Upload
nur-fitri-isnaini
View
16
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kpd
Citation preview
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Ketuban Pecah Dini
1. Pengertian
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan. Dalam keadaan normal 8 – 10% perempuan hamil aterm akan mengalami
ketuban pecah dini. (Winkjosastro, 2009).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan
mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. (Manuaba, 2007)
2. Etiologi
Etiologi terjadinya ketuban pecah dini tetap tidak jelas, tetapi berbagai jenis
faktor yang menimbulkan terjadinya KPD yaitu infeksi vagina dan serviks, fisiologi
selaput ketuban yang abnormal, inkompetensi serviks, dan defisiensi gizi dari
tembaga atau asam askorbat (vitamin C). (Soetomo, 2008)
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus
dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi
perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan
karena seluruh selaput ketuban rapuh.
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraseluler matriks.
Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas
kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah.
Penyebab terjadinya ketuban pecah dini:
a. Grandemulti
b. Overdistensi uterus
c. Sefalopelvik disproporsi
d. Kelainan letak janin dalam rahim
e. Pendular abdomen
f. Serviks inkompeten
g. Faktor keturunan, di antaranya:
1) Serum ion Cu rendah
2) Vitamin C rendah
3) Kelainan genetik
3
4
h. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban, seperti infeksi genetalia dan
meningkatnya enzim proteolitik.
Mekanisme ketuban pecah dini:
a. Terjadi pembukaan prematur serviks.
b. Membran terkait dengan pembukaan terjadi:
1) Devaskularisasi
2) Nekrosis dan dapat terjadi pecah spontan
3) Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang.
4) Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang
mengeluarkan enzim preteolitik dan enzim kolagenase.
3. Diagnosis
Menegakkan diagnose KPD secara tepat sangat penting. Diagnose yang salah
yang akan meningkat resiko infeksi yang mengancam kehidupan janin,ibu ataupun
keduanya. Diagnosa KPD dapat ditegakkan dengan cara (sujiyatini, 2009):
a. Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak
secara tiba-tiba dari jalan lahir dan tidak bisa ditahan. Cairan berbau khas, dan
perlu juga diperhatikan warna dari cairan tersebut serta pada pada saat keluarnya
cairan tersebut his belum teratur atau belum dirasakan dan belum ada
pengeluaran lender bercampur darah.
b. Inspeksi
Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru
pecah dan air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas.
c. Pemeriksaan dengan speculum
Pemeriksan dengan speculum pada KPD akan tampak keluar cairan dari
orifisium uteri eksternum (OUE), jika pada pemeriksaan tidak tampak
cairan,bisa dilakukan palpasi fundus uteri di tekan, penderita diminta mengejan,
atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri
dan terkumpul pada fornik posterior.
d. Pemeriksaan dalam
Pada pemeriksaan dalam didapat cairan didalam vagina dan selaput ketuban
sudah tidak ada lagi.
5
e. Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, konsentrasi, bau dan pH
nya. Pemeriksaan dilakukan menggunkan kertas lakmus(tes Nitrazin), jika
kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan adanya air ketuban. pH
air ketuban 7-7,5.
f. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah ciran ketuban dalam kavum
uteri, yang dikonfirmasi dengan adanya oligohidramnion. Selain itu
pemeriksaan USG juga digunakan untuk menentukan usia kehamilan. Walaupun
pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada
umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan
sederhana.
4. Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur,
hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, menigkatnya insiden seksio
sesarea atau gagalnya persalinan normal. (Saifuddin AB, 2009)
a. Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung
umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah
ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28 – 34 minggu 50% persalinan dalam 24
jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam satu
minggu.
b. Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu terjadi
korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia,pneumonia, omfalitis.
Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah
dini preterm, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi
sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode
laten.
c. Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat
sehingga terjadi hipoksia yang berlanjut menjadi asfiksia. Terdapat hubungan
6
antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air
ketuban janin semakin gawat.
d. Sindrom Deformitas Janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat. Kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin serta
hipoplasi pulmonar. (Soetomo Soewarto, 2008)
5. Patofisiologi
Patofisiologi KPD menurut Wiknjosastro (2009) yaitu KPD terjadi karena
adanya kelainan pada amnion dan juga bisa pada selaput janin. Kelainan pada
hidramnion jumlahnya bisa mencapai 2000 cc atau lebih. Karena volume berlebihan
maka tekanan akan lebih besar. Hal ini akan lebih memudahkan selaput janin
mengalami kerusakan akibat dari selaput janin yang tidak bagus.
6. Penatalaksanaan
KPD merupakan sumber persalinan prematuritas, infeksi dalam rahim terhadap
ibu maupun janin yang cukup besar dan potensial, oleh karena itu, tatalaksana KPD
memerlukan tindakan yang rinci sehingga dapat menurunkan kejadian persalinan
prematuritas dan infeksi dalam rahim. Kesalahan dalam mengelola KPD akan
membawa akibat meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun
janinnya.(sujiyatin, 2009)
Penangan kasus KPD dilakukan dengan cara: (saifuddin AB, 2009)
a. Konservatif
Dilakukan perawatan di rumah sakit, dengan pemberian antibiotic
(ampisillin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan
metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari).
1) Jika usia kehamilan < 32 -34 minggu, dilakukan perawatan selama air
ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak lagi keluar.
2) Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi,
observasi tanda – tanda infeksi dan kesejahteraan janin. Terminasi saat usia
kehamilan 37 minggu.
3) Jika usia kehamilan 32 -37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol), dekametason dan induksi sesudah 24 jam.
4) Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu, ada infeksi, berikan antibiotik dan
lakukan induksi, nilai tanda – tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda – tanda
infeksi intrauterine). Berikan steroid untuk memacu kematangan paru janin.
7
Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason
I.M 5 mgsetiap 6 jam sebanyak 4 kali.
b. Aktif
1) Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio
sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 25µm – 50µm intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda – tanda infeksi berikan antibiotic dosis
tinggi dan persalinan diakhiri.
2) Bila skor pelvic < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika
tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
3) Bila skor pervik > 5, induksi persalinan.
B. Induksi Persalinan
1. Pengertian
Induksi persalinan adalah tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu baik
secara operatip maupun medikasi untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim
sehingga terjadi persalinan (Wiknjosastro, 2010).
Induksi persalinan adalah usaha merangsang uterus untuk memulai terjadinya
persalinan ( Saifuddin, 2002).
Induksi persalinan adalah upaya untuk melahirkan janin menjelang aterm, dalam
keadaan belum terdapat tanda – tanda inpartu, dengan kemungkinan janin dapat hidup
di luar kandungan( umur diatas 28 minggu).(manuaba, 2012)
2. Indikasi Induksi Persalinan
a. Indikasi janin
1) Kehamilan lewat waktu ( lebih dari 42 minggu)
Permasalah kehamilan lewat waktu adalah plasenta tidak mampu memberikan
nutrisi dan pertukaran CO2/O2 sehingga janin mempunyai resiko asfiksia
sampai kematian dalam rahim. Makin menurunnya sirkulasi darah menuju
sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan :
a) Pertumbuhan janin makin melambat
b) Terjadi perubahan metabolism janin
c) Air ketuban berkurang dan makin kental
d) Saat persalinan janin lebih mudah mengalami asfiksia
8
2) Ketuban pecah dini
Ketika selaput ketuban pecah, mikroorganisme dari vagina dapat masuk
kedalam kantong amnion. Untuk itu perlu ditentukan ada tidaknya infeksi.
Yang ditakutkan jika terjadi ketuban pecah dini adalah terjadinya infeksi
karioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas
perinatal dan menyebabkan infeksi ibu. Untuk itu jika kehamilan sudah
memasuki aterm maka perlu dilakukan terminasi kehamilan dengan induksi.
3) Janin mati
Kematian janin dalam kandungan 3-4 minggu, biasanya tidak membahayakan
ibu. Setelah lewat 4 minggu maka kemungkinan terjadi kelainan darah (hipo-
fibrinogenemia ) akan lebih besar; karena itu pemeriksaan pembekuan darah
harus dilakukan setiap minggu setelah diagnosis ditegakkan. Bila terjadai
hipofibrinogenemia bahayanya adalah perdarahan post partum. Selain itu jika
penanganan tidak segera dilakukan maka mengakibatkan terjadinya sepsis,
perdarahan postpartum dan emboli cairan ketuban.
4) Isoimunisasi dan penyakit kelainan congenital janin mayor, kelainan
congenital mayor merupakan kelainan yang memberikan dampak besar pada
bidang medis, operatif dan kosmetik serta yang mempunyai risiko kesakitan
dan kematian tinggi, misalnya: hidrosepalus, anensefalus, didronefrosi.
b. Indikasi ibu
1) Berdasarkan penyakit yang di derita
a) Penyakit ginjal
b) Penyakit jantung
c) Penyakit hipertensi
d) Diabetes mellitus
2) Komplikasi kehamilan
a) Pre-eklampsia
b) eklampsia
3. Kontra Indikasi Induksi Persalinan
Maksud kontraindikasi pada induksi persalinan pervaginam yaitu apabila
tindakan induksi yang akan dilakukan lebih merugikan daripada seksio langsung.
Kontraindkasi tersebut adalah :
a. Terdapat distosia persalinan :
1) Panggul sempit ( CPD)
9
2) Kelainan posisi kepala janin
3) Kelainan letak janin dalam rahim
b. Terdapat overdistensi uterus.
1) Kehamilan ganda
2) Kehamilan dengan hidramnion
c. Perdarahan antepartum ( plasenta previa).
d. Cacat rahim ( bekas seksio caesaria).
e. Grande multipara.
f. Terdapat tanda – tanda atau gejala intrauterine fetal distress. ( Manuaba, 2012 )
4. Syarat- syarat Induksi Persalinan
Induksi persalinan akan berhasil bila memperhatikan beberapa persyaratan sebagai
berikut:
a) Kehamilan aterm
b) Ukuran panggul normal
c) Tidak ada CPD
d) Janin dalam presentasi kepala
e) Serviks telah matang (portio lunak, mulai mendatar dan sudah mulai membuka)
(Wiknjosastro, 2010).
5. Faktor – faktor yang mempengaruhi induksi persalinan
Keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa factor:
a) Kedudukan bagian terendah
Semakin rendah kedudukan bagian terendah janin kemungkinan keberhasilan
induksi akan semakin besar, oleh karena dapat menekan pleksus frankenhouser.
b) Kondisi servik
Servik yang kaku, menjurus ke belakang sulit berhasil dengan induksi persalinan,
sedangkan servik yang lunak, lurus atau kedepan lebih berhasil dalam induksi.
c) Paritas
Dibandingkan dengan primigravida, induksi pada multipara akan lebih berhasil
karena sudah terdapat pembukaan.
d) Umur kehamilan
Pada kehamilan yang semakin mendekati aterm induksi persalinan pervaginam
akan semakin berhasil.( Manuaba, 2012).
10
Pertimbangan tersebut ditetapkan dalam bentuk Bishop score. Jika skor ≥ 6,
biasanya induksi cukup dilakukan dengan oksitosin. Sedangkan Jika skornya ≤ 5,
dilakukan pematang serviks terlebih dahulu dengan prostaglandin atau kateter Foley.
Tabel 2.1: Penilaian Serviks Untuk Induksi Persalinan (Skor Bishop)
(Saifuddin,dkk, 2002)
6. Beberapa Cara Induksi Persalinan, antara lain:
a. Oksitosin drip
Metode infuse oksitosin adalah metode yang paling lazim dilakukan.
Kemasan yang dipakai adalah pitosin dan sintosinon, pemberiannya dapat secara
suntik IM,IV dan infuse tetes, yang paling baik dan paling aman adalah
pemberian infuse tetes (drip) karena dapat diatur dan diawasi.
Metode drip oksitosin dapat dilakukan sebagai berikut( manuaba, 2012)
1) Kedalam 500 cc dekstrosa 5% dimasukkan 5 unit oksitosin dan diberikan
perinfus dengan kecepatan pertama 8 tetes permenit.
2) Kecepatan dapat dinaikan 4 tetes setiap 30 menit sampai tetes maksimal 40
tetes permenit.
3) Bila sebelum tetesan ke-40, sudah timbul kontraksi otot rahim yang adekuat,
maka tetesan terakhir dipertahankan, sampai persalinan berlangsung.
FAKTORSCORE
0 1 2 3
Pembukaan serviks (cm) tertutup 1-2 3-4Lebih
dari 5
Panjang serviks (cm) >4 3-4 1-2 <1
Konsistensi kenyal Rata-rata Lunak -
Posisi Posterior Tengah Anterior -
Turunnya kepala (cm dari
spina iskiadika)-3 -2 -1 +1,+2
Turunnya kepala (dengan
palpasi abdominal
menurut system perlimaan
)
4/5 3/5 2/5 1/5
11
Apabila Terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi lebih dari 60 detik) atau lebih
dari 4 kali kontraksi dalam 10 menit, hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi
dengan :
1) Terbutalin 250 mcg I.V. pelan- pelan selama 5 menit.
2) Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan (garam fisiologik atau Ringer Laktat)
10 tetes per menit (Saifuddin, dkk, 2002)
b. Prostaglandin.
Prostaglandin dapat merangsang otot- otot polos termasuk juga otot rahim.
Prostaglandin yang spesifik untuk merangsang otot rahim ialah PGE2 dan PGS2
alpa. Untuk induksi persalinan prostaglandin dapat diberikan secara IV, oral,
vagina, rectal dan intra amnion. Pada kehamilan aterm, induksi persalinan dengan
prostaglandin cukup efektif. Pengaruh sampingan dari pemberian prostaglandin
adalah mual, muntah dan diare (Wiknjosastro, 2008).
Prostaglandin sangat efektif untuk pematangan serviks selama induksi
persalinan. Dalam pemberian prostaglandin perlu diperhatikan:
1) Denyut nadi, tekanan darah, kontraksi ibu hamil dan periksa denyut jantung
janin (DJJ). Semua pengamatan dicatat dalam partograf.
2) Indikasi di kaji ulang
3) Prostaglandin E2 (PGE2) bentuk pesarium 3 mg atau gel 2-3 mg ditempatkan
pada forniks posterior vagina dan dapat diulangi 6 jam kemudian (jika his
tidak timbul).
4) Penghentian prostaglandin dan mulainya pemberian oksitosin dilakukan jika:
a) Ketuban pecah
b) Pematangan serviks telah tercapai
c) Proses persalinan telah berlangsung
d) Pemakaian telah 24 jam.
c. Misoprostol
12
Penggunaan misoprostol untuk pematangan serviks hanya dilakukan pada
kasus – kasus tertentu, misalnya:
1) Preeklamsi berat/eklamsia dan serviks belum matang sedangkan seksio
sesaria belum dapat segera dilakukan atau bayi terlalu prematur untuk hidup.
2) Kematian janin dalam rahim lebih dari 4 minggu belum inpartu, dan terdapat
tanda- tanda pembekuan darah.
Pemberian misoprostol dilakukan dengan cara:
1) Tempatkan tablet misoprostol 25 mcg di forniks posterior vagina dan jika his
tidak timbul dapat diulangi setelah 6 jam.
2) Jika tidak ada reaksi setelah dua kali pemberian 25 mcg, naikkan dosis
menjadi 50 mcg tiap 6 jam
3) Pemberian ≤ 50 mcg setiap kali pakai dan ≤ 4 dosis atau 200 mcg
4) Misoprostol mempunyai resiko meningkatkan kejadian rupture uteri. Oleh
karena itu, hanya dikerjakan di pelayanan kesehatan yang lengkap (terdapat
fasilitas operasi).
5) Pemberian oksitosin tidak dianjurkan dalam 8 jam setelah pemberian
misoprostol.
d. Kateter Foley
Kateter foley merupakan alternative lain disamping pemberian prostaglandin
untuk mematangkan serviks dan induksi persalinan.
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian kateter foley:
1) Mengkaji ulang indikasi
2) Pasang speculum DTT di vaginaMasukan kateter foley pelan-pelan melalui
serviks dengan menggunakan forceps DTT. Pastikan ujung kateter telah
melewati ostium uteri internum.
3) Gembungkan balon kateter dengan memasukkan 20 ml air.
4) Gulung sisa kateter dan letakkan di vagina
5) Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau sampai 12
jam
6) Kempiskan balon kateter sampai sebelum mengeluarkan kateter, kemudian
lanjutkan dengan infus oksitosin.
7) Jangan melakukan kateter foley jika ada riwayat perdarahan, ketuban pecah,
pertumbuhan janin terhambat atau infeksi vagina (Saifuddin, AB. 2002).
13
C. Persalinan Normal
1. Pengertian
Persalinan merupakan proses fisiologis normal yang diawali oleh kontraksi
dengan frekuensi lama serta nyeri yang meningkat, yang memungkinkan pendataran
dan pembukaan servik, sehingga janin dapat melintas melewati jalan lahir dan
selamat dilahirkan. ( Asuhan Kebidanan Pada Masa Persalinan, 2011 )
Persalinan normal adalah proses pengeluaran bayi dengan usia kehamilan
cukup bulan,letak memanjang atau sejajar sumbu badan ibu, persentasi belakang
kepala, keseimbangan diameter kepala bayi, dan panggul ibu, serta dengan tenaga
ibu sendiri.pada persalinan normal dapat berubah menjadi persalinan patologi
apabila kesalahan dalam penilaian kondisi ibu dan janin atau juga akibat kesalahan
dalam memimpin proses persalinan. (Saifuddin, 2002)
2. Etiologi
Sampai sekarang sebab-sebab mulai timbulnya persalinan tidak diketahui
dengan jelas, banyak teori yang dikemukakan, namun masing-masing teori ini
mempunyai kelemahan-kelemahan.Beberapa teori timbulnya persalinan :
a. Teori penurunan hormone
b. Teori placenta menjadi tua
c. Teori distensi rahim
d. Teori iritasi mekanik
e. Induksi partus.
(Rohani,dkk.2010)
Sedangkan menurut (Wiknjosastro, 2008) beberapa teori mengemukakan
etiologi dari persalinan adalah :
a. Penurunan kadar hormon estrogen dan progesterone
b. Pengaruh prostaglandin
c. Struktur uterus
d. Sirkulasi uterus
e. Pengaruh saraf dan nutrisi
3. Fisiologis persalinan
14
Sebab-sebab terjadinya persalinan masih merupakan teori yang komplek.
Perubahan-perubahan dalam biokimia dan biofisika telah banyak mengungkapkan
mulai dari berlangsungnya partus antara lain penurunan kadar hormon progesterone
dan estrogen. Progesteron merupakan penenang bagi otot – otot uterus. Menurunnya
kadar hormon ini terjadi 1-2 minggu sebelum persalinan. Kadar prostaglandin
meningkat menimbulkan kontraksi myometrium. Keadaan uterus yang membesar
menjadi tegang mengakibatkan iskemi otot – otot uterus yang mengganggu sirkulasi
uteroplasenter sehingga plasenta berdegenerasi. Tekanan pada ganglion servikale
dari fleksus frankenhauser di belakang servik menyebabkan uterus berkontraksi
(Wiknjosastro, 2008)
4. Tahap-Tahap Persalinan
Berlangsungnya persalinan dibagi dalam 4 kala yaitu:
a. Kala I
Disebut juga kala pembukaan dimulai dengan pembukaan serviks sampai terjadi
pembukaan 10 cm. Proses membukanya serviks disebabkan oleh his
pesalinan/kontraksi. Tanda dan gejala kala I :
1) His sudah teratur, frekuensi minimal 2 kali dalam 10 menit
2) Penipisan dan pembukaan serviks
3) Keluar cairan dari vagina dalam bentuk lendir bercampur darah
Kala I dibagi dalam 2 fase:
1) Fase laten
Dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan penipisan dan pembukaan
servik secara bertahap,pembukaan servik kurang dari 4 cm,biasanya
berlangsung hingga 8 jam.
a) Prosedur dan diagnostik :
Untuk menentukan apakah persalinan sudah pada waktunya: (Saifuddin
AB. Buku acuan nasional pelayanan maternal dan neonatal.2002) maka:
(1) Tanyakan riwayat persalinan :
Permulaan timbulnya kontraksi; pengeluaran pervaginam seperti
lendir, darah, dan atau cairan ketuban; riwayat kehamilan; riwayat
medik; riwayat social; terakhir kali makan dan minum; masalah yang
pernah ada
(2) Pemeriksaan Umum :
15
Tanda vital, BB, TB, Oedema; kondisi puting susu; kandung kemih.
(3) Pemeriksaan Abdomen :
Bekas luka operasi; tinggi fundus uteri; kontraksi; penurunan kepala;
letak janin; besar janin; denyut jantung janin.
(4) Pemeriksaan vagina :
Pembukaan dan penipisan serviks; selaput ketuban penurunan dan
molase; anggota tubuh janin yang sudah terabaPemeriksaan
Penunjang :
Urine: warna, kejernihan, bau, protein, BJ, dan la in-lain; darah: Hb,
BT/CT, dan lain-lain.
(5) Perubahan psikososial
Perubahan prilaku; tingkat energi; kebutuhan dan dukungan.
2) Fase aktif
Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus umumnya meningkat (kontraksi
dianggap adekuat jika terjadi tiga kali atau lebih), serviks membuka dari 4 cm
ke 10 cm, biasanya kecepatan 1 cm atau lebih per jam hingga pembukaan
lengkap ( 10 cm ) dan terjadi penurunan bagian terbawah janin. Pemantauan
kala 1 fase aktif persalinan :
Penggunaan Partograf
Partograf adalah alat bantu yang digunakan selama fase aktif persalinan .
Tujuan utama dari penggunaan partograf adalah untuk :
1) Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai
pembukaan serviks melalui pemeriksaan dalam.
2) Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal . Dengan
demikian , juga dapat melakukan deteksi secara dini setiap kemungkinan
terjadinya partus lama.
16
b. Kala II (Kala Pengeluaran)
Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm)
dan berakhir dengan lahirnya bayi.
Wanita merasa hendak buang air besar karena tekanan pada rektum.
Perinium menonjol dan menjadi besar karena anus membuka. Labia menjadi
membuka dan tidak lama kemudian kepala janin tampak pada vulva pada waktu
his.
Pada primigravida kala II berlangsung 1,5-2 jam, pada multi 0,5-1 jam.
Tanda dan gejala kala II :
1) Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi.
2) Perineum terlihat menonjol.
3) Ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rectum dan atau
vaginanya.
4) Ibu meraakan makin meningkatnya tekanan pada rectum dan atau
vaginanya.
5) Vulva-vagina dan sfingkter ani terlihat membuka.
6) Peningkatan pengeluaran lendir dan darah.
c. Kala III (Kala uri)
Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan
lahirnya plasenta dan selaput ketuban (Wiknjosastro, 2008).
Dimulai segera setelah bayi lahir sampai dengan lahirnya placenta ( 30
menit). Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dan fundus uteri sepusat.
Beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta
dari dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6-15 menit setelah bayi lahir
dan plasenta keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri
(dorsokranial).
Penatalaksanaan aktif pada kala III (pengeluaran aktif plasenta)
membantumenghindarkan terjadinya perdarahan pascapersalinan. Tanda – tanda
pelepasan plasenta :
1) Perubahan bentuk dan tinggi fundus.
2) Tali pusat memanjang
3) Semburan darah tiba – tiba
Manejemen aktif kala III :
17
Tujuannya adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih
efektif sehingga dapat memperpendek waktu kala III dan mengurangi
kehilangan darah dibandingkan dengan penatalaksanaan fisiologis, serta
mencegah terjadinya retensio plasenta.
Tiga langkah manajemen aktif kala III :
1) Berikan oksitosin 10 unit IM dalam waktu dua menit setelah bayi lahir, dan
setelah dipastikan kehamilan tunggal.
2) Lakukan peregangan tali pusat terkendali.
3) Segera lakukan massage pada fundus uteri setelah plasenta lahir.
d. Kala IV (2 jam post partum)
Setelah plasenta lahir, kontraksi rahim tetap kuat dengan amplitudo 60
sampai 80 mmHg, kekuatan kontraksi ini tidak diikuti oleh interval pembuluh
darah tertutup rapat dan terjadi kesempatan membentuk trombus. Melalui
kontraksi yang kuat dan pembentukan trombus terjadi penghentian pengeluaran
darah post partum. Kekuatan his dapat dirasakan ibu saat menyusui bayinya
karena pengeluaran oksitosin oleh kelenjar hipofise posterior
(Rohani,dkk.2010).
Tanda dan gejala kala IV : bayi dan plasenta telah lahir, tinggi fundus uteri
2 jari bawah pusat.
Selama 2 jam pertama pascapersalinan :
Pantau tekanan darah, nadi, tinggi fundus, kandung kemih dan perdarahan
yang terjadi setiap 15 menit dalam satu jam pertama dan setiap 30 menit dalam
satu jam kedua kala IV. Jika ada temua yang tidak normal, lakukan observasi
dan penilaian secara lebih sering.
Tabel 2.6 Lamanya persalinan pada primigravida dan multigravida :
Primigravida Multigravida
Kala I 10 – 12 jam 6-8 jam
Kala II 1-1,5 jam 0,5-1 jam
Kala III 10 menit 10 menit
Kala IV 2 jam 2 jam
Jumlah (tanpa
memasukkan kala IV
12-14 jam 8-10 jam
18
yang bersifat observasi)
5. Faktor – faktor yang mempengaruhi persalinan
a. Power : His dan tenaga mengejan.
b. Passage : Ukuran panggul dan otot-otot persalinan.
c. Passenger : Terdiri dari janin, plasenta dan air ketuban.
d. Personality (kepribadian) : yang diperhatikan kesiapan ibu dalam menghadapi
persalinan dan sanggup berpartisipasi selama proses persalinan.
e. Provider (penolong) : dokter atau bidan yang merupakan tenaga terlatih dalam
bidang kesehatan. (Wiknjosastro, 2008).
6. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala persalinan yaitu :
a. Kala I
(1) His sudah teratur dan frekuensi minimal 2 kali dalam 10 menit
(2) Penipisan dan pembukaan servik
(3) Keluar cairan dari vagina dalam bentuk lendir bercampur darah.
b. Kala II
(1) Ibu ingin meneran/mengejan
(2) Perineum menonjol
(3) Vulva dan anus membuka
(4) Meningkatnya pengeluaran lender
(5) Kepala telah turun pada dasar panggul
c. Kala III
(1) Tali pusat memanjang, terasa adanya pelepasan plasenta
(2) Semburan darah tiba-tiba
d. Kala IV
Tingginya fundus uteri sepusat atau 1-2 jari dibawah pusat
( Asuhan Persalinan Normal, 2008).
7. Asuhan dalam persalinan
Tujuan Asuhan Persalinan :
19
Mengupayakan kelangsungan hidup dan mencapai derajat kesehatan yang tinggi
bagi ibu dan bayinya, melalui berbagai upaya yang terintegrasi dan lengkap serta
intervensi minimal sehingga prinsip keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga
pada tingkat yang optimal (Asuhan persalinan normal, 2008).
a. Kala I
1) Memberikan dorongan emosional
Anjurkan suami dan anggota keluarga yang lain untuk mendampingi ibu
selama proses persalinan.
2) Membantu pengaturan posisi
Anjurkan suami dan pendamping lainnya untuk membantu ibu berganti
posisi. Ibu boleh berdiri, berjalan-jalan, duduk, jongkok, berbaring miring,
merangkak dapat membantu turunnya kepala bayi dan sering juga
mempersingkat waktu persalinan.
3) Memberikan cairan / nutrisi
Makanan ringan dan cairan yang cukup selama persalinan memberikan
lebih banyak energi dan mencegah dehidrasi. Apabila dehidrasi terjadi
dapat memperlambat atau membuat kontraksi menjadi tidak teratur dan
kurang efektif.
4) Keleluasaan ke kamar mandi secara teratur
Ibu harus berkemih paling sedikit setiap 2 jam atau lebih sering jika ibu
ingin berkemih. Jika kandung kemih penuh dapat mengakibatkan :
(1) Memperlambat penurunan bagian terendah janin dan mungkin
menyebabkan partus macet
(2) Menyebabkan ibu merasa tidak nyaman
(3) Meningkatkan resiko perdarahan pasca persalinan yang disebabkan
oleh atonia uteri
(4) Mengganggu penatalaksanaan distosia bahu
(5) Meningkatkan resiko infeksi saluran kemih pasca persalinan
5) Pencegahan infeksi
Pencegahan infeksi sangat penting dalam penurunan kesakitan dan
kematian ibu dan bayi baru lahir. Upaya dan ketrampilan menjelaskan
prosedur pencegahan infeksi yang baik melindungi penolong persalinan
terhadap resiko infeksi
20
6) Pantau kesejahteraan ibu dan janin serta kemajuan persalinan sesuai
partograf
(Asuhan Persalinan Normal, 2008)
b. Kala II
1) Berikan terus dukungan pada ibu
2) Menjaga kebersihan ibu
3) Memberikan dukungan mental untuk mengurangi kecemasan atau ketakutan
ibu
4) Mengatur posisi ibu
5) Menjaga kandung kemih tetap kosong, anjurkan ibu untuk berkemih
6) Berikan cukup minum terutama minuman yang manis
7) Ibu dibimbing mengedan selama his dan anjurkan ibu untuk mengambil
nafas diantara kontraksi
8) Perikda DJJ setiap selesai kontraksi
9) Minta ibu mengedan saat kepala bayi nampak 5-6 cm di introitus vagina
10) Letakkan satu tangan dikepala bayi agar defleksi tidak terlalu cepat
11) Tahan perineum dengan satu tangan yang lain
12) Lahirkan kepala
13) Periksa adanya lilitan tali pusat
14) Biarkan kepala bayi mengadakan putaran paksi luar dengan sendirinya
15) Tempatkan kedua tangan pada posisi biperietal bayi
16) Lakukan tarikan lembut kepala bayi kebawah untuk melahirkan bahu
anterior lalu keatas untuk melahirkan bahu posterior.
17) Sangga kepala dan leher bayi dengan satu tangan kemudian dengan tangan
yang lain menyusuri badan bayi sampai seluruhnya lahir.
18) Letakkan bayi diatas perut ibu, keringkan sambil nilai pernafasannya (Score
APGAR) dalam menit pertama
19) Lakukan pemotongan tali pusat
20) Pastikan bayi tetap hangat
c. Kala III
21
1. Pastikan tidak ada bayi yang kedua
2. Berikan oksitosin 10 IU dalam 2 menit pertama segera setelah bayi lahir.
3. Lakukan pemotongan tali pusat
4. Pastikan bayi tetap hangat, kemudian lakukan IMD
5. Lalukan penegangan tali pusat terkendali, tangan kanan menegangkan tali
pusat sementara tangan kiri dengan arah dorsokranial mencengkram uterus.
6. Jika plasenta telah lepas dari insersinya, tangan kanan menarik tali pusat
kebawah lalu keatas sesuai dengan kurve jalan lahir sampai plasenta
nampak divulva lalu tangan kanan menerima plasenta kemudian memutar
kesatu arah dengan hati-hati sehingga tidak ada selaput plasenta yang
tertinggal dalam jalan lahir
7. Segera setelah plasenta lahir tangan kiri melakukan massase fundus uteri
untuk menimbulkan kontraksi
8. Lakukan pemeriksaan plasenta, pastikan kelengkapannya
9. Periksa jalan lahir dengan seksama, mulai dari servik, vagina hingga
perineum. Lakukan perbaikan/penjahitan jika diperlukan
d. Kala IV
1) Bersihkan ibu sampai ibu merasa nyaman
2) Anjurkan ibu untuk makan dan minum untuk mencegah dehidrasi
3) Berikan bayinya pada ibu untuk disusui
4) Periksa kontraksi uterus dan tanda vital ibu setiap 15 menit pada jam
pertama dan setiap 30 menit pada jam kedua.
5) Ajarkan ibu dan keluarganya tentang :
(a) Bagaimana memeriksa fundus uteri dan menimbulkan kontraksi
(b) Tanda bahaya bagi ibu dan bayi.
6) Pastikan ibu sudah buang air kecil dalam 6 jam pertama.
D. Pendokumentasian SOAP
Manajemen kebidanan merupakan suatu metode atau bentuk pendekatan yang
digunakan oleh bidan dalam memberikan asuhan kebidanan. Asuhan yang telah
dilakukan harus dicatat secar benar, jelas, singkat, logis dalam suatu metode
pendokumentasian.
Pendokumentasian yang benar adalah pendokumentasian yang dapat
mengkomunikasikan kepada orang lain mengenai asuhan yang telah dilakukan pada
22
seorang klien, yang dialamnya tersirat proses berpikir yang sistematis seorang bidan
dalam menghadapi seorang klien sesuai langkah - langkah dalam proses manajemen
kebidanan.
Menurut Helen Varney, alur berpikir saat menghadapi klien meliputi 7
langkah.Untuk orang lain mengetahui apa yang telah dilakukan oleh seorang bidan
melalui proses berpikir sistematis, didokumentasikan dalam bentuk SOAP, yaitu :
S = Subyektif
Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien melalui
anamnese sebagai langkah I Varney.
O = Obyektif
Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil
laboratorium dan test diagnostik lain yang dirumuskan dalam data focus untuk
mendukung asuhan sebagai langkah I Varney.
A = Analisa
Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interprestasi data
subyaktif dan obyektif dalam suatu identifikasi :
a. Diagnosa/masalah.
b. Antisipasi diagnosa/masalah potensial.
c. Perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter, konsultasi/ kolaborasi
dan atau rujukan sebagai langkah 2, 3, dan 4 Varney.
P = Penatalaksanaan
Menggambarkan pendokumentasian dari tindakan (1) dan Evaluasi
perencanaan (E) berdasarkan assesmen sebagai langkah 5, 6, dan 7 Varney.
Beberapa alasan penggunaan SOAP dalam pendokumentasian :
a. Pembuatan grafik metode SOAP merupakan perkembangan informasi yang
sistematis yang mengorganisi penemuan dan konklusi anda menjadi suatu rencana.
b. Metode ini merupakan intisari dari proses penatalaksanaan kebidanan untuk tujuan
mengadakan pendokumentasian asuhan..