Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN DAN PERIKLANAN
2.1. Tinjauan tentang Hukum Perlindungan Konsumen
2.1.1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata Consumer (Inggris-
Amerika), atau Consument / konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata Consumer
itu adalah setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang/jasa
tersebut nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana penggunaan
tersebut.72
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal
makin terasa sangat penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai motor penggerak produsen barang dan jasa yang dihasilkan dalam rangka
mencapai sasaran usaha yang dalam prakteknya tidak lepas dari keterkaitan dengan
konsumen. Jadi secara langsung atau tidak langsung konsumenlah yang merasakan
dampaknya.73
Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha bukan merupakan hal baru.
Hal ini disebabkan banyaknya transaksi yang dibuat di luar peraturan yang ada.
Dalam perkembangannya konsumen semakin menyadari akan hak-haknya dan
berjuang dalam hal konsumen menerima prestasi yang tidak sesuai dengan isi
72 A.Z. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Diadit Media,. h.3 73 Sri Redjeki Hartono,2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju, Bandung, h.78.
kontrak, barang yang dibeli kualitasnya tidak bagus atau ada cacat tersembunyi yang
merugikan konsumen dan adanya unsur penipuan atau paksaan dalam melakukan
transaksi.74
Gerakan perlindungan konsumen akhirnya lahir sebagai cabang hukum baru
dalam perkembangan ilmu hukum. Lahirnya cabang hukum baru ini didasari oleh
kesadaran akan posisinya yang semakin lemah. Hal ini disebabkan oleh
perkembangan dunia bisnis yang sangat pesat. “Mengingat bahwa perkembangan
dunia bisnis yang semakin cepat maka perlu diusahakan suatu bentuk perlindungan
konsumen yang semakin efektif pula. Sebab jika tidak maka posisi konsumen tidak
lagi menjadi subjek dalam bisnis, tetapi menjadi objek potensial dirugikan.”75
Pengertian perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yakni sebagai berikut :
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang tersebut di atas cukup
memadai. “Kalimat yang menyatakan ‘segala yang menjamin adanya kepastian
hukum’, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang
74 Endang Sri Wahyuni, 1989, Hukum Perlindungan Konsumen, Yogyakarta, h.20. 75 Husni Syawali dan Neni Sru Imaniyati, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar
Maju, Bandung, h.5.
yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan
konsumen.”76
Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut
menjadi perhatian, apalagi karena keberadaan perekonomian nasional banyak
ditentukan oleh pelaku usaha.
a. Pengertian konsumen
Sebelum membahas pengertian konsumen sesuai ketentuan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), perlu juga diketahui pengertian
konsumen dari berbagai negara sebagai suatu perbandingan. Istilah konsumen
berasal dari alih bahasa kata consumer (Inggris – Amerika), atau consument /
konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung
dalam posisi mana ia berada.
“Secara harafiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen)
setiap orang yang menggunakan barang.”77 Tujuan penggunaan barang atau jasa
itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.
Begitu pula dalam Kamus Besar Bahasa Inggris – Indonesia memberi arti kata
“consumer sebagai pemakai atau konsumen.”78
76 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h.1. 77 A.Z. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, h.3. 78 John. M. Echols & Hasan Sadily, Kamus Inggris – Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1986.
h.124.
Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang,
konsumen diartikan sebagai “The person who obtains goods or services for
personal or family purposes”.79 Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu (1)
Konsumen hanya orang, dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan
pribadi atau keluarganya.
Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat
dalam Magnusson – Moss Warranty, Federal Trade Commission Act 1975
mengartikan konsumen persis sama dengan ketentuan di Perancis. “Di Amerika
Serikat, konsumen diartikan sebagai korban pemakai produk yang cacat, baik
korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai bahkan juga bukan
korban yang bukan pemakai karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula
bahkan oleh korban yang bukan pemakai.”80
Demikian pula dengan rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perbahan hukum Belanda (NBW Buku VI, Pasal 236), konsumen dinyatakan
sebagai orang alamiah, dimaka maksudnya ketika mengadakan perjanjian tidak
bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan.81
Menurut Kotler, “Consumers are individuals and households for personal
use producers are individual and organization buying for the purpose of
producing. Artinya konsumen adalah individu kaum rumah tangga yang
79 Shidarta,2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. PT. Grasindo, Jakarta, hlm.3. 80 Agus Brotosusilo,1992, Hak-Hak Produsen dalam Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum dan Pembangunan, Oktober, hlm47. 81 A.Z. Nasution I, op.cit., h.72.
melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah
individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi.”82
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, konsumen diartikan sebagai
“pemakai barang-barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan).”83
Menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
pengertian konsumen yakni sebagai berikut :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan orang lain maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan”.
Dari pengertian tersebut, maka dapat diuraikan unsur-unsurnya, yaitu :
1. Setiap orang
Subyek yang sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai
pemakai barang dan/atau jasa.
2. Pemakai
Setiap orang yang memakai, dan/atau memanfaatkan suatu barang dan/atau
jasa tetapi tidak untuk diperdagangkan kembali.
3. Barang/atau jasa
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
82 Ade Maman Suherman, 2002,Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hlm..63. 83 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Ed.2. Cet. 10, Balai Pustaka, Jakarta, 1999. h.521.
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunaka, atau
dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan jasa adalah setiap layanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen.
4. Yang tersedia dalam pasar
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen harus sudah tersedia
dalam pasaran.
5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain
Barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat itu, harus dapat berguna
bagi kepentingan semua orang dan juga seluruh makhluk hidup, baik diri
sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lainnya.
6. Tidak untuk diperdagangkan
Di dalam kepustakaan ekonomi, dikenal istilah konsumen akhir dan
konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari
suatu produk. Sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini adalah konsumen
akhir.
Dari ketentuan yang termuat di atas, menunjukkan betapa beragamnya
pengertian konsumen. Ketentuan-ketentuan tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing.
b. Pengertian pelaku usaha
Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yakni sebagai berikut :
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen cukup luas dimana yang termasuk di dalam pengertian
tersebut adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang,
distributor, dan lain-lain. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tersebut memiliki persamaan
dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama negara
Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen yakni sebagai berikut :
“Produsen adalah pembuat produk jadi (finished product), penghasil bahan
baku, pembuat suku cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai
produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau
tanda lain yang membedakan dengan produk asli pada produk tertentu,
importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan,
disewagunakan (leasing) atau bentuk lain dalam transaksi perdagangan,
pemasok (supplies), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak
dapat ditentukan.”85
Dengan demikian tampak bahwa pelaku usaha yang dimaksudkan dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sama dengan cakupan produsen yang
85 Johannes Gunawan,1994, Product Liability dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia,
Tahun XII, Nomor 2, hlm.7.
dikenal di Belanda karena produsen atau pelaku usaha dapat berupa perseorangan,
atau badan hukum.
Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau
pelaku usaha di luar negeri, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
Aspek Hukum dalam Perlindungan Konsumen
Peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan ilaonsumen yang
disebut sebagai umbrella act adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya dsingkat UUPK), yang disahkan tanggal 20
April 1999, dan baru diberlakukan satu tahun kemudian (tanggal 20 April 2000).
Penundaan ira dianggap perlu untuk melengkapi berbagai pranata hukum yang
diperlukan.
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memuat aturan-aturan
hukum tentang perlindungan terhadap konsumen yang berupa payung (umbrella) bagi
perundang-undangan lainnya yang rnenyangkut konsumen, sekaligus
mengintegrasikan perundang-undangan itu sehingga memperkuat penegakan hukum
dibidang perlindungan konsumen.
Sebagaimana dimuat dalam penjelasan Undang-undang Perlindungan
Konsumen (UUPK), bahwa UUPK ini bukan merupakan awal dan akhir dari hukum
yang mengatur tentang perlindungan konsumen. Terbuka kemungkinan terbentuknya
undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang
melindungi konsumen. Dari segi substansi, UUPK memuat garis-garis besar
perlindungan konsumen yang membuka peluang untuk diatur didalam perundang-
undangan tersendiri.;86
Di samping UUPK, hukum konsumen juga diketemukan di dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang juga memuat berbagai kaidah
yang menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-
undangan tersebut tidak khusus diterbitkan untuk konsumen, setidak-tidaknya dapat
dijadikan dasar bagi perlindungan konsumen.87
1. Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR.
Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan, alinea ke 4: “... kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia ...”
1) Pasal 27 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945,
“Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
2) Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat 1993; “...meningkatkan pendapatan
produsen dan melindungi kepentingan konsumen.”
86 Janus Sidabalok, op.cit, hal. 52-54 87 Celina Tri Siwi Kristiyanti,2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,Jakarta, ,
hlm. 49.
Terkait dengan bunyi Pembukaan alinea ke-4 UUD 1945, umumnya sampai
saat ini orang bertumpu pada kata “segenap bangsa”, sehingga ia diambil sebagai
azas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (azas persatuan bangsa). Akan
tetapi, disamping itu, dari kata “melindungi” menurut Az. Nasution didalamnya
terkandung pula azas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tersebut.
Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa
termasuk konsumen, tanpa kecuali.
Landasan hukum lainnya adalah Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945. Penghidupan
yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak
dari warga negara dan hak semua orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat
secara menyeluruh. Selanjutnya untuk melaksanakan perintah UUD 1945
melindungi segenap bangsa, khususnya melindungi konsumen, MPR telah
menempatkan berbagai ketetapan, khususnya TAP MPR Tahun 1993.
TAP MPR Tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan
konsumen”. Hanya sayang dalam TAP MPR ini tidak terdapat penjelasan tentang
apa yang dimaksud melindungi kepentingan konsumen tersebut. Satu hal yang
menarik dari TAP MPR 1993 adalah disusunnya dalam satu napas, dalam satu
baris kalimat, tentang kaitan produsen dengan konsumen. Susunan kalimat
sebagaimana dimaksud berbunyi; “.... meningkatkan pendapatan produsen dan
melindungi kepentingan konsumen.”88 Dengan susunan kalimat. demikian,
terlihat lebih jelas arahan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang
88 Ibid, hal. 51
kekhususan kepentingan produsen (dan semua pihak yang dipersamakan
dengannya) dan kepentingan konsumen.
Kepentingan pendapatan produsen (lebih tepat pelaku usaha atau pengusaha)
dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha mereka terkait dengan memproduksi,
menawarkan dan/atau mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan
hukum yang mereka perlukan adalah agar penghasilan/pendapatan dalam
berusaha bisa meningkat, tidak merosot atau bahkan hilang sama sekali karena;
1. Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau tidak efisien dalam menjalankan manajemen usaha (perlu ketentuan-ketentuan tentang pembinaan).
2. Adanya praktek-praktek niaga tertentu yang menghambat atau menyingkirkan para pengusaha dari pasar, seperti praktek persaingan melawan hukum, penguasaan pasar yang dominan, dan lain-lain (memerlukan ketentuan-ketentuan pengawasan).89
Sementara kepentingan konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang
dan/atau jasa, adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh,
bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda,
diri, keluarga, dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan
mereka). Jadi yang menonjol dalam perlindungan kepentingan konsumen ini
adalah perlindungan pada jiwa, kesehatan, harta dan/atau kepentingan
kekeluargaan konsumen.90
a. Peraturan Perundang-undangan Lainnya
89 Ibid, hal. 52. 90 Ibid
Di tingkat undang-undang, sebelum berlakunya Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut, telah ada beberapa
undang-undang yang secara tidak langsung bertujuan untuk melindungi
konsumen dapat disebutkan sebagai berikut:91
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perbahan hukum (KUH Perbahan hukum)
Stb. 1847 Nomor 23, bagian Hukum Perikatan (Buku III), khususnya
mengenai wanprestasi (Pasal 1236 dan seterusnya) dan perbuatan
melawan hukum (Pasal 1365 dan seterusnya).
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pendaftaran Gedung.
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah.
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.
8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene untuk Usaha-
Usaha Umum.
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
10. Ordonansi tentang Barang Berbahaya, Stb. 1949 Nomor 337.
11. Undang-Undang Nomor STahun 1984 tentang Perindustrian.
91 Janus Sidabalok, op.cit. hal. 48-49
12. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.
13. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.
14. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri.
15. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing
the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia).
16. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
17. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
18. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
19. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta.
20. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten.
21. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek.
22. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
23. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.
24. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
25. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
26. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
27. dan lain-lain.
Country Report delegasi Indonesia pada ASEAN Consumer Protection
Seminar, yang diselenggarakan di Manila tanggal 30 September sampai 4
Oktober 1980, antara lain dimuat lampiran perundang-undangan yang ada
hubungannya dengan perlindungan konsumen, yaitu yang berhubungan
dengan barang dan jasa sebanyak 18 buah, pengawasan mutu dan keamanan
barang sebanyak 41 buah, perdagangan sebanyak 8 buah, dan masalah
lingkungan hidup sebanyak 10 buah.92
Sedangkan di dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah
Perlindungan Konsumen pada tanggal 16-18 Oktober 1980 di Jakarta, R.
Sianturi menyebutkan sebanyak 119 buah peraturan di bidang kesehatan,
cerdiri dari obat-obatan sebanyak 56 buah, makanan dan minuman sebanyak
92 Permadi, 1986, “Penerapan Peraturan Perundang-undangan dan
Manfaatnya Bagi Kegiatan Perlindungan Konsumen”, makalah pada Lokakarya
Peningkatan Perlindungan Konsumen, Departemen Perdagangan Republik Indonesia,
28-30 Juni 1986, hlm. 8.
15 buah, bidang kosmetika dan alat kesehatan sebanyak 8 buah, dan jasa
pelayanan kesehatan sebanyak 40 buah.93
Diberlakukannya Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1999, maka ketentuan perundang-
undangan yang sudah ada sebelumnya masih tetap berlaku sejauh belum
diatur atau jika tidak bertentangan dengan UUPK. Seperti ditegaskan dalam
ketentuan pasal 64 UUPK sebagai berikut :
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini
diundangkan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-
undang ini.
Sejarah, Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang baru tetapi
bercorak universal. Sebagian besar perangkat hukumnya diwarnai hukum asing,
namun jika dilihat dari segi hukum positif di Indonesia dasar-dasar yang menopang
sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat.
Perkembangan hukum konsumen di dunia berasal dari adanya gerakan
perlindungan konsumen (Consumers Movement) yang terjadi di Amerika Serikat
pada abad ke 19 yang dipraktekkan oleh pemukim-pemukim pertama di negara itu
93 R. Sianturi, 1980, “Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Perundang-undangan
Kesehatan”, makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, BPHN, 16-18 Oktober 1980, Binacipta, Jakarta, hlm. 48-55.
ketika berada di Inggris. Pengadilan-pengadilan di Inggris pada masa itu menjatuhkan
hukuman untuk menekan praktik banting harga, memperkecil ukuran dan
menurunkan mutu dimana hal ini dianggap bertentangan dengan kepentingan
umum.94
Diberlakukannya The statute of Apprentices pada tahun 1563 yang bertujuan
mengurangi tindakan penipuan terhadap konsumen dan memaksa diterapkannya suatu
standar kualitas atas produk-produk tertentu menyebabkan aspek hukum publik lebih
dominan dari pada aspek hukum perbahan hukumnya.
Pengaturan hukum dan kasus-kasus transaksi perdagangan merupakan embrio
bagi tumbuhnya kesadaran para imigran yang memasuki benua Amerika, hal ini dapat
dilihat dengan dianutnya suatu azas hukum yang disebut Caveat Emptor atau Let The
Buyer Beware yang artinya diserahkan kepada kesadaran masing-masing pembeli
untuk mempertahankan hak-haknya. Azas ini sangat menguntungkan kalangan
produsen karena mempunyai kesempatan yang luas untuk mengeksploitasi
ketidakberdayaan konsumne. Apalagi azas tersebut didukung oleh putusan-putusan
pengadilan, yang salah satunya mengatakan bahwa puffing atau seller’s talk dianggap
wajar dan tidak termasuk sebagai penipuan.
Munculnya Liga Konsumen di Amerika Serikat untuk pertama kalinya
disambut positif karena dapat digunakan untuk mempromosikan hak-hak konsumen.
Namun bukan berarti dengan adanya Liga Konsumen ini, perjalanan gerakan
94 Shidartha, Op cit, h. 31
konsumen tidak mendapat hambatan dan rintangan. Konsekuensi dari semakin
kompleksnya kegiatan produksi berbagai barang dan jasa semakin memperlemah
posisi konsumen.95 Lahirnya format-format perjanjian yang dibakukan (Standar
Countract) semakin memperjelas bahwa masyarakat konsumen seperti menerima
nasib berada dibawah kendali para produsen. Dimana konsumen tinggal menerima
atau menolak atas perjanjian yang ditawarkan produsen.
Meskipun demikian prinsip Provity of Contract masih dianut secara mutlak
dimana konsumen mempunyai kewenangan untuk menuntut produsen jika ia
dirugikan Fenomena kontrak standar menggugah beberapa hakim untuk memutuskan
berpihak pada konsumen.
Pada abad ke 20 tuntutan konsumen untuk diperlakukan lebih baik mendapat
tanggapan pada beberapa putusan hakim yaitu salah satunya dengan menetapkan
suatu peraturan tentang makanan dan obat-obatan walaupun pada akhirnya peraturan
tersebut tidak dapat berlaku efektif.
Kemajuan gerakan konsumen di Amerika Serikat telah meningkatkan
kesadaran akan hak-haknya sebagai konsumen. Peraturan-peraturan yang ada
walaupun tidak sepenuhnya menguntungkan konsumen, tetapi harus diakui lebih
memihak konsumen dibandingkan keadaan sebelumnya. Ditambah lagi dengan
adanya dukungan dari Presiden Amerika Serikat yang diperkenalkan empat hak
95 Zumrotin K. Susilo,1996, Penyambung Lidah Konsumen, Kerjasama YLKI dengan Puspa
Swara, PT. Penebar Swadaya, Jakarta, hlm. 10
konsumen dan konsep hukum baru tentang perlindungan konsumen yang disebut
dengan Product Warranty dan Product Liability.
Di Indonesia gerakan konsumen ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 11 Mei 1973 kemudian dilanjutkan
dengan beberapa organisasi-organisasi serupa yang berorientasi pada kepentingan
pelayanan konsumen. YLKI lahir dengan motto yang bertujuan melindungi
konsumen, menjaga martabat produsen dan membantu pemerintah.
YLKI belum mempunyai kekuatan lobi untuk memberlakukan atau mencabut
suatu peraturan karena YLKI bukan merupakan pemerintah dan tidak memiliki
kekuasaan publik untuk menerapkan suatu peraturan atau menjatuhkan sanksi.
Namun walaupun demikian YLKI telah mampu berperan besar khususnya dalam
gerakan menyadarkan konsumen akan hak-haknya.
Gerakan konsumen di Indonesia mencatat prestasi besar setelah naskah
akademik Undang-undang Perlindungan Konsumen berhasil dibawa ke DPR dan
rancangannya disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 20 April 1999
walaupun masih memerlukan waktu satu tahun untuk berlakunya efektif.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjadi agenda penting kedepan,
sekaligus kebutuhan mendesak ketika banyak kasus kerugian secara langsung atau
tidak langsung diderita konsumen.96
Berdasarkan atas pasal 2 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa Perlindungan Konsumen berasaskan
96 Ibid
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta
kepastian hukum.
Didalam penjelasannya disebutkan bahwa perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan
dengan pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamankan bahwa segala upaya dalam
penyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil
maupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, maka tujuan dari perlindungan konsumen adalah :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, keselamatan konsumen.
2.2. Tinjauan Tentang Periklanan
2.2.1. Pengertian Iklan
Menurut Klepper iklan atau advertising berasal dari bahasa Latin, ad-vere
berarti : mengoperkan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Jika pengertian ini
dapat diterima maka sebenarnya iklan tidak ada bedanya dengan pengertian
komunikasi yang sifatnya satu arah.
Spriegel yang dikutip oleh Susanto, mengemukakan bahwa iklan adalah
setiap penyampaian informasi tentang barang ataupun gagasan yang
menggunakan media non personel yang dibayar. Pengertian seperti ini
menerangkan bahwa kegiatan periklanan mengandung unsur penyewaan ruang
atau waktu dari suatu media masa, karena ruang dan waktu memang
dipergunakan oleh iklan untuk menyebarkan informasi. Penyebaran informasi
melalui media itulah yang membawa sifat iklan yang non personal atau tidak
bertatap muka.97
Hampir sama dengan pendapat di atas ada juga yang berpendapat bahwa
periklanan (iklan) didefinisikan sebagai suatu komunikasi yang tidak personal
(non personal communication) yang diarahkan pada sidang pembaca, penonton,
pendengar yang dijadikan sasaran (target audience) untuk menyajikan dan
memajukan (present and promote) produk-produk, gagasan-gagasan dan jasa-
jasa.
Tams Djajakusumah merumuskan iklan sebagai salah satu bentuk
spesialisasi publisistik yang bertujuan untuk mempertemukan suatu pihak yang
menawarkan sesuatu dengan pihak lain yang membutuhkannya.98 Sebagai
97 Alo Liliweri, 1992, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Cetakan I, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 18. 98 Tams Djajakusumah, 1982,Periklanan, Armico, Bandung, hlm. 4.
pembanding Waston Dunu S dan Arnold M. Barban merumuskan iklan sebagai
berikut :
Advertising is paid, impersonal communication through various media by
business firm, non profit organization, and individualis who are in some
way identified in the advertising message and hope to inform or persuade
members of particular audience.99
Apabila diterjemahkan secara bebas, artinya :
Periklanan adalah komunikasi inpersonal melalui berbagai media oleh
perusahaan-perusahaan bisnis, organisasi-organisasi non profit, dan orang
per orang yang mengidentifikasi pesan-pesan iklan dan berharap untuk
menginformasikan atau memikat para anggota audiens tertentu.
Departemen Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329 Tahun
1976, Pasal 1 butir 13 menegaskan bahwa iklan adalah usaha dengan cara apapun
untuk meningkatkan penjualan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan Departemen Penerangan (Undang-Undang No. 12 Tahun 1982, Pasal
1 angka (2)) merumuskan iklan itu sebagai : periklanan merupakan usaha jasa
yang disatu pihak menghubungkan produsen barang dan jasa dengan konsumen,
dan lain pihak menghubungkan pencetus gagasan dengan penerima gagasan.
Begitu beragamnya pihak memberikan pengertian tentang iklan, namun
sangat disayangkan sekali belum ada undang-undang tentang iklan yang mengatur
99 Waston Dunu S., and Arnold M. Barban,1982, Advertising, Its Role in the Modern
Marketing CBS, Collefe Publising, New York, hlm. 7.
tentang hal tersebut. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Kondumen sama sekali tidak memberikan batasan atau pengertian tentang iklan.
Tata krama dan tata cara periklanan Indonesia dalam pengertian-pengertian
pokoknya menyatakan, iklan adalah segala bentuk pesan tentang suatu produk
yang disampaikan lewat suatu media, dan dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal,
serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.100
Disamping itu ada juga pihak-pihak lain yang memberikan batasan atau
pengertian iklan sebagai berikut :
1. Sarana pemasaran dan informasi untuk memajukan dunia bisnis dan usaha.
2. Upaya sepihak dari pengusaha untuk menggambarkan barang secara visual
atau audio dengan fokus penonjolan pada kelebihan barang dengan maksud
untuk memikat pembaca, pendengar, atau pemerhati iklan tersebut, baik yang
aktif maupun yang pasif.
3. Alat informasi untuk meningkatkan usaha dengan cara menawarkan atau
dengan berbagai cara lainnya, atau dengan berbagai cara apapun.
4. Alat informasi dalam media apapun guna meningkatkan usaha dan merupakan
janji dari semua pihak yang mengumumkannya.
Disamping iklan, ada juga yang namanya reklame. Meskipun hampir
sama, tetapi ada perbedaannya. Iklan memang hampir sama pengertiannya dengan
reklame, karena masing-masing mempunyai tujuan yang sama dan dalam
100 Sudaryatmo.1996, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Cetakan I, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 122.
kegiatannyapun sering dipergunakan oleh produsen, pedagang maupun
perusahaan-perusahaan jasa lainnya. Pada dasarnya pengertian-pengertian
tersebut berada dalam bidang publikasi atau komunikasi.
Pengertian iklan lebih luas dari reklame. Pengertian reklame adalah
khusus dalam bidang komersial atau bisnis semata-mata yang dilakukan diluar
mas media, seperti misalnya dilakukan pada sebuah papan bergambar atau
spanduk yang menyangkut bidang usaha atau kepentingan perusahaan, yang
bertujuan untuk menawarkan barang-barang produksi yang dibutuhkan sehari-hari
dan lain sebagainya.
Sedangkan pengertian iklan atau advertising tidak hanya meliputi
pengertian yang komersial saja tetapi juga meliputi hal-hal yang non komersial.
Yang dimaksud pengertian non komersial disini misalnya mengenai berita-berita
keluarga berupa pemberitahuan kelahiran anak, berita kematian, pengumuman-
pengumuman dan lain-lainnya, maupun yang bersifat resmi seperti misalnya
pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah maupun swasta.
Hampir setiap saat kita dapat menyaksikan iklan suatu produk barang
disiarkan di televisi. Iklan tersebut demikian hidup dan selalu berada kapan saja,
dimana saja di sekitar lingkungan hidup kita. Tidak terbatas di televisi saja, iklan
suatu produk banyak pula dilihat dan atau dibaca di koran, majalah, dan bahkan
pada papan-papan pengumuman yang terpancang di jalan-jalan ramai.
Tidak saja di negara-negara maju, di negara berkembang seperti
Indonesia, iklan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Umumnya,
seseorang membeli produk, yang informasinya mereka ketahui dari iklan,
meskipun di antara mereka ada yang mengkritik atau mencurigai iklan. Apapun
alasan yang dapat dikemukakan, pada kenyataannya iklan tampil begitu memikat
dan banyak konsumen yang terpengaruh karenanya. Hal ini sesuai dengan tujuan
iklan itu sendiri, yaitu mempengaruhi konsumen, agar mau membekli atau
mengkonsumsi produk yang diiklankan tersebut.
Dari berbagai batasan tentang iklan yang telah dikemukakan, terlihat
setidak-tidaknya iklan itu mempunyai dua fungsi pokok, yaitu sebagai sarana
pemasaran dan informasi produk.101 Bagi konsumen yang terpenting adalah
fungsi yang kedua, sebagai sarana informasi barang dan atau jasa yang
ditawarkan melalui media iklan. Kadar kebebasan yang bertanggung jawab dari
informasi itu, sangat menentukan kepentingan konsumen dalam mendapatkan
kebutuhan. Ia akan puas atau ia akan kecewa karena merasa disesatkan atau
dirugikan. Fungsi yang pertama lebih merupakan kepentingan pengusaha, karena
sasaran dan fungsi iklan ini adalah untuk meningkatkan penjualan dan
meningkatkan pangsa pasar.
Jenis-Jenis Iklan
Bila dilihat dari segi tujuan yang dikehendaki oleh iklan itu sendiri, secara umum
iklan dapat dibagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu : 1) iklan Komersial; dan b). Iklanan
101 Rosady Ruslan,1995, Aspek-Aspek Hukum dan Etika dalam Aktivitas Public Relation,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 98.
Layanan Masyarakat. Adapun arti dari kedua jenis iklan dimaksud dapat
diberikan penjelasan sebagai berikut :
a. Iklan Komersial
Iklan komersial sering disebut pula dengan iklan bisnis. Sebagaimana
namanya, iklan komersial atau iklan bisnis bertujuan mendapatkan
keuntungan ekonomi, utamanya peningkatan penjualan. Produk yang
ditawarkan dalam iklan ini sangat beragam, baik barang, jasa, ide,
keanggotaan organisasi, dan lain-lain.102
Iklan komersial dapat dibagi dalam tiga jenis iklan, yaitu iklan untuk
konsumen, untuk bisnis dan iklan untuk profesional. Perbedaan yang esensial
antara ketiganya adalah pada khalayak sasaran yang dituju. Namun semua
iklan tersebut tetap dmaksudkan untuk mendapatkan keuntungan komersial.
Iklan konsumen dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan bisnis
dimana pesan iklan ditujukan kepada konsumen akhir, yaitu pengguna
terakhir suatu produk. Seseorang yang membeli produk dimana produk
tersebut akan digunakannya sendiri, maka ia disebut dengan konsumen
pengguna akhir. Ibu rumah tangga adalah pengguna akhir produk sabun cuci,
minyak goreng, mentega, sabun mandi, pasta gigi, shampoo, produk
kecantikan, pembalut, pakaian, dan sebagainya. Anak sekolah adalah
pengguna akhir produk alat tulis, sepatu dan tas sekolah, seragam sekolah,
buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Bayi adalah pengguna akhir dan produk
102 Ibid, hal. 102.
susu, pampers (popok sekali pakai), bedak bayi, minyak telon, mainan dan
sebagainya.103
Iklan bisnis adalah iklan yang disampaikan dengan maksud
mendapatkan keuntungan ekonomi dimana sasaran pesan yang dituju adalah
untuk seseorang atau lembaga yang akan mengolah dan atau menjual produk
yang diiklankan tersebut kepada konsumen akhir. Toko yang akan menjual
kembali barang-barang yang dibelinya adalah contoh pelaku bisnis. Contoh
lain misalnya pabrik yang akan mengolah kembali produk yang dibelinya
untuk dibentuk menjadi produk baru lainnya guna dijual kepada pasar.
Sementara iklan profesional adalah iklan yang dimaksudkan untuk
mendapatkan keuntungan bisnis dimana khalayak sasaran iklan adalah
segmen khusus yaitu para profesional. Kaum profesional adalah kelompok
orang yang memiliki pekerjaan spesifik, ia dibayar karena ketrampilan dan
keahlian spesifiknya tersebut. Misalnya para dokter, guru, manager, pilot,
pelaut, dan sebagainya yang bekerja secara, profesional.
Menurut Bitnner Wan komersial ini dimasukkan dalam katagori iklan
standar. Menurutnya iklan standar adalah iklan yang ditata secara khusus
untuk keperluan memperkenalkan barang, jasa, pelayanan untuk konsumen
melalui Media Penyiar iklan. Tujuan iklan standar yaitu merangsang motif
103 Ibid, hal. 103
dan minat para pembeli atau para pemakai. Dengan kata lain, iklan standar
memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan ekonomi.104
Umumnya iklan standar ditangani oleh perusahaan periklanan secara
profesional. Pesan-pesan dalam iklan standar disusun secara mantap baik
dalam kata-kata, kalimat, pemilihan gambar dan warna, memilih tempat
pemasangan atau media yang tepat agar mampu menjangkau jenis khalayak
sasaran tertentu, sampai dengan menyebarkannya pada waktu yang sesuai,
seluruhnya ditangani oleh orang-orang profesional. Iklan standar terikat
dalam kode etik tertentu, yang penegakannya dilakukan oleh orang-orang
yang bekerja dalam bidang periklanan itu sendiri. Dalam sebutan lain,
tampaknya istilah iklan standar sebagaimana dimaksud oleh Bitter dapat
disebut dengan iklan komersil.105
b. Iklan Layanan Masyarakat
Iklan layanan masyarakat adalah iklan yang digunakan untuk
menyampaikan informasi, mempersuasi atau mendidik khalayak dimana
tujuan akhir bukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, melainkan
keuntungan sosial. Keuntungan sosial yang dimaksud adalah munculnya
penambahan pengetahuan, kesadaran sikap dan perubahan perilaku
104 Ibid, hlm. 65, dikutip dari Schudson, Michael, Advertising, (New York: The Yacasey
Persuasion, Basic Books Inc, Publishers, 1986). 105 Ibid, hal. 66
masyarakat terhadap masalah yang diiklankan, serta mendapatkan citra baik di
mata masyarakat.
Alo Liliweri menyebut iklan layanan masyarakat ini sebagai iklan
tanggung jawab sosial, karena bertujuan untuk menyebarkan pesan-pesan
yang bersifat informatif, penerangan, pendidikan agar membentuk sikap
warga masyarakat sehingga mereka bertanggung jawab terhadap masalah
sosial dan kemasyarakatan tertentu. Tanggung jawab itu merupakan bagian
dari kewajiban masyarakat secara moral maupun material yang
ditunjukkannya dalam aktivitas sosial. Termasuk golongan iklan tanggung
jawab sosial adalah, iklan anjuran dan iklan penggambaran sosial.106
Iklan layanan masyarakat ini bersifat non provit, dalam hal ini jangan
diartikan sebagai tidak mencari keuntungan apapun. Iklan layanan masyarakat
tetap berupaya mencari keuntungan, namun keuntungan yang dituju bersifat
keuntungan sosial, bukan keuntungan komersial secara langsung. Keuntungan
yang diharapkan dari iklan layanan masyarakat adalah berusaha mendapatkan
atau membentuk citra baik di tengah masyarakat. Jadi, esensi yang
membedakan iklan standar dan iklan layanan masyarakat adalah terletak pada
tujuan keuntungan yang ingin diraih atau diharapkan. Bila iklan standar
bertujuan mencari keuntungan ekonomi, maka dalam iklan layanan
masyarakat bertujuan mendapatkan keuntungan berupa citra baik di tengah
masyarakat.
106 Alo Liliweri, op.cit, hal. 33.
Secara normatif, bertambahnya pengetahuan, dimilikinya kesadaran
sikap dan perubahan perilaku masyarakat tersebut sangat penting bagi kualitas
kehidupan masyarakat itu sendiri. Sebab masyarakat akan terbangun dan
digiring pada situasi ke arah keadaan yang baik. Umumnya, materi pesan yang
disampaikan dalam iklan jenis ini berupa informasi-informasi publik untuk
menggugah khalayak melakukan sesuatu kebaikan yang normatif sifatnya.
Misalnya anjuran agar tertib berlalu lintas; memiliki budaya antri; menyukai
kebersihan lingkungan; hemat listrik; hemat air; hemat BBM, menjaga
kelestarian lingkungan; melindungi satwa liar, mencintai budaya sendiri;
memiliki kesetiakawanan sosial yang tinggi, demokrasi, anti kekerasan,
sportivitas, perilaku seks yang sehat, mengikuti gerakan orang tua asuh;
peduli dengan kelompok masyarakat miskin; dan sebagainya.
Aspek Hukum tentang Iklan
Seperti telah disampaikan dimuka, Indonesia sudah mempunyai satu
pedoman umum dalam praktek periklanan yang disebut Etika Pariwara Indonesia
(Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia) yang dikeluarkan atas
dorongan untuk memikul tanggung jawab sosial dan perlindungan atas nilai-nilai
budaya bangsa yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pedoman yang menjadi pola pengarahan periklanan itu dimaksudkan pula untuk
menunjang asas tritogi pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil
dan makmur, termasuk kemajuan dunia usaha, periklanan nasional, dan media
komunikasi massa.
Adanya Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan)
itu seyogyanya didukung oleh adanya perangkat hukum Vang berupa undang-
undang tentang Periklanan, sehingga berbagai bentuk pelanggaran Kode Etik
Periklanan itu dapat dikenakan sanksi Hukum. Pada saat sekarang ini, kehadiran
peraturan periklanan atau undang-undang yang merupakan hukum positif khusus
mengatur iklan dan penegakannya (law inforcement) yang konsekuen menjadi hal
long sangat penting.
Terhadap beberapa hal yang menjadi latar belakang pentingnya pengaturan
kegiatan periklanan, yaitu:
1. Semakin maraknya kegiatan periklanan dan kasus-kasus kerugian konsumen
akibat tayangan iklan, sehingga menuntut pengaturan secara tegas, agar
aktivitas periklanan dapat berlangsung secara tertib, jujur, dan bertanggung
jawab.
2. Dalam rangka tuntutan kepastian hukum, mengingat Indonesia belum
mempunyai undang-undang khusus yang mengatur tentang iklan. Realitanya,
pengaturan tentang iklan dengan kekurangan dan kelemahannya tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
3. Untuk menjamin perlindungan hukum terhadap konsumen, dengan dasar
normatif yang memuat pengaturan tentang iklan diharapkan dapat ditentukan
aturan main yang jelas terkait pembuatan dan penayangan iklan yang
melibatkan pengiklan, perusahaan periklanan, dan Media Penyiar iklan.
Pengaturan secara tegas terhadap iklan tidak saja dapat penjamin
perlindungan hukum terhadap konsumen, tetapi pengaturan itu juga sangat
bermanfaat sebagai pedoman bagi para pihak yang terlibat dalam kegiatan
periklanan, seperti; pengiklan, perusahaan periklanan, dan Media Penyiar iklan
dalam melakukan kegiatannya. Selain itu, semua pihak yang terlibat itu dapat
melakukan mekanisme loontrol sesuai dengan rambu-rambu hukum yang ada.107
Melalui peraturan atau perangkat hukum yang ada diharapkan produk iklan
yang dihasilkan penuh muatan kreativitas itu dapat menjunjung azas-azas umum
periklanan serta rambu-rambu hukum yang telah ada. Namun sayangnya, hingga
kini Indonesia belum mempunyai Undang-Undang khusus yang mengatur
tentang iklan. Hukum positif di Indonesia tentang iklan diatur secara parsial
didalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 masalah yang menyangkut iklan
diatur dalam Pasal 8-17, yang selengkapnya adalah sebagai berikut:
1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut (Pasal 8 ayat (1) huruf f).
2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan. mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan seterusnya (Pasal 9 ayat (1)).
107 Hukum mempunyai fungsi untuk mengatur tertib pergaulan dalam masyarakat, sekaligus
sebagai panduan untuk mengontrol tingkah laku anggota masyarakat. Apabila telah terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum, maka masyarakat akan memberikan sanksi bagi pihak yang melanggar. Lihat Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosio%gi Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 3.
3) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai .... dan seterusnya (Pasal 10).
4) Pelaku usaha dilarang atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud melaksanakannya ... dan seterusnya (Pasal 12).
5) Pelaku usaha dilarang memproduksi iklan yang mengelabui konsumen, memuat informasi yang keliru, tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian, mengeksploitasi kejadian atau seseorang, melanggar etika dan ketentuan perundang-undangan (Pasal 17).
Pasal-pasal di atas tampak bahwa Undang-Undang Pelindungan
Konsumen menghendaki iklan dengan persyaratan sekurang-kurangnya
sebagai berikut:
1) Jujur, tidak membohongi;
2) Sesuai dengan yang sebenarnya, tidak mengelabui;
3) Informasinya benar, tidak keliru atau salah;
4) Lengkap, memuat risiko pemakaian;
5) Etis;
6) Tidak mengeksploitasi kejadian atau seseorang;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
Undang-Undang Pangan Pada Bab IV Pasal 33 dan Pasal 34 mengatur
tentang label dan iklan sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Setiap label dan atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.
(2) Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang pangan yang diperdagangkan melalui; dalam, dan atau dengan label atau iklan apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan.
(3) Pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat menyesatkan.
Pasal 34
(1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
(2) Label tentang pangan olahan tertentu yang diperdagangkan untuk bayi, anak berumur di bawah lima tahun, dan ibu yang sedang hamil atau menyusui wajib memuat keterangan lain tenlang peruntukan, cara penggunaan, dan atau keterangan yang perlu diketahui mengenai dampak pangan terhadap kesehatan manusia.
Ketentuan Pasal 33 Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tersebut,
terdapat suatu kewajiban agar label dan iklan pangan memuat informasi yang
benar dan jujur, dan melarang para pihak yang memberikan keterangan atau
pernyataan yang dapat menyesatkan. Pemerintah melalui instansi yang
ditunjuk (dalam hal ini Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)) akan
mengawasi setiap iklan pangan yang akan dan telah beredar di masyarakat.
Selain berkewajiban memberikan informasi yang benar dan jujur kepada
konsumen, pelaku usaha jnga mempnnyai kewajiban untuk memberikan
informasi melalui iklan, bahwa produk pangan yang dipasarkan kepada
konsumen telau memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh agama,
sebagaimana tertera dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun
1996 yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyatakan dalam label atau
iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan
agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran
pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan iklan Pangan
Sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan Undang-Undang Pangan
tersebut dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69
Tahun 1999 tentang Label dan iklan Pangan. Pada dasarnya peraturan tersebut
memuat ketentuan bentang iklan pangan sebagai berikut:
Pasal 44
(1) Setiap iklan tentang pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai pangan secara benar dan tidak menyesatkan, baik dalam bentuk gambar dan atau suara, pernyataan, dan atau bentuk apa pun lainnya (Pasal 44 ayat (1)).
(2) Setiap iklan tentang pangan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kesusilaan dan ketertiban umum.
Pasal 45 :
(1) Setiap orang memproduksi dan atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan untuk diperdagangkan, dilarang memuat pernyataan dan atau keterangan yang tidak benar dan atau yang dapat menyesatkan dalam iklan.
(2) Penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan, turut bertanggung jawab terhadap isi iklan yang tidak benar, kecuali yang bersangkutan telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk meneliti kebenaran isi iklan yang bersangkutan.
(3) Untuk kepentingan pengawasan, penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan dilarang merahasiakan identitas, nama dan alamat pemasang iklan.
Ketentuan Undang-Undang Pangan dimaksud berlaku untuk semua
produsen pangan ataupun yang memasukkan pangan dari luar negeri ke
Indonesia (importir). Demikian juga dengan mereka yang tergolong sebagai
praktisi periklanan turut terikat pada kewajiban di atas. Mereka adalah
penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio, atau televisi, agen, dan atau
medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan, turut bertanggung
jawab terhadap isi iklan yang tidak benar (Pasal 45 ayat (2)).
Berkaitan dengan pembuatan dan penyebaran iklan, Pasal 47 Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 ini mencantumkan sejumlah larangan,
yaitu:
1) Dilarang mendiskreditkan produk pangan lainnya;
2) Dilarang mengeksploitasi keberadaan anak-anak;
3) Dilarang memakai media yang khusus diperuntukkan bagi anakanak jika
produk yang diiklankan dapat membahayakan anak-anak.
4) Dilarang mengiklankan melalui media masa bagi produk khusus
diperuntukkan bagi bayi dibawah satu tahun.
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Ketentuan mengenai periklanan memiliki keterkaitan dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 46 ayat (3) dari
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 memberikan batas-batas secara tegas
kepada penyelenggara kegiatan penyiaran agar materi iklan niaga yang
ditayangkan tidak memuat :
a. Promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideology, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideology lain, pribadi lain, atau kelompok lain;
b. Promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan zat adiktif; c. Promosi rokok yang memperagakan wujud rokok; d. Hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nalai-
nilai agama; dan / atau e. Eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
Berdasarkan pembatasan materi iklan siaran niaga sebagaimana tertera di
atas, UU Penyiaran memang tidak secara jelas menyebutkan adanya larangan
penyampaian materi iklan menyesatkan (misleading advertising) sebagai suatu
ketentuan. Tetapi dengan melihat dampak dari penayangan iklan menyesatkan
tersebut yang akan merugikan masyarakat (konsumen), maka tentunya
penayangan iklan tersebut dapat digolongkan sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan nilai-nilai dan kesusilaan dalam masyarakat. Kejujuran
dalam berbicara dan berperilaku sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat.108
Guna mengawasi setiap materi iklan yang akan disiarkan melalui
lembaga penyiaran, maka dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia pusat maupun
daerah yang mempunyai tugas dan kewajiban;
a. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;
b. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;
108 Dedi Harianto, op.cit, hal. 44
c. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait;
d. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
e. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran;
f. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.109
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibentuk berdasarkan amanat
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Semangat
pembentukan KPI ini di latar belakangi oleh adanya semangat untuk
mengelola sistem penyiaran yang merupakan ranah publik oleh sebuah badan
independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan
kekuasaan.
Berdasarkan ke kewenangan yang telah diberikan oleh Undang-undang
Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menghasilkan Keputusan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) No.009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman
Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, sebagai acuan bagi lembaga
penyiaran dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelenggarakan
dan mengawasi sistem penyiaran Nasional Indonesia.
Pengawasan terhadap materi iklan termasuk menjadi tugas dan
kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan berpedoman pada
prilaku penyiaran dan standar program siaran yang dalam prakteknya Komisi
109 Lihat Ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
Penyiaran Indonesia (KPI) mewajibkan lembaga-lembaga penyiaran untuk
melakukan mekanisme kontrol dengan selaku memeriksa ulang materi iklan
sebelum disiarkan kepada masyarakat.
Salah satu ketentuan yang menjelaskan kewajiban lembaga penyiaran
untuk melaksanakan kontrol terhadap materi iklan, dapat ditemukan dalam
Bab IV Kesopanan, Kepantasan, dan Kesusilaan, Pasal 31 Keputusan KPI
Nomor 009/SK/KPI/2004 tentang Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran, yaitu:
Sesuai dengan kondratnya, lembaga penyiaran dapat menjangkau secara
langsung khalayak yang sangat beragam baik dalam usia, latar belakang,
budaya, agama, dan keyakinan. Karena itu, lembaga penyiaran harus
senantiasa berhati-hati agar isi siaran yang dipancarkan tidak tidak
merugikan, menimbulkan efek negatif, atau bertentangan dan
menyinggung nilai-nilai dasar yang dimiliki keragaman kelompok
khalayak tersebut.
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Sebagai bentuk-bentuk perusahaan yang menjalankan kegiatan
jurnalistik, perusahaan periklanan maupun media cetak dan elektronik dapat
dikelompokkan sebagai perusahaan pers, penegasan hal tersebut dapat
ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999
tentang pers sebagai berikut:
Badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi
perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta
perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan,
menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Ketentuan Pasal 13 dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers mengatur beberapa larangan muatan iklan dari perusahaan pers sebagai
berikut:
a. Yang berakibat merendahkan martabat sesuai agama dan atau menganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. Minuman keras, narkotika, psikotropika, dan aat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Berkaitan dengan larangan-larangan muatan iklan seperti diatur dalam
pasal 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tersebut masih terbatas, dan
belum mencakup larangan terhadap materi informasi iklan yang dapat
menyesatkan konsumen. Sehingga patut dipertimbangkan untuk dapat
memasukkan larangan terhadap materi informasi iklan menyesatkan tersebut
pada penyenpurnaan UU Pers di masa yang akan bahan hukumng.
Fungsi Iklan
Fungsi pemasaran adalah fungsi untuk memenuhi permintaan para
pemakai ataupun pembeli terhadap barang-barang ataupun jasa serta gagasan
yang diperlukan. Jika tanpa iklan, maka untuk memasarkan informasi tentang
produk memerlukan cara-cara seperti salesman promotion atau personal selling.
Ringkasnya fungsi pemasaran adalah fungsi untuk menjual informasi tentang
barang, jasa gagasan melalui media dengan membayar ruang dan waktu sebagai
tempat lewatnya pesan dari komunikator kepada komunikasi (khalayak) sasaran.
Sebagai sarana pemasaran, iklan berfungsi :
1. Mengidentifikasi produk dan menjelaskan perbedaannya dengan produk lainnya.
2. Mengkomunikasikan informasi mengenai produk. 3. Menganjurkan percobaan produk baru secara bertahap dan akhirnya
tetap bagi pembeli dan para pemakainya. 4. Merangsang penyebaran dan akhirnya berakibat peningkatan
penggunaan produk. 5. Membangun rasa cinta dan dekat pada produk sehingga konsumen
terus merasa terikat dalam jangka waktu lama.110
Promosi suatu produk melalui iklan erat kaitannya dengan pelaksanaan
hak konsumen dan kewajiban produsen. Seperti yang disampaikan di atas, bahwa
iklan itu merupakan sarana informasi dari suatu produk. Dengan demikian, iklan
merupakan bagian hak dari konsumen, yaitu hak informasi yang benar, jelas, dan
jujur atas kondisi dan jaminan suatu produk. Disisi lain, iklan merupakan bagian
kewajiban produsen, yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan produk, serta memberikan penjelasan tentang
penggunaan, perbaikan, pemeliharaan produk tersebut.
Berbagai pakar/praktisi bisnis menunjukkan macam-macam pesan dan
fungsi iklan bagi berbagai bidang kehidupan dan bisnis, mulai dari menunjang
peningkatan kesejahteraan, melayani masyarakat, sampai memperkuat situasi
dalam permasalahan. Disamping itu, iklan merupakan sarana informasi produk.
110 Alo Liliweri, Op. Cit., h. 19.
Konsumen sebelum sampai pada keputusan untuk membeli terlebih dahulu perlu
untuk mengetahui tentang hal ikhwal dari produk itu yang kesemuanya dapat
diperoleh melalui iklan dari produk tersebut.
Sebagai sarana informasi, iklan berfungsi :
1. Memberikan penerangan dan informasi tentang suatu barang, jasa,
gagasan yang lebih diketahui oleh suatu pihak dan dijual kepada pihak
yang lain agar ikut mengetahuinya.
2. Memberi pesan yang berbau pendidikan, dalam arti mempunyai efek
jangka panjang, mengendapkan suatu gagasan.
3. Berusaha menciptakan pesan-pesan yang bersifat menghibut agar
dinikmati khalayaknya.
4. Mempengaruhi khalayak untuk dekat, rasa selalu membeli dan
memakai produk secara tetap dalam waktu lama.
Media Penyiaran
Munculnya media penyiaran di segenap antero dunia membuka cakrawala baru
dalam dunia komunikasi massa. Meski sebelumnya telah ditemukan mesin cetak maupun
pesawat radio, namun dari aspek karakteristiknya penemuan pesawat televisi lebih
memberi efek yang cukup spektakuler di tengah-tengah masyarakat dunia.
Kehadiran media penyiaran tidak dapat melupakan nama Fransworth (USA)
sebagai seorang yang pertama sekali menemukan tabung vakum untuk menangkap
gambar bergerak dan dapat ditampilkan secara elektronik di layar pada tahun 1920.
Kemudian pada tahun 1927 Philo Fransworth berhasil menyebarluaskan gambar bergerak
melalui peralatan transmissi sehingga era audio-visual berkembang sampai sekarang.
Tabung vakum yang oleh Frasnworth diberi nama Image Dissector itulah
kemudian disebut sebagai momentum pertama ditemukannya pesawat televisi, meski
pada saat itu sempat diperdebatkan karena masih ada pihak lain yang menggugat, yakni
sebuah institusi laboraturium Rusia. Laboraturium dengan label RCA mengklaim bahwa
Vladimir Zworykin lah yang pertama sekali menemukan tabung yang sama dengan nama
Iconoscope. 111
Di Indonesia media pertama sekali mengudara saat dilangsungkannya upacara
hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-17 pada 17 agustus 1962 dalam siaran percobaan
oleh TVRI. Barulah kemudian secara definitif TVRI menyiarkan secara langsung
pembukaan Asian Games ke-4 pada tahun yang sama, sekaligus dinyatakan bahwa
tanggal 24 agustus 1962 sebagai siaran yang secara resmi pertama sekali media tetevisi
mengudara di bumi Indonesia.
Kemajuan media elektronik di Indonesia mengalami pergerakan yang cukup
pesat, seiring dengan perkembangan dalam bidang media massa elektronik dunia
termasuk era teknologi satelit dengan beragam varian yang populer disebut sebagai news
media, menjadikan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari konstelasi media informasi
global sekaligus sebagai bahagian dari komunitas masyarakat informasi dunia.
111 Alo Liliweri, Op.Cit., h. 20.
Mengingat betapa pentingnya media penyiaran televisi sebagai sebuah sarana
informasi elektronik yang sekaligus memiliki multilinier efek, maka masing-masing
negara memiliki rambu-rambu tersendiri yang secara khusus mengatur tentang aktivitas
media ini, baik dari aspek legalitas kelembagaan, isi siaran, maupun etika
pengelolaannya. Di Indonesia sendiri dilakukan pengaturannya melalui produk hukum
positif dengan diterbitkannya undang-undang maupun Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Menteri ditambah dengan pembentukan lembaga pengawasan independen.
Dalam perjalanannya, siaran televisi selama beberapa dekade dimonopoli oleh TVRI
sebagai media informasi pemerintah. Barulah sejak tahun 1989 bermunculan lembaga
penyiaran swasta yang diawali oleh RCTI dan diikuti oleh lembaga penyiaran televisi
swasta lainnya.
Pada tahun 2002, dengan terbitnya undang-undang penyiaran maka lembaga
televisi yang ada melakukan penyesuaian dengan status yang beragam, TVRI menjadi
lembaga penyiaran publik dan semua televisi swasta wajib menjadi lembaga siaran
berjaringan. Menurut Undang-Undang no 32 tahun 2002 tentang penyiaran, dalam
ketentuan umum Bab I pasal (1) dikatakan : Lembaga penyiaran adalah penyelenggara
penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga
penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam
melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan tentang jasa penyiaran radio maupun televisi dalam kategori tersebut
di atas diuraikan dalam pasal-pasalnya, sebagai berikut:
1. Lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial
berbentuk badan hukum yang didirikan oleh Negara, bersifat independen, netral,
tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan
masyarakat.
2. Lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial
berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya
menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
3. Lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk
badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen,
dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauannya wilayah
terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.
4. Lembaga penyiaran berlangganan merupakan lembaga penyiaran berbentuk
badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa
penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin
penyelenggaraan penyiaran berlangganan.
Lembaga penyiaran berlangganan terdiri atas :
a. Lembaga penyiaran berlangganan melalui satelit
b. Lembaga penyiaran berlangganan melalui kabel
c. Lembaga penyiaran berlangganan melalui teresterial.
Setiap lembaga penyiaran dalam menjalankan tugas dan fungsinya mengacu
kepada aturan yang ditetapkan baik melalui undang-undang maupun ketentuan lainnya
berupa peraturan serta keputusan-keputusan pemerintah. Adanya peraturan yang bersifat
mengikat itu tidak terlepas dari konsep dan strategi informasi yang telah dirumuskan
secara nasional sekaligus menjadi komitmen bagi setiap aparat yang terkait di dalamnya,
baik aparat pemerintah maupun masyarakat penyiaran dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Rumusan konsep dimaksud disebut sebagai “Tatanan informasi
nasional”.
Sebagaimana yang terdapat di dalam UU penyiaran, bahwa Tatanan informasi
nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur,
dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat
dan daerah, antar wilayah di Indonesia, serta antara Indonesia dan dunia Internasional.
Lebih lanjut diterakan bahwa Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran
nasional. Dalam pasal 6 ayat (3) dikatakan bahwa : Dalam sistem penyiaran nasional
terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan
dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.
Sebagai konsekuensi dari aturan dalam pasal 6 ayat (3) ini, maka pemerintah
Republik Indonesia mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)
nomor 50 tahun 2005, khusus dalam memberi pedoman umum terhadap pelaksanaan
Sistem Jaringan terdapat pada BAB VI, pasal 34 sebagai berikut
1. Sistem stasiun jaringan terdiri atas Lembaga Penyiaran swasta induk satsiun
jaringan dan Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan yang
membentuk sistem stasiun jaringan.
2. Lembaga Penyiaran Swasta induk stasiun jaringan merupakan Lembaga
Penyiaran Swasta yang bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlay oleh
Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan dalam sistem stasiun
jaringan.
3. Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan merupakan Lembaga
Penyiaran Swasta yang tergabung dalam suatu sistem stasiun jaringan yang
melakukan relay siaran pada waktu-waktu tertentu dari Lembaga Penyiaran
Swasta induk stasiun jaringan.
Lembaga Penyiaran Swasta anggota stasiun jaringan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) hanya dapat berjaringan dengan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta induk
stasiun jaringan. Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan/atau jasa
penyiaran televisi yang menyelenggarakan siarannya melalui sistem stasiun jaringan
harus memuat siaran lokal. Setiap penyelenggaraan siaran melalui sistem stasiun jaringan
dan setiap perubahan jumlah anggota stasiun jaringan yang terdapat dalam sistem stasiun
jaringan wajib dilaporkan kepada menteri.
Dalam merespon aturan yang ada maka Departemen Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia mengeluarkan Permen Kominfo RI nomor :
43/PER/M.KOMINFO/10/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Stasiun
Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi. Menindak lanjuti
amanat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP) dan juga peraturan menteri
(Permen), maka Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga Negara yang diberi tugas
melakukan tata kelola lembaga penyiaran di Indonesia serta merta mencantumkan aturan
pelaksanaan penyiaran melalui sistem jaringan di dalam buku Pedoman Perilaku
Penyiaran (P3) dan Standard Progaram Siaran (SPS) untuk dijadikan acuan bagi seluruh
pengelola lembaga penyiaran di Indonesia tertutama terdapat pada pasal 31 yang
menyebutkan bahwa “ Lembaga penyiaran wajib menyiarkan program siaran lokal dalam
sistem stasiun jaringan sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku.”
Sistem jaringan televisi dimulai dalam sejarah pertelevisian Amerika Serikat dengan
munculnya tiga jaringan besar yang menyediakan acara untuk stasiun lokal, yakni
dimulai oleh stasiun televisi NBC dan CBS, kemudian diikuti oleh ABC dimana
sebelumnya ABC sebagai pesaing mereka. Jaringan tiga besar (Big Three) ini masing-
masing memiliki 200 outlet di AS sehingga acara-acara dari ketiga stasiun besar ini
menjangkau seluruh pelosok negeri. Pada tahun 1941 NBC memberi program acaranya
kepada perusahaan affiliasinya dengan menggunakan sambungan jalur microwave yang
menghubungkan pantai timur dan barat AS. Selain itu pada tahun 2004 General Electric
membeli studio film Universal dan menggabungkan diri dengan NBC. Selanjutnya
jaringan televisi CBS dikembangkan pada tahun 1982 oleh William Paley yang
sebelumnya telah berjaringan dengan CBS bersamaan dengan kehadiran seorang raja
hotel Amerika Laurence Tisch memperkuat keberadaan perusahaan televisi CBS.
Dengan kekuatan yang dimilik kemudian Televisi ABC mendirikan jaringan
televisi pada tahun 1948 dan berikutnya ABC melakukan merger dengan United
Paramount Theaters dengan propertinya yang mencakup beberapa stasiun televisi.
Setelah itu stasiun ABC membeli Capcities Communications pada 1985 yakni sebuah
stasiun televisi di Kansas City yang beroperasi dengan nama ABC/Cap Cities dan
akhirnya dibeli oleh Disney dengan mengganti sedikit label nama menjadi ABC Disney.
Pada tahun 1986 Rupert Murdoch seorang yang terkenal sebagai raja media internasional
tidak mau ketinggalan dengan membeli tujuh stasiun non-jaringan di kota-kota besar
Amerika Serikat sekaligus membeli perusahaan Film 20 th Century Fox menjadikannya
sebuah lembaga televisi berjaringan baru yang dimotori oleh Barry Diller.
Berdasarkan aturan yang ada, stasiun penyiaran nasional yang secara kebetulan
kesemuanya berada di ibu kota negara, Jakarta, dan sesuai dengan amanat UU,PP
maupun Permen kepada semua stasiun nasional diharuskan mendirikan stasiun-stasiun
lokal di daerah ibukota provinsi, kabupaten/kota yang kemudian dijadikan sebagai
anggota jaringannya. Pada saat yang sama Lembaga penyiaran nasional itu wajib
melepaskan hak kepemilikannya atas anggota jaringannya dengan memberikan peluang
sebesar besarnya kepada investor lokal, maksudnya agar terjadi pembagian pemusatan
kepemilikan (diversity of ownerships) sekaligus membagi sebahagian produk isi
siarannya kepada anggota jaringannya dengan volume maksimum 50% (diversity of
content).
Sedangkan Willis dan Aldridge (1992) menambahkan ketentuan atau kriteria
pengertian jaringan dengan menyebutkan : There are several different kinds of networs,
but all of them have one thing in common: They distribute program simultaneously to
affiliated stations. ( terdapat beberapa jenis jaringan, namun semuanya memiliki satu
kesamaan : Jaringan menyiarkan program secara serentak kepada stasiun afiliasinya).
Berdasarkan UU no 32 tahun 2002 tentang penyiaran, secara tegas memberi
tuntunan kepada setiap penyelenggara penyiaran, bahwa setiap kegiatan penyiaran di
Indonesia harus diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945
dengan azas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman,
kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan bertanggung jawab. Penyiaran
diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak
dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa,
memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri,
demokratis, adil dan sejahtera serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Selain itu
penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan. Berdasarkan hal tersebut di
atas, khususnya tentang kemandirian, demokratisasi, rasa keadilan dan fungsi ekonomi
serta kebudayaan dalam rangka terbinanya watak dan jati diri bangsa sekaligus
terwujudnya semangat otonomi daerah dengan tumbuh dan berkembangnya potensi
daerah, maka kehadiran Permen kominfo no 43 tahun 2009 dipandang relevan dalam
kondisi saat ini.
Berkaitan dengan hal tersebut, Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang
pers, pasal (6) mengamanatkan bahwa pers nasional wajib :
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati Kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan
benar,
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Hak dan Kewajiban Konsumen Serta Pelaku Usaha
2.3.1. Hak dan kewajiban konsumen
“Hak adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tindak
tanduk orang lain, tidak dengan cara mempergunakan kekuatannya sendiri,
tetapi berdasarkan pendapat umum atau kekuatan umum.”112
“Setiap konsumen mendambakan memperoleh hak-haknya dengan layak,
menginginkan suatu pasar yang diatur dengan prinsip-prinsip peraturan
dan suatu itikad baik dari semua unsur yang terlibat di dalamnya baik
produsen, pemerintah maupun konsumen itu sendiri.”113
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa
konsumen mempunyai hak sebagai berikut :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa,
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan juga mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa,
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atas jasa yang digunakan,
112 Sunaryati Hartono,1991, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm.36. 113 Ujang Sumarwan, 2002, Perilaku Konsumen Teori dan Penerapan Dalam Pemasaran,
Cet. I, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.332.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut,
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen, g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif, h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya,
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak konsumen yang paling pokok, yang seharusnya dipenuhi oleh
pelaku usaha adalah hak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa (the right to be
safety). Hak ini merupakan hak yang universal dari konsumen, ini berarti
bahwa produk-produk khususnya makanan yang diproduksi atau
diperdagangkan oleh pelaku usaha harus aman bagi kesehatan.
Keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsmsi barang
dan/atau jasa oleh konsumen, tentu saja berkaitan dengan terpenuhinya hak
untuk memilih barang dan/atau jasa sehingga konsumen akan mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai kebutuhannya dan tanpa ada tekanan dari
pihak luar.
Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya adalah
mengenai manfaat kegunaan produk, efek samping atas penggunaan produk,
tanggal kadaluwarsa serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi
tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik
yang dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan
produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik
melalui media cetak maupun media elektronik.
Hak untuk didengar untuk merupakan hak dari konsumen agar tidak
dirugikan lebih lanjut atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak
ini dapat disampaikan baik secara perseorangan maupun kolektif, baik
disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu.
Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut
dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan
akibat penggunaan produk. Konsumen juga berhak untuk memperoleh
pendidikan agar konsumen dapat lebih kritis dan teliti dalam memilih produk
yang dibutuhkan.
Hak atas ganti kerugian sangat terkait dengan penggunaan produk
yang telah merugikan konsumen baik berupa kerugian materi, maupun
kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen.
Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak konsumen yang harus
dipenuhi oleh pelaku usaha, maka konsumen juga harus memenuhi
kewajibannya. Menurut Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
Kewajiban Konsumen adalah :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan,
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering kali pelaku usaha
telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun
konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya.
Dengan pengaturan kewajiban ini, memberi konsekwensi pelaku usaha tidak
bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian
akibat mengabaikan kewajiban tersebut.
2.3.2. Hak dan kewajiban pelaku usaha
Menurut pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hak pelaku
usaha adalah :
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik,
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen,
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa
pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau
jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut
harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.
Dalam praktek yang biasa terjadi suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya
lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati
harga yang lebih murah.
Melalui hak-hak pelaku usaha tersebut diharapkan perlindungan
konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha
dapat dihindari.
Selain memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, pelaku usaha juga
mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dalam memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa. Menurut pasal 7 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, kewajiban pelaku usaha adalah :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku,
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan,
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), tampak
bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua
tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya dimulai sejak barang
dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen
mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah atas gambaran mengenai
suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut
dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.114
Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa kewajiban-kewajiban
tersebut merupakan manifestasi dari hak konsumen dalam sisi lain yang
ditargetkan atau ditujukan untuk menciptakan budaya tanggung jawab pada
diri para pelaku usaha.
114 Ahmadi Miru, “Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia”,
Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, 2000. h.140.