Upload
vanque
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUMTENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
DAN ILLEGAL LOGGING
2.1. Pengertian Pertanggungjawaban
Secara etimologi, pertanggungjawaban terdiri dari kata tanggung dan jawab. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung
segala sesuatunya, yakni berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung
segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.1 Tanggung jawab adalah
kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja
sebagai perwujudan akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah
menjadi bagian dari kehidupan manusia bahwa setiap manusia pasti akan dibebani tanggung
jawab. Apabila tanggung jawabnya tidak dilaksanakan, maka ada pihak lain yang akan
memaksakan tanggung jawab itu untuk dipenuhi, dengan demikian tanggung jawab dapat dilihat
dari 2 (dua) sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.
Berbicara mengenai tanggung jawab dalam konteks hukum, dapat diartikan sebagai
kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja
berkaitan dengan pelanggaran hukum atas suatu perbuatan yang disertai dengan ancaman sanksi.
Beberapa para ahli berpendapat mengenai definisi dari tanggung jawabhukum,
diantaranya yakni :
Menurut pendapat Ridwan Halim, dalam bukunya Purbacaraka,
1Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 140.
Tanggung jawab hukum sebagai suatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik
peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung
jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku
menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.2
Menurut pendapat Purbacaraka,
Tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan
kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak dan/atau melaksanakan kewajibannya.
Lebih lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik
yang dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada
dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggungjawaban, demikian pula dengan
pelaksanaan kekuasaan.3
2.1.1Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak Zaman Revolusi Francis, dimana pada
saat itu tidak hanya manusia bahkan hewan maupun benda mati pun dapat
dipertanggungjawabkan pidana. Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas tindakan yang
dilakukannya sendiri, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat dipertanggungjawabkan karena
pada masa itu hukuman tidak sebatas hanya pada pelaku tindak pidana saja, melainkan juga
dijatuhkan pada kerabat dekat dari pelaku tindak pidana itu sendiri.
Setelah masa Revolusi Francis, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar
falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan Teori Tradisionalisme (mashab taqlidi),
kebebasan berkehendak dimaksudkan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban
2Purbacaraka, 2010, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya, Bandung, hlm. 35.
3Ibid, hlm. 37
pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini seseorang pada usia tertentu dapat
membedakan dan memisahkan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.4
Terdapat 2 (dua) pandangan mengenai pertanggungjawaban pidana, yaitu pandangan
yang monistis dikemukakan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai suatu perbuatan
yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh
seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. Menurut
aliran monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan, yang lazim disebut
sebagai unsur objektif maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur subjektif. Oleh
karena itu, disatukannya unsur perb.uatan dan unsur pembuatnya maka dapat disimpulkan bahwa
strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah
dianggap bahwa jika strafbaar feit terjadi maka sudah pasti pelakunya dapat dipidana.5
Berbeda dengan pandangan monistis, yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana
telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana
dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan dualistis, tindak pidana hanya mencakup
criminal act sedangkancriminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana, oleh karena itu
untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan danya perbuatan yang
diramuskan oleh Undang-Undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar
pembenar.6
Seseorang mampu dipertanggungjawabkan jika jiwanya sehat, yaitu apabila :
a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum;
4S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet. IV, Alumni Ahaem,
Jakarta, hlm. 253. 5Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 185.
6Ibid,hlm. 186.
b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.7
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif, menganut asas
kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Pertanggungjawaban pidana
merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya.
Dengan demikian terjadinya pertanggungjawaban pidana karena ada kesalahan yang mendasari
dijatuhinya sanksi pidana kepada orang tersebut.
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toerekenbaarheid”,
“criminal responbility”, dan “criminal liability”. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan
untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dapat di pertanggungjawabkan atas
suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak, dengan kata lain apakah orang tersebut akan dipidana
atau dibebaskan. Jika dipidana, harus dibuktikan bahwa tindakan tersebut bersifat melawan
hukum dan orang tersebut mampu bertanggungjawab. Kemampuantersebut memperlihatkan
kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan, dalam artian bahwa pelaku
menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.
Menurut Sudarto, kesalahan digolongkan menjadi kesalahan psikologis dan kesalahan
yang normatif. Kesalahan psikologis diartikan sebagai kesalahan yang hanya dipandang sebagai
hukum psikologis (batin) berupa kesengajaan atau kealpaan antara si pembuat dengan
perbuatannya. Adanya hubungan batin dalam hal kesengajaan itu berupa menghendaki perbuatan
beserta akibatnya dan pada kealpaan tidak disertai dengan adanya kehendak demikian.
Sedangkan pengertian kesalahan yang normatif, menentukan kesalahan seseorang tidak hanya
berdasarkan sikap batin antara pembuat dan perbuatannya, tetapi disamping itu harus ada unsur
penilaian atau unsur normatif perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian dari luar
mengenai hubungan antara pembuat dengan perbuatannya, berupa pencelaan dari-.masyarakat
7Sudarto,1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, hlm. 6.
atas apa yang seharusnya diperbuat oleh si pembuat. Sikap batin si pembuat berupa kesengajaan
dan kealpaan tetap diperhatikan, namun hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur lain
ialah penilaian mengenai keadaan jiwa si pembuat, kemampuan bertanggungjawab dan tidak
hanya atas dasar penghapus kesalahan.8 Dilihat dari penjelasan tersebut, unsur-unsur kesalahan
meliputi:
1.Kemampuan bertanggungjawab;
2.Sengaja (dolus/opzef) dan lalai (culpa/alpa)',
3.Tidak ada alasan pemaaf.
Menurut Roeslan Saleh9, tidak ada gunanya mempertanggungjawabkan terdakwa atas
perbuatannya apabila perbuatannya sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka terlebih dahulu
harus dipastikan tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian unsur-unsur kesalahan harus
dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan agar terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan. Untuk dapat dipertanggungjawabkan, seorang terdakwa atau pelaku
tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Melakukan perbuatan pidana (melawan hukum);
2. Mampu bertanggungjawab;
3. Dengan kesengajaan atau kealpaan; dan
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2, dan ayat (2) Kitab Undang-
UndangHukumPidana(KUHP),adabeberapapihakyangdapat dijadikan subjek hukum dalam hal
pertanggungjawaban pidana, sebagai berikut:
Ayat (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana :
8Ibid.
9Roeslan Saleh, 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 75.
(1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan
perbuatan.
(2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakankekuasaanataumartabat,dengankekerasan, ancaman atau
penyesatan. Atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Ayat (2) terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkansajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Ketentuan Pasal tersebut diatas mengkategorikan pelaku tindak pidana sebagai orang
yang melakukan sendiri suatu tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-sama untuk
melakukan tindak pidana.
2.1.2Sejarah Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pertanggungjawaban pidana korporasi pertama kali diterapkan oleh negara-negara yang
menganut sistem Common Law, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada dikarenakan
adanya sejarah revolusi Industri yang terjadi lebih dahulu pada negara-negara tersebut.
Pengadilan Inggris mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah dijatuhi pidana denda
karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban hukum. Alasan keengganan untuk
menghukum korporasi yakni korporasi merupakan subjek hukum fiksi, dan menurut paham ultra
vires (bersalah karena bertindak melewati kewenangan) kesalahan yang dapat dihukum apabila
melanggar anggaran dasar korporasi serta terdapat hambatan-hambatan lain seperti kurangnya
mens rea (niat untuk melakukan kejahatan) serta siapa yang harus hadir kedalam persidangan
secara pribadi. Mens rea pada dasamya dimiliki oleh manusia secara perseorangan dalam hal
melakukan perbuatan pidana, sebab elemen umum mental (general mental element) yang
melekat pada mens rea, antara lain : maksud (intention), sembrono (recklesness), motif jahat
(malice), penuh sadar (wilful), mengetahui (knowledge) dan lalai (negligence), semua elemen itu
hanya melekat secara inheren pada dirimanusia. Hal inilah yang dapat menjadi hambatan dalam
menghukum korporasi dengan sanksi yang setimpal.
Menurut pandangan Doelder yang sejalan dengan Jonkers10
, mengutip putusan
Mahkamah Tinggi tanggal 5 Agustus 1995 yang menulis bahwa menurut asas-asas hukum
pidana, diajarkan atas ajaran kesalahan pribadi yang hanya ditujukan kepada pribadi seseorang
sehingga ketentuan mengenai pidana pokok pun mempunyai sifat kepribadian, terutama pidana
yang merampas kemerdekaan. Demikian juga halnya dengan pidana denda bahwa korporasi
tidak dapat -dijatuhi pidana denda, karena orang yang dijatuhi pidana denda dapat memilih untuk
menjalankan kurungan pengganti selain membayar denda. Menurut Jonkers, meskipun korporasi
tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, akan tetapi dalam kenyataannya
korporasi seringkali melakukan tindak pidana.
Sepanjang abad XX korporasi menjadi sangat penting dalam mendukung industrialisasi sehingga
meskipun KUHP buatan tahun 1886 masih berlaku, tetapi pembuat Undang-Undang harus
mempertimbangkan kenyataan yang ada bahwa manusia dapat bertindak dalam lingkungan
korporasi, yang dalam hukum perdata telah dipandang sebagai badan hukum (rechtpersori).
Sehubungan dengan hal itu, di Belanda sebagai tempat asal KUHP Indonesia telah terjadi
perkembangan mengenai ketentuan korporasi sebagai subjek hukum pidana pada tanggal 23 Juni
1976. Akhirnya pembentuk Undang-Undang memutuskan untuk mengubah Pasal 51 KUHP
Belanda yang isinya menyatakan antara lain :
10
Muladi, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Get. I, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hlm. 64.
1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang perseorangan dan korporasi;
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka penuntutan dan pemidanaan
dapat dilakukan terhadap :
a. Korporasi, atau
b. Mereka yang telah menyuruh melakukan tindak pidana, sebagai mana halnya mereka
yang sebenarnya memberi petunjuk melarang dilakukannya perbuatan, atau yang
tersebut pada a dan b dapat dilakukan bersama-sama.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa perkembangan pemikiran yang
akhirnya memberikan pengakuan pada korporasi sebagai subjek hukum pidana, secara garis
besar dapat dibedakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu11
:
1. Tahap pertama
Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah
(natuurlijke persoori). Pandangan ini dianut oleh KUHP yang sekarang berlaku di
Indonesia. Pandangan ini dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potesf yaitu
badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Apabila dalam suatu perkumpulan
terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus
korporasi tersebut. Pandangan ini merupakan dasar bagi pembentukan Pasal 59 KUHP
(Pasal 51 W.v.S. Nederland) yang menyatakan : “Dalam hal-hal di mana karena
ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-
komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisarisyang ternyata tidak
ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
2. Tahap kedua
11
Ibid, hlm. 89.
Pada tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para pengurusnya yang secara nyata
memimpin korporasi tersebut, dan hal ini dinyatakan secara tegas dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut.
3. Tahap ketiga
Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan menuntut pertanggungjawaban
pidana terhadap korporasi ini antara lain karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan
fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat,
dapat demikian besarnya, sehingga tak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya
dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja.
Di Indonesia, pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana, saat ini pengaturannya
hanya dapat ditemukan dalam perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP, ataupun
perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Masih ada terlihat ketidak tuntatasan
pembentuk Undang-Undang (kebijakan formulasi) dalam merumuskan korporasi sebagai subyek
hukum yang dapat dijatuhi pidana. Adapun ketidaktuntasan tersebut yaitu mengenai kapan
suatukorporasi dianggap harus bertanggung jawab, ataupun bagaimana cara
pertanggungjawabannya.
Prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) di Indonesia yang tersebar
dalam hukum pidana khusus (di luar KUHP), menjadikan kebijakan formulas! yang menyangkut
subyek tindak pidana korporasi tidak berlaku secara umum, tetapi terbatas dan hanya berlaku
terhadap beberapa perundang-undangan khusus di luar KUHP tersebut.
Pembaharuan hukum pidana di Indonesia ditandai dengan penyusunan Rancangan
Undang-Undang KUHP, yang menentukan “korporasi merupakan subyek tindak pidana”.
Ketentuan tersebut menunjukkan adanya upaya untuk menjangkau pertanggungjawaban pidana
korporasi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dan menunjukkan adanya
akses perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi untuk memperoleh keadilan, yakni
penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi
yang bersangkutan.
Ketentuan penetapan dan penempatan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat
dimintai pertanggungjawaban termuat dalam 7 Pasal Rancangan Undang-Undang KUHP baru
tahun 2013, yaitu : Pasal 47, 48, 49, 50, 51, 52, dan 53. Ketentuan ini akan diberlakukan umum
sebagai sistem aturan umum hukum pidana materiil, oleh karena itu pemikiran-pemikiran
terhadap pembaharuan hukum pidana yang sudah lama dilakukan harus secepatnya bisa
diselesaikan dan direalisasikan.
2.1.3Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subjek
hukum pidana. Subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan merupakan pelaku
tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang
dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain
(korban).
Istilah “subyek hukum” sendiri memiliki arti yang luas dan tidak terbatas pada manusia saja.
Kata “orang” dalam hukum perdata berarti pembawa hak atau dikatakan subyek hukum
(subjectum juris), akan tetapi orang atau manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum
(natuurlijke persoori), karena masih ada subyek hukum lain yang menurut hukum dapat
memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Contohnya seperti seorang
manusia, mempunyai kekayaan sendiri dan dengan perantaraan pengurusnya dapat digugat dan
menggugat di muka sidang pengadilan. Subyek hukum dimaksud yaitu badan hukum
(rechtpersoori), artinya orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum atau korporasi itu
misalnya, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan orang atau
yayasan, atau bentuk-bentuk korporasi lainnya. Korporasi pada awalnya merupakan suatu subyek
hukum fiktif yang berbeda dari manusia yang membentuknya.
Menurut Sutan Remy Sjahdeiny12
, mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat
pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat 4 (empat) sistem pertanggungjawaban korporasi
yang diberlakukan, sebagai berikut:
a. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga penguruslah yang harus
memikul pertanggungjawaban pidana;
b. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi penguins yang harus memikul
pertanggungjawaban pidana;
c. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul
pertanggungjawaban pidana; dan
d. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula
yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab,
kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu
12
Ibid, hlm. 121
sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu
diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana.
Sedangkan dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu pengurus yang melakukan delik itu. Maka dari itu
penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.13
Korporasi hanya dapat melakukan perbuatan dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Dengan
demikian, syarat kesalahan yang ekstemal (actus reus) pada korporasi tergantung pada hubungan
antara korporasi dengan pelaku materilnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi selalu
merupakan penyertaan yang dapat dipidana. Dalam hal ini, kedudukan korporasi selalu menjadi
bagian dari penyertaan tindak pidana tersebut. Bahwa, tidak mungkin korporasi sebagai pelaku
tunggal tindak pidana. Korporasi dapat menjadi pembuat (dadef) tetapi tidak dapat menjadi
pelaku (pleger) tindak pidana”.
Menurut Barda Nawawi Arief14
, ada 4 (empat) ajaran pokok yang menjadi alasan bagi
pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran
tersebut diantaranya adalah : direct liability doctrine, doctrine of strict liability, doctrine of
vicarious liability dan company culture theory.
Direct liability doctrine atau sering disebut dengan identification theory yaitu doktrin
pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut teori ini bila seseorang yang cukup senior dalam
struktur korporasi atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam dalam bidang
jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi
dapat diidentifikasikan dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung.
Dalam kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu korporasi dan
13
Ibid, him. 125. 14
Barda Nawawi Arief I, Opcit, hlm. 246.
individu. Namun suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan
oleh seorang yang berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Yang dapat dimintai
pertanggungjawaban adalah individu bukan korporasi karena perbuatannya bukan perbuatan
korporasi. Timbul keberatan yang cukup signifikan atas teori ini,khususnya berkaitan dengan
korporasi besar dimana terdapat kemungkinan kecil seorang senior yang melakukan perbuatan
secara langsung atas suatu tindak pidana disertai dengan mens rea.
Doctrine of strict liability, merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana dapat
dibebankan kepada pelaku delik yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya
kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Hal ini dalam istilah hukum di Indonesia
dikenal dengan pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban pidana dalam doktrin ini
semata-mata berdasarkan pada Undang-Undang. Dalam kaitannya dengan korporasi, korporasi
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana untuk delik-delik yang tidak dipersyaratkan adanya
mens rea bagi pertanggungajwaban delik itu berdasarkan doctrine of strict liability. Pelanggaran
kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “srtict liability
offence “.
Doctrine of vicarious liability, dalam istilah hukum Indonesia dikenal dengan istilah
pertanggungjawaban vikarius, yang merupakan pembebanan yang pertanggungjwaban pidana
dari delik yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.
Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup
pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan,
tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak menjadi masalah apakah
perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak, atau apakah aktivitas tersebut telah
dilarang oleh perusahaan atau tidak. Dapat dikatakan bahwa suatu korporasi telah menyerahkan
kekuasaan untuk bertindak di dalam bidangnya masing-masing kepada seluruh staf-nya dan
berdasarkan itu korporasi harus dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan.
Hal ini sering dijadikan alasan bahwa pencegahan yang optimal dapat tercapai dengan
menerapkan doktrin vicarious liability pada korporasi tersebut.
Sedangkan, company culture theory atau teori budaya korporasi menerapkan sistem
dimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari segi prosedur, sistem bekerjanya,
dan budayanya. Oleh karena itu teori ini sering disebut teori model/sistem atau model organisasi
(organizational or system model), serta kesalahan yang dilakukan oleh korporasi dalam teori ini
didasarkan pada “internal decision-making struktur”.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa korporasi dapat dijadikan subjek tindak pidana dan bisa
dipertanggungjawabkan. Namun, menurut Andi Hamzah bahwa korporasi itu tidak mungkin di
pidana, karena itu jika ditentukan bahwa delik-delik tertentu dapat dilakukan oleh korporasi,
delik itu harus disertai dengan ancaman pidana alternatif dendanya. Apabila korporasi dapat
dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik, maka seluruh rumusan delik dalam KUHP
harus ada pidana alternatif denda sebagaimana halnya dengan Wvs Belanda sekarang ini.15
2.2Pengertian Illegal Logging
Berbicara mengenai illegal logging sampai sejauh ini belum ada satupun peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara khusus terkait praktik kejahatan ini. Penggunaan
kata illegal logging secara formal tidak ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan baik
15
A. Hamzah, 1989, Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Kantor Meneg
LKH, Jakarta hlm. 34.
didalam KUHP atau KUHAP maupun secara khusus dalam Undang-Undang Kehutanan. Secara
harafiah, definisi illegal logging berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata “illegal”dan
“logging”. Kata “illegal”berarti tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, haram.
Sementara itu dalam Black's Law Dictionary, kata illegal artinya “forbiden by law, unlawdull”,
artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. Selanjutnya kata “Log”dalam bahasa
Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan, dan “logging”artinya menebang kayu dan
membawa ke tempat gergajian.16
Dari definisi kata diatas dapat disimpulkan bahwa illegal
logging berarti menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian yang bertentangan
dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.
Haryadi Kartodiharjo mengemukakan pendapatnya mengenai illegal logging, sebagai
berikut:
Bahwa, illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar
peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan
negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan melebihi
dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan. Illegal logging berarti rangkaian
kegiatan penerbangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengelolaan hingga kegiatan
ekspor kayu tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai suatu
perbuatan yang dapat merusak hutan.17
Identiknya kata illegal logging dengan pembalakan illegal yang digunakan oleh Forest
Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch yaitu untuk menggambarkan semua praktik
atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan permanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu
yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. FWI membagi illegal logging menjadi 2, yaitu :
1. Yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin
yang dimilikinya;
16
Ibid, hlm. 194 17
Ismail Rumadan, Op.cit, hlm. 223
2. Melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak
mempunyai hak illegal untuk menebang pohon.
Illegal logging meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan
eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini
tahapan produksi kayu, misalnya pada tahapan penebangan, tahap pengangkutan kayu
gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran bahkan meliputi penggunaan cara-cara
yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan
seperti pajak.
Tidak hanya dilihat dari etimologinya saja, jika dilihat dari aspek normatifnya illegal
logging termuat dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa illegal
logging adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh setiap orang/kelompok orang
atau badan hukum dalam bidang kehutanan dan perdagangan hasil hutan berupa menebang atau
memungut Hasil Hutan Kayu (HHK) dari kawasan hutan tanpa izin, menerima atau membeli
HHK yang diduga dipungut secara tidak sah, serta mengangkut atau memiliki HHK yang tidak
dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).
Dari beberapa pengertian mengenai illegal logging, dapat kita simpulkan bahwa, illegal
logging merupakan rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat
pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak berwenang
secara tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang
sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan. Menurut penjelasan tersebut, unsur-unsur
yang terdapat dalam kejahatan illegal logging antara lain : adanya suatu kegiatan, menebang
kayu, mengangkut kayu, pengolahan kayu, penjualan kayu, pembelian kayu, dapat merusak
hutan, bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
Praktek illegal logging telah dianggap menjadi salah satu penyebab deforestasi. Dapat
dipastikan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun
yang mengakibatkan negara mengalami kerugian sebesar 83 milyar per hari akibat praktek
illegal logging yang terjadi. Bahkan yang lebih buruk lagi, praktek illegal logging tidak hanya
berdampak pada kerugian negara saja, akan tetapi juga memberikan dampak negatif terhadap
kondisi alam seperti terjadinya banjir, kekeringan, perubahan iklim, bahaya penyakit dan tanah
longsor.18
Sebagai suatu praktek yang menimbulkan kerugian bagi negara, jelas bahwa illegal
logging merupakan suatu kejahatan karena dampak yang ditimbulkan sangat luas mencakup
aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Bahkan dampak dari kejahatan illegal logging ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat sekitar
hutan saja namun dirasakan secara nasional, regional maupun internasional karena illegal
logging disebut juga dengan istilan transnational crime dan extra ordinary crime.19
Tindak pidana illegal logging dikaitkan dengan unsur-unsur yang terkandung dalam
KUHP , dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum, yaitu20
:
1. Pengrusakan
2. Pencurian
3. Penyelundupan
4. Pemalsuan
5. Penggelapan
6. Penadahan
18
Leden Marpaung, Op.cit, hlm. 1. 19
Suriansyah Murhaini, 2011, Hukum Kehutanan, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hlm.29. 20
Ismail Rumadan, Op.cit, hlm. 39.
Dilihat dari penegakan hukum di Indonesia, seringkali pelaku tindak pidana illegal
logging tidak diberikan sanksi yang setimpal mengingat masih lemahnya pengaturan mengenai
delik khusus ini. bahkan dalam banyak kasus, para tokoh intelektual dibalik praktek illegal
logging sama sekali tidak tersentuh oleh hukum. Subjek tindak pidana illegal logging adalah
setiap orang atau badan hukum (korporasi) yang melakukan tindakan eksploitasi terhadap hutan
tanpa hak memanfaatkan sumber daya hutan untuk kepentingan pribadi secara melawan hukum.
Subjek tersebut dapat digolongkan dari masyarakat setempat maupun
pendatang, pemilik modal dan pengusaha, pemilik industri kayu atau pemilik HPH, nahkoda
kapal, bahkan oknum pejabat pemerintah dan oknum aparat pemerintah serta pengusaha asing
yang berkedok investasi dalam bidang usaha kayu.
2.2.1 Pengertian Lingkungan Hidup dan Hutan
a. Lingkungan Hidup
Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut environment, dalam bahasa
Belanda disebut Millieu, sedangkan dalam Bahasa Perancis disebut dengan I'environmen.
Lingkungan hidup biasa disebut juga dengan lingkungan hidup manusia (environment human)
atau dalam sehari-hari biasa disebut dengan lingkungan saja. Lingkungan hidup merupakan
bagian mutlak dari manusia yang tidak akan terlepas dari kehidupannya, karena manusia sangat
bergantung pada segala komponen yang ada dalam lingkungan hidup.
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Jadi manusia hanya salah
satu unsur dalam lingkungan hidup, tetapi perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Makhlukhiduplaintermasukbinatangtidaklahmerusak,mencemariataumenguras lingkungan.21
Mengacu pada pengertian lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 termuat unsur-unsur yang terkandung dalam lingkungan hidup, yaitu :
a. Kesatuan ruang
b. Semua benda
c. Daya
d. Keadaan
e. Makhluk hidup (termasuk manusia dan perilakunya)
Pada umumnya manusia bergantung pada keadaan lingkungan disekitarnya yaitu berupa
sumber daya alam yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari. Sumber daya alam yang utama
bagi manusia adalah tanah, air dan udara. Lingkungan yang sehat akan terwujud apabila manusia
dan lingkungannya dalam kondisi yang baik. Lingkungan hidup di Indonesia perlu ditangani
dikarenakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya yaitu adanya
masalah mengenai keadaan lingkungan hidup seperti kemerosotan atau degradasi yang terjadi di
berbagai daerah. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa keadaan alam Indonesia jika mengalami
peningkatan sumber daya akan tetap menjadi persoalan. Faktor sosial dan ekonomi yang
menyebabkan manusia menjadikan lingkungan alam sebagai lahan untuk mencari keuntungan
secara illegal, dantanpa disadari tindakan yang dilakukan tersebut semakin lama akan semakin
merugikan kehidupan bangsa dan negara.
Beberapa sarjana memberikan definisi mengenai lingkungan hidup, sebagai berikut:
21
Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Get. I, Sinar Grafika, hlm. 1.
Menurut Emil Salim, menyatakan bahwa :
Secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai benda, kondisi, keadaan dan pengaruh
yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk
kehidupan manusia. Batas ruang lingkungan menurut pengertian ini sangat luas, namun
untuk praktisnya kita batasi ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau
oleh manusia seperti faktor alam, faktor politik, faktor ekonomi, faktor sosial dan lain-
lain.22
Menurut Munajat Danasaputra, menyatakan bahwa :
Lingkungan hidup adalah semua benda dan kondisi termasuk didalamnya manusai dan
tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan
mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup
lainnya.23
Dari beberapa pengertian mengenai lingkungan hidup diatas, jelas terlihat keterkaitan
antara manusia dan lingkungan hidup. bahwa permasalahan lingkungan hidup tidak terlepas
dengan hubungan timbal balik yang terjadi antara manusia dengan lingkungannya. Proses timbal
balik itulah yang disebut dengan ekosistem. Secara garis besar lingkungan hidup manusia dapat
digolongkan atas 3 (tiga) golongan, yaitu :
1. Lingkungan fisik (physical environment), yaitu segala sesuatu disekitar kita yang
berbentuk benda mati, seperti rumah, kendaraan, udara, air dan sebagainya.
Keberadaan lingkungan fisik sangat besar peranannya bagi kelangsungan segenap
kehidupan di bumi.
2. Lingkungan biologis (biological environment), yaitu segala sesuatu yang berada
disekitar manusia yang berupa organisme hidup selain dari manusianya itu sendiri,
misalnya hewan dan tumbuh-tumbuhan.
22
Emil Salim, 1982, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara, Jakarta, hlm. 14. 23
Munajat Danusaputra,1980, Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Bina Cipta. Bandung, hlm. 67.
3. Lingkungan sosial (social environment), yaitu lingkungan yang dibuat manusia dan
merupakan sistem nilai, gagasan dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk
sosial, seperti : tetangga, teman-teman, bahkan orang-orang lain di sekitarnya yang
belum dikenal.24
b.Hutan
Hutan merupakan suatu sumber daya alam yang memiliki aneka macam flora dan fauna
yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat dan negara. Keberadaan hutan sangat
diperlukan untuk menjaga kesinambungan lingkungan agar dapat berkelanjutan. Selain itu hutan
juga berperan dalam menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air serta
kesuburan tanah. Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi kehidupan manusia.
Indonesia dikenal memiliki hutan tropis yang cukup luas dengan keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi bahkan tertinggi kedua di dunia setelah Brazillia.
Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, hutan didefinisikan
sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan. Dari definisi diatas unsur-unsur yang terkandung dalam hutan, yaitu :
a. Suatu kesatuan ekosistem;
b. Berupa hamparan lahan;
c. Berisi sumber daya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat
dipisahkan saru dengan yang lainnya; dan
d. Mampu memberikan manfaat secara lestari.
24
Audi Hamzah, Op.Cit, hlm. 69.
Dengler memberikan definisi hutan sebagai berikut:
Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu,
kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan
tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada
tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal).25
Berdasarkan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,
sesuai fungsi pokoknya kawasan hutan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :
1. Hutan Konservasi
Hutan konservasi terdiri dari Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata), dan Taman Bum.
2. Hutan Lindung
Hutan lindung merupakan hutan yang dilindungi keberadaannya karena berperan
penting menjaga ekosistem. Kawasan hutan ditetapkan sebagai hutan lindung karena
berfungsi sebagai penyedia cadangan air bersih, penahan erosi, paru-paru kota atau
fungsi lainnya.
3. Hutan Produksi
Adalah hutan yang bisa dikelola untuk menghasilkan nilai ekonomis dan memiliki
fungsi utama untuk memproduksi hasil-hasil hutan.
25
Salim, H.S., 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 41.
Sedangkan berdasarkan kepemilikanataustatushukum,hutandapat dibedakan menjadi:
1. Hutan negara (public forest), yaitu suatu kawasan hutan dan hutan yang tumbuh
diatas tanah yang tidak dibebani hak milik. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat,
yaitu hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat (hutan
ulayat/marga/pertuanan). Sedangkan hutan negara yang dikelola oleh desa
dimanfaatkan demi kesejahteraan desa disebut hutan desa.
2. Hutan milik (privat forest), yaitu hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak
milik.
3. Hutan kemasyarakatan (social forest), yaitu suatu sistem pengelolaan hutan yang
bertujuan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraanmasyarakat sekitar hutan
dengan meningkatkan daya dukung lahan dan sumber daya alam tanpa mengurangi
fungsi pokoknya, misalnya pelaksanaan agroforestry (Arief, 2001: 53).
Hutan pada umumnya memiliki peranan yang amat penting dalam menyeimbangkan
kondisi alam yang telah mengalami pergeseran ke pemanasan global. Dalam mengeksploitasi
hutan, memerlukan suatu pendekatan yang bijak agar hutan tetap berada pada posisinya sebagai
penyeimbang lingkungan tersebut. Dalam pemanfaatannya harus tetap mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada, karena apabila tidak sesuai dengan
aturan tersebut pasti akan menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat dan pembangunan itu
sendiri. Potensi hutan yang tersedia harus dilakukan dengan melihat kondisi masyarakat yang
ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan karena hutan juga memiliki nilai ekonomis. Salah satu
program dari Kementrian Kehutanan dalam pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan
masyarakat disebut sebagai social forestry atau perhutanan sosial.
Hutan sebagai sumber daya alam terbesar dipandang memiliki nilai ekonomis tinggi,
sehingga banyak orang-orang tertentu yang memanfaatkan hasil hutan demi kepentingan pribadi
dengan cara eksploitasi. Pemanfaatan yang dilakukan biasanya dalam jumlah besar dan
seringkali yang menjadi pelaku bukanlah individu atau kelompok masyarakat sekitar, melainkan
dari kalangan pejabat yang menjadikan hutan sebagai sasaran dalam mencari keuntungan secara
finansial.
Target utama dalam mengekploitasi hutan biasanya adalah kayu. Seiring dengan
berjalannya waktu dan tingkat kebutuhan akan kayu yang semakin meningkat, mendorong
masyarakat baik secara individu maupun kelompok melakukan eksploitasi hasil hutan dengan
tidak memperhatikan kelestariannya. Eksploitasi hutan tersebut biasanya dilakukan secara illegal
seperti melakukan pembalakan liar, perambahan, pencurian, yang mengakibatkan kerusakan
hutan di Indonesia tidak terkendali. Kerusakan hutan tersebut mengakibatkan penurunan luas
hutan, lahan kritis semakin bertambah, dan sering terjadi bencana alam seperti banjir, tanah
longsor dan sebagainya.
Dampak negatif lainnya yang akan timbul bagi bumi jika hutan mengalami kerusakan,
diantaranya adalah :
1. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)
Hutan sebagai paru-paru dunia berfungsi dalam mengabsorsi gas karbondioksida.
Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil akan menyebabkan
kenaikan gas karbondioksida yang akan menyelimuti atmosfer bumi. Semakin lama
gas ini akan membentuk suatu lapisan bersifat seperti kaca yang akan meneruskan
sinar matahari berupa energi cahaya ke permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati
oleh pancaran energi panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas
dipantulkan kembali ke permukaan bumi oleh lapisan gas karbondioksida tersebut
sehingga terjadi pemanasan di permukaan bumi.
2. Kerusakan Lapisan Ozon
Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar
ultraviolet yang berbahaya. Kerusakan hutan akan menimbulkan lubang-lubang pada
lapisan ozon yang semakin lama semakin membesar. Melalui lubang tersebutlah
sinar ultraviolet menembus ke bumi, sehingga menyebabkan kanker kulit dan
kerusakan tanaman-tanaman di bumi.
3. Kepunahan Species
Rusaknya hutan akan mengakibatkan punahnya keanekaragaman hayati. Menurut
data dari Departemen Kehutanan, bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan satu
spesies dan hampir 750 habitat alami pada sepuluh tahun terakhir.
4. Merugikan Keuangan Negara
Kerusakan hutan yang terjadi akibat pemanfaatan secara illegal menimbulkan
kesenjangan pada pendapatan negara. Kesenjangan terbesar terjadi antara pasokan
dan permintaan kayu. Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami
Indonesia mencapai Rp. 30 Triliyun /tahun. Hal inilah yang menyebabkan
pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil dan akhirnya mempengaruhi
perkembangan program pemerintah unruk rakyat Indonesia.
2.2.2 Hubungan Hukum Pidana dengan Illegal Logging
Persoalan illegal logging kinisudah menjadifenomena umumyang berlangsung di mana-
mana. Illegal logging bukan merupakan tindakan haramyang dilakukan secara sembunyi-
sembunyi, tetapi sudah menjadi pekerjaan keseharian. Fenomena illegal logging kini bukan lagi
merupakan masalah kehutanan saja, melainkan persoalan multi pihak yang dalam
penyelesaiannya pun membutuhkan banyak pihak terkait.
Masalah kebijakan dalam menangani ilegal logging sangat kompleks. mencakup masalah
kebijakan internal (kehutanan) dan masalah kebijakan eksternal (di luar kehutanan). Kedua
sumber masalah ini berinteraksi satu sama lain. Akibatnya, hasil dari keduanya membuat suatu
vektor permasalahan. Makin kuat vektor permasalahan, maka makin sulit pula illegal logging
diatasi. Indikator tersebut tampak dari semakin maraknya praktek illegal logging, baik dalam
skala nasional maupun regional atau provinsi, sehingga apabila kondisi ini tidak segera diatasi
dengan komitmen bersama, maka dapat dipastikan pintu gerbang kehancuran hutan telah dekat
dihadapan kita. Tidak berlebihan kiranya apabila dalam waktu 10-20 tahun mendatang hutan
tropis/alam akan punah, sementara hutan tanaman belum menampakkan hasil yang signifikan.
Hukum pidana sebagai ultimum remidium atau jalan terakhir terhadap pemecahan suatu
perkara dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum pidana adalah satu-satunya
hukum yang memberikan nestapa atau penderitaan bagi setiap orang yang melakukan tindak
pidana. Penebangan liar atau illegal logging sudah tentu merupakan perbuatan yang melanggar
hukum karena merugikan kepentingan umum. Praktik illegal logging merupakan ranah hukum
publik yang dikategorikan ke dalam hukum, pidana secara umum. Namun, dalam cakupan dan
perkembangan implikasi yang ditimbulkan oleh praktik illegallogging telah berubah menjadi
kejahatan luar biasa yang setingkat dengan kejahatan korupsi dan kejahatan terorisme, atau
bioterrorism. Beberapa faktor yang mempengaruhi status illegal logging sebagai kejahatan luar
biasa tersebut antara lain karena rumusan delik illegal tersedia dalam peraturan perundangan-
undangan tentang kehutanan, lingkungan hidup dan juga illegal logging, dengan sifat
kejahatannya lintas negara (Transnational Organized Crime).
Jika diihat kembali mengenai peranan hutan dalam menjaga keseimbangan ekosistem
alam, sangat disayangkan apabila hutan dibiarkan menjadi sasaran para pelaku illegal logging
karena dampak yang ditimbulkan akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia.
Semakin berkembangnya zaman, semakin jeli pula manusia untuk melihat peluang kejahatan
demi memenuhi keinginannya secara pribadi tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkannya.
Tingkah laku manusia inilah yang harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan aparat
penegak hukum agar mampu mengambil langkah yang lebih signifikan dalam membuat aturan-
aturan yang tegas disertai dengan sanksi-sanksi memberatkan sehingga tindak pidana illegal
logging dapat dicegah dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.