Upload
phamkien
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
22
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU DAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
2.1 Perjanjian Pada Umumnya
Dalam Buku III KUH Perdata telah diatur mengenai perikatan. Istilah
perikatan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu verbintenis. Istilah
tersebut mempunyai arti lebih luas dari pada istilah perjanjian. Perikatan
merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu
peristiwa hukum yang kongkrit. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang
terjadi karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian,
dan keadaan. Hubungan hukum ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan
yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan
kesusilaan.1
Dalam ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa perikatan-
perikatan lahir dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang lahir dari
perjanjian timbul karena adanya kesepakatan para pihak untuk saling mengikatkan
diri yang dituangkan dalam perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian,
memang dikehendaki oleh dua orang atau pihak yang membuat suatu perjanjian,
sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang
di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.2
1Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung, h. 3.
2Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, h. 3.
23
2.1.1 Pengertian Perjanjian
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu
overeenkomst. Kata overeenkomst berasal dari kata overeenkomen yang artinya
setuju atau sepakat. Sehingga istilah perjanjian mengandung kata sepakat sesuai
dengan asas konsensualisme. Dalam ketentuan umum mengenai perjanjian,
terdapat definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata
yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas.3 Tidak lengkap
karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja.4 Sangat luas dikarenakan
mempergunakan kata perbuatan sehingga mencakup juga perwakilan sukarela dan
perbuatan melawan hukum. Lingkup perjanjian terlalu luas, mencakup juga
perjanjian perkawinan yang diatur dalam bidang hukum keluarga.5 Padahal
perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata tersebut hanya mencakup
hubungan yang bersifat kebendaan, bukan bersifat keorangan atau personal.
Selain itu, terdapat beberapa ahli hukum yang mengemukakan pendapat
mereka mengenai rumusan pengertian perjanjian, yaitu :
1. Subekti merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :
3Ibid, h. 49.
4Agus Yudha Hernoko, 2010, op.cit, h. 16.
5Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 289.
24
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal”.6
2. Achamad Ichsan merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :
“Perjanjian adalah suatu hubungan atas dasar hukum kekayaan
(vermogensrechttelijke betrekking) antara dua pihak atau lebih dalam mana
pihak yang satu berkewajiban memberikan sesuatu prestasi atas mana pihak
yang lain mempunyai hak terhadap prestasi itu”.7
3. Abdulkadir Muhammad merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :
“Perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di
bidang harta kekayaan”.8
4. Van Dune merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :
“Perjanjian adalah hubungan hukum berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum”.9
5. RM Sudikno Mertokusumo merumuskan pengertian perjanjian sebagai
berikut:
6Subekti, op.cit. h. 1.
7Achamad Ichsan, 1967,Hukum Perdata I B, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, h. 15.
8Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 290.
9Much. Nurachmad, 2010, Buku Pintar Memahami & Membuat Surat Perjanjian,
Visimedia, Jakarta, h. 5.
25
“Perjanjian adalah perbuatan hukum terjadi karena kerjasama dua orang atau
lebih”.10
Berdasarkan dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
perjanjian timbul atau terjadi karena adanya kata sepakat atau persetujuan kedua
belah pihak. Kata sepakat terjadi karena adanya persesuaian kehendak diantara
para pihak. Perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak
yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian dinamakan juga persetujuan
dan/atau kontrak karena menyangkut kedua belah pihak yang setuju atau sepakat
untuk melakukan sesuatu.
2.1.2 Hubungan Hukum Dalam Perjanjian
Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum.11
Artinya
hubungan yang tidak diatur oleh hukum bukan merupakan hubungan hukum.
Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan
dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.12
Menurut Logemann, tiap hubungan
hukum terdapat pihak yang berhak meminta prestasi dan pihak yang wajib
melakukan prestasi. Hubungan hukum mempunyai dua segi yaitu hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban ini kedua-duanya timbul dari satu peristiwa hukum
(misalnya jual beli) dari satu pasal hukum objektif (Pasal 1474 KUH Perdata).13
10
Ibid.
11Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 253.
12Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 269.
13Ibid, h. 270.
26
Hubungan hukum mempunyai tiga unsur, yaitu adanya orang-orang yang
hak atau kewajibannya saling berhadapan, objek yang berlaku berdasarkan hak
dan kewajiban, dan hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau
hubungan atas objek yang bersangkutan. Suatu hubungan hukum baru ada jika
telah adanya dasar hukum yang mengatur hubungan hukum tersebut dan
timbulnya peristiwa hukum.
2.1.3 Asas-Asas Perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas yang merupakan dasar dalam
pelaksanaan perjanjian. Adanya asas-asas dalam perjanjian bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum dan membatasi dominasi salah satu pihak dalam
perjanjian. Selain itu, asas-asas ini juga berfungsi sebagai pedoman bagi para
pihak dalam membuat perjanjian. Asas-asas dalam perjanjian adalah diuraikan
sebagai berikut :
a. Asas konsensualisme
Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat kata
sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.14
Dengan
perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal
pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas. 15
Asas konsensualisme dibatasi
oleh ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa tiada sepakat
yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya
dengan paksaan atau penipuan.
14
Abdulkadir Muhammad, 2010, op.cit. h. 296.
15Subekti, op.cit, h. 15.
27
Maksud dari ketentuan tersebut adalah adanya kata sepakat berarti telah
terjadi konsensus secara tulus tanpa adanya kekhilafan, paksaaan ataupun
penipuan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata, apabila suatu
perjanjian dibuat didasarkan atas kekhilafan, paksaan ataupun penipuan, maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan (pembatalan).
b. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan perwujudan dari kehendak bebas
yang merupakan pancaran hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak
didasarkan atas hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Hukum perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja bahkan diperbolehkan untuk membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian
dalam Buku III KUH Perdata.16
Sehingga setiap orang bebas mengadakan
perjanjian apa saja baik yang sudah diatur maupun belum diatur oleh undang-
undang asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban hukum, tidak dilarang
undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.
c. Asas mengikatnya para pihak
Dalam asas ini, segala sesuatu yang telah disepakati oleh para pihak dan
telah dituangkan dalam perjanjian mengikat sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata. Asas ini
juga disebut dengan asas pacta sun servanda yang berhubungan dengan akibat
16
Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, 2011, Pokok-Pokok Hukum Bisnis,
Salemba Empat, Jakarta h. 22.
28
hukum dari suatu perjanjian. Dengan adanya kekuatan mengikat dalam perjanjian
maka para pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata terdapat suatu prinsip
bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat dengan apa yang
secara tegas disetujui dalam perjanjian tetapi juga terikat oleh kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang. Prinsip bahwa di dalam sebuah persetujuan orang
menciptakan sebuah kewajiban hukum dan bahwa ia terikat pada janji-janji
kontraktualnya dan harus memenuhi janji-janji ini, dipandang sebagai sesuatu
yang sudah dengan sendirinya dan bahkan orang tidak lagi mempertanyakan
mengapa hal itu demikian.17
Selain dalam Pasal 1338 KUH Perdata, asas mengikat ini juga secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 1340 bahwa perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya, sehingga perjanjian tidak dapat membawa kerugian atau
manfaat bagi pihak ketiga. Seseorang dalam membuat perjanjian tidak boleh
membebani pihak ketiga dan memberikan hak kepada pihak ketiga dapat saja
dilakukan jika sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata.
d. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan mempunyai makna sebagai keseimbangan posisi atau
kedudukan para pihak yang mengadakan perjanjian. Keseimbangan kedudukan
para pihak hanya akan terwujud apabila para pihak tersebut berada pada posisi
yang sama kuat. Tujuan dari asas keseimbangan adalah hasil akhir yang
17
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 97.
29
menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan
kewajibannya.18
Keseimbangan kedudukan para pihak dapat ditentukan dari adanya
kecakapan dalam membuat perjanjian. Apabila seorang yang tidak cakap
membuat perjanjian dengan orang yang cakap maka terjadi ketidakseimbangan.
Selain itu, ketidakseimbangan kedudukan para pihak terjadi karena adanya
penyalahgunaan keadaan (undueinfluence) dimana salah satu pihak berada dalam
posisi kuat dan posisi tersebut disalahgunakan sehingga merugikan pihak lain.
e. Asas kepribadian (personalitas)
Asas kepribadian atau personalitas adalah asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan atau membuat kontrak hanya untuk keperntingan
perseorangan saja. Dalam Pasal 1315 KUH Perdata ditentukan bahwa seseorang
yang membuat perjanjian tidak dapat mengatasnamakan orang lain. Sebuah
perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak
yang membuatnya.19
2.1.4 Unsur-Unsur Perjanjian
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya 3 unsur
perjanjian, yaitu :
1. Unsur esensialia
Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa
prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih pihak, yang
mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip
18
Agus Yudha Hernoko, op.cit, h. 80.
19Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, op.cit, h. 23.
30
dari jenis perjanjian lainnya.20
Unsur esensialia merupakan unsur pokok yang jika
unsur ini tidak ada maka perjanjian menjadi timpang. Selain itu, perjanjian akan
dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Unsur esensialia digunakan untuk memberikan rumusan, definisi dan
pengertian dalam suatu perjanjian. Misalnya dalam perjanjian jual beli yang diatur
dalam Pasal 1457 KUH Perdata mengandung unsur barang dan harga sebagai
unsur pokoknya. Sehingga apabila unsur harga dan barang tidak dapat dipenuhi
dalam perjanjian maka tuntutan terhdap pemenuhan perjanjian tidak dapat
diterima.
2. Unsur naturalia
Unsur naturalia adalah unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan
berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya.21
Meskipun ketentuan-ketentuan yang merupakan unsur naturalia tidak tidak secara
tegas ada dalam perjanjian, ketentuan tersebut tetap dianggap ada. Misalnya
dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat
unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang
dijual dari cacat-cacat tersembunyi.22
Kewajiban tersebut memang tidak
dicantumkan dalam perjanjian, namun jika hal tersebut terjadi maka kewajiban
tersebut akan menjadi tanggung jawab penjual.
20
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 85.
21I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h.28.
22Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 88.
31
3. Unsur aksidentalia
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang
merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para
pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak,
yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh
para pihak.23
Unsur ini berupa suatu peristiwa seperti misalnya tempat dan saat
perjanjian tersebut dilaksanakan. Unsur ini juga merupakan unsur penting dalam
suatu perjanjian, sebab terjadi atau tidaknya suatu peristiwa dapat menyebabkan
perjanjian dapat dilaksanakan sesuai isi perjanjian atau dengan cara lain.
Ketiga unsur tersebut merupakan unsur penting yang menjadi dasar dari
suatu perjanjian. Sebagaimana yang telah dijabarkan diatas bahwa unsur
esensialia merupakan unsur pokok, sehingga jika unsur tersebut tidak dapat
dipenuhi maka akan menyebabkan perjanjian tersebut tidak ada, timpang dan
tidak dapat dijalankan. Sebaliknya jika unsur naturalia dan unsur aksidentalia
dimasukkan dalam suatu perjanjian maka unsur-unsur tersebut akan melengkapi
perjanjian dan karenanya perjanjian tersebut dapat dijalankan.
2.1.5 Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian yang sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang akan diuraikan sebagai berikut:
23
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 89.
32
1. Sepakat mengikatkan diri
Menurut Nancy K. Kubasek dalam bukunya yang berjudul “Dynamic
Business Law” menyatakan bahwa “the first element of a contract is the
agreement”.24
Perjanjian lahir saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak
yang didasarkan atas adanya persetujuan kehendak, dikenal dengan asas
konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian. Persetujuan
kehendak adalah persepakatan seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok
(esensi) perjanjian.25
Persetujuan kehendak itu bebas dari paksaan pihak mana pun dan tidak ada
kekhilafan maupun penipuan. Paksaan (dwang) adalah suatu perbuatan ancaman
yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menakutkan orang dan apabila
perbuatan ancaman tersebut menjadi kenyataan dapat menimbulkan kerugian
secara nyata dan terang kepada orang yang diancam. Kehilafan (dwaling) adalah
suatu penggambaran yang keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat
penting objek perjanjian, atau mengenai subjek perjanjian. Penipuan (bedrog)
merupakan suatu alasan pembatalan perjanjian yang dilakukan dengan
menggunakan tipu muslihat oleh salah satu pihak
Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kata sepakat, salah satu
pihak akan menyampaikan penawaran. Penawaran merupakan suatu bentuk
pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala
macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan untuk disepakati oleh para
24
Nancy K. Kubasek et. al, 2009, Dynamic Business Law, McGraw-HillI, New York,
h..362.
25Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 299.
33
pihak. Adanya kesepakatan para pihak ditandai oleh penawaran dan penerimaan
yang dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan simbol.
Kesepakatan merupakan inti dari perjanjian. Terdapat teori-teori mengenai
kapan terjadinya suatu kesepakatan, yaitu :
a. Teori kehendak (wilstheorie)
Teori ini menganggap bahwa pihak-pihak hanya terikat kepada hal-hal
yang memang benar-benar dikehendakinya.26
b. Teori pernyataan atau kepercayaan (verklarings of vertrouwenstheorie)
Teori pernyataan menekankan kepada apa yang dinyatakan.27
Dalam teori
ini para pihak terikat kepada hal-hal yang telah dinyatakan dengan pengertian,
dimana pernyataan tersebut dianggap sesuai dengan kehendak para pihak yang
menyatakannya.
c. Teori ucapan (uitingstheorie)
Teori ini menyatakan bahwa suatu kesepakatan terjadi, jadi pihak yang
menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban yang menyatakan bahwa ia
telah menerima tawaran itu.28
d. Teori pengiriman (verzendtheorie)
Terjadinya kata sepakatan pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim
oleh pihak yang menerima tawaran.29
26
Achamad Ichsan, op.cit, h. 18.
27I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h. 53.
28Samuel M. P Hutabarat, 2010, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian,
Garsindo, Jakarta, h. 36.
29Ibid.
34
e. Teori penerimaan (ontvangsttheorie)
Teori penerimaan menyatakan bahwa kesepakatan itu terjadi manakala
jawaban atas penawaran yang berisi tentang penerimaan penawaran tersebut telah
diterima oleh pihak yang menawarkan.30
2. Kecakapan para pihak
Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum termasuk mengadakan perjanjian. Pada dasarnya semua orang
dianggap cakap untuk membuat perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1329
KUH Perdata, kecuali yang secara tegas oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Dalam Pasal
1330 KUH Perdata disebutkan bahwa tidak cakap membuat perjanjian ialah :
a. orang-orang yang belum dewasa, yaitu orang yang belum genap berusia 21
tahun dan belum menikah sesuai ketentuan Pasal 330 KUH Perdata;
b. mereka yang berada di bawah pengampuan, yaitu orang yang gila, kalap mata,
bahkan dalam hal tertentu juga orang yang boros sesuai ketentuan Pasal 433
KUH Perdata;
c. orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan oleh undang-undang, yaitu
perempuan yang sudah menikah dan tidak didampingi oleh suaminya.
Namun setelah adanya surat edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
1963 tanggal 4 Agustus 1963 yang menyebutkan beberapa pasal dalam KUH
Perdata antara lain Pasal 108 dan Pasal 110, sehingga sejak saat itu perempuan
yang masih mempunyai suami dapat melakukan perbuatan hukum serta
30
Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Press,
Jakarta (selanjutnya disebut Ahmadi Miru I), h. 33.
35
diperbolehkan menghadap di pengadilan tanpa seijin dari suaminya. Perbuatan
hukum yang dilakukan istri adalah sah dan mengikat menurut hukum dan tidak
dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.31
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dimaksudkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai
suatu objek tertentu yang merupakan pokok perjanjian atau prestasi. Prestasi
adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.32
Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu. Oleh karena itu, objek dalam perhubungan hukum perihal perjanjian ialah
hal yang diwajibkan kepada pihak berwajib (debitur), dan hal, terhadap mana
pihak berhak (kreditur) mempunyai hak.33
Objek perjanjian harus ditentukan
secara tegas dalam perjanjian. Hal ini bertujuan untuk menjaga apabila terjadi
suatu perselisihan maka akan mudah menerapkan hak dan kewajiban masing-
masing pihak.
4. Suatu sebab yang halal
Sebab adalah apa yang menjadi isi atau makna dari perjanjian atas dasar
mana pihak yang bersangkutan menghendaki mengadakan perjanjian itu. Kata
sebab dalam Bahasa Belanda adalah orzaak dan Bahasa Latin berarti causa. Hoge
Raad sejak tahun 1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan
31
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 302.
32Salim HS, 2010, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta (selanjutnya disingkat Salim HS I), h. 24.
33Wirjono Prodjodikoro, 2000, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung,
h.19.
36
para pihak.34
Wirjono memberikan pengertian causa sebagai isi dan tujuan suatu
perjanjian, yang menyebabkan adanya perjanjian itu.35
Suatu perjanjian harus mengandung sebab yang dibenarkan oleh undang-
undang, kebiasaan, ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan. Suatu perjanjian
tanpa sebab atau dibuat karena sebab yang palsu termasuk ke dalam sebab yang
tidak halal. Sehingga perjanjian tersebut tidak akan mempunyai kekuatan atau
batal demi hukum.
Syarat-syarat perjanjian seperti yang telah diuraikan diatas bersifat
komulatif, bukan limitatif. Jika salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan
semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu tidak sah. Syarat sepakat
mengikatkan diri dan kecakapan para pihak merupakan syarat subjektif. Syarat
subjektif berkaitan dengan orang-orang atau subjek yang mengadakan perjanjian.
Akibat hukum dari tidak dipenuhinya syarat subjektif adalah perjanjian tersebut
dapat dibatalkan (vernietigbaarheid). 36
Selanjutnya, syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal termasuk
syarat objektif. Syarat objektif berkaitan dengan objek dari perbuatan hukum yang
dilakukan yaitu isi perjanjian. Akibat hukum yang ditimbulkan dari tidak
dipenuhinya syarat objektif adalah batal demi hukum (neitigbaarheid).37
34
Ibid, h. 25.
35Achamad Ichsan, op.cit, h. 23.
36I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h. 62.
37I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h. 67.
37
2.2 Perjanjian Baku
2.2.1 Pengertian Perjanjian Baku
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu
standard contract.38
Di Indonesia sendiri, perjanjian baku juga dikenal dengan
istilah “perjanjian standar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata standar
berarti suatu ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan, sedangkan kata baku
berarti tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan.39
Selain itu, perjanjian baku dikenal dengan nama take it or leave it. Artinya
konsumen mempunyai hak untuk melakukan pilihan yaitu menyetujui perjanjian
atau menolak perjanjian.
Dalam perjanjian baku, model, rumusan dan ukuran yang dijadikan
patokan atau pedoman telah dibakukan sehingga tidak dapat diganti atau diubah
lagi. Semuanya telah dicetak dalam bentuk formulir yang di dalamnya dimuat
syarat-syarat baku. Oleh karena perjanjian baku tersebut dibuat sepihak maka
hanyalah pihak penyusun perjanjian yang memahami isi perjanjian sedangkan
pihak lain yang hanya menerima perjanjian tidak tertutup kemungkinan dirugikan
sebab ia sulit dan tidak memahami isi perjanjian dalam waktu singkat.
Terdapat beberapa rumusan mengenai pengertian perjanjian baku yang
dirumuskan oleh para ahli hukum, yaitu :
38
Salim HS, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disingkat Salim HS II), h. 145.
39Anonim, 2015, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), URL : http://kbbi.web.id,
diakses pada tanggal 31 Maret 2015.
38
1. Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut :
“Perjanjian baku adalah konsep-konsep atau janji-janji tertulis, disusun tanpa
membicarakan isinya dan lazimnya, dituangkan ke dalam sejumlah tak
terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu”.40
2. Sutan Remi Sjadeini merumuskan perjanjian baku sebagai berikut :
“Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya
dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan".41
3. Mariam Darus Badrulzaman merumuskan perjanjian baku sebagai berikut:
“Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan
dalam bentuk formulir”.42
Berdasarkan rumusan perjanjian baku yang telah dirumuskan oleh para
ahli hukum, maka dapat dirumuskan perjanjian baku merupakan perjanjian tertulis
yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu, yang mengandung
syarat-syarat baku, yang dibuat oleh salah satu pihak kemudian disodorkan kepada
pihak lain untuk disetujui.
40
Sukarmi, 2008, Cyber Law : Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha
(Cyber Law Indonesia), Pustaka Sutra, Bandung, h. 45.
41Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc.cit, dikutip dari Sultan Remi Sjadeini, 1993, Kebebasan
Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, h. 66.
42Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, h. 139, dikutip dari Mariam Darus Badrulzaman,
1986, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat Dari Perjanjian Baku (Standar), Binacipta,
Bandung, h. 58.
39
1.2.2 Ciri-Ciri Perjanjian Baku
Dalam perjanjian baku juga terdapat ciri-ciri atau karakteristik yang harus
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Perkembangan kebutuhan masyarakat kini menginginkan adanya efisiensi dan
efektivitas kerja. Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi serta
efektivitas kerja, maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karakteristik yang
khas yang tidak dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain
perjanjian baku dibuat salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk
perundingan, isi perjanjian telah distandarisasi, klausula yang ada di dalamnya
biasanya merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas dan berlaku
secara terus menerus dalam waktu yang lama.43
Selain itu, beberapa para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai
ciri-ciri atau karakteristik perjanjian baku. Sudaryatmo mengungkapkan
karakteristik perjanjian baku sebagai berikut:
1. perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat
dari konsumen;
2. konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian;
3. dibuat dalam bentuk tertulis dan massal;
4. konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.44
43
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, h. 140, dikutip dari Sriwati, 2000, “Perlindungan
Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku”, Jurnal Yustika Vol. 3, Desember 2000, h. 176.
44Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, h. 66, dikutip dari
Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 93.
40
Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku.
Ciri perjanjian baku yaitu :
1. isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;
2. masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian;
3. terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
4. bentuk tertentu (tertulis);
5. dipersiapkan secara massal dan kolektif. 45
1.2.3 Jenis-Jenis Perjanjian Baku
Mariam Darus Badrulzaman membagi perjanjian baku menjadi empat
jenis yaitu :
a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat
disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi)
kuat dibandingkan pihak debitur.
b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya
ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-
pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh
(debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya
pada perjanjian buruh kolektif.
c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku
yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan
hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek
hak-hak atas tanah.
d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat
adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah
disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang
minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.46
45
Salim HS II, op.cit, h.146.
46Salim HS II, op.cit, h. 156.
41
1.2.4 Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku
Klausula eksonerasi sering dicantumkan dalam perjanjian baku oleh
pelaku usaha. Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang
dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri
untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas,
yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.47
Klausula
eksonerasi merupakan syarat yang berisi pembebasan atau pembatasan tanggung
jawab pelaku usaha dalam melaksanakan suatu perjanjian.
Pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dimaksudkan
untuk mengurangi atau bahkan meniadakan resiko-resiko tertentu yang mungkin
muncul dikemudian hari. Adanya syarat pembebasan atau pembatasan tanggung
jawab secara tidak langsung memperluas alasan-alasan keadaan memaksa.
Biasanya klausula tersebut banyak terdapat dalam jual beli, pengangkutan laut,
parkir kendaraan, serta hal-hal yang dialami sehari-hari.48
Dengan adanya klausula
eksonerasi tersebut, menunjukkan kedudukan pelaku usaha akan semakin kuat,
walaupun sebenarnya tanpa dicantumkannya klausula baku kedudukannya pun
sudah kuat.
Klausula eksonerasi dapat berasal dari rumusan pelaku usaha secara
sepihak dan dapat juga berasal dari rumusan pasal dalam undang-undang.
Klausula eksonerasi yang berasal dari rumusan pelaku usaha membebankan beban
pembuktian pada konsumen dan menyatakan pelaku usaha tidak bersalah.
47
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.114, dikutip dari Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka
Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, h. 47.
48Abdulkadir Muhamaad, op.cit, h. 312.
42
Sedangkan klausula eksonerasi yang berasal dari rumusan pasal dalam undang-
undang membebankan pembuktian pada pelaku usaha, seperti misalnya pada
rumusan Pasal 22 UU Perlindungan Konsumen.
Tujuan dari pencamtuman klausula eksonerasi adalah untuk mencegah
konsumen merugikan kepentingan pelaku usaha. Di sisi lain, adanya pencantuman
klausula eksonerasi ini justru merugikan kepentingan konsumen. Klausula
eksonerasi dapat dicantumkan dalam perjanjian baku jika adanya keadaan
memaksa karena perbuatan pihak-pihak perjanjian. Perbuatan pihak-pihak
perjanjian berkaitan dengan kepentingan pihak kedua dan/atau pihak ketiga.
Walaupun dalam perjanjian baku pelaku usaha mempunyai kebebasan
mencantumkan dan memberlakukan klausula baku, namun tetap saja terdapat
batasan-batasan yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha. Batasan-batasan
pencantuman klausula baku tersebut dinyatakan dalam Pasal 18 UU Perlindungan
Konsumen, yaitu:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa;
43
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
1.3 Perlindungan Konsumen dan Dasar Hukumnya
2.3.1 Pengertian Perlindungan Konsumen
Konsumen merupakan istilah yang sering dipergunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-
Amerika), atau consument/konsument (Belanda).49
Secara harfiah arti kata
consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.50
Secara yuridis formal pengertian konsumen dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka
2 UU Perlindungan konsumen yang menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap
orang, pemakai barang dan/atau jasa, yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan
tidak untuk diperdagangkan. Dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah
konsumen akhir (end consumer) dan konsumen antara (derived/intermediate
consumer). Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
49
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, h. 22.
50Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc.cit.
44
produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu
produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya.
Berdasarkan Penjelasan UU Perlindungan konsumen ditentukan bahwa
pengertian konsumen yang dimaksud dalam UU Perlindungan Konsumen adalah
konsumen akhir. Hal ini dapat ditunjukkan dari adanya syarat tidak untuk
diperdagangkan dalam pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UU
Perlindungan Konsumen. Dengan demikian maka akan timbul pertanyaan
mengenai kepastian hukum bagi badan hukum, badan usaha, atau produsen dan
pelaku usaha yang mengonsumsi barangdan/atau jasa, untuk memproduksi barang
dan/atau jasa lainnya.
Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu
konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi
kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain tidak untuk
diperdagangkan kembali.51
Sedangkan yang kedua dalam naskah final Rancangan
Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang disusun oleh
Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penenlitian
dan Pengembangan Perdagangan Departermen Perdagangan RI menentukan
51
Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Ahmadi Miru II), h. 20, dikutip
dari Yayasan Lembaga Konsumen, 1981, Perlindungan Konsumen Indonesia, Yayasan Lembaga
Konsumen, Jakarta, h. 2.
45
bahwa, konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang
untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.52
Para ahli hukum juga mempunyai pandangan sendiri dalam merumuskan
pengertian konsumen. Namun pada umumnya para ahli sepakat bahwa arti
konsumen adalah pemakai terakhir dari barang dan/atau jasa yang diserahkan
kepada mereka oleh pengusaha. Mariam Darus Badrul Zaman mendenfinisikan
konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang digunakan oleh
kepustakaan Belanda, yaitu semua individu yang menggunakan barang dan jasa
secara konkret dan riil.53
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo merumuskan
pengertian konsumen adalah setiap orang/badan hukum yang memperoleh
dan/atau memakai barang atau jasa yang berasal dari pelaku usaha dan tidak untuk
diperdagangkan. Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna
atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui
cara lain, seperti pemberian hadiah, dan undangan.54
Dalam penjelasan UU Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa dalam
melakukan hubungan dengan pelaku usaha, konsumen berada di posisi yang
lemah. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran
konsumen akan haknya masih rendah. Untuk itu, perlu adanya perlindungan
hukum terhadap konsumen. Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum
adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak asasi
52
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, h. 6, dikutip dari Universitas Indonesia dan
Departemen Perdagangan, 1992, Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1 a.
53Zulham, op.cit, h. 16.
54Zulham, loc.cit.
46
manusia yang dimiliki subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan. Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen
itu sendiri.55
UU Perlindungan Konsumen memberikan pengertian perlindungan
konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen. Segala upaya yang dimaksudkan dalam
perlindungan konsumen tidak hanya terhadap tindakan preventif, akan tetapi juga
tindakan represif dalam semua bidang perlindungan yang diberikan kepada
konsumen. Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua
aspek, yaitu:
1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada
konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada
konsumen.56
Perlindungan hukum diberikan kepada konsumen untuk mempertahankan
hak-hak konsumen dari gangguan pihak lain. Sebagaimana yang telah diuraikan
diatas bahwa tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya masih rendah
sehingga tidak menutup kemungkinan konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis
oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui kiat
55
Zulham, op.cit, h. 21.
56Zulham, op.cit, h. 22, dikutip dari Adrianus Meliala, 1993, Praktik Bisnis Curang,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 152.
47
promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan
konsumen. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik
dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.57
1.3.2 Hak-Hak Konsumen
Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen yang dikemukakan
oleh Jhon F. Kennedy dan diakui secara internasional, yaitu :
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), yaitu hak yang
ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang dan/atau jasa
yang membahayakan keselamatan konsumen.
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), yaitu hak
konsumen untuk memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi suatu barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh pelaku usaha.
3. Hak untuk memilih (the right to choose), yaitu hak prerogratif yang dimiliki
oleh konsumen untuk menentukan apakah ia akan membeli atau tidak
membeli suatu barang dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar (the right to be heard), yaitu hak konsumen untuk
didengar setiap keluhannya dan harapannya dalam mengonsumsi barang
dan/atau jasa yang dipasarkan oleh pelaku usaha.
YLKI menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat dasar hak
konsumen yang dikemukakan oleh Jhon F. Kennedy yaitu hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat.58
57
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, h. 30.
58Zulham, op.cit, h. 50.
48
Selain itu, International Organization of Consumers Union-IOCU yang
merupakan organisasi konsumen sedunia menambahkan empat hak dasar
konsumen yang harus dilindungi yaitu:
1. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
2. hak untuk mmperoleh ganti rugi;
3. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
4. hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Keseluruhan hak-hak tersebut diatas diakomodasikan dalam UU
Perlindungan Konsumen. Namun hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang
bersih dan sehat tidak dimasukkan dalam UU Perlindungan Konsumen. Hal ini
dikarenakan UU Perlindungan Konsumen secara khusus mengecualikan hak-hak
yang diatur dalam undang-undang di bidang hak-hak atas kekayaan intelektual
dan di bidang pengelolaan lingkungan. Sehingga terdapat delapan hak konsumen
yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen dan
satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka.
1.3.3 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Dasar hukum perlindungan konusmen merupakan norma hukum yang
menjadi landasan kebijakan dalam perlindungan konsumen. Dasar hukum tersebut
dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang didalamnya
mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu peraturan perundang-
undangan yang menjadi landasan hukum dalam upaya perlindungan konsumen
adalah UU Perlindungan Konsumen.
49
Adanya UU Perlindungan Konsumen bertujuan untuk melindungi hak-hak
dan menjamin kepastian hukum bagi konsumen. Hal ini dikarenakan banyak
konsumen yang belum menyadari akan hak-haknya yang harus dilindungi. Tujuan
perlindungan konsumen tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 3 UU
Perlindungan konsumen, yaitu :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Terdapat asas-asas perlindungan konsumen yang tercantum dalam Pasal 2
UU Perlindungan Konsumen dan penjelasannya, meliputi:
1. Asas manfaat yaitu segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
2. Asas keadilan yaitu partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
3. Asas keseimbangan yaitu memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;
50
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen yaitu memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian
dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5. Asas kepastian hukum yaitu baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Selain UU Perlindungan Konsumen terdapat dasar hukum lain sebagai
landasan perlindungan konsumen, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang;
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten;
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan;
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian;
10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.