40
25 BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Representasi Menurut David Croteau dan William Hoynes, representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementaran tanda-tanda lain diabaikan. Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat dapat diidefinisikan sebagai penggunaan ‘tanda-tanda’ (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik. Didalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik sebuah representasi, yaitu X, pada umumnya disebut sebagai penanda. Makna yang dibangkitkannya (baik itu jelas maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya dinamakan petanda; dan makna secara potensial bisa diambil dari representasi ini (X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi (sistem penandaan). Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam rangka mengarahkan perhatian sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Representasi - USU-IRrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30060/3/Chapter II.pdf · representasi ini, dipakai subskrip dalam bentuk angka. Meskipun

Embed Size (px)

Citation preview

25

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Representasi

Menurut David Croteau dan William Hoynes, representasi merupakan

hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan

hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk

melakukan representasi tentang sesuuatu mengalami proses seleksi. Mana yang

sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi

ideologisnya itu yang digunakan sementaran tanda-tanda lain diabaikan.

Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai, proses perekaman

gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat dapat

diidefinisikan sebagai penggunaan ‘tanda-tanda’ (gambar, suara, dan sebagainya)

untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau

dirasakan dalam bentuk fisik. Didalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik

sebuah representasi, yaitu X, pada umumnya disebut sebagai penanda. Makna

yang dibangkitkannya (baik itu jelas maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya

dinamakan petanda; dan makna secara potensial bisa diambil dari representasi ini

(X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi

(sistem penandaan).

Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam

rangka mengarahkan perhatian sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material

maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya

menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat

26

bentuk, konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk ini,

tujuan pembuatannya, dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks yang

memasuki gambaran tersebut. Agar tugas ini bisa dilakukan secara sistematis,

terbentuklah disini suatu terminologi yang khas ( Danesi, 2010: 3-4).

Kita dapat mengambil contoh seperti proses yang dilakukan dalam

merepresentasikan seks bisa dirangkum dalam diagram dibawah ini. Untuk

menunjukkan pelbagai penanda dan petanda yang ada didalam masing-masing

representasi ini, dipakai subskrip dalam bentuk angka. Meskipun demikian, ini

bukanlah praktik standar dalam semiotika; hal ini dipakai di sini untuk

memberikan kejelasan saja.

Gambar 2.1 Contoh Representasi pada Seks

Referen Penanda Petanda Signifikasi

X� = Y� potret (=X�) Y�

Seks X� = Y� puisi (=X�) Y�

X� = Y� film (= X�)

Y�

Di sini tidak ada cara untuk menentukan hal menjadi petanda atau

meramalkan signifikasi mana yang akan diterapkan untuk bisa menggambarkan

secara tepat representasi (X = Y) seperti apa yang berlaku pada satu kelompok

orang tertentu. Meskipun demikian, proses penurunan makna dari representasi

tertentu bukan merupakan proses terbuka karena dibatasi oleh konvensi sosial,

pengalaman komunal, serta banyak hal faktor kontekstual yang membatasi

pelbagai pilihan makna yang mungkin berlaku pada pilihan tertentu. Analisis

27

semiotika adalah upaya menggambarkan pelbagai pilihan makna yang tersedia.

Danesi mencontohkan representasi dengan sebuah konstruksi X yang dapat

mewakilkan atau memberikan suatu bentuk kepada suatu materil atau konsep

tentang Y. (Wibowo, 2010: 122).

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi

mental, yaitu konsep tentang ‘sesuatu ‘ yang ada dikepala kita masing-masing

(peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak.

Kedua, ‘bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep

abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang

lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu

dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak

menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media

menunjuk Pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat

tertentu ditampilkan dalam pemberitaan.

Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain di

luar pemberitaan intinya bahwa sama dengan berita, iklan juga merepresentasikan

orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses

yang terjadi dalam representasi melalui tabel dibawah ini.

28

Tabel 2.1 Tiga Proses Dalam Representasi1

PERTAMA REALITAS

(Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan

sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian,

ucapan, gerak-gerik dan sebagainya.

KEDUA REPRESENTASI

Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti

kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya.

Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain).

Elemen-elemen tersebut di transmisikan ke dalam kode

representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek

digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lain lain)

KETIGA IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koheransi dan kode

ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki,

ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.

Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai

realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan

dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini

realitas selalu siap ditandakan.

1 Wibowo, Semiotika komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media,2011), hal.123 

29

Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam

perangkat-perangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-

lain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan

dan diorganisasikan ke dalam konvensi konvensi yang diterima secara ideologis.

Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam

koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep

representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi

berubah-ubah akibat makna yang juga berubah -ubah. Setiap waktu terjadi proses

negoisasi dalam pemaknaan.

Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi

merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan

intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga

terus bergerak dan berubah. Representasi merupakn suatu proses usaha

konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan

baru , juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui

representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan,

praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu.

2.2 Budaya

30

Menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata

Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau

“akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan

dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk

dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara

“budaya” yang bearti “ daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan

“kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa. Dalam disiplin ilmu

antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama saja. Menganalisis

konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi

dari wujud kebudayaan (Sulaeman 2007:22).

Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai : (1)

suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan

simbol tersebut individu mendefinisikan dunia mereka, mengekpresikan perasaan-

perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna

yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk

simbolik yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi,

memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap

terhadap kehidupan, (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku,

sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan

adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami,

diterjemahkan, dan diinterpretasi (Saifuddin, 2005:289).

Simbol-simbol yang melekat pada suatu kebudayaan merupakan wahana

dari konsepsi, hasilnya berupa unsur-unsur intelektual dalam proses sosial. Dan

31

preposisi-preposisi kebudayaan dapat mengartikulasikan dunia sebagai suatu

simbol, proposisi-proposisi ini juga memberikan pedoman bagi perilaku.

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis

yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia

adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia juga berkomunikasi dengan

menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik

wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus agama, kekerabatan,

nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat

memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek yang berkaitan

dengan pikiran, gagasan, dan emosi. Persepsi tentang penggunaan simbol sebagai

salah satu ciri signifikan manusia menjadi sasaran penting kijian-kajian

kebudayaan.

Leslie white (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies

yang mampu menggunakan simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna

simbol. Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks simbol,

pikiran rasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki kemampuan untuk

mengisolasi hubungan hubungan dan mengembangkannya dalam abstrak. Cassirer

menunjuk geometrik sebagai suatu contoh klasik. Geometrik secara konseptual

berkaitan dengan hubungan-hubungan spasial yang ekspresinya adalah bahasa

simbolik dan suatu bentuk representasi. Cassirer mengekpresikan hakikat

simbolik pengalaman manusia sebagai berikut : “ Manusia tidak lagi hidup

semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam semesta simbolik. Bahasa,

mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari

32

semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman

jaring-jaring simbolik. Semua kemajuan manusia dalam pemikiran dan

pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-jaring ini”.

Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh

manusia sebagai pengkhasann sesuatu yang lain yang mengandung kualitas-

kualitas analisis logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran atau fakta.

Simbol pohon mudyi pada orang Ndembu, Zambia, Afrika, dari Victor Turner

(1967) adalah salah satu contoh yang penting. Suatu simbol menstimulasi atau

membawa pesan yang mendorong atau tindakan. Simbol memberikan landasan

bagi tindakan perilaku selain gagasan dan nilai-nilai. Teori simbolik mengenai

kebudayaan yang berlandaskan pandangan bahwa manusia adalah spesies yang

memproduksi. Kedua model ini mengaku eksitensi aspek materi maupun aspek

mental dari keberadaan manusia, tetapi masing-masing model memandang satu

sama lain dari perspektifnya sendiri. Definisi simbolik dari kebudayaan adalah

bagian dari suatu tren yang memandang kebudayaan sebagai ilmu mengenai

makna-makna, sebab seluruh semesta dipenuhi oleh tanda-tanda.

Sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan, dan persepsi manusia

terkandung dalam bahasa suatu simbol. Kata-kata mengandung makna atau nama

yang menggolong-golongkan objek dan pikiran. Simbol-simbol kata, bahasa,

sesuai bagi suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Dalam perspektif

simbolik, kebudayaan adalah aspek yang bermakna mengenai realitas konkret atau

realitas objektif dan yang akan datang (coming-to-be), kesesuaian dengan

kesadaran, dari realitas objektif (Saifuddin, 2005:292).

33

Dimana saja sistem simbol adalah pedoman bagi tindakan, sistem ini

bekerja dalam konteks sosial. Konteks sosial ini memberikan suatu simbol atau

tanda makna spesifik, karena suatu simbol atau tanda dapat memiliki suatu makna

spesifik, karena suatu simbol atau tanda dapat memiliki satu makna dalam konteks

sosial dan makna lain dalam konteks yang berbeda pula. Kata ayah memiliki satu

makna dalam struktur kekerabatan dan berbeda maknanya dalam konteks struktur

agama Katolik. Kata ayah yang diterjemahkan dari kata bahasa Inggris father,

telah menghilangkan makna keagamaan father bagi penganut Katolik. Yang

berarti pemimpin agama Katolik, meskipun sehari-hari kata father juga berarti

sama dengan ayah dalam bahasa indonesia.

Masyarakat adalah hasil dari perilaku dan tindakan orang-orang yang

saling terjalin satu sama lain yang menempati batas-batas dan konteks sosial yang

berbeda-beda, dan kerap kali secara simultan. Konteks itu mungkin tempat,

organisasi, suku bangsa, kelompok kekerabatan, institusi, usia, kelompok

pekerjaan atau jenis kelamin, atau dimensi sosial lainnya yang mendefinisikan,

mengatur, dan menentukan batas-batas penggunaan perilaku . Tanda dan simbol

bersama-sama menentukan manusia dalam gerakannya. Dalam pandangan

simbolik, kombinasi tanda, simbol, dan konteks memberikan makna dan

interpretasi bagi tindakan dan perilaku manusia. Manusia harus memiliki konsep

tertentu mengenai apa yang diyakini oleh orang lain dalam komunitas mereka,

pengharapan tertentu terhadap apa baraangkali respons orang lain, dan orang lain

terhadap mereka, sehingga mereka mampu berinteraksi dan berkomunikasi. Jika

komunikasi adalah sine qua non dari masyarakat manusia, simbolisasi (istilah

34

leslie White), penandaan dan pembawa makna bagi pikiran dan tindakan, adalah

apa yang disebut kebudayaan.

2.3 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang

bearti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya-dapat dianggap mewakili sesuatu

yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu hal yang menunjuk

adanya hal lain. Contohnya asap menandaai adanya api, sirine mobil yang keras

meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5).

Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang

mempelajari sederetan luas dan objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh

kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah

ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih

lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/ wacana tertentu. Analisisnya bersifat

paradigmatic .

Konteks semiotik yang paling penting dalam pemikiran Saussure adalah

pandangan mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks

komunikasi manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut

signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna

atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa

yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau

konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping

mata uang atau selembar kertas. Tanda bahasa dengan demikian menyatukan,

35

bukan hal dengan nama, melainkan konsep dan gambaran akustis. Sausure

menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut

:

Gambar 2.2 Elemen-Elemen Makna Saussure2

Sign Composed Of signification Signifier plus Signified external reality (physical (mental concept) Of meaning existence of the sign)

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna,

sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier.

Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan

signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna

terhadap dunia (Sobur, 2004:125).

Salah seorang pengikut Saussure, Roland Barthes, membuat sebuah

model sistematis dalam menganalisa makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian

Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of

signification) seperti terlihat pada gambar.

2 Diadaptasi dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal 125

36

Gambar 2. 3 Signifikasi Dua Tahap Barthes3

First Order Second order

Reality Sign Culture

Form

Content

Melalui gambar 3.4 ini Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan:

signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di

dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai

denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang

digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini

menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau

emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai

makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata-kata kadang

3 Ibid hal 127 

Denotation

Signifier ----------------

Signified

Connotation

Myth

37

merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan

memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan

terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana

menggambarkannya.

Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian

semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia,

kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut

dia, kajian semiotika pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam tiga cabang

penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik.

(Indiwan, 2011 : 4).

1. Semantik

Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya,

atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu

‘dunia benda (world of Things) dan dunia tanda dan menjelaskan hubungan

keduanya. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu

diperantai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap

interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi

lainnya (Morissan, 2009: 29).

Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata

benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang

berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang

disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique).

38

Menurut Ferdinan de Saussure (1966), melihat semiotika melalui sudut

pandang lingustik yang terdiri dari : 1) Komponen yang menggantikan, yang

berwujud bunyi bahasa. 2) Komponen yang diartikan atau makna dari komponen

pertama4.

Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang

ditandai atau dilambangkan adaah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang

lazim disebut sebagai referent / acuan / hal yang ditunjuk.

Jadi, Ilmu Semantik adalah :

- Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-

hal yang

ditandainya.

- Ilmu tentang makna atau arti

Semantik mengacu pada makna dari sebuah tanda. Sebagai contoh, dua

jari dipasangkan di belakang kepala seseorang adalah sebuah cara untuk

memanggilnya seorang “setan”.

Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan

yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada

suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisi bahasa lain. Contohnya

4http://www.scribd.com/doc/4634605/Pengertian-Semantik,10:22/29/07/2011)

 

39

penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada bahasa Inggris yang

mewakili nasi, beras, gabah dan padi. Kata ‘rice’ akan memiliki makna yang

berbeda dalam masing-masing konteks yang berbeda. Dapat bermakna nasi, beras,

gabah, atau padi. Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal ‘rice’ untuk

menyebut nasi, beras, gabah, dan padi. Itu dikarenakan mereka tidak memiliki

budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti bangsa Indonesia.

Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa

tidak selalu penanda dan referent-nya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang

artinya, setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna.

Adakalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Dan sebaliknya,

dua tanda lingustik, dapat memiliki satu acuan yang sama.

Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan contoh-contoh berikut :

Racun

Bisa

Dapat

Buku

Lembar kertas berjilid

Kitab

40

,

2. Sintaktik

Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan di antara tanda.

Dalam hal ini, tanda tidak pernah mewakili dirinya, tanda adalah selalu menjadi

bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui

cara tertentu. Sistem tanda seperti ini disebut kode (code). Kode dikelola dalam

berbagai aturan. Dengan demikian, tanda yang berbeda mengacu atau

menunjukkan benda berbeda dan tanda digunakan bersama-sama melalui cara-

cara yang diperbolehkan (Morissan, 2009:30).

Tanda-tanda tersebut disusun kedalam sistem dengan tanda lainnya.

Sebagai contoh, seseorang mungkin menyimpan dua buah jarinya di belakang

kepala seseorang, tertawa dan berkata “mengejek Anda!” Hal tersebut adalah

sebuah gerak tubuh, sebuah tanda suara (tertawa), ekspresi wajah, dan bahasa

bersatu untuk menciptakan makna. Menurut pandangan semiotika tanda selalu

dipahami dalam hubungannya dengan tanda lainnya.

Sintaksis semiotis menganalisis hubungan antartanda. Dalam suatu sistem

yang sama, sintaksis semiotis tidak dapat membatasi diri dengan hanya

mempelajari hubungan antar tanda, tetapi harus melihat hubungan-hubungan lain

yang pada prinsipnya bekerja sama.

Dalam situasi pembicaraan biasa tanda-tanda dari berbagai sistem tanda

berfungsi secara bersama-sama, sistem tanda bahasa berdampingan dengan sistem

41

tanda paralinguistik (getaran suara, intonasi) dan yang lain (gerak, sikap, pancaran

mata, mimik, jarak,dll).

Pragmatik yaitu bidang yang mempelajari bagaimana tanda menghasilkan

perbedaan dalam kehidupan manusia atau dengan kata laian, pragmatik adalah

studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek

pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk

mempelajari mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman

(misunderstanding) dalam berkomunikasi.

Pragmatik mengacu pada pengaruh atau perilaku yang dimunculkan oleh

sebuah tanda atau sekelompok tanda tanda, seperti ketika tanda “setan” dianggap

sebuah lelucon daripada sebuah penghinaan.

Dari perspektif semiotika, kita harus memiliki pengertian sama, tidak saja

terhadap setiap kata dan tatabahasa yang digunakan, tetapi juga masyarakat dan

kebudayaan yang melatarbelakanginya, agar komunikasi dapat berlangsung

dengan baik. Sistem hubungan diantara tanda harus memungkinkan komunikator

untuk mengacu pada sesuatu yang sama. Kita harus memiliki kesatuan rasa (sense

of coherance) terhadap pesan. Jika tidak, maka tidak akan ada pengertian

komunikasi. Kita juga harus memastikan bahwa apabila kita menggunakan aturan

tata bahasa, maka mereka yang menerima pesan kita juga harus memiliki

pemahaman yang sama terhadap tata bahasa yang kita gunakan. Dengan

42

demikian, makna yang kita maksudkan, people can communicateif they share

meaning (orang hanya dapat berkomunikasi jika mereka melihat makna yang

sama) (Morissan, 2009:30).

Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai (user atau

interpreter ), menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah

satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari

pemakainya.Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya

dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam

konteks sosial budaya yang dimiliki. Sehubungan dengan itu Abrams (1981: 171)

mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the under lying system

of language,not on the parol. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa

adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa

2.4 Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika komunikasi visual diperlukan untuk mengkaji tanda verbal

(judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual ilustrasi, logo, tipografi dan tata

visual). Desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Diharapkan

pisau analisis semiotika visual mampu menjadi salah satu pendekatan untuk

memperoleh makna yang terkandung dibalik tanda verbal dan tanda visual karya

desain komunikasi visual (Tinarbuko, 2010: 9).

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep

komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media

komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar

43

(ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan lay-out. Semua itu

dilakuakan guna menyampaikan pesan secara visual, audio, dan/atau audio visual

kepada target sasaran yang dituju.

1 Tipografi

Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk

huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat

yang sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan

(Tinarbuko, 2010:25).

Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna

menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan

orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian

pesan dari komunikator kepada komunikan atau terget sasaran.

Tipografi dalam hal ini adalah seni memilih dan menata huruf untuk

pelbagai kepentingan menyampaikan informasi berbentuk pesan sosial ataupun

komersial. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh

kemajuan teknologi digital.

Huruf yang telah disusun secara tipografis merupakan elemen dasar dalam

membentuk sebuah tampilan desain komunikasi visual. Hal ini diyakini dapat

memberikan inspirasi untuk membuat suatu komposisi yang menarik. sedangkan

bentuk-bentuk tipografi itu sendiri dapat dipergunakan secara terpisah atau dapat

pula dikomposisikan dengan materi lain seperti ilustrasi hand drawing ataupun

image.

44

Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau

Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya

merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini :

1) Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal-

tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang

hurufnya.

2) Huruf egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada

setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku.

3) Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki

atau kait.

4) Huruf miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya

daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan

aspek dekoratif dan ornamental.

5) Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat

spontan.

Sementara itu, Danton Sihombing (2001: 96) mengelompokkan keluarga huruf

berdasarkan latar belakang sejarahnya :

1) Old Style, jenis huruf ini meliputi : Bembo, Caslon, Galliard,

Garamond.

2) Transitional, jenis huruf ini meliputi : baskerville, Perpetua, Times

New Roman.

3) Modern, jenis huruf ini meliputi : Bodoni

4) Egyptian atau Slab Serif, jenis huruf ini meliputi : Bookman, Serifa.

45

5) Sans Serif, jenis huruf ini meliputi : Franklin Gothic, Futura, Gill

Sans, Optima.

Huruf-huruf tertentu dalam melakukan aktivitas perancangan. Ia harus

menjadikan rangkaian huruf (kata atau kalimat) tidak sekedar bisa dibaca dan

dimengerti maknanya. Tetapi lebih dari itu, seorang desainer komunikasi visual

harus piawai menampilkan tipografi yang enak dipandang mata dan lebih

melancarkan pembaca dalam memahami media komunikasi visual. Dengan

demikian, keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual

sangat penting. Sebab, perencanaan dan pemilihan tipografi yang tepat, baik

ukuran, warna, maupun bentuk, diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal

desain komunikasi visual tersebut.

Dalam social Communication seperti dikutip Bebe Indah Maryam, ada

beberapa faktor yang mempengaruhi mudah tidaknya ketersampaian sebuah pesan

verbal yang terkandung dalam karya desain komunikasi visual, diantaranya:

pertama, latar belakang, yakni warna dasar dan tekstur yang digunakan. Teks

menjadi unsur utama dari sebuah pesan verbal akan terlihat jelas manakala

keberadaan warna huruf dan latarnya cukup kontras

Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6

sampai 10 point, tergantung luas ruangan yang tersedia dan banyak sedikitnya

teks yang akan ditampilkan, juga menyesuaikan keluarga huruf yang ingin

ditampilkan.

Selain itu, Danton Sihombing (2001:28) mengingatkan, keluarga huruf

terdiri dari kembangan yang berakar dari struktur bentuk dasar (regular) sebuah

46

alfabet dan setiap perubahan huruf masih memiliki kesinambungan bentuk.

Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk

pengembangan : (1)kelompok berat terdiri atas light, regular, dan bold. (2)

Kelompok proporsi condesed, regular, dan extended. (3) kelompok kemiringan

yaitu italic.Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat.

Keempat, faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan

ketika membaca.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketika desainer komunikasi visual

mahir mengusai tipografi yang dipergunakan untuk menyampaikan informasi

yang bersifat sosial ataupun komersial, maka sejatinya sang desainer tersebut

mampu memposisikan dirinya sebagai kurir komunikasi (visual) yang

bertanggung jawab kepada masyarakat luas yang dijadikan target .

2 Komposisi Warna

Bagi yang ingin mendesain sebuah gambar visual tidak terlepas dari

artistik, desain, warna serta tema dari gambar yang ingin di buat. Berikut

pemaknaan yang akan dideskripsikan sebagaimana yang diungkapkan Barker

(1954) dalam Mulyana :

1. Merah,

Melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian,

simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta,

perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan.

Warna ini dapat menyampaikan kecenderungan untuk menampilkan

gambar dan teks secara lebih besar dan dekat. warna merah dapat

47

mengganggu apabila digunakan pada ukuran yang besar. Merah cocok

untuk tema yang menunjukkan keberanian seseorang. energi misal mobil,

kendaraan bermotor, olahraga dan permainan.

2. Putih.

Menunjukkan kedamaian, Permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas,

kedewaan, keperawanan atau kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan,

kebersihan, cahaya, takbersalah, keamanan, persatuan. Warna putih sangat

bagus untuk menampilkan atau menekankan warna lain serta memberi

kesan kesederhanaan dan kebersihan.

3. Hitam.

Melambangkan perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat,

kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidak

bahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu yang

melanggar (underground), modern music, harga diri, anti kemapanan.

Sangat tepat untuk menambahkan kesan misteri. latar belakang warna

hitam dapat menampilkan perspektif dan kedalaman. Sangat bagus untuk

menampilkan karya seni atau fotografi karena membantu penekanan pada

warna-warna lain.

4. Biru.

Memberikan kesan Komunikasi, Peruntungan yang baik, kebijakan,

perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut,

kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan,

48

kekuatan dari adlam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran,

pesan, ide, berbagi, idealisme, persahabatan dan harmoni, kasih sayang.

Warna ini memberi kesan tenang dan menekankan keinginan. Biru tidak

meminta mata untuk memperhatikan. Obyek dan gambar biru pada

dasarnya dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang. Warna Biru

juga dapat menampilkan kekuatan teknologi, kebersihan, udara, air dan

kedalaman laut. Selain itu, jika digabungkan dengan warna merah dan

kuning dapat memberikan kesan kepercayaan dan kesehatan.

5. Hijau

Menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban,

tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi,

pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan

persahabatan. Dapat digunakan untuk relaksasi, menetralisir mata,

memenangkan pikiran, merangsang kreatifitas.

6. Kuning

Merujuk pada matahari, ingatan, imajinasi logis, energi sosial, kerjasama,

kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, tekanan mental,

persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan,

penipuan, kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi,

harapan, musim panas, filosofi, ketidakpastian,resah dan curiga. Warna

kuning merangsang aktivitas mental dan menarik perhatian, Sangat efektif

digunakan pada blogsite yang menekankan pada perasaan bahagia dan

kekanakan.

49

7. Merah Muda

Warna Merah Muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta,

persahabatan, feminin, kepercayaan, niat baik, pengobatan emosi, damai,

perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah.

8. Ungu

Menunjukkan pengaruh, pandangan ketiga, kekuatan spiritual,

pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, kebangsawanan,

upacara, misteri, pencerahan, telepati, empati, arogan, intuisi, kepercayaan

yang dalam, ambisi, magic atau keajaiban, harga diri.

9. Orange

Menunjukkan kehangatan, antusiasme, persahabatan, pencapaian bisnis,

karier, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan,

gerak cepat, sesuatu yang tumbuh, ketertarikan, independensi. Pada Blog

dapat meningkatkan aktifitas mental. Disamping itu warna Orange

memberi kesan yang kuat pada elemen yang dianggap penting.

10. Coklat

Menunjukkan Persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang

materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras.

Warna coklat sangat tidak menarik apabila digunakan tanpa tambahan

50

gambar dan ornamen tertentu, coklat harus didukung ornament lain agar

menarik.

11. Abu-Abu

Mencerminkan keamanan, kepandaian, tenang dan serius, kesederhanaan,

kedewasaaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, profesional, kualitas,

diam, tenang.

12. Emas

Mencerminkan prestis (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan,

kebijakan, arti, tujuan, pencarian kedalam hati, kekuatan mistis, ilmu

pengetahuan, perasaan kagum, konsentrasi

3 Teknik Pengambilan Gambar

Dalam analisis visual gambar menjadi suatu elemen terpenting yang

menjadikannya bermakna, Ada dua aspek yang difokuskan dalam menganalisis

iklan yakni aspek visual yang berupa ekspresi para tokoh, cara pengambilan

gambar dan setting. Kedua aspek audio yang berupa narasi, gaya bahasa dan

pilihan kata yang ada pada iklan.

Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang

dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat

51

berfungsi sebagai penanda. Konsep cara pengambilan gambar, teknik editing dan

pergerakan kamera dapat digambarkan sebagai berikut 5 :

Tabel 2.2 Teknik Dalam Pengambilan Gambar6

PENANDA (SIGNIFIER) MENANDAKAN (SIGNIFIED) PENGAMBILAN GAMBAR Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan Full Shot Hubungan sosial Big Close Up Emosi, dramatik, moment penting Close Up Intim atau dekat Medium Shot Hubungan personal dengan subjek Long Shot Konteks Perbedaan dengan publik SUDUT PANDANG (Angle) Pengambilan Gambar:

High Dominasi, Kekuasaan dan otoritas Eye-Level Kesejajaran, keamanan dan sederajat Low Didominasi, dikuasai dan kurang

otoritas TIPE LENSA Wide Angle Dramatis Normal Normalitas dan keseharian Telephoto Tidak personal, Voyeuristik FOKUS Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu

objek) Soft Focus Romantis serta nostalgia Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat

secara keseluruhan objek) PENCAHAYAAN High Key Riang dan Cerah Low Key Suram dan Muram High Contrast Dramatikal dan teartikal

5 (http://www.scribd.com/doc/53188290/6/CONNOTATIVE-SIGN-TANDA-KONOTATIF11:06/10/08/2011)  6 Sumber : Selby, keith dan Codery, Ron, How to Study Television”, London, Mc Millisan, 1995  

52

Low Contrast Realistik serta terkesan seperti dokumenter

PEWARNAAN Warm (kuning,orange, merah dan abu-abu)

Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi

Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan Black and White (hitam dan Putih) Realisme,aktualisme, dan faktual

Tabel 2.3Teknik Editing dan Gerakan Kamera7 Penanda Definisi Petanda Pan down Kamera mengarah ke

bawah Menunjukkan kekuasaan, kewenangan

Pan up Kamera mengarah ke atas

Menunjukkan kelemahan, pengecilan

Dolly in Kamera mengarah ke dalam

Memperlihatkan sebuah observasi, fokus

Fade in/out Image muncul dari gelap ke terang dan sebaliknya

Permulaan dan akhir cerita

Cut Perpindahan dari gambar

satu ke gambar yang lain

Simultan, kegairahan

Wipe Gambar terhapus dari

layar

“penutupan”kesimpulan

Menurut Berger, TV merupakan medium “close up” untuk menunjukkan

sebuah karakter (Berger, 2000:33). Dalam penerapan semiotik pada televisi

pengetahuan tentang aspek-aspek medium yang berfungsi sebagai tanda. Setiap

angel gambar yang diambil mempunyai makna dan interpretasi tersendiri. Dari

cara pengambilan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa setiap cara

pengambilan gambar dapat menggambarkan hubungan personal antar tokoh,

ekspresi, emosi, waktu, kejadian dan tempat secara lebih jelas. Dari gambar

7 Sumber : Berger, tanda‐tanda dalam kebudayaan kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,. Hal 33 

53

tersebut kita juga dapat melihat makna-makna dan ideologi tertentu yang ada

dibalik potongan sebuah adegan.

2 .5 Semiologi Roland Barthes

Kancah penelitian semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland

Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang

sebelumnya punya warna kental dalam strukturalisme semiotika teks.

Sebagai pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem

tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam

waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya

hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity ) memaknai hal-hal

(things). Memaknai (to signify ) dalam hal ini tidak dapat dicampurdukkan dengan

mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek

tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak

dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah

satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda

adalahperan pembaca (The reader ). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli

tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara

lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran

kedua,yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.Sistem ke-dua

ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya

secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.

54

Demi memperjelas signifikasi dua tahap, Barthes menciptakan peta

bagaimana tanda bekerja sebagai berikut :

Gambar 2.4 Peta Tanda Roland Barthes8

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas

penanda (1) dan petanda (2).Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda

denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda

konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung

kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.Pada dasarnya, ada

perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta

denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiotika Barthes

dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama,

sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih

diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan

keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan

8 Roland Barthes, Mythologies (New York: The NOONDAY Press, 1991), hal. 113 

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

4. CONOTATIVE SIGNIFIER

(PETANDA KONOTATIF

3. denotative sign (tanda denotatif)

2. Signified (Petanda)

1. Signifier

5. CONOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

55

dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi.Ia lebih lanjut mengatakan

bahwa makna harfiah merupakan sesuatu yang bersifat. Dalam kerangka Barthes,

konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan

berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai

dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.Di dalam mitos juga terdapat

pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda.Namun sebagai suatu sistem yang

unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnyaatau

dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran

kedua.Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.9

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci

dari analisisnya barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana membahas

model ‘glossematic sign’(tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari

bentuk dan substansi, barthes mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah

sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R)

dengan conntent (atau signified) (C): ERC.

Sebuah sitem tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah

elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang

berbeda ketimbang semula.

Barthes menulis :

Such sign system can become an element of a more comprehensive sign system. If

the extension is one of content, the primary sign (E� R� C�) Becomes the

expression of secondary sign system:

9(http://www.scribd.com/doc/46455415/TELAAH-kajian-semiotika 10:5501/08/2011).  

56

E� = (E� R� C�) R�C�

Dengan begitu, primary sign adalah denotative sedangkan secondary sign adalah

satu dari connotative semiotics. Konsep conotative inilah yang menjadi kunci

penting dari model semiotika Roland Barthes.

Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two order of

signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap

pertama merupakan hubungan antara signifier(ekspresi) dan Signified (content) di

dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai

denotasi yang paling nyata dari tanda (sign).

Dimulai dari tatanan pertandaan pertama adalah denotasi, tatanan ini

menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara

tanda dengan referennya dalam realitas eksternal.Hal ini mengacu pada anggapan

umum, tentang kejelasan makna suatu tanda( Fiske, 2004: 118).

Denotasi menunjukkan hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama

pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam suatu

ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat

dalam sebuah tanda dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah

pertanda (Wibowo, 2011:174).

Konotasi adalah istilah yang digunakan berthes untuk menunjukkan

signifikasi tahap kedua. Hal ini menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini

menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau

emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya.

57

Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak

intersubjektif. Dengan kata lain, konotasi bekerja dalam tingkat intersubjektif

sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna

konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika

adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi

terjadinya salah baca (misereading) aatau salah dalam mengartikan makna suatu

tanda (Wibowo, 2011: 174).

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja

melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau

memahami beberapa aspek realitas dan gejala alam. Mitos merupakan produk

kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya

mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini

misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan.

Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat

berangakai menjadi suatu mitologi yang memainkan peranan penting dalam

kesatuan budaya-budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapapun

bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi

yang terdapat didalmnya.

Dalam pandangan Umar Yunus (1990), mitos tidak dibentuk melalui

penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang

digeneralisasikan oleh karenannya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Ia

mungkin hidup dalam ‘gosip’ kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan

nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita.

58

Mitos menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu yang

dinyatakan dalam mitos.

Sebuah teks, Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki

kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi. Sedangkan

Eriyanto menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana

yang bersifat kritis.

Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk

dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Secara etimologis

ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logos, Idea berasal

dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan kata logia berasal dari kata logos

yang berarti kata-kata. Dan arti kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori.

Konsep ideologi juga bisa dikaitkan dengan wacana. Menurut Teun A van

Dijk, ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan

praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota suatu

kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan

masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dari

kohesi di dalam kelompok.

akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah

mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dari kohesi

didalam kelompok.

Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting.

Pertama, ideologi secara inharen bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia

59

membutuhkan’share’ diantara anggota kelompok organisasi atau kreativitas

dengan orang lainnya.

Hal-hal yang dibagi (sharing) tersebut bagi anggota kelompok digunakan

untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap.

Misalnya, kelompok tertentu yang mempunyai ideologi feminis, antirasis dan pro

lingkungan akan membawa nilai-nilai itu dalam semua tindakan mereka.

Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di

antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu ideologi tidak hanya

menyediakan fungsi koordinat dan kohesi. Tetapi juga membentuk identitas diri

kelompok, membedakannya dengan kelompok lain.

Ideologi di sini bersifat umum, abstrak dan nilai-nilai yang terbagi antar

kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan

pandangan semacam itu, wacana lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral

dan berlangsung secara ilmiah, karena dalam setiap wacana selalu terkandung

ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.

2.6 Iklan

Dalam peradaban manusia, tulisan pertama yang terkait dengan iklan

adalah tanda-tanda yang ditampilkan di atas pintu toko kota-kota kuno di Timur

Tengah. Sejak tahun 3000 Sebelum Masehi orang-orang Babilonia menggunakan

tanda seperti itu untuk mengiklankan toko mereka. Orang-orang Yunani dan

Romawi Kuno juga menggantungkan tanda-tanda tersebut di luar toko mereka.

Ketika orang sudah mulai bisa membaca, para pedagang dizaman itu manatahkan

60

simbol-simbol yang bisa dikenal pada batu, tanah liat, atau kayu untuk

menampilkan tanda-tanda yang ingin mereka tunjukan. Bahkan sebenarnya,

sepanjang sejarah iklan poster dan gambar dipasar dan kuil merupakan media

populer yang dipakai untuk menyebarkan informasi dan untuk mempromosikan

barter serta penjualan barang dan jasa (Danesi, 2010:225).

Diawal tahun 1920-an, semakin banyaknya penggunaan listrik

menghasilkankemungkinan semakin besar dalam mamapankan iklan didalam

cakrawala sosial melalui penggunaan media elektronik baru. Munculnya radio dan

televisi telah menghasilkan perpaduan iklan dalam bentuk komersial disertai

sebuah narasi mini atau jingle musik yang berkisar pada suatu barang atau jasa

dan kegunaannya. Komersial segera menjadi satu bentuk iklan yang sangat

persuasif, karena secara serentak bisa mencapai massa konsumen potensial, baik

melek huruf maupun tidak. Selanjutnya komersial televisi menjadi tidak asing

dalam menciptakan persepi tentang produk sebagai yang terjalin sangat erat

dengan gaya dan isi komersial yang dipakai untuk mempromosikannya. Belum

lama berselang, Internet bergerak maju dalam melengkapi dan menambahi

bentuk-bentuk iklan baik yang tercetak maupun komersial (radio dan televisi).

Meskipun demikian, teks iklan tidak pernah berubah secara drastis dari sejak

dibentuk oleh media tradisonal. Seperti di dalam komersial televisi, para

pemasang iklan di Internet menggunakan gambar, audio, dan pelbagai teknik

visual untuk meningkatkan efektivitas pesan yang akan mereka sampaikan. Pada

akhirnya iklan menjadi salah satu bentuk diskursus sosial yang paling tersebar dan

menyeluruh yang pernah dibuat manusia. Seperti yang pernah disinggung

61

McLuhan (1964), dalam hal ini medium sudah menjadi pesan. Sekarang bahkan

sudah ada situs seperti AdCritic.com yang menampilkan iklan sebagai iklan itu

sendiri, sehingga para pengakses situs itu bisa melihatnya hanya dari segi

estetiknya saja.

Didalam abad ke-20, iklan berevolusi menjadi sebentuk diskursus sosial

persuasif yang terutama diarahkan untuk mempengaruhi bagaimana kita

memahami pembelian dan konsumsi barang-barang. Diskursus iklan berkisar dari

pernyataan sederhana di bagian terklasifikasi pada suratkabar dan majalah sampai

iklan gaya hidup majalah yang canggih serta komersial televisi dan internet. Oleh

sebab itu, iklan telah menjadi diskursus istimewa yang telah menggantikan

bentuk-bentuk diskursus lebih tradisional khotbah, pidato politik, peribahasa,

kata-kata bijak, dan sebagainya- yang diabad-abad yang telah lewat memiliki

kekuatan retoris dan otoritas moral. Akan tetapi, iklan menjunjung dan

menanamkan nilai-nilai Epikurean, bukan moralistik.

Dalam proses periklanan terjadi proses yang berkaitan dengan disiplin

psikologi; mulai dari tahap penyebaran informasi sebagai proses awal, hingga ke

tahap menggerakkan konsumen untuk membeli atau menggunakan jasa adalah

suatu proses psikologi. Iklan dapat dikatakan berhasil apabila mampu

menggerakan konsumen untuk pertama kali saat melihat penampilan iklan

tersebut; rangsangan visual dari penampilan iklan langsung mendapat perhatian

dari pemerhati. Proses berikut adalah hadirnya penilaian akhir terhadap isi atau

pesan dari iklan, dengan mempertimbangkan perasaan calon konsumen, yang

memunculkan tindakan atau sikap sesuai dengan penilaian akhirnya.

62

Iklan melihat manusia sebagai ‘satuan-satuan berulang’ yang bisa

diklasifikasikan kedalam pelbagai ‘kelompok selera’, ‘kelompok gaya hidup’,

atau ‘pangsa pasar’ yang bisa dikelola dan dimanipulasi mengikuti hukum

statistik. Seperti yang telah diingatkan oleh pakar psikoanalisis Carl Jung (1957:

19-20) beberapa dasawarsa lalu, kita memang hidup di dalam masa yang secara

berbahaya melihat manusia sebagai sekrup di dalam mesin, bukannya ‘sebagai

sesuatu yang unik dan tunggal yang pada kahirnya tidak bisa diketahui dan

dibandingkan dengan apa pun.

Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya

lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas

lambang, baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan

tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004:116)

Fenomena-fenomena sosial-budaya seperti fashion, makanan, furniture,

arsitektur, pariwisata, mobil, barang-barang konsumer, seni, desain dan iklan

dapat dipahami berdasarkan model bahasa (Yasraf Amir Piliang,1995: 27).

Menurut ancangan semiotik apabila keseluruhan praktek sosial dapat dianggap

sebagai fenomena bahasa, maka semuanya juga dapat dianggap sebagai "tanda-

tanda" (signs). Dalam semiotika Saussurean 'tanda' merupakan dua bidang yang

tak dapatdipisahkan, yaitu bidang penanda (signifier) atau bentuk dan bidang

petanda (signified) atau makna. Menurut semiotika Saussurean tanda harus

63

mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil

dan pasti10

Kajian sistem tanda dalam iklan mencakup objek. Objek iklan adalah hal

yang diiklankan. Dalam iklan produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya.

Yang penting dalam menelaah iklan adalah penafsiran kelompok sasaran dalam

proses interpretan. Jadi, sebuah kata seperti eksekutif meskipun dasarnya

mengacu pada manajer menengah, tetapi selanjutnya manager menengah ini

ditafsirkan sebagai “suatu tingkat keadaan ekonomi tertentu “ yang juga kemudian

dapat ditafsirkan sebagai “gaya hidup tertentu” yang selanjutnya dapat ditafsirkan

sebagai “kemewahan”, dan seterusnya. Penafsiran yang bertahap itu merupakan

segi penting dalam iklan. Proses seperti itu disebut semiosis (Hoed, 2001 : 97).

Pada saat ini budaya terbuat dari makna antara konsumen dan pemasar.

hal ini digambarkan dalam tanda-tanda dan simbol yang dikodekan dalam benda

sehari-hari. Semiotika adalah studi tentang tanda dan bagaimana suatu tanda itu

ditafsirkan. Periklanan memiliki tanda-tanda tersembunyi dan arti dalam nama

merek , logo , desain kemasan, cetak iklan, dan iklan televisi. Tujuan dari

semiotika adalah untuk mempelajari dan menginterpretasikan pesan yang

disampaikan dalam iklan . Logo dan iklan dapat ditafsirkan pada dua tingkatan

yang dikenal sebagai tingkat permukaan dan tingkat yang mendasarinya. Tingkat

permukaan menggunakan tanda-tanda kreatif untuk membuat gambar atau

kepribadian untuk suatu produk mereka.Tanda-tanda ini dapat berupa gambar,

10. http://andriew.blogspot.com/2011/05/bab-i-pendahuluan-iklan-selalu hidup.html15:0010/08/2011

64

kata, font, warna , atau slogan. Sedangkan tingkat mendasarinya terdiri dari

makna tersembunyi.

Kombinasi gambar, kata, warna, dan slogan harus ditafsirkan oleh

penonton atau konsumen. Kunci untuk analisis iklan adalah penanda dan yang

ditandakan. Penanda adalah obyek dan Petanda adalah konsep mental. Sebuah

produk terdiri dari penanda dan yang ditandakan.Penanda adalah warna , nama

merek, desain logo, dan teknologi. Petanda memiliki dua makna denotatif dan satu

lagi bisa berupa sebagai konotatif. Makna denotatif adalah makna dari produk.

Makna denotatif sebuah televisi akan menjadi bahwa itu adalah definisi yang

sebenarnya. Makna konotatif adalah makna produk dalam dan tersembunyi.

Sebuah makna konotatif dari televisi memerlukan penafsiran untuk dipecahkan.

Saat ini banyak produk-produk menerapkan konsep semiotika dalam

pertarungan pasar, semiotika tampaknya telah menjadi tren dalam dunia

periklanan, kini hampir semua produk kita dapat menemui semiotika seperti yang

terdapat pada iklan rokok, produk-produk perawatan kulit dan tubuh, bahkan

sampai ke iklan maskapai penerbangan seperti pada garuda Indonesia walaupun

produk-produk yang menerapkan semiotika didominasi oleh rokok dan perawatan

wanita. Inilah ranah tektualitas berupa tanda dan makna yang masih menjadi

misteri menunggu untuk dipecahkan dan dibedah.