga berbagai cara dan alasan untuk mengaharap belas kasihan.

2.2.2 Faktor Penyebab dan Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis

(Gepeng)

Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan bagian dari gejala

sosial budaya yang relatif. Dibalik semua itu ada faktor penyebab yang

mengakibatkan mereka harus melakukan perbuatan diluar ketentuan norma-

18 Departemen Sosial R.I, Pedoman Penyelenggaraan Panti Sosial, Jakarta, h.8

norma yang berlaku, faktor-faktor penyebab diantaranya adalah sebagai

berikut:19

1. Faktor Internal

Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan adalah suatu

keadaan di dalam diri individu dan keluarga gepeng yang mendorong mereka

untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor

tersebut diuraikan secara ringkas berikut ini :

a. Kemiskinan Individu dan Keluarga

Terbatasnya penguasaan lahan diperburuk lagi oleh

kondisi lahan yang tandus, kritis dan kurangnya ketersedaan

air, kecuali saat musim hujuan mengakibatkan mereka tidak

dapat mengusahakan lahannya sepanjang tahun. Dengan

demikian, kesulitan memperoleh penghasilan dari lahan

pertanian yang dikuasainya mendorong mereka untuk

meninggalkan desanya dan terpaksa harus mencari penghasilan

dengan cara-cara yang mudah dan tanpa memerlukan

keterampilan, yaitu menjadi gelandangan dan pengemis

(gepeng).

b. Umur

19

Ir. Gede Sedana, M.Sc. MMA dalam artikel Faktor Penyebab terjadinya Geladangan dan

Pengemis, Tanggal 9 september 2015

Faktor umur yang masih muda ini memberikan peluang

bagi mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan

mengemis karena tiadanya memikirkan rasa malu yang kuat.

c. Pendidikan Formal

Berkenaan degan faktor umur tersebut diatas, ternyata

faktor pendidikan juga turut mempengaruhi. Pada tingkat umur

yang masih terkategori anak-anak, semestinya mereka sedang

mengikuti kegiatan pendidikan formal di sekolah. Namun,

mereka memelih menjadi Gepeng dibandingkan bersekolah

karena tidak memiliki kemampuan finansial untuk kebutuhan

sekolah sebagai akibat dari kemiskinan orang tua.

Tidak berpendidikannya menyebabkan mereka tidak

memperoleh pengetahuan atau pemahaman tentang budi

pekerti, agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang mampu

menggugah hati mereka untuk tidak melakukan kegiatan

sebagai gepeng.

d. Ijin Orang Tua

Seluruh anak-anak yang melakukan kegiatan

menggelandang dan mengemis bahwa mereka telah mendapat

ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang tuanya.

Sehingga pada musim kemarau, mereka “terpaksa”

membiarkan anaknya dan “menyuruh” anaknya untuk ikut

mencari penghasilan guna membantu memenuhi kebutuhan

rumah tangganya.

e. Rendahnya Keterampilan

Para Gepeng tersebut tidak memiliki keterampilan yang

dibutuhkan oleh dunia kerja, kondisi ini sangat wajar karena

sebagian terbesar dari mereka adalah masih berusia belia atau

muda. Sementara mereka yang tergolong relatif lebih tua dan

berjenis kelamin perempuan sejak muda tidak pernah

memperoleh pendidikan keterampilan di desa.

Oleh karena itu, menggelandang dan mengemis adalah

pilihan yang gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh

penghasilan secara mudah.

f. Sikap Mental

Pikiran ini terjadi karena di pikiran para Gepeng

muncul kecenderungan bahwa pkerjaan yang dilakukannya

tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya

pekerjaan lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan.

Ketiadaan sumber-sumber penghasilan dan keterbatasan

penguasaan prasarana dan saran produktif, serta terbatasnya

keterampilan menyebabkan mereka menjadikan mengemis

sebagai suatu pekerjaan.

2. Faktor Eksternal/Lingkungan

Faktor lingkungan yang dimaksud adalah beberapa faktor yang

berada di sekeliling atau sekitar responden baik yang di daerah asal maupun di

daerah tujuan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: (i) kondisi

hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv)

akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di

kota; (vi) kelemahan penanganan gepeng di kota.

Dari faktor penyebab yang telah dikemukakan diatas perlu adanya

penanggulangan gelandangan dan pengemis (gepeng) yang meliputi usaha-

usaha preventif, represif, rehabilitatif agar tidak terjadi pergelandangan dan

pengemisan di dalam masyarakat dan memasyarakatkan kembali para

gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang mengahayati

harga diri, serta memungkinkan pengembangan gelandangan dan pengemis

untuk memiliki kemampuan mencapai taraf hidup, kehidupan, dan

penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia yang

sesungguhnya. Usaha-usaha preventif, represif, dan rehabilitatif tertuang

dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis. Penanggulangan gelandangan dan pengemis akan

mampu mewujudkan stabilitas nasional, khususnya stabilitas dalam bidang

pertahanan dan keamanan.

2.2.3 Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Gelandangan dan

Pengemis (gepeng)

Permasalahan gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah

satu masalah sosial yang belum teratasi dengan baik. Sesuai dengan

pembukaan UUD 45, Negara mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Adapun peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan gelandangan dan pengemis

adalah sebagai berikut:

Dalam pasal 34 UUD 45 yang menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak

terlantar dipelihara oleh Negara”. Dalam KUHP juga mengatur tentang

gelandangan dan pengemis yang tercantum dalam Pasal 504 ayat (1) dan (2)

tentang pengemisan yang menyatakan :

(1) Barang siapa yang mengemis di muka umum, diancam karena

melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama

enam minggu;

(2) Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang

berumur diatas enam belas tahun, diancam dengan pidana

kurungan paling lama tiga bulan.

Selanjutnya, dalam pasal 505 ayat (1) dan (2) tentang gelandangan

menyebutkan :

(1) Barang siapa bergelandang tanpa pencaharian, diancam karena

melakukan pergelandangan pidana kurungan paling lama tiga

bulan.

(2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih,

yang berumur diatas enam belas tahun diancam dengan pidana

kurungan paling lama enam bulan.

Selain itu pengaturan gelandangan dan pengemis secara tegas telah

dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 Tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang terdiri dari 7 BAB yang

meliputi :

a. BAB I Ketentuan Umum

b. BAB II Tujuan, Wewenang dan Tanggung Jawab

c. BAB III Usaha Preventif

d. BAB IV Usaha Represif

e. BAB V Usaha Rehabilitatif

f. BAB VI Partisipasi Masyarakat

g. BAB VII Ketentuan Peralihan dan Penutup

Yang menjadi dasar hukum mekanisme dalam penanganan

gelandangan dan pengemis di kabupaten Badung adalah Peraturan Daerah

No. 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang tercantum

dalam pasal 24 ayat (2) yang menyatakan:

(2) Dilarang melakukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan

dengan meminta-minta dimuka umum baik dijalan, taman dan

tempat-tempat lain di Kabupaten Badung dengan berbagai cara

dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Serta dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan:

(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam

Peraturan daerah ini diancam dengan Pidana kurungan paling

lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.

5.000.000,- (lima juta rupiah)

2.3 Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Sebagai Penegak hukum

Satuan Polisi Pamong Praja, selanjutnya disingkat Satpol PP adalah

bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat. Satpol PP merupakan bagian perangkat

daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,

yang selanjutnya Satpol PP dipimpin oleh seseorang kepala satuan dan

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui

sekretaris daerah.20

2.3.1 Tugas dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja

Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan

menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum serta perlindungan

masyarakat. Dalam melaksanakan tugas, satpol PP mempunyai fungsi

diantaranya sebagai berikut:21

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegak Perda,

penyelenggaraan ketertiban umum dan ktentraman masyarakat

serta perlindungan masyarakat;

20 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja

21

Ibid.

b. Pelaksanaan kebijakan penegak Perda dan Peraturan kepala

daerah;

c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat di daerah;

d. Pelaksanaan kebujakan perlindungan masyarakat;

e. Pelaksanna koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala

daerah, penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Penyidik Pegawai Negeri sipil daerah, dan/atau apartur lainnya;

f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum

agar mematuhi dan mentaati Perda dan peraturn Kepala daerah;

dan

g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.

2.3.2 Pelaksanaan Tugas dan Kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja

Satpol PP mempunyai peran yang penting dalam menjaga ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat. Adapun pelaksanaan tugas dan kegiatan

yang dilakukan oleh Satpol PP adalah sebagai berikut:

1. Kepala Bidang Pendataan dan Pelaporan mempunyai tugas:22

a. Menyusun rencana kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan,

sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Satuan Polisi Pamong

Praja

b. Menyusun Laporan hasil kegiatan Bidang Pendataan dan

Pelaporan sebagai bahan penyusun laporan kegiatan Satuan Polisi

Pamong Praja ;

c. Menyusun, merekapitulasi dan mengkoordinasikan seluruh

Program Kerja Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan rencana

kegiatan masing masing Bidang dan Bagian Tata Usaha sebagai

bahan penyusunan rencana kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja;

22 https://satpolppkabbadung.wordpress.com/,diakses tanggal 9 september 2015

d. Menyiapkan Laporan Pertanggung Jawaban Kinerja Satuan Polisi

Pamong Praja;

e. Melakukan Koordinasi dengan Bagian Tata Usaha, Bidang

Pengendalian dan Operasional dan Bidang Penyidikan dalam

rangka kelancaran tugas;

f. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas

bawahan;

g. Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan

kepada bawahan;

h. Memeriksa dan menilai hasil kerja bawahan;

i. Merakapitulasi dan mengolah data pelanggar;

j. Mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan;

k. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan;

2. Kepala Seksi Pengumpulan Data dan Informasi mempunyai tugas ;

a. Menyusun rencana kegiatan Seksi Pengumpulan Data dan

Informasi sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Bidang

Pendataan dan Pelaporan ;

b. Menyusun Laporan kegiatan Seksi Pengumpulan Data dan

Informasi sebagai bahan penyusunan laporan Bidang Pendataan

dan Pelaporan;

c. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas

bawahan;

d. Memberikan petunjuk, bimbingan dan pengawasan pada bawahan;

e. Menyiapkan bahan perumusan rencana dan program Kerja Satuan

Polisi Pamong Praja berdasarkan Bidang – Bidang dan Bagian

Tata Usaha;

f. Menyelenggaraan pendataan usaha-usaha;

g. Menerima, mengkaji dan menelaah laporan dari masyarakat dan

instansi terkait;

h. Melaksanaan peninjauan bersama tim ke lokasi pemohon izin /

pelanggaran peraturan;

i. Mengadakan pencatatan dan pemantauan kembali hasil pembinaan,

pemeriksaan dan Hasil Sidang Tindak Pidana Ringan;

j. Membuat Peta Rawan Pelanggaran;

k. Membuat Papan Larangan atau Peringatan pelanggaran

l. Menyusun Rencana Strategi (RENSTRA) dan Rencana Kerja

(RENJA) Kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja ;

m. Melakukan validasi data ;

n. Memeriksa, mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil

kerja bawahan;

o. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan;

p. Membuat laporan kegiatan pelaksanaan tugas kepada atasan;

3. Kepala Seksi Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas ;

a. Menyusun rencana kegiatan Seksi Evaluasi dan Pelaporan sebagai

bahan penyusunan rencana kegiatan Bidang Pendataan dan

Pelaporan;

b. Menyusun Laporan Kegiatan Seksi Evaluasi dan Pelaporan

sebagai bahan penyusunan laporan Bidang Pendataan dan

Pelaporan;

c. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas

bawahan;

d. Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan

kepada bawahan;

e. Menggandakan bahan bahan peraturan yang mendukung

pelaksanakan tugas Satuan Polisi Pamong Praja;

f. Menyiapkan bahan pembinaan organisasi dan tatalaksana;

g. Memeriksa dan menilai hasil kerja bawahan;

h. Mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan;

i. Menyiapkan bahan laporan pertanggung jawaban kinerja Satuan

Polisi Pamong Praja;

j. Menyusunj Laporan Kinerja (LAKIP) Satuan Polisi Pamong Praja;

k. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan;

l. Membuat laporan kegiatan pelaksanaan tugas kepada atasannya.