Upload
phamngoc
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
75
BAB III
AKIBAT HUKUM OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN
PTN-BH DITINJAU DARI BEBERAPA ASPEK
3.1 Otonomi dalam Pengelolaan Keuangan PTN-BH
Dalam UU Dikti, bentuk-bentuk otonomi dapat dibagi menjadi 2 (dua)
jenis yakni otonomi akademik dan otonomi non-akademik. Otonomi akademik
merupakan otonomi yang secara kodrati dimiliki oleh PTN sebagai lembaga
penyelenggara pendidikan tinggi. Otonomi akademik dapat berupa otonomi
keilmuan, bahwa otonomi keilmuan diartikan bahwa PTN sebagai lembaga
akademik dapat melaksanakan fungsi pendidikan secara mutlak tanpa ada
intervensi dari pihak manapun. Sedangkan dalam otonomi non-akademik dikenal
beberapa bentuk yang diantaranya adalah otonomi pengelolaan keuangan,
otonomi pengelolaan ketenagaan, otonomi pengelolaan struktur dan organisasi
PTN. Bentuk-bentuk otonomi sebagaimana disebutkan diatas merupakan bentuk
pemberian kewenangan peraturan perundang-undangan kepada PTN-BH.
Bentuk-bentuk pemberian kewenangan peraturan perundang-undangan
secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan45 (UU Administrasi Pemerintahan). Dalam
UU Administrasi Pemerintahan dikenal 3 (tiga) bentuk pemberian kewenangan
yakni atribusi, delegasi, dan mandat yang diartikan sebagai berikut :
45 Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5601.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
76
1. Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau pejabat
pemerintahan oleh UUD NRI 945 atau undang-undang.
2. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung
gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
3. Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung
gugar tetap berada pada pemberi mandat.
Tentunya, kewenangan otonomi yang diberikan kepada PTN-BH secara umum
sebagai bentuk dari otonomi merupakan suatu bentuk pemberian kewenangan
secara atribusi karena telah diamanatkan oleh Undang-Undang. Terkait dengan
keberadaan otonomi masing-masing PTN-BH kewenangannya diberikan secara
delegasi, artinya kewenangan PTN-BH didapat dari kedudukan Statuta masing-
masing PTN-BH. Statuta PTN-BH dalam UU Dikti diberikan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah sebagai landasan hukum utama dalam pengelolaan PTN-
BH. Pendelegasian kewenangan PTN-BH diartikan sebagai pelimpahan
kewenangan secara penuh dari Menteri Pendidikan Nasional sebagai pengelola
pendidikan tinggi kepada Rektor masing-masing PTN-BH. Dengan demikian
segala bentuk tanggung jawab dan tanggung gugat sepenuhnya beralih kepada
Rektor masing-masing PTN-BH.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
77
Dalam pelaksanaan pengelolaan PTN-BH, otonomi diartikan sebagai
penyerahan kewenangan yang akan dikelola secara mandiri oleh PTN-BH. Dalam
hal otonomi akademik, penyerahan kewenangan pengelolaan bersifat benar-benar
mandiri tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Sedangkan dalam otonomi non-
akademik bentuk otonomi tidak dilakukan secara penuh melainkan masih terdapat
campur tangan pihak lain yakni pemerintah. Dapat dikatakan bahwa bentuk
penyerahan kewenangan ini lebih mencocoki sebagai istilah semi-otonom. Hal ini
dicontohkan dalam pengelolaan keuangan PTN-BH, Pemerintah tetap
memberikan anggaran senilai 20% (dua puluh persen) dalam pendidikan dengan
pertanggungjawaban yang disesuaikan dengan dengan peraturan perundang-
undangan yang ada. Pengelolaan keuangan PTN-BH dikatakan semi-otonom
karena PTN-BH tidak dapat secara mandiri mengelola keuangan yang diberikan
oleh Pemerintah dan harus sesuai dengan rambu-rambu UUKN sebagai peraturan
pokok terkait dengan keuangan negara.
3.2 Akibat Hukum Terkait Barang Milik Negara berupa Tanah dan
Bangunan serta Hak Atas Tanah
Pengelolaan tanah negara merupakan salah satu aspek yang diberikan
sebagai bentuk Otonomi PTN. Tanah sebagai aset yang dimiliki PTN terkait
dengan kepemilikan tanah negara yang dilakukan pengelolaan oleh PTN. Dalam
Pasal 65 ayat (3) huruf a UU Dikti jo. Pasal 24 ayat (1) PP Penyelenggaraan dan
Pengelolaan Pendidikan Tinggi menegaskan kekayaan PTN-BH adalah suatu
bentuk kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah. Dapat diartikan bahwa,
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
78
dengan adanya otonomi PTN maka kekayaan negara yang semula melekat pada
PTN menjadi milik sepenuhnya dari PTN-BH kecuali tanah. Tanah sebagai salah
satu aset negara tidak dipisahkan dikarenakan kedudukan Hak Menguasai Negara
atas Tanah. Hak menguasai negara atas tanah hakikatnya merupakan salah satu
bentuk kewenangan negara untuk mengandung unsur hukum publik. Tugas
mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat
Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, rakyat Indonesia sebagai pemegang
hak tertinggi memberikan mandat pengelolaan tanah yang diberikan kepada
sebuah otoritas tertinggi yang dinamakan sebagai negara.
Dalam UU Perbendaharaan Negara, telah dijelaskan bahwa Tanah dan
Bangunan merupakan bagian dari kajian pengelolaan keuangan negara. Dapat
dikatakan bahwa keberadaan tanah dan bangunan sebagai bentuk barang milik
negara merupakan aset tidak bergerak yang pengaturannya selain bersumber pada
UU Perbendaharaan Negara juga bersumber pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria46 (UUPA). Pada UU
Perbendaharaan Negara mengatur terkait pengeloaan tanah yang dimiliki oleh
instansi-instansi pemerintah sedangkan pada UUPA hanya mengatur perihal
ketentuan perolehan tanahnya saja. Dapat dismpulkan bahwa pengaturan dalam
UU Perbendaharaaan Negara hanya terbatas pada pengelolaan tanah dan
bangunan yang menjadi milik negara dengan kata lain, UU Perbendaharaan
46 Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
79
Negara merupakan lex specialis dari UUPA sebagai lex generalis.
Mengenai konsep secara umum mengenai Hak Pakai atas tanah muncul
dalam Pasal 16 UUPA dan diaatur secara khusus dalam Pasal 41 sampai dengan
Pasal 43 UUPA. Selain UUPA, terdapat peraturan yang lebih spesifik yang
mengatur mengenai Hak Pakai atas tanah yakni dalam Pasal 39 sampai dengan
Pasal 58 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah47. Berdasarkan Pasal 41
ayat (1) UUPA, Hak Pakai atas Tanah adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik
orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanhanya yang bukan perjanjian sewa menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Dalam pengertian tersebut terdapat
beberapa peristilahan yang bermakna bias yakni kata “menggunakan tanah” dan
“memungut hasil dari tanah” dari 2 (dua) peristilahan tersebut daat dijelaskan
bahwa makna “menggunakan tanah” adalah Hak Pakai sebagai alas hak dalam
pendirian bangunan dan makna “memungut hasil dari tanah” adalah Hak Pakai
dapat digunakan sebagai alas hak selain pendirian bangunan misalnya,
47 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor
14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
80
perkebunan, pertanian, perikanan, dan peternakan48. Pengaturan lain adalah
terkait dengan subjek hukum dari Hak Pakai, berdasarkan Pasal 42 UUPA, subjek
hukum Hak Pakai adalah : (1) WNI, (2) orang asing yang berkedudukan di
Indonesia, (3) badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia, (4) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan
di Indonesia. Ketentuan tersebut disempurnakan dalam peraturan pelaksana yang
menyebutkan bahwa subjek hukum hak pakai terdiri dari :
1. Warga Negara Indonesia
2. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
3. Departemen, Lembaga Pemerintah non-departemen, dan Pemerintah
Daerah
4. Badan-Badan Keagamaan dan Sosial
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
6. Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
7. Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional
Sebagai Pemegang Hak Pakai, subjek hukum tersebut juga dikenakan
sebuah hak dan kewajiban atas penggunaan fasilitas Hak Pakai tersebut. Hak
Pemegang Hak Pakai antara lain :
48 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, hal 119
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
81
1. Menguasa dan menggunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan
pribadi dan usahanya;
2. Memindahkan Hak Pakai kepada pihak lain;
3. Membebaninya dengan Hak Tanggungan
4. Menguasai dan menggunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan selama kepentingannya digunakan untuk keperluan tertentu.
Selain pengaturan terkait hak pemegang Hak Pakai, kewajiban pemegang Hak
Pakai adalah sebagai berikut:
1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya
ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan
tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas
Hak Milik;
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian
penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai
atas Hak Milik;
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yanga ada diatasnya serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup;
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada
negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah sesudah Hak Pakai
tersebut hapus;
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
82
5. Menyerahhkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat
6. Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Pakai.
Terdapat 3 (tiga) asal usul perolehan Hak Pakai atas Tanah yakni Hak
Pakai atas Tanah Negara, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, dan Hak Pakai
atas Tanah Hak Milik
Pengaturan terkait tanah dan bangunan dalam UU Perbendaharaan Negara
hanya terbatas pada pemindahtanganan yang meliputi :
1. Pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan
2. Tanah dan/atau Bangunan tidak termasuk tanah dan/atau bangunan,
yang :
1. sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau
penataan kota;
2. harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti
sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran;
3. diperuntukkan bagi pegawai negeri;
4. diperuntukkan bagi kepentingan umum;
5. dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
83
perundang-undangan, jika status kepemilikannya dipertahankan
tidak layak secara ekonomis.
Dalam hal pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan kewenangannya dimiliki
oleh beberapa instansi yaitu :
1. Dewan Perwakilan Rakyat
2. Menteri Keuangan untuk tanah dan/atau bangunan yang nilainya
sampai dengan sepuluh miliar
3. Presiden untuk tanah dan/atau bangunan yang nilainya antara sepuluh
miliar hingga seratus miliar.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa keberadaan UU Perbendaharaan
Negara mengatur mengenai pengelolaan tanah dan/atau bangunan yang menjadi
aset yang telah dimiliki oleh PTN-BH. Pengelolaan tersebut hanya sebatas pada
status yang diberikan oleh negara kepada PTN-BH sebagai bentuk kekayaan
negara yang dipisahkan. Tentunya, pengelolaan tanah dan/atau bangunan ini
terbatas pada instansi yang memiliki kewenangan yang secara atribusi delegatif
diberikan oleh negara. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPA
yang hanya mengatur mengenai cara perolehan hak atas tanah yang diberikan
kepada PTN-BH.
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat diklasifikasikan bahwa
penggunaan Hak Pakai atas Tanah yang digunakan oleh PTN-BH didasarkan pada
Hak Pakai atas Tanah Barang Milik Negara. Pemakaian atas tanah negara tersebut
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
84
terdapat dalam ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU Dikti yang menyebutkan bahwa
tanah merupakan kekayaan negara yang tidak dipsahkan dari kekayaan awal PTN
BH. Dalam Penjelasan Pasal 65 ayat (3) tersebut dijelaskan bahwa kekayaan
berupa tanah tersebut dapat dimanfaatkan dan pendapatan dari tanah tersebut
dapat dijadikan kekayaan PTN-BH selain itu, kekayaan berupa tanah negara
tersebut tidak dapat dipindahtangankan atau dijaminkan kepada pihak lain.
Ketentuan tersebut mencocoki bahwa tanah milik negara yang dimiliki oleh PTN-
BH memiliki alas hak Hak pakai atas Tanah Barang Milik Negara yang jelas tidak
bisa dipindahtangankan. Pengelolaan tanah hingga dapat menjadikan kekayaan
bagi PTN Badan Hukum merupakan imbas pemberian otonomi. Dengan
demikian, perolehan tanah yang digunakan oleh PTN-BH berdiri diatas alas Hak
Pakai yang pengelolaannya mengikuti ketentuan UU Perbendaharaan Negara
sebagai bentuk Barang Milik Negara. Dengan kata lain, yang dimiliki oleh PTN-
BH hanyalah hak pakai atas tanah saja sedangkan tanah yang dikenai hak pakai
tetap menjadi barang milik negara yang tidak dipisahkan dan masuk dalam
inventaris barang milik negara.
Terkait dengan pembanding, dalam PTN berbentuk pengelolaan BLU
status tanah tidak diatur secara khusus dalam statuta masing-masing PTN tersebut,
jika dikaitkan dengan status PTN dengan sistem pengeleloaan BLU yang masih
mendapatkan intervensi negara dalam pengelolaannya tetap menggunakan Hak
Pakai atas Tanah Barang Milik Negara yang sama-sama tidak dapat
dipindahtangankan dan tidak bisa dijaminkan. Sedangkan status tanah dalam
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
85
pengelolaan PTN tersebut masih menjadi tanggung jawab negara dan pengelolaan
serta hasil pengelolaannya menjadi bagian audit dari PTN tersebut oleh Negara.
Dalam sistem BLU seperti yang dipaparkan diatas , BLU merupakan bentuk
pendelegasian tugas dari instansi pemerintah yang lebih tinggi. Jadi, secara
atributif pendelegasian tugas dan wewenang PTN dengan sistem Pengelolaan
BLU menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional secara khusus
dan Negara secara umum, sehingga hasil tanah negara yang dimanfaatkan tersebut
tidak serta merta menjadi milik PTN dengan sistem pengelolaan BLU tersebut.
Selain itu, dalam perolehan tanah yang dilakukan oleh PTN-BH harus
mengikuti mekanisme yang terdapat dalam UU Keuangan Negara dengan melalui
pengajuan dalam APBN. Hal tersebut dikarenakan adanya ketentuan yang terdapat
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-
Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah49. Dalam Pasal 1
menjelaskan bahwa badan hukum yang berhak memiliki hak milik atas tanah
antara lain :
1. Bank-bank yang didirikan oleh negara (Bank Negara)
2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar
atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun
1958 Nomor 139)
3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria
49 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan
Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah , Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 1963 Nomor 61.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
86
setelah mendengar Menteri Agama
4. Badan-badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria
setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial
Dari keempat jenis badan hukum yang dapat memperoleh Hak Milik atas Tanah
tersebut, PTN-BH tidak termasuk salah satu diantaranya, artinya, PTN-BH tidak
termasuk dalam kriteria subjek pemegang Hak Milik atas Tanah..
3.3 Akibat Hukum Terkait Kedudukan Barang Milik Negara selain Tanah
dan Bangunan
Benda tak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya,
atau penetapan Undang-Undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak. Benda
tak bergerak diatur dalam Pasal 306, 507, dan 508 BW. Sehingga terdapat 3 (tiga)
golongan benda tak bergerak yakni :
1. Benda yang menurut “sifatnya” memang tak bergerak. Benda tak
bergerak menurut sifatnya ini dibagi lagi menjadi 3 (tiga) macam :
1. Tanah
2. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan
berakar serat bercabang (seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan
yang belum dipetik , dan sebagainya)
3. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karenna didirikan diatas
tanah yaitu karena tertanam atau terpaku (bangunan)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
87
2. Benda yang menurut “tujuan pemakaiannya” supaya bersatu dengan
tanah, seperti
1. Pada Pabrik ; segala macam mesin-mesin, katel-katel, dan alat-alat
lain yang dimaksudkan supaya terus menerus berada disitu untuk
digunakan dalam menjalankan pabrik
2. Pada suatu perkebunan; segala sesuatu yang digunakan sebagai
rabuk bagi tanah, ikan dalam kolam, dan lain lain
3. Pada rumah kediaman; segala bentuk kaca, tulisan-tulisan, dan
lain-lain serta alat-alat untuk menggantungkan barang-barang itu
sebagai bagian dari dinding, sarang burung yang dapat dimakan
(walet)
4. Barang-barang reruntuhan dari suatu bangunan, apabila
dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan
tersebut.
3. Benda yang menurut “penetapan Undang-Undang” sebagai benda tak
bergerak, antara lain :
1. Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak
(seperti hak postal, hak hipotek, hak tanggungan, dan sebagainya)
2. Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas (berdasarkan
WvK atau KUHD)
Benda Bergerak adalah benda-benda yang karena sifatmya, tujuannya,
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
88
atau penetapan Undang-Undang dinyatakan sebagai benda bergerak. Benda
bergerak diatur dalam Pasal 509, 510, dan 511 BW. Terdapat 2 (dua) golongan
benda bergerak yakni :
1. Benda yang menurut “sifatnya” bergerak dalam arti benda tersebut
dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain misalnya
kendaraan bermotor, alat perkakas, perabot rumah tangga
2. Benda yang menurut “penetapan Undang-Undang” sebagai benda
bergerak ialah segala hak atas bnda-benda bergerak. Misalnya, Hak
atas kekayaan Intelektual, hak memetik buah-buahan, hak mengambul
hasil, hak atas surat berharga.
Perbedaan antara benda tak bergerak dan benda bergerak tersebut sangat penting
karena terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing
golongan benda tersebut misalnya :
1. Mengenai Hak Bezit; dalam Pasal 1977 ayat (1) BW menentukan
bahwa barangsiapa yang menguasai benda bergerak maka dialah yang
dianggap sebagai pemiliknya. Sedang dalam hukum benda tak
bergerak tidak bisa dianggap demikian.
2. Mengenai pembebanan (bezwaring); dalam BW dijelaskan bahwa
terhadap benda bergerak yang dapat dibebankan adalah jaminan gadai,
sedangkan pada benda tak bergerak adalah dengan lembaga jaminan
hipotek (Pasal 1150 dan Pasal 1162 BW). Seiring dengan berlakunya
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
89
UUPA hipotek atas tanah diganti dengan Hak Tanggungan.
3. Mengenai penyerahan (levering); berdasarkan Pasal 612 BW
penyerahan benda bergerak adalah melalui penyerahan langsung,
sedangkan benda tak bergerak berdasarkan Pasal 616 BW harus
dilakukan balik nama pada daftar umum.
4. Mengenai daluwarsa (verjaring); pada benda bergerak tidak mengenal
konsep daluwarsa sebab menguasai (bezit) sama dengan memiliki
(eigendom). Sedangkan benda tak bergerak mengenal daluwarsa 20
(dua puluh) tahun untuk benda dengan alas hak yang sah atau 30 (tiga
puluh) tahun untuk benda tak bergerak tanpa adanya alas hak.
5. Mengenai penyitaan (beslag); terhadap benda bergerak berlaku
revindicatoir beslag dengan menuntut kembali benda bergerak
miliknya yang berada dalam penguasaan orang lain. Sedangkan dalam
benda tak bergerak yang berlaku adalah excecutoir beslag yakni
penyitaan melalui putusan pengadilan.
Pembagian jenis benda bergerak maupun benda tak bergerak ini yang akan
dijadikan pedoman dalam menganalisis bentuk pengelolaan benda bergerak yang
merupakan bagian dari barang milik negara maupun barang milik daerah yang
terdapat dalam PTN-BH. Bentuk pengelolaan ini akan ditinjau dari sudut hukum
perbendaharaan negara yang terdapat dalam UU Perbendaharaan Negara.
Pengertian Perbendaharaan Negara yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
90
Perbendaharaan Negara adalah segala bentuk pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara termasuk investasi dan kekayaan negara
yang dipisahkan yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Pada dasarnya
kedudukan hukum perbendaharaan negara dan hukum keuangan negara memiliki
kesetaraan kedudukan dan saling berhubungan. Keduanya memiliki kesamaan
yang membahas mengenai salah satu obyek vital dalam penyelenggaraan negara
yakni pengelolaan terhadap keuangan negara. Bedanya, hukum keuangan negara
mengatur terkait pelaksanaan dan prosedur pengelolaan keuangan negara secara
teknis sedangkan, hukum perbendaharaan negara mengatur mengenai penggunaan
uang negara yang prosedurnya telah diatur dalam UU Keuangan Negara.
Sehingga keduanya memiliki hubungan yang erat dalam penyelenggaraan negara.
Tentunya, kajian mengenai pengelolaan PTN-BH tidak akan terlepas dari kedua
hal tersebut. Pengelolaan PTN-BH dapat dikategorikan sebagai salah satu objek
kajian hukum perbendaharaan negara dikarenakan PTN-BH masih menggunakan
anggaran yang disediakan oleh negara dalam pengelolaannya selain itu,
kedudukan kelembagaan PTN-BH yang masih belum jelas juga menjadi salah satu
penyebab masuknya hukum perbendaharaan negara dalam kajian tersebut. Perlu
digaris bawahi bahwa PTN-BH juga memiliki kekayaan negara yang telah
dipisahkan sehingga juga masuk dalam kajian hukum perbendaharaan negara.
Kekayaan negara yang dipisahkan inilah yang berdasarkan Pasal 1 angka
10 dan Pasal 1 angka 11 UU Perbendaharaan Negara termasuk Badan Milik
Negara yang diartikan sebagai semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
91
APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah dan Barang Milik Daerah
yang diartikan sebagai barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau
berasal dari perolehan lainnya yang sah. Pengelolaan kekayaan negara
berdasarkan UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara meliputi 4
(empat) hal yang saling terkait yakni :
1. Pengelolaan Uang Negara
2. Pengelolaan Piutang Negara
3. Pengelolaan Investasi; dan
4. Pengelolaan Barang Milik Negara
Barang milik negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
keuangan negara sehingga memerlukan pengelolaan agar dapat digunakan secara
maksimal untuk kepentingan negara. Dalam pengelolaan barang milik negara
memiliki beberapa pihak yang terkait dengan pengelolaan barang milik negara
yaitu :
1. Menteri Keuangan sebagai pengatur dan pengelola barang milik negara
2. Menteri/pimpinan lembaga negara non kementerian dan pimpinan
lembaga negara merupakan pengguna barang milik negara yang
disesuaikan dengan kepentingannya masing-masing
3. Kepala kantor dalam lingkungan kementerian berperan sebagai kuasa
pengguna barang milik negara.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
92
Landasan teori pelimpahan kewenangan dari ketiga jenis badan penyelenggara
negara tersebut merupakan salah satu bentuk wewenang secara atribusi.
Kewenangan secara atribusi tersebut adalah dampak dari pembagian kewenangan
yang diberikan oleh Undang-Undang. Dengan adanya pelimpahan kewenangan
secara atribusi tersebut maka tanggung jawab juga beralih secara penuh kepada
penerima penerima kewenangan.
Pada dasarnya barang milik negara dan/atau barang milik daerah terbagi
menjadi 2 (dua) jenis yaitu tanah dan/atau bangunan serta barang lainnya selain
tanah dan/atau bangunan. Secara yuridis, tanah dan/atau bangunan dapat
dikategorikan sebagai benda tetap atau biasa disebut benda tak bergerak
sedangkan benda non tanah dan/atau bangunan dapat diklasifikasikan secara
yuridis sebagai benda bergerak. Barang milik negara yang diperlukan dalam
penyelenggaraan negara tidak dapat dipindahtangankan kecuali mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemindahtanganan tersebut dapat
berupa beberapa cara, yakni :
1. Jual beli
2. Tukar menukar
3. Hibah
4. Penyertaan modal pemerintah.
Persetujuan yang diberikan oleh DPR ini digunakan dalam pemindahtanganan
barang milik negara yang berupa tanah dan/atau bangunan serta barang milik
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
93
negara selain tanah dan/atau bangunan yang nilainya lebih dari 10 (sepuluh)
miliar rupiah. Sedangkan untuk barang milik negara bukan tanah dan/atau
bangunan yang nilainya sampai dengan 10 (sepuluh) miliar rupiah dapat
dilakukan dengan persetujuan menteri keuangan. Hal tesebut pada dasarnya
digunakan sebagai bentuk pertanggung jawaban negara agar menimbulkan
kepastian hukum ketika dilakukan pemindahtanganan barang milik negara kepada
pihak lain. Pengalihan kepemilikan barang milik negara kepada pihak lain harus
dilakukan dengan cara-cara tersebut diatas dan tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, misal : penjualan barang milik
negara dapat dilakukan dengan cara lelang. Dalam pengalihan kepemilikan barang
milik negara terdapat beberapa instrumen hukum sebagai batasan yang berupai
larangan dalam pengelolaan barang milik negara, antara lain :
1. Larangan untuk menyerahkan barang milik negara kepada pihak lain
sebagai bentuk pembayaran atas tagihan.
2. Larangan untuk menggadaikan atau menjaminkan barang milik negara
untuk mendapatkan pinjaman
3. Larangan untuk melakukan penyitaan terhadap barang milik negara
yang berupa :
1) Barang bergerak milik negara yang berada pada instansi
pemerintah maupun pada pihak ketiga.
2) Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya yang menjadi
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
94
milik negara.
3) Barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan.
Terkait dengan sistem kelembagaannya, PTN-BH merupakan sebuah
lembaga negara yang bersifat otonom yang masih mendapatkan sumber
pendanaan dari pemerintah maka tetap harus memberikan pertanggungjawaban
keuangannya kepada pemerintah. Selain itu, barang yang dimiliki PTN-BH
merupakan barang milik negara yang pertanggungjawaban penggunaannya tetap
kepada negara. Namun, dengan adanya ketentuan yang mengatur bahwa kekayaan
PTN-BH merupakan kekayaan negara yang dipisahkan maka barang milik negara
yang ada padanya hanya terbatas pada bentuk keikutsertaan/partisipasi negara
dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini dapat disamakan dengan
ketentuan yang terdapat dalam UU BUMN yang keduanya menyebutkan bahwa
BUMN maupun PTN-BH memiliki kekayaan negara yang terpisahkan. Terhadap
kekayaan negara yang dipisahkan tersebut inilah yang menjadikan masuknya
pengaturan UU Perbendaharaan Negara. Namun, dalam kajian terhadap kekayaan
negara yang dipisahkan pada BUMN tidak dikaji menurut UU Perbendaharaan
Negara melainkan menggunakan UU BUMN sebagai lex specialis dan UU
Perseroan Terbatas sebagai lex generalis. Setidaknya, konsep BUMN dan PTN-
Badan Hukum ini tetap memiliki perbedaan walalupun status yang diberikan
kepada keduanya sama-sama kekayaan negara yang dipisahkan.
Dalam UU BUMN, yang dimaksud sebagai kekayaan negara yang
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
95
dipisahkan merupakan suatu bentuk penyertaan uang negara yang nantinya
dikonversi menjadi suatu saham yang menjadi syarat mutlak berdirinya suatu
Perseroan Terbatas. Dari ketentuan diatas memiliki beberapa persepsi terkait
keberadaan uang negara yang dipisahkan tersebut. Dalam perbedaan persepsi
tersebut permasalahan pokok yang timbul adalah mengenai dikotomi uang negara
dan uang privat dalam BUMN. Wakil Ketua BPK RI, Hasan Bisri berpendapat50
bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan
dalam UU Keuangan Negara tidak seutuhnya dipisahkan dari kepemilikan dan
pengelolaan keuangan negara, melainkan sebatas pemisahan dari APBN saja.
Berbeda dengan itu, Hikmahanto Juwana51 yang berpendapat bahwa terdapat 3
(tiga) hal yang mendasari bahwa kekayaan negara yang disetor dalam BUMN
bukan merupakan bagian dari keuangan negara, antara lain pertama bahwa uang
yang disetorkan oleh negara akan dikonversi menjadi saham oleh BUMN
sehingga kepemilikan saham itulah yang akan dicatatkan dala daftar kekayaan
negara yang dipisahkan. Kedua, konsep pengelolaan Keuangan Negara dengan
keuangan BUMN berbeda, dalam mengelola keuangan negara bukan merupakan
suatu instansi yang dapat menimbulkan akibat hukum laba dan rugi sedangkan
BUMN juga bisa menimbulkan kerugian akibat suatu akibat bisnis. Ketiga,
konsep menyamakan kondisi BUMN dengan negara menyalahi konsep uang
50 Penjelasan Hasan Bisri dalam sidang pengujian Undang-Undang 17 tahun 2003 terhadap UUD
1945 dalam Sidang MK September 2013 dalam Udin Silalahi, Kajian Seputar Problematika
Keuangan Negara, Aset Negara, dan Kekayaan Negara yang dipisahkan, Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia. Jakarta
bersama Azza Grafika , Yogyakarta, 2013, hal. 9 51 Hikmahanto Juwana, Uang BUMN, Uang Negara?, Harian Kompas 7 Juli 2013, Hal. 7, dalam
Op.Cit, Hal. 10-11
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
96
publik dan uang privat.
Dengan adanya konsep BUMN yang mengalami dikotomi seperti di atas,
terkait dengan pengelolaan PTN-BH akan menimbulkan kerancuan. Makna
kekayaan negara yang dipisahkan akan menjadi berbeda. PTN-BH sebelum
adanya UU Dikti merupakan instansi yang mendapatkan wewenang delegasi dari
Kementerian Pendidikan Nasional untuk menjalankan fungsinya sebagai penyalur
jasa pendidikan yang merupakan suprstruktur fungsi negara yang terdapat dalam
Konstitusi. Sedangkan BUMN murni merupakan penerapan fungsi entrepeneur
yang dilakukan oleh negara untuk mendapatkan suatu keuntungan bagi negara.
PTN-BH yang berada ditengah-tengah himpitan fungsi kelembagaan negara,
sehingga, dapat disimpulkan bahwa kedudukan PTN-BH merupakan suatu
lembaga otonom yang tidak lagi menjadi sub structure dari salah satu
Kementerian Negara dan sistem pengelolaan Keuangan Negara PTN-BH telah
dipisahkan dari sistem APBN yang menjadikan status uang negara yang diberikan
tetap menjadi milik negara.
Terkait dengan pengelolaan barang milik negara, sebelum adanya status
PTN-BH segala macam benda bergerak maupun benda tak bergerak tentunya
merupakan menjadi milik negara. Semenjak adanya UU Dikti maka secara
atribusi benda-benda yang semula menjadi milik negara tersebut beralih
pengelolaannya kepada PTN-BH. Peralihan status tersebut tentunya menimbulkan
polemik yang panjang. Polemik tersebut muncul karena adanya diskursus dasar
hukum yang dipakai dalam melakukan pengelolaan barang negara tersebut.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
97
Pengaturan terkait pengelolaan aset PTN-BH diatur dalam Pasal 14 Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PP Pendanaan PTN-BH)52, ketentuan
tersebut membagi jenis pengelolaan barang yang ada dalam PTN-BH yakni :
1. Barang yang diperoleh oleh PTN-Badan Hukum dicatat sebagai daftar
inventaris dan dikelola secara penuh oleh PTN-BH
2. Barang yang diperoleh PTN-BH dari kekayaan negara yang dipisahkan
menjadi hak pengelolaan PTN-BH.
3. Tanah yang berada dalam penguasaan PTN-BH yang diperoleh dari
APBN merupakan barang milik negara yang tetap dimasukkan dalam
daftar inventaris barang milik negara. Hal ini diartikan bahwa hak atas
tasnah yang dimiliki oleh PTN-BH tidak termasuk kekayaan negara
yang dipisahkan.
4. Secara a contrario, tanah yang diperoleh oleh PTN-BH diluar APBN
dapat dimasukkan sebagai inventarisasi aset yang dimiliki oleh PTN-
BH.
Pengelolaan PTN-BH sebelum adanya UU Dikti dikategorikan
lembaga/instansi yang diberikan wewenang delegasi oleh Kementerian
Pendidikan untuk menjalankan fungsi pendidikan tinggi. Demikian pula dengan
52 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme
Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2013 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5438.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
98
status barang milik negara yang terdapat pada PTN-BH. Barang milik negara pada
dasarnya merupakan inventaris negara yang dengan adanya UU Dikti menjadikan
barang inventaris negara tersebut dipisahkan dari negara dan menjadi beban
pengelolaan dari PTN-BH. Pemisahan pengelolaan barang yang semula menjadi
milik negara menjadi milik PTN-BH dapat disinyalir sebagai upaya mengubah
kedudukan PTN-BH yang semula badan hukum publik menjadi badan hukum
privat. Pemisahan kekayaan negara inilah yang disebut sebagai penyertaan
kekayaan negara kepada PTN-BH. Dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan
PTN-BH, seluruh bentuk barang milik negara kecuali tanah yang dikuasai
menjadi wewenang pengelolaan dari PTN-BH sehingga inventaris tersebut tidak
bisa dimasukkan dalam kajian hukum perbendaharaan negara.
3.4 Akibat Hukum Terhadap Pola Pengelolaan Keuangan Negara Pada
Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
Sebagai badan hukum publik, negara memiliki fungsi yang wajib
dilaksanakannya sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat UUD NRI
1945. Fungsi tersebut antara lain : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, (2) untuk memajukan kesejahteraan umum, (3)
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdsarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dari
keempat hal tersebut tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila tidak ditipang
dengan keuangan negara sebagai sumber pembiayaan. Dengan demikian, posisi
keuangan negara sangat penting untuk mewujudkan tugas negara yang menjadi
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
99
tanggung jawab pemerintah. Pengertian keuangan negara secara khusus terdapat
dalam Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara, dalam Pasal tersebut keuangan
negara diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Pengertian Keuangan Negara tersebut memiliki sebuah arti luas dan arti
sempit, dalam arti luas Keuangan Negara diartikan meliputi hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk barang milik negara yang tidak
tercakup dalam anggaran negara. Sedangkan dalam arti sempit, Keuangan Negara
hanya terbatas pada hak dan kewajiban negara, termasuk barang milik negara
yang tercantum dalam anggaran negara untuk tahun bersangkutan53. Penjelasan
sebagaimana tersebut diatas pada dasarnya didasarkan pada Penjelasan Umum
yang terdapat dalam UU Keuangan Negara yakni :
1. Dari sisi Obyek, yang dimaksud keuangan negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut;
2. Dari sisi subyek, yang dimaksud keuangan negara meliputi seluruh objek
sebagaimana tersebut diatas yang dimiliki oleh negara, dan/atau dikuasai
53 Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara : Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2013, hal. 11
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
100
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan
badan lain yang berkaitan dengan keuangan negara;
3. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas
mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan hingga
pertanggungjawaban;
4. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan,
dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan objek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sebagai badan hukum publik dan badan hukum privat, keduanya memiliki
perbedaan yang secara prinsipiil dalam pengelolaan keuangan negara. Badan
hukum publik jelas harus tunduk pada pengaturan UU Keuangan Negara sebagai
bentuk pertanggungjawaban atas konsekuensi yuridis tersebut, sedangkan badan
hukum privat termasuk BUMN tunduk pada hukum privat yakni tunduk akan
konsensus yang telah dibuat sebagai pedoman pelaksanaan perseroan. Dalam
Pasal 2 huruf I UU Keuangan Negara menegaskan bahwa kekayaan pihak lain
yang diperoleh dari kekayaan negara termasuk pula bagian dari kekayaan negara.
Sehingga, ketika terjadi kerugian atau bahkan dinyatakan pailit maka negara turut
serta bertanggung jawab atas beban yang dialami oleh pihak swasta tersebut.
Terkait dengan kedudukan BHMN, PTN-BH sesuai dengan UU Dikti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
101
merupakan suatu kekayaan negara yang dipisahkan, kedudukannya dapat
diartikan memiliki kesamaan dengan BUMN. Dalam kajian keuangan negara,
kedudukan BHMN terdapat dalam ranah hukum privat sehingga kajian mengenai
keuangan negara tidak dapat diberlakukan dalam BHMN. Kajian tersebut
memang dibenarkan dalam teori akan tetapi dalam pelaksanaan pengelolaan PTN-
BH tetap melibatkan keuangan negara. Berdasarkan Pasal 83 UU Dikti disebutkan
bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan dana
kepada PTN-BH dalam setiap penganggaran APBN dan/atau APBD. Selain itu,
dalam Pasal 89 Ayat (1) UU Dikti diterangkan bahwa penggunaan dana dalam
APBN dan/atau APBD tersebut digunakan sebagai biaya operasional, dosen dan
tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan. Dengan pola demikian
kedudukan badan hukum PTN-BH tidak murni merupakan Badan Hukum seperti
yang terdapat dalam UU BUMN dan/atau perusahaan negara lainnya karena PTN-
BH tidak murni sebagai badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan,
melainkan dalam pengelolaannya tetap didasarkan pada pemberian anggaran
negara. Dalam ketentuan yang lain, seperti yang terdapat dalam Pasal 89 ayat (5)
UU Dikti dijelaskan bahwa Pemerintah dapat memberikan dana bantuan
operasional PTN yang diambil dari anggaran pendidikan yang bersumber dari
Dana Kementerian diluat Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagai bentuk
dukungan terhadap pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Hal ini dapat
diartikan bahwa penerimaan anggaran oleh PTN-BH merupaka bentuk
penerimaan pengangaran dari Pemerintah yang diberikan melalui fungsi Anggaran
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
102
dari Kementerian yang terkait sehingga PTN-BH bukan merupakan Badan
Hukum yang mandiri karena penerimaan dan pengelolaannya didasarkan pada
APBN.
Ketidakjelasan status hukum dari PTN-BH inilah yang menimbulkan
status uang negara yang dimiliki PTN-BH. Berbeda dengan kedudukan BLU
sebagai pendelegasi tugas pemerintah tetap menjadikan BLU sebagai Badan
Hukum Publik sehingga pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya
tunduk pada UU Keuangan Negara. Pengelolaan keuangan negara pada umunya
berada dalam tanggung jawab menteri keuangan sebagai bendahara umum negara.
Tugas menteri keuangan sebagai bendahara umum negara adalah menguasai
semua bentuk uang negara. Uang negara diartikan sebagai rupiah dan valuta asing
yang terdapat dalam kas negara dan uang pada bendahara penerimaan dan
bendahara pengeluaran kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian,
dan lembaga negara.
Dari penjelasan mengenai definisi uang negara diatas, keberadaan PTN-
BH merupakan suatu instansi pemerintah yang memberikan fungsi pelayanan
pendidikan yang sesuai dengan amanat konstitusi. Ditinjau dari kelembagaannya,
PTN-BH merupakan lembaga yang berada dalam pengawasan Menteri yang
mengurusi bidang pendidikan tinggi. Dalam Pasal 65 ayat (3) UU Dikti memiliki
hak untuk mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel. Keberadaan
hak tersebut merupakan imbas dari pemberian otonomi terhadap pengelolaan
suatu badan hukum. Otonomi pengelolaan keuangan pada PTN-BH bertentangan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
103
dengan konsep keuangan negara yang menegaskan bahwa setiap instansi
pemerintahan harus mengelola sesuai dengan koridor UU Keuangan Negara yang
menitikberatkan pada pertanggungjawaban yang akuntabel. Selain itu, kriteria
badan hukum yang digunakan oleh PTN-BH tidak seperti BUMN atau perseroan
terbatas lainnya karena pada PTN-BH tetap mendasarkan pembiayaan pada sistem
penganggaran APBN yang nantinya akan dikelola secara mandiri, sedangkan
dalam BUMN kekayaan negara hanya terdapat pada permulaan pendirian sebagai
bentuk penyertaan modal negara terhadap kepada BUMN.
Terlebih dalam Pasal 3 PP Pendanaan PTN-BH dijelaskan bahwa sumber
pendanaan PTN-BH berpangkal pada anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah
dalam APBN. Alokasi dana tersebut merupakan bagian dari 20% (dua puluh
persen) dari total anggaran fungsi pendidikan. Menurut pasal tersebut sumber
pendanaan PTN-BH dapat dibagi menjadi 6 (enam) jenis yakni:
1. Masyarakat; hal ini merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat dalam
pendanaan PTN-BH yang dapat berupa sumbangan, hibah, dan/atau
sumber yang lain.
2. Biaya Pendidikan; biaya pendidikan merupakan contra prestatie atas jasa
yang diberikan oleh PTN-BH kepada mahasiswa sehingga biaya
pendidikan merupakan kewajiban mahasiswa.
3. Pengelolaan dana abadi dan usaha-usaha PTN-BH; inilah yang menjadi
legal standing pendirian badan usaha oleh PTN-BH.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
104
4. Pengelolaan kekayaan negara yang diberikan Pemerintah dan Pemerintah
daerah untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi.
5. Sumber-sumber lain yang sah.
Kelima sumber pendanaan PTN-BH tersebut dikelola secara mandiri oelh PTN-
BH dengan otonomi non-akademik yang diberikan kepada PTN-BH. Cotoh
otonomi dalam pengelolaan keuangan negara inilah yang diartikan sebagai bentuk
otonomi semu yang diberikan oleh negara. Diartikan semu karena pada dasrnya
otonomi tersebut tidak serta merta dilakukan secara penuh melainkan hanya
sebagian yakni dalam pelaksanaannya saja akan tetapi, dalam
pertanggungjawaban tetap menganut asas yang sesuai dengan UUKN.
Pendapatan PTN-BH dikategorikan sebagai Pendapatan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak54 (UU PNBP) yang dikategorikan
sebagai penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah
dalam bidang pendidikan. Pengelolaan PNBP ini menjadi penting karena dalam
UU PNBP mewajibkan bahwa instansi subjek PNBP wajib segera untuk menyetor
hasil PNBP tersebut kepada negara. Penentuan besaran PNBP ini dapat ditentukan
melalui penetapan pemerintah atau penghitungan instansi yang bersangkutan.
Dengan demikian terbukti bahwa otonomi pengelolaan keuangan yang diberikan
pada PTN-BH tidak mutlak.
54 Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak,
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3687.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
105
Dengan demikian, keberadaan BHMN sebagai bentuk baru badan hukum
bukan merupakan suatu solusi yang tepat karena keberadaan BHMN tidak
memiliki landasan teori yang kuat, sehingga kedudukannya sangat lemah.
Kelemahan hal tersebut terlihat pada sistem keuangan dan pengelolaan keuangan
yang terdapat dalam BHMN umumnya dan PTN-BH khususnya. Berbeda dengan
kedudukan BLU sebagai bentuk pendelegasian tugas negara yang tetap
mendasarkan kewenangan pengelolaan keuangan negaranya atas dasar UU
Keuangan Negara. Pertanggungjawaban keuangan BLU dapat diartikan sama
seperti pertanggungjawaban Lembaga Negara lainnya.
3.5 Akibat Hukum dalam Pola Pengelolaan Sistem Kepegawaian Pada
Perguran Tinggi Negeri (PTN)
Dalam kajian teori, disebutkan bahwa terdapat hubungan antara Hukum
Administrasi dengan Hukum Kepegawaian yang disebut dengan openbare
dientsbetrekking (hubungan dinas publik) terhadap negara yang merupakan salah
satu bentuk hubungan subordinatie yakni hubungan antara atasan dengan
bawahan. Selain itu, dapat dikategorikan bahwa subjek hukum dari hukum
kepegawaian adalah PNS. Selain itu terdapat beberapa pendapat mengenai
hubungan dinas publik antara lain :
1. Menurut Logemaann hubungan dinas publik terjadi ketika seseorang
mengikatkan dirinya untuk tunduk pada perintah pemerintah untuk
melakukan suatu atau beberapa jabatan yang dihargai dengan pemberian
gaji dan beberapa keuntungan lain. Dalam hal ini yang diartikan sebagai
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
106
hubungan dinas publik adalah kewajiban bagi pegawai yang bersangkutan
untuk tunduk pada pengangkatan dalam beberapa macam jabatan tertentu
yang berakibat bahwa pegawai yang bersangkutan tidak menolak
pengangkatannya dalam suatu jabatan yang telah ditentukan oleh
pemerintah atau sebaliknya pemerintah berhak mengangkat pegawai tanpa
harus ada persetujuan dari yang bersangkutan55
2. Kajian hubungan dinas publik ini berkaitan dengan segi pengangkatan
Pegawai Negeri. Hubungan antar pegawai negeri dengan negara dari segi
pengangkatan ini dikenal sebagai teori Contrac Suigeneris. Teori yang
didasarkan pada pendapat Buys ini mensyaratkan bahwa pegawai negeri
harus setia dan taat selama menjadi Pegawai Negeri, meskipun disetiap
saat dia bisa mengundurkan diri. Pendapat Buys berarti meniadakan hak
asasi pegawai negeri sehingga Pemerintah dapat menyatakan bahwa yang
bersangkutan bukanlah orang yang diperlukan bantuannya oleh
pemerintah. Pendapat tersebut ditentang oleh Y. Helskrek dengan
mengemukakan pendapat bahwa ketika Pemerintah membatasi hak
pegawai negeri berarti pemerintah melakukan perbuatan inkonstitusional.
Namun walaupun demikian, hukum kepegawaian di Indonesia cenderung
mengikuti pendapat Buys56.
3. Menurut Philipus M. Hadjon, kajian Hukum Administrasi lebih melihat
55 S.F. Marbun dan Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,Liberty, Yogyakarta,
1984, hal. 98-99 56 Ibid, hal. 99-100
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
107
bahwa hubungan kepegawaian sebagai bentuk hubungan Openbare
dienstbetrekking yang melekat pada hubungan antara atasan dengan
bawahan57.
Pengertian Pegawai sudah pernah diartikan oleh beberapa ahli hukum pada
abad 19-20 masehi. Kranenburg mendefinisikan Pegawai Negeri sebagai pejabat
yang ditunjuk. Pengertian Kranenburg tersebut tidak termasuk mereka yang
jabatannya merupakan fungsi perwakilan seperti Anggota Parlemen, Presiden, dan
sebagainya. Logemann dengan menggunakan kriteria yang bersifat materiil
mencermati hubungan antara negara dengan Pegawai Negeri dengan memberikan
pengertian bahwa Pegawai Negeri adalah setiap pejabat yang memiliki hubungan
dinas dengan Negara58. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara59 (UU ASN) menjelaskan beberapa pengertian terkait
keberadaan Pegawai Negeri Sipil. Dalam Pasal 1 angka 1 UU ASN menjelaskan
mengenai pengertian Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai berikut :
Pasal 1 angka 1 UU ASN
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi
Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja yang
bekerja pada instansi pemerintah.
Selain pengertian ASN, juga dijelaskan beberapa pengertian lain berkaitan dengan
pegawai pemerintahan yakni :
57 Philippus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1994, hal. 214 58 Sri Hartini, dkk.,Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal 31 59 Indonesia, Undang-Undang No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2014 No. 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
5494.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
108
Pasal 1 angka 2 UU ASN
Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah
Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja yang oleh
pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan
pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 1 angka 3 UU ASN
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut PNS adalah warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN scara
tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Pasal 1 angka 4 UU ASN
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disebut PPPK
adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu yang diangkat
berdasarkan perjanjian kerja dengan jangka waktu tertentu dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintahan.
Dari keempat pengertian tersebut diartikan bahwa terdapat 2 (dua) jenis
pegawai dalam lingkup pemerintahan yakni PNS dan Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja (PPPK). Kedua jenis pegawai tersebut tergabung dalam
pengertian Pegawai ASN guna menjalankan fungsi Aparatur Sipil Negara. Ketiga
makna tersebut itulah yang dinamakan pengertian secara stipulatif yakni
pengertian yang didasarkan pada penetapan oleh peraturan perundang-undangan.
Pembagian jenis-jenis Pegawai ASN ini didasarkan pada Pasal 6 dan Pasal
7 UU ASN yang menjelaskan pembagian Pegawai ASN adalah sebagai berikut :
1. PNS, yakni Pegawai ASN yang diangkat sebagai Pegawai Tetao oleh
Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara
nasional
2. PPPK, yakni Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai melalui
Perjanjian Kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
109
kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan UU ASN.
Dalam pelaksanaan kewajiban sebagai PNS, Pegawai ASN sesuai dengan
Pasal 2 UU ASN beserta Penjelasan pasal tersebut harus mendasarkan
pelaksanaan manajemen dan kebijakan yang sesuai dengan asas-asas sebagai
berikut :
1. Kepastian Hukum; yakni dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan
Manajemen ASN harus mengutamakan landasan peraturan perundang-
undangan, kepatutan, dan keadilan.
2. Profesionalitas; yakni dalam penyelengaraan kebijakan dan manajemen
ASN harus mengutamakan keahlian yang berdasarkan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan
3. Proporsionalitas; yakni dalam penyelenggaraan kebijakan dan manajemen
ASN mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban.
4. Keterpaduan; yakni dalam pengelolaan Pegawai ASN didasarkan pada satu
sistem pengelolaan yang terpadu secara nasional;
5. Delegasi; yakni dalam pembagian kewenangan pengelolaan manajemen
Pegawai ASN dapat didelegasikan pengelolaannya kepada Kementerian,
Lembaga Negara Non-Kementerian, dan Pemerintah Daerah.
6. Netralitas; bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk
pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
7. Akuntabilitas; bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Pegawai
ASN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Efektif dan Efisien; bahwa dalam menyelenggarakan manajemen ASN
sesuai dengan target atau tujuan dengan tepat waktu sesuai dengan
perencanaan yang telah ditetapkan.
9. Keterbukaan; bahwa dalam penyelenggaraan manajemen ASN bersifat
terbuka untuk publik.
10. Nondiskriminatif; bahwa dalam penyelenggaraan Manajemen ASN tidak
ada pembedaan perlakuan berdasarkan jender, suku, agama, ras, dan
golongan.
11. Persatuan dan Kesatuan; bahwa Pegawai ASN sebagai perekat Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
110
12. Keadilan dan Kesetaraan; bahwa penyelenggaraan ASN harus
mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk memperoleh
kesempatan akan fungsi dan peran sebagai Pegawai ASN.
13. Kesejahteraan; bahwa penyelenggaraan ASN diarahkan untuk
mewujudkan peningkatan kualitas hidup Pegawai ASN.
Perbedaan antara PNS dan PPPK adalah status kepegawaian yang melekat
pada ASN adalah adanyan Perjanjian Kerja atau tidak, dalam kaitannya dengan
Hukum Perburuhan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan60, Perjanjian Kerja diartikan sebagai perjanjian antara
pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,
hak, dan kewajiban para pihak. Dalam pengertian tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa PPPK merupakan pihak pekerja dengan Pejabat Pembina
Kepegawaian sebagai pemberi kerja sebagai bentuk pendelegasian tugas negara
kepada Pejabat tersebut. Hanya saja konsep Perjanjian Kerja yang terdapat dalam
UU Ketenagakerjaan berbeda dengan konsep yang terdapat dalam UU ASN.
Perbedaan tersebut terdapat pada kewenangan dan subyek yang dapat melakukan
Perjanjian Kerja. Lain lagi halnya dengan jenis Pegawai Negeri yang terdapat
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
(UU Pokok-Pokok Kepegawaian 1999)61 yang dibagi menjadi :
1. Pegawai Negeri Sipil
60 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4279 61 Indonesia, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3890
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
111
2. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sedangkan, PNS sendiri dalam Pasal 2 ayat (2) dibagi menjadi 2 (dua) yakni :
1. PNS Pusat, yakni PNS yang gajinya dibebankan pada APBN dan bekerja
pada Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan
Lembaga Negara, Instansi Vertikal di Daerah Provinsi Kabupaten/Kota,
Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan
tugas negara lainnya.
2. PNS Daerah, yakni PNS daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya
dibebankan pada APBD dan bekerja pada Pemerintah Daerah, atau
dipekerjakan diluar instansi induknya.
Berkaitan dengan jenis Pegawai pada lembaga Pemerintahan yang lain
dalam UU Pokok-Pokok Kepegawaian 1999 juga dijelaskan mengenai kedudukan
Pegawai Tidak Tetap yang diartikan sebagai pegawai yang diangkat oleh Pejabat
yang berwenang dan diangkat untuk waktu tertentu guna melaksanakan tugas
pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Pegawai Tidak Tetap ini
bukan termasuk dalam kategori Pegawai Negeri, penamaan Pegawai Tidak Tetap
ini mempunyai arti sebagai pegawai diluar PNS dan pegawai lainnya. Penamaan
ini merupakan bentuk antisipasi pemerintah terhadap kebutuhan pegawai dan
terbentur dalam hal penggajiannya yang terdapat dalam APBN/APBD. Pada
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
112
dasarnya, kebutuhan dalam pengangkatan Pegawai Tidak Tetap diserahkan pada
masing-masing kebutuhan instansi. Perkembangan peraturan oerundang-undangan
tersebut diatas memiliki konsekuensi yuridis bahwa terdapat perubahan
penyebutan yang dalam UU Pokok-Pokok Kepegawaian 1999 disebut sebagai
Pegawai Tidak Tetap sedangkan dalam UU ASN disebut sebagai PPPK. Walaupun
demikian, pengertian keduanya tetap sama yakni sama-sama bukan PNS yang
mempunyai keterikatan dinas dengan Pemerintah maupun dengan negara.
Walaupun demikian, dalam UU ASN menjelaskan bahwa PPPK adalah bagian
dari ASN meskipun bukan PNS.
Dalam kajian kelembagaan pada Hukum Kepegawaian, Pasal 25 UU ASN
menjelaskan mengenai kedudukan ASN sebagai sebuah struktur organisasi
kedinasan sebagai berikut :
1. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi yang
diartikan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pengambilan
kebijakan, pembinaan profesi, dan pembinaan manajemen ASN.
2. Selanjutnya, Presiden mendelegasikan tugasnya dalam pengelolaan ASN
kepada beberapa instansi terkait diantaranya :
1. Kementerian yang mengurusi bidang pendayagunaan aparatur negara
(Kementerian-PAN) yang bertugas untuk menetapkan dan
merumuskan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta
mengawasi pelaksanaan kebijakan ASN
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
113
2. Komisi ASN dengan kewenangan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN untuk mewujudkan
Sistem Merit62 serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik,
dan kode perilaku ASN.
3. Lembaga Administrasi Negara (LAN) dengan kewenangan untuk
melakukan penelitian, pengkajian kebijakan manajemen ASN,
pembinaan, dan penyelenggaraan pelatihan bagi ASN.
4. Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan kewenangan
penyelenggaraan manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian
pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria manajemen ASN.
Selanjutnya, terkait dengan kedudukan kepegawaian dalam UU Dikti
dijelaskan dalam Pasal 69 ayat (1) UU Dikti beserta penjelasan Pasal tersebut
disebutkan bahwa keteneagaan perguruan tinggi terdiri atas 2 (dua) jenis yakni :
1. Dosen; didefinisikan dalam Pasal 1 angka 14 UU Dikti sebagai
pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi melalui Pendidikan, Penelitian, dan
Pengabdian Masyarakat.
2. Tenaga Kependidikan; yang diartikan sebagai anggota masyarakat
62 Sistem Merit dalam Pasal 1 angka 22 UU ASN dijelaskan sebagai sistem kebijakan dan
manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan
wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul,
jenis kelamin, status pernikahan, umur, dan kondisi kecacatan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
114
yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi antara lain, pustakawan, tenaga
administrasi, laboran, dan teknisim serta pranata teknik informasi.
Dalam Pasal 70 UU Dikti membagi kembali status kepegawaian yang ada dalam
PTN-Badan Hukum yakni :
1. Dosen dan Tenaga Kependidikan yang diangkat dan ditempatkan oleh
Pemerintah; dalam hal ini status kepegawaian yang diberikan kepada
keduanya adalah status Pegawai Negeri Sipil (PNS)
2. Dosen dan Tenaga Kependidikan yang diangkat dengan Perjanjian
Kerja atau Kesepakatan Kerja oleh Badan Penyelanggara. Badan
Penyelenggara dalam UU Dikti tidak dijelaskan secara spesifik
mengenai pengertian Badan Penyelenggara.
3. Dosen Tetap yang diangkat oleh Internal PTN-BH seperti yang
diuraikan dalam Pasal 71 ayat (1) UU Dikti.
Sesuai dengan konsep Perjanjian Kerja yang telah dijelaskan terlebih
dahulu diatas, maka berkaitan dengan gaji dan tunjangan Dosen dan Tenaga
Kependidikan dibebankan kepada Badan Penyelenggara pengangkatan Dosen dan
Tenaga Kependidikan. Namun, dalam UU Dikti tidak dejelaskan mengenai
pengertian Badan Penyelenggara tersebut. Berbeda dengan hal tersebut, Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen63 yakni dalam Pasal 1
63 Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Lembaran Negara
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
115
angka 5 disebutkan bahwa Penyelenggara Pendidikan adalah Pemerintah,
Pemerintah Daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada
jalur pendidikan formal. Penyelenggara Pendidikan seperti yang disebut diatas
juga memiliki kewenangan atribusi untuk melakukan dan/atau membuat
Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama dengan guru dan/atau dosen
yang tetap memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan
prinsip kesetaraan dan prinsip kesewajaran berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Dikti, dalam Pasal 48
ayat (1) UU Guru dan Dosen membagi 2 (dua) jenis dosen yang terdapat dalam
Perguruan Tinggi, yakni :
1. Dosen Tetap; diartikan sebagai dosen yang bekerja penuh waktu yang
berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi
(PTN) tertentu.
2. Dosen Tidak Tetap; diartikan sebagai dosen yang bekerja paruh waktu
yang berstatus sebagai tenaga pendidik tidak tetap pada satuan
pendidikan tinggi (PTN) tertentu.
Selain itu, pembagian jenis dosen Satuan Pendidikan Tinggi juga dibagi
berdasarkan instansi yang melakukan pengangkatan terhadap dosen tersebut.
Pembagian instansi yang mengangkat tersebut juga berkaitan dengan kewajiban
Republik Indonesia tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4586
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
116
pemberian gaji dan tunjangan kepada dosen tersebut. Berdasarkan Pasal 52 UU
Guru dan Dosen terdapat 2 (dua) jenis instansi tersebut yakni :
1. Satuan Pendidikan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
memiliki kewajiban untuk memberikan gaji dosen yang diangkatnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Satuan Pendidikan Tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat
memiliki kewajiban untuk memberikan gaji dosen yang diangkatnya
sesuai dengan kesepakaran yang terdapat dalam klausula Perjanjian
Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama.
Gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 UU Guru dan Dosen tersebut
meliputi beberapa hal yakni gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta
penghasilan lain yang meliputi tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan
khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas
sebagai dosen yang yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar
prestasi.
Jika dikaitkan dengan keberadaan UU ASN maka dapat disimpulkan
bahwa kedudukan dosen dan tenaga kependidikan adalah sama-sama sebagai
Aparatur Sipil Negara. Namun, pembagian dalam status kepegawaian dalam UU
Dikti terlihat berbeda karena terdapat pembagian kewenangan pengangkatan
antara Pemerintah dan Internal PTN-Badan Hukum sehingga dapat disimpulkan
menjadi seperti berikut :
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
117
(tabel 3.5.1) Pembagian Kewenangan Pengangkatan Dosen dan Tenaga
Kependidikan dalam UU Dikti
Pemerintah Internal PTN-Badan Hukum
Pemerintah berwenang mengangkat
Dosen dan tenaga kependidikan yang
diperlukan oleh PTN-BH untuk
menerapkan fungsi pendelegasian tugas
seperti yang terdapat dalam UU ASN
sebagai bentuk delegasi untuk
membantu dalam pelaksanaan tugas
yang terdapat dalam PTN-BH.
Selain itu, Badan Penyelanggara juga
dapat melakukan perjanjian kerja untuk
mengangkat dosen atau tenaga
kependidikan.
Dalam hal pengangkatan oleh
pemerintah tersebut Dosen dan Tenaga
Kependidikan berstatus sebagai PNS.
Sedangkan Dosen dan tenaga
kependidikan yang diangkat melalui
Perjanjian Kerja bukan merupakan PNS
namun juga termasuk dalam ASN.
Beban dalam hal gaji dan tunjangan
dosen dan tenaga kependidikan yang
berstatus PNS akan dibebankan pada
APBN/APBD.
Berdasarkan Pasal 70 dan Pasal 71
PTN-BH berhak mengangkat dosen
tetap yakni dosen yang tidak diangkat
oleh Pemerintah melainkan diangkat
sesuai dengan Standart Nasional
Pendidikan oleh PTN-BH itu sendiri
dengan persetujuan oleh Pemerintah.
Status Dosen Tetap ini bukan menjadi
tanggung jawab pemerintah melainkan
kewenangan dari PTN-BH mengingat
kebutuhan internal dari PTN-BH
tersebut.
Status dosen tetap yang diangkat oleh
PTN-BH bukan merupakan PNS
maupun ASN.
Kewenangan Pengangkatan dosen tidak
tetap berada pada Pimpinan PTN-BH
atau Rektor Universitas dengan
memperhatikan persetujuan pemerintah.
Beban gaji pokok dan tunjungan atas
dosen tetap dibebankan kepada interlan
PTN-BH, sedangkan pemerintah dapat
memberikan tunjangan kepada dosen
tetap berupa tunjangan jabatan
akademik, tunjangan profesi, dan/atau
tunjangan kehormatan
Pada tabel diatas telah dijelaskan mengenai pembagian jenis status
kepegawaian yang terdapat dalam UU Dikti. Namun, selain hal tersebut akan juga
disertakan tabel terkait penbagian jenis dosen yang terdapat dalam UU Guru dan
Dosen dan UU Dikti. Pembagian tersebut perlu dijelaskan karena berkaitan
dengan keberlakuan kedua Peraturan Perundang-Undangan tersebut yang
keduanya sama-sama masih berlaku dan keduanya juga mengatur mengenai objek
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
118
yang sama yakni jenis-jenis status kepegawaian yang terdapat dalam PTN-BH
khususnya status kepegawaian dosen karena keduanya memiliki perbedaan dalam
pembagian status kepegawaian yang dapat dikenakan atas keberadaan Dosen
sebagai salah satu pilar dalam PTN-BH.
(tabel 3.5.2) Pembagian Jenis Dosen Berdasarkan Ketentuan UU Dikti dan
UU Guru dan Dosen
UU GURU DAN DOSEN UU DIKTI
Berdasarkan Status Kepegawaian
yang diberikan :
1. Dosen yang diangkat oleh
Pemerintah (PNS).
2. Dosen yang diangkat melalui
Perjanjian Kerja atau
Kesepakatan Kerja Bersama
yang dilakukan dengan
Penyelenggara Pendidikan atau
Satuan Pendidikan
Berdasarkan Instansi yang melakukan
pengangkatan :
1. Pemerintah dan ditempatkan ke
Satuan Pendidikan Tinggi milik
Negeri (PTN) tertentu
2. Satuan Pendidikan Tinggi
Negeri
3. Satuan Pendidikan Tinggi yang
diselenggarakan masyarakat
Selain itu, Dosen yang diangkat oleh
Satuan Pendidikan Tinggi terbagi 2
(dua) jenis :
1. Dosen Tetap
2. Dosen Tidak Tetap
Berdasarkan Status Kepegawaian yang
diberikan :
1. Dosen yang diangkan oleh
Pemerintah
2. Dosen yang diangkat melalui
Perjanjian Kerja yang dibuat
dengan Badan Penyelenggara
Berdasarkan Instansi yang melakukan
pengangkatan :
1. Pemerintah
2. Badan Penyelenggara
3. Internal PTN-BH melalui
kewenangan Pimpinan PTN-BH
(Rektor) dengan memperhatikan
persetujuan dari Pemerintah.
Dalam UU Dikti pengangkatan dosen
yang dilakukan oleh Internal PTN-
Badan Hukum mempunyai konsekuensi
bahwa dosen yang diangkat hanya
sebagai Dosen Tetap yang statusnya
bukan sebagai PNS maupun ASN
Dalam tabel tersebut dijelaskan bahwa ketentuan yang terdapat dalan UU
Guru dan Dosen mengalami tumpang tindih pengaturan terkait keberadaan status
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
119
kepegawaian eosen. Dalam UU Guru dan Dosen dalam pembuatan perjanjian
kerja dilakukan oleh calon dosen dengan Penyelenggara Pendidikan atau Satuan
Pendidikan, sedangkan dalam UU Dikti perjanjian kerja dibuat antara calon dosen
dengan Badan Penyelenggara. Dalam penjelasannya Badan Penyelenggara yang
disebutkan dalam UU Dikti tidak dijelaskan secara spesifik mengenai Instansi
mana yang memiliki kewenangan untuk melakukan perjanjian kerja. Selain itu,
dalam UU Guru dan Dosen membagi jenis dosen yang diangkat oleh Internal
Satuan Pendidikan Tinggi menjadi Guru Tetap dan Guru Tidak Tetap sedangkan
berdasarkan UU Dikti, dosen yang diangkat oleh Internal PTN-Badan Hukum
hanya dosen tetap saja. Ketentuan tersebut diatas jelas terdapat tumpang tindih
pengaturan karena keberadaan kedua Peraturan Perundang-Undangan tersebut
sama-sama masih berlaku.
Sebagai pembanding, tabel diatas merupakan pembagian jenis dosen yang
terdapat di Indonesia melalui pendekatan peraturan perundang-undangan maka
selanjutnya akan diperbandingkan juga ketentuan yang mengikat UU Dikti terkait
dengan status kepegawaian dengan ketentuan yang terdapat pada UU ASN
sebagai peraturan induk terkait dengan keberadaan Aparatur Sipil Negara sebagai
bentuk pelaksana tugas negara.
(tabel 3.5.3) Perbandingan UU ASN dan UU Dikti Terkait Kedudukan ASN
UU ASN UU DIKTI
Dalam UU ASN pembagian tenaga
kependidikan didasarkan pada
pembagian jenis ASN yakni PNS dan
Dikenal 2 (dua) macam tenaga
kependidikan dalam UU DIKTI yakni
tenaga kependidikan yang diangkat oleh
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
120
PPPK kedua jenis pegawai tersebut
termasuk kedalam kulifikasi sebagai
ASN yang diberi tugas untuk
menjalankan fungsi pemerintahan
dengan gaji yang dibebankan pada
negara.
Mekanisme pengangkatan PNS harus
didasarkan pada rekruitmen yang
didasarkan pada peraturan perundang-
undangan. Berakhirnya status PNS
adalah telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan.
Berbeda dengan konsekuensi yuridis
terkait keberadaan PPPK yang dalam
hal ini merupakan pegawai kontrak.
Kontrak kerja yang dibuat antara
instansi pemerintahan tersebut
merupakan landasan pengangkatan
PPPK tersebut.
Pemerintah dan/atau Badan
Penyelenggara
Pengangkatan tenaga kependidikan
yang diangkat oleh Pemerintah diangkat
berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Tenaga
kependidikan ini menjadi bagian dari
ASN
Pengangkatan tenaga kependidikan
yang diangkat oleh Badan
Penyelenggara diangkat berdasarkan
Perjanjian Kerja. Tenaga kependidikan
diatas bukan merupakan bagian dari
ASN.
Terkait dengan status kepegawaian tenaga kependidikan, antara UU ASN
dan UU Dikti tidak memiliki perbedaan yang signifikan karena pada dasarnya
keberadaan tenaga kependidikan ini terdapat kesamaan pengaturan yakni adanya
status PNS dan status tenaga kependidikan yang didasarkan pada Perjanjian
Kerja. Namun, terdapat beberapa pengaturan yang berbeda yakni terkait
keberadaan instansi yang melakukan pengangkatan atas tenaga kependidikan
dengan Perjanjian Kerja. Jika dilihat dari UU ASN, maka instansi yang
melakukan pengangkatan dikatakan dengan istilah “Instansi Pemerintah yang
membutuhkan” sedangkan dalam UU Dikti instansi tersebut dikenal dengan istilah
“Badan Penyelenggara” perbedaan tersebut menimbulkan persepsi ganda bahwa
jika dilihat dari sudut pandang UU ASN, Pegawai dengan Perjanjian Kerja dapat
diadakan oleh Instansi Pemerintah jika terdapat kebutuhan terkait kinerja
Insatansi Pemerintah yang bersangkutan. Sedangkan dalam persepsi UU Dikti
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
121
proses pengangkatan Tenaga Kependidikan denga Perjanjian Kerja dapat
dilakukan kapan saja. Kedua hal tersebut dapat menimbulkan kekaburan hukum
jika keduanya sama-sama merupakan Peraturan yang berlaku di Indonesia.
Dalam Pasal 64 ayat (3) UU Dikti mengatur mengenai bentuk otonomi
PTN-BH yang salah satunya adalah otonomi dalam pengelolaan ketenagaan. Yang
dimaksud dengan pengelolaan ketenagaan adalah terkait dengan pengelolaan
tenaga kependidikan dan pengelolaan dosen. Berbeda dengan otonomi
pengelolaan dalam PTN-BH, PTN dengan sistem pengelolaan BLU memiliki
ciri-ciri bukan merupakan suatu badan hukum tersendiri dan tidak memiliki
otonomi pengelolaan secara khusus tidak mungkin melakukan pengelolaan
ketenagaan secara mandiri dan tetap mengikuti alur pengelolaan ketenagaan yang
dilakukan oleh Pemerintah. Dengan demikian maka dalam tulisan ini akan
disertakan tabel perbandingan berkaitan dengan pengelolaan ketenagaan dalam
PTN-BH dan PTN dengan sistem pengelolaan BLU.
(tabel 3.5.4) Perbandingan Pengelolaan Ketenagaan dalam PP Statuta Univ.
Airlangga sebagai PTN-Badan Hukum dan Statuta Univ.
Bengkulu sebagai PTN
STATUTA UNAIR
Dalam Pasal 67 PP Statuta UNAIR
menjelaskan bahwa Pegawai UNAIR
terdiri dari Dosen dan Tenaga
Kependidikan. Pegawai tersebut
dibagi menjadi beberapa jenis yakni :
1. PNS yang dipekerjakan yang
STATUTA UNIV. BENGKULU
Berdasarkan Pasal 103 Statuta Univ.
Bengkulu dijelaskan bahwa Dosen
dibagi menjadi 2 (dua) jenis yakni :
1. Dosen Tetap yakni dosen dengan
status PNS yang bekerja di Univ.
Bengkulu
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
122
dengan melihat syarat-syarat
yang telah ditentukan Peraturan
Perundang-Undangan
2. Pegawai Tetap
3. Pegawai Tidak Tetap
Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak
Tetap dipekerjakan sesuai dngan
Peraturan Rektor.
Dalam Pasal 68 PP Statuta UNAIR
membagi jenis Dosen sebagai berikut :
1. Dosen Tetap; yang dibagi lagi
menjadi 2 (dua) jenis yakni :
Dosen Tetap yang berasal
dari PNS yang dipekerjakan
Dosen Tetap yang berasal
dari tenaga yang dilakukan
perekrutan oleh UNAIR
2. Dosen Tidak Tetap
Sedangkan, Tenaga Kependidikan
diatur dalam Pasal 69 PP Statuta
UNAIR dibagi menjadi :
1. Tenaga Kependidikan Tetap
2. Tenaga Kependidikan Tidak
Tetap.
Keduanya juga terbagi menjadi Tenaga
Kependidikan yang berasal dari PNS
maupun Tenaga Kependidikan yang
direkrut oleh internal UNAIR. Tenaga
Kependidikan berasal dari PNS
didasarkan pada Peraturan Perundang-
Undangan. Sedangkan Tenaga
Kependidikan Tidak Tetap
pengaturannya didasarkan pada
Perjanjian Kerja.
2. Dosen Tidak Tetap yakni dosen
yang bekerja paruh waktudan
diangkat sesuai dengan
kebutuhan.
Sedangkan terkait tenaga kependidikan
diatur dalam Pasal 108 Statuta Univ.
Bengkulu namun dalam hal ini tidak
diatur mengenai status kepegawaian dari
tenaga kependidikan tersebut. Namun,
pada dasarnya Tenaga Kependidikan
dapat berasal dari PNS maupun bukan
PNS
Dalam Pasal 109 Statuta Univ.
Bengkulu mengatur masalah
pengangkatan, penempatan,
pemindahan, dan pemberhentian dosen
dan tenaga kependidikan diatur dengan
Peraturan Rektor sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan.
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pengaturan terkait ketenagaan
diantara keduanya tidak memiliki perbedaan yang signifikan namun walaupun
demikian, dalam pembagian jenis dosen dalam PTN tidak mengikuti aturan yang
terdapat dalam UU Dikti. Pengaturan mengenai dosen tersebut tunduk pada UU
Guru dan Dosen yang dibuktikan bahwa pembagian dosen dalam PP Statuta
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
123
UNAIR dan Statuta Universitas Bengkulu mengenal istilah dosen tidak tetap
yang dalam UU Dikti tidak mengenal hal tersebut. Selain itu, dalam kedua Statuta
PTN tersebut tidak mengenal PPPK melainkan masih menggunakan istilah
Pegawai Tidak Tetap tentu saja hal ini secara teknis sudah tidak sesuai dengan UU
ASN sebagai Peraturan Perundang-Undangan Pokok terkait masalah
kepegawaian. Dari kedua hal tersebut terlihat jelas bahwa keberadaan UU Guru
dan Dosen dan UU Dikti terdapat tumpang tindih pengaturan khususnya
pengaturan terkait keberadaan Dosen.
Selain itu, terdapat kejanggalan dalam PP Statuta UNAIR mengenal istilah
Dosen Tetap yang merupakan tenaga yang direkrut oleh UNAIR. Kejanggalan
tersebut diartikan sebagai landasan hukum untuk melakukan pengangkatan secara
sendiri tersebut termasuk sebagai bentuk otonomi yang diberikan oleh UU Dikti
kepada UNAIR. Namun belakangan ini terlihat bahwa keberadaan dosen tetap
yang berada dalam lingkup PTN-BH seperti UNAIR tidak termasuk dalam kajian
hukum kepegawaian karena pada hakikatnya keberadaan dosen tetap adalah sama
saja dengan pekerja kontrak. Dengan kata lain, Dosen tetap ini nantinya akan
disamakan statusnya seperti karyawan BUMN. Pemberian status yang demikian
inilah dapat dikategorikan sebagai upaya pelepasan sektor pendidikan terutama
sektor pendidikan tinggi yang semula sektor publik demi penyelenggaraan fungsi
negara menjadi sektor negara yang menitikberatkan bahwa sektor pendidikan
merupakan jasa yang bisa diperjual-belikan.
3.6 Akibat Hukum Pendirian Badan Usaha dan/atau Penyertaan Modal
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
124
Badan Usaha oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
Secara umum badan usaha merupakan kesatuan yuridis dan ekonomi yang
mengggunakan faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa dengan
tujuan untuk mencari keuntungan semata. Secara teoritis badan usaha dibagi
menjadi 2 (dua) jenis :
a) Badan Usaha yang Bukan Badan Hukum (Non-Badan Hukum)
Dikatakan sebagai badan usaha yang bukan badan hukum dikatakan
demikian karena beberapa hal yaitu tidak terdapat pemisahan harta
kekayaan pemilik dengan kekayaan badan usaha. Selain itu,
pertanggungjawaban dalam badan usaha bukan badan hukum bisa
sampai kepada kekayaan pemiliknya. Dalam teori, badan usaha yang
bukan badan hukum dibagi menjadi beberapa jenis yaitu :
1. Persekutuan Perdata
2. Firma
3. Comanditaire Venootschaap (CV)
b) Badan Usaha yang merupakan Badan Hukum
Pada Badan Usaha yang berbentuk badan hukum memiliki pmisahan
harta kekayaan pemilik dengan harta kekayaan badan usaha sehingga
pemilik bertanggumng jawab hanya sebatas pada modal yang disetor.
Terdapat 3 (tiga) jenis badan usaha ber badan hukum antara lain :
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
125
1. Perseroan Terbatas (PT)
Berdasrkan Pasal 1 angka 1 UU PT-2007 dijelaskan bahwa
Perseroan Terbatas merupakan persekutuan modal yang
didirikan berdasarkan perjanjian dimana seluruh modal
dasarnya terbagi atas saham. Dalam konsep Perseroan Terbatas,
kekayaan Perseroan Terbatas berbeda dengan kekayaan
pemilik. Pendirian Perseroan Terbatas dapat dilakukan oleh
subjek Hukum orang perseorangan baik Warga Negara
Indonesia maupun Warga Negara Asing yang dapat bertindak
sebagai pemilik perseroan dan pemegang saham perseroan,
begitu pula dengan Badan Hukum juga dapat bertindak sama
seperti halnya perseorangan.
2. Yayasan
Pada dasarnya, yayasan merupakan bentuk badan hukum yang
bukan merupakan ajang pencarian keuntungan atau ajang
berusaha. Yayasan lebih mengarah pada kegiatan keagamaan
dan kegiatan sosial. Dalam pengurusan yayasan kekayaan
pendiri atau kekayaan pengurus harus dibiuat terpisah dari
kekayaan yayasan. Pendirian yayasan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan64 dapat
64 Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
126
dilalukan oleh orang perseorangan baik Warga Negara
Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) dan
Badan Hukum.
3. Koperasi
Koperasi merupakan suatu badan usaha yang menjadi pilar
ekonomi rakyat yang didasarkan pada prinsip gotong royong
dan didirikan oleh orang perorang atau suatu badan hukum.
Pada dasarnya koperasi merupakan suatu badan usaha yang
bertumpu pada keberadaan anggota koperasi dengan Rapat
Anggota Tahunan yang menjadi forum tertinggi dalam
pengelolaan koperasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian65 dalam keanggotaan
koperasi hanya berlaku bagi Warga Negara Indonesia (WNI)
saja begitu pula bagi pengurus dan pengawas koperasi tersebut.
Pada dasarnya Peraturan Perundang-Undangan memberikan peluang bagi
PTN-BH untuk mendirikan dan/atau memiliki badan usaha sebagai bentuk
layanan penunjang untuk tridharma perguruan tinggi. Jika dilihat dari konsep
kedudukan kelembagaan maka, PTN-BH juga merupakan badan hukum yang
diperbolehkan untuk membuat suatu badan usaha. Pendirian dan/atau kepemilikan
Nomor 4132
65 Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3502
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
127
badan usaha oleh PTN-BH tidak lain untuk melakukan fungsi entrepeneur. Fungsi
inilah yang termasuk dalam kewenangan otonomi pengelolaan yang diberikan
kepada PTN-BH. Dalam UU PT-2007 dijelaskan bahwa pendirian suatu Perseroan
Terbatas memiliki syarat sah sebagai berikut :
1. Harus didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih
2. Pendirian harus berbentuk Akta Notaris
3. Dibuat dalam Bahasa Indonesia
4. Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham yang diterbitkan
5. Mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM
Konteks pendirian badan usaha yang dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh
PTN-BH tidak hanya terbatas pada bentuk Perseroan Terbatas. Polemik yang
muncul adalah jika kedudukan PTN-BH jika dikaitkan subjek kepemilikan Badan
Hukum. Dalam Hukum Indonesia, subjek dalam hukum mengenal tidak hanya
orang secara natural/orang perseorangan saja (natuurlijke persoon) melainkan
juga mengenal suatu badan hukum (recht persoon). Dalam konsep Hukum
Keuangan Negara telah dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan yang dilakukan
oleh PTN-BH tetap mengikuti pengelolaaan keuangan negara, demikian pula
dalam konsep Hukum Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa
kedudukan PTN-BH merupakan lembaga negara yang diberikan otonomi khusus
berupa kekayaan negara yang dipisahkan. Hal tersebut menimbulkan persepsi
bahwa keberadaan PTN-BH menjadi suatu kewenangan yang terkesan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
128
“tanggung” karena ketidakjelasan posisi kelembagaannya.
Sebagai suatu lembaga negara yang dapat melakukan tindakan
pemerintahan yang berupa perbuatan hukum (rechthandelingen).yakni perbuatan
yang dapat menimbulkan akibat hukum secara langsung. Dalam hukum
Administrasi perbuatan hukum yang dilakukan pemerintah tersebut tidak boleh
menyimpang dan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan sehingga
tidak akan menimbulkan cacat substansi, wewenang, dan prosedur. Perbuatan
pemerintah tersebut dibagi menjadi 2 (dua) golongan66 yakni :
1. Perbuatan Publik
Dalam Perbuatan Publik yang dilakukan pemerintah terdapat 2 (dua)
macam yakni Perbuatan Publik Bersegi Satu dan Perbuatan Publik
Bersegi Dua. Perbuatan Publik Bersegi Satu diartikan sebagai
pengambilan keputusan yang secara sepihak dilakukan oleh
Pemerintah sebagai bentuk kebijakan publik dan bukan merupakan
suatu perjanjian yang didasarkan pada suatu perundang-undangan.
Sedangkan, Perbuatan Publik Bersegi Dua menurut Van Der Ppr.
Kranenberg, Vegting, Wiarda, dan Donner diartikan sebagai suatu
kebijakan pemerintah yang menganding perjanjian yang didasarkan
pada Hukum Publik. Sebagai contoh adalah Kortvartbend Contracten
yakni perjanjian kerja jangka pendek yang melibatkan seorang sebagai
66 M. Lutfi Chakim, Perbuatan Pemerintah, www.lutfichakim.com yang diakses pada Jum'at 3
April 2015
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
129
pekerja dan pihak pemerintah sebagai pihak pemberi pekerjaan. Pada
Kortvartbend Contracten terdapat persesuaian kehendak antara pekerja
dan pemberi pekerjaan yang diatur oleh Hukum Publik.
2. Perbuatan Privat
Pada Perbuatan Hukum Privat, Pemerintah diberikan kebebasan untuk
melakukan perjanjian dengan subyek hukum yang lain atas dasar asas
kebebasan berkontrak yang didasarkan pada ketentuan hukum privat.
Pendiran Badan Usaha yang dilakukan oleh PTN-BH dapat dikategorikan
sebagai perbuatan hukum privat, dikarenakan pendirian dan/atau kepemilikn
badan usaha pada pokoknya didasarkan pada kehendak untuk mengikatkan diri
suatu lembaga kepada lembaga lain dengan suatu perjanjian untuk membentuk
badan usaha. Ketentuan tersebut tetap berlaku apabila PTN-BH dianggap sebagai
salah satu bentuk instansi Pemerintah. Jika PTN-BH tidak dianggap sebagai salah
satu bentuk instansi Pemerintah maka tindakan pendirian badan usaha tersebut
tidak dianggap sebagai bentuk tindakan pemerintah yang bersifat privat melainkan
tindakan pendirian badan usaha tersebut merupakan suatu tindakan yang lazim
dilakukan oleh suatu badan hukum demi mengembangkan usahanya sekaligus
sebagai pengakuan eksistensi keberadaan badan hukum yang dapat melakukan
perbuatan hukum.
Keistimewaan otonomi pengelolaan kelembagaan menyebabkan PTN-BH
dapat mendirikan suatu badan usaha. Contohnya, Pasal 88-Pasal 91 PP Statuta
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
130
UNAIR. Dalam Pasal-Pasal tersebut menyatakan bahwa sebagai PTN-BH,
UNAIR berhak mendirikan usaha yang dapat berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum. Kegiatan usaha tersebut juga meliputi satuan usaha
akademik yang diartikan sebagai bentuk pelaksanaan Tridharma Perguruan
Tinggi. Pendirian Badan Usaha maupun satuan usaha akademik tersebut
dilakukan secara mandiri dalam internal UNAIR sebagai salah satu bentuk
otonomi pengelolaan PTN-BH. Bahwa pendirian Badan Usaha maupun satuan
usaha akademik ini dalam PP Statuta UNAIR dikategorikan sebagai bentuk dari
tindakan privat yang dilakukan demi menambah pemasukan dari UNAIR untuk
memajukan pelaksanaan Tridharma Pendidikan Tinggi sehingga pendirian
maupun kepemilikan tersebut dapat dianggap sebagai sebuah kewjaran dari suatu
badan hukum maupun suatu instansi pemerintah.
Tak hanya itu, UNAIR sebagai suatu PTN-BH dapat melakukan
penyertaan modal terhadap suatu Perseroan Terbatas. Dalam Pasal 91 PP Statuta
UNAIR dijelaskan bahwa UNAIR dapat mendirikan suatu badan usaha yang
berbentuk Perseroan Terbatas. Perseroan Terbatas yang didirikan oleh UNAIR
sebagai PTN-BH memiliki syarat pendirian sebagai berikut :
1. Penyertaan modal tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen)
dari kekayaan UNAIR
2. UNAIR harus memiliki 51% (lima puluh satu persen) dari saham
Perseroan Terbatas yang didirikan. Dengan demikian UNAIR harus
menjadi pemegang saham mayoritas dalam Pendirian Perseroan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
131
Terbatas
3. Pemegang Saham diwakili oleh Rektor UNAIR dalam setiap
pengambilan keputusan Perseroan Terbatas. Rektor bertindak sebagai
perwakilan pemegang saham UNAIR dalam suatu Perseroan Terbatas
yang mewakili dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Perseroan Terbatas yang didirikan
4. Perseroan Terbatas yang didirikan harus didasarkan pada kaidah-
kaidah tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate
Governance)
Syarat-syarat tersebut menjadi suatu syarat kumulatif terkait pendirian Perseroan
Terbatas yang dilakukan oleh UNAIR sebagai PTN-BH. Dapat diartikan bahwa
keempat syarat tersebut merupakan syarat tambahan selain syarat-syarat pendirian
Perseroan Terbatas yang terdapat dalam UU PT-2007. Adapun yang dimaksud
dengan tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen) kekayaan UNAIR yang
boleh disetorkan inilah yang menimbulkan kerancuan. Kerancuan ini terkait
dengan status kekayaan UNAIR yang dapat dijadikan modal disetor dalam
Perseroan Terbatas yang didirikan oleh UNAIR. Jika dianalisis, keuangan PTN-
BH juga merupakan bagian dari keuangan negara. Telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa terdapat pendapat yang berbeda mengenai bentuk keuangan negara.
Dengan demikian, jika beranjak pada pendapat yang menyatakan bahwa walaupun
kekayaan yang dimiliki oleh PTN-BH merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan maka, pendirian Badan Usaha oleh PTN-BH disamakan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA
132
kedudukannya sebagai Badan Usaha Negara. Jika didasarkan pada pendapat yang
lain, maka selain PTN-BH merupakan Badan Hukum tersendiri, Badan Usaha
yang didirikannya pula merupakan menjadi kewenangan PTN-BH seutuhnya dan
negara tidak mempunyai andil dalam pengelolaan Badan Usaha tersebut.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
RYAN SURYA PRADHANA